Anda di halaman 1dari 6

“Kliping”

TOKOH PEMBAHARU ISLAM DI INDONESIA

DISUSUN

NAMA : CHAIRUNNISA BIAHIMO


KELAS : XII AKUNTANSI

SMK NEGERI 4 GORONTALO


TAHUN PELAJARAN 2021/2022
TOKOH PEMBAHARU ISLAM DI INDONESIA

EMPAT tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam di
Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam berbagai
bidang kehidupan.

1. KH Ahmad Dahlan Melampaui Abduh

*Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang
Kuncen, Yogyakarta.
”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya
telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan menjadi anggota
Muhammadiyah dan pernah menyatakan keinginan “dikubur dengan membawa nama
Muhammadiyah atas kain kafan.”

Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad Dahlan


pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad
SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-
anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan
ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi ini kemudian
meluas ke daerah lain, termasuk luar Jawa.
Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang nama kecil
Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan
Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis, sejak kecil, dia
mendapat didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan agama dan bahasa
Arab.

Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh dengan
pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam
di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-
mula dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan
dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan
merupakan sosok pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya
melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir.

2. Ahmad Surkati Mempercepat Kemerdekaan

Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad Surkati dari
Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan apa
Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamismekah atau Komunisme?” Perdebatan
berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi
penghargaan di antara mereka.
“Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan
komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar Surkari.

Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875. Sempat
mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian datang ke Jawa
pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan warga
keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta
mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal
pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan
organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan
kemasyarakatan.

Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia
1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan pembaharuan yang punya
kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan
Rashid Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia.
Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.

Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad tersendat,
sekalipun tetap eksis hingga kini.

3. Ahmad Hasan Rujukan Kajian Islam

Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-menyurat
dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam buku
di Bawah Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran Islam
Hassan.
Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga campuran,
Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh hingga
penulis, di Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad
Junus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.

Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam lingkungan
Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di Bandung pula Hassan
bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian bersama-
sama menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dia juga mendirikan pesantren
Persis, di samping pesantren putri, untuk membentuk kader, yang kemudian dipindahkan ke
Bangil, Jawa Timur.

Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang dipimpin
Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam Persatuan Islam:
Pembaharuan Islam Indonsia Abad XX, Howard M. Federspiel menulis bahwa Persis adalah
organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi dalam percaturan politik saat itu. Namun,
Persis berusaha keras memperbarui umat Islam saat itu yang mengalami stagnasi pemikiran
dan penuh bid’ah, tahayul, dan khurafat.

Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis
terutama dalam cara memahami nash (teks) Alquran maupun hadits. Keahliannya dalam
bidang hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq menjadikannya sebagai
rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga ulama yang produktif menulis.

Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958 dalam usia 71 tahun.

4. KH Hasyim Asy'ari Menjaga Tradisi Pesantren


“Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercera-berai, berpecah-belah,
bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan... Padahal agama kita hanya satu belaka: Islam!”
ujarnya dalam kongres Nahdlatul Ulama di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1935. KH
Hasyim Asy’ari sadar perlunya menghapus pertentangan antara kalangan tradisi maupun
pembaharu.

Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim Asy’ari
adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar di
Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna
mempertahankan faham bermadzhab dan membendung faham pembaharuan.

Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang jadi pakar
ilmu hadis pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi
Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci.
Lewat pesantren inilah Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan
Islam tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren,
bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam
buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier
manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.

Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa yang
menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler adalah fatwa jihad: “Wajib
hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan
menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.

Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, Nahdlatul Ulama larut dalam
politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926.

Sekian dan terimakasih 🌻

Anda mungkin juga menyukai