Anda di halaman 1dari 6

TOLERANSI : KESETARAAN DALAM KEBERAGAMAN

Karya ini Disusun untuk mengikuti Lomba Esai Nasional FLSN 2017

“Membangun Generasi Abad 21”

Disusun oleh :

FEBRI TORY

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI
BUKITTINGGI
2017
Toleransi : Kesetaraan Atas Keberagaman

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan segudang


keberagaman. Sebagai salah satu dari sekitar 253 juta penduduk Indonesia, sudah
seharusnya saya mengenal dekat negeri ini. Negeri yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke dengan berbagai ciri khas yang dimiliki mulai dari suku, ras, agama, adat dan
tradisi. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam mengenali negeri ini, karena kita tahu di sini
kita tidak berdiri sendiri.
Mengawali alas kata “kesetaraan” merupakan modal kemitraan manusia untuk dianggap
sama dengan yang manusia lain. Dapat diistilahkan dengan duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi. Jika terjadi ketimpangan kesetaraan maka akan menimbulkan protes yang
berpotensi konflik. Inilah yang terjadi dengan negeri tercinta kita, di mana penerapan
kesetaraan belum menginjak permasalahan inti di masyarakat termasuk pada masyarakat di
ibu kota. Menurut Anies, belum ada keadilan yang merata untuk rakyat Jakarta. Rakyat
Jakarta, masih banyak ketimpangan. Rakyat Jakarta saat ini terkotak-kotak, ada sekat-sekat
yang menjadi jurang pemisah. Seharusnya, kata Anies, gubernur berperan untuk
menjembatani antar-kelompok supaya tidak ada lagi ketimpangan saat debat pemilukada
pada tanggal 11 April yang lalu. Belum lagi mempermasalahkan keberagaman dalam
bermasyarakat. Sehingga wajar negeri Indonesia masih diselimuti konflik untuk
mendapatkan kesetaraan.
Tak ada kata berhenti dalam membahas toleransi atas keberagaman. Manusia sendiri
melalui agama yang dianutnya pada umumnya meyakini bahwa Tuhan sengaja
menciptakan manusia yang berjenis-jenis, baik fisik maupun sfatnya. Meskipun diciptakan
berjenis-jenis fisik dan sifatnya, derajat manusia di mata Tuhan adalah sama, oleh karena
1
itu, tidak dibenarkan kalau ada (kelompok) manusia yang lain. Dalam QS. Al-
Hujurat/49 :13 difirmankan, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-

1
Magdalena Pranata Santoso, Filsafat Agama Edisi 2, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) hal.123

1
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenali. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Teliti”.
Dewasa ini, toleransi yang berasal dari bhineka tunggal ika, terasa lenyap dan tak
bernafas lagi. Banyak yang di antara kita yang sudah tidak peduli dengan menjaga keutuhan
NKRI. Namun yang lebih menyedihkan lagi, “apa yang terjadi sekarang adalah agama
sebagai alat, dan saya kira itu yang harus di cegah. Tanggung jawab pemimpin-pemimpin
Indonesia melakukan pencegahan tersebut” ujar Sidney Jones, pakar keamanan dan konflik
Asia Tenggara. Indonesia pun dikejutkan dengan masalah penistaan agama oleh Ahok.
Bermula dari beredarnya video berjudul “Ahok :Anda dibohongi Al Qur’an surat Al
Maidah 51” yang viral di facebook ataupun twitter pada 2016 lalu, menjadi kasus utama
dengan rentetan kontraversi se-Indonesia. Tidakkah ini semua menggugah kesadaran
kita ?!

Gambar 1. Salah satu aksi masyarakat muslim terhadap Ahok (Aksi Damai 31/3, di
Monas, Jakarta), Sumber : http://www.metropolitan.id/2017/03/waspadai-penyusup-di-
aksi-damai-313/
Bahwa perbedaan itu menjadi lebih serius lagi jika menyangkut politik. Adanya campur
tangan dari orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang dan mementingkan diri sendiri.
Maka berbicara tentang kesatuan masyarakat yang dibalut dengan toleransi masih amat
susah, melebihi sulitnya mencari sehelai jerami di tumpukan paku. Kesulitan itu lebih

