Anda di halaman 1dari 17

MENERAPKAN NILAI PANCASILA DALAM MEMBANGUN KEBERAGAMAN DI

ERA GLOBALISASI

1
DAFTAR ISI
Abstrak.................................................................................................................................... 3
Abstract................................................................................................................................... 3
BAB I..................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................................... 4
1. Latar Belakang Masalah...............................................................................................4
2. Rumusan Masalah........................................................................................................6
3. Metode Penelitian.........................................................................................................6
BAB II.................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN...................................................................................................................... 7
1. Pembahasan Kasus.......................................................................................................7
I. Pembakaran Vihara di Tanjungbalai........................................................................7
II. Pilkada Sumatera Utara Tahun 2018.....................................................................8
2. Solusi Kasus................................................................................................................. 9
I. Pembakaran Vihara di Tanjungbalai........................................................................9
II. Pilkada Sumatera Utara Tahun 2018...................................................................11
3. Cara Menumbuhkan Nilai Pancasila di Kalangan Anak Muda....................................12
BAB III................................................................................................................................. 16
PENUTUP............................................................................................................................ 16
1. Kesimpulan................................................................................................................16
2. Saran......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 17

2
Abstrak
Keberagaman di era globalisasi membuat adanya perpecahan diantara golongan yang berbeda
agama, suku, ras, dan budayanya. Hal ini membuat menjadikan masyarakat terpecah belah,
melawan satu sama lain, bahkan menghina satu sama lainnya. Perpecahan ini ditandai dengan
beberapa kasus di Indonesia, seperti pembakaran vihara di Tanjung Balai dan pilkada
Sumatera Utara di tahun 2018. Pembakaran vihara tersebut dilakukan oleh umat muslim
karena adanya keluhan dari budha yang terganggu oleh adanya pengeras masjid. Sedangkan
di pilkada Sumatera Utara tahun 2018, umat muslim menginginkan pemimpin yang
memimpin Sumatera Utara berasal dari daerahnya, sehingga tidak terpengaruh daerah lain.
Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan di bangku kuliah sangat penting untuk
mencegah hal-hal seperti itu terjadi di masa depan.

Kata kunci : keberagaman, perpecahan, pendidikan kewarganegaraan

Abstract

Diversity in the era of globalization has created divisions among groups of different
religions, ethnicities, races and cultures. This makes society divided, against each other,
even insulting each other. This split was marked by several cases in Indonesia, such as the
burning of the monastery in Tanjung Balai and the North Sumatra election in 2018. The
burning of the monastery was carried out by Muslims because of complaints from Buddhists
who were disturbed by the mosque's loudspeaker. Meanwhile, in the 2018 North Sumatra
election, Muslims want leaders who lead North Sumatra to come from their region, so that
they are not influenced by other regions. Therefore, citizenship education in college is very
important to prevent such things from happening in the future.

Keywords: diversity, division, civics education

3
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Keragaman budaya dan agama bukanlah merupakan hal yang asing lagi
terutama pada Bangsa Indonesia yang sudah sejak lama hidup berdampingan bersama
dengan keanekaragaman tersebut. Perbedaan mengajarkan Bangsa Indonesia untuk
hidup dengan penuh pemahaman dan toleransi agar dapat hidup damai dan
meminimalisir terjadinya konflik atau gesekan yang tidak perlu. Namun, bukan berarti
konflik atau gesekan tersebut dapat dengan penuh dihindari.
Upaya dalam meminimalisir konflik atau gesekan yang mungkin muncul
diwujudkan dalam suatu paham yang disebut sebagai Pancasila. Pancasila berisikan
lima anjungan yang juga dijadikan sebagai dasar filosofis Negara dan Bangsa
Indonesia. Bukan hanya sekadar sebagai filosofi bangsa dan negara, Pancasila juga
dijadikan dan diperuntukan sebagai pedoman hidup personal dan interpersonal
masyarakatnya serta panduan para pemimpin untuk membangun dan membina negara.
Poin utama dalam Pancasila yang akan menjadi bahasan dalam upaya
membangun kerukunan dalam keberagaman di era globalisasi ini adalah sila Pertama,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Bukan
lagi suatu rahasia jika perbedaan agama atau kepercayaan seringkali menjadi
penyebab konflik atau pertikaian di Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat
untuk menganalisa masalah dan penyebabnya serta solusi untuk menghadapi dan
menyelesaikan pertikaian dalam urusan agama dan kepercayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.
Pada tingkat Perguruan Tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan dimunculkan
dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Menurut pasal 3 Keputusan
Dirjen Dikti No.43 tahun 2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah
pengembangan kepribadian di perguruan tinggi mengungkapkan bahwa PKn
dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan
kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan
pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat
diandalkan oleh bangsa dan negara. Berdasarkan keputusan tersebut sifat dari mata
kuliah pendidikan keraganegaraan wajib menjadi bagian dalam kurikulum perguruan
tinggi. Tujuan mata kuliah. Pendidikan kewarganegaraan yakni membentuk

