Abstrak
Pendahuluan
Ada banyak kelompok etnis, denominasi agama, dan praktik budaya yang
berbeda dalam masyarakat Indonesia. Adanya keragaman dalam masyarakat
Indonesia merupakan intrinsik dari identitas nasional Indonesia (Nurgiansah &
Rachman, 2022). Disposisi yang ramah terhadap semua komunitas sangat penting
83
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
dalam bangsa yang begitu beragam (Syahira Azima et al., 2021). Koeksistensi (hidup
berdampingan) membutuhkan rasa saling menghormati dan kesediaan untuk
menerima satu sama lain (Hanif, 2016; Roqib, 2017). Namun, laju globalisasi yang
cepat menimbulkan ancaman bagi pluralisme Indonesia dan merupakan masalah
yang mendesak.
Bangsa Indonesia yang kondisi masyarakatnya majemuk ditandai dengan
adanya ikatan sosial berdasarkan perbedaan suku, etnis, budaya/adat, dan daerah.
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda tetapi tetap satu kesatuan,
merupakan konsep untuk mewujudkan bahwa pluralisme di Indonesia memiliki dua
potensi yang dapat terjadi (Chakim et al., 2023). Kedua potensi tersebut adalah
kesatuan (integratif) dan perpecahan (disintegrasi). Multikulturalisme di Indonesia
harus mengesampingkan konflik suku, agama, ras, dan hubungan antarkelompok
yang seringkali dianggap kelompoknya sebagai yang terbaik (Tule, 2000). Kesadaran
masyarakat akan pluralisme dan sikap nasionalisme yang mulai memudar membuat
masyarakat khususnya generasi muda begitu mudah tersulut oleh konflik (Nakaya,
2018). Menurut Halim, jumlah konflik sosial di Indonesia meningkat setiap
tahunnya, dan saat ini terdapat 189 titik rawan konflik sosial di Indonesia (HM &
Halim, 2019).
Untuk mencegah terulangnya kembali konflik tersebut, diperlukan solusi
berupa penanganan akar permasalahannya, yaitu dengan memperkuat sikap
nasionalisme melalui penerapan nilai-nilai wawasan kebangsaan dalam bidang
Pendidikan (Nawawi, 2012). Tujuan pendidikan wawasan kebangsaan adalah
membantu peserta didik menumbuhkan wawasan kebangsaan, mengenal nilai
keragaman budaya dalam masyarakat majemuk, dan menyikapi konflik sosial secara
tepat (Bulan & Baskoro, 2019).
Perspektif nasional sangat penting untuk menghargai keragaman, di mana
orang menerima perbedaan sebagai hal yang tak terhindarkan dan setara dalam nilai
dan rasa hormat, daripada mengistimewakan budaya mereka sendiri di atas budaya
orang lain. perbedaan norma budaya. Perspektif dan mentalitas ini tidak bisa muncul
begitu saja. Sebaliknya, mereka harus ditanamkan dan diajarkan melalui pendidikan
formal (Hasna et al., 2021).
84
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
85
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
86
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
87
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
Sangat penting untuk memiliki pemahaman siswa di kelas sejarah. Ini adalah
cara memaknai masa lalu dalam konteks sejarah Indonesia secara keseluruhan. Jika
orang dapat melihat kembali masa lalu dengan perspektif objektif, mereka akan lebih
mampu menarik relevansi pribadi darinya (Hermino, 2015). Hal itu dapat dilakukan
dengan menelaah sebab akibat peristiwa, sejarah, dan mencoba mengambil hikmah
dari peristiwa sejarah yang pernah terjadi. Pembelajaran sejarah mengajarkan nilai-
nilai untuk membentuk kepribadian yang berwatak tertentu dan berkepribadian yang
beradab (Agustiah et al., 2020). Untuk mewujudkan nilai-nilai kepribadian tersebut
dengan baik, siswa perlu memiliki kesadaran sejarah yang ditanamkan melalui
pembelajaran sejarah sebagai pewarisan nilai-nilai sejarah masa lampau. Untuk
menanamkan kesadaran sejarah dilakukan dalam proses pembelajaran (Erviana,
2021). Beberapa siswa mungkin tidak menghargai nilainya sampai jauh di kemudian
hari. Memahami sejarah seseorang dan pelajaran yang dapat diajarkannya sangat
penting untuk menumbuhkan patriotisme dan kebanggaan nasional. Ciri-ciri
karakter seperti nasionalisme membutuhkan rasa kebersamaan dan pemahaman
bersama, yang keduanya kurang dalam populasi yang kurang memiliki pengetahuan
sejarah.
