Anda di halaman 1dari 12

KONFLIK DISINTEGRASI

ANTARA RAKYAT PAPUA DAN PEMERINTAH INDONESIA:


DALAM PERSPEKTIF SILA KETIGA PANCASILA1

Federiko Julianito (210102008)

Program Studi Filsafat Keilahian

STF Driyarkara Jakarta

2022

1
Paper ini ditulis sebagai tugas Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah Pancasila pada 13 Desember 2022.
I. PENDAHULUAN
Berbicara tentang Papua, hal yang terlintas dalam pikiran kita adalah tentang tanah
yang kaya akan sumber daya alam, akan tetapi sebagian besar rakyat setempat justru hidup
dalam penderitaan yang berkepanjangan dalam sejarah bangsa Indonesia. Terutama sejak
Papua masuk dalam bagian wilayah Indonesia pada tahun 1969. Sudah menjadi hal yang
tidak dirahasiakan lagi bahwa rakyat Papua telah mengalami penderitaan yang cukup
mendalam dan membekas. Selama ini rakyat Papua telah mengalami ketidakadilan, buruknya
supremasi hukum, tidak adanya penghormatan, pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk hak Masyarakat adat.
Berkaitan dengan ketentuan yang diminta oleh rakyat Papua terhadap pelaksanaan
kewajiban penyelenggaraan negara itu seringkali tidak mendapat respon yang serius dan
memadai. Terlebih lagi dari pihak Pemerintah Pusat yang justru malah membangun perspektif
yang negatif terhadap orang Papua akibat tindakan separatis yang selama ini coba dilakukan.
Hal yang menjadi tuntutan rakyat Papua adalah pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara
dan hak-haknya sebagai pemilik tanah Papua. Melalui hal itu yang mengakibatkan terjadinya
konflik yang berkepanjangan antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat.
Melalui apa yang sudah disampaikan, paper ini ditulis untuk menelaah tentang
berbagai konflik disintegrasi di Papua dalam perspektif Sila ke-3 Pancasila tentang Persatuan
Indonesia.

a. Konsep Kemanusiaan dalam Sila ke-2 Pancasila


Perikemanusiaan adalah daya serta karya Budi dan Hati Nurani manusia untuk
membangun dan membentuk kesatuan diantara manusia sesamanya, tidak terbatas pada
manusia sesamanya yang terdekat saja, melainkan meliputi juga seluruh umat manusia. Sifat,
sikap dan perbuatan bangsa Indonesia senantiasa memperlihatkan unsur-unsur
perikemanusiaan.
“Manusia adalah makhluk Tuhan, dan Tuhan tidak mengadakan perbedaan antara
sesama manusia. Pandangan hidup demikian menimbulkan pandangan yang luas, tak terikat
oleh batas-batas negara atau bangsa sendiri, melainkan negara selalu harus membuka pintu
bagi persahabatan dunia atas dasar persamaan derajat. Manusia mempunyai hak-hak yang
sama; oleh karena itu tidaklah dibenarkan manusia yang satu menguasai manusia yang lain,
ataupun bangsa yang satu menguasai bangsa yang lain.2

2
Kansil, C.S.T., Prof., Drs., Sh. “Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945: Pendidikan Moral Pancasila”.
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1979). Hal. 51-52.

1
Sesungguhnya manusia itu sejak dilahirkan mempunyai hak yang tidak dapat
dirampas dan dihilangkan. Hak-hak itu harus dihormati oleh siapapun. Golongan manusia
yang berkuasa tidaklah diperkenankan memaksakan kehendaknya yang bertentangan dengan
hak seseorang. Juga pemerintah suatu negara harus menjunjung tinggi hak-hak manusia itu.
Tidak seorang penduduk pun dapat diperlakukan melampaui batas perikemanusiaan,
misalnya dipidana secara ganas, keji dan dihina. Manusia harus bebas dari rasa
ketakutan/kesengsaraan.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Juga nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman
sarinya internasionalisme. Kebangsaan dan perikemanusiaan mempunyai hubungan yang
erat. Perikemanusiaan atau internasionalisme itu adalah dasar hidup bagi bangsa Indonesia
untuk turut membantu memajukan umat manusia dan mencapai cita-cita kebahagiaan bagi
seluruh dunia.3

