Anda di halaman 1dari 21

Kriteria Hadits Shahih dan Derajat-Derajat Keshahihan

Hadits

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Qur’an Hadist


Dosen Pengampu: M. Afham Ulumi, S.Sy., MH

Oleh Kelompok 7:
1. Martina Yulias Tantri (1910610043)
2. Anny Nailatur Rohmah (1910610044)
3. Alvira Hikma Maharani (1910610052)
4. Ulfatul Wasiah (1910610066)
5. Ahmad Zufikri (1910610077)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sumber hukum islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam aplikasinya hadits dapat dijadikan sumber hukum dalam kehidupan
setelah Al-Qur’an yang bersifat Global, artinya jika kita tidak dapat
menemukan penjelasan mengenai suatu hukum dalam Al-Quran maka kita
harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh sebab itu hadits menjadi suatu
yang sangat penting dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub
dalam Al-Qur’an.
Sejak tahun wafatnya Rasulullah SAW, sampai pada tahun
ditulisnya hadits, sangat memungkinkan terjadinya pemalsuan hadits,
padahal hadits menjadi sumber hukum yang sangat penting bagi muslim di
seluruh dunia. Hal ini menjadi pendorong para ulama untuk mencari dan
mengumpulkan hadits-hadits yang menitikberatkan pada sanad dan matan
hadits, sehingga kemungkinan hadits itu palsu sangatlah kecil.
Suatu hadits yang mayoritas digunakan sebagai sumber hukum
adalah hadits shahih karena hadits shahih merupakan hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah keshahihan sanad dan
matan hadits. Oleh sebab itu makalah ini akan memaparkan sedikit materi
mengenai “Hadits Shahih”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Hadits Shahih?
2. Bagaimana Kriteria Hadits Shahih?
3. Bagaimana Klasifikasi Hadits Shahih?
4. Bagaimana Derajat Keshahihan Hadits?
5. Apa saja Kitab yang Masyhur memuat Hadits Shahih?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Hadits Shahih
2. Untuk Mengetahui Kriteria Hadits Shahih
3. Untuk Mengetahui Klasifikasi Hadits Shahih
4. Untuk Mengetahui Derajat Keshahihan Hadits
5. Untuk Mengetahui Kitab yang Masyhur memuat Hadits Shahih
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Shahih


Kata shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah, dan
sempurna. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari
kata saqim (sakit).1 Oleh sebab itu, hadis shahih secara bahasa berarti
hadis yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna, dan yang tidak sakit.
Menurut Subhi as-Salih, hadits shahih adalah hadist yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dabit hingga
bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir yang berasal dari
kalangan sahabat tanpa mengandung syaz (kejanggalan) ataupun ‘illat
(cacat).2 Mahmud at-Thahhan dalam kitabnya Taisir Musthalah al-Hadist
mendefinisikan hadits shahih dengan:
‫ وال علة‬B‫ما اتصل سنده بنقل العدل الضا بظ عن مثله الي منتهاه من غير شذوذ‬.
“Hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh
periwayat yang ‘adil dan dabit, yang diterimanya dari periwayatan yang
sama (kualitasnya) dengan dia sampai pada akhir sanad, tidak
mengandung syaz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).”
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Nuzhah an-Nazhar Syarh Nuhbah al-
Fikar mendefinisikan hadits shahih dengan:

‫ما رواه عدل تام الضبط متصل السند عير معلل وال شاذ‬.
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna
kedabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak bersyaz.”
Al-Qasimi dalam kitabnya Qawa’id at-Tahdits min Funun Musthalah
al-Hadits menyatakan bahwa hadits shahih adalah:
‫ وال علة‬B‫ما اتصل سنده بنقل العدل الضا بط عن مثله وسلم عن شذوذ‬.