Akibatnya, perspektif nasional tentang sejarah Indonesia memungkinkan
pemahaman yang komprehensif tentang masa lalu negara, termasuk tahun-tahun
dan peristiwa-peristiwa yang pada dasarnya merupakan rekaman kolektif sejarah
bangsa. Hanya dengan mendengarkan alasan peristiwa sejarah dan berusaha belajar
dari masa lalu, orang dapat menemukan relevansi langsung dengan apa yang terjadi
di masa lalu (Afrina et al., 2021). Agar siswa dapat memahami pentingnya
mempelajari sejarah, pendidik harus membangkitkan rasa ingin tahu mereka dan
menginspirasi kecintaan belajar pada siswa mereka.
Guru sejarah yang ingin siswanya mengembangkan minat pada mata pelajaran
harus berkolaborasi untuk merancang kegiatan kelas yang menarik (Djamarah,
2010). Contoh model dan media pembelajaran yang menarik dan inovatif antara lain
penggunaan internet, film, dan gambar untuk pengajaran dan pembelajaran konten
sejarah (Adam & Syastra, 2015). Oleh karena itu, siswa berkeinginan untuk
mengikuti pembelajaran sejarah Indonesia, mata pelajaran yang sarat dengan cita-
cita persatuan dan patriotik yang siap diinternalisasi oleh siswa. Minat belajar
88
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
merupakan salah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan
akademik siswa (Afrina et al., 2021).
Siswa yang menaruh minat aktif dalam pendidikan mereka cenderung
berprestasi lebih baik di kelas (Suwito et al., 2020). Aman berpendapat bahwa mata
pelajaran sejarah sekolah menengah sangat penting karena peran strategis yang
mereka mainkan dalam membentuk warga negara Indonesia yang bangga dengan
warisan mereka dan toleran terhadap mereka yang memiliki sudut pandang berbeda
yaitu kebanggaan nasional, dll (Fikri & Hasudungan, 2021). Sikap seseorang dapat
didefinisikan sebagai cara mereka berpikir tentang, atau tanggapan emosional
terhadap, serangkaian fakta atau keadaan tertentu. Sikap seseorang terhadap
seseorang, ide, objek, atau kelompok terdiri dari kumpulan emosi, keyakinan, dan
kebiasaan tindakan yang bertahan lama. Disposisi seseorang dalam menanggapi
realitas tertentu secara intrinsik terkait dengan sikap seseorang terhadap realitas itu.
Hal ini menyebabkan seseorang menunjukkan sifat tertentu, salah satunya adalah
rasa nasionalisme yang meningkat (Yustiani, 2018).
Maka dari itu, dalam penelitian ini akan membahas terkait pembelajaran
sejarah dan kaitannya dengan nasionalisme dan wawasan kebangsaan siswa MAN
1 Banyumas.
Metode Penelitian
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif. Menurut
Moleong, penelitian kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan
temuan berupa data berupa kata-kata yang ditemukan, baik tertulis maupun lisan,
dan bersumber dari subjek dan objek yang diteliti (Zakariah et al., 2020). Peneliti
biasanya menggunakan metodologi kualitatif deskriptif. Strategi penelitian ini, yang
dikenal sebagai ekologi deskriptif, bertujuan untuk mengkarakterisasi berbagai
fenomena dan peristiwa lingkungan alami dan buatan (Anggito & Setiawan, 2018).
Proses pengumpulan data dilakukan melalui observasi di MAN 1 Banyumas
dan wawancara kepada guru Sejarah yaitu Undri Mursiyam, M.Pd.I, Herlambang
Ipang Sudrajat, S.Pd., dan Imam Hidayat, S.Pd. Sedangkan sumber data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan literatur seperti buku, tesis dan
89
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
90
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
dan komunitas agama yang berbeda, prinsip inti patriotisme Indonesia adalah
komitmen bersama untuk mengakui dan menghargai perbedaan tersebut (Afrina et
al., 2021). Untuk mewujudkan konsep identitas di kalangan nasionalis Indonesia
bagi kelompok kemanusiaan, ada baiknya memikirkan nasionalisme sebagai proses
pembentukan dan perlindungan otoritas negara-bangsa (Yunita & Anggraini, 2020).
