Anda di halaman 1dari 22

Resume pendidikan pancasila

Dosen Pengampu :

Drs. D. Wahyudin, M.Pd.

Disusun Oleh :

Natasya Zulfa

(2205500)

2B PGSD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KAMPUS DI PURWAKARTA

2023
A. Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Rasional (alasan) bahwa Pancasila adalah sistem filsafat adalah:

1) Secara material-substansial dan intrinsik nilai Pancasila adalah filosofis: misal hakikat
Kemanusiaan yang adil dan beradab, apalagi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
metafisis/filosofis.

2) Secara praktis-fungsional, dalam tata-budaya masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan


nilai Pancasila diakui sebagai filsafat hidup atau pandangan hidup yang dipraktekkan.

3) Secara formal-konstitusional, bangsa Indonesia mengakui Pancasila adalah dasar negara


(filsafat negara) RI.

4) Secara psikologis dan kultural, bangsa dan budaya Indonesia sederajat dengan bangsa dan
budaya manapun. Karenanya, wajar bangsa Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain
(Cina, India, Arab, Eropa) mewarisi sistem filsafat dalam budayanya. Jadi, Pancasila
adalah filsafat yang diwarisi dalam budaya Indonesia.

5) Secara potensial, filsafat Pancasila akan berkembang bersama dinamika budaya; filsafat
Pancasila akan berkembang secara konsepsional, kaya konsepsional dan kepustakaan
secara kuantitas dan kualitas. Filsafat Pancasila merupakan bagian dari khasanah dan
filsafat yang ada dalam kepustakaan dan peradaban modern.

Inti Sila Pertama

Menurut Notonagoro (1983:60) bahwa di antara lima sila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
yang paling sulit, karena merupakan sila yang paling banyak menjadi persoalan. Memang
di dunia ini terdapat pendirian dan kepercayaan yang mengenai ketuhanan, lebih-lebih
mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa. yang sangat berlain-lainan, begitu pula
keadaannya di negara Indonesia. Maka dari itu dapat dipertanggungjawabkan untuk
mengajukan suatu pendapat tentang isi arti sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak
terikat kepada bentuk Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertentu, akan tetapi tidak
memperkosa inti dari arti dan istilah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan lain
perkataan batas-batas dari isi-intinya harus cukup luas untuk dapat menempatkan semua
agama dan kepercayaan di dalamnya.

Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing- masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya. Dalam melaksanakan kemerdekaan beragama ini negara
menghendaki adanya toleransi dari para pemeluk agama, sehingga tidak akan
membenarkan adanya pemaksaan suatu agama kepada orang lain. Pemerintah juga harus
selalu membimbing dan mengarahkan segenap warganegara dan penduduk untuk selalu
mengamalkan ajaran agama yang dipeluknya, serta memberikan kebebasan kepada setiap
penduduk Indonesia untuk mengembangkan agamanya tanpa mengganggu hak dan
kebebasan pemeluk agama lainnya (Effendi, 1995: 39)

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat-menghormati dan


bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan
diyakininya, maka dikembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan itu kepada orang lain.

Negara tidak memaksa agama atau suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sebab agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan
hingga tidak dapat dipaksakan. Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
sendiri tidak memaksa kepada manusia untuk memeluk dan menganutnya.

Inti Sila Kedua

Dengan sila Kemanusiaan yang adil dan berndab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama
derajatnya, yang sama hak dan kewajiban- kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan
suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit
dan sebagainya. Karena itu dikembangkau sikap saling mencintai sesama manusia sikap
tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan,
gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan
keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sede- rajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-
menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, memberikan pedoman kepada Bangsa
Indonesia untuk mengamalkan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai berikut:

1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, keperca- yaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.

3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.

4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.

5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

6. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

8. Berani membela kebenaran dan keadilan.

9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.

10. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

Sila kedua ini menghendaki agar negara mengakui adanya hak dan kewajiban yang sama
pada setiap warga negara Indonesia, dan mengharuskan kepada negara untuk
memperlakukan manusia Indonesia dan manusia lainnya secara adil dan tidak sewenang-
wenang. Di samping itu negara harus menjamin setiap warganegaranya untuk
mendapatkan kedudukan hukum dan pemerintahan yang sama, serta membebani
kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Negara wajib menciptakan
suasana kehidupan masyarakat yang berbudi luhur sesuai dengan harkat dan martabat
manusia (Effendi, 1995:39).

Inti Sila Ketiga

Bung Karno ketika berpidato di depan sidang pertama BPUPKI tanggal! Juni 1945
menguraikan tentang makna Kebangsaan Indonesia, bahwa bangsa Indonesia, natie
Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan "le desir d'entre
ensemble" di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau
Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut
geopolitik yang telah ditentukan Allah Swt, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai Irian! Seluruhnya! (Ana, Singgih Hawibowo, dan
Agus Wahyudi, 2006: 105).

Menurut Notonagoro (1983: 65) inti sila Persatuan Indonesia dapat dirumuskan,
kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat dan bangsa,
menghidup-hidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan
kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan yang mungkin
mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan
perpecahan atas dasar kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang
sewajarnya, lagi pula dengan kesediaan, kecakapan dan usaha untuk sedapat-dapatnya
melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan, mungkin menurut pedoman-pedoman
majemuk tunggal bagi pengertian kebangsaan.

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, memberikan pedoman kepada Bangsa


Indonesia untuk mengamalkan sila Persatuan Indonesia sebagai berikut:

1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa


dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.

2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara apabila diperlukan.

3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.

5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan


keadilan sosial.

6. Mengembangkan Persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika

7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Inti Sila Keempat

Inti prinsip sila keempat menurut Notonagoro (1983: 66) adalah kebebasan dan
kekuasaan rakyat di dalam lapangan kenegaraan, atas dasar tri Tunggal, yaitu "Negara
dari rakyat, bagi rakyat dan oleh rakyat".
Ekaprasetya Pancakarsa/P4 memberikan pedoman tentang inti sila Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa- ratan/ perwakilan adalah
sebagai berikut: (1) manusia Indonesia sebagai warganegara dan warga masyarakat
Indonesia mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama; (2) dalam menggunakan
hak-haknya harus menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan negara dan kepentingan masyarakat; (3) tidak boleh ada suatu kehendak
yang dipaksakan kepada pihak lain; (4) untuk mengambil keputusan yang menyangkut
kepentingan bersama, terlebih dahulu harus diadakan musya- warah; (5) keputusan
diusahakan secara mufakat; (6) musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh
suasana kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia; (7) menghormati dan
menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah; (8) menerima dan melaksanakan
hasil musyawarah dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab, (9) lebih mengutamakan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan; (10) musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (11) keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa; (12) hasil keputusan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan; (13) hasil keputusan harus mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

Inti Sila Kelima

Sila kelima Pancasila, menurut Notonagoro mengandung prinsip bahwa di dalam


lapangan sosial dan ekonomi ada kesamaan, di samping kesamaan politik. Di dalam
lapangan sosial ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan, dalam
keseimbangan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial, untuk mengusahakan dan
memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai dengan sifat-sifat mutlak dari manusia sebagai
individu.

Menurut Ekaprasetya Pancakarsa, Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga
mengandung inti bahwa sebagai manusia Indonesia hendaknya (1) menyadari hak dan
kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia; (2)
mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan; (3) mengembangkan sikap adil terhadap sesama;
(4) menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; (5) menghormati hak-hak orang
lain; (6) suka memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan agar dapat
berdiri sendiri; (7) tidak menggunakan hak miliknya untuk usaha-usaha yang bersifat
pemerasan terhadap orang lain juga tidak untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan
bergaya hidup mewah serta perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan atau merugikan
kepen- tingan umum; (8) sikap suka bekerja keras; (9) sikap menghargai hasil karya
orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama; (10)
mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
B. Pancasila sebagai Ideologi Negara

Ideologi berasal dari kata 'idea' dari bahasa Yunani 'eidos", yang berarti
gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita' dan logos yang berarti ilmu. Kata
"eidos" berasal dari bahasa Yunani yang artinya bentuk. Ada lagi kata "idein"
yang artinya melihat. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan ilmu pengetahuan
tentang ide-ide (the science of ideas) atau ajaran tentang pengertian-pengertian
dasar (Ma'mur, 2005: 1-2).