b. Konsep Persatuan dalam Sila Ketiga Pancasila


Dengan dasar Kebangsaan (nasionalisme) dimaksudkan bahwa bangsa Indonesia
seluruhnya harus memupuk persatuan yang erat antara sesama warga negara, tanpa
membeda-bedakan suku atau golongan serta berasaskan satu tekad yang bulat dan satu
cita-cita bersama. Prinsip kebangsaan itu merupakan ikatan yang erat antara golongan dan
suku bangsa. Atas prinsip itu pembinaan bahasa dan kesenian daerah akan maju, memperkaya
hidup kita dan mengisi perkembangan kebudayaan Indonesia seluruhnya.4
Kebangsaan meliputi seluruh golongan dan daerah di Indonesia serta unsur-unsur
kebudayaan dan tata hidupnya. Dasar kebangsaan ini adalah penting sekali dan harus dibina,
tanpa melupakan bahwa di dunia ada bangsa lain yang terdiri atas sesama manusia dan
seluruhnya membentuk satu keluarga umat manusia. Kebangsaan Indonesia itu bukanlah
paham kebangsaan yang sempit yang hanya mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan
bangsa lain. Paham kebangsaan yang dianut oleh bangsa Indonesia: (a) ke dalam,
menggalang kepentingan seluruh rakyat dengan tidak membeda-bedakan suku atau golongan;
(b) ke luar, tidak mengagungkan bangsa sendiri, namun dengan berdiri tegak atas dasar
kebangsaan sendiri juga menuju ke arah hidup berdampingan secara damai, berdasar atas
persamaan derajat antar bangsa serta berdaya upaya untuk melaksanakan terciptanya

3
Kansil, C.S.T., Prof., Drs., Sh. “Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945: Pendidikan Moral Pancasila”,
64.
4
Kansil, C.S.T., Prof., Drs., Sh. “Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945: Pendidikan Moral Pancasila”,
52-53.

2
perdamaian dunia yang kekal dan abadi, serta membina kerja sama untuk kesejahteraan umat
manusia.
Adalah suatu sifat bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama secara gotong
royong. Hal ini jelas, bahwa bangsa Indonesia menginsafi pentingnya persatuan untuk
menghadapi pekerjaan yang sehebat-hebatnya guna kepentingan bersama. Semangat
persatuan itu diwujudkan dalam bentuk kerjasama yang meliputi pula keamanan, yakni dalam
bentuk gotong royong. Toleransi bangsa Indonesia telah memungkinkan perkembangan
berbagai agama dengan leluasa tanpa mengganggu kehidupan bersama dalam masyarakat. Di
kepulauan Nusantara hidup rakyat Indonesia dalam berbagai suku, yang pada umumnya
dalam masyarakat hidup menurut adat istiadatnya sendiri-sendiri. Akan tetapi dalam berbagai
ragam cara hidup itu tampak peradaban yang mempunyai taraf tertentu dan bercorak
keIndonesiaan. “Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang berkebudayaan tinggi, berjiwa
dan berperadaban luhur.” (Prof. H. Muhammad Yamin S.H.) Jiwa dan cita-cita yang
diarahkan dan mendapat tujuan yang luhur itu telah memperkokoh perasaan persatuan yang
pada hakikatnya memang ada dalam hati orang Indonesia, dan mengaktifkan perasaan
kebangsaan sebagai kepribadian bangsa Indonesia.5

II. ISI
a. Akar Permasalahan
Berdasarkan laporan Forum Kerja Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM)
Papua dalam studi resolusi konflik selama beberapa tahun terakhir menemukan berbagai akar
permasalahan yang memicu konflik di tanah Papua. Sementara hasil studi LIPI memetakan
sebab-sebab konflik, antara lain persoalan marjinalisasi dan diskriminasi, kegagalan
pembangunan dan kekerasan Negara dan pelanggaran HAM.6
Melalui kedua laporan tersebut yang memperlihatkan dengan jelas segala konflik
yang terjadi di Tanah Papua, seperti perihal kegagalan pembangunan dalam upaya
mendorong dan memajukan Papua, eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam, dan
kurangnya penghargaan terhadap hak asasi manusia maupun status politik dan konstruksi
sejarah yang cukup kelam. Meskipun persoalan-persoalan tersebut telah disadari oleh para
birokrat di Papua, khususnya dalam tiga pokok penting yang menjadi persoalan. Pertama,
tentang pelanggaran HAM. Kedua, ketimpangan pembangunan antara Papua dan luar Papua.