Sehubungan dengan definisi nasionalisme ini, tujuan akhir kami adalah
membantu negara kami mencapai tingkat kohesi yang diperlukan untuk kelanjutan
keberadaannya. Sebagaimana sumpah pemuda membuktikan, Indonesia memiliki
sejarah kohesi dan toleransi, dan puncak nasionalisme negara terjadi dengan
proklamasi kemerdekaan. Siswa-siswa di MAN 1 Banyumas telah bertransformasi
melalui pemaparan mereka terhadap sejarah Indonesia.
Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengetahui pemahaman sejarah
Indonesia pada sikap nasionalisme siswa di MAN 1 Banyumas. Memahami sejarah
Indonesia adalah proses membangun pemahaman materi pelajaran. Undri
Mursiyam, M.Pd.I menyebutkan bahwa pemahaman siswa dalam sejarah dapat
diperoleh dari pengetahuan siswa sehingga mampu menangkap makna dalam materi
pelajaran sejarah Indonesia, oleh karena itu dengan pengalaman belajar ini
diharapkan mampu menemukan makna dari suatu materi sejarah.
Herlambang Ipang Sudrajat menyebutkan bahwa sejarah Indonesia merupakan
rekonstruksi atau penggambaran bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia
mengalami perkembangannya melalui proses sejarah sehingga muncul seperti
sekarang ini. Proses pembangunan inilah yang secara bertahap dan terus-menerus
mewujudkan integrasi persatuan nasional saat ini. Efendi et al., (2021) menyebutkan
bahwa Sejarah Indonesia menggambarkan berbagai peristiwa yang mencakup
rentang waktu yang sangat panjang, periode sejarah Indonesia mulai dari Periode
Pra Sastra hingga Periode Reformasi. Imam Hidayat, S.Pd juga menambahkan
bahwa pelajaran sejarah Indonesia yang diajarkan di MAN 1 Banyumas bertujuan
untuk mengajarkan toleransi dan memperkuat rasa nasionalisme. Maka dari itu,
dalam pelajaran sejarah di MAN 1 Banyumas penanaman sikap nasionalisme
melalui beberapa stategi yaitu:
Pertama, dengan menelaah berbagai peristiwa sejarah di Indonesia. Indri
Mursiyam, M.Pd.I menyebutkan bahwa tujuan pengajaran dengan menggunakan
91
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
strategi penelitian ini adalah untuk menanamkan rasa bangga dan bangga akan
sejarah dan warisan bangsa pada diri setiap siswa. Oleh karena itu, diharapkan siswa
MAN 1 Banyumas memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang
berbagai peristiwa yang membentuk sejarah Indonesia. Imam Hidayat, S.Pd.
menambahkan bahwa mengajarkan siswa tentang masa lalu sangat penting jika
mereka ingin mengembangkan rasa kebanggaan nasional yang positif dan merangkul
nilai-nilai yang telah tertanam dalam sejarah Indonesia.
Kedua, Memiliki hasrat untuk belajar tentang masa lalu itu menular dan
berfungsi sebagai motivator konstan untuk fokus pada tugas sekolah. Dalam
mempelajari suatu mata pelajaran, diharapkan siswa mampu berpikir dan
berperilaku dengan cara tertentu, dan Ipang Sudrajat, S.Pd. berpendapat bahwa
kegiatan belajar adalah cara membimbing siswa ke arah yang benar.
Ketidakmampuan siswa untuk beradaptasi dengan keadaan baru dapat terungkap
saat dia belajar.
Minat belajar yang didorong oleh rasa cinta dan minat, dapat mempengaruhi
tingkat dan kontinuitas keterlibatan dalam pembelajaran dan kedalaman
pemahaman yang dicapai siswa dalam hal ini mata pelajaran sejarah. Imam Hidayat,
S.Pd mengatakan bahwa tertarik pada sesuatu berarti peduli dan saya (kebanyakan)
memiliki perasaan positif terhadapnya. Pandangan positif tentang belajar sejarah dan
minat yang tulus pada mata pelajaran dapat membantu siswa yang paling biasa
sekalipun untuk unggul dalam mata pelajaran tersebut. Siswa yang tertarik untuk
belajar tentang masa lalu lebih cenderung mengabdikan diri untuk tugas sekolah
mereka.