Ideologi juga dapat diartikan suatu gagasan yang berdasarkan ide tertentu
(Darmodiharjo, 1984: 47-48). Apabila ada suatu menjadi pedoman bagi suatu
tindakan tertentu, hal ini disebut ideologi. suatu gagasan yang merupakan suatu
pedoman aksi biasanya dich Ideologi. Ideologi telah merupakan rangkuman
gagasan. Pada ideologi erat kaitannya dengan politik sehingga sering kita dengar
dan ideologi politik. Erat hubungannya dengan politik ini adalah nasional,
ideologi bangsa.

Secara umum ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang


berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi suatu sistem y teratur. Dalam
ideologi terkandung tiga unsur, yaitu (1) adanya suatu penaf siran atau
pemahaman terhadap kenyataan; (2) memuat seperangkat nilai nilai atau
preskripsi moral; dan (3) memuat suatu orientasi suatu t ideologi merupakan suatu
pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya
(Sastrapratedja, 1991:142).

Mubyarto (1991:239) mendefinisikan bahwa ideologi adalah sejumlah


doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol masyarakat atau suatu bangsa yang
menjadi pegangan dan pedoman kerja (atau perjuangan) untuk mencapai tujuan
masyarakat atau bangsa itu.

Oesman dan Alfian (1991: 6) memaknai bahwa ideologi berintikan


serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan
mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai
wawasan atau pandangan hidup mereka. Melalui rangkaian atau sistem nilai dasar
ini mereka mengetahui bagaimana cara yang paling bail, yaitu secara moral atau
normatif dianggap benar dan adil, dalam bersikap dan bertingkah laku untuk
memelihara, mempertahankan dan membangun kehidupan duniawi bersama
dengan berbagai dimensinya.

Menurut Wibisono (dalam Pasha, 2003: 138) bahwa unsur ideologi ada
tiga, yaitu (a) keyakinan, dalam arti bahwa setiap ideologi selalu menunjuk
adanya gagasan-gagasan vital yang sudah diyakini kebenarannya untuk dijadikan
dasar dan arah strategik bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan; (b) mitos,
dalam arti bahwa setiap konsep ideologi selalu memitoskan suatu ajaran yang
secara optimik dan determistik pasti akan menjamin tercapainya tujuan melalui
cara-cara yang telah ditentukan pula; (c) loyalitas, dalam arti bahwa setiap
ideologi selalu menuntut keterlibatan optimal atas dasar loyalitas dari para subjek
pendukungnya.

Poespowardojo (1991: 22) mengemukakan baliwa ideologi dipahami


sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin
diwujudkan secara konkrit dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

Menurut Oesman dan Alfian (1991: 6), bahwa bagi suatu bangsa dan
negara ideologi adalah wawasan, pandangan hidup atau falsafah kebangsaan dan
kenegaraannya. Oleh karena itu, ideologi mereka menjawab secara meyakinkan
pertanyaan mengapa dan untuk apa mereka menjadi satu bangsa dan mendirikan
negara. Sejalan dengan itu ideologi adalah landasan dan sekaligus tujuan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mereka dengan berbagai
dimensinya. Sebagai ideologi nasional Pancasila mengandung sifat itu.

Pancasila dinyatakan sebagai ideologi negara Republik Indonesia dengan


tujuan bahwa segala sesuatu dalam bidang pemerintahan ataupun semua yang
berhubungan dengan hidup kenegaraan harus dilandasi dalam titik tolaknya,
dibatasi dalam gerak pelaksanaannya, dan diarahkan dalam mencapai tujuannya
dengan Pancasila (Bakry (1985: 42).

