Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Natasya Zulfa
(2205500)
2B PGSD
KAMPUS DI PURWAKARTA
2023
A. Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1) Secara material-substansial dan intrinsik nilai Pancasila adalah filosofis: misal hakikat
Kemanusiaan yang adil dan beradab, apalagi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
metafisis/filosofis.
4) Secara psikologis dan kultural, bangsa dan budaya Indonesia sederajat dengan bangsa dan
budaya manapun. Karenanya, wajar bangsa Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain
(Cina, India, Arab, Eropa) mewarisi sistem filsafat dalam budayanya. Jadi, Pancasila
adalah filsafat yang diwarisi dalam budaya Indonesia.
5) Secara potensial, filsafat Pancasila akan berkembang bersama dinamika budaya; filsafat
Pancasila akan berkembang secara konsepsional, kaya konsepsional dan kepustakaan
secara kuantitas dan kualitas. Filsafat Pancasila merupakan bagian dari khasanah dan
filsafat yang ada dalam kepustakaan dan peradaban modern.
Menurut Notonagoro (1983:60) bahwa di antara lima sila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
yang paling sulit, karena merupakan sila yang paling banyak menjadi persoalan. Memang
di dunia ini terdapat pendirian dan kepercayaan yang mengenai ketuhanan, lebih-lebih
mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa. yang sangat berlain-lainan, begitu pula
keadaannya di negara Indonesia. Maka dari itu dapat dipertanggungjawabkan untuk
mengajukan suatu pendapat tentang isi arti sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak
terikat kepada bentuk Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertentu, akan tetapi tidak
memperkosa inti dari arti dan istilah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan lain
perkataan batas-batas dari isi-intinya harus cukup luas untuk dapat menempatkan semua
agama dan kepercayaan di dalamnya.
Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing- masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya. Dalam melaksanakan kemerdekaan beragama ini negara
menghendaki adanya toleransi dari para pemeluk agama, sehingga tidak akan
membenarkan adanya pemaksaan suatu agama kepada orang lain. Pemerintah juga harus
selalu membimbing dan mengarahkan segenap warganegara dan penduduk untuk selalu
mengamalkan ajaran agama yang dipeluknya, serta memberikan kebebasan kepada setiap
penduduk Indonesia untuk mengembangkan agamanya tanpa mengganggu hak dan
kebebasan pemeluk agama lainnya (Effendi, 1995: 39)
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan
diyakininya, maka dikembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan itu kepada orang lain.
Negara tidak memaksa agama atau suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sebab agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan
hingga tidak dapat dipaksakan. Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
sendiri tidak memaksa kepada manusia untuk memeluk dan menganutnya.
Dengan sila Kemanusiaan yang adil dan berndab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama
derajatnya, yang sama hak dan kewajiban- kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan
suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit
dan sebagainya. Karena itu dikembangkau sikap saling mencintai sesama manusia sikap
tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan,
gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan
keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sede- rajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-
menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, memberikan pedoman kepada Bangsa
Indonesia untuk mengamalkan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai berikut:
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, keperca- yaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Sila kedua ini menghendaki agar negara mengakui adanya hak dan kewajiban yang sama
pada setiap warga negara Indonesia, dan mengharuskan kepada negara untuk
memperlakukan manusia Indonesia dan manusia lainnya secara adil dan tidak sewenang-
wenang. Di samping itu negara harus menjamin setiap warganegaranya untuk
mendapatkan kedudukan hukum dan pemerintahan yang sama, serta membebani
kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Negara wajib menciptakan
suasana kehidupan masyarakat yang berbudi luhur sesuai dengan harkat dan martabat
manusia (Effendi, 1995:39).
Bung Karno ketika berpidato di depan sidang pertama BPUPKI tanggal! Juni 1945
menguraikan tentang makna Kebangsaan Indonesia, bahwa bangsa Indonesia, natie
Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan "le desir d'entre
ensemble" di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau
Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut
geopolitik yang telah ditentukan Allah Swt, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai Irian! Seluruhnya! (Ana, Singgih Hawibowo, dan
Agus Wahyudi, 2006: 105).
Menurut Notonagoro (1983: 65) inti sila Persatuan Indonesia dapat dirumuskan,
kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat dan bangsa,
menghidup-hidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan
kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan yang mungkin
mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan
perpecahan atas dasar kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang
sewajarnya, lagi pula dengan kesediaan, kecakapan dan usaha untuk sedapat-dapatnya
melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan, mungkin menurut pedoman-pedoman
majemuk tunggal bagi pengertian kebangsaan.
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara apabila diperlukan.