4
mahasiswa yang handal menjadi seorang profesioal atau ilmuwan yang
demokratis, cinta tanah air, dayasaing tinggi, disiplin, bertanggungjawab,
memiliki kontribusi membangun bangsa dalam bingkai keberagaman
berdasarkan nilai Pancasila.
Namun kenyataannya masih banyak pekanggaran kebebasan
beragaman/berkeyakinan (KBB) sepanjang tahun 2018 di Indonesia (Setara Institute,
2019). Lebih tepatnya ada 202 tindakan pelanggaran kebebasan
beragaman/berkeyakinan (KBB). Lunturnya solidaritas dan keberanian dalam
mengekspresikan perbedaan menjadi titik menguapnya intoleransi. Gerakan
tranasional yang anti Pancasila meskipun sudah dibubarkan ternyata masih
menjamur di kampus-kampus. Ada 9,2 % responden Indonesia setuju
menganti NKRI menjadi sistem khilafah (SMRC). Radikalisme mengantarkan
intoleransi dan terkikisnya nasionalisme warga negara. Berkembangnya paham yang
melunturkan nasionalisme dengan lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan
golongan di atas kepentingan bangsa masih menjadi catatan kelam keadaan sosial.
Berbagai gerkan penolakan sistem demokrasi sebagai sistem pemerintah
berjalan terstruktur dan masif. Paham tersebut tidak hanya tumbuh di
masyarakat, namun juga di kalangan mahasiswa dan pelajar. .Kondisi
keberagaman yang dialami bangsa Indonesia saat ini merupakan dampak adanya
kultur yang terus menerus (globalisasi). Kenyataan keberagaman ini rentan
konflik baik vertikal maupun horiontal. Olehkarenanya warga negara muda
Indonesia harus mempunyai kompetensi dan sikap untuk mampu berfikir,
mampu mendengarkan, kecakapan sosial, mampu mengungkapkan pendapat dan
pengendalian diri (Wahab & Sapriya , 2011: 207)
Globalisasi membuat dunia nampak kecil, jarak lebih pendek, peristiwa
disuatu tempat mudah tersebea luaskan. Globalisasi membawa tiga
kecenderungan yakni homogenisasi, hibridisasi dan perbedaan dalamaspek
kehidupan (Kalidjernih, 2011: 63). Homogenitas terjadi dengan ditandai
masayarakat. Indonesia secara luas menggunakan merk-merk barat meskipun tidak
asli. Hibridsasi berlangsung dengan adanya produk global yang diadaptasi
dan dimodifikasi oleh dan untuk kondisi lokal dengan kata lain percampuran
kultur dan gaya hidup. Kecenderungan globalisasi mengikis nilai-nilai luhur
bangsa. Hal ini ditandai dengan banyaknya generasi muda lebih menyukai
produk global, budaya asing dan busaya hedonisme. Pendidikan kewarganegaraan

5
di Indonesia memiliki misi pengembangan smart and good citizen. Pendidikan
kewarganegaraan dalam konteks paradigma baru memberi penekanan untuk
membentuk warga negara yang tidak hanya mengetahui hak dan
kewajiban. Namun lebih dari itu, membentuk warga negara yang cerdas
memiliki civic intellegences, civic responsibility dan civic participation salam
sebuah kebijakan publik.

2. Rumusan Masalah
1. Apa kasus yang terjadi akibat persoalan keberagaman di Indonesia?
2. Bagaimana solusi pemecahan masalah kasus atas tersebut?
3. Bagaimana cara menumbuhkan nilai pancasila di kalangan anak muda?