Menurut Poespowardojo (1991:48) ideologi mempunyai beberapa fungsi,


yakni memberikan:
a. Pancasila sebagai Ideologi Persatuan Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
heterogen, serba kemaje mukan, terdiri dari berbagai suku bangsa. Masyarakat
Indonesia bersifat multi etnis, multi religius, dan multi ideologis, Peranan
Pancasila menonjol sejak permulaan penyelenggaraan negara Republik Indonesia
adalah fungsinya dalam mempersatukan seluruh rakyat Indonesia menjadi bangsa
yang berkepribadian dan percaya pada diri sendiri. yang

Berdasarkan situasi bangsa yang demikian, maka masalah pokok yang pertama-
tama harus diatasi pada masa awal kemerdekaan adalah bagaimana menggalang
persatuan dan kekuatan bangsa yang sangat dibutuhkan untuk mengawali
penyelenggaraan negara. Dengan perkataan lain Nation and Character Building
merupakan prasyarat dan tugas utama yang harus dilaksanakan. Dalam konteks
politik inilah Pancasila diper- sepsikan sebagai ideologi persatuan. Pancasila
diharapkan mampu memberikan jaminan akan terwujudnya misi politik itu karena
merupakan hasil rujukan nasional, dimana masing-masing kekuatan sosial masya-
rakat merasa terikat dan ikut bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan
negaranya. Dengan demikian Pancasila berfungsi pula sebagai acuan bersama,
baik dalam memecahkan perbedaan serta pertentangan politik di antara golongan
dan kekuatan politik, maupun dalam memagari seluruh unsur dan kekuatan politik
untuk bermain di dalam lapangan yang disediakan oleh Pancasila dan tidak
melanggar dengan keluar pagar (Poespowardojo, 1991: 52).

b. Pancasila sebagai Ideologi Pembangunan

Dalam penyelenggaraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Pancasila


semakin jelas disadari sebagni etika sosial yang mampu mem- berikan kaidah-
kaidah penting bagi pembangunan yang sedang dilaksanakan.

Pancasila bukan saja berfungsi sebagai pagar atau wasit dalam percaturan politik,
melainkan memberikan orientasi dalam pembangunan, wawasan ke depan dengan
konsep-konsep yang secara substansial dieksplisitasikan dari nilai-nilai dasar dari
lima sila.
Menurut Husodo (2006-16) keberhasilan Pancasila sebagai suatu ideologi, akan
diukur dari terwujudnya kemajuan yang pesat, kesejah- teraan yang tinggi, dan
persatuan yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia. Negara kita yang belum
mampu meningkatkan kualitas hidup rakyat, telah pula menjadi penyebab
merosotnya kepercayaan sebagian masyarakat pada ideologi negara Pancasila.
Karena di waktu yang lalu, Pancasila melalui penataran P4 juga dianggap telah
digunakan untuk melestarikan kekuasaan, maka runtuhnya kekuasaan telah pula
menurunkan kepercayaan sebagian masyarakat pada Pancasila.

c. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Untuk menjawab tantangan bangsa Indonesia yang semakin kompleks, maka


Pancasila perlu tampil sebagai ideologi terbuka, karena ketertutupan hanya
membawa kepada kemandegan. Keterbukaan bukan berarti mengubah nilai- nilai
dasar Pancasila, tetapi mengeksplisitkan wawasannya secara lebih konkrit,
sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-
masalah baru.

Menurut Alfian (1991, 192) kekuatan suatu ideologi tergantung pada kualitas
tiga dimensi yang dimiliki oleh ideologi itu sendiri, yakni:

a. dimensi realitas, bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi


tersebut secara riil berakar dalam dan/hidup dalam masyarakat atau bangsanya,
terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman
sejarahnya (menjadi volkgeist/jiwa bangsa);

b. dimensi idealisme, bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung


idealisme yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui
pengalaman dalam praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan berbagai
dimensinya;

c. dimensi fleksibilitas/dimensi pengembangan, artinya ideologi tersebut memiliki