5
Kansil, C.S.T., Prof., Drs., Sh. “Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945: Pendidikan Moral Pancasila”,
64-65.
6
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”. (Penerbit:
Knowledges and Social Justice Series, 2011), x.

3
Ketiga, kemiskinan yang akut dan meluas. Memang Kebijakan Afirmatif dan Otonomi
Khusus (Otsus) yang dianggap sebagai terobosan baru dan sekaligus penyelesaian berbagai
persoalan di Papua. Namun, dalam pengimplementasiannya masih penuh dengan masalah
yang sampai kini belum tertangani atau belum terselesaikan dengan kepastian yang jelas.
Dalam menangani berbagai persoalan di Tanah Papua itu tentunya partisipasi aktif
Orang Asli Papua menjadi sangat penting. Untuk itu, Foker LSM Papua telah memfasilitasi
proses pemenuhan kebutuhan Rakyat Asli Papua menurut perspektif mereka sendiri. Menurut
studi Foker LSM Papua dan hasil survei IFES yang menunjukkan bahwa akses masyarakat
Papua atas pelayanan publik masih cukup rendah.7 Namun, dari apa yang diprioritaskan itu
justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Papua yang masih dipenuhi
dengan rasa kekecewaan dalam sejarahnya.

b. Konteks di Papua
Perlu diketahui bahwa sudah sekitar enam puluh tahun Papua menjadi bagian dari
Republik Indonesia. Meskipun sejumlah elemen masyarakat Papua yang masih
mempertanyakan keabsahan proses integrasinya serta mempersoalkan pengabaian hak
mereka untuk menentukan nasib sendiri, kenyataan bahwa Papua adalah bagian dari
Indonesia yang telah berlangsung sekitar enam puluh tahun. Namun, sampai sekarang ini,
masih ada masyarakat Papua yang merasa tidak puas dan kecewa terhadap Pemerintah Pusat
atas kebijakan di Tanah Papua yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat
Papua.8 Papua adalah tanah yang paradoks, ironi, dan kontradiksi yang mengakibatkan
penderitaan kolektif. Masih Indonesia-kah Papua itu? Inikah persatuan Indonesia itu? Inikah
kemanusiaan yang adil dan beradab? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan sebuah
keraguan apakah Papua masih bisa bersatu dengan Indonesia untuk seterusnya. Masih adakah
perjuangan untuk mencapai perdamaian dan persatuan antara rakyat Papua dengan
Pemerintah Pusat.
Selain itu, perlu juga diketahui tentang penggunaan istilah Papua dan Non-Papua yang
peruntukkan bagi rakyat di Papua. Menurut Badan Pusat Statistik di tingkat Kabupaten,
Provinsi maupun Pusat, terdapat klasifikasi penduduk Papua dalam kategori Asli Papua dan
Non-Papua.9 Penggunaan istilah ini lebih bersifat ‘netral’ tanpa pretensi untuk menonjolkan

7
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”, xi.
8
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”, xxi.
9
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”, 9.

4
perbedaan etnis atau ras. Terlebih lagi bahwa realitas perbedaan yang ada itu tidak boleh
ditutup-tutupi atas nama toleransi atau perdamaian. Sebaliknya, persoalan ini perlu diangkat,
dipahami dengan baik untuk menemukan solusi atau jalan keluar yang terbaik bagi rakyat
Papua dan Pemerintah Indonesia.