3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode Literature review. Literature review
adalah suatu metode penelitian yang merangkum hasil-hasil penelitian primer untuk
menyajikan fakta yang lebih komperhensif dan berimbang. Literature review ini
menggunakan metode PICO dalam menentukan kata kunci. Kata kunci yang
digunakan dalam mencari jurnal dalam Bahasa Indonesia yaitu “keberagaman,
masalah keberagaman, pentingnya pendidikan kewarganegaraan”. Sumber data base
dalam literature review ini adalah laman berita, jurnal sinta 3, dan google scholar.

6
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pembahasan Kasus
I. Pembakaran Vihara di Tanjungbalai
Kota Tanjungbalai merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi
Sumatra Utara. Kota Tanjungbalai berjarak 186 KM atau 5 jam waktu
perjalanan dari Ibu Kota Provinsi Sumatra Utara yaitu Kota Medan. Kota
Tanjungbalai merupakan kota dengan penduduk asli suku Melayu Deli.
Namun, berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Tanjungbalai pada tahun 2015, Suku Batak merupakan suku dengan
jumlah terbanyak di Kota Tanjungbalai, kemudian diikuti dengan Suku Jawa
dan Melayu Deli. Islam merupakan agama mayoritas pada Kota Tanjungbalai
dengan presentasi sebesar 84,67 %, kemudian diikuti Protestan dan Budha.
Berdasarkan data demografi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kota
Tanjungbalai merupakan sebuah kota yang sangat kaya akan keberagaman
suku dan agama. Berdasarkan Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB)
pada tahun 2019, Provinsi Sumatra Utara mendapatkan nilai 76,3 % . Sumatra
Utara menempati peringkat 10 pada peringkat indeks KUB. Hal tersebut
berarti Sumatra Utara merupakan salah satu provinsi dengan kerukunan
tertinggi di Indonesia. Keberagaman merupakan salah satu nilai yang dapat
menjadi daya tarik Kota Tanjungbalai namun, keberagaman tersebut juga
menybebakan besarnya potensi konflik pada masyarakat.
Salah satu konflik antar umat beragama pada Kota Tanjungbalai terjadi
pada tahun 2016, yaitu pembakaran Vihara oleh masyarakat setempat.
Pembakaran Vihara tersebut berawal dari seorang budha yang mengeluh
terakit pengeras suara masjid dilingkungan tempat ia tinggal. Permasalahan
tersebut sudah diselesaikan oleh Kepolisian setempat melalui metode mediasi
antara masyarakat Budha dan masyarakat Muslim pada lingkungan tersebut.
Namun, setelah mediasi telah dilakukan penduduk Muslim sekitar
mendapatkan pesan elektronik yang tidak diketahui sumbernya. Pesan
elektronik tersebut menyebutkan bahwa masyarakat Muslim sekitar tidak
diperbolehkan lagi untuk mengumandangkan adzan menggunakan pengeras
suara.

7
Pesan elektronik tersebut menyebar secara luas kepada para
masyarakat Muslim sehingga menyebabkan mereka kesal dengan isi pesan
elektronik tersebut dan kemudian mengambil langkah untuk bersama - sama
melakukan pembakaran terhadap Vihara karena mereka meyakini bahwa isi
pesan elektronik tersebut terpercaya dan disebabkan oleh masyarakat Budha
setempat. Setelah dilakukkan penelusuran, pesan tersebut hanya sebuah Hoax
dan disebarkan oleh pihak yang ingin merusak dan mengganggu keberagaman
yang selama ini telah dibangun oleh masyarakat Muslim dan Budha.
Pada era globalisasi, masyarakat dituntut agar lebih teliti dalam
menerima berita karena berita tersebut belum tentu ada benarnya. Oleh karena
itu masyarakat harus menyaring berita terlebih dahulu sebelum percaya akan
kebenaran berita tersebut.
II. Pilkada Sumatera Utara Tahun 2018
Politik identitas sering digunakan di Indonesia sebagai alat dalam
konstestasi politik yang diawali pada pemilihan presiden. Pada dasarnya
identitas dapat digunakan dan dimaknai secara positif maupun negatif, seperti
halnya terjadi pada pemilihan gubernur Sumatera Utara pada tahun 2018 yaitu
dengan pasangan calon nomor urut satu yaitu Edy Rahmayadi - Musa
Rajekshah dan pasangan calon nomor urut dua yaitu Djarot Saiful Hidayat -
Sihar Sitorus. Isu ini semakin besar salah satunya karena mantan wakil
gubernur DKI Jakarta pada saat Ahok menjabat yaitu Djarot, mencalonkan
dirinya menjadi gubernur di Sumatera Utara. Pencalonan Djarot tersebut
seakan membawa kasus politik identitas di DKI Jakarta yang sempat memanas
ke Sumatera Utara. Gejolak politik identitas di Sumatera Utara tersebut seperti
bias pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Selama kampanye, pasangan EdyMusa menunjukkan identitasnya
sebagai pasangan calon islami. Misalnya saat pasangan Edy-Musa melakukan
gerakan salat subuh berjamaah menjelang hari pencoblosan. Selain salat subuh
berjamaah, muncul Kongres Umat Islam (KUI) yang digelar di Medan pada
akhir Maret hingga awal April 2018 dan dihadiri sejumlah tokoh seperti
Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, hingga Gatot Nurmantyo. Hasil KUI
dirangkum dalam Piagam Umat Islam Sumatera Utara. Salah satu poin piagam
tersebut menyerukan untuk memilih pemimpin - gubernur, bupati, wali kota,