Inti prinsip sila keempat menurut Notonagoro (1983: 66) adalah kebebasan dan
kekuasaan rakyat di dalam lapangan kenegaraan, atas dasar tri Tunggal, yaitu "Negara
dari rakyat, bagi rakyat dan oleh rakyat".
Ekaprasetya Pancakarsa/P4 memberikan pedoman tentang inti sila Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa- ratan/ perwakilan adalah
sebagai berikut: (1) manusia Indonesia sebagai warganegara dan warga masyarakat
Indonesia mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama; (2) dalam menggunakan
hak-haknya harus menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan negara dan kepentingan masyarakat; (3) tidak boleh ada suatu kehendak
yang dipaksakan kepada pihak lain; (4) untuk mengambil keputusan yang menyangkut
kepentingan bersama, terlebih dahulu harus diadakan musya- warah; (5) keputusan
diusahakan secara mufakat; (6) musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh
suasana kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia; (7) menghormati dan
menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah; (8) menerima dan melaksanakan
hasil musyawarah dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab, (9) lebih mengutamakan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan; (10) musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (11) keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa; (12) hasil keputusan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan; (13) hasil keputusan harus mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Menurut Ekaprasetya Pancakarsa, Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga
mengandung inti bahwa sebagai manusia Indonesia hendaknya (1) menyadari hak dan
kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia; (2)
mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan; (3) mengembangkan sikap adil terhadap sesama;
(4) menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; (5) menghormati hak-hak orang
lain; (6) suka memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan agar dapat
berdiri sendiri; (7) tidak menggunakan hak miliknya untuk usaha-usaha yang bersifat
pemerasan terhadap orang lain juga tidak untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan
bergaya hidup mewah serta perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan atau merugikan
kepen- tingan umum; (8) sikap suka bekerja keras; (9) sikap menghargai hasil karya
orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama; (10)
mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
B. Pancasila sebagai Ideologi Negara
Ideologi berasal dari kata 'idea' dari bahasa Yunani 'eidos", yang berarti
gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita' dan logos yang berarti ilmu. Kata
"eidos" berasal dari bahasa Yunani yang artinya bentuk. Ada lagi kata "idein"
yang artinya melihat. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan ilmu pengetahuan
tentang ide-ide (the science of ideas) atau ajaran tentang pengertian-pengertian
dasar (Ma'mur, 2005: 1-2).
Ideologi juga dapat diartikan suatu gagasan yang berdasarkan ide tertentu
(Darmodiharjo, 1984: 47-48). Apabila ada suatu menjadi pedoman bagi suatu
tindakan tertentu, hal ini disebut ideologi. suatu gagasan yang merupakan suatu
pedoman aksi biasanya dich Ideologi. Ideologi telah merupakan rangkuman
gagasan. Pada ideologi erat kaitannya dengan politik sehingga sering kita dengar
dan ideologi politik. Erat hubungannya dengan politik ini adalah nasional,
ideologi bangsa.
Menurut Wibisono (dalam Pasha, 2003: 138) bahwa unsur ideologi ada
tiga, yaitu (a) keyakinan, dalam arti bahwa setiap ideologi selalu menunjuk
adanya gagasan-gagasan vital yang sudah diyakini kebenarannya untuk dijadikan
dasar dan arah strategik bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan; (b) mitos,
dalam arti bahwa setiap konsep ideologi selalu memitoskan suatu ajaran yang
secara optimik dan determistik pasti akan menjamin tercapainya tujuan melalui
cara-cara yang telah ditentukan pula; (c) loyalitas, dalam arti bahwa setiap
ideologi selalu menuntut keterlibatan optimal atas dasar loyalitas dari para subjek
pendukungnya.
Menurut Oesman dan Alfian (1991: 6), bahwa bagi suatu bangsa dan
negara ideologi adalah wawasan, pandangan hidup atau falsafah kebangsaan dan
kenegaraannya. Oleh karena itu, ideologi mereka menjawab secara meyakinkan
pertanyaan mengapa dan untuk apa mereka menjadi satu bangsa dan mendirikan
negara. Sejalan dengan itu ideologi adalah landasan dan sekaligus tujuan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mereka dengan berbagai
dimensinya. Sebagai ideologi nasional Pancasila mengandung sifat itu.