1
Nawir Yuslem. Ulumul Hadits. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hlm. 219
2
Ahmad Zuhri, dkk. Ulumul Hadits. (Medan:CV, Manhaji, 2014) hlm. 100
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari
periwayat yang ‘adil dan dabil, serta selamat dari syaz (kejanggalan dan
‘illat (cacat).”
Sedangkan an-Nawawi mendefinisikan hadits shahih dengan:
‫ وال علة‬B‫ما اتصل سنده بالعدول الضابطين غير شذوذ‬.
“Hadits yang bersambung sanadnya, (diriwayatkan oleh periwayat)
yang ‘adil lagi dabit, tidak syaz dan tidak ber’illat.”
Berdasarkan beberapa definisi hadits shahih yang telah dikemukakan
diatas dapat dinyatakan bahwa hadits shahih adalah hadits yang sanadnya
bersambung, para periwayatnya bersifat ‘adil dan dabit, tidak
mengandung syaz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).

B. Kriteria Hadits Shahih


Hadits sahih bisa dikatakan shahih apabila memenuhi kriteria tertentu
sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung (iitishal al-sanad)
Maksudnya ialah setiap periwayat hadits dalam sanad hadits
menerima riwayat hadits dari periwayat yang terdekat sebelumnya,
keadaan semacam itu terus berlangsung demikian sampai akhir
sanad hadits itu.3 Persambungan sanad itu terjadi semenjak
mukharrij hadits (penghimpun hadits dalam kitabnya) sampai pada
periwayat pertama dari kalangan sahabat yang memang langsung
bersangkutan dengan Nabi Saw. Namun atas bersambungnya sanad
masih belum bisa serta-merta dikatakan hadits shahih. Sebab ada
yang mengistilahkan hadits yang bersambung sanadnya tersebut
dengan istilah hadits musnad. Menurut Ibn ‘Abd al-Barr hadits
musnad adalah hadits yang didasarkan pada hadits Nabi (sebagai
hadits marfu’), sanad hadits musnad ada yang bersambung
(muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’). Hadits ini bisa
dijadikan patokan menetukan keshahihan hadits, para ulama hadits
bersepakat bahwa hadits musnad pasti marfu’ dan bersambung
3
Ahmad Zuhri, dkk. Ulumul Hadits. (Medan:CV, Manhaji, 2014) hlm. 103
sanadnya, tapi hadits marfu’ belum tentu hadits musnad. Ada pula
yang mengistilahkan dengan sebutan hadits muttashil atau
mawshul. Ibn al-Shalah dan al-Nawawi memberikan pengertian
bahwa hadits muttashil atau mawshul adalah hadits yang
bersambung sanadnya, baik bersambung sampai kepada Nabi
(marfu‟) maupun hanya mentok pada sahabat Nabi (mawquf) saja.
Selain keterputasan terdapat pada sahabat Nabi hadis muttashil
atau mawshul ada juga yang maqthu‟ (disandarkan pada tabi‟in).
Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan patokan untuk
menentukan keshahihan hadits beda dengan hadits musnad. Dari
keterputusan tersebut di khawatirkan adanya keterputusan
informasi dari Nabi.
Menurut M. Syuhudi Ismail, untuk mengetahui bersambung atau
tidaknya sanad hadits, biasanya para ulama hadits menempuh tata
kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat. Bertujuan
untuk mengetahui apakah periwayat tersebut dikenal sebagai orang
yang tsiqah (adil dan dhabith), serta bukan termasuk dari orang
yang tadlis. Juga untuk mendeteksi ada hubungan sezaman antara
guru-murid dalam periwayatan hadits.
c. Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan
perawi yang terdekat dalam sanad. Misalnya berupa: haddatsana,
haddatsani, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, ‘anna, dan
banyak lagi yang lainnya. Maka dengan cara ini dapat diketahui
ketersambungan sanad hadits. Dengan mengetahui kedekatan
perawi antara perawi satu dengan perawi sebelumnya.
2. Perawinya bersifat adil (‘adalat al-rawi)
Tentang perawi yang bersifat adil ini ada banyak pandangan
dikalangan para ulama hadits. Dan banyak pandangan ini sudah
biasa dalam menetapkan suatu ketentuan, biarkan saja jangan
terlalu baper menghadapinya. Diantara beda pandangan itu ialah
pendapat dari Al-Hakim ia menyatakan bahwa seorang bisa
dikatakan ‘adil ketika ia beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan
tidak berbuat maksiat.4 Beda dengan Al-Irsyad katanya yang
dimaksud adil ialah orang yang berpegang teguh terhadap
pedoman adab-adab syara’. Beda pula yang keluar dari kepala
seorang Ar-Razi, ‘adil baginya adalah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar,
menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah; makan sambil
berdiri di jalanan, buang air kecil di tempat yang bukan disediakan
untuknya, dan bergurau yang berlebih-lebihan. Ada pula yang
menyatakan bahwa ‘adil itu
‫ار ِم ْال ُمرُوْ َءة‬ ِ ‫َم ِن ا ْستَقَا َم ِد ْينُهُ َو َحسُنَ ُخلُقُهُ َو َسلِ َم ِمنَ ْال ِفس‬