c. Papua dalam Sejarah Indonesia


Papua terletak diujung timur Indonesia, berbatasan langsung dengan Papua New
Guinea (PNG). Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia membagi Papua menjadi dua
provinsi. Bagian timur tetap memakai nama ‘Papua’, sedangkan bagian baratnya menjadi
Irian Jaya Barat. Yang kemudian, sejak tanggal 18 April 2007 berubah nama menjadi
Provinsi Papua Barat, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007.10
Terlepas dari penjajahan Belanda pada tahun 1963, Papua telah menjadi bagian dari
Indonesia melalui proses sepanjang dekade 1960-an. Sebelum tahun 1963, rakyat Papua
mulai mengambil langkah untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Indonesia
yang merasa bahwa Papua merupakan bagian dari dirinya, kemudian mempermasalahkan
proses penentuan nasib sendiri di Papua. Kesepakatan terjadi antara pihak Indonesia,
Amerika Serikat dan Belanda dalam New York Agreement, tanpa melibatkan perwakilan
masyarakat Papua. Akhirnya, penentuan nasib itu baru bisa dijalankan pada tahun 1969
dalam Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Drooglever, seorang
sejarawan menjelaskan bahwa “Kendati dilaksanakan di depan mata PBB, Pepera terjadi di
tengah kondisi dan situasi yang menimbulkan keraguan serius, apakah hasilnya sungguh-sungguh
sesuai dengan kehendak penduduk Papua”.11

d. Fakta Konflik di Papua


Dari segala konflik yang selama ini sudah terjadi di Papua terdapat fakta-fakta penting
yang perlu diketahui bersama-sama. Berhasilkah Indonesia mencapai tujuan hakikinya dalam
membangun masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di Papua? Adakah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diwujudkan di Tanah Papua? Faktanya, Pemerintah
Indonesia mengakui kegagalannya karena belum sepenuhnya terwujud untuk memenuhi rasa
keadilan, tercapainya kesejahteraan rakyat, terwujudnya penegakkan hukum dan belum
menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia bagi masyarakat Papua.12

10
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”, 15.
11
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”, 16.
12
Pengakuan Pemerintah Indonesia atas kegagalan di Papua dalam Undang-Undang No. 21/2001 tentang
Otonomi Khusus Papua (poin h).

5
Dalam proses pembangunan, orang Asli Papua cenderung dipinggirkan terkait dengan
keterlibatan dan keikutsertaan mereka. Menurut fakta yang terungkap dalam beberapa
laporan menjelaskan bahwa masih terus terjadi pelanggaran hak asasi manusia oleh Negara
dan aparatnya. baik dalam hak-hak sosial politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. Dengan latar belakang yang demikian, para pakar sepakat bahwa persoalan Papua
merupakan komplikasi dari empat persoalan utama, yaitu sejarah politik Papua yang
problematik, pembangunan yang menghancurkan, pelanggaran hak asasi manusia, serta
peminggiran orang Asli Papua.13 Meskipun dengan pendekatan keamanan yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia, hal itu malah menimbulkan konflik kekerasan dan pelanggaran
hak asasi manusia yang masih terjadi hingga sekarang ini. Menjadi sebuah pertanyaan bagi
masyarakat Papua, mengapa Pemerintah Indonesia masih menggunakan pendekatan militer
yang sebenarnya tidak bisa mengatasi seluruh persoalan yang terjadi di Tanah Papua.
Dari segala konflik yang selama ini sudah terjadi di Tanah Papua, terdapat banyak
fakta-fakta menarik yang bisa ditemukan dari konflik-konflik itu. Berdasarkan
sumber-sumber jurnal yang saya temukan, ada sebanyak 16 jurnal yang membahas tentang
persoalan/konflik disintegrasi di Tanah Papua. Masing-masing jurnal tersebut kebanyakan
membahas lima topik besar tentang konflik di Papua,14 yakni: (1) kesenjangan
ekonomi-sosial, (2) Pendekatan keamanan/militer, (3) supremasi kebijakan dan hukum, (4)
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia, (5) dan eksploitasi sumber daya alam. Kelima topik
besar ini yang menjadi dasar dari segala permasalahan atau konflik yang terjadi di Tanah
Papua.

e. Kelompok/Organisasi di Papua
Berdasarkan konflik-konflik yang terjadi di Tanah Papua, ditemukan ada beberapa
kelompok terorganisir yang berjuang demi Papua Merdeka dengan berusaha memisahkan diri
dari bangsa Indonesia.15 Berikut kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan
kemerdekaan Papua: (1) kaum nasionalis Indonesia selain pihak negara; (2)kelompok
paramiliter ‘Satgas’ yang berasosiasi dengan organisasi agama tertentu dan/ atau kesatuan
militer tertentu; (3) Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM), lalu
Presidium Dewan Papua (PDP) dan panel-panelnya, serta kelompok nasionalis Papua lainnya