Menurut Ipang Sudrajat S.Pd, berkembangnya kesenangan dan perhatian siswa
dalam belajar sejarah sangat bergantung pada tingkat minat mereka dalam
melakukannya. Belajar adalah sebuah proses, jadi penting untuk memulai dengan
membuat diri Anda merasa ingin belajar. Hal ini senada dengan penelitian Maman
Sumaludin, (2018) yang menyebutkan bahwa siswa dapat dimotivasi untuk belajar
dan tumbuh dengan memberikan mereka stimulus unik yang sejalan dengan konteks
di mana mereka belajar dan tumbuh. Oleh karena itu, upaya untuk membangkitkan
rasa ingin tahu siswa tentang sejarah perlu dilakukan melalui berbagai metode
92
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
93
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
untuk memahami apa yang dipelajarinya, yang meliputi makna konsep, situasi, dan
fakta.
Oleh karena itu, cara pandang dan tindakan siswa akan dipengaruhi oleh
pengetahuan ini. Salah satu tujuan pembelajaran sejarah Indonesia di sekolah adalah
untuk menanamkan rasa bangga pada siswa akan kekayaan sejarah negaranya. Siswa
perlu diajarkan tentang sejarah Indonesia agar mereka dapat mengembangkan rasa
kebanggaan nasional dan belajar untuk menghargai kontribusi yang telah diberikan
generasi masa lalu kepada negara.
Melalui pembelajaran tentang sejarah Indonesia yang kaya, siswa dapat lebih
memahami posisinya di dunia dan merangkul identitas nasional mereka sebagai
landasan untuk membentuk negara saat ini dan masa depan. masa depan. Belajar
tentang masa lalu membantu menanamkan nilai-nilai, seperti patriotisme.
Kesadaran ini merupakan bagian penting dari pembelajaran menghargai patriotisme
demi patriotisme itu sendiri. Mempelajari masa lalu, dalam hal ini sejarah Indonesia,
merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dengan membangkitkan
kesadaran akan kekuatan-kekuatan yang membentuk jati diri bangsa.
94
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
95
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
dapat memberikan efek positif bagi negara dan bangsa. Ketika membahas cita-cita
nasionalisme Indonesia, penting untuk mengingat banyak tradisi yang diwariskan
dari generasi ke generasi. Operasi mental yang memberi makna pada pikiran kita dan
membantu kita mendefinisikan analisis, menerapkan struktur pembelajaran saat ini
untuk memandu tindakan di masa depan, dan memikirkan konsekuensi asli dari ide-
ide kita. Berpikir dan melakukan terhubung dengan cara yang dapat mengubah
keduanya.
Guru di MAN 1 Banyumas perlu memasukkan studi intelektual ke dalam
kurikulum sejarah dengan mendorong siswa untuk mengidentifikasi dan
mengartikulasikan proses pengumpulan pengetahuan mereka sendiri dan mengatasi
masalah bias, seleksi, dan konfirmasi dalam penelitian mereka. Indikator nilai
kebangsaan dipelajari dan dianalisis potensi interpretatif dan ilustratifnya (Santos,
2021).
Teori sosiologis bangsa Indonesia memberikan kepada kita sebuah narasi
sejarah bahwa bangsa kita memiliki semangat nasionalisme yang berbeda dengan
bangsa lain, semangat nasionalisme kita terbentuk karena eksploitasi oleh bangsa
kolonial atau kolonial sehingga nasionalisme kita terbentuk di atas dasar persatuan
dan kesatuan dan senasib sepenanggungan. Karakter nasionalisme kita adalah
melawan penindasan dalam bentuk apapun, jelas bahwa orientasi nasionalisme kita
adalah orientasi nilai-nilai kemanusiaan (Erviana, 2021).
Nilai yang dimaksud adalah nilai yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
bangsa Indonesia dan merupakan bagian dari tesis pemikiran nasionalisme
Indonesia serta landasan dasar berdirinya Pancasila. Argumentasi tersebut
menyatakan bahwa nasionalisme adalah bagian dari konsep sosial dan konsep
integrasi yang menghasilkan efek persatuan dan kesatuan, oleh karena itu pemuda,
khususnya pelajar, harus memahami konsep nasionalisme yang lengkap tanpa
infiltrasi daripada asing. konsep yang dikembangkan dalam teks naratif.
