Anda di halaman 1dari 88

BERBEDA, BERDIALOG,

BERJUANG BERSAMA
Keteladanan Para Tokoh Bangsa
Mewujudkan Kemerdekaan
dan Kejayaan Indonesia

Oleh:
Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

MediaDakwah.id
2021
BERBEDA, BERDIALOG,
BERJUANG BERSAMA
Keteladanan Para Tokoh Bangsa Mewujudkan
Kemerdekaan dan Kejayaan Indonesia

140 X 200 mm | viii + 76 halaman


Desember 2021

Penulis :
Adian Husaini
Perwajahan :
Gatot M. Sutejo

MediaDakwah.id
2021

ii
Daftar Isi

Pengantar:
Sabar dan Berdialog, Agar Indonesia Tidak Bubar iv
1. Panitia Sembilan: Cara Bung Karno Merakit
Perbedaan Mewujudkan Kemerdekaan 1
2. Dialog Sehat Bung Karno dengan
Guru Mohammad Natsir 6
3. Keteladanan Mohammad Natsir Menggalang
Persatuan dan Menyelamatkan NKRI 11
4. Hatta-Natsir Berjuang Bersama Mewujudkan
Universitas Pertama Milik Indonesia 17
5. Sjafruddin Prawiranegara: Tokoh Pemberani
Penyelamat Proklamasi 21
6. Jangan Lupa Kita Pernah Bersatu 26
7. Bagaimana Mempersatukan Umat 30
8. Hari NKRI: Jangan Lupa Pesan Mohammad Natsir 34
9. Beginilah Kenegarawanan Mohammad Natsir 38
10. Tingginya Budaya Ilmu dalam Surat-surat
Bung Karno kepada A. Hassan 43
11. Keteladanan Pak Dirman untuk Bangsa 47
12. Cara Beradab Menjadi Negara Hebat 52
13. Kyai Dahlan Mendidik Kita dengan Cinta dan
Ikhlas Berjuang 57
14. Beginilah Kehebatan Ulama Kita 62
15. Toleransi dan Pengorbanan dalam Perjuangan 66
Epilog: Jangan Cinta Dunia Berlebihan 71

iii
Pengantar

Bersabar dan Berdialog


Agar Indonesia Tidak Bubar!

“Betapa pun tajamnya konflik pemikiran, sosial, dan


politik diantara berbagai warga bangsa Indonesia, kapal
NKRI harus berlayar dengan aman. Jangan sampai pecah
karena menabrak karang atau dihancurkan sendiri oleh
penumpangnya.”

INDONESIA adalah negeri yang sangat kaya dengan jumlah


penduduk saat ini (2021) lebih dari 270 juta jiwa. Lembaga
Ekonomi Internasional, PWC, memperkirakan Indonesia akan
menjadi kekuatan ekonomi keempat dunia pada tahun 2050
setelah Cina, India, dan USA.
Di tengah kekayaan alamnya, Indonesia juga dihuni oleh
beraneka ragam penduduk. Keragaman adalah rahmat dan
ujian dari Allah SWT. Keragaman itu telah disatukan dalam satu
bahasa dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Sejarah
dakwah di Nusantara pun dilakukan dengan cara-cara damai.
Akan tetapi, di sejumlah media sosial dan media massa,
kini muncul banyak kekhawatiran, bahwa Indonesia akan
terpecah dan mengalami konflik terbuka seperti Suriah.
Benarkah hal itu akan terjadi dan bagaimana umat Islam
Indonesia menyikapi hal seperti ini?
InsyaAllah, Indonesia tidak akan menjadi seperti Suriah.
Ada syarat penting untuk itu: para tokoh bangsa ini harus

iv
menjaga tradisi dialog ilmiah, sebagaimana dicontohkan oleh
para pendiri bangsa kita. Sejarah menunjukkan bahwa para
pendiri bangsa Indonesia adalah orang-orang yang memiliki
“tradisi dialog” untuk mencapai satu kesepakatan bersama.
Kita bisa menyimak, bagaimana tajamnya perbedaan
pemikiran antara Bung Karno dengan A. Hassan, Natsir, dan
sebagainya. Bung Karno menulis artikel yang mendukung
kebijakan Kemal Attaturk di Turki untuk memisahkan
agama dengan negara. Gagasan ini ditolak oleh para tokoh
Islam. Polemik berlangsung seru. Tapi itu berlangsung
secara ilmiah dan terbuka.
Konflik idelogis yang tajam itu kemudian berlanjut
ke BPUPK. Lalu, Bung Karno memelopori pembentukan
Panitia Sembilan yang melahirkan Piagam Jakarta. Namun,
Piagam Jakarta pun ditolak kembali oleh kalangan minoritas
Indonesia Timur dan sejumlah kalangan lain. Bung Hatta
melobi para tokoh Islam, terutama Ki Bagus Hadikusumo dan
Kasman Singodimedjo, agar bersedia menerima perubahan
Piagam Jakarta —yang dikatakan Bung Karno merupakan
hasil kompromi maksimal yang bisa dicapai antara Golongan
Islam dengan Golongan Kebangsaan. Dalam sidang PPKI 18
Agustus 1945, Bung Karno mendiamkan saja usaha Bung
Hatta itu. Artinya, Bung Karno setuju.
Meskipun kekuasaan Bung Karno dan Pak Harto sempat
berakhir tragis, tetapi Indonesia masih tetap utuh. Sayangnya,
Timor-Timur terlepas. Tantangan berat justru terjadi di era
reformasi. Lebih berat lagi tantangan di era media sosial.
Pada bulan Oktober 2016, saya diundang menjadi pembicara
dalam sebuah seminar internasional di Malaysia tentang
peran media sosial dalam pembangunan bangsa. Saya
membawakan makalah dengan judul “Peranan Media Sosial
Dalam Pembinaan Negara: Pengalaman Indonesia”.
Dr. Rulli Nasrullah M.Si, dalam bukunya Media Sosial:

v
Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2016), mendefinisikan ’media
sosial’ adalah ”medium di internet yang memungkinkan
pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi,
bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain,
dan membentuk ikatan sosial secara virtual.”
Berbeda dengan media informasi sebelumnya, maka
media sosial memberikan kesempatan kepada setiap
pengguna untuk menjadi konsumen sekaligus produsen
informasi. Karena itu, setiap orang berkesempatan menjadi
penyampai informasi, sehingga pemahaman adab informasi,
khususnya bagi umat Islam, sudah sangat mendesak. Masih
sangat banyak masyarakat pengguna media sosial yang
tidak memahami bahwa dirinya sudah menjadi bagian dari
komunitas global, sehingga ia harus sangat berhati-hati
dalam menerima dan menyebarkan informasi.
Data statistik tahun 2014 menyebutkan, bahwa dari
251 juta penduduk Indonesia, 75 juta sudah terhubung
dengan internet, dan 98%-nya aktif dalam media sosial
(www.wearesocial.sg). Data bulan Februari tahun 2020
menunjukkan, sudah 175 juta lebih penduduk Indonesia
yang terhubung dengan internet. Dengan hadirnya era
virus Corona saat ini, jumlah pengguna medsos itu semakin
bertambah.
***
Dengan masifnya penggunaan media sosial, itu artinya,
sudah begitu banyak masyarakat yang hidup berdampingan
secara organik —meskipun bukan secara fisik— melalui
media sosial. Diantara keunggulan media sosial adalah
penyebaran informasi berlangsung dengan sangat cepat,
massif, dan kecil sekali kontrol dari pihak pemerintah.
Karena jumlah pengguna yang sangat besar tersebut,
maka tidak dapat diingkari, media sosial telah memainkan

vi
peranan penting dalam berbagai peristiwa di Indonesia, baik
di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan
juga keagamaan. Media sosial ini diyakini turut menentukan
kemajuan dan perkembangan suatu bangsa dan negara.
Semakin tepat dan benar media sosial tersebut menyampaikan
informasinya ke masyarakat, maka perkembangan dan
kemajuan bangsa dan negara pun menjadi lebih baik.
Apabila media sosial memberikan informasi yang positif
di kalangan masyarakat, maka masyarakat akan memiliki
pola berfikir yang positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebaliknya, pikiran masyarakat yang terlalu banyak
mengkonsumsi informasi yang tidak bermanfaat bahkan
buruk, akan memberikan efek psikologis dan efek perilaku
yang mengikuti apa yang didapatnya.
Media sosial berperan penting dalam penyebaran
informasi-informasi, sehingga berbagai masyarakat dapat
mengetahui informasi dan kejadian-kejadian yang tengah
hangat terjadi dan dapat ikut berpartisipasi dalam rangka
apresiasi loyalitas dan solidaritas terhadap sesamanya. Media
sosial mempermudah membangun komunitas, link dan
jaringan untuk mengembangkan rasa kesatuan.
Untuk tujuan motivasi dalam mempersatukan Bangsa,
media sosial menawarkan kesempatan tak tertandingi untuk
berinteraksi dengan sesama penggunanya dan membina
hubungan. Pengguna akan mendapatkan sebuah feedback
langsung, ide, pengujian dan mengelola pembinaan hubungan
dengan cepat. Media tradisional tidak bisa melakukan
hal tersebut, sebab media tradisional hanya melakukan
komunikasi satu arah.
Dalam kondisi seperti ini, kaum muslim —terutama
para ulama, cendekiawan, dan para pemimpin komunitas—
harus menjadi contoh dalam penggunaan media sosial
yang benar dan tepat. Prinsip “tabayyun” —cek dan ricek—

vii
dan kemanfaatan, wajib dikedepankan dalam menerima
dan menyebarkan suatu berita. Kasus “kelepon” yang
menghebohkan jagat media sosial menunjukkan betapa
rentannya bangsa kita untuk diadu domba.
Masyarakat yang masih terbelah akibat sejumlah
peristiwa politik masih sangat rentan untuk diadu domba
—entah oleh siapa. Kinilah saatnya para pemimpin muslim
dan negarawan-negarawan yang arif memelopori upaya dialog
ilmiah dari hati ke hati. Langkah pertama, berbagai “persepsi
ancaman” yang telah tertanam dalam pikiran berbagai
kelompok bangsa perlu diuji secara ilmiah dan terbuka.
Tahun 1945, di tengah perbedaan tajam aspirasi ideologis
dalam BPUPK, Bung Karno membentuk Panitia Sembilan.
Ini inisiatif pribadi Bung Karno, di luar sidang resmi BPUPK
yang telah membentuk Panitia Delapan. Usaha Bung Karno
ini sukses. Tahun 1950, Mohammad Natsir juga berhasil
melobi para pemimpin negara-negara RIS untuk menyatukan
diri kembali dalam NKRI. Mosi Integral Natsir ini pun sukses.
Pengalaman pahit 1965 dan 1998 tentunya tidak kita
inginkan untuk terulang kembali. Umat Islam sangat
bertanggung jawab atas keutuhan kapal NKRI. Betapa pun
tajamnya konflik pemikiran, sosial, dan politik di antara
berbagai warga bangsa Indonesia, kapal NKRI harus berlayar
dengan aman. Jangan sampai pecah karena menabrak karang
atau dihancurkan sendiri oleh penumpangnya.
Semoga Allah SWT menyelamatkan umat dan bangsa
kita semua dan membimbing para pemimpinnya agar saling
mengasihi dan berjuang bersama untuk kemajuan dan
kejayaan bangsa Indonesia. Aamin. []

viii
~1~
Panitia Sembilan:
Cara Bung Karno Merajut
Kebersamaan Menuju Kemerdekaan

‘’Marilah kita sekarang menunjukkan ke hadapan Allah


SWT dan di hadapan manusia seluruh dunia melintasi
lima benua dan tujuh samudra, bahwa bangsa Indonesia
telah kuat untuk merdeka, dan oleh karenanya bangsa
Indonesia itu bersatu bulat dan tidak ada retak di dalam
dada bangsa itu.’’ (Bung Karno di BPUPK)

MENGHADAPI berbagai hiruk pikuk dan kemelut dalam


kehidupan berbangsa saat ini, ada baiknya kita menengok
dan merenungkan lagi, kisah-kisah teladan para pendiri
bangsa kita. Di tengah perbedaan tajam secara pemikiran,
mereka selalu berusaha mencari titik temu.
Menjelang kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, terjadi perdebatan tajam antara sejumlah tokoh
bangsa. Para tokoh yang berkumpul di Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mendapatkan tugas
untuk menyiapkan naskah Undang-undang Dasar bagi
Negara yang akan merdeka.
Terjadi perdebatan keras dan cerdas antar berbagai tokoh
dengan latar belakang pemikiran masing-masing. Para tokoh
Islam yang menjadi anggota BPUPK mengusulkan agar Negara
Indonesia merdeka nantinya berdasarkan kepada Islam dan
menerapkan syariat Islam. Sebab, hukum Islam memang
sudah berlaku di berbagai wilayah di Indonesia, jauh sebelum

1
kedatangan penjajah Belanda dan lain-lain.
Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhammadiyah, dalam
sidang BPUPK tahun 1945 pernah memberikan bantahan
terhadap suara-suara yang meragukan syariat Islam. Kata
Ki Bagus Hadikusumo, “Seringkali terdengar suara yang
mengatakan bahwa hukum Islam itu adalah peraturan yang
sudah tua, tidak dapat lagi dilakukan di zaman sekarang
ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan penduduknya
beragama Islam, tetapi hukum Islam tak dapat berjalan.
Memang benar, tetapi tuan-tuan harus ingat juga apa yang
menyebabkan hukum Islam tak dapat berjalan dengan
sempurna di Indonesia. Sebabnya tiada lain ialah karena
tipu-muslihat curang yang dilakukan oleh pemerintah
Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang
senantiasa berusaha hendak melenyapkan agama Islam
dari jajahannya oleh karena tahu bahwa selama bangsa
Indonesia tetap berpegang teguh kepada agama Islam, tentu
tidak menguntungkan dia.” (Dikutip dari buku Ahmad Syafii
Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES,
1987), hlm. 105).
Akan tetapi, ada juga golongan lain yang menolak
ditegaskannya Indonesia sebagai Negara Islam yang
menerapkan syariat Islam. Golongan ini ingin, agar negara
bersikap netral terhadap agama. Jadi, negara diatur dengan
hukum buatan manusia, bukan hukum agama, sebagaimana
yang telah terjadi di negara-negara Barat. Pihak Kristen juga
setuju dengan konsep negara sekular ini.
Karena ada dua aspirasi besar tersebut, maka Bung Karno
berinisiatif membentuk Panitia Sembilan, untuk mencarikan
jalan keluar. Panitia Sembilan beranggotakan; Soekarno,
Moh. Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Subardjo, Haji Agus
Salim, KH Wachid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul
Kahar Muzakkir, dan MA Maramis. Setelah bermusyawarah,

2
akhirnya, Panitia Sembilan berhasil merumuskan “Piagam
Jakarta”, yang dianggap sebagai suatu bentuk kompromi.
Adalah Bung Karno yang memimpin Panitia Sembilan itu.
Usai menyampaikan naskah Piagam Jakarta kepada
para pimpinan dan anggota BPUPK, Soekarno mengatakan,
“Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-
usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa
menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada
di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.”
Soekarno juga mengajak agar seluruh anggota BPUPK
segera bersatu mewujudkan Indonesia merdeka, ‘’Marilah
kita sekarang menunjukkan ke hadapan Allah SWT dan di
hadapan manusia seluruh dunia melintasi lima benua dan
tujuh samudra, bahwa bangsa Indonesia telah kuat untuk
merdeka, dan oleh karenanya bangsa Indonesia itu bersatu
bulat dan tidak ada retak di dalam dada bangsa itu.’’
***
Namun, ketika itu, ajakan Soekarno untuk menerima
naskah Piagam Jakarta belum diterima sepenuhnya oleh
berbagai kalangan. Dari pihak Kristen, Latuharhary, tokoh
Kristen dari Maluku, yang menggugat rumusan Piagam Jakarta.
Menanggapi Latuharhary, Soekarno menyatakan,
“Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah
hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham
antara golongan-golongan yang dinamakan golongan
kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat itu
tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa
menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.”
K.H. Wachid Hasjim, tokoh NU juga menyampaikan
tanggapannya, bahwa rumusan Piagam Jakarta itu tidak
akan menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan.
Menanggapi pernyataan Wachid Hasjim itu, Soekarno
menegaskan lagi, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis

3
untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis
itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan,
saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan
kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”
Piagam Jakarta adalah naskah Pembukaan (Preambule)
UUD 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia
merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati,
maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945
masih menjadi persoalan. Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945,
Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang
Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft
pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah
agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang
yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Wachid
Hasjim, “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada
umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan
sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya
boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Usul Wachid Hasjim didukung oleh Soekiman. Tapi, Agus
Salim mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan
lagi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara
golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usul Wachid
Hasjim akhirnya kandas. Tapi, pada rapat tanggal 14 Juli
1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah
kembali mengangkat usul Kyai Sanusi yang meminta agar
frase “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta
dihapuskan saja. Jadi, bunyinya: “Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Menanggapi permintaan Kyai Sanusi dan Ki Bagus
Hadikoesoemo, Soekarno kembali mengingatkan akan adanya
kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan.
Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPK,

4
“Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga
dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua
pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan
mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang
berdasar memberi dan mengambil... Pendek kata, inilah
kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang
teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang
terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai
perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen’s agreement,
supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak
kebangsaan.” (Tentang perdebatan di BPUPK, lihat: Adian
Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional
Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).
Begitulah kisah perdebatan tajam di antara para pendiri
bangsa. Dan akhirnya, atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa, alhamdulillah, kita pun meraih kemerdekaan.
Indonesia adalah negara yang begitu beragam. Karena
itu, diperlukan kearifan, kecerdasan, dan keikhlasan para
pemimpin kita untuk memberi teladan dalam kehidupan,
agar kapal NKRI tetap selamat dan sejahtera menuju pantai
seberang. []

5
~2~
Dialog Sehat
Bung Karno dengan
Guru Mohammad Natsir

”Kita memang sama-sama menghendaki kemerdekaan,


tetapi motivasi kita berbeda, faham dan prinsipnya juga
berbeda, tapi kita tidak bermusuhan secara pribadi.”
(Mohammad Natsir)

BUNG KARNO (Ir. Soekarno) pernah terlibat perdebatan


dengan sejumlah tokoh Islam. Salah satunya adalah A.
Hassan, guru Mohammad Natsir. Meskipun perdebatan itu
berlangsung dengan sangat tajam, tetapi hubungan diantara
para tokoh itu tetap berlangsung baik.
Mohammad Natsir menceritakan, bahwa bahwa dialog
para tokoh Islam dengan Soekarno ketika itu berlangsung
secara sehat. Itu diceritakan Pak Natsir kepada Amien Rais
dan kawan-kawan, saat mereka mewawancarai Pak Natsir,
beberapa tahun sebelum wafatnya (1993).
”Kita memang sama-sama menghendaki kemerdekaan,
tetapi motivasi kita berbeda, faham dan prinsipnya juga
berbeda, tapi kita tidak bermusuhan secara pribadi. Inilah
yang saya maksud dialog yang ”sehat”. Orang bisa berbeda
pendapat, dan bahkan berbeda 180 derajat, tapi masih dapat
berkomunikasi secara terbuka. Bahkan, pada saat Bung
Karno ditahan di penjara oleh pemerintah penjajah, kamilah

6
dari Persis yang pertama-tama menjenguknya. Bukan
keluarganya atau teman-temannya.” (A. Watik Pratiknya
(ed.), Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang
Bapak, hlm. 48-49).
Perdebatan antara Bung Karno dengan A. Hassan terjadi.
Bung Karno melontarkan gagasannya soal hubungan agama
dan negara di Majalah “Pandji Islam”. Uniknya, majalah ini
dipimpin oleh tokoh Masyumi, Zainal Abidin Ahmad. Pada
edisi nomor 12 dan 13 tahun 1940, Bung Karno menulis
sebuah artikel berjudul “Memudakan Islam”.
Dalam tulisannya, Bung Karno menyebut sekularisasi
yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki —yakni pemisahan
agama dari negara— sebagai langkah “paling modern” dan
“paling radikal”. Kata Bung Karno, “Agama dijadikan urusan
perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi
Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri,
dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita
kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-
Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan,
misalnya, Rusia.”
Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama
dengan yang dilakukan negara-negara Barat. Di negara-
negara seperti Inggris, Prancis, Belanda, Belgia, Jerman,
dan lain-lain, urusan agama diserahkan kepada individu
pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak
dijadikan sebagai urusan negara, tidak dijadikan sebagai
agama resmi negara. Jadi, simpul Soekarno, buat keselamatan
dunia dan buat kesuburan agama —bukan untuk mematikan
agama itu— urusan dunia diberikan kepada pemerintah, dan
urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama.
“Geef den Keizer wat des Keizers is, en God wat Godes is,”
kata Soekarno mengutip Bijbel. (M. Thalib dan Haris Fajar,
Dialog Bung Karno - A. Hassan, 1985:25-28).

7
Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan, mengritik
keras pandangan Soekarno tentang sekularisme. Di Majalah
yang sama ia menulis artikel berjudul “Membudakkan
Pengertian Islam”. Hassan menyebut logika Soekarno sebagai
“logika otak lumpur”. Sebagian besar pejabat pemerintah
Turki di masa Attaturk, menurut A. Hassan, adalah pemabok,
hobi dansa, dan pelaku berbagai kegiatan maksiat lainnya.
Tetapi, itulah yang justru dipuji Soekarno sebagai tindakan
paling modern dan radikal. Mereka juga yang menghapus
hukum-hukum Allah dari masyarakat Turki. A. Hassan
mencontohkan, di negara Rusia saja, orang Islam bebas salat
di masjid dan boleh berazan dalam bahasa Arab.
A. Hassan menegaskan, “Ir. Soekarno tidak mengerti,
bahwa Eropa memisahkan agama Kristen dari Staat (negara),
tidak lain karena di dalam agama Kristen tidak ada ajaran
(konsep) tentang pemerintah. Dari jaman Nabi Isa hingga
sekarang ini belum pernah terdengar bahwa suatu negara
menjalankan hukum agama Kristen.” Soal penyalahgunaan
Islam oleh negara, menurut A. Hassan, hal yang sama bisa
terjadi pada paham yang lain, seperti paham kebangsaan yang
dianut oleh Soekarno. “Apabila suatu negara atau kerajaan
telah menjadikan Islam sebagai perabot (alat) sehingga ia
menjadi penghambat kemajuan dan hilang pengaruhnya,
maka siapakah yang bersalah? Negara atau Agama? Kalau
di suatu tempat (paham) kebangsaan dijadikan untuk
memecah belah, maukah saudara Ir. (Soekarno) membuang
dan menyingkirkan (paham) kebangsaan dengan alasan yang
sama,” kata A. Hassan.
Alasan bahwa jika agama dipakai untuk memerintah
maka akan digunakan sebagai alat penghukum oleh rezim
yang zalim, juga ditolak keras oleh A. Hassan. Alasan
semacam itu disebutnya sangat dangkal, “cethek”, dan
menunjukkan pikiran yang “cethek” pula.

8
A. Hassan menulis, “Kalau raja-raja, orang zalim dan
orang-orang bertangan besi menggunakan agama Islam
sebagai alat penghukum —katakanlah dengan cara yang
zalim— maka dapatkah ini berarti bahwa agama itu tidak
mampu menjadi hukum negara, atau memang merupakan
hukumyang tidak adil? Tidakkah pembaca perhatikan,
berapa banyak raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang
tangan besi menggunakan hukum negara bikinan manusia
untuk memeras, menindas, dan menganiaya rakyat? Lihatlah
Prancis sebelum revolusi besar, lihatlah Rusia sebelum dan
sesudah komunis. Bacalah pula sejarah di lain-lain negara,
niscaya pembaca akan menemukan, betapa panggung sejarah
penuh dengan kekejaman raja-raja dengan menggunakan
hukum buatan manusia sendiri. Bahkan lihatlah negara-
negara yang mengatakan dirinya sebagai negara maju, betapa
mudah mereka itu membuat hukum yang sewaktu-waktu
diperlukan untuk menindas rakyat!”
Penggunaan dalil Bibel untuk memisahkan urusan negara
dan urusan agama dinilai sebagai alasan “sontoloyo” oleh A.
Hassan. “Saudara Ir. (Soekarno) rupanya tidak atau belum
mengetahuinya, bahwa bencana dunia yang sebegini banyak
datangnya justru dari negara yang tidak menggunakan
agama sebagai hukum positif. Kalau negara diurus secara
atau menurut agama, niscaya selamatlah dunia dari segala
bencana,” tulis A. Hassan.
***
Tradisi dialog secara terbuka di media massa seperti
itu sudah dilakukan oleh para tokoh bangsa kita. Mereka
berani beradu pendapat. Wawasan mereka luas. Mereka
berargumen dengan buku. Pak Natsir bercerita, ketika duduk
di bangku SMA Belanda (AMS) di Bandung, ia diwajibkan
membaca minimal 36 buku, ketika menghadapi ujian satu
mata pelajaran saja.

9
Tradisi dialog ilmiah semacam ini perlu dihidupkan.
Tentu saja harus disertai dengan kualitas intelektual yang
baik dan niat yang baik untuk kemaslahatan bangsa dan
negara kita. InsyaAllah, dari dialog ilmiah semacam ini, bisa
dicapai titik-titik temu diantara berbagai aspirasi ideologis.
Bung Karno sudah melakukan itu saat membentuk Panitia
Sembilan yang melahirkan Pembukaan UUD 1945. []

10
~3~
Keteladanan Mohammad Natsir
Menggalang Persatuan dan
Menyelamatkan NKRI

”Pokoknya, tidak ada satu pun dari negara-negara


bagian itu yang akan menolak Soekarno-Hatta menjadi
presiden. Di sini, fungsi Soekarno-Hatta itu untuk
mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk
mempersatukan kembali.” (Mohammad Natsir)

TAHUN 2008, Mohammad Natsir, Ketua Dewan Da’wah


Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama, mendapat
penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu jasa
besarnya adalah mengembalikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Beginilah kisah perjuangan Mohammad
Natsir menyelamatkan NKRI.
Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir
mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik
Indonesia Serikat). Itulah ”Mosi Integral Natsir”, yang
memungkinkan bersatunya negara-negara Bagian ke dalam
NKRI.
Mosi Integral Natsir telah mengantarkan terbentuknya
kembali (Proklamasi Kedua) Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang secara resmi diumumkan pada 17 Agustus
1950. Proklamasi pertama ialah tanggal 17 Agustus 1945.
Mosi Integral Natsir ibarat Proklamasi Kemerdekaan
kedua. Dengan Mosi itu, maka bubarlah Republik Indonesia

11
Serikat (RIS), yang merupakan hasil konferensi Inter
Indonesia —antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi
BFO— di Yogyakarta 19-22 Juli 1949.
Pembentukan BFO adalah upaya Belanda untuk
”mengepung” Republik Indonesia. Negara-negara BFO
adalah; Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara
Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo
Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara
Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara
Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur,
dan Negara Jawa Tengah. Dengan demikian, Belanda berhasil
menunjukkan, bahwa wilayah negara Republik Indonesia
hanyalah di sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera.
(Lihat, Anwar Harjono dkk., Muhammad Natsir: 70 Tahun
Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta:
Pustaka Antara, 1978).
Mosi Integral Natsir akhirnya berhasil membubarkan
BFO bikinan Van Mook dan penyatuan kembali NKRI. Kepada
Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan
peristiwa penting dalam sejarah Indonesia tersebut:
”Setelah tidak menjabat Menpen, saya aktif di Masyumi.
Waktu itu saya di parlemen sebagai ketua fraksi Masyumi.
Itu sudah ada KMB yang mengakui 15 negara bagian.
Salah satu dari negara bagian yang diakui adalah negara
Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogya.
Mulanya saya diminta oleh Bung Hatta pergi ke Yogya
menjadi perdana menteri. Saya tidak mau. Biarlah
orang Yogya saja, kata saya. Saya sudah terikat di
Jakarta, di Partai Masyumi. Masyumi sebagai alat
perjuangan, saya anggap lebih penting daripada suatu
negara bagian.
Meskipun Yogya menjadi negara bagian, sesudah
KMB, kita bertekad mengembalikan RI seperti semula.

12
Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo dari
Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen,
dengan PKI, dan sebagainya. Dari situ saya mendapat
kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu,
semuanya mau membubarkan diri untuk bersatu dengan
Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri.
Dua bulan setengah saya melakukan lobby. Tidak
mudah, lebih-lebih dengan negara-negara bagian di
luar Jawa. Umpamanya negara bagian di Sumatra dan
Madura. Setelah selesai semua, lantas saya adakan
“mosi integral” yang kabur-kabur. Ha-ha-ha... kabur,
sebab kita menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti
Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke
mana perginya rencana itu.
Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya. Tapi Yogya
tidak mau membubarkan diri. Lantas saya katakan:
Kita punya program menyatukan kembali semuanya,
jadi kita bayar ini dengan sama-sama membubarkan
diri. Walaupun beberapa pemimpin sudah setuju,
masyarakatnya belum mau, karena harga dirinya
tersinggung.
Sampai pukul 3 dini hari kami membicarakan soal
itu dengan jurnalis-jurnalis, orang-orang penting, dan
pemimpin-pemimpin di Yogya. Ada yang bilang, “Kalau
kita pulihkan dengan cara membubarkan diri, apa tidak
sulit nanti? Hilang kita punya negara.” Wah, itu masuk
akal juga.
Lalu saya katakan, kita mempunyai program. Program
mempersatukan kembali.
Untuk itu ada dua alternatif. Pertama, kita berperang
dulu dengan semuanya. Dengan negara Pasundan,
dengan negara Madura, Jawa Timur, dan lain-lain.
Mereka semuanya akan kalah, dan kita menjadi satu.