13
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”, 20.
14
E.L. Marit, H. Warami. Wacana “Papua Tanah Damai” Dalam Bingkai Otonomi Khusus Papua. (Jurnal Ilmu
Sosial, Vol.16, No.1, April 2018).
15
Yapi Taum,Yoseph. “Kekerasan Dan Konflik Di Papua: Akar Masalah Dan Strategi Mengatasinya”. (Jurnal
Penelitian. Volume 19, No. 1, November 2015), Hal. 1-13.

6
yang tersebar di dalam dan di luar negeri; (4) Front Persatuan Perjuangan Rakyat (Front
Pepera) Papua Barat yang merupakan aliansi dari berbagai kelompok mahasiswa dan pemuda
Papua yang tersebar di Indonesia dan didukung oleh kelompok Papua sejenis di Australia dan
Inggris; (5) West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL); (6) West Papua
National Authority (WPNA). Di Australia WPNA dipimpin oleh Jacob Rumbiak dan Herman
Wanggai. Di Provinsi Papua Barat kelompok ini dipimpin oleh ‘Presiden Kongres Nasional’
Terry Yoku, Frans Kapisa, dkk. Kelompok ini beberapa kali melakukan demo di Manokwari
dan melakukan ‘perlawanan’ di Serui; (7) kelompok Benny Wenda di Oxford Inggris yang
sempat menarik perhatian pemerintah Indonesia karena membentuk International
Parliamentarians for West Papua (IPWP) yang kemudian diikuti dengan International
Lawyers for West Papua (ILWP). (8) Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB Papua) yang
melancarkan berbagai propaganda. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian dikenal di
masyarakat umum sebagai ‘kelompok separatis’ yang berusaha memisahkan diri dari bangsa
Indonesia.

f. Otoritas Khusus di Papua


Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, maka dibentuklah suatu kebijakan
khusus dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Otonomi Khusus ini dibentuk
dengan semangat dasar “perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak
dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme serta
persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara” juga disertai dengan
“meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan
kepada penduduk Asli Papua”.16
Terkait dengan kebijakan afirmatif dan keberpihakan khusus ini memiliki peran
penting dalam bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemberdayaan orang Asli Papua.
Tanpa Otonomi Khusus ini, kehadiran negara dan proses pembangunan di Papua akan
mendatangkan dampak buruk dan memperbesar ketidakadilan. Otonomi Khusus menjadi
semacam kompromi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua demi perbaikan
kesejahteraan hidup yang masih tetap dipantau dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

16
Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas
Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom”, 5.