Akibatnya, siswa harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang pada
gilirannya menjadi semangat nasionalisme di antara para peserta, dan pendidikan
karakter di kelas harus lebih tanggap dalam melihat bahwa kepentingan nasionalisme
kita tidak terbatas pada ego sektoral dan primordialisme. mahasiswa di seluruh
nusantara yang dijadikan contoh mengapa kita harus berjuang menghadapi
96
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
tantangan zaman sekarang. Perselisihan tidak dapat dihindari dalam perjuangan hari
ini karena mereka muncul bersamaan dengan tujuan kontraproduktif dari tindakan
demokrasi (aktor demokrasi).
Untuk menumbuhkan moral yang kuat di semua bidang, termasuk
nasionalisme, pendidikan sejarah perlu diperluas di MAN 1 Banyumas. Oleh karena
itu, pendidikan harus menumbuhkan kader-kader patriotik di seluruh lapisan
masyarakat.
Bagaimana MAN 1 membentuk karakter nasionalis Menurut Peraturan
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yang diikuti Banyumas, pendidikan adalah
upaya terpadu untuk menumbuhkan lingkungan belajar dan proses pembelajaran
yang sistematis di mana siswa secara aktif mengembangkan dan mengeksplorasi diri
untuk memperoleh karakter mendasar. yang, baginya, berpusat pada kekuatan
disiplin diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan sosialnya
yang berlandaskan agama.
Tujuan integrasi pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 yang berlandaskan kehidupan budaya dan agama serta peka terhadap
tuntutan perubahan zaman. Inilah respon pemerintah dalam mengatasinya.
Pemerintah telah menerbitkan kembali Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017
yang menegaskan bahwa tujuan penguatan karakter adalah membentuk peserta didik
menjadi siswa yang baik, bermoral dan berkarakter. Keputusan Presiden nomor 87
Tahun 2017 telah dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia tentang Penguatan
Pendidikan Karakter dengan harapan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi
oleh generasi saat ini. Kondisi yang memprihatinkan ini memerlukan solusi baik di
tingkat internal maupun eksternal mengenai pembentukan karakter, sehingga
diperlukan dukungan khusus bagi masyarakat dan pendidik dalam melatih karakter
peserta didik.
Depdiknas memaparkan soal pembentukan karakter melalui lembaga
pendidikan yang dalam proses pelaksanaannya, siswa merancang kepedulian dan
tanggung jawab, atau yang biasa disebut dengan harga diri. Harga diri merupakan
bagian terpenting dari pembentukan karakter individu. Coopersmith berpendapat
bahwa harga diri adalah bagian dari nilai-nilai yang memberikan keputusan evaluasi
diri dan kebiasaan dalam rangka memutuskan segala macam masalah sosial,
97
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
terutama dalam proses menerima penolakan dan indikasi dan proses sosial. Carilah
kepercayaan pada kemampuan dan maknanya dan kesuksesannya sendiri (Pradana
et al., 2021).
Oleh karena itu, harus memberikan bingkai khusus bagi individu yang
kemudian menjadi penilaian pribadi terkait perasaan berharga atau makna yang ada
dalam ekspresi sikap individu sehari-hari dan secara otomatis ketika kita
menganalisis secara mendalam harga diri membentuk rasa tanggung jawab sosial
yang tinggi. ke arahnya. Harga diri memberikan ruang khusus bahwa individu
memiliki kecenderungan untuk mengevaluasi diri terkait dengan kebutuhannya
dalam perilaku kehidupan sehari-hari, harga diri dapat membentuk individu untuk
menilai dirinya sebagai individu yang memiliki kemampuan dan kompetensi
karakter yang berarti, itu adalah bagian yang terbentuk pada diri mereka sendiri.
dasar penilaian individu terhadap cita-citanya.
Pembahasan
Karena pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran jika dikedepankan
dengan orientasi nilai nasionalisme akan membentuk karakter pemuda atau siswa
yang memiliki nilai-nilai kebangsaan, mengembangkan pembelajaran yang dilandasi
nilai-nilai nasionalisme akan memberikan stimulus respon terhadap pembentukan
karakter yang memiliki kemandirian yang tinggi. menghargai. Semangat patriotik
dan pemahaman tentang keprihatinan internasional (Nurgiansah & Rachman,
2022).