keluwesan yang memungkinkan dan merangsang pengem- bangan pemikiran-
pemikiran baru yang relevan dengan ideologi bersang- kutan tanpa
menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam
nilai-nilai dasarnya.
Dalam menjabarkan nilai-nila dasar Pancasila menjadi semakin operasional dan
dengan demikian semakin menunjukkan fungsinya bagi bangsa Indonesia dalam
menghadapi berbagai masalah dan tantangan dewasa ini, perlu diperhatikan
beberapa dimensi yang menunjukkan ciri khas dalam orientasi Pancasila. Menurut
Pospowardojo (1991: 59-60) ada tiga dimensi sekurang-kurangnya. Pertama
dimensi teleologis, yang menunjukkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan
yaitu mewujudkan cita-cita proklama 1945. Hidup bukanlah ditentukan oleh
nasib, tetapi tergantung pada rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan usaha manusia.
Dengan demikian dimensi ini menimbulkan dinamika dalam kehidupan bangsa.
Kehidupan manusia tidak ditentukan oleh keharusan sejarah yang tergantung pada
kekuatan produksi, sebagaimana dikemukakan pandangan Marxisme. Manusia
terlalu tinggi derajatnya untuk sepenuhnya ditentukan semata-mata oleh faktor-
faktor ekonomi. Manusia mempunyai cita-cita, mempunyai semangat dan mempu-
nyai niat atau pun tekad. Oleh karena manusia mampu mewujudkan cita-cita,
semangat, niat maupun tekadnya itu ke dalam kenyataan dengan daya kreasinya.

Dimensi kedua adalah dimensi etis. Ciri ini menunjukkan bahwa dalam Pancasila
manusia dan martabat manusia kedudukan yang sentral Seluruh proses
pembangunan diarahkan untuk mengangkat derajat manusia, melalui penciptaan
mutu kehidupan yang manusiawi, Ini berarti bahwa pembangunan, yang
manusiawi harus mewujudkan keadilan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan. Di lain pihak manusia pun dituntut untuk bertanggung jawab atas
usaha dan pilihan yang ditentukannya. Dimensi etis menuntut pembangunan yang
bertanggung jawab.

Dimensi ketiga adalah dimensi integral-integratif. Dimensi ini menempatkan


manusia tidak secara individualis, melainkan dalam konteks strukturnya. Manusia
adalah pribadi, namun juga merupakan relasi. Oleh karena itu, manusia harus
dilihat dari keseluruhan sistem, yang meliputi masyarakat, dunia dan
lingkungannya. Pembangunan diarahkan bukan saja kepada peningkatan kualitas
manusia, melainkan juga kepada peningkatan kualitas strukturnya. Hanya dengan
wawasan yang utuh demikian itu keseimbangan hidup bisa terjamin.
Bakry (1985: 42) mengemukakan bahwa Pancasila dinyatakan sebagai ideologi
negara Republik Indonesia dengan tujuan bahwa segala sesuatu dalam bidang
pemerintahan ataupun semua yang berhubungan dengan hidup kenegaraan harus
dilandasi dalam titik tolaknya, dibatasi dengan gerak pelaksanaannya, dan
diarahkan dalam mencapai tujuannya dengan Pancasila.

Sesuai dengan semangat yang terbaca dalam Pembukaan UUD 1945, Ideologi
Pancasila yang merupakan dasar negara itu berfungsi dalam menggambarkan
tujuan negara RI maupun dalam proses pencapaian tujuan negara tersebut. Ini
berarti bahwa tujuan negara yang secara material dirumuskan sebagai "melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial" harus mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang adil
dan makmur dan sejahtera sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula proses pencapaian tujuan tersebut dan perwujudannya melalui
perencanaan, kebijaksanaan dan keputusan politik harus tetap memperhatikan dan
bahkan Pancasila ((Poespowardojo, 1991:45-46).