8
serta wakilnya - berdasarkan kriteria Alquran dan Sunnah, yakni pasangan
calon muslim - muslim.
Sejak debat putaran pertama pemilihan gubernur Sumatera Utara 2018,
Djarot-Sihar menonjolkan sisi keahliannya sebagai birokrat berpengalaman.
Pasangan calon tersebut kerap melontarkan sejumlah istilah khas birokrasi
yang jarang diketahui awam, bahkan pada salah satu debat, Edy Rahmayadi
sempat mengatakan, "Saya tidak tahu apa itu stunting". Pasangan Djarot-Sihar
ingin lebih menonjolkan kebisaan mereka dalam hal birokrasi. Dapat dilihat
dari latar belakang calon gubernur Djarot adalah mantan wakil gubernur DKI
Jakarta yang kemudian menjadi gubernur setelah kasus Ahok pada tahun
2017.
Selain faktor agama, faktor identitas kewilayahan atau etnisitas juga
kerap dijadikan alat kampanye bagi pasangan calon. Pada dasarnya identitas
etnik muncul bila dua atau lebih kelompok etnik yang berhubungan.
Dari pengalaman kasus yang sudah terjadi mengenai isu - isu tersebut
politik identitas menjadi salah satu bentuk intoleransi yang terjadi di Indonesia
yang menimbulkan perpecahan antar suku, agama, an etnis yang ada.

2. Solusi Kasus
I. Pembakaran Vihara di Tanjungbalai
Negara Indonesia memiliki masyarakat yang sangat beragam dan
multikultural dalam hal budaya maupun kepercayaan dan agamanya. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya agama, suku, ras, bahasa, dan kebudayaan yang
ada di Indonesia. Dengan adanya keberagaman tersebut, tentunya dapat
menyebabkan risiko-risiko terjadinya konflik. Salah satu konflik yang sering
terjadi di lingkungan masyarakat adalah konflik antarumat beragama seperti
konflik pembakaran vihara yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Konflik antarumat beragama yang berujung pada kerusuhan terutama
disebabkan hanya karena masalah yang cukup sepele seperti yang terjadi di
Tanjungbalai tersebut merupakan hal yang sangat fatal di Negara Indonesia.
Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang memiliki dasar ideologi
Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu, dengan landasan dasar
ini seharusnya masyarakat Indonesia mengerti akan makna tersebut bukan
malah berselisih satu sama lain terlebih hanya disebabkan karena masalah