Pengembangan pendidikan karakter nasionalisme di MAN 1 Banyumas dalam
konteks ini berdasarkan nilai-nilai nasionalisme merupakan bagian dari pemenuhan
Pendidikan Nasional yang dirancang khusus untuk menggembleng karakter individu
berdasarkan nilai-nilai agama, budaya dan kepribadian sehingga inovasi daripada
pengembangan pembelajaran menggunakan nilai-nilai nasionalis secara otomatis
akan menghadirkan indikator. indikator nasionalisme yang dikemas dalam desain
pembelajaran semester.
Ketika hal ini diterapkan maka secara otomatis akan memunculkan karakter
yang memiliki harga diri tinggi dan ketika individu tersebut memiliki selera yang
tinggi, ia akan dapat mengevaluasi dirinya sendiri dan menyaring kebutuhan perilaku
98
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
sosialnya sendiri karena harga diri memberikan solusi prediktif atau keputusan (E.
Y. Lestari et al., 2019). Individu dalam menghadapi permasalahan yang ada pada
dirinya kemudian mampu menyaring globalisasi efek dan modernisasi efek yang
berkembang di era sekarang, kebutuhan akan harga diri karakter merupakan bagian
terpenting dalam membentuk peserta didik, karena hal ini pendidikan akan
meneguhkan dan memperkuat sistem kepercayaan.
Individu dari segala pertimbangan yang matang, informasi ini memberikan
konsep baru cara pandang individu dalam mengatasi dirinya dan memotivasi
dirinya. Harga diri tidak dapat terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya kombinasi
dengan sosiokulturalisme peserta didik atau pemuda dan komponen lembaga
pendidikan yang mendukung penuh program karakter, sehingga pembentukan
karakter berdasarkan nilai-nilai nasionalisme harus dimasukkan ke dalam dua
komponen masyarakat dan komponen lembaga pendidikan (Lestari Sri, 2018).
Untuk menumbuhkembangkan kembali wawasan kebangsaan di Indonesia,
upaya yang bisa dilakukan adalah dengan cara mengamalkan dan menyadari
kembali nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Sebab nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila merupakan nilai-nilai yang diambil dari kebudayaan
bangsa Indonesia, yang bertujuan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia. nilai-nilai pancasila yang bisa dilakukan di kehidupan berbangsa,
diantaranya adalah:
1. Pada sila pertama, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketuhanan Yang Maha
Esa, taat pada perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya adalah contoh nilai-
nilai yang dianut oleh Pancasila yang dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari. Hormati satu sama lain, dan hindari mengolok-olok agama atau orang
yang mempraktikkannya.
2. Pada sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Cita-cita
Pancasila yang dapat memandu tindakan kita di sini dan saat ini adalah:
Mempertimbangkan bahwa setiap orang diperlakukan sama di depan hukum, di
masyarakat, dan di komunitas agama. Menunjukkan semangat toleransi
antarkelompok, mendekati orang-orang dari latar belakang yang berbeda
dengan pikiran dan hati yang terbuka.
99
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
3. Pada sila ketiga, yaitu “Persatuan Indonesia”. Salah satu cara untuk
menerapkan nilai-nilai Pancasila adalah dengan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa utama kita, mengenakan pakaian adat, menari tarian
daerah, memainkan alat musik tradisional, dan sebagainya dalam setiap
interaksi kita sehari-hari. Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan bergotong royong menjunjung tinggi asas-asas Pancasila.
4. Pada sila keempat, yaitu “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”. Nilai-nilai dari
Pancasila yang dapat kita tanamkan dalam kehidupan sehari-hari antara lain:
memikirkan dengan matang setiap keputusan; memberikan semua peserta
kesempatan yang sama untuk menyuarakan pendapat mereka dan didengar
dalam pengaturan kelompok. Karena tujuan musyawarah adalah untuk
mencapai mufakat, maka keputusan akhir harus diterima oleh semua peserta.
5. Pada sila kelima, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Inilah
sila-sila inti dari Pancasila yang dapat memandu tindakan kita: memprioritaskan
memperlakukan orang lain secara adil; memenuhi tanggung jawab seseorang;
dan menghormati hak orang lain. Mendahulukan kepentingan seluruh
penduduk Indonesia di atas kepentingan yang lebih sempit (Erviana, 2021).