C. Pancasil sebagai sistem etika

1. Pengertian Etika

Bahwa etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakuka oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat

Secara garis besar etika dibagi menjadi dua, yaitu etika umum dan etika
khusus (Salam, 1997:7). Etika umum membicarakan mengenai kondisi-kondisi
dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil
keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi
pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik atau
buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu
pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
Sedangkan etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus

2. Etika Politik dan Pemerintahan

Hubungan antara etika dengan politik menurut Aristoteles (dalam Salam


1997:111) merupakan hubungan yang paralel. Hubungan tersebut tersimpul Pada
tujuan yang sama-sama ingin dicapai, yaitu terbinanya warganegara yang Baik,
yang susila yang setia kepada negara dan sebagainya, yang kesemuanya itu
Merupakan kewajiban moral dari setiap warganegara, sebagai modal pokok

Untuk membentuk suatu kehidupan bernegara, berpolitik yang baik, dalam arti
Makmur, tenteram dan sejahtera.

Pokok-pokok etika politik dan pemerintahan berdasarkan Ketetapan MPRRI


No.VI/MPR/ 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dijelaskan sebagai berikut:

a. Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan


yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang
demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan
aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk
menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa;

b. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa


kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur
apabila dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau pun dianggap tidak
mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara;

c. Etika politik dan pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana


Harmonis antarpelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antarkelompok
Kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan Negara
dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan Pribadi dan
golongan
d. Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit
politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar,
memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan publik apabila
terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya Bertentangan
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat;

e. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku
politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik
serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatip berbagai tindakan
yang tidak terpuji lainnya.

3.Pancasila sebagai sistem etika

Pancasila sebagai sistem etika berarti Pancasila merupakan kesatuan sila-si


Pancasila, sila-sila Pancasila itu saling berhubungan, saling bekerja sama umak
suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Pancasila sebagai sistem etika, bertujuan untuk mewujudkan nilai-nila Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Etika yang dijiwai nilai-nilai sila-sila Pancasila merupakan etika Pancasila,


yang meliputi:

a. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakabEtika
yang berlandaskan pada kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuh Yang Maha Esa.

b. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan
etika yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

c. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Persatuan Indonesia, merupakan etika yang
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

d. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, merupakan etika yang menghargai kedudukan,hak
dan kewajiban warga masyarakat/warganegara, sehingga tidak memaksakan
pendapat dan kehendak kepada orang lain.
e. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
merupakan etika yang menuntun manusia untuk mengembangkan Sikap adil
terhadap sesama manusia, mengembangkan perbuatan-perbuatan Luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-Royongan.

B. Pancasila sebagai Etika Politik dan Nilai-nilai yang Terkandung di


Dalamnya

1. Pancasila sebagai Etika Politik

Berdasarkan Ketetapan MPRRI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan


Berbangsa, bahwa etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujud-
kan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana
politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab,
tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam
persaingan,kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam
kehidupan berbangsa.

Pancasila sebagai etika politik, menurut pendapat Oesman dan Alfian (1991:
19) memberikan salah satu ukuran bahwa bilamana keputusan-keputusan politik
atau kebijaksanaan-kebijaksanaan baru yang diambil berhasil memper- kecil
kesenjangan antara ideologi dengan realita kehidupan masyarakat yang terus
berkembang, maka itu berarti bahwa Pancasila telah betul-betul mem- budaya dan
diamalkan. Hal ini tentunya dalam arti bahwa kebijaksanaan- kebijaksanaan baru
itu sekaligus tercermin pula penjabaran lebih lanjut dari Pancasila dan UUD 1945.

Salam (1997:116) secara lebih tegas menyimpulkan bahwa siapa saja yang
mau bertugas mengurus kepentingan masyarakat, menurut ajaran Pancasila
hendaknya mempersiapkan diri dan melatih diri untuk:

a.mematuhi perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya

b. Belajar dan membiasakan diri mencintai sesama manusia

c. menanamkan kesadaran dan rasa cinta kepada tanah air, bangsa dan negara
d. Melatih dan membiasakan diri hidup, bergaul dan bersikap demokratis

e.melatih dan membiasakan diri bersikap adil, berjiwa sosial dan kemasyarakatan.