2
terasa lagi, oleh karena elitenya sendiri belum tampak ada kesadaran betapa pentingnya
kesatuan itu.
Dalam pen-takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara maritim yang
masyarakatnya bersifat majemuk, pemerintah dan masyarakat Indonesia masih harus
belajar banyak dari sejarah perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola
kemajemukan tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Masyarakat
majemuk yang tersusun oleh kelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta tradisi
budaya-nya itu, tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di
masa mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat
mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation state), jika dinamika kemajemukan
sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik. 2
Dan dilihat dari hakikat sejarah Indonesia. Pemuda dikenal sebagai aktor penting.
Semua ini berawal oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo melalui sebuah lembaga “Studie Fonds”
yang berusaha mengumpulkan dana untuk membiayai pemuda-pemuda yang cakap tapi
tidak mampu membiayai sekolahnya. Di antara mereka itu kemudian dikenal dengan nama
Dr. Sutomo dan Dr. Gunawan Mangunkusumo. Dalam rangka mewujudkan ide
mengangkat derajat bangsa itu kedua mahasiswa dalam suatu wadah yang disebut “Budi
Utomo” pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional
Indonesia.
Peran pemuda semakin dirasakan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari lahir
Negara Indonesia dalam meraih Kemerdekaannya dengan dibantu peristiwa
Rengasdengklok. Peran pemuda hingga saat ini dan seterusnya sangat diperlukan dalam
Negeri ini sebagai agen perubahan dalam membangun Indonesia dengan kata yang lebih
baik. Namun, upaya yang harus diwujudkan dalam pembentukan pemuda “BERKAT”
(Berbakat dan Berkarakter) memantapkan diri dengan Wawasan kebangsaan, Fondasi
Agama, dan Bakat Kepemimpinan.

2
Rusmin Tumanggor, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar Edisi Revisi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010) hal 127

3
Wawasan Kebangsaan, didapatkan dalam usaha membela negara dengan membentuk
karakter bangsa agar tidak lunturnya rasa cinta tanah air karena lunturnya toleransi atas
keberagaman akibat modernitas dan globalisasi. Fondasi Agama, diperlukan dalam
membentengi diri dari hal yang berusaha untuk merusak diri dan pembangunan karakter
moral berkehidupan seperti ajaran islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits. Serta,
Bakat Kepemimpinan, sebagai usaha membangkitkan semangat membangun Indonesia.
Ketiga upaya ini saling kait-mengkait dalam proses penerapan pendidikan.
Keberagaman dalam konteks Nusantara menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan
konsep integrasi nasional dengan rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya Bhina : pecah,
ika : itu, Tunggal : satu, sehingga Bhineka Tunggal Ika artinya “Walaupun Berbeda-beda
Tetap Satu”. Dengan menyebut Pancasila sebagai Dasar Negara, Di mana sila pertama
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, maka rasanya bangsa ini secara jelas dan tegas telah
memposisikan agama pada tempat yang sangat strategis dalam membangun bangsa ini.
Bahkan sesungguhnya, sila-sila selanjutnya dari pancasila, masing-masing agama. Semua
agama juga mengajarkan tentang kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan juga keadilan.
Jika sampai disini bisa dipahami dan disepakati, maka tatkala bangsa ini ingin membangun
dirinya menuju cita-cita yang dikehendaki yaitu masyarakat yang makmur, sejahtera, adil,
dan damai. Mengapa tidak kembali melihat isi kitab suci masing-masing agama. Jika agama
benar-benar dipandang sebagai pedoman, penjelas tentang kehidupan ini. Bukan sebatas
pada pedoman ritual dan spiritualnya belaka.3
Kesatuan selalu menjadi tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyatukan
seluruh unsur yang berbeda pada setiap orang, bukan berarti berusaha menyeragamkan
karena itu perbuatan yang sia-sia. Dalam perjalanan menuju persatuan ini kita mulai
mencari dan berusaha untuk mendapatkan pemahaman yang sesungguhnya dari arti
persatuan. Berdiri dengan perbedaan yang ada, saling memegang tangan menjaga keutuhan
NKRI.

3
Imam Suprayogo, Spirit Islam, ( Malang, UIN Maliki Press, 2012) hal 57

4
REFERENSI :

Tim Kodim 03/04 Agam, 2017, Wawasan Kebangsaan dan Pembelaan NKRI, Seminar
dipresentasikan pada MoU dan Penyuluhan, April 12, Bukittinggi
Tumanggor, Rusmin, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar Edisi Revisi, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010
Santoso, Magdalena Pranata, Filsafat Agama Edisi 2, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013

Suprayogo, Imam, Spirit Islam, Malang, UIN Maliki Press, 2012

IDENTITAS :

Nama : Febri Tory

Tempat Tanggal Lahir : Padang, 10 Februari 1998

Agama : Islam

Alamat : Komplek Perumahan SDLB Manggis Ganting

Kota : Bukittinggi, Sumatera Barat

Email : toryfebri@gmail.com

Nomor Hp : 085272938966

Anda mungkin juga menyukai