Anda di halaman 1dari 3

Kasus Papua dan Disintegrasi Bangsa

Penulis: GP NasDem
Rabu, 06 Februari 2013 13:29

Oleh Hasrul Harahap - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyatakan tekadnya
untuk menuntaskan berbagai kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Tanah
Papua. Sayangnya tekad tersebut tak dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit untuk segera
menyelesaikannya hingga tuntas. Malahan, di tahun 2011 pelanggaran HAM di Papua terus terjadi
dan meningkat secara singnifikan. Berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh aparat
Militer Indonesia Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang
seharusnya memberi rasa aman bagi warga masyarakatnya. Ini menunjukan ketidakmampuan
seorang SBY dan Negara melindungi masyarakatnya di tanah Papua. Bukan tidak mungkin ini akan
memicu bangkitnya gerakan separatis di Papua yang tentu akan berdampak besar bagi keutuhaan
negara republik Indonesia. Saat ini negara lebih memilih menggunakan cara-cara kekerasaan
operasi militer untuk menyelesaikan konflik Papua.
Dengan menempuh jalan kekerasaan, tentu ini akan menimbulkan banyak pelanggaran HAM yang
juga akan memberikan citra buruk Indonesia di mata dunia internasional. Namun hingga saat ini
negara terus menerus melakukan tindakan kekerasaan, terutama melalui operasi Militer.
Seharusnya pemerintah menyadari bahwa jalan kekerasaan tidak akan pernah menyelesaikan
konflik malahan ia justru menambah masalah baru di Papua. Penyebab Konflik Konflik Papua
memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia.
Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua
selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci
adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di
Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia
bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak
menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti-Indonesia sangat kuat dan
mudah meluas di Papua.
Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun
justru memperkuatnya. Pada awalnya, OPM yang menjadi wujud nasionalisme Papua, tetapi kini
hadir PDP sebagai gerakan nasionalisme baru yang mengusung upaya kemerdekaan melalui jalur
politik. Kegagalan pemberdayaan masyarakat Papua, khususnya kegagalan pemerintah dalam
menjamin bahwa daerah yang kaya akan menghasilkan masyarakat yang sejahtera, telah
menumbuhkan kesadaran kolektif atas identitas primordial masyarakat Papua. Masyarakat Papua
melihat bahwa pemerintah hanya memerlukan sumber daya alam Papua belaka. Kondisi ini
membuat terjadinya penguatan dalam memori kolektif masyarakat Papua atas Melanesian
Brotherhood yang secara alamiah sudah ada. Hal demikian pada akhirnya memperkuat hasrat
untuk memisahkan diri dari NKRI. Sejak masa kolonial Belanda, Papua tidak menikmati kemajuan

ekonomi. Hal ini kembali terjadi setelah berintegrasi dengan Indonesia. Kekayaan Papua yang
berlimpah ruah tidak pernah dirasakan manfaatnya oleh masyarakatnya sendiri.
Kekayaan alam Papua dieksploitasi dan diserap ke pemerintah pusat tanpa dikembalikan ke Papua
dalam jumlah yang seharusnya. Kebijakan ekonomi pemerintah pusat sangat tidak berpihak pada
masyarakat asli Papua. Kebijakan transmigrasi pada masa Orde Baru menambah kekecewaan
ekonomi masyarakat Papua. Hal ini karena kebijakan yang diterapkan hanya dirasakan oleh para
pendatang di Papua. Penduduk lokal Papua tetap dalam kondisi yang memprihatinkan dan buta
huruf. Hal ini menyebabkan penduduk asli merasa terasing di wilayahnnya sendiri. Bergejolak lagi
Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan
terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI. Tandatanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai sudah
memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua
saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia. Maraknya aksi penembakan dan
penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan masyarakat Papua.
Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat umum serta
karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila hampir tiap hari terjadi
penghadangan dan penembakan oleh orang tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah
separatis Papua. Hal ini telah menambah keyakinan kita bahwa kelompok separatis kini sudah
menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak
meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang
luarbiasa, rakyatnya tetap miskin.
Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi
sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena
konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam
dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru; pendatang
agama baru merasa demokrasi mungkin menuju ke arah tirani kelompok mayoritas, dimana dalam
jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran. Meskipun ada
keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak masyarakat, terutama mengenai
nasionalisme yang bersaing perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda
lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari
persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar
agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari
terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia
dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada
ajaran agama. Dengan terus bertambahnya kabupaten-kabupaten baru sebagai akibat proses
desentralisasi di Indonesia, kemungkinan sentimen antar agama dimobilisasi untuk kepentingan
elite politik baik nasional hingga lokal.

Para pemimpin di semua tingkatan pemerintah harus waspada terhadap ketegangan yang sedang
terjadi saat ini dan melakukan segala hal dengan kekuasaan mereka untuk memastikan setidaknya
keadaan ini tidak semakin memburuk. Penutup Untuk mengakhiri konflik ada beberapa-beberapa
hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah: Pertama, Hindari untuk mendukung kegiatankegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk
persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para
personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak. Kedua,
Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat
akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali
tidak efektif. Ketiga, Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah
terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen,
dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situssitus atau di dokumen publik. Keempat, Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang
menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain. Kelima, Memastikan debat publik
mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari
imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif
lebih lanjut. Keenam, Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakankebijakan yang memarjinalisasikan orang papua. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan
menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan
dan pelayanan publik. Kedelapan, Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama
rakyat Papua agar terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua.
Kesembilan, Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah
dalam mengatasi konflik yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi. Penulis adalah Ketua
Kompartemen Organisasi dan Keanggotaan DPP GP Nasdem.

Anda mungkin juga menyukai