13
Alternatif kedua, kita tidak berperang. Kita ajak mereka
membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. Nah,
kita, negara Yogya ini punya Dwitunggal Soekarno-
Hatta. Mereka tidak. Saya katakan lagi, “Dalam sejarah
jangan kita lupakan faktor pribadi; mutu pribadi orang
itu menunjukkan siapa itu Soekarno-Hatta. Tidak akan
ada yang bisa mengatakan ‘tidak’ kalau kita majukan
nama Soekarno-Hatta menjadi Presiden RI. Sedangkan
kita, para pemimpin-pemimpin ini, diam sajalah
mengikut. Kalau diperlukan, ya, dipakai, dan kalau
tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya, tidak ada satu
pun dari negara-negara bagian itu yang akan menolak
Soekarno-Hatta menjadi presiden.
Di sini, fungsi Soekarno-Hatta itu untuk mempersatukan,
untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan
kembali. Setelah “mosi integral” berhasil, saya dipercayai
jadi perdana menteri. Tapi saya tidak memikirkan hal itu
sama sekali tadinya. Saya juga heran. Wartawan Harian
Merdeka Asa Bafagih bertanya kepada Soekarno tentang
siapa yang akan jadi perdana menteri. Kata Soekarno,
“Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka
punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui
konstitusi.”
***
Demikianlah penuturan Natsir tentang peristiwa mosi
integral tersebut, sebagaimana ditulis oleh Majalah Tempo.
Kisah kepahlawanan Natsir itu menunjukkan kepiawaian dan
kematangan Mohammad Natsir dalam dua hal: komunikasi
dan lobi. Dua kemampuan yang sangat diperlukan dalam
dunia politik.
Tampaknya, kemampuan Mohammad Natsir itu ditempa
oleh pengalamannya yang panjang sebagai guru pejuang
dan aktivis organisasi Islam (JIB). Dan tentu saja, tak bisa

14
dilepaskan dari keteladanan tiga orang guru yang paling
berpengaruh dalam hidupnya, yaitu; A. Hassan, Haji Agus
Salim, dan Syekh Ahmad Soorkati.
Dalam perspektif pendidikan, kemampuan Mohamamd
Natsir itu diperoleh melalui proses pendidikan yang ideal.
Yakni, proses pendidikan yang mendahulukan adab dan
kecintaan terhadap ilmu yang bermanfaat. (Lihat juga: Adian
Husaini dan Galih Setiawan, Pemikiran dan Perjuangan
Mohammad Natsir dan Hamka dalam Pendidikan, GIP, 2019).
***
Ketokohan dan jasa-jasa Mohammad Natsir pun diakui
oleh dunia internasional. Ketika Mohammad Natsir wafat
pada 6 Februari 1993, salah satu ucapan belasungkawa
datang dari mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda.
Dalam suratnya tertanggal 8 Februari 1993, yang ditujukan
kepada keluarga besar Mohammad Natsir, Takeo Fukuda
menulis, bahwa berita wafatnya Mohammad Natsir, terasa
lebih dahsyat dari bom atom Hiroshima.
Berikut ini isi surat Takeo Fukuda, yang juga pernah
menjadi Menteri Keuangan Jepang:
“Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar
dengan meninggal dunianya Dr. Mohammad Natsir.
Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih
dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena
kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar
dunia Islam. Peranan beliau masih sangat diperlukan
dalam mengkoordinasikan dunia yang stabil.
Saya banyak belajar dari beliau ketika beliau
berkunjung ke Jepang di saat saya menjabat Menteri
Keuangan. Beliaulah yang meyakinkan kami di Jepang
tentang perjuangan masa depan pemerintah Orde Baru
di Indonesia yang bersih dan sejahtera, bersamaan
dengan cita-cita beliau untuk menciptakan dunia Islam

15
yang stabil, adil, sejahtera dengan kerja sama Jepang.
Kini beliau sudah tiada. Walaupun keberadaan
beliau masih sangat kita perlukan, tetapi Tuhan telah
mengambil kembali beliau untuk beristirahat.
Dengan penuh kesedihan izinkan saya atas nama
kawan-kawan beliau di Jepang menyampaikan kata
belasungkawa atas kepergian teman kami, pemimpin
dunia yang disegani, Doktor Mohammad Natsir.
Kami yakin kepergian beliau dengan ketenangan karena
telah banyak murid-murid beliau yang setia diharapkan
meneruskan perjuangan suci beliau.” (Surat Takeo
Fukuda dikutip dari buku Gagasan dan Gerak Dakwah
Natsir, karya H. Mas’oed Abidin (Yogyakarta: Gre
Publishing, 2012).
Demikian ketokohan dan keteladanan Mohammad Natsir,
yang pada tahun 2008, dianugerahi oleh pemerintah RI
sebagai ”Pahlawan Nasional”. []

16
~4~
Hatta-Natsir Berjuang Bersama
Mewujudkan Universitas Pertama
Milik Indonesia
“Meskipun Bung Hatta dan Mohammad Natsir sering
dipetakan berasal dari dua kubu aliran pemikiran
politik yang berbeda, tetapi keduanya berjuang
bersama dalam merumuskan dan mewujudkan satu
universitas pertama milik bangsa Indonesia. Inilah
satu contoh keteladanan bagi bangsa Indonesia.”
ADA satu kisah menarik tentang pendirian Sekolah Tinggi
Islam (STI) yang ditulis dalam buku Alam Pikiran dan Jejak
Perjuangan Prawoto Mangkusasmito (Jakarta: Kompas, 2014).
Bahwa, pada akhir tahun 1944, Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) —gabungan organisasi Islam di zaman
Jepang— membuat dua keputusan.
Pertama, membentuk barisan mujahidin dengan nama
Hizbullah. Kedua, mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan
nama Sekolah Tinggi Islam (STI). Selanjutnya dibentuk Panitia
Perencana STI yang dipimpin Muhammad Hatta.
STI resmi dibuka pertama kali pada 27 Rajab 1364 Hijriah
atau 8 Juli 1945. Itu berarti 41 hari sebelum Proklamasi
Kemerdekaan RI - 17 Agustus 1945. Susunan lengkap
pengurus STI adalah; Ketua Badan Wakaf Said Wiratmana
Hasan dan sekretaris Kartosoedarmo. Adapun Ketua Badan
Pengurus/Kurator STI dijabat oleh Muhammad Hatta, Rektor
KH Abdul Kahar Muzakkir, Sekretaris Mohammad Natsir dan
Wakil Sekretaris Prawoto Mangkusasmito.

17
Abdul Kahar Muzakkir menjabat rektor STI —yang tahun
1948 menjadi Universitas Islam Indonesia (UII)— sampai
tahun 1960. Ia adalah anggota BPUPK dan tahun 2019
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI.
Sedangkan Prawoto Mangkusasmito adalah Ketua Umum
Partai Masyumi terakhir.
Upacara peresmian STI di Gedung Masyumi, Jalan Teuku
Umar, dihadiri oleh sejumlah pembesar Jepang, pimpinan
Jakarta Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta),
dan juga beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Bung
Karno. Ketika itu, Abdul Kahar Muzakkir menyampaikan
kuliah Ilmiah tentang “Pentingnya Pendidikan Islam”. Abdul
Kahar Muzakkir adalah lulusan Universitas al-Azhar Kairo.
Ia berjasa besar dalam mengenalkan Indonesia di Mesir
dan Timur Tengah, melalui tulisan-tulisannya di jurnal
ilmiah di Mesir. Dengan itu, Indonesia dikenal dan diakui
kemerdekaannya oleh Mesir.
Ketika STI didirikan, telah ada sejumlah perguruan tinggi
lain, seperti Technishe Hoge School (THS, Sekolah Tinggi
Teknik) Bandung, Rechts Hoge School (RHS, Sekolah Tinggi
Hukum) Jakarta. Dan Geneeskundige Hoge School (GHS,
Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta.
Tetapi, ketiga perguruan tinggi itu didirikan oleh
pemerintah kolonial Belanda dalam rangka Politik Balas Budi.
Jadi, STI adalah Perguruan Tinggi pertama yang benar-benar
didirikan oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia.
Keunikan lain, mahasiswa STI diajar oleh para tokoh
nasional, seperti Muhammad Hatta mengajar mata kuliah
Pengantar Ekonomi, Abdul Kahar Muzakkir mengajar mata
kuliah Bahasa Arab dan HM Rasjidi mengajar Sosiologi. Salah
satu mahasiswa STI adalah Soebianto Djojohadikoesoemo
yang gugur dalam pertempuran Lengkong. Soebianto
merupakan paman Prabowo Soebianto. Ia dikenal sebagai

18
mahasiswa anti-Jepang, yang memilih pindah ke STI dari
Sekolah Tinggi Kedokteran.
Pada acara Dies Natalis ke-3, 10 Maret 1948, setelah
pindah ke Yogyakarta, STI berubah menjadi UII. Ketika itu,
Bung Karno memberi sambutan dan berpesan, “Dirikanlah
pergedungan Universitas Islam Indonesia dengan corak
nasional yang dijiwai Islam, dan hendaknya merupakan
pergedungan yag terbesar di Asia Tenggara.”
Pada tahun 1950, Fakultas Agama UII diambil alih oleh
pemerintah dan dikembangkan menjadi IAIN. Sedangkan
Fakultas Pendidikan UII, tahun 1951, diambil alih oleh UGM
dan kemudian berkembang menjadi Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta —kini menjadi Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY).
Pada tanggal 31 Juli 2019, saya diundang oleh UII
Yogyakarta dalam sebuah diskusi tentang Pendidikan
Islam. Rektor UII, Dr. Fathul Wahab, yang hadir juga
sebagai pembicara, menunjukkan Tujuan UII; (1)
Membentuk cendekiawan muslim dan pemimpin bangsa
yang berkualitas, bermanfaat bagi masyarakat, menguasai
ilmu keislaman dan mampu menerapkan nilai-nilai Islami
serta berdaya saing tinggi; (2) Melahirkan pemikir-pemikir
yang dapat membumikan konsep rahmatan llil-alamin; (3)
Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, budaya, sastra dan seni yang berjiwa Islam; (4)
Berperan aktif membangun masyarakat dan negara Republik
Indonesia yang adil dan makmur serta mendapat ridha Allah
SWT; (5) Mendalami, mengembangkan, dan menyebarluaskan
pemahaman ajaran agama Islam untuk dipahami, dihayati,
dan diamalkan oleh warga universitas dan masyarakat.
***
Begitulah perjuangan umat Islam dalam mewujudkan
Perguruan Tinggi Islam yang pertama di Indonesia. Tampak

19
begitu serius dan begitu tinggi harapan para tokoh Islam
untuk mewujudkan Perguruan Tinggi Islam pertama itu.
Tujuannya begitu mulia. Itu adalah amanah bagi pemimpin,
dosen, dan sivitas akademika UII saat ini.
Bahkan, harapan untuk memiliki sebuah Perguruan
Tinggi Islam sudah disuarakan oleh banyak tokoh Islam, jauh
sebelum kemerdekaan. TUJUH tahun sebelum STI berdiri,
bulan Juni 1938, Mohammad Natsir sudah menulis artikel
panjang di Majalah Pedoman Masyarakat, dengan judul
“Sekolah Tinggi Islam”.
“Kaum muslimin Indonesia haus akan pelajaran tinggi,” tulis
Mohammad Natsir. Lebih jauh Pak Natsir mencatat, “Tiap-tiap
usaha untuk menciptakan Sekolah Tinggi di negeri kita ini sudah
tentu akan disambut oleh seluruh umat Islam dengan gembira
dan suka cita. Dan tiap-tiap pendiri Sekolah Tinggi, berhak
mendapat sokongan harta dan semangat dari tiap-tiap orang
Islam dan perkumpulan-perkumpulan Islam. Sebaliknya, kaum
muslimin berhak pula banyak sedikitnya mengetahui dengan
jelas arah mana yang hendak dituju, dan bagaimana rancangan
pekerjaan hendak dilakukan. Supaya jelas kemanakah sokongan,
banyak sedikitnya, hendak diserahkan pula.” (Lihat, Mohammad
Natsir, Capita Selecta, Buku I, Jakarta: Media Dakwah, 2008).
Kini, UII Yogyakarta telah menjadi satu kampus besar di
Indonesia. Tahun 2019, Kemenristekdikti menempatkannya
pada posisi ke-17, dari 100 deretan Perguruan Tinggi terbaik
di Indonesia. Itu versi pemerintah, yang tidak memasukkan
kriteria iman, taqwa, dan akhlak mulia, dalam penilaian
kualitas Perguruan Tinggi.
Meskipun Bung Hatta dan Mohammad Natsir sering dipetakan
berasal dari dua kubu aliran pemikiran politik yang berbeda,
tetapi keduanya berjuang bersama dalam merumuskan dan
mewujudkan satu universitas pertama milik bangsa Indonesia.
Inilah satu contoh keteladanan bagi bangsa Indonesia. []

20
~5~
Sjafruddin Prawiranegara:
Tokoh Pemberani Penyelamat
Proklamasi
”Peliharalah, pertahankanlah Republik Indonesia ini yang
telah dibentuk berdasarkan UUD 1945 yang berlandaskan
Pancasila dengan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran
Allah Subhanahu wa-Ta’ala dan Rasulullah shalallahu
alaihi wa-sallam dalam al-Quran dan Hadits untuk
kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh bangsa tanpa
kecualinya.” (Sjafruddin Prawiranegara)

SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA, adalah salah satu


pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia yang dikenal
sebagai negarawan dan juga ekonom yang ulung. Ia adalah
Gubernur Bank Sentral yang pertama. Tetapi, karena sering
bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Lama dan Orde
Baru, Sjafruddin harus masuk penjara dan banyak berurusan
dengan aparat, karena sikapnya yang tegas dan berani dalam
menyuarakan kebenaran.
Salah satu jasa besar Sjafruddin adalah mendirikan
dan memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI), ketika Presiden, Wakil Presiden dan banyak menteri
ditangkap Belanda. Sjafruddin disebut sebagai Presiden
darurat. Dengan itu, Sjafruddin telah menyelamatkan
Proklamasi Kemerdekaan RI. Hebatnya, setelah itu, ia dengan
sukarela mengembalikan kursi kepresidenan kepada Bung
Karno. Inilah cara para tokoh bangsa berjuang bersama
dalam upaya memajukan NKRI.

21
Dalam hidupnya, Sjafruddin pun dikenal sebagai aktivis
dakwah yang kritis, sehingga ia harus berhadapan dengan
aparat di masa Orde Baru. Misalnya, Sjafruddin pernah
diperiksa terkait isi khutbah Idul Fitri 1404 H di Masjid
al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta. Ketika itu, Sjafruddin
mengatakan, “Saya ingin mati di dalam Islam, dan ingin
menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia,
tetapi takutlah kepada Allah.”
Sjafruddin menulis pesan dalam buku berjudul Aspirasi
Islam dan Penyalurannya. Buku ini dia sebut sebagai ”pesan
terakhir kepada bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam
khususnya, lebih khusus lagi kepada generasi muda muslim
yang akan menggantikan kami yang tua-tua.”
Sjafruddin menegaskan jati dirinya sebagai seorang
muslim yang teguh: ”isyhaduu bianna Muslimuun (saksikanlah
sesungguhnya kami ini seorang muslim).” Dalam buku ini
Sjafruddin menolak tegas sekulerisme. Dia menegaskan tidak
adanya pemisahan masjid dengan negara seperti pemisahan
gereja dengan negara.
Mr. Sjafruddin berpendapat bahwa yang paling penting
bagi kaum muslim ialah diakui dan dihormati hak-hak
asasinya. Dalam negara yang berdemokrasi, menurut
Sjafruddin, rakyat harus bebas menjalankan “amar ma’ruf
nahi munkar”. Perintah Allah ini tidak boleh dihalang-halangi
oleh kekuasaan.
Selanjutnya dia berkeyakinan bulat bahwa Indonesia
tidak mungkin keluar dari kemelut ekonomi/sosial sekarang
dan di masa datang tanpa bantuan moralitas dan kreativitas
kaum muslim yang benar-benar cinta kepada Allah SWT dan
sesama makhluknya. Menurut Sjafruddin, jikalau dipahami,
dihayati, dan diamalkan dengan benar, maka Islam akan
menjadi sumber perdamaian dan peradaban. Bukan saja
bagi bangsa Indonesia akan tetapi dapat sebagai contoh bagi

22
seluruh umat Islam, bahkan seluruh umat manusia.
Mr. Sjafruddin Prawiranegara adalah da’i yang juga
presiden penyelamat republik. Sebagai penyelamat republik,
Sjafruddin melakukan tindakan yang berani dalam
membentuk Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI). Naluri
amar ma’ruf nahi munkar Sjafruddin berkobar ketika presiden
dan wakilnya serta separoh lebih kabinetnya ditangkap
Belanda melalui agresi militer keduanya.
Sjafruddin Prawiranegara berinisiatif membentuk PDRI
berdasarkan inspirasi dari Allah Yang Maha Kuasa. Memang
ketika itu ada mandat dari Presiden Soekarno, namun itu
tidak pernah sampai di tangannya. Bung Hatta menyebutnya
sebagai presiden darurat. Secara de facto dialah presiden
Republik Indonesia semasa delapan bulan, yang sekaligus
juga penjaga Proklamasi 17 Agustus 1945.
***
Berikut ini perjalanan karir Sjafruddin Prawiranegara
dalam pemerintahan dan organisasi Islam di Indonesia: (1)
Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) saat berumur
34 tahun; (2) Wakil Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan,
saat berumur 35 tahun; (3) Menteri Kemakmuran saat berumur
36 tahun; (4) Perdana Menteri RI; (5) Memimpin PDRI saat
berumur 37 tahun; (6) Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir
tahun 1949-1950; (7) Gubernur Bank Sentral yang pertama
saat berumur 42 tahun (tahun 1953); (8) Pendiri Dewan Da’wah
Islamiyah Indonesia tahun 1967; (9) Pengurus YPI al-Azhar
Jakarta; (10) Ketua Korps Mubaligh Indonesia (1984).
Tahun 2006, Presiden Indonesia menetapkan tanggal 19
Desember sebagai Hari Bela Negara. Pertimbangannya, 19
Desember 1948 merupakan hari bersejarah, karena hari itu
terbentuk PDRI, untuk mengisi kekosongan pemerintahan
RI dalam rangka bela negara. Dalam bidang keuangan, pada
tanggal 17 Agustus 2005, nama Sjafruddin Prawiranegara

23
digunakan sebagai nama salah satu menara Gedung Bank
Indonesia.
Dengan serentetan jabatan tinggi dalam pemerintahan,
Sjafruddin dikenal sebagai seorang yang sederhana dalam
hidupnya. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia memberikan
gelar Pahlawan Nasional kepada Sjafruddin Prawiranegara.
Pada tahun 1987, terbit buku Sjafruddin berjudul
Aspirasi Islam dan Penyalurannya, yang dianggap berisi
pesan-pesan terakhir Sjafruddin Prawiranegara. Ada pesan-
pesan penting dalam buku ini:
”Peliharalah, pertahankanlah Republik Indonesia ini yang
telah dibentuk berdasarkan UUD 1945 yang berlandaskan
Pancasila dengan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran
Allah Subhanahu wa-Ta’ala dan Rasulullah shalallahu
alaihi wa-sallam dalam al-Qur’an dan Hadits untuk
kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh bangsa tanpa
kecualinya.”
Sjafruddin mengajak umat Islam Indonesia untuk yakin
akan terjadinya kebangkitan Islam. Tetapi, hal itu harus
diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh umat Islam
sendiri. Dalam pidatonya di Masjid Salman ITB, tahun 1982,
Sjafruddin mengatakan:
”Pada suatu masa Islam akan memimpin pada segala
bidang kegiatan manusia. Supaya tercapai diperlukan
kerja keras dan membutuhkan waktu karena tidak
dapat dicapai dalam waku singkat. Harapan itu lahir
dari keyakinan dan usaha kita sendiri. Agar tercapai
tujuan itu, harus tahu apa yang harus dilakukan
umat Islam, harus tahu apa itu Islam, apa tujuannya
dan bagaimana cara mencapai tujuan itu, bagaimana
hubungan Islam dengan ideologi dan agama lain, harus
yakin bahwa hanya karena idzin Allahlah Islam akan
memimpin dunia.”

24
Demikian sepenggal kisah keteladanan hidup, gagasan,
dan perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Semoga kita
bisa meneladani dan melanjutkan perjuangan beliau. Aamin.
(NB. Lebih jauh tentang biografi Sjafruddin Prawiranegara,
lihat buku Sang Penyelamat Republik karya Sriyanto, (Yogya:
Pro-U Media, 2017). []

25
~6~
Jangan Lupa, Kita Pernah
Bersatu!
“Selama bertahun-tahun, umat Islam Indonesia pernah
bersatu, di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari
dengan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Dengan itu,
alhamdulillah, kita berhasil meraih dan mempertahankan
kemerdekaan. Kini, diperlukan kesatuan niat, tekad, visi
dan misi untuk menyelamatkan dan mewujudkan cita-cita
kemerdekaan Republik Indonesia menjadi satu negara
hebat, negara adil-makmur yang adil dan beradab.”

SYAHDAN, pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang


Kuniaki Koiso mengumumkan janji kemerdekaan kepada
Indonesia dan wilayah jajahan lainnya. Berita itu segera
disambut gegap gempita umat Islam Indonesia. Beberapa hari
kemudian, 13-14 September 1944, umat Islam menggelar
apel akbar di Taman Amir Hamzah Jakarta. KH A. Wachid
Hasjim, KH Mukti, dan KH A. Kahar Muzakkir tampil sebagai
pembicara.
KH Wahid Hasjim menekankan betapa hinanya bangsa
terjajah, “Oleh daya upaya Belanda, kita menjadi seperti
anak-anak. Yaitu selalu meminta-minta, selalu berharap
belas kasihan orang, selalu mengusulkan ini dan selalu
mengusulkan itu... Selama semangat kita masih semangat
kanak-kanak, mudah diminumi obat tidur orang, maka janji
yang kita dengung-dengungkan akan berjuang mati-matian
itu, selamanya akan berupa janji-janji kosong, yang kita tidak
mampu mewujudkannya.”

26
Sementara KH A. Kahar Muzakkir berpidato, “Pada
saat-saat ini terbayang-bayanglah di muka kita sejarah Nabi
Muhammad dan sahabat-sahabatnya, Muhajirin dan Anshar
di Madinah, ketika mereka menyelenggarakan Negara Islam
dengan bekerja bersama-sama pihak-pihak luar Islam disana.
Pada tahun kemudiannya, tibalah saat kemenangan mereka
dalam pertempuran Badar Besar. Saya bertanya dalam hati
saya, apakah sejarah yang gilang gemilang itu akan terulang
di Tanah Air kita yang tercinta ini? Mudah-mudahan lah
hendaknya.”
Tak lama kemudian, pada 12-14 Oktober 1944, Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), menggelar rapat,
dengan keputusan: bahwa (1) kemerdekaan Indonesia berarti
kemerdekaan kaum Muslimin Indonesia; (2) kemerdekaan
Indonesia adalah satu syarat penting guna tercapainya
kemerdekaan umat Islam Indonesia, untuk menjalankan
syariat agamanya dengan semestinya.
Berita rencana kemerdekaan Indonesia juga mendapat
sambutan khusus dari Muhammad Amin al-Husaini, mantan
mufti Masjid al-Aqsha, Jerusalem, yang ketika itu tinggal
di Jerman. Amin al-Husaini mengirimkan surat kepada PM
Jepang Koiso melalui Dubesnya di Jerman. Dikatakannya,
bahwa sekalian kaum Muslimin di dunia sungguh-
sungguh memperhatikan benar-benar nasib Indonesia yang
mempunyai penduduk kaum Muslimin lebih dari 60 juta itu.
Surat Amin al-Husaini itu dijawab oleh KH Hasjim Asj’ari,
pemimpin tertinggi Masyumi, dengan surat berikut:
“Atas perhatian tuan dan seluruh alam Islam tentang janji
Indonesia merdeka, Majelis Syuro Muslimin Indonesia, atas
nama kaum Muslimin se-Indonesia, menyatakan terima
kasih. Assyukru walhamdulilah. Guna kepentingan Islam
kami lebih perhebatkan perjuangan kami di samping Dai
Nippon sampai kemenangan akhir tercapai. Moga-moga

27
pula perjuangan tuan untuk kemerdekaan negeri Palestina
dan negeri-negeri Arab lainnya tercapai. Majelis Syuro
Muslimin Indonesia. Hasjim Asj’ari.”
Sementara itu, Imam Amin al-Islami, imam masjid
Tokyo, seperti ditulis dalam berita Domei 18 Oktober 1944,
menyatakan, “Di seluruh dunia, Indonesia terkenal sebagai
Negara Islam. Amanat mufti besar Amin al-Husaini yang turut
bergembira dengan perkenan Indonesia merdeka di kemudian
hari, jelas menunjukkan bahwa Indonesia merdeka merupakan
salah satu sokoguru yang kuat guna kemajuan umat Islam.
Kemerdekaan Indonesia yang juga berarti kemedekaan
kaum Muslimin, sudah tentu saja sangat menggembirakan
kita sekalian. Mudah-mudahan umat Islam bekerja segiat-
giatnya guna melaksanakan Islam Indonesia, akan bekerja
sekemerdekaan Indonesia yang sebenar-benarnya yang penuh
diliputi perdamaian dan kemakmuran sebagai Negara Islam
yang pertama di Asia Timur Raya.”
Pada 7 November 1945, Partai Masyumi didirikan, dengan
KH Hasjim Asj’ari sebagai Ketua Umum Majelis Syuro.
Ketua Muda I, II, dan III, adalah Ki Bagus Hadikusumo
(Muhammadiyah), KH A. Wachid Hasjim (NU), dan Mr
Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah). Dalam rapatnya,
7-8 November 1945, disepakati sejumlah program, antara
lain: (1) Memperkuat persiapan umat Islam untuk berjihad
fi sabilillah; (2) Memperkuat barisan pertahanan Negara
Indonesia dengan berbagai usaha yang diwajibkan oleh
agama Islam; (3) Menyesuaikan susunan dan sifat Masyumi
sebagai pusat persatuan umat Islam Indonesia, sehingga
dapat menggerakkan dan memimpin perjuangan umat Islam
Indonesia seluruhnya.
Sebelumnya, dalam Kongres Al-Islam di Surabaya 1938,
di bawah payung Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), pimpinan
Islam dari NU, Muhammadiyah, dan sebagainya, seperti KH

28
Abdul Wahab, KH A. Wahid Hasjim, KH Ahmad Dahlan, KH
Mas Mansur, dan lain-lain membuat kesepakatan: menentang
peraturan kawin tercatat dari Belanda, penentangan
penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an
dan agama Islam pada umumnya, mempersatukan hari
permulaan puasa dan lebaran, penyokongan pergerakan
Islam di Palestina, dan sebagainya.
Rasanya, kita tidak perlu mengundang penjajah lagi, agar
kita bisa bersatu? Cukup kita menyatukan visi dan misi untuk
menyelamatkan dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan
Republik Indonesia menjadi satu negara hebat, negara adil-
makmur yang adil dan beradab. Wallahu A’lam bish-shawab.
(NB. Seluruh data diambil dari buku H. Aboebakar, Sejarah
Hidup K.H.A. Wahid Hasjim, 2011). []

29
~7~
Bagaimana Mempersatukan
Umat?
“Umat akan bersatu jika ada pemimpin yang mampu
mempersatukan. Pemimpin itu tidak dilahirkan dan
tidak turun dari langit. Pemimpin itu lahir dari proses
pendidikan yang benar. Maka, kewajiban kita sekarang
adalah bergotong-royong untuk melahirkan calon-calon
pemimpin umat tersebut.”

DALAM acara Kajian Tafsir Majelis Tabligh Muhammadiyah,


Selasa (8 Desember 2020) muncul pertanyaan, bagaimana
cara mempersatukan umat Islam? Pertanyaaan seperti ini
berulangkali muncul. Persatuan umat menjadi dambaan
semua pihak, kecuali yang memang tidak senang dengan
persatuan dan kemajuan.
Saya menjawab, bahwa persatuan akan terjadi jika ada
“magnet” yang menarik umat untuk bersatu. “Magnet” itulah
yang perlu diwujudkan. “Magnet” itu adalah ulama pewaris
Nabi. Dulu, umat disatukan oleh Rasulullah SAW. Maka,
umat Islam juga disatukan oleh pewaris beliau, yaitu ulama.
Sebagai pewaris Nabi, para ulama itu harus memiliki
kriteria kenabian, seperti jujur, amanah, cerdas, dan tak
lelah menyampaikan risalah kenabian. Ulama adalah laksana
bintang. Dengan ilmu dan akhlaknya, ulama menjadi panutan
dan rujukan umat.
Rasulullah SAW mengingatkan akan datangnya satu
zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang

30
jahil yang memberi fatwa. Beliau bersabda, “Bahwasanya
Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari
manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan
mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para
ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai
pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya,
mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat
dan menyesatkan.” (HR Muslim).
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat
aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam,
mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari
perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama
jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir
sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan
yang kuat, secara ilmiah. Sebab, kerusakan ilmu membawa
dampak yang sangat serius, yakni kerancuan mana benar dan
mana yang salah, mana yang tauhid dan mana yang syirik,
mana yang halal dan mana yang haram, dan sebagainya.
Sepeninggal Rasulullah SAW, umat Islam ditinggali
dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka
umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya,
yakni, al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Tapi, disamping
itu, Rasulullah SAW juga mewariskan para ulama kepada
umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah
yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan,
membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam
kehidupan.
Oleh karena itu, salah satu kewajiban umat Islam
terpenting saat ini adalah menyusun dan menerapkan sistem
pendidikan yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin
berkualitas ulama, yang mampu melanjutkan perjuangan
menegakkan misi kenabian. Kita berharap, berbagai
organisasi Islam terus berusaha keras untuk melahirkan

31
ulama-ulama yang hebat, yang mampu menjadi pemimpin
dan teladan bagi masyarakat.
Bisa jadi, program pendidikan ulama unggulan
memang memerlukan anggaran yang sangat besar. Sebagai
perbandingan, jika untuk mencetak seorang doktor bidang
sains dan teknologi di Inggris diperlukan anggaran di atas Rp
1 milyar, maka sepatutnya untuk mencetak seorang ulama
unggulan berkualitas internasional, diperlukan anggaran
yang lebih besar dari itu.
Jika umat Islam memahami arti penting kehadiran ulama
pewaris Nabi, maka anggaran itu insyaAllah bisa dipenuhi.
Aneh, jika untuk melaksanakan demonstrasi, konferensi
internasional, dan muktamar organisasi bisa dianggarkan
puluhan milyar rupiah, tetapi untuk mencetak ulama justru
tidak ada anggarannya.
Program pendidikan atau program kaderisasi ulama
seyogyanya menjadi salah satu program prioritas dari
organisasi Islam, masjid, atau rumah tangga muslim. Jangan
sampai ada masjid yang mampu menghimpun dana milyaran
rupiah setiap bulannya, mampu membangun berbagai sarana
ibadah yang megah, tetapi tidak mampu melahirkan ulama
yang menjadi “imam” bagi umat Islam.
Rasulullah SAW telah mengamanahkan kepemimpinan
umat kepada ulama. Tentu, ulama yang dimaksud di sini
adalah ulama yang mampu melanjutkan misi kenabian.
Mereka, para ulama itu, disyaratkan mutafaqih fid-din,
zuhud, hatinya bersama umat, memahami masalah
dan pemikiran kontemporer, dan memiliki kemampuan
leadership yang baik.
Karena perjuangan menegakkan risalah kenabian tidak
boleh berhenti sampai kiamat, maka program mewujudkan
ulama (Pendidikan Ulama) pun harus terus diadakan.
Bahkan, harus menjadi program prioritas perjuangan umat

32
Islam. Program ini harus dikonsep, dilaksanakan, dan
dilakukan terus-menerus.
Ulama sejati tidak lahir dari sekolah atau universitas.
Ulama sejati lahir dari kancah dinamika umat. Sekolah atau
universitas melahirkan calon-calon kader ulama. Para calon
kader ulama itu harus dikawal, dilatih, dan “dimanajeri”
dengan sungguh-sungguh agar mereka menjadi ulama yang
tangguh di kemudian hari.
Itulah cara mempersatukan umat ke depan. Umat bersatu
jika ada pemimpin yang mampu mempersatukan. Pemimpin
itu tidak dilahirkan dan tidak turun dari langit. Pemimpin itu
lahir dari proses pendidikan yang benar. Maka, kewajiban kita
sekarang adalah bergotong-royong untuk melahirkan calon-
calon pemimpin umat tersebut. Wallahu A’lam bish-shawab. []

33
~8~
Hari KNRI: Jangan Lupa Pesan
Mohammad Natsir
”Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara
harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara
harus berani menghadapi lapangan perjuangan
yang terbentang di hadapan saudara, yang masih
terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan
dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan
keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk
merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”
(Mohammad Natsir)
HARI INI, 3 April 2021, menyambut hari NKRI, saya
menyampaikan Pidato Khusus sebagai Ketua Umum Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) menyambut 71 Tahun
Mosi Integral Natsir.
Pada 3 April 1950, 71 tahun lalu, seluruh komponen
bangsa Indonesia —dimotori dan diwakili oleh Mohammad
Natsir— bersepakat untuk kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Hari itu, 3 April 1950, Mohammad
Natsir mengajukan ”Mosi Integral” di Parlemen RIS (Republik
Indonesia Serikat). Dengan Mosi itu, maka Negara-negara
Bagian RIS (Republik Indonesia Serikat) kembali bersatu
menjadi NKRI, pada 17 Agustus 1950. Bung Hatta menyebut,
17 Agustus 1950 sebagai ”Proklamasi Kedua”, setelah
Proklamasi Pertama, 17 Agustus 1945.
Kembalinya Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan
adalah hasil inisiatif dan perjuangan Mohammad Natsir.
Presiden Soekarno kemudian mengangkat Mohammad

34
Natsir sebagai Perdana Manteri pertama NKRI, pasca RIS.
Natsir mewujudkan kembalinya NKRI dengan cara-cara
konstitusional yang bermartabat, tanpa peperangan.
Tahun 2008, Mohammad Natsir, pendiri dan Ketua
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama,
mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Jasa
besarnya dalam mengembalikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) diakui negara. Karena itulah, Ketua MPR-RI
(2004-2009) Dr. Hidayat Nurwahid mengusulkan agar tanggal
3 April ditetapkan sebagai Hari NKRI.
Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan
NKRI sangat fenomenal. Natsir bukan hanya merumuskan
gagasannya dengan cerdas, tetapi juga berhasil meyakinkan
para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh
faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua
setengah bulan untuk melakukan lobi.
Selama dua setengah bulan, Natsir melakukan lobi-lobi
dan meyakinkan para pemimpin Negara Bagian RIS agar
bersepakat untuk membubarkan diri bersama-sama, lalu
bersama-sama pula membentuk NKRI.
Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir
menceritakan kisah perjuangan menyukseskan Mosi Integral
tersebut, ”Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo
dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen,
dengan PKI, dan sebagainya. Dari situ saya mendapat
kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu, semuanya
mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal
jangan disuruh bubar sendiri. Dua bulan setengah saya
melakukan lobi. Tidak mudah, lebih-lebih dengan negara-
negara bagian di luar Jawa.”
***
Dengan Peringatan 3 April sebagai Hari NKRI, kita
bukan hanya mengingat nama Mohammad Natsir, tetapi

35
juga mengingat tokoh-tokoh nasional yang berjuang untuk
mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Kita
mengingat nama-nama Soekarno-Hatta, HOS Tjokroaminoto,
KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, Haji Agus Salim,
Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Panglima
Besar Soedirman, dan sebagainya.
Khusus untuk mengenang perjuangan Mohammad
Natsir dalam menyukseskan Mosi Integral, ada baiknya kita
mengingat sejumlah pesan penting pendiri Dewan Da’wah
Islamiyah Indonesia (DDII) tersebut:
(a) Jangan berhenti berjuang dan teruslah pupuk jiwa
cinta pengorbanan!
”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah
berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan
saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan
membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara
menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara.
Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu
tempat yang tidak saudara ingini ... Untuk ini perlu
saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani
mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani
menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di
hadapan saudara, yang masih terbengkelai ... Perjuangan
ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang
berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri
serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara
yang berencana.” (Artikel M. Natsir pada 17 Agustus
1951, berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung,
Nanti Arus Membawa Hanyut.”)
(b) Hilangkan cinta dunia berlebihan!
”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat
Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia
... Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan

36
itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai
pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama
(kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi,
gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat
perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam
masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus,
maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami
kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi
bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan
sosial yang cukup serius.” (Lihat, buku: Pesan Perjuangan
Seorang Bapak).
(c) “Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab
kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang
kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan
keturunannya dari arus sekulerisme itu, dan mengajak
dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang
teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang
kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita
dan kalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi
pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada
tuntunan Ilahi.” (Pidato Mohammad Natsir di Majelis
Konstituante, 1957).
(d) ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara
bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk
keperluan bangsanya.” (Moh. Natsir, mengutip Dr. G.
Nieuwenhuis).
Demikianlah beberapa pesan penting Mohammad Natsir
yang patut kita renungkan dan kita perjuangkan, agar NKRI
menjadi negara adil makmur dalam naungan Ridho Allah
SWT. Selamat Hari NKRI, 3 April 2021! (Depok, 3 April 2021) []

37
~9~
Beginilah Kenegarawanan
Mohammad Natsir

”Mohammad Natsir telah menunaikan tugasnya


sebagai Muslim, hamba Allah SWT, sebagai warga
bangsa Indonesia, yang berjuang menunaikan tugas
perjuangannya dalam berbagai bidang kehidupan. Tentu,
M. Natsir juga manusia, yang pernah berbuat salah dan
khilaf. Tapi, kekeliruan dan kekhilafan tidaklah mampu
menghapus namanya dari tinta emas sejarah Indonesia.”

MESKIPUN mengalami berbagai tekanan dan pembatasan


dalam politik, Mohammad Natsir tak pernah berhenti
menyikapi babak-babak penting dalam kehidupan kenegaraan.
Dakwah, menurut M. Natsir, tidak mengenal batasan waktu
dan medan.
Dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar, menurut M.
Natsir, menentukan tegak atau robohnya suatu masyarakat.
Islam tidak bisa berdiri tegak tanpa jamaah (masyarakat) dan
tidak bisa membangun masyarakat tanpa dakwah. Maka,
kata Natsir, jadikanlah dakwah sebagai kewajiban bagi tiap-
tiap umat Islam. Dan ini tidak boleh dilupakan.
Lalu, ditegaskan M. Natsir, ”Kita semua menyadari bahwa
dakwah Islam adalah tugas suci atas tiap-tiap Muslim di
mana saja ia berada. Baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah
Rasulullah SAW, kewajiban dakwah menyerukan, dan
menyampaikan agama Islam kepada masyarakat, telah jelas
diuraikan sebagai kewajiban seorang Muslim untuk selama-

38
lamanya.” (Dikutip Dr. Tohir Luth dalam bukunya, dari artikel
Zaini Ujang berjudul “Pak Natsir Ibarat Mutiara Alam Melayu”
di Harian Utusan Malaysia, 9 Februari 1993).
M. Natsir adalah tokoh yang bisa bergaul dan semeja
dengan siapa saja meski berbeda pandangan, berbeda agama
dan keyakinan, berbeda asal-usul. Pergaulan politiknya lintas
ideologi dan agama, meski dia seorang pemimpin Masyumi,
partai Islam terbesar di tahun 1950-an, pemenang kedua
Pemilu 1955 setelah PNI. Natsir menjadi fenomenal karena
dia akrab dengan tokoh partai Katolik seperti Ignatius J
Kasimo, dengan tokoh Parkindo J.Leimena dan Mr.AM
Tambunan, dengan tokoh sosialis dan nasional lainnya.
M. Natsir juga pernah menceritakan suasana multipartai
dulu —ada Islam, Kristen, Nasional dan Komunis. Yang
bertengkar itu, katanya, bukan orang, tetapi materi dan
pikiran. Kadang-kadang bertempur seru sampai voting. Tetapi
setelah itu makan-makan dan minum-minum di tempat
yang sama. ‘’Saya sebagai tokoh Masyumi biasa minum
teh bersama tokoh-tokoh PKI. Jadi kita memusatkan diri
kepada masalah, bukan kepada person,’’ katanya (Majalah
Editor,23/7/1988). Beberapa masalah penting, malah
diselesaikan melalui pertemuan informal, ujar Natsir.
M. Natsir negarawan yang sederhana, yang tidak
meninggalkan kekayaan kepada anak-anaknya. Sejarawan
AS George Mc Turnan Kahin menilai Natsir sebagai pemimpin
yang sederhana dan rendah hati. Tentang kesederhanaan ini,
dia lukiskan dalam tulisannya di Media Dakwah (1995). Kahin
menceritakan pertemuannya dengan Natsir pertama kali di
Yogyakarta tahun 1948 (ketika itu masih menjadi ibukota
negara). Ketika, katanya, Natsir menjabat menteri penerangan
di bawah Kabinet Hatta. Ia melihat Natsir tidak malu menjahit
baju dinas yang robek, karena itulah satu-satunya baju
dinasnya. Beberapa minggu kemudian, kata Kahin, para

39
pegawai Kementerian Penerangan mengumpulkan uang
untuk membelikan baju agar “boss” mereka tampak seperti
menteri sungguhan. Kahin adalah seorang ilmuwan yang
amat dekat dengan Natsir sebagaimana kedekatannya dengan
Hatta, Sjahrir dan Bung Karno.
Mohammad Natsir memang politisi ulung, tetapi tetap
berjalan pada etika politik dan konsisten. Bila disebutkan
bahwa Masyumi kaku berpolitik, Natsir menjawab tenang.
‘’Kami berpolitik dengan prinsip. Kalau kami tidak setuju, ya
terus terang saja kita katakan dengan segala konsekuensinya.’’
Menurut Natsir, “partai politik itu mempunyai fungsi:
fungsi pendidikan politik kepada umat untuk tahu caranya
mengatur negara. Kadang-kadang kita mendapat rugi sebagai
partai lantaran itu. Tapi tak apa.’’(Editor, 23/7/1988).
Dengan Bung Karno, M. Natsir sudah berbeda pendapat
sejak polemik soal agama dan negara tahun 1930-an. ‘’Saya
tidak benci kepada Soekarno. Ketika menghadapi Belanda
dan diperlukan tenaga untuk perjuangan, oleh Bung
Karno saya diminta menjadi menteri penerangan,’’ katanya
(Editor,23/7/1988).
Natsir pernah ditahan Soekarno selama 6 tahun karena
keterlibatannya dengan PRRI, dua tahun di Batu Malang
dan empat tahun di Rumah Tahanan Militer Keagungan
62 Jakarta. Tetapi dia menyatakan tidak dendam kepada
Bung Karno. Ketika keluar penjara Orde Lama, Natsir pun
tetap dipinggirkan rezim Orde Baru. Namun demikian, dia
juga tidak menaruh dendam. Nasionalismenya ditunjukkan
ketika memberi surat rekomendasi kepada tim perunding
rujuk Indonesia-Malaysia untuk menemui PM Tengku Abdul
Rahman.
Begitu pula, mulusnya bantuan Jepang kepada Indonesia
tidak terlepas dari peran Natsir. Ini diakui sendiri oleh mantan
PM Jepang Takeo Fukuda. Dalam surat belasungkawanya

40
untuk Natsir tahun 1993, Fukuda menulis, ’’Saya banyak
belajar dari beliau (Natsir), ketika beliau berkunjung ke
Jepang —di saat saya menjabat menteri keuangan. Beliau
yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa depan
Pemerintahan Orde Baru Indonesia yang bersih dan sejahtera
dengan cita-cita beliau menciptakan dunia Islam yang stabil,
adil dan sejahtera dengan kerja sama Jepang.’’
Itulah Mohammad Natsir. Sosok dirinya memang harus
dilihat secara lengkap. Pola hidup sederhana sebagai pejabat
tinggi negara, sikap dan cara dia berpolitik —sebagaimana
juga diperlihatkan tokoh-tokoh masa lalu. Berbeda, berdebat,
tetapi tidak bermusuhan dan saling dendam. Barangkali
sosok teladan demikian bisa dijadikan renungan bagi elite
politik bangsa ini. Menurut M. Natsir, seharusnya tokoh
bangsa berbicara dalam terminologi “kita”, bukan “kami”
dan “kamu”. Karena bila “kami” dan “kamu” yang menonjol,
ujung-ujungnya adalah mana bagian “kami” dan mana pula
bagian “kamu”. Di situlah perpecahan terjadi, kata Natsir.
Demikianlah sosok kenegarawanan Natsir sebagaimana
dipaparkan wartawan Wall Paragoan di Harian Suara
Pembaruan (17/7/2000).
Memang, sejarah adalah masa lalu. Mohammad Natsir
telah menunaikan tugasnya sebagai Muslim, hamba Allah
SWT, sebagai warga bangsa Indonesia, yang berjuang
menunaikan tugas perjuangannya dalam berbagai bidang
kehidupan. Tentu, M. Natsir juga manusia, yang pernah
berbuat salah dan khilaf. Kita bisa tidak setuju pada sebagian
langkah, kebijakan, atau pendapat Natsir. Tapi, kekeliruan
dan kekhilafan yang dilakukan Natsir tidaklah mampu
menghapus namanya dari tinta emas sejarah Indonesia.
Jadi, M. Natsir —Bapak NKRI— adalah teladan
kehidupan: pelajar yang haus ilmu, dai yang tidak kenal
lelah dan menyerah, penulis handal yang aktif menggerakkan

41
penanya, guru sejati yang tak pernah berhenti mengajar, dan
negarawan sederhana yang dihormati kawan maupun lawan
pikirannya.
Namanya telah mengharumkan bangsa di tingkat
internasional. Karena itu, tidak ada salahnya, jika bangsa
Indonesia mampu mengambil pelajaran dari kisah Mohammad
Natsir dan berani mengakui serta menghargai jasa-jasanya.
Mohammad Natsir telah meninggalkan kita pada 14
Sya’ban 1413 H bertepatan dengan 6 Februari 1993 dalam
usia 85 tahun. Dalam ucapan belasungkawanya, Mantan
Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, mengungkapkan:
”Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya
bom atom di Hiroshima.” (Depok, 5 April 2021). []

42
~10~
Tingginya Budaya Ilmu
dalam Surat-Surat Bung Karno
kepada A. Hassan

“Haraplah sampaikan saya punya compliment kepada


Tuan Natsir atas ia punya tulisan-tulisan yang memakai
bahasa Belanda. Antara lain ia punya inleiding di dalam
Komt tot het gebed adalah menarik hati.”
(Surat Bung Karno kepada A. Hassan)

BUKU Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, memuat 12 surat


Bung Karno kepada A. Hassan, guru Mohammad Natsir di
Bandung. Surat-surat Bung Karno diletakkan dalam satu
bab berjudul “Surat-surat Islam dari Endeh, Dari Ir. Sukarno
kepada T.A. Hassan, Guru “Persatuan Islam”, Bandung.”
Menarik mencermati pemikiran Bung Karno tentang
Islam, sebagaimana dicurahkan dalam surat-surat tersebut.
Disamping mengungkapkan soal pemikirannya, surat-surat
Bung Karno itu juga menggambarkan tingginya budaya ilmu
yang dimiliki oleh Bung Karno dan A. Hassan. Surat-surat
itu juga mengungkap suasana kehidupan Bung Karno saat
dalam pengasingan di Endeh, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dalam pengasingan itu, Bung Karno tidak sendiri. Ia
ditemani istri dan putrinya. Ia pun leluasa bergaul dengan
masyarakat setempat. Bahkan, terungkap, begitu tinggi
kecintaan Bung Karno kepada buku, sampai-sampai
kekurangan uang untuk membelinya. Ia pun sempat

43
menerjemahkan satu buku berbahasa Inggris setebal 300
halaman, dan meminta bantuan A. Hassan untuk mencarikan
penerbitnya.
Tampak dalam surat-surat tersebut, keakraban Bung
Karno dengan A. Hassan. Berkali-kali ia mengucapkan terima
kasih, karena A. Hassan terus melayani diskusi dengan Bung
Karno dan mengirimkan buku-buku yang diminatinya. Surat-
surat ke A. Hassan menggambarkan juga sosok Bung Karno
seperti orang yang “kehausan buku” dan haus teman diskusi
tentang keislaman.
Dalam sejumlah suratnya, Bung Karno mengungkapkan
semangatnya dalam ber-Islam dan mencita-citakan Islam
menjadi agama yang maju dan berkembang. Hanya saja, soal
kriteria “kemajuan” itulah yang nanti memunculkan perbedaan
pendapat antara Bung Karno dengan A. Hassan, dan para
cendekiawan Muslim lainnya, seperti Mohammad Natsir.
Dalam surat pertama, tertanggal 1 Desember 1934,
misalnya, Bung Karno menulis “Tiada satu agama yang
menghendaki kesamarataan lebih dari pada Islam.
Pengeramatan manusia itu adalah salah satu sebab yang
mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena
pengeramatan manusia itu melanggar Tauhid.”
Dalam surat ketiga, tanggal 26 Maret 1935, Bung Karno
mengabarkan bahwa kiriman sejumlah buku dari Tuan A.
Hassan sudah ia terima. Tapi, Bung Karno masih berharap
mendapat kiriman kitab hadits Bukhari-Muslim terjemahan
dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Ia ingin menelaah
hadits-hadits tersebut.
Sebab, Bung Karno berpendapat “Tak ada agama yang
lebih rasional dan simplistis daripada Islam. Saya ada
sangkaan keras bahwa rantai taqlid yang merantaikan roh
dan semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintunya
bab-el-ijtihad, antara lain-lain, ialah hasilnya hadis-hadis

44
yang daif dan palsu itu.”
Di surat sebelumnya, surat kedua, tanggal 25 Januari
1935, Bung Karno memuji Mohammad Natsir, setelah
membaca tulisan-tulisannya yang berbahasa Belanda. Bung
Karno menulis kepada A. Hassan, “Haraplah sampaikan saya
punya compliment kepada Tuan Natsir atas ia punya tulisan-
tulisan yang memakai bahasa Belanda. Antara lain ia punya
inleiding di dalam Komt tot het gebed adalah menarik hati.”
Di surat kesembilan, tanggal 22 April 1935, Bung Karno
juga menyebut nama Mohammad Natsir, “Alangkah baiknya
kalau Tuan punya mubalig-mubalig nanti bermutu tinggi,
seperti Tuan M. Natsir, misalnya! Saya punya keyakinan yang
sedalam-dalamnya ialah bahwa Islam di sini —ya di seluruh
dunia— tak akan menjadi bersinar kembali kalau kita orang
Islam masih mempunyai “sikap hidup” secara kuno saja, yang
menolak tiap-tiap “kebaratan” dan “kemoderenan”.”
***
Tak hanya bicara tentang Islam. Surat-surat Bung
Karno ke A. Hassan juga menyinggung kemajuan yang diraih
kaum misionaris Kristen. Berikut ini pemaparan Bung Karno
tentang misi Katolik di Flores:
“Tuan tahu bahwa Pulau Flores itu ada “pulau misi”
yang mereka sangat banggakan. Dan, memang “pantas”
mereka membanggakan mereka punya pekerjaan di
Flores itu. Saya sendiri melihat, bagaimana mereka
“bekerja mati-matian” buat mengembangkan mereka
punya agama di Flores. Saya ada respect buat mereka
punya kesukaan bekerja itu. Kita banyak mencela misi
– tetapi apakah yang kita kerjakan bagi menyebarkan
agama Islam dan memperkokoh agama Islam? ... ... Misi
di dalam beberapa tahun saja bisa mengkristenkan
250.000 orang kafir di Flores, tapi berapa orang kafir
yang “dihela” oleh Islam di Flores itu? Kalau dipikirkan,

45
memang semua itu “salah kita sendiri”, bukan salah
orang lain. Pantas Islam selamanya diperhinakan orang.”
***
Banyak lontaran pemikiran penting seputar kondisi umat
Islam dan soal kemajuan Islam yang ditulis Bung Karno
dalam surat-suratnya kepada A. Hassan. Yang patut kita
catat adalah keakraban antara Bung Karno dan A. Hassan.
Bahkan, dalam surat-surat itu, Bung Karno “curhat” pula
tentang masalah pribadi dan keluarganya.
Hal kecil tapi menarik adalah ungkapan rasa gembira Bung
Karno yang menerima kiriman jambu mede dari A. Hassan.
“Tuan punya kiriman pos paket telah tiba di tangan saya
seminggu yang lalu. Karena terpaksa menunggu kapal, baru
ini harilah saya bisa menyampaikan kepada Tuan terima kasih
kami laki istri serta anak. Biji jambu mede menjadi gayeman seisi
rumah; di Endeh ada juga jambu mede, tapi varieteit liar, rasanya
tak nyaman. Maklum, belum ada orang menanam varieteit yang
baik. Oleh karena itu, maka jambu mede itu menjadikan pesta.
Saya punya mulut sendiri tak berhenti-henti mengunyah.”
Demikian petikan beberapa bagian surat Bung Karno
yang dikirimkan kepada A. Hassan. Memahami pemikiran
seorang tokoh memang harus dikaitkan dengan situasi dan
kondisi pribadi dan juga lingkungannya. Sebagai pemikir dan
penulis produktif Bung Karno meninggalkan banyak tulisan
yang bisa dikaji oleh generasi berikutnya. Semua gagasan
Bung Karno tentang Islam perlu dibaca dan ditelaah dengan
komprehensif, jernih dan adil.
Pelajaran yang sangat berharga adalah keteladanannya
dalam membaca dan menulis. Dalam kondisi pengasingan
pun, Bung Karno masih tetap berjuang untuk membeli dan
membaca buku. Semoga para pemimpin kita bisa mengikuti
budaya literasi yang tinggi yang diwariskan oleh Bung Karno,
Bung Hatta, A. Hassan, Mohammad Natsir, dan sebagainya. []

46
~11~
Keteladanan Pak Dirman
untuk Bangsa
“Minatnya kepada Islam mendalam menjadi penghayatan
yang serius, baik dalam hal ajarannya maupun
dalam ibadahnya… Sebagai guru, ia meningkatkan
kemampuannya untuk menjelaskan sesuatu persoalan
yang rumit secara gamblang. Suatu hal yang mempunyai
kegunaan praktis kelak ketika ia memegang tampuk
pimpinan organisasi yang terbesar di lingkungan
pemerintah Republik Indonesia, yakni Angkatan Perang.”
(Nugroho Notosusanto, tentang Jenderal Soedirman)

BUKU Manusia dalam Kemelut Sejarah terbitan LP3ES


(1994), memuat tulisan menarik tentang sosok Panglima
Besar Soedirman. Penulisnya, Nugroho Notosusanto. Tentang
kepemimpinan, kepahlawanan, dan kemampuan militer
Jenderal Soedirman sudah sangat dikenal.
Bahkan, sosok teladan ini, begitu dicintai oleh rakyat
Indonesia. Pada hari Ahad 29 Januari 1950, Pak Dirman —
nama panggilannya— wafat di Kota Megelang. Esok harinya,
jenazahnya diantar ke Yogyakarta. Sepanjang jalan 45
km, rakyat berderet-deret di tepi jalan. Ribuan orang juga
memadari arena pemakaman di Taman Makam Pahlawan
Semaki, Yogyakarta. Sosok Pak Dirman begitu dicintai rakyat.
Pak Dirman lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916. Ia
sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Belanda
(Hollands Inlandse School/HIS). Setahun terakhir, Soedirman
pindah ke Perguruan Taman Siswa. Lalu, ia melanjutkan

47
pendidikan tingkat SMP Belanda di Meer Uitgebreid Lage
Onderwijs (MULO) Wiworo Tomo.
Di sinilah Soedirman mendapat pendidikan nasionalisme
yang mendalam. Perguruan Wiworo Tomo tidak diakui oleh
Pemeritah Kolonial. Bahkan, sekolah itu diberi julukan “wilde
scholen” (sekolah liar). Sebab, Perguruan ini diasuh oleh tiga
orang yang memiliki sikap patriotisme yang tinggi.
Menurut Nugroho Notosusanto, ketiga orang pengasuh
Perguruan Wiwori Tomo itu memiliki corak pemikiran yang
berbeda. Yang seorang memiliki pandangan nasionalis-
sekuler. Yang kedua bercorak nasionalis Islam, dan ketiga
berpendidikan militer di Belanda. Ketiga orang itulah yang
membentuk sikap nasionalis, keislaman, dan militansi militer
Pak Dirman.
Kecenderungan jiwa Soedirman berkembang lebih jauh
setelah ia aktif dalam Kepanduan Muhammadiyah, yaitu
Hizbul Wathon. “Minatnya kepada Islam mendalam menjadi
penghayatan yang serius, baik dalam hal ajarannya maupun
dalam ibadahnya,” tulis Nugroho.
Hizbul Wathon juga menanamkan sikap disiplin, tanggung
jawab dan pengabdian. Sikap perjuangan Soedirman
diperkuat lagi saat aktif di Pemuda Muhammadiyah. Akhirnya,
Pak Dirman menjadi wakil ketua Pemuda Muhammadiyah
Karesidenan Banyumas.
Yang menarik adalah pengalaman Pak Dirman menjadi
guru di HIS Muhammadiyah, setelah tamat dari MULO Wiworo
Tomo. Jadi, Pak Dirman menjadi guru di usia yang masih
sangat muda. Soedirman dikenal memiliki kegemaran terhadap
tiga ilmu, yaitu Sejarah, Bahasa Indonesia, dan Ilmu Pasti.
“Sebagai guru, ia meningkatkan kemampuannya untuk
menjelaskan sesuatu persoalan yang rumit secara gamblang.
Suatu hal yang mempunyai kegunaan praktis kelak ketika
ia memegang tampuk pimpinan organisasi yang terbesar di

48
lingkungan pemerintah Republik Indonesia, yakni Angkatan
Perang,” tulis Nugroho.
Di zaman penjajahan Jepang, Soedirman terpilih menjadi
salah satu dari 69 komandan batalyon (daidancho) dari
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Soedirman
mendapat pendidikan militer PETA di Bogor. Ia kemudian
menjadi komandan batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Dan
pada bulan November 1945, Soedirman dilantik Presiden
Soekarno menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik
Indonesia, pada usia 29 tahun.
***
Pada tahun 1966, ABRI —yang kemudian berubah
menjadi TNI— merumuskan 11 asas kepemimpinan, yang
tak lain adalah cerminan pemikiran dan sosok Pak Dirman.
Diantaranya ialah: (1) Taqwa: beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan taat kepada-Nya; (2) Ing Ngarso sung tulodo:
memberi teladan di hadapan anak buah; (3) Ing madya
mangun karsa: ikut bergiat serta menggugah di tengah-
tengah anak buah; (4) Tut wuri handayani: mempengaruhi
dan memberi dorongan dari belakang kepada anak buah; (5)
dan seterusnya.
Memahami proses pendidikan yang dialami seseorang
sangat diperlukan untuk memahami bagaimana seorang
mengalami proses perubahan, apakah menjadi semakin
baik atau tidak. Sebab, manusia, dari waktu ke waktu,
adalah sama. Meskipun sekilas, kita bisa memahami bahwa
Soedirman telah menjalani satu proses pendidikan yang baik,
sehingga ia kemudian tampil menjadi guru dan pemimpin
militer yang sangat dihormati dan disegani.
Pak Dirman, menurut Nugroho, begitu dicintai oleh
rakyat, karena sebagai pemimpin, ia telah “menepati
janjinya”. Dalam kondisi sakit, di saat para pemimpin
nasional ditangkap Belanda, Soedirman tetap menepati

49
janjinya berjuang bersama-sama prajurit dan rakyat semesta.
Kekuatan imannya telah mendorongnya berani dan cerdik
melakukan strategi perang gerilya dalam menghadapi ratusan
ribu tentara Belanda.
Keteladanan Pak Dirman dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan menunjukkan bahwa sejak
awal perjuangan, tidak ada masalah antara keislaman dengan
keindonesiaan. Pak Dirman adalah sosok seorang muslim
yang shaleh, sekaligus seorang Indonesia yang baik, bahkan
salah satu yang terbaik.
Bahkan, menurut Mohammad Natsir, “Pergerakan Islam
pulalah yang pertama-tama meretas jalan di negeri ini
bagi kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan,
yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia, yang
telah mengubah wajah-wajah isolasi pelbagai pulau dan
juga roman muka provinsialis, yang juga pertama-tama
menanamkan benih persaudaraan dengan orang-orang
seiman sekeyakinan di luar batas-batas Indonesia.” (M.
Natsir, “Indonesisch Nationalism” dalam Pembela Islam, No.
36, Oktober 1931. Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari,
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional
tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949),
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
Karena itu, menurut Mohammad Natsir, kemerdekaan
bukan hanya berarti “kemerdekaan Indonesia” melainkan
juga “kemerdekaan kaum Muslimin Indonesia” dan
“kemerdekaan Islam”. “Cita-cita kaum Muslimin dalam
perjuangan kemerdekaan ini,” kata Natsir, “adalah untuk
kemerdekaan Islam, agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan
untuk kesejahteraan dan kesempurnaan kaum Muslimin
serta segenap ciptaan Allah.” (Endang Saifuddin Anshari,
Piagam Jakarta…. Ucapan Natsir dikutip Endang Saifuddin
Anshari dari buku Prof. Deliar Noer, The Modernist Muslim

50
Movement in Indonesia 1900-1942 (Singapore-Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1973).
Semoga ke depan, akan semakin banyak tampil
“Soedirman-Soedirman” baru yang mampu menjadi teladan
kehidupan dan perjuangan bangsa ke depan. Pendidikan Pak
Dirman menunjukkan, bahwa ia mampu menjadi Penglima
Perang yang hebat, ketika usianya baru 29 tahun! []

51
~12~
Cara Beradab Menjadi
Negara Hebat
”Demikianlah makna penting dari ”Kemanusiaan yang adil
dan beradab” yang dirumuskan oleh Sembilan Tokoh pendiri
bangsa (Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin,
Ahmad Subardjo, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim,
Abikoesno Tjokrosoejoso, dan KH Abdulkahar Muzakkir).
Dengan menanamkan adab dalam diri bangsa Indonesia
itulah jalan Indonesia untuk menjadi bangsa yang hebat!
Semoga bangsa kita mau memahami dan menjalankannya!”
BANGSA INDONESIA sudah menyepakati bahwa Kemanusiaan
yang dikembangkan di negeri kita adalah ”Kemanusiaan yang
adil dan beradab”. Bukan sekedar ”kemanusiaan”, bukan
pula kemanusiaan yang zalim dan biadab. Tapi, kemanusiaan
yang adil dan beradab!
Bagaimana memahami dan mengaplikasikan
”kemanusiaan yang adil dan beradab”? KH Hasyim Asy’ari,
dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim, menjelaskan
tentang pentingnya makna adab dalam kehidupan seorang
muslim. Beliau menguraikan, bahwa: Tauhid mewajibkan
iman; iman mewajibkan syariat, dan syariat mewajibkan adab.
Lebih jauh, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, bahwa
konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan
seseorang adalah mewajibkan dia untuk beriman kepada
Allah. Jika ia tidak memiliki keimanan, tauhidnya dianggap
tidak sah. Lalu, konsekuensi dari keimanan adalah
pembenaran dan pengamalan terhadap syariat dengan

52
baik. Dan pengamalan syariat harus dilandasi dengan adab.
”Sebab, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun
amal ibadah seseorang, tidak akan diterima di sisi Allah SWT,”
kata Kyai Hasyim Asy’ari.
Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim menjadi salah satu
kitab yang wajib dipelajri oleh para santri Pesantren at-Taqwa
tingkat SMP. Judul kitab ini sama dengan Kitab adab-nya
Imam an-Nawawi: Adabul Alim wal-Muta’allim. Kitab ini
sangat penting dikaji, karena menjelaskan masalah yang
mendasar dalam Islam, yaitu masalah adab.
Dalam Konferensi Pendidikan Islam pertama di Kota
Mekkah, tahun 1977, Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Attas sudah mengingatkan bahwa krisis yang melanda umat
Islam berakar pada masalah adab. Yakni, hilang adab (loss
of adab). Karena itu, jika ingin umat Islam menjadi umat
hebat, caranya adalah dengan menanamkan adab dalam
diri kaum muslimin. Proses penanaman adab itulah yang
disebut ta’dib (pendidikan).
Jadi, sebenarnya, para ulama kita sudah memberkan
jalan bagi kebangkitan umat Islam, yaitu melalui proses
penanaman adab. Sampai-sampai Kyai Hasyim Asy’ari
menegaskan dalam kitabnya tersebut: siapa yang tidak
beradab, maka ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak
bertauhid!
Rumusan ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” secara
resmi diumumkan Bung Karno pada 22 Juni 1945. Itulah hasl
rumusan Panitia Sembilan dan dibentuk dan diketuai oleh
Bung Karno. Ada empat tokoh Islam yang diajak Bung Karno
merumuskan itu, yaitu Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim,
Abikusno Tjokrosoejoso, dan KH Abdulkahar Muzakkir.
Rumusan itu sangat berbeda dengan usulan Bung
Karno pada 1 Juni 1945, yaitu sila ”Kemanusiaan” saja.
Begitu juga Muhammad Yamin yang mengusulkan sila:

53
”Perikemanusiaan”. Karena tidak ditemukan notulen rapat
Panitia Sembilan, tentu kita bisa menduga, bahwa rumusan
”Kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah masukan dari
sejumlah tokoh Islam tersebut dan disepakati oleh seluruh
anggota Panitia Sembilan. Apalagi, KH Wahid Hasyim adalah
putra dari KH Hasyim Asy’ari.
***
Menyimak paparan Kyai Hasyim Asy’ari tentang adab
tersebut, maka tidak bisa tidak, kata ”adab” memang
merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab
terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan
sekedar ”sopan santun” atau baik budi bahasa.
Makna adab lebih tepat dikatakan, sebagai “sopan-
santun Islami”. Adab adalah memahami dan mengakui
segala sesuatu, sesuatu dengan harkat dan martabat
yang ditentukan Allah SWT. Harkat dan martabat sesuatu
ditentukan berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan
pada manusia atau budaya. Sebagai contoh, kriteria orang
yang mulia, menurut al-Qur’an adalah orang yang paling
taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS 49:13).
Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab,
kaum Muslim harus menghormati seseorang karena
keimanan dan ketaqwaannya; bukan karena jabatannya,
kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru
namanya beradab, menurut al-Qur’an.
Begitu juga ketika al-Qur’an memuliakan orang yang
berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab,
seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan
terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab
juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu
menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan,
sementara aktivitas hiburan terlalu diagung-agungkan.
Tidak mungkin suatu bangsa akan maju dan hebat jika tidak

54
menjadikan budaya ilmu sebagai bagian dari tradisinya.
(Lebih jauh tentang Budaya Ilmu, lihat buku Budaya Ilmu
karya Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud).
Al-Qur’an sangat menekankan, bahwa ada perbedaan
antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Orang
yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya.
“Katakanlah, tidaklah sama, orang yang tahu dan orang yang
tidak tahu.” (QS 39:9). “Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu, beberapa derajat.” (QS 58:11).
Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar
jika mengabaikan tradisi ilmu yang benar sebagaimana digariskan
dalam al-Qur’an ini. Jika budaya santai, budaya hedonis,
budaya jalan pintas, budaya malas, terus dikembangkan, maka
hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia
akan menjadi bangsa hebat yang disegani dunia.
Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah
yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama
mereka. Sebab soerang Muslim senantiasa berdoa ”Rabbi
zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih
dari itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan doa, agar ilmu
yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang
bermanfaat, ”Allaahumma inna nas-aluka ’ilman naafi’an…”
Hanya dengan ilmu yang bermanfaat, maka manusia
dapat meraih adab, sehingga dapat memahami dan
melaksanakan berbagai perbuatan dengan benar dan tepat,
sesuai dengan hikmah atau kebijakan. Agar bangsa kita tidak
salah jalan, maka raihlah hikmah. Terutama untuk para
pemimpin. Mereka yang diberikan hikmah oleh Allah, maka
pasti tidak akan melakukan kesalahan dalam perbuatan dan
perumusan kebijakannya.
Demikianlah makna penting dari ”Kemanusiaan yang
adil dan beradab” yang dirumuskan oleh Sembilan Tokoh

55
pendiri bangsa (Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad
Yamin, Ahmad Subardjo, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim,
Abikoesno Tjokrosoejoso, dan KH Abdulkahar Muzakkir).
Dengan menanamkan adab dalam diri bangsa Indonesia
itulah jalan Indonesia untuk menjadi bangsa yang hebat!
Semoga bangsa kita mau memahami dan menjalankannya! []

56
~13~
Kyai Dahlan Mendidik Kita
dengan Cinta dan Ikhlas
Berjuang
“Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad
Dahlan, sehingga mengintil (mengikuti. Pen.) kepadanya,
tahun 1938 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah,
tahun 46 saya minta jangan dicoret nama saya dari
Muhammadiyah; tahun ’62 ini saya berkata, moga-moga
saya diberi umur panjang oleh Allah Subhaanahu wa-Ta’ala,
dan jikalau saya meninggal supaya saya dikubur dengan
membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.”
(Bung Karno)

ITULAH sebagian isi pidato Bung Karno pada Muktamar


Muhammadiyah di Jakarta, 25 November 1962. Bung Karno
mengaku kagum dengan Kyai Ahmad Dahlan sejak usia
muda, tatkala masih berdiam di rumah HOS Tjokroaminoto.
Karena terpesona dengan ceramah-ceramah Kyai Dahlan,
maka Soekarno muda berkali-kali mengikuti tabligh Kyai
Dahlan. “... saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama
kali berjumpa dan terpukau —dalam arti yang baik— oleh
Kyai Haji Ahmad Dahlan,” kata Presiden Soekarno. Karena
itu, lanjut Bung Karno, “saya ngintil —ngintil artinya
mengikuti— Kyai Ahmad Dahlan itu.”
Seperti apakah pribadi Kyai Dahlan yang mempesona
itu? Solichin Salam, dalam bukunya, K.H. Ahmad Dahlan,
Reformer Islam Indonesia (1963) mendokumentasikan sosok
dan perjuangan Kyai Dahlan. “Kebesaran Kyai Dahlan tidaklah

57
terletak pada luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya,
melainkan terletak pada kebesaran jiwanya, kebesaran
pribadinya. Dengan bermodalkan kebesaran jiwanya dan
disertai keichlasan dalam berjuang dan berkorban inilah
yang menyebabkan segala gerak-langkahnya, amal usaha
dan perjuangannya senantiasa berhasil,” tulis Solichin Salam.
Semangat perjuangan dan pengorbanan Kyai Dahlan
dapat disimak dalam sejumlah kisah berikut. Saat Kyai
Dahlan jatuh sakit, seorang dokter Belanda menasehatinya
untuk beristirahat. Kata si Dokter, “Saya mengetahui apa
yang menjadi cita-cita Tuan, dan sebagai seorang dokter, saya
pun mengetahui penyakit yang kyai derita. Penyakit kyai ini
tidak memerlukan tetirah keluar kota, tetapi cukup di rumah
saja. Sakit kyai ini hanya memerlukan mengaso, lain tidak.”
Tetapi, kyai Dahlan tidak memperhatikan nasehat dokter
tersebut. Ia terus berkeliling daerah, bertabligh, tanpa peduli
kesehatannya. Kyai Dahlan wafat pada 23 Februari 1923.
Beberapa bulan sebelum wafatnya, Kyai Dahlan pergi 17 kali
meninggalkan Yogyakarta untuk berbagai kegiatan dakwah.

Jadilah guru!
Tidak diragukan, Kyai Ahmad Dahlan adalah pejuang dan
tokoh pendidikan nasional sejati. Kyai Dahlan juga seorang
manusia amal. Ia bukan hanya berpikir, dan memahami
masalah. Tetapi, lebih penting lagi, ia berpikir jauh ke depan,
dan mencarikan solusi masalah secara mendasar. Bahkan,
lebih dari itu, Kyai Dahlan langsung memimpin perjuangan
itu sendiri; menjadikan dirinya, istrinya, dan keluarganya
sebagai teladan perjuangan. Inilah yang membuat seorang
Soekarno terpesona sejak usia mudanya.
Meskipun terjajah secara ekonomi, politik, dan militer,
Kyai Dahlan paham benar, bahwa akar masalah umat
dan bangsa ini terletak pada masalah pendidikan. Dari

58
pendidikan inilah akan dilahirkan kader-kader umat dan
bangsa. Uniknya, Kyai Dahlan memulai dari pendidikan kaum
perempuan. Sebab, menurutnya, perempuan memegang
peran penting dalam pendidikan anak.
Kyai Dahlan tidak menunggu gedung megah untuk
membuka sekolah. Ia mulai dari serambi rumahnya. Di
situlah belajar sejumlah murid pertama, seperti Aisyah Hilal,
Busyro Isom, Zahro Muhsin, Wadi’ah Nuh, Dalalah Hisyam,
Bariah, Dawinah, dan Badilah Zuber. Kyai Dahlan sendiri
yang mengajar mereka. Sekolah itu belum diberi nama. Para
murid belajar ilmu aqaid, fiqih, akhlak, qira’ah, dan lain-lain.
Barulah pada tahun 1913, sekolah itu berpindah
ke gedung baru. Atas jasa putranya, H. Siraj Dahlan,
terbentuklah sebuah madrasah yang diberi nama “al-
Qismul Arqa”. Pada tahun-tahun berikutnya, madrasah ini
diberi nama Hooger Muhammadiyah School, lalu menjadi
Kweekschool Islam, dan pada 1932 berubah nama menjadi
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Inilah sekolah guru
Muhammadiyah.
Sekolah guru ini dimaksudkan untuk melahirkan kader-
kader pejuang. Patut dicatat, bahwa ketika itu, banyak orang
tertarik menjadi guru karena status sosial yang tinggi. Kyai
Ahmad Dahlan paham benar akan nilai strategisnya aspek
pendidikan. Sedangkan kunci keberhasilan pendidikan
terletak pada kualitas guru. Dari sekolah-sekolah Guru
Muhammadiyah inilah lahir para pemimpin, ulama, dan tokoh
masyarakat. Bangsa Indonesia tak akan lupa sosok pahlawan
besar, Jenderal Sudirman, seorang guru Muhammadiyah.

Batu pertama
Di bulan-bulan menjelang wafatnya, kondisi kesehatan
Kyai Ahmad Dahlan semakin menurun. Dokter menyarankan
ia beristirahat di sebuah daerah di lereng Gunung Bromo.

59
Tapi, lagi-lagi, di situ pula Kyai Dahlan justru aktif berdakwah.
Usaha murid-muridnya untuk membujuknya beristirahat
gagal lagi. Maka, dimintalah Nyai Dahlan menasehati Sang
Suami.
“Istirahat dulu, Kyai!” saran sang istri.
“Mengapa saya akan istirahat?” tanya Kyai Dahlan.
“Kyai sakit, istirahatlah dulu, menunggu sembuh,” kata
Nyai Dahlan lagi.
“Ajaib,” kata Kyai Dahlan, “Orang di kiri kananku
menyuruh aku berhenti beramal, tidak saya pedulikan. Tetapi
sekarang kau sendiri pun ikut pula.”
Dengan meneteskan air mata, istrinya berucap, “Saya
bukan menghalangi Kyai beramal, tetapi mengharap
kesehatan Kyai, karena dengan kesehatan itulah Kyai dapat
bekerja lebih giat di belakang hari.”
Kyai Dahlan pun menenangkan istrinya; menjelaskan
latar belakang perjuangannya. “Saya mesti bekerja keras,
untuk meletakkan batu pertama dari pada amal yang besar
ini. Kalau sekiranya saya lambatkan atau pun saya hentikan,
lantaran sakitku ini, maka tidak ada orang yang akan
sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa, bahwa
umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan
selekas mungkin, maka yang tinggal sedikit itu, mudahlah
yang di bekalang nanti untuk menyempurnakannya.”
Kira-kira seminggu sebelum wafatnya, Kyai Dahlan
berpesan kepada murid-muridnya, “Aku tak lara ya, kowe
kabeh temandanga!” (Saya mau sakit, bekerjalah kalian
semua!”).
Beginilah Kyai Ahmad Dahlan mendidik kita; bagaimana
memahami hidup, cinta dan ikhlas dalam perjuangan dan
pengorbanan; juga bagaimana menjadi guru sejati, guru
pejuang! Ia pun berpesan, “Kita manusia ini, hidup di dunia

60
hanya sekali buat bertaruh. Sesudah mati, akan mendapat
kebahagiaankah atau kesengsaraan?”
Itulah model pendidikan Kyai Dahlan yang begitu
menekankan pada pencapaian akhlak mulia. Semoga dunia
pendidikan kita TIDAK menghasilkan manusia-manusia
yang gila dunia, lupa akhirat, sampai-sampai menghalalkan
segala cara untuk meraih kursi sekolah, harta, dan tahta!
Wallahu A’lam bish-shawab. (Tulisan ini ringkasan dari artikel
di Jurnal ISLAMIA, Republika-INSISTS, edisi 19 Juli 2018) []

61
~14~
Beginilah Kehebatan Ulama
Kita
“Pada tanggal 18 Agustus 1945, umat Islam baru
mengalami peristiwa pencoretan “Tujuh Kata” dalam
Pembukaan UUD 1945. Banyak tokoh kecewa. Tetapi,
para ulama Islam tetap mengedepankan keselamatan
dan kemerdekaan Indonesia. Mereka mempertaruhkan
segalanya –harta dan nyawa– untuk mempertahankan
kemerdekaan.”

“ATAS berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan


didorongkan oleh keinginan luhur...”. Itu isi Pembukaan UUD
1945. Rumusan itu sungguh indah; mengikut rumusan
aqidah ahlus sunnah; memadukan aspek rahmat Allah
dan usaha manusia. Bangsa Indonesia berjuang, Allah
menganugerahi kemerdekaan.
Memang, sejarah mencatat, goresan tinta ulama
memiliki andil signifikan dalam meraih kemerdekaan.
Bahkan, perjuangan mengusir penjajah, sering kali
memadukan goresan tinta ulama dan kucuran darah
para pejuang. Sepanjang sejarah perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, peranan para
ulama Islam sangat menonjol.
Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII, (2005), Azyumardi
Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan para ulama
dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf
al-Maqassari (1627-1629M). Ulama terkenal ini bukan

62
hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi
juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683,
setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf
Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir
seluruh wilayah Jawa Barat. Menurut satu versi, Syekh Yusuf
berhasil ditangkap setelah komandan pasukan Belanda, van
Happel, berhasil menyusup ke markas Syekh Yusuf, dengan
menyamar sebagai Muslim dengan pakaian Arab. Syekh
Yusuf pun dibuang ke Srilanka dan Afrika Selatan untuk
mengurangi pengaruhnya. Tapi, justru di kedua tempat
itu, Syekh Yusuf berhasil mengembangkan Islam dengan
mengajar dan menulis. Usaha Belanda untuk mengkristenkan
Syekh Yusuf juga gagal. Sarjana Evangelis Belanda, Samuel
Zwemer, mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari Gereja
Belanda Tua Cape Town, yang gagal menjadikan Syekh Yusuf
sebagai pemeluk Kristen.
Ulama lain, Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-
1789), dikenal sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah
Palembang. Meskipun menetap Mekkah, Syekh Abd al-
Shamad memiliki kepedulian kuat terhadap kondisi Nusantara
dan mendorong kaum Muslim untuk melaksanakan jihad
melawan penjajah. Sebuah kitab berbahasa Arab tentang
keutamaan jihad fi-sabilillah ditulisnya dengan judul,
Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail
al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah.
Melalui kitabnya ini, Syekh al-Palimbani menjelaskan bahwa
wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad
melawan kaum kafir. Dalam The Achehnese, seperti dikutip
Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa karya Syekh
al-Palimbani merupakan sumber rujukan utama berbagai
karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang sangat panjang
melawan Belanda, mulai 1873 sampai awal abad ke-20. Kitab
ini menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang
melawan kaum kafir.

63
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap
mengawal kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh
kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, 22
Oktober 1945. Isi Resolusi Jihad yang diputuskan dalam rapat
para konsul NU se-Jawa Madura itu antara lain berbunyi: (1)
Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17
Agustus 1945 wajib dipertahankan; (2) Umat Islam, terutama
warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan
kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia;
(3) Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban
bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada dalam
jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh
melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka
yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-
saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut. Dalam
teks lain, ada tambahan: “Kaki tangan musuh adalah
pemecah belah kebulatan tekad dan kehendak rakyat dan
harus dibinasakan; menurut hukum Islam sabda hadits
(Nabi) riwayat Muslim.”
Dampak dari Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari itu
sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai dan santri berperang
melawan tentara Sekutu, yang baru saja memenangkan
Perang Dunia kedua. Lima belas ribu tentara Sekutu dengan
persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi pasukan
perlawanan pasukan kyai dan santri. Bahkan, Brigadir
Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri. (Lihat,
el-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, (2010).
Pada tanggal 18 Agustus 1945, umat Islam baru mengalami
peristiwa pencoretan “Tujuh Kata” dalam Pembukaan UUD
1945. Banyak tokoh kecewa. Tetapi, para ulama Islam tetap
mengedepankan keselamatan dan kemerdekaan Indonesia.
Mereka mempertaruhkan segalanya —harta dan nyawa—
untuk mempertahankan kemerdekaan.

64
Kini, setelah merdeka, di mana ulama ditempatkan? Saat
diperlukan –kadang ulama didatangi; diminta doa, restu,
atau dukungan politik, agar jabatan politik diraih; agar hujan
turun; agar krisis berlalu. Tapi, dimana posisi ulama dalam
menyusun konsep dan program pembangunan? Sepatutnya,
para ulama yang ikhlas dan berilmu diberikan tempat untuk
ikut menyampaikan konsep-konsep pembangunan, agar
negeri kita menjadi negeri adil makmur dan diberkati Tuhan
Yang Maha Esa.
Pada saat yang sama, para ulama pewaris Nabi wajib
menjaga diri. Utamakan cinta Ilahi dan perjuangkan misi
Nabi. Kata Imam al-Ghazali, jika ulama rusak, cinta harta
dan kehormatan, rusaklah penguasa. Akhirnya, rakyat pun
binasa. []

65
~15~

Toleransi dan Pengorbanan


dalam Perjuangan
“Jika pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu tatkala UUD
1945 disahkan Ummat Islam “ngotot” mempertahankan
7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah
akan menjadi lain. Tetapi segalanya telah terjadi. Ummat
Islam hanya mengharapkan prospek-prospek di masa
depan, semoga segalanya akan menjadi hikmah.”
(KH Saifuddin Zuhri)

TOKOH NU, K.H. Saifuddin Zuhri pernah menulis tentang


toleransi dan pengorbanan umat Islam untuk bangsa dan
negara Indonesia, demi persatuan Indonesia. Beliau menulis:
“Dihapuskannya 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta itu
boleh dibilang tidak “diributkan” oleh Ummat Islam, demi
memelihara persatuan dan demi ketahanan perjuangan
dalam revolusi Bangsa Indonesia, untuk menjaga
kekompakan seluruh potensi nasional mempertahankan
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang baru berusia 1 hari.
Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari Ummat
Islam Indonesia? Jika pada tanggal 18 Agustus 1945
yaitu tatkala UUD 1945 disahkan Ummat Islam “ngotot”
mempertahankan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta,
barangkali sejarah akan menjadi lain. Tetapi segalanya
telah terjadi. Ummat Islam hanya mengharapkan prospek-
prospek di masa depan, semoga segalanya akan menjadi
hikmah.” (KH Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di

66
Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm.
51-52).
Kisah pengorbanan umat Islam Indonesia yang rela
menghapus tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945,
diungkap lebih rinci oleh Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh
Muhammadiyah yang ikut dalam diskusi tentang dasar
negara pada 18 Agustus 1945. Ketika itu, Kasman juga
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Berikut ini kesaksian Kasman Singodimedjo:
“Waktu tiba di Pejambon (tempat sidang PPKI. Pen.),
terbukti sedang ramai-ramainya diadakan lobbying di
antara anggauta-anggauta Panitya. Dan tidaklah sulit
bagi saya untuk mengetahui materi apakah yang sedang
menjadi persoalan serius itu. Adapun materi termaksud
adalah usul dari pihak non-Muslim di dalam Panitya
Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk menghapuskan
7 (tujuh) kata-kata dari Piagam Jakarta, yakni berbunyi:
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Dilihat dari segi pengusul-pengusulnya adalah logis sekali,
bahwa mereka itu mengambil kesempatan dari psychologis
moment yang pada waktu itu “ready for use” untuk
memajukan usulnya yang peka (gevoelig), justru pada
suatu moment bahwa “kemerdekaan Indonesia” sebagai
kenyataan pada hari kemarinnya (tanggal 17 Agustus
1945) telah diproklamirkan, artinya untuk mundur sudah
tidak mungkin lagi dan kemungkinannya hanya satu, yaitu
untuk maju terus dan menghadapi segala konsekwensi
follow up dari proklamasi telah merdeka itu.
Dan justru konsekwensi itulah memerlukan atau
membutuhkan kekompakan dan persatu-paduan dari
keseluruhan bangsa Indonesia tanpa kecuali, apalagi untuk
menghadapi Tentara Sekutu yang dengan kelengkapan

67
senjatanya telah tercium sudah “tingil-tingil” hendak
mendarat di daratan Indonesia, sedang balatentara
Dai Nippon menurut kenyataannya masih saja “tongol-
tongol!” berada di daratan Indonesia, pula lengkap dengan
persenjataannya yang belum lagi sempat untuk diserahkan
sebagai akibat kalah perang kepada Sekutu yang menang
perang.
Memang pintar minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk
memanfaatkan kesempatan moment psychologist. Dalam
pada itu pembicaraan di dalam lobbying mengenai usul
materi tersebut agak tegang dan sengit juga. Tegang dan
sengit karena Piagam Jakarta itu pada tanggal 22 Juni
1945 toch dengan seksama dan bijaksana telah ditetapkan
dan diputuskan bersama… Apa dari rumus tujuh kata-kata
itu yang dapat dianggap sebagai merugikan golongan non-
Muslim? Golongan ini sama sekali tidak akan berkewajiban
atau diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam; tidak!
Bahkan toleransi Islam menjamin golongan non-Muslim itu
mengamalkan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya.
Bahkan golongan non-Muslim mempunyai kepentingan
yang besar sekali, bahwa ummat Islam itu akan mentaati
dan menjalankan agamanya (Islam) setertib-tertibnya,
sebab jika tidak begitu maka golongan minoritas non Islam
itulah pasti akan menjadi korban dari pada mayoritas
brandal-brandal, bandit-bandit dan bajingan “selam” yang
tidak tertib Islam itu!...
Sayapun di dalam lobbying itu ingin sekali
mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit yang
utuh, tanpa pencoretan atau penghapusan dari kata-kata
termaksud, karena Piagam Jakarta itu adalah wajar dan
logis sekali bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia sebagai
keseluruhan. Tetapi saya pun tidak dapat memungkiri
apalagi menghilangkan, adanya situasi darurat dan terjepit

68
sekali itu. Kita bangsa Indonesia pada waktu itu sungguh
terjepit antara Sekutu yang telah tingil-tingil hendak
mendarat dan menjajah kembali di bawah penjajah
Belanda (anggauta Sekutu) dan pihak Jepang yang tongol-
tongol masih berada di bumi kita, yakni Jepang yang
berkewajiban menyerahkan segala sesuatunya (termasuk
Indonesia) kepada Sekutu (termasuk Belanda)!
Jepitan itulah yang membikin kami golongan Islam dan
Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tidak dapat
tetap ngotot prinsipiil, dan akhirnya kami menerima baik
janji Bung Karno, yakni bahwa nanti 6 (enam) bulan
lagi wakil-wakil bangsa Indonesia berkumpul di dalam
forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk
menetapkan Undang-undang Dasar yang sempurna
sesempurna-sempurnanya, seperti (janji tersebut) dapat
juga dibaca di dalam Undang-undang Dasar 1945 bagian
terakhir.” (Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup
Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta:
Bulan Bintang, 1982), hal. 121-124).
***
Demikianlah cerita pelaku sejarah, Prof. Kasman
Singodimedjo seputar pengorbanan umat Islam untuk
mempertahankan kemerdekaan RI. Ketika penjajah hendak
kembali menduduki NKRI, umat Islam Indonesia menyambut
Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari untuk mempertahankan
Kemerdekaan RI. Bahwa, mempertahankan kemerdekaan RI
adalah wajib bagi seluruh umat Islam Indonesia.
Berikutnya, ketika Yogyakarta diduduki dan Presiden
Soekarno bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap
Belanda, tampillah tokoh Islam Sjafroedin Prawiranegara
menyelamatkan Proklamasi Kemerdekaan dengan PDRI-
nya. Tahun 1950, tokoh Islam Mohamamd Natsir berhasil
mengembalikan NKRI melalui Mosi Integralnya.

69
Kecintaan umat Islam dan para tokoh Islam terhadap
bangsa dan negara, sepanjang sejarah Indonesia, tak perlu
diragukan. Sebab, cinta tanah air adalah bagian dari aspek
keimanan. Umat Islam cinta kepada NKRI karena negeri ini
adalah amanah Allah SWT.
Karena itu, tidaklah patut ada upaya untuk memisahkan
antara Islam dan ke-Indonesian. Tidak perlu ada dikotomi
antara Pancasila dan al-Qur’an. Seorang muslim yang baik,
pada saat yang sama, pasti orang Indonesia yang baik pula.
Wallahu A’lam bish-shawab. []

70
Epilog:
Jangan Cinta Dunia Berlebihan

”Barang siapa mengenal dunia, maka tahulah ia


barang yang terpedaya.”
(Raja Ali Haji, Gurindam 12)

ANTARA tahun 1986-1987, sejumlah cendekiawan —


seperti Dr. M. Amien Rais, Dr. Kuntowijoyo, Dr. Yahya
Muhaimin, Dr. A. Watik Pratiknya, dan Endang S. Anshari—
melakukan wawancara intensif dengan Mohammad Natsir.
Mereka menggali pemikiran Natsir dengan sangat intensif.
Berulangkali wawancara dilakukan. Sayang, hasil rekaman
wawancara itu kemudian tidak terselamatkan. Dokumen
yang tersisa hanya sebuah buku setebal 143 halaman,
berjudul Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan
Seorang Bapak (1989).
Tentu saja, buku ini menjadi sangat penting, karena
merekam pemikiran dan pesan-pesan perjuangan Dr.
Mohammad Natsir kepada generasi pelanjutnya. Natsir
memang dikenal sebagai seorang pejuang dan pemikir Islam,
yang pada 7 November 2008 diberi gelar sebagai Pahlawan
Nasional oleh pemerintah RI.
Kiprah Mohammad Natsir dalam perjuangan Islam
dikenal secara luas, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga
di dunia Islam. Meskipun buku Percakapan Antar Generasi

71
itu mengemukakan gagasan-gagasan singkat, tetapi banyak
pemikiran penting yang bisa dipetik dari seorang Mohammad
Natsir, yang ketika itu sampai pada tahap-tahap kematangan
pemikirannya.
Ketika ditanya oleh para kadernya tentang penyakit yang
paling berbahaya bagi umat Islam dan bangsa Indonesia saat
ini, Pak Natsir dengan tegas mengatakan, ”Salah satu penyakit
bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-
lebihan dalam mencintai dunia.” Lalu, ditambahkannya:
”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan
itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai
pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama
(kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi,
gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat
perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam
masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus,
maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami
kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi
bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan
sosial yang cukup serius.”
Dan memang, penyakit cinta dunia (hubbud-dunya)
itulah salah satu sumber kehancuran utama umat
Islam. Rasulullah saw bersabda, “Apabila umatku sudah
mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam;
dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi
munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan
apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam
pandangan Allah.” (HR Hakim dan Tirmidzi).
Di tengah berbagai kesulitan dan tantangan dakwah yang
berat saat ini, pesan Pak Natsir itu perlu diperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Jika penyakit ini sudah menggejala,
maka pasti kehancuran menanti umat. Di bidang apa pun.
Penyakit hubbud-dunya (gila dunia) berawal dari penyakit

72
iman, yang berakar pada persepsi yang salah bahwa dunia ini
adalah tujuan akhir kehidupan. Akhirat dilupakan. Akhirnya,
jabatan dan harta dipandang sebagai tujuan; bukan sebagai
alat untuk meraih keridhaan Allah.
Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian berdagang dengan
sistem ‘inah’ dan kalian berpegang pada ekor sapi serta
‘ridha’ (sibuk) dengan urusan bercocok tanam, dan kamu
tinggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah timpakan kepada
kalian kehinaan dan tidak akan mencabut kehinaan tersebut
sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud
dan Ahmad).
Juga, Rasulullah SAW pernah mengingatkan, “Hampir
tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok
mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan
mengerumuni hidangan mereka.” Seorang sahabat bertanya,
“Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?”
Nabi SAW menjawab, “(Tidak) bahkan jumlah kamu pada hari
itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah
buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa
gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah
akan menanamkan penyakit “al wahnu”. Seorang bertanya,
“Apakah al wahnu itu ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab:
“Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud).

Lihat sejarah
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great
Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United
States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam
buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran
Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai
1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD.
Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai
lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya,

73
ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar.
Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih
menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy,
“For all its economic and perhaps military decline, it remains,
in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of
balance and issue... because it has so much power for good
or evil.”
Rasulullah SAW pernah menggambarkan ketika
jumlah umat Islam begitu banyak, tapi banyaknya tidak
berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada
sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia.
Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah
merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali
kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka
selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya
nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan
menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki
sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjuang
dan berkorban untuk mewujudkan cita-cita mulia! Mereka
hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia
demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia”
menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang
menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau
peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya,
Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama
Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap
berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat,
sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di
berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis
Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun

74
masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi
berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu
menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani
mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di
Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin
negeri ini. Mengapa Kota Jerusalem bisa diduduki Pasukan
Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat
peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat
biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215?
Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama
kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza
Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds,
dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa,
ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci
Jerusalem di tangan pasukan salib. Penyakit tamak dunia
merajalela, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga
di kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan aktivitas amar
ma’ruf nahi munkar. Mereka membiarkan kemunkaran
merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan
keuntungan pribadi dan kelompoknya. Satu lagi, penyakit
kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam perpecahan
antar-mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan
Islam, dan hanya sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya
dengan mencaci-maki kelompok lainnya. (Lihat: Majid Irsan
al-Kilani, Model Kebangkitan Umat Islam (Terjemah oleh Asep
Sobari Lc) (Jakarta: Mahdara Publishing, 2019).
Islam tidak memerintahkan umatnya meninggalkan dunia.
Tapi, umat Islam diperintahkan untuk menaklukkan dunia,
untuk meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam
hatinya. Dunia dan seisinya adalah amanah Allah. Semua
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat.

75
Maka, semakin tinggi jabatan, kedudukan, dan semakin
banyak nikmat yang diterima seseorang di dunia, semakin
berat pula tanggung jawabnya di akhirat. Karena itu,
sangatlah rugi kehidupan seseorang yang siang malam hanya
sibuk mengejar ’dunia’ demi tujuan-tujuan kepuasan dunia
semata. Padahal, ketika mati, harta dan jabatannya tidak
dibawanya. Hanya amal ibadahnya yang akan menemaninya
sampai Hari Akhir. Wallahu A’lam. []

Dr. Adian Husaini, lulus Ph.D bidang


Peradaban Islam dari International Islamic
University Malaysia. Saat ini adalah
Ketua Program Doktor Pendidikan Islam
Universitas Ibnu Chaldun Bogor. Telah
menulis puluhan buku dan ribuan artikel.
Tahun 2020 mendapat penghargaan
sebagai Tokoh Perbukuan Islam dalam Islamic Book Fair
IKAPI DKI Jakarta.

76

Anda mungkin juga menyukai