ِ ‫ْق َو َخ َو‬
“Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama,
baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.”
Dari sekian pandangan tersebut M. Syuhudi Ismail dalam
buku yang diramu oleh Kasman yang berjudul Hadits dalam
Pandangan Muhammadiyah meringkas semuanya menjadi empat
kriteria perawi yang ‘adil, yaitu: beragama Islam, Mukallaf,
melakukan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah. Untuk
mengetahui kualitas ke‘adilan perawi, para ulama menetapkan
berdasarkan:
a. Popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama
hadits tersebut.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadits penilaian ini
mencakup kelebihan atau kekurangan yang terdapat pada
periwayat hadits tersebut, hal ini bisa ditelaah melalui ‘ilmu al-
jarh wa al-ta’dil.
c. Penerapan ilmu al-jarh wa al-ta’dil di pakai apabila dari
kalangan kritik hadits tidak menemukan kesepakatan tentang
kualitas pribadi periwayat tertentu.
4
Ahmad Zuhri, dkk. Ulumul Hadits. (Medan:CV, Manhaji, 2014) hlm. 104
3. Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi)
Dhabit menurut bahasa mempunyai makna kokoh, yang kuat, yang
hafal secara sempurna. Seorang perawi mempunyai daya ingat
yang kuat dan sempurna terhadap hadits yang diriwayatkan. Ibn
Hajar Al-Asqolani berkomentar bahwa perawi yang dhabit itu
adalah dia yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah di
dengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut pada
saat dibutuhkan. Artinya, seorang perawi mempunyai kualitas
kesehatan yang maksimal mulai dari kesehatan pendengaran, otak,
psikis, dan oral. Hal ini sangat menjadi bagian penting bagi perawi
sebab dengan pendengaran yang kuat ia mampu mendengarkan
secara utuh isi apa yang didengar, mampu memahami dengan baik,
tersimpan dalam memori otaknya, kemudian mampu
menyampaikan dengan fasih dan benar kepada orang lain. Lebih
spesifik lagi dhabit dibelah menjadi dua macam diantaranya adalah
dhabit hati dan dhabit kitab. Dhabit hati maksudnya ialan seorang
perawi mampu menghafal setiap hadits yang di dengarnya dan
sewaktu-waktu dia bisa mengungkapnya atau sederhanya
terpelihara periwayatan dalam ingatan sejak menerima hadits
sampai menyampaikan kembali kepada orang lain, sedangkan
dhabit kitab ialah seorang perawi yang ketika meriwayatkan hadits
secara tertulis, tulisannya sudah mendapatkan tashhih dan selalu
terjaga. Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi melalui; kesaksian
para ulama dan berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat
orang lain yang telah dikenal kedhabitannya.
4. Terhindar dari syadz (‘adam al-syadz)
Syadz disini berarti hadits yang diriwayatkan tidak mengalami
kerancuan atau terjadi sangsi dengan hadits yang diriwayatkan oleh
orang lain yang tingkat ‘adil dan dhabitnya lebih tinggi.
Mukhalafat al-tsiqah li man huwa awtsaq minhu. Para ulama
sepakat berikut adalah syarat syudzudz:
a. Periwayat hadits tersebut harus tsiqah
b. Orang tsiqah meriwayatkan hadits yang berbeda dengan yang
lebih tsiqah baik dari segi hafalan, jumlah orang yang
diriwayatkan atau yang lainnya
c. Perbedaan tersebut bisa berupa penambahan atau mengurangi
dalam hal sanad dan matan
d. Periwayat tersebut menimbulkan kerancuan yang begitu pelik
sehingga tidak bisa dikompromikan
e. Adanya kesamaan guru dari hadits yang diriwayatkan.
5. Terhindar dari illat (‘adam ‘illat)
Maksudnya adalah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya. Yakni hadits tersebut terbebas dari sifat-sifat
samar yang membuatnya cacat, meskipun secara kasat mata hadits
tersebut tidak menujukkan adanya cacat. Menurut Ibn al-Shalah,
an-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat
merupakan sebab yang tersembunyi yang menjadi benalu
(merusak) kualitas hadits, yang menyebabkan hadits yang pada
lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih. Menurut
Mahmud al-Thahhan, hadits yang mengandung ‘illat bisa di lacak
ketika mengandung kriteria berikut:
a. Periwayatnya menyendiri
b. Periwayat lain bertentangan dengannya
c. Qarinah-qarinah lain yang berkaitan dengan keduanya.
Detailnya untuk mengetahui adanya ‘illat hadits bisa melakukan:
(a). Menghimpun seluruh sanad, dengan maksud untuk mengetahui
ada tidaknya tawabi‟ dan/atau syawahid, ( b). Melihat perbedaan
di antara para periwayatnya, dan (c). Memerhatikan status kualitas
para periwayat baik berkenaan dengan keadilan, maupun ke-
dhabitan masing-masing periwayat.