7
g. Upaya Dialog Perdamaian
Meskipun selama ini sudah ada berbagai dialog yang diperjuangkan. Namun, perlu
diluruskan bahwa dialog itu bukan suatu kekerasan dan represi. Tetapi dialog yang menjadi
jalan penyelesaian menyeluruh dan bermartabat atas berbagai persoalan yang begitu
kompleks yang terjadi di Tanah Papua. Belum tentu dengan mempercepat pembangunan
dapat mengatasi konflik di Papua.
Orang Papua harus mendapat kesetaraan dan diperlakukan dalam persamaan derajat.
Istilah ‘NKRI harga mati’ justru memperlihatkan bahwa tidak ada kemungkinan untuk
terjadinya suatu dialog bagi masyarakat Papua. Inti dari dialog yang dilakukan itu sebenarnya
ingin meletakkan Papua dalam penghormatan dan martabat. Konteks persatuan yang selama
ini disampaikan itu cenderung kaku dan tidak memungkinkan terbukanya suatu dialog.
Padahal sebelum memasuki Persatuan Indonesia itu, hal yang perlu diperhatikan lebih dulu
adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yaitu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak
asasi manusia. Dalam proses dialog ini, perlu didahului dengan evaluasi Undang-Undang
Otonomi Khusus secara menyeluruh. Tentunya dalam dialog itu masyarakat Papua juga harus
diikutsertakan atau dilibatkan secara setara.
Perjuangan dialog perdamaian terhadap Papua sudah lama dilakukan, berdasarkan
buku tentang “Angkat Pena demi Dialog Papua: Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog
Jakarta-Papua Tahun 2001-2011” yang ditulis oleh Neles Kebadabi Tebay, terdapat
sebanyak 50 artikel yang berusaha untuk memperjuangkan dialog demi perdamaian Papua.17
Sumber ini menjelaskan bahwa baik orang Papua maupun pemerintah Indonesia pada masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah berkomitmen untuk
menyelesaikan masalah Papua melalui suatu dialog terbuka. Dialog ini juga mendapat
dukungan dari berbagai lembaga baik didalam maupun diluar negeri. Dialog Papua perlu
dipersiapkan secara baik dan matang guna mendapatkan suatu hasil yang pasti dan maksimal
demi terciptanya perdamaian di Tanah Papua.
Dalam proses dialog ini perlu melibatkan sembilan kelompok, yakni Orang Asli
Papua, Warga Papua (termasuk masyarakat Non-Papua), Pemerintah daerah (kabupaten/kota
dan Provinsi), Kepolisian/POLRI, TNI, Pemerintah Pusat, Perusahan-perusahaan yang
memanfaatkan kekayaan alam di Papua, Para tokoh gerilyawan Papua (OPM), dan
orang-orang Papua yang hidup di luar Indonesia. Setiap dan semua pihak ini perlu diberikan
ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses dialog Jakarta-Papua. Meskipun

17
Kebadabi Tebay, Neles. “Angkat Pena demi Dialog Papua: Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog
Jakarta-Papua Tahun 2001-2011”. (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2012).

8
kedua belah pihak telah menyatakan kesediaannya, masih ada kemungkinan bahwa dialog
tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada suatu kerangka acuan yang mampu
mengakomodir kepentingan pemerintah dan rakyat Papua. Maka baik pihak pemerintah
maupun rakyat Papua sudah berdiskusi tentang sejumlah aspek pendukung yang membantu
perumusan kerangka acuan dialog tersebut. Hal yang menjadi pertimbangan dalam proses
dialog tersebut, apakah kedua pihak tersebut hanya membenturkan masing-masing
kepentingan tanpa menemukan jalan tengah atau solusi penyelesaiannya. Dialog yang tidak
dapat menghasilkan jalan tengah atau solusi penyelesaiannya demi perdamaian dan kesatuan
bangsa, maka dialog itu hanya akan menghasilkan ancaman integrasi bangsa. Mengapa
DIALOG? Karena Dialog merupakan cara yang paling beradab untuk menyelesaikan masalah
Papua, yaitu dengan menghentikan kekerasan dan membangun peradaban yang manusiawi.
Dialog yang dilaksanakan atas prinsip kesederajatan, keadilan, kebenaran dan penghormatan
atas martabat manusia.18

III. PENUTUP
Hubungannya dengan Konsep Persatuan
Terhadap kebijakan dan pandangan destruktif yang selama ini telah dihadapi dan
dijalani Papua pada masa lalu, yang menutup mata terhadap nasionalisme Papua yang
berhadapan dengan pihak militer yang bersikap totaliter, yang diperburuk dengan tindakan
rasisme terhadap Papua yang semakin banyak, dan juga tindakan pembungkaman terhadap
demokrasi di Tanah Papua.
Setelah menelaah konflik-konflik disintegrasi di Tanah Papua, dapat ditemukan
bahwa konflik-konflik tersebut dapat mengancam nilai Persatuan Indonesia terhadap Sila
ke-3 dalam Pancasila. Sebagaimana dalam pemahaman tentang konsep Persatuan yang sudah
disampaikan pada bagian pendahuluan dalam tulisan ini, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya
harus memupuk persatuan yang erat antara sesama warga negara, tanpa membeda-bedakan
suku atau golongan serta berasaskan satu tekad yang bulat dan satu. Sebab, prinsip
kebangsaan itu merupakan ikatan yang erat antara golongan dan suku bangsa. Atas prinsip
ini, maka akan terjadi perkembangan terhadap aspek hidup warga negara dapat mengalami
kemajuan yang akan memperkaya kebudayaan yang dimiliki. Kebangsaan meliputi seluruh
golongan dan daerah di Indonesia serta unsur-unsur kebudayaan dan tata hidupnya. Dasar
kebangsaan ini adalah penting sekali dan harus dibina, tanpa melupakan bahwa di dunia ada

18
Kebadabi Tebay, Neles. “Angkat Pena demi Dialog Papua: Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog
Jakarta-Papua Tahun 2001-2011”. (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2012). xiii.