9
sepele. Namun, karena agama merupakan sesuatu hal yang sangat sensitif,
terlebih jika ada masyarakat yang tidak bertanggung jawab dengan
menyebarkan berita-berita hoax seperti yang belum pasti kebenarannya, maka
akan memperkeruh keadaan dan membuat konflik semakin parah. Untuk
mengatasi konflik pembakaran vihara di Tanjungbalai yang terjadi antara umat
Muslim dengan warga keturunan Tionghoa yang beragama Budha tersebut
dapat dilakukan dengan cara berpegang teguh pada Pancasila sila pertama
yaitu sebagai berikut:
● Masyarakat harus saling menghormati dan menghargai antara agama
satu dengan yang lain.
Dengan tumbuhnya rasa menghargai dan saling menghormati antar
agama satu dengan yang lainnya maka dapat menghindari terjadinya
konflik-konflik karena masalah sepele. Contohnya seperti dalam
agama Islam apabila sudah tiba waktunya adzan berkumandang maka
ada baiknya semua masyarakat menghentikan aktivitas yang
menyebabkan kebisingan sebentar saja hingga adzan selesai, begitu
juga sebaliknya misalnya dalam agama Kristen atau Katholik sedang
melaksanakan ibadah di gereja ada baiknya masyarakat tidak membuat
kebisingan di sekitar gereja. Dengan diterapkannya kebiasaan-
kebiasaan kecil seperti itu akan menumbuhkan sikap saling
menghargai satu sama lain dan dapat menghindari terjadinya
kerusuhan.
● Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa semua agama yang ada
adalah benar bagi setiap yang menganutnya.
Terdapat beberapa orang yang masih beranggapan bahwa agama yang
dianutnya merupakan agama yang paling benar dan agama lain salah.
Bahkan dengan adanya pola pikir tersebut dapat menimbulkan adanya
teroris yang bertujuan untuk menghancurkan agama selain agama yang
dianutnya. Anggapan tersebut tentunya sangat salah terlebih di dalam
pancasila sila pertama sudah disebutkan bahwa negara Indonesia
menerapkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana artinya Negara
Indonesia memberikan kebebasan setiap warga negaranya untuk
menjalankan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing tanpa
diatur oleh negara.

10
● Masyarakat harus mampu memilah berita-berita yang muncul supaya
tidak mudah termakan hoax atau berita bohong.
Pada konflik pembakaran vihara di Tanjungbalai, selain disebabkan
karena salah satu warga Tionghoa merasa terganggu akibat suara adzan
magrib yang terlalu keras, juga disebabkan karena adanya informasi
yang beredar melalui pesan berantai atau broadcast di media sosial
yang menyebutkan bahwa masjid dilarang memperdengarkan adzan,
tentu saja umat Islam di daerah Tanjungbalai langsung terprovokasi
kemarahannya. Dikarenakan melalui media sosial sudah dipastikan isu
tersebut sangat cepat tersebar dan tidak sesuai dengan kenyataan
bahwa salah satu warga Tionghoa tersebut hanya merasa terganggu
karena pengeras suara adzan terlalu keras dan berada di depan
rumahnya bukan melarang dikumandangkannya adzan di seluruh
masjid di Tanjungbalai. Oleh karena itu, memilah berita dan informasi
sangat penting dilakukan supaya tidak mudah terprovokasi yang dapat
menyebabkan terjadinya sebuah konflik atau kerusuhan.
II. Pilkada Sumatera Utara Tahun 2018
Untuk mengatasi konflik pada Pilkada Sumatera Utara Tahun 2018
tentang isu putra daerah yang harus menjadi pemimpin dapat dilakukan
dengan cara berpegang teguh pada pancasila sila ketiga yaitu sebagai berikut:
● Adanya sikap saling menghargai dan menghormati keberagaman
masyarakat yang ada.
Pada pemilihan kepala daerah sudah seharusnya memberikan peluang
bagi siapa saja yang akan menyalonkan diri untuk menjadi pemimpin
tanpa melihat asal suku, ras, dan agama yang dimilikinya, yang
terpenting sudah memenuhi syarat sebagai pemimpin sesuai dengan
yang disebutkan di undang-undang. Selain itu, mengutamakan putra
daerah menjadi pemimpin daerah juga menyalahi aturan dalam asas
pemilihan umum yaitu asas umum. Asas umum memiliki arti yaitu
pemilu dilakukan tanpa adanya diskriminasi dalam hal yang
berhubungan dengan suku, ras, agama, dan antargolongan.
● Menerapkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan.
Dalam kasus pilkada sumatera utara tahun 2018 mengenai isu putra
daerah yang harus menjadi pemimpin daerahnya merupakan suatu sifat

11
sukuisme. Sifat sukuisme memiliki arti menganggap sukunya lebih
baik daripada suku yang lainnya. Hal tersebut tentunya dapat memicu
konflik antarmasyarakat yang ada di Sumatera Utara mengingat tidak
semua warga berasal dari suku asli daerah tersebut. Oleh karena itu,
sudah sepantasnya masyarakat sumatera utara khususnya para calon
pemimpin harus menerapkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan
ditengah keberagaman yang ada.