Berdasarkan situasi bangsa yang demikian, maka masalah pokok yang pertama-
tama harus diatasi pada masa awal kemerdekaan adalah bagaimana menggalang
persatuan dan kekuatan bangsa yang sangat dibutuhkan untuk mengawali
penyelenggaraan negara. Dengan perkataan lain Nation and Character Building
merupakan prasyarat dan tugas utama yang harus dilaksanakan. Dalam konteks
politik inilah Pancasila diper- sepsikan sebagai ideologi persatuan. Pancasila
diharapkan mampu memberikan jaminan akan terwujudnya misi politik itu karena
merupakan hasil rujukan nasional, dimana masing-masing kekuatan sosial masya-
rakat merasa terikat dan ikut bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan
negaranya. Dengan demikian Pancasila berfungsi pula sebagai acuan bersama,
baik dalam memecahkan perbedaan serta pertentangan politik di antara golongan
dan kekuatan politik, maupun dalam memagari seluruh unsur dan kekuatan politik
untuk bermain di dalam lapangan yang disediakan oleh Pancasila dan tidak
melanggar dengan keluar pagar (Poespowardojo, 1991: 52).
Pancasila bukan saja berfungsi sebagai pagar atau wasit dalam percaturan politik,
melainkan memberikan orientasi dalam pembangunan, wawasan ke depan dengan
konsep-konsep yang secara substansial dieksplisitasikan dari nilai-nilai dasar dari
lima sila.
Menurut Husodo (2006-16) keberhasilan Pancasila sebagai suatu ideologi, akan
diukur dari terwujudnya kemajuan yang pesat, kesejah- teraan yang tinggi, dan
persatuan yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia. Negara kita yang belum
mampu meningkatkan kualitas hidup rakyat, telah pula menjadi penyebab
merosotnya kepercayaan sebagian masyarakat pada ideologi negara Pancasila.
Karena di waktu yang lalu, Pancasila melalui penataran P4 juga dianggap telah
digunakan untuk melestarikan kekuasaan, maka runtuhnya kekuasaan telah pula
menurunkan kepercayaan sebagian masyarakat pada Pancasila.
Menurut Alfian (1991, 192) kekuatan suatu ideologi tergantung pada kualitas
tiga dimensi yang dimiliki oleh ideologi itu sendiri, yakni:
Dimensi kedua adalah dimensi etis. Ciri ini menunjukkan bahwa dalam Pancasila
manusia dan martabat manusia kedudukan yang sentral Seluruh proses
pembangunan diarahkan untuk mengangkat derajat manusia, melalui penciptaan
mutu kehidupan yang manusiawi, Ini berarti bahwa pembangunan, yang
manusiawi harus mewujudkan keadilan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan. Di lain pihak manusia pun dituntut untuk bertanggung jawab atas
usaha dan pilihan yang ditentukannya. Dimensi etis menuntut pembangunan yang
bertanggung jawab.
Sesuai dengan semangat yang terbaca dalam Pembukaan UUD 1945, Ideologi
Pancasila yang merupakan dasar negara itu berfungsi dalam menggambarkan
tujuan negara RI maupun dalam proses pencapaian tujuan negara tersebut. Ini
berarti bahwa tujuan negara yang secara material dirumuskan sebagai "melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial" harus mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang adil
dan makmur dan sejahtera sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula proses pencapaian tujuan tersebut dan perwujudannya melalui
perencanaan, kebijaksanaan dan keputusan politik harus tetap memperhatikan dan
bahkan Pancasila ((Poespowardojo, 1991:45-46).
1. Pengertian Etika
Bahwa etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakuka oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat
Secara garis besar etika dibagi menjadi dua, yaitu etika umum dan etika
khusus (Salam, 1997:7). Etika umum membicarakan mengenai kondisi-kondisi
dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil
keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi
pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik atau
buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu
pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
Sedangkan etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus
Untuk membentuk suatu kehidupan bernegara, berpolitik yang baik, dalam arti
Makmur, tenteram dan sejahtera.
e. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku
politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik
serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatip berbagai tindakan
yang tidak terpuji lainnya.
a. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakabEtika
yang berlandaskan pada kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuh Yang Maha Esa.
b. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan
etika yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
c. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Persatuan Indonesia, merupakan etika yang
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
d. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, merupakan etika yang menghargai kedudukan,hak
dan kewajiban warga masyarakat/warganegara, sehingga tidak memaksakan
pendapat dan kehendak kepada orang lain.
e. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
merupakan etika yang menuntun manusia untuk mengembangkan Sikap adil
terhadap sesama manusia, mengembangkan perbuatan-perbuatan Luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-Royongan.