9
bangsa lain yang terdiri atas sesama manusia dan seluruhnya membentuk satu keluarga umat
manusia.

Kesimpulan
Dalam menanggapi konflik-konflik di Tanah Papua, penting memperhatikan upaya
dialog perdamaian sebagai titik yang mengawali proses penyelesaian konflik-konflik tersebut.
Sebagai bentuk perjuangan untuk menyelesaikan konflik ini, maka diperlukan yang namanya
Toleransi. Toleransi sebagai manusia yang saling menghormati keluhuran martabat manusia.
Segala upaya penyelesaian konflik yang selama ini diperjuangkan telah menunjukkan unsur
atau faktor yang mengarah pada suatu perdamaian di Tanah Papua. Dengan demikian, masih
ada harapan bagi rakyat Papua dengan Pemerintah Indonesia untuk kembali berdamai dan
bersatu sebagai bangsa yang utuh. Untuk itu, solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan
menjamin keselamatan, kesejahteraan dan pemeliharaan martabat orang Papua sebagai bagian
dalam bangsa Indonesia. Melihat banyaknya jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari
konflik berkepanjangan itu, maka perlu adanya perubahan dalam cara pendekatan. Perubahan
dari cara pendekatan keamanan atau militer menjadi pendekatan humanis yang menyentuh
akar penyebab konflik di Tanah Papua. Dengan berpegang teguh pada nilai kemanusia dan
nilai persatuan, maka perdamaian pun dapat mewujudkan tujuan dari Kebangsaan itu sendiri.

10
DAFTAR PUSTAKA

Drs. C.S.T. Kansil SH. “PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945:


PENDIDIKAN MORAL PANCASILA”. (JAKARTA: PRADNYA PARAMITA, 1979).
Hal. 51-52.

Cypri J.P. Dale & John Djonga. “Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial,
Pelanggaran Hak atas Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan
fokus di Kabupaten Keerom”. (Penerbit: Knowledges and Social Justice Series, 2011,
X).

Kebadabi Tebay, Neles. “Angkat Pena demi Dialog Papua: Kumpulan Artikel Opini tentang
Dialog Jakarta-Papua Tahun 2001-2011”. (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei,
2012).

Haluk, Markus. “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua”. (Bali: Pustaka Larasan,
2019).

SUMBER JURNAL

Yapi Taum,Yoseph. “Kekerasan Dan Konflik Di Papua: Akar Masalah Dan Strategi
Mengatasinya”. (Jurnal Penelitian. Volume 19, No. 1, November 2015).
E.L. Marit, H. Warami. Wacana “Papua Tanah Damai” Dalam Bingkai Otonomi Khusus
Papua. (Jurnal Ilmu Sosial. Vol.16, No.1, April 2018).
Kaisupy, Delvia Ananda, & Maing, Skolastika Genapang. Proses Negosiasi Konflik Papua:
Dialog Jakarta-Papua. (Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora. Vol. 10, No. 1, April
2021).

Steve Rick Elson Mara, dkk. Dialog Strategis Papua Dalam Mencegah Disintegrasi Bangsa.
(Jurnal Damai dan Resolusi Konflik. Volume 7, Nomor 1, Tahun 2021).

Sudira, I Nyoman. Resolusi Konflik Sebagai Jalan Perdamaian Di Tanah Papua. (Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional: Edisi Khusus Papua, 2022).

Anugerah, Boy. Papua: Mengurai Konflik dan Merumuskan Solusi. (Jurnal Kajian
Lemhannas RI. Edisi 40, Desember 2019).

Chairil, Tangguh, & A. Sadi, Wendsney. Konflik Papua: Pemerintah Perlu Mengubah
Pendekatan Keamanan dengan Pendekatan Humanis. (Oktober 2020).

11

Anda mungkin juga menyukai