C. Klasifikasi Hadits Shahih


Para ulama membagi hadits sahih menjadi dua macam, yaitu hadits
shahih li-dzatih dan hadits shahih li-ghairih.
1. Hadits Shahih Li-dzatih
Hadits yang memenuhi kriteria-kriteria hadits sahih, yaitu
hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang ‘adil dan dabit, tidak mengandung (terlepas) dari syaz
(kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Kesahihan hadits ini adalah
karena diriya sendiri, bukan karena dukungan atau bantuan
hadits lain.5
Contoh hadits shahih li-dzatih:
‫هَاب ع َْن ُم َح َّمد بْن‬B‫ا َل اَ ْخبَرْ نَا َملِك ع َْن اِبْن ِش‬BBَ‫ف ق‬B‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد ﷲ بْن يُوْ ُس‬
‫ب بِالطُوْ ِر‬ ِ ‫ َس ِمعْت َرسُوْ ُل ﷲ قَ َرأَ فِى ال َم ْغ ِر‬:‫ال‬ ْ ‫ُجبَيْر بْن ُم‬
َ َ‫ط ِع ْم ع َْن اَبِ ْي ِه ق‬
)‫(رواه البخاري‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullh ibn
Yusuf, katanya: telah menceritakan kepada kami Malik dari
Ibn Syihab dari Muhammad ibn Jubair ibn Mut’im dari
ayahnya, ia berkata, saya mendengar Rasulullah Saw.
membaca surat al-Tur pada waktu salat magrib”(HR.
Bukhari)
2. Hadits Shahih Li-ghairih
Hadits yang kesahihannya dibantu oleh hadits lain, atau
hasan li zatih (yang diperkuat) oleh hadits lain yang memiliki
kualitas yang sama atau kualitas yang lebih tinggi. Pada
mulanya hadits kategori ini memiliki kelemahan berupa
periwayatan yang kurang dabit sehingga dinilai tidak
memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadits shahih.
Tetapi setelah diketahui ada hadits lain dengan kandungan
matan yang sama dan berkualitas hasan atau sahih (yang
memperkuatnya), maka hadits tersebut naik derajatnya
menjadi shahih li-gairihi.6