3. Cara Menumbuhkan Nilai Pancasila di Kalangan Anak Muda


Kontribusi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dalam
menumbuhkan sikap nasionalisme warga negara muda memiliki peran yang
strategis. Pendidikan kewarganegaaran yang erat kaitnya dengan konteks politik
atau tidak bisalepas dari pengaruh rezim politik perlu di revitalisasi dan reorientasi.
Melihat perjalanan pendidikan kewaganegaraan yang berubah di Indonesia
sejak 1957 hingga kini menggunakan kurikulum 2013. Meskipun nama mata
pelajaran pendidikan kewaganegaraan berubah-ubah dengan kurikulum yang
berbeda-beda, tidak menghilangkan peran vital pendidikan kewarganegaran
sebagai pembentuk karakter bangsa. Hakikikat pendidikan yakni
membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, kencendikian, ilmu teknologi
dan membentuk jati diri berdasarkan sistem nilai Pancasila. PenjelasanUU No
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menjadi ponit penting dalam
menumbuhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan dengan
membentuk warga negara yang cinta dan rasa kebangsaan terhadap bangsa
tinggi. Pendidikan kewarganegaraan ditempatkan dalam konteks operasioal
untuk mencetak generasi muda yang dilandasasi wawasan kebangsaan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan mahasiswa mengungkapkan bahwan
pendidikan kewarganegaraan memberikan pemahaman terkait nasionalisme.
Pendidikan kewarganegaraan membelajarkan tentang bagaimana menghargai orang
lain, memperat tali persaudaraan dan menjunjung tinggi kesatuan sebagai prinsip
hidup bersama dalam keberbedaan
Warga negara yang akan dihasilkan dari pendidikan
kewarganegaraan adalah manusia yang merdeka, memahami perjalanan sejarah
bangsa, cita-cita luhur dan tujuan suatau negara (Sanusi 1999).Selain itu,
pendidikan kewaraganegaraan sarat akan pendidikan nasionalisme artinya rasa

12
kebangasaan dapat ditingkatkan melalui pendidikan kewarganegaraan capainya
peserta didik merasa bangga, cinta dan rela berkorban untuk negaranya
(Bunyamin, 2008:137). Temuan tersebut menguatkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Morais dan Ogden (2011) mengenai dimensi-dimensi
kewarganegaraan dapat dikembangkan dalam pemebelajaran di sekolah.
Peserta didik dapat belajar dengan gurunya untuk mengasah kompetensi untuk
menjadi warganegara yang terdidik. Adapun dimensi utama yang menjadi
kompetensi warga negara yakni tanggungjawab sosial, kompetensi global
dan keterlibatan dalam kewargaan global. Paradigma baru pendidikan
kewarganegaran menekankan proses pembelajaran yang demokratis dan
kolaboratif, pembelajaran berupa hafalan teori seperti pendidikan dimasa lalu kini
dihindari. Pendidikan kewarganegaraan yang berproses dari learning by doing
and learning together dimaksudkan agar menciptakan warga negara yang
berfikir kritis dan bertindak demokratis.
Kompetensi warga negara yang baik juga diungkap oleh Branson
(1998), yang meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge),
keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan watak/sikap kewarganegaraan
(civic dispositions). Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan
dosen MKI sikap nasionalisme nampak ketika berlangsung pembelajaran di
kelas yang menampilkan isu-isu nasionalisme yang berkembang di masyarakat.
Seperti kasus korupsi, kasus ideologi transnasional, kasus pemilu dan
sebagainya. Mahsiswa aktif mampu berfikir kritis dalam memecahkan
masalah secara demokratis sebagai modal menumbuhkan civic knowledge.
Pendidikan kewarganegaraan memiliki ruang lingkup yang berorientasi
politik baik sikap dan perilaku politik.Adapun kompetensi yang dapat dimiliki
seseorang yang belajar pendidikan kewarganegaraan yakni pengetahuan politik,
kesadaran, sikap, partisipasi politik dan mengambil keptusan yang bersifat
rasional.
Ruang lingkup pengetahuan dan pemahaman kenegaraan menjadi wujud
kompetensi civic knowledge. Selanjutnya warga negara muda yang
memilikicivic sklillmeliputi keterampilan intelligences dan berpartisipasi aktif
mengambil peran publik. Kemudian yang terakhir yakni civic disposition
yang memiliki makna karakter baik yang harus dimiliki warga negara muda.
Karakter yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai

13
cerminan warga negara Indonesia. Kompetensi pendidikan kewarganegaraan
tersebut bertujuan preventif menanggulangi dampak negatif globalisasi, sehingga
melahirkan warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen).
Pengembangan kompetensi good citizen menjukan bahwa pendidikan
kewarganegaraan bersifat multidimensi dalam ranah yang akan
dikembangkan. Perkembangan pendidikan kewaganegaarn masa kini interpretasi
maksimal. Dengan kata lain, Osler dan Starkey mengemukakan bahwa
pendidikan kewarganegaraan bersifat maksimal sebagai modal peserta didik untuk
mampu mengambil peran publik dengan penuh tanggungjawab (Bourke dkk,
2012:163) Pendidikan kewaganegaraan diharapkan mampu menjadi solusi dalam
memecahkan konflik nasionalisme yang bersifat vertikal maupun horizontal
secara kritis dan demokratis. Konflik vertikal antara elit dan massa sering
terjadi karena kebijakan yang tidak pro dengan rakyat, ketidakadilan pembangunan
dan kesenjangan sosial. Konflik horizontal dilatarbelakangi suku, ras, agama
dan antar golongan (SARA) masih menjadi catatan hitam di Indonesia.
Berdasarkan data yang dihimpun setara institute ada 202 tindakan
pelanggaran kebebasan beragaman/berkeyakinan (KBB). Pendidikan
kewaraganegaraan membelajarkan terkait materi integrasi nasional guna
menumbuhkan kesadaran identitas nasional, menguatkan identitas bersama dan
mebangun persatuan di tengah perbedaan, sehingga mencetak warga negara
muda yang nasionalis. Materi nasionalisme pada pendidikan
kewarganegaraan erintegrasi dalam muatan materi identitas nasional, integrasi
nasional, wawasan nusantara dan ketahanannasional (bela negara). Guna
membangun visi manusia yang cerdas dan bertanggungjawab PKn tetap memuat
nilai-nilai luhur bangsa yakni Pancasila dan di dalamnya nilai-nilai nasionalisme.
Pendekatan dan prinsip pembelajaran pendidikan kewarganegaraan perlu
reorientasi. Menghindari mahasiswa yang belajar PKn hanya untuk mencari
nilai (skor) saja tanpa memahami materi yang diajarkan. Padahal PKn erat
kaitannya dengan pendidikan nilai. Berdasarkan penelitian masih ada mahasiswa
yang kurang antusias dengan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
menggapkan PKn sebagai mata kuliah wajib saja. Karena bukan termasuk
bidang keilmuan yang mereka tekuni. Menyajikan pendidikan
kewarganegaraan dalam internalisasi nilai Pancasila dan nasionalisme dapat
dilakukan dengan pembelajaran PKn yang penuh makna. Berkaitan dengan