Pancasila sebagai etika politik, menurut pendapat Oesman dan Alfian (1991:
19) memberikan salah satu ukuran bahwa bilamana keputusan-keputusan politik
atau kebijaksanaan-kebijaksanaan baru yang diambil berhasil memper- kecil
kesenjangan antara ideologi dengan realita kehidupan masyarakat yang terus
berkembang, maka itu berarti bahwa Pancasila telah betul-betul mem- budaya dan
diamalkan. Hal ini tentunya dalam arti bahwa kebijaksanaan- kebijaksanaan baru
itu sekaligus tercermin pula penjabaran lebih lanjut dari Pancasila dan UUD 1945.
Salam (1997:116) secara lebih tegas menyimpulkan bahwa siapa saja yang
mau bertugas mengurus kepentingan masyarakat, menurut ajaran Pancasila
hendaknya mempersiapkan diri dan melatih diri untuk:
c. menanamkan kesadaran dan rasa cinta kepada tanah air, bangsa dan negara
d. Melatih dan membiasakan diri hidup, bergaul dan bersikap demokratis
e.melatih dan membiasakan diri bersikap adil, berjiwa sosial dan kemasyarakatan.
Alfian (1991: 192-193) menegaskan bahwa suatu ideologi perlu mengandung tiga
dimensi penting di dalam dirinya agar ia dapat memelihara relevansinya yang
tinggi kuat terhadap perkembangan aspirasi masyarakatnya dan tuntutan manusia.
Ketiga dimensi itu ialah dimensi realita, dimensi Idealisme dan dimensi
fleksibilitas (pengembangan).
Ditinjau dari segi dimensi realita, ideologi itu mengandung makna bahwa
nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam dirinya bersumber dari nilai- nilai yang
riil hidup di dalam masyarakatnya, terutama pada waktu ideologi tersebut lahir,
sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar
itu adalah milik mereka bersama. Dengan begitu nilai-nilai dasar ideologi itu
tertanam dan berakar di dalam masyarakatnya. Para perumus, penggali Pancasila
berhasil menemukan dan merumuskan lima nilai dasar yang ada di dalam
masyarakatnya menjadi ideologi bersama yakni Pancasila .
Dilihat dari dimensi idealisme, suatu ideologi perlu mengandung cita- cita
yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi yang
dihayati suatu masyarakat atau bangsa mengetahui ke arah mana mereka ingin
membangun kehidupan bersama mereka.
Profesi dapat diartikan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian
(expertise) dari para anggotanya. Artinya, ia tidak bisa dilakukan oleh semba-
rang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan
pekerjaan itu (Satori, et al, 2001: 1.3).
b. Keadilan, menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya. Di samping itu dalam menjalankan profesinya setiap orang profesional
tidak dibenarkan melanggar hak orang lain atau pihak lain, lembaga atau negara.
C. Otonomi, prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan
diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya. Di satu pihak, seorang
profesional memiliki kode etik profesinya. Tetapi ia tetap memiliki kebebasan
dalam mengemban profesinya, termasuk dalam mewujudkan kode etik profesinya
itu dalam situasi konkret.
Dasar-dasar pengembangan etika profesi birokrasi diatur di dalam Undang-
undang No.8/1974, tentang pokok-pokok kepegawaian, antara lain:
a. Pasal 3: Pegawai negeri adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara dan Abdi
Masyarakat yang dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD
1945 dan negara menyelenggarakan tugas pemerintahan dan Pembangunan;
b. Pasal 4: Setiap pegawai negeri wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila,
UUD 1945. Negara dan Pemerintah;
d. Pasal 6 ayat (1): Setiap pegawai negeri wajib menyimpan rahasia jabatan.
Pasal 6 ayat (2) Pegawai negeri hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan
kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa undang-undang.
Secara kodrat manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu. Dalam
kehidupannya senantiasa hidup bersama dalam masyarakat. Dalam kehidupan
bersama di masyarakat diharapkan masing-masing anggota masyarakat tetap
mengindahkan etika dalam kehidupan bermasyarakat, seperti:
a. Sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan
UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan. Berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga
negara berhak atas Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
b. Ikut serta dalam upaya pembelaan negara, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat
(3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
e. Hak untuk mendapatkan pendidikan, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1):
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
g. Hak khusus fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1): fakir miskin dan anak-anak telantar
dipelihara oleh negara.
Warga negara juga memiliki kewajiban, yang harus dilaksanakan. Kewajiban
warga negara Indonesia secara garis besar yang diatur dalam UUD 1945 adalah:
a. Taat kepada hukum dan pemerintahan, sebagaimana disebutkan pada UUD 1945
pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
b. Ikut serta dalam upaya pembelaan negara, sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 ayat
(3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
c. Ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, sesuai dengan UUD
1945 Pasal 30 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.
e) Lebih mencintai produk dalam negeri daripada produk dari luar negeri.