Kejang :
Merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan
( Betz & Sowden, 2002 ).
STEP 3
Efek fisiologis Kejang :
1. Awal ( > 15 menit )
Peningkatan kecepatan denyut jantung
Peningkatan tekanan darah
Peningkatan kadar glukosa
Peningkatan suhu pusat tubuh
Peningkatan sel darah putih
2. Lanjut ( 15 30 menit )
Penurunan tekanan darah
Penurunan gula darah
Disritmia
Edema paru non jantung
3. Berkepanjangan ( lebih dari 1 jam )
Hipotensi disertai kurang nya aliran darah serebrum sehingga
( Price, 2006 )
STEP 7
EPILEPSI
I.
Definisi
Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang
fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua,
yaitu :
III.
KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League
2.
3.
4.
kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2.
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonikklonik, tonik atau klonik)
1.
2.
3.
lena/ absens
B.
mioklonik
C.
tonik
D.
atonik
E.
klonik
F.
tonik-klonik
IV.
IV.
PATOFISIOLOGI
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini
terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di
dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini
menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron
yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson
dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi
kemudian
inhibisi
akan
menyebabkan
hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai
terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang
terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme
yang terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang
mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron,
atau jaringan neuron.
- Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya
perubahan fungsional dan struktural pada membran postsinaptik;
perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase
dan gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang
meningkatkan
permeabilitas
terhadap
Ca2+,
mendukung
bergantung
pada
lamanya
depolarisasi
dan
jumlah
V.
GEJALA KLINIS
VI.
Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang
tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya
jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat
dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang
tetap yang paling utama (Miller, 2009).
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis
epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang
khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak (Sunaryo, 2006).
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi
(Markand, 2009). EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan
prediksi prognosis pasien (Smith, 2005). Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada
waktu sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006).
Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya
gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini
mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa
menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak.
Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE
dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini
menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan
yang mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow) akan