Kehidupan berbangsa akan berjalan berdaya guna sesuai dengan perubahan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang dialami oleh seluruh warga negara
Indonesia dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam mengembangkan
wawasan kebangsaan tersebut.
Janah berpendapat bahwa Pancasila kuno yang menjadi dasar negara dan
pedoman hidup nenek moyang kita seharusnya menjadi pedoman bagi manusia
Indonesia modern. Pancasila yang mulai kehilangan pamornya di kalangan generasi
muda diharapkan dapat kembali ke kejayaannya jika generasi muda mulai
menyadari, memahami, dan menerapkan fungsi dan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari (Satriawan et al., 2019).
Seperti yang bisa kita lihat dan rasakan sekarang, kemajuan globalisasi telah
mengantarkan banyak sekali pengaruh budaya baru ke Indonesia. Populasi pemuda
saat ini adalah salah satu kelompok yang lebih tertarik pada budaya Korea Selatan
daripada budaya mereka sendiri. Banyak dari mereka lebih akrab dengan budaya lain
100
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
daripada budaya mereka sendiri. Oleh karena itu, pembinaan kesadaran berbangsa
melalui pengadopsian prinsip-prinsip pancasila menjadi sangat penting. Karena jika
kita memiliki nasionalisme yang kuat, negara lain akan mengakui keberadaan negara
Indonesia dan tidak akan hilang bahkan jika negara itu runtuh di bawah beban
perkembangan informasi yang disebabkan oleh globalisasi (Sundara & Solehah,
2019).
Sehingga, puncak dari tujuan penanaman karakter nasionalisme dalam proses
pengembangan pembelajaran sejarah di MAN 1 Banyumas adalah terpenuhinya
kemampuan berpikir, kemampuan menilai, memilih dan memutuskan masalah
sosial yang dihadapi individu, harga diri dapat memberikan jawaban pada dua skema
pertama yaitu keyakinan individu untuk melaksanakan mentalnya, yang biasa
disebut dengan self-efficacy, yang kedua adalah kemampuan individu untuk
memahami realitas dan fakta yang terjadi dalam kebutuhan hidupnya atau biasa
disebut dengan Kemandirian (Yunita & Anggraini, 2020).
Sistem kepercayaan individu akan memberikan aksentuasi khusus untuk
memecahkan masalah sosial dan secara otomatis akan mengkonfirmasi dan
memperkuat pertimbangan yang cermat. Informasi dan lingkungan atau
sosiokulturalisme dalam konteks masyarakat memberikan pandangan konseptual
tentang bagaimana berpikir dan memahami realitas realitas masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari dan memberikan interaksi sosial yang positif dalam proses
internalisasi diri di mana dalam masyarakat biasanya siswa mengenal bagaimana
menoleransi budaya, bagaimana memahami keberadaan hukum. Hukum
masyarakat dan cara berpikir yang dipengaruhi oleh budaya lokal.
Kesimpulan
Pelajaran sejarah di MAN 1 Banyumas merupakan salah satu pengembangan
pembelajaran yang harus menjadi pilar utama dalam orientasi dan penanaman nilai-
nilai wawasan kebangsaan dan Nasionalisme dalam membentuk karakter dan
peradaban bangsa kepada siswa. Melalui pendidikan dengan nasionalisme akan
memudahkan implementasi nilai-nilai wawasan kebangsaan dan sikap nasionalisme
dan zona pengembangan pendidikan dan pembelajaran karakter strategis untuk
101
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
Daftar Pustaka
Adam, S., & Syastra, M. T. (2015). Pemanfaatan Media Pembelajaran Berbasis
Teknologi Informasi Bagi Siswa Kelas X SMA Ananda Batam. Computer Based
Information System Journal, 3(2), 78–90.
http://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cbis/article/view/400
Afrina, A., Abbas, E. W., & Susanto, H. (2021). The Role of Historical Science in
Social Studies Learning Materials for Increasing Values of Student’s
Nationalism. The Innovation of Social Studies Journal, 3(1), 1.
https://doi.org/10.20527/iis.v3i1.3769
Agustiah, D., Fauzi, T., & Ramadhani, E. (2020). Dampak Penggunaan Media
Sosial Terhadap Perilaku Belajar Siswa. Islamic Counseling : Jurnal Bimbingan
Dan Konseling Islam, 4(2). https://doi.org/10.29240/JBK.V4I2.1935
Agustinova, D. E. (2018). Penerapan Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Sejarah
Pada Sekolah Menengah Atas. ISTORIA: Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Sejarah,
14(1). https://doi.org/10.21831/istoria.v14i1.19396
Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metode Penelitian Kualitatif. CV. Jejak.