2. Nilal-allal yang Terkandung di Dalam Pancasila

Alfian (1991: 192-193) menegaskan bahwa suatu ideologi perlu mengandung tiga
dimensi penting di dalam dirinya agar ia dapat memelihara relevansinya yang
tinggi kuat terhadap perkembangan aspirasi masyarakatnya dan tuntutan manusia.
Ketiga dimensi itu ialah dimensi realita, dimensi Idealisme dan dimensi
fleksibilitas (pengembangan).

Ditinjau dari segi dimensi realita, ideologi itu mengandung makna bahwa
nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam dirinya bersumber dari nilai- nilai yang
riil hidup di dalam masyarakatnya, terutama pada waktu ideologi tersebut lahir,
sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar
itu adalah milik mereka bersama. Dengan begitu nilai-nilai dasar ideologi itu
tertanam dan berakar di dalam masyarakatnya. Para perumus, penggali Pancasila
berhasil menemukan dan merumuskan lima nilai dasar yang ada di dalam
masyarakatnya menjadi ideologi bersama yakni Pancasila .

Sifat kekeluargaan, kegotongroyongan atau kebersamaan itu direkat dan


dijiwai dengan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rasa
perikemanusiaan, semangat persatuan, suasana musyawarah mufakat, dan rasa
keadilan sosial. Itulah lima nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang
dianggap hakiki dan dirasakan riil dalam kehidupan masyarakat kita.

Dilihat dari dimensi idealisme, suatu ideologi perlu mengandung cita- cita
yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi yang
dihayati suatu masyarakat atau bangsa mengetahui ke arah mana mereka ingin
membangun kehidupan bersama mereka.

Dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan hanya mungkin Dimiliki


secara wajar dan sehat oleh suatu ideologi yang terbuka atau ideologi Yang
demokratis.
C. Menerapkan Etika dalam Kehidupan Profesi, Kemasyarakatan,
Kenegaraan dan Memberikan Evaluasi Kritis terhadap Penerapan Etika

1. Menerapkan Etika dalam Kehidupan Profesi

Profesi dapat diartikan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian
(expertise) dari para anggotanya. Artinya, ia tidak bisa dilakukan oleh semba-
rang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan
pekerjaan itu (Satori, et al, 2001: 1.3).

Good (dalam Samana 1994: 27) menjelaskan bahwa pekerjaan yang


berkualifikasi professional memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: (1) memerlukan
persiapan atau pendidikan khusus bagi calon pelakunya (membutuhkan pendi-
dikan pra-jabatan yang relevan), (2) kecakapan seorang pekerja professional
dituntut memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang
berwewenang (misalnya: organisasi professional, konsorsium, dan pemerintah).
(3) jabatan professional tersebut mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan
atau negara (dengan segala civil effect-nya).Menurut Salam (1997:143-144)
terdapat tiga prinsip dalam etika Profesi, yaitu:

a. Tanggung jawab, bahwa setiap orang yang mempunyai profesi diharapkan


selalu memiliki sikap bertanggung jawab dalam dua arah, yaitu (1) terhadap
Pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya; (2) terhadap dampak dari Profesi
itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.

b. Keadilan, menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya. Di samping itu dalam menjalankan profesinya setiap orang profesional
tidak dibenarkan melanggar hak orang lain atau pihak lain, lembaga atau negara.

C. Otonomi, prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan
diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya. Di satu pihak, seorang
profesional memiliki kode etik profesinya. Tetapi ia tetap memiliki kebebasan
dalam mengemban profesinya, termasuk dalam mewujudkan kode etik profesinya
itu dalam situasi konkret.
Dasar-dasar pengembangan etika profesi birokrasi diatur di dalam Undang-
undang No.8/1974, tentang pokok-pokok kepegawaian, antara lain:

a. Pasal 3: Pegawai negeri adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara dan Abdi
Masyarakat yang dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD
1945 dan negara menyelenggarakan tugas pemerintahan dan Pembangunan;

b. Pasal 4: Setiap pegawai negeri wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila,
UUD 1945. Negara dan Pemerintah;

c. Pasal 5: Setiap warganegara wajib mentaati segala peraturan perundang-


Undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang Dipercayakan
kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung Jawab:

d. Pasal 6 ayat (1): Setiap pegawai negeri wajib menyimpan rahasia jabatan.