5
Ahmad Zuhri, dkk. Ulumul Hadits (Medan: CV. Manhaji dengan Fakultas Syariah IAIN
Sumatera Utara, 2014), hlm. 112
6
Ibid, h. 113
Contoh hadits shahih li-ghairihi adalah hadits riwayat
Tirmidzi melalui jalur Muhammad ibn ‘Amar dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw, bersabda:
َ ِّ‫ل‬BB‫ َع ُك‬B‫ك َم‬
‫الَ ٍة‬B ‫ص‬ ِ َّ‫ق َعلَى اُ َّمتِى اَوْ َعلَى الن‬
ِ ‫اس اَل َ َمرْ تُهُ ْم بِال ِّس َوا‬ ُّ ‫لَوْ الَ اَ ْن اَ َش‬
)‫(رواه الترمذي‬
Artinya: “Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya
akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak
melaksanakan shalat”. (HR.Tirmidzi)

D. Derajat Keshahihan Hadits


Di dalam istilah para Ulama Hadits, berkaitan dengan kualitas para
perawi atau sanad suatu Hadits, dikenal apa yang disebut dengan Ashahh
al-Asanid, yaitu jalur sanad yang dianggap para perawinya paling Shahih
berdasarkan kesempurnaan pemenuhan syarat-syarat ke-shahih-an suatu
Hadits. Martabat hadits shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-
adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin
tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkannya. Akan tetapi,
para Ulama Hadits mempunyai pernilaian masing-masing terhadap sanad
yang mereka anggap sebagai Ashahh al-Asanid.
Oleh karenanya, terdapat lima jalur yang dianggap sebagai Ashahh al-
Asanid, yaitu:
a. Ashahh al-Asanid menurut versi Ishaq ibn.Rahawaih dan Ahmad
adalah: Al-Zuhri dari Salim dari ayahnya (‘Abd Allah ibn ‘Umar
ibn al-Khaththab).
b. Ashahh al-Asanid menurut versi Ibn al-Madini dan Al-Fallas
adalah: Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari Ali bin Abi Thalib.
c. Ashahh al-Asanid menurut versi Ibn Ma’in adalah: Al-A’masy
dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud.
d. Ashahh al-Asanid menurut versi Abu Bakar ibn Abi Syaibah
adalah: Al-Zuhri dari Ali ibn al-Husain dari ayahnya dari Ali ibn
Abi Thalib.
e. Ashahh al-Asanid menurut versi Bukhari adalah: Malik dari Nafi’
dari Ibn ‘Umar.
Sebagian Ulama Hadits membagi tingkatan Hadits Shahih,
berdasarkan kepada kriteria yang dipedomani oleh para mukharrij
(perawinya yang terakhir yang membukukan) Hadits Shahih tersebut
kepada tujuh tingkatan,7 yaitu sebagai berikut:
1. Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari saja
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim saja
4. Hadits yang diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhari dan
Muslim.
5. Hadits yang diriwayatkan menurut persyaratan Bukhari
6. Hadits yang diriwayatkan menurut persyaratan Muslim
7. Tingkatan selanjutnya adalah Hadits Shahih menurut Imam-Imam
Hadits lainnya yang tidak mengikuti syarat Bukhari dan Muslim,
seperti Ibn Khuzaimah dari Ibn Hibban.

E. Kitab yang Masyhur Memuat Hadits Shahih


Kitab-kitab hadits shahih yang masyhur adalah enam kitab pokok
(Kutubul Sittah) di antaranya Shohih Bukhori atau Al-Jami’ al- Shahih,
Shohih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan (Al-Jami’) At- Tirmidzi, Sunan
An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah.8
Enam kitab tersebut disusun oleh ulama-ulama masyhur yaitu:
1. Shohih