Azizah, W. (2022). a National Characteristic Program For Growing Student’s
Nasionalism Character At Immersion Primary School Ponorogo. Annual
International COnference on Islamic Education for Students, 1(1), 395–405.
https://doi.org/10.18326/aicoies.v1i1.277
Brown, S. F., & Flores, J. C. (2018). Historical Dictionary of Medieval Philosophy
and Theology (2nd ed.). Rowman & Littlefield.
Bulan, W. R., & Baskoro, D. (2019). The Meaning of Nasionalism of Urban
Students, Interpretive study of State Defense in South Jakarta. International
Journal of Multicultural and …, 18–26.
https://ijmmu.com/index.php/ijmmu/article/view/601%0Ahttps://ijmmu.c
om/index.php/ijmmu/article/download/601/416
Chakim, S., Fauzi, Budiyono, A., Nugroho, A. R. B. P., & Solikhah, U. (2023).
Increasing religious tolerance levels among youth with Our Moderate Game
app: Is it effective? HTS Teologiese Studies / Theological Studies, 79(1).
https://www.ajol.info/index.php/hts/article/view/245697
Djamarah, S. B. (2010). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Rineka
Cipta.
Efendi, I., Prawitasari, M., & Susanto, H. (2021). Implementasi Penilaian
102
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
103
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
104
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
https://doi.org/10.14710/jscl.v3i1.17912
Sundara, K., & Solehah, S. (2019). Penanaman Karakter Nilai Pancasila Dalam
Mencegah Terjadinya Lost Generation di Pondok Pesantren. CIVICUS :
Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 7(2), 84–92. https://doi.org/10.31764/civicus.v7i2.1131
Suwito, Kurniawati, H., & Sahnan, A. (2020). Pengembangan Sumber Daya
Manusia Untuk Suksesi Program Full Day School Di Madrasah Ibtidaiyah Al-
Azhary Ajibarang Banyumas. Dimasejati: Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, 2(1). https://doi.org/10.24235/dimasejati.v2i1.6646
Syahira Azima, N., Furnamasari, Y. F., & Dewi, D. A. (2021). Pengaruh Masuknya
Budaya Asing Terhadap Nasionalisme Bangsa Indonesia di Era Globalisasi.
Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(3), 7491–7496.
Trianingsih, R. (2017). Pendidikan dalam Proses Kebudayaan yang Multikultural di
Indonesia. Tarbiyatuna : Kajian Pendidikan Islam, 1(1), 1–12.
http://ejournal.iaiibrahimy.ac.id/index.php/tarbiyatuna/article/view/70
Tule, P. (2000). Religious Conflicts and a Culture of Tolerance: Paving the Way for
Reconciliation in Indonesia. Antropologi Indonesia, 63, 91–107.
https://doi.org/10.7454/ai.v0i63.3404
Wakano, A. (2019). Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Kearifan Lokal
Masyarakat Maluku. A l - i l t i z a M : J u r n a l P e n d i d i k a n A g a m a I s
l a M, 4(2), 25–43.
Yunita, G. F. R., & Anggraini, P. (2020). Comparative Study of Nasionalism Main
Characters in The Novel Negeri van Oranje and Diary Buruh Migran. AKSIS:
Jurnal Pendidikan Bahasa, 4, 230–251.
Yustiani. (2018). NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN DI SEKOLAH
PADA SISWA SMA DI WILAYAH PERBATASAN KALIMANTAN
BARAT. Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi Dan Tradisi, 4(1), 111–123.
https://doi.org/10.18784/smart.v4i1.578.g324
Zahavi, D. (2022). Comment: Debating Empathy: Historical Awareness and
Conceptual Precision. Emotion Review, 14(3), 187–189.
https://doi.org/10.1177/17540739221107027
Zakariah, M. A., Afriani, V., & Zakariah, K. M. (2020). Metodologi Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, Action Research, Research and Development (R and D).
Yayasan Pondok Pesantren Al-Mawaddah Warrahmah.
105
Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam
Vol. 6, No. 2 (2023), pp. 83-106
106