Pasal 6 ayat (2) Pegawai negeri hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan
kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa undang-undang.

2. Menerapkan Etika dalam Kehidupan Kemasyarakatan

Secara kodrat manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu. Dalam
kehidupannya senantiasa hidup bersama dalam masyarakat. Dalam kehidupan
bersama di masyarakat diharapkan masing-masing anggota masyarakat tetap
mengindahkan etika dalam kehidupan bermasyarakat, seperti:

a.Mengindahkan norma atau peraturan yang ada di masyarakat,

b. Menjalin kerja sama antar anggota masyarakat untuk memajukan kemajuan


masyarakat,

c. Saling menghargai dan menghormati sesama anggota masyarakat,

d.Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kehidupan bersama dalam


masyarakat, dll.

3. Menerapkan Etika dalam Kehidupan Kenegaraan


Dalam kehidupan kenegaraan, masing-masing warganegara memiliki hak asasi
dan kewajiban asasi. Secara garis besar, hak asasi warga negara yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 adalah:

a. Sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan
UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan. Berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga
negara berhak atas Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

b. Ikut serta dalam upaya pembelaan negara, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat
(3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.

c. Hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan


lisan dan tulisan, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.

d. Hak untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut


Agamanya dan kepercayaannya. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat
(2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk Agamnya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan Kepercayaannya itu.

e. Hak untuk mendapatkan pendidikan, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1):
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

f. Memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, sesuai dengan UUD


1945 Pasal 32 ayat (1): Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

g. Hak khusus fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1): fakir miskin dan anak-anak telantar
dipelihara oleh negara.
Warga negara juga memiliki kewajiban, yang harus dilaksanakan. Kewajiban
warga negara Indonesia secara garis besar yang diatur dalam UUD 1945 adalah:

a. Taat kepada hukum dan pemerintahan, sebagaimana disebutkan pada UUD 1945
pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

b. Ikut serta dalam upaya pembelaan negara, sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 ayat
(3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.

c. Ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, sesuai dengan UUD
1945 Pasal 30 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.

d. . Mengikuti pendidikan dasar, sebagaimana di sebutkan dalam UUD 1945 Pasal


31 Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.

Warganegara yang baik, dalam kehidupan bernegara hendaknya


Menerapkan sikap-sikap yang positif antara lain:

a) Meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan


golongan

b) Lebih mendahulukan kewajiban asasi daripada menuntut hak asasi.

c) Menyeimbangkan antara kewajiban asasi dengan hak asasi

d) Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan umum

e) Lebih mencintai produk dalam negeri daripada produk dari luar negeri.

f) Bangga sebagai bangsa Indonesia

g) Membina persatuan dan kesatuan bangsa, dll.

4. Memberikan Evaluasi Kritis terhadap Penerapan Etika


Sejak tejadinya krisis multidimensional, muncul ancaman yang serius
terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika
kehidupan berbangsa. Hal ini tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan
berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya
kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap
ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh berbagai
faktor baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Faktor yang berasal dari dalam negeri antara lain:

a. Masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya


Pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta tidak
harmonisnya pola interaksi antar umat beragama

b. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan


terjadinya penumpukan kekuasaan di Pusat dan pengabaian terhadap
Kepentingan daerah dan timbulnya fanatisme kedaerahan
c. Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan
Kemajemukan dalam kehidupan berbangsa

d. terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun


waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara
sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi
yang bertentangan dengan moralitas dan etika

Faktor-faktor yang berasal dari luar negeri antara lain:

a. Pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dengan persaingan


antar bangsa yang semakin tajam.

b. Makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan


Kebijakan nasional.

Anda mungkin juga menyukai