14
pendidikan nilai Herman (2002) secara teoritik mengungkapkan “....value is neither
taught not cought it is learned” yang artinya subtansi nilai tidak hanya teori atau
diajarkan, tetapi lebih jauh ditangkap, diinternalisasi dan dibakukandalam
kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Menuju pendidikan
kewarganegaraan yang maksimal yakni dengan membuat suasana kelas yang
demokratis. Selain itu berbicara HAM tidak hanya materi yang harus
diselesaikan melalui membaca sumber refensi. Namun penghargaan akan hak
asasi diaktualisasikan baik di dalam kelas maupun di luarkelas. Pengalaman
mahasiswa sebagai bahan kajian untuk membahas secara mendalam apa itu HAM
dan mememcahkan masalah bersama melalui diskusi kelas. Model
pembelajaran dengan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan dikembangkan
dengan model interkatif, guna menstimulus berfikir mahasiswa secara kritis.
Berdasarkan temuan penelitian dosen dalam menumbuh kembangkan
pemikiran kritis dan demokratis mahasiswa menggunakan model pembelajaran
problem based learning. Problem based learning adalah model pembelajaran
berbasis masalahsesuai dengan temuan yang ada di lapangan sebagai dasar
untuk memperoleh konsep dan pengetahuan melalaui alur berfikir kritis
(Fakriyah, F,2014:96). Pada mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dalam bab
demokrasi dengan menggunakan PBL dimulai dari sinopsis model personal
sosial politik yang demokratis dan bertanggungjawab. Pembelajaran ini
memfasilitasi peserta didik untuk mengetahui, memahami, meyakini dan
menjalankan nilai-nilai yang terkandung hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Mengasah kepekaan, tanggapan, empatik, argumentatif dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya kompetensi nilai yang akan
dikembangkan tadi harus di dasarkan keyakinan dan didukung dengan
pemahaman secara utuh dalam praktik kehidupan sehari-hari. Sintamatik
memiliki langkah pembelajaran dari pendahuluan, kegiatan inti dan penutup.
Pendidik dalam menggunakan model PBL harus memiliki kompetensi
wawasan yang memadai tentang tema, membuka dan menutup pembelajaran
secara ilustratif dan inspiratif, keterampilan bertanya dasar dan lanjut,
menjelaskankonsep, mengorganisasi kelompok diskusi dan penguatan
personal serta kelompok (Winataputra, 2007:184-185).

15
 

BAB III

PENUTUP
1. Kesimpulan
Indonesia memiliki beragam suku, budaya, dan agama. Dengan keberagaman
tersebut, Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan yang harus diimplementasikan.
Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Konflik-konflik yang terjadi seperti Pembakaran
Vihara di Tanjungbalai dan Pilkada Sumatera Utara menjadi contoh nyata bahwa
masyarakat Indonesia belum mengamalkan nilai-nilai pancasila dengan sebenar-
benarnya, terutama sila ke-3. Pembakaran Vihara terjadi karena adanya pemeluk
agama budha yang mengeluh terkait adanya pengeras suara masjid di lingkungan
tempat tinggalnya. Hal ini terjadi karena kurangnya rasa hormat menghormati. Kasus
yang terjadi pada saat Pilkada Sumatera pun hampir sama. Dimana seseorang dari
daerah lain dilarang menjadi pemimpin di Sumatera Utara. Padahal semua orang
memiliki kesetaraan yang sama dimanapun daerahnya berasal.

2. Saran
Untuk itu, perlu dilakukannya sosialiasi program bagi masyarakat mengenai
pentingnya nilai-nilai kebhinekaan. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak sekadar
memahami, tetapi juga mengimplementasikannya. Karena di era globalisasi ini,
berbagai tantangan dan ancaman sering kali muncul di tengah-tengah masyarakat
yang dapat mengadu domba kerukunan antar umat beragama, suku, budaya, maupun
wilayah.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Diskominfo -, I. (n.d.). Agama, Adat Dan Budaya. Portal Resmi Pemerintah Kota
Tanjungbalai. Retrieved November 22, 2022, from
https://tanjungbalaikota.go.id/agama-adat-dan-budaya/
2. Prabowo, H. (2019, December 11). Daftar Skor Indeks Kerukunan Beragama versi
Kemenag 2019. tirto.id. Retrieved November 22, 2022, from https://tirto.id/daftar-
skor-indeks-kerukunan-beragama-versi-kemenag-2019-engH
3. Zhacky, M. (2018, May 12). Djarot Tanya Soal Stunting, Edy: Saya Tidak Mengerti.
detiknews. Retrieved November 22, 2022, from https://news.detik.com/berita/d-
4017882/djarot-tanya-soal-stunting-edy-saya-tidak-mengerti
4. Lubis, B. P. M., & Harmawati, Y. (2018). WARGA NEGARA DAN
MASALAH KONTEMPORER DALAM PARADIGMA PEMBANGUNAN.
Citizenship Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, 6(1), 71–78
5. Nurhaidah, & Musa, M. I. (2015). DAMPAK PENGARUH GLOBALISASI
BAGI KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA. JURNAL PESONA DASAR, 3(3), 1–
14

17

Anda mungkin juga menyukai