Anda di halaman 1dari 10

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

STUDI KASUS DISINTEGRASI DI INDONESIA

Dosen pengampu :

Dr. Firman Umar, M.Hum

Hairul Saleh Satrul, S.H., M.Pd

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3

KELAS B

Riastutiyanti 210701501070

Silvia Rukmana 210701500035

Nasylah Anisya Ali 210701501099

Nabila Nurafifah 210701500012

Nurfadila 200701501132

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
PEMBERONTAKAN ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM)
(Sumber: https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=82968)

Pembangunan yang diselenggarakan di Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya sejak


daerah itu dikembalikan ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal
1 Mei 1963, dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Hal yang demikian
menyebabkan rakyat di wilayah Propinsi itu tidak cepat berubah dan berkembang
mengikuti kemajuan sama dengan saudara-saudara mereka di daerah Indonesia lainnya.
Proses integrasi politik di Irian Jaya menghadapi suatu tantangan yang utama dan berat
yaitu pemberontakan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tahun
1965 tepatnya pada tangal 26 Juli di Manokwari yang dipimpin oleh Permenas Ferry
Awom, bekas anggota Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwilinger Corps) buatan
Belanda. Pemberontakan OPM yang terus berlangsung hingga saat ini dan secara
sporadisadis itu merupakan hambatan terhadap penyelenggaraan pembangunan pada
umumnya baik pemaangunan fisik maupun pembangunan non fisik.
Sebagai gerakan separatis, maka pemberontakan OPM merupakan hadangan
terhadap proses integrasi di Irian Jaya yang lebih banyak diwarnai oleh dimensi yang
horizontal, yaitu suatu tujuan untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur
kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen. Di
Irian Jaya, bentuk pemberontakan OPM dapat digolongkan ke dalam beberapa tindakan
sebagai berikut Pertama; aksi perlawanan fisik bersenjata atau aksi militer yang dilakukan
secara sporadis; Kedua; aksi penyanderaan; Ketiga; aksi demonstrasi massa; Keempat;
aksi pengibaran bendera Papua Barat; Kelima; aksi penempelan dan pengebaran
pamflet/selebaran; Keenam; aksi rapat-rapat politik dan pembentukan organisasi
perjuangan lokal; Ketujuh; aksi pelintasan perbatasan ke Papua New Guinea; Kedelapan;
aksi pengrusakan/pembongkaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa OPM itu lahir di Irian Jaya dari dua faksi
utama pimpinan Terianus Aronggear, SE dan Aser Demotekay pada tahun 1964 dan tahun
1963. Sebagai organisasi OPN kegiatannya terbagi dua yaitu kegiatan politik dan kegiatan
militer. Kegiatan politik kemudian terus dilanjutkan di lu ar negeri sedangkan kegiatan
militer dilakukan di Irian Jaya. Secara keseluruhan kegiatan politik di luar negeri kurang
efektif sebab terjadi perpecahan antara para pemimpin politik OPM dari segi orientasinya
ada yang pro-Barat dan ada yang berorientasi ke neo-Marxis/Sosialis. Perpecahan ini jelas
mempengaruni faksi militer di Irian Jaya sehingga kegiatan mereka lemah dan mudah
dipatahkan oleh Pemerintah atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Berdasarkan telaahan teori dan pendapat para sarjana dapat diungkap bahwa
pemberontakan itu terjadi karena ketidakpuasan dan kekecewaan yang dialami oleh
manusia dalam suatu sistem politik atau negara. Di Irian Jaya saat ini masih saja ada
aktivitas pemberontakan dari OPM secara sporadis, walaupun setiap kegiatan dengan
mudah dapat dipatahkan dan tidak ada dukungan politik secara internasional. Berangkat
dari ke-4 pertanyaan tersebut di atas, yang menjadi pokok permasalah dalam tulisan ini
adalah sampai sejauh mana pengaruh pemberontakan OPM terhadap pembentukan
integrasi politik yang mantap di Irian Jaya. Dari hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa
pada hakekatnya pemberontakan OPM masih mempengaruhi pembentukan integrasi
politik yang mantap di Irian Jaya, hal mana dapat dilihat dari sikap dan dukungan yang
diberikan oleh rakyat Irian Jaya terhadap OPM sehingga timbul berbagai aksi
pemberontakan secara sporadis dalam kurun waktu 20 tahun dan OPM lebih mampu
mensosialisasikan nilai-nilai "nasionalis Papua" sebagai ideologi OPM kepada rakyat
Irian Jaya. Oleh karena itu untuk mewujudkan integrasi politik yang mantap di Irian
disarankan agar terlebih dulu menghilangkan ideologi OPM serta melakukan pendekatan
"cinta-kasih" dalam pergaulan atas dasar persamaan dan persaudaraan.

A. Keterkaitan Kasus Dengan Jenis Integrasi


Menurut Suroyo (2002), integrasi nasional mencerminkan proses persatuan
orang-orang dari berbagai wilayah yang berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan
baik etnisitas, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi, menjadi satu bangsa
(nation) terutama karena pengalaman sejarah dan politik yang relatif sama. Dalam
realitas nasional integrasi nasional dapat dilihat dari tiga aspek, salah satunya adalah
aspek politik. Dalam tataran integrasi politik terdapat dimensi vertikal dan horizontal.
Dimensi yang bersifat vertikal menyangkut hubungan elit dan massa, baik antara elit
politik dengan massa pengikut, atau antara penguasa dan rakyat guna menjembatani
celah perbedaan dalam rangka pengembangan proses politik yang partisipatif.
Dimensi horizontal menyangkut hubungan yang berkaitan dengan masalah teritorial,
antar daerah, antar suku, umat beragama dan golongan masyarakat Indonesia.
Integrasi politik adalah penyatuan masyarakat dengan sistem politik. Integrasi
politik dibagi menjadi lima jenis, yakni 1) integrasi bangsa, 2) integrasi wilayah, 3)
integrasi nilai, 4) integrasi elit-massa, dan 5) integrasi tingkah laku (perilaku
integratif). Ditinjau dari kasus di atas, yaitu pemberontakan yang dilakukan oleh
Organisasi Papua Merdeka dimana mereka melakukan pemberontakan terhadap
pembentukan integrasi politik yang mantap di Irian Jaya. Hal tersebut tentu
mempengaruhi pembentukan integrasi politik di Irian Jaya, hal tersebut dapat dilihat
dari sikap dan dukungan yang diberikan oleh rakyat Irian Jaya terhadap OPM
sehingga timbul berbagai aksi pemberontakan secara sporadis dalam kurun waktu 20
tahun dan OPM lebih mampu mensosialisasikan nilai-nilai "nasionalis Papua"
sebagai ideologi OPM kepada rakyat Irian Jaya. Berdirinya OPM tentu saja
merupakan salah satu kasus Disintegrasi bangsa yaitu memudarnya kesatupaduan
antar golongan, dan kelompok yang ada dalam suatu bangsa yang bersangkutan yaitu
Indonesia sendiri. Disintegrasi yang terjadi ini tentunya sudah tidak sejalan dengan
jenis integrasi yaitu integrasi bangsa yang menunjuk pada proses penyatuan berbagai
kelompok budaya dan sosial dalam satu kesatuan wilayah dan dalam suatu
pembentukan identitas nasional serta integrasi wilayah yang menunjuk pada masalah
pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit sosial yang lebih
kecil yang beranggotakan kelompok kelompok sosial budaya masyarakat tertentu.

B. Faktor Penyebab Disintegras


Selama lebih dari setengah abad, konflik Papua telah berlangsung, kemudian
terus memanas dalam dua tahun terakhir. Sering kali terjadi baku tembak antara
aparat keamanan yakni TNI dan Polri dengan Kelompok Kriminal Separatis
Bersenjata (KKSB) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, KKSB ini kemudian
dianggap sebagai kelompok teroris di wilayah Papua. Berdasarkan Data Armed
Conflict Location and Event Data Project (ACLED) ditemukan bahwa pada 1
Januari 2019 - 15 Desember 2021 terdapat 407 peristiwa konflik di Papua dan
Papua Barat, yang terdiri atas 107 pertempuran, 206 kerusuhan, dan 88 kekerasan
terhadap warga sipil, dengan jumlah korban jiwa mencapai 123 orang (ACLED
dalam Kurnianto, Santoso, & Utama, 2022).
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Organisasi Papua Merdeka
(OPM)Berdasarkan dari Dinas Sejarah Militer Kodam XVII Cenderawasih,
terdapat lima sebab yang menyebabkan pemberontakan OPM terjadi di antaranya:
1. Aspek Politik
Pemerintah Belanda pernah menjajikan rakyat Papua untuk mendirikan
suatu negera (boneka) Papua yang tidak menjadi bagian dari negara republik
Indinesia, janji yang diberikan Belanda pada masyarakat Papua ini
disampaikan pada masa pemerintahan Belanda. Akhirnya, beberapa
pemimpin putra daerah yang mendukung Belanda, menggantungkan harapan
bahwa akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam negara Papua tersebut.
Namun, janji pemerintah Belanda tersebut tidak dapat terealisasi sebab Iran
Jaya harus diserahkan kepada Indonesia melalui perjanjian New York pada
tahun 1962. Sehingga, hadirnya gerakan ini didasari oleh lahirnya harapan
akan kemerdekaan Papua yang berdasar akan janji oleh pemerintah Belanda,
yang secara tidak langsung berarti pemerintah Belanda berjanji untuk
memberikan kemerdekaan kepada rakyat Papua, sehingga menjadi sebuah
landasan pokok dalam membentuk nasionalisme dalam masyarakat Papua itu
sendiri. Dalam aspek politik ini juga, gerakan OPM didasari oleh adanya
penyalahgunaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), yang sama sekali tidak
mencerminkan aspirasi rakyat Papua secara utah. Akibatnya, timbullah
kekecewaaan dan kekesalan yang mendalam terhadap rakyat Papua, yang
memicu timbulnya bentuk-bentuk kekerasan, seperti tindakan penyandraan
serta penembakan oleh anggota OPM.
2. Aspek Ekonomis
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang sangat buruk, tepatnya
pada tahun 1964, serta pada tahun 1965 dan 1966. Keadaan ini memiliki
dampak yang besar pada Papua Barat. Hal ini disebabkan karena penyaluran
barang-barang kebutuhan pangan dan sandang ke Papua Barat terhambat dan
juga terlambat, serta diperparah dengan tindakan para petugas Republik
Indonesia di Papua Barat yang memborong barang-barang yang ada di toko
dan mengirimnya ke luar Papua Barat dengan tujuan untuk memperkaya diri
masing-masing. Dampak dari hal tersebut adalah masyarakat Papua Barat
mengalami kekurangan pangan dan sandang. Sehingga, munculnya gerakan
ini disinyalir bersumber dari persoalan yang muncul pada kesejahteraan dan
pembangunan ekonomi Iran Papua.
3. Aspek Psikologi
Telah diketahui bahwa pada umumnya rakyat Papua memiliki
pendidikan kurang atau rendah. Hal ini berdampak pada pola pikir mereka
yang kurang berpikir secara kritis, sehingga dapat dengan mudah dipengaruhi,
serta mereka cenderung dipengaruhi oleh emosi saat berhadapan dengan suatu
masalah. Penyaluran sarana dan prasarana pada rakyat Papua kurang
mendukung ditambah, diikuti dengan minat belajar yang rendah. Sehingga,
tradisi kekerasan atau proses penyelesain suatu konflik dengan kekerasan
sangat melekat pada jiwa penduduk asli Papua, dari pada berpikir secara kritis
dan matang dalam proses penyelesaian masalah. Tindakan seperti kompromi
dan dialog tidak digunakan sebagai alat perdamaian, namun masyarakat Papa
sangat menekankan pada tradisi denda atau adanya timbal balik dari peristiwa
yang dilakukan. Sehingga, gerakan OPM cenderung dipicu oleh pola pikir
mereka yang menganggap darah dibalas darah merupakan hukum yang adil.
4. Aspek Sosial
Dari aspek sosial, perbedaan persentase antara penduduk asli dan
pendatang di Papua merupakan ukuran yang di khawatirkan dapat
menimbulkan ketimpangan sosial bagi penduduk asli Papua. Mereka khawatir
penduduk asli Papua akan menjadi kaum minoritas yang dimana sebagian bear
wilayah Papua dikuasai oleh pendatang. Adapun persoalan kebijakan secara
otomatis dapat berubah tergantung pada keterpihakan pemerintah terhadap
kaum mayoritas maupun minoritas.
5. Aspek Ideologis
Terdapat gerakan di Biak yang disebut gerakan Koreri (Heilstaat) atau
Manseren Manggundi. Gerakan m ini bersumber dari kepercayaan tentang
pemimpin besar sebagai Ratu Adil yang mampu membawa masyarakatnya
kepada kehidupan yang lebih baik atau makmur. Hadirnya kepercayaan ini,
lalu memotivasi timbulnya pemberontakan yang dipimpin oleh M. Awom di
Biak. M. Awom dianggap sebagai pimpinan besar menyerupai Nabi Musa
yang dianggap sakti oleh pengikutnya.
Berdasarkan pemaparan kelima aspek tersebut, dapat disimpulkan bahwa
sebab-sebab terjadinya pemberontakan atau gerakan Organisasi Papua
Merdeka (OPM) adalah sebagai berikut:
a. Adanya rasa Nasionalisme Papua, yakni senasib dan seperjuangan untuk
berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negara Papua Barat (West Papua).
b. Rakyat Papua hendak meningkatkan dan mewujudkan janji Belanda yang
sebelumnya tidak dapat terealisasi akibat adanya Integrasi dengan
Indonesia secara paksa dan tidak adil.
c. Bangsa Papua sebagai bangsa dan tanah air yang dipersengketakan tidak
dilibatkan dalam persetujuan politik antara Belanda dan Indonesia yang
melahirkan perjanjian New York 1962 kala itu.
d. Adanya latar belakang sejarah yang berbeda antara rakyat Papua Barat dan
bangsa Indonesia.
e. Fakta yang ada bahwa masih terdapat ketimpangan atau ketidakmerataan
serta perbedaan dari segi sosial, ekonomi dan politik antara bangsa Papua
dan Bangsa Indonesia.
f. Bangsa Papua Barat mengalami eksploitasi dari hasil yang dilakukan
secara besar-besaran untuk bangsa Indonesia, sedangkan rakyat Papua
Barat tetap mengalami kemiskinan dan masih saja terbelakang.
g. Pemerinah Indonesia mulai dari sejak awal integrasi hingga saat ini telah
memberikan tekanan terhadap rakyat Papua.
h. Rakyat Papua hendak mewujudkan cita-cita dari gerakan Cargo, yaitu
suatu bangsa dan Papua Barat yang Makmur di akhir Jaman.

Akibatnya permasalahan konflik Papua inisukar teratasi karena telah


tumbuh dan berakar dari dalam diri masing-masing masyarakat yang
menganggap pemerintah pusat telah melakukan permasalahan dan kesalah di
masa lalu terhadap rakyat Papua, di antranya seperti kekerasan, pelanggaran
HAM, serta tindakan mengeksploitasi sumber daya alam Papua yang tidak
mensejahterakan masyarakat Papua secara menyeluruh.
C. Alternatif Penyelesaian Konflik
Konflik yang tengah terjadi di Papua dapat diselesaikan menggunakan
pendekatan mediasi humanistik, seperti yang dikaji oleh Kurnianto, Santoso dan
Utama (2022). Teori humanistik yang digunakan adalah teori yang dikemukakan
oleh Umbreit (Kurnianto, Santoso & Utama, 2022), yakni:
1. Centering. Membersihkan pikiran dari kekacauan dan memusatkan
perhatian pada tugas penting perdamaian yang ada.
2. Re-framing Peran Mediator. Memfasilitasi proses dialog dan saling
membantu alih-alih mengarahkan proses yang didorong oleh penyelesaian
3. Melakukan Sesi Pra-meditasi. Mendengarkan cerita masing-masing pihak,
memberikan informasi, memperoleh partisipasi sukarela, menilai kasus,
mengklarifikasi harapan, mempersiapkan mediasi
4. Menghubungkan Para Pihak. Membangun hubungan dan kepercayaan
dimulai pada fase persiapan
5. Mengidentifikasi dan Memanfaatkan Kekuatan Para Pihak. Dimulai pada
fase premediasi
6. Pelatihan Komunikasi. Jika diperlukan, selama sesi persiapan
7. Menggunakan Gaya Mediasi Nondirektif
8. Duduk Berhadapan antar Para Pihak. Kecuali tidak pantas karena budaya
pihak atau permintaan individu.
9. Pengakuan dan Menggunakan Kekuatan Diam
10. Melakukan Sesi Tindak Lanjut
Mediasi memiliki peluang yang bagus untuk mendamaikan kondisi
dibandingkan sekedar mencari cara penyelesaian. Dengan beralih dari pendekatan
mediasi yang didorong oleh penyelasaian ke pendekatan yang didorong oleh
dialog, praktik mediasi dapat lebih konsisten memanfaatkan kekuatan
transformative dan rekonsiliasinya.
Teori mediasi humanistik Umbrei ini dapat dijadikan acuan baru untuk
pemerintah Indonesia di dalam mencapai kata damai dengan kubu OPM Papua
dan hidup berdampingan di wilayah NKRI. Pemerintah pusat seharusnya tidak
melakukan pendekatan keamanan yang berlebihan tetapi negara harus
menganggap bahwa mereka yang berkonflik adalah warga negara yang sah di
mata hukum.
Membuka dialog adalah kunci dari pendekatan mediasi humanistic untuk
penyelesaian konflik di Papua. Di dalam dialog penyelesaian konflik internal
antara Pemerintah Indonesia dengan kelompok OPM perlu dicari titik temu
tentang isu-isu apa saja yang bisa dperjualbelikan, tentunya isu yang layak untuk
dicapai kedua belah pihak. Setelah dialog sebagai bentuk mediasi dilakukan,
barulah pemerintah Indonesia menggandeng dan memberdayakan masyarakat
Papua di dalam menyelesaikan persoalan pembangunan di tanah Papua, dari segi
pendidikan, ekonomi, politik, hingga kebudayaan asli di wilayah tersebut.
berdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan harkat-martabat Masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan dengan berfokus pada pembenahan dan
peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini dikarenakan kondisi
pendidikan dan kesehatan di tanah Papua yang masih sangat memprihatinkan.
Kemudian untuk menggunakan pendekatan mediasi humanistik, maka
diperlukan trust building. Trust building merupakan tahapan terpenting dalam
proses rekonsiliasi karena konflik-konflik kekerasan (violent conflict) sulit
diselesaikan tanpa adanya saling percaya. Trust building dapat dilakukan melalui
dialog (para-para) dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
KKR merupakan rekonsiliasi terbatas antara para pelaku dan korban kekerasan di
Papua. Selain dialog dan KKR, penyelesaian damai di Papua dapat dilakukan
dengan melakukan pembangunan sesuai dengan undang-undang UU No. 21
Tahun 2001 tentng Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Pembangunan sosial politik
dan sosial ekonomi di Papua merupakan rekonsiliasi dalam arti luas rekonsiliasi
sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pembelajaran Dan kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan


Pendidikan Tinggi. (2016). Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan
Pancasila, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran Dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Cet. Pertama
Elisabeth, A. dkk. 2006. Trust Building dan Rekonsiliasi di Papua. Jakarta: LIPI Pres.
Kurniantoo, T. A., Santoso, P., & Utama, A. P. (2022). Upaya Indonesia mencegah
konflik Papua dengan pendekatan mediasi humanistik. Jurnal Ilmu Kepolisian.
16(2), 149-156. E-ISSN: 2621-8410.

Anda mungkin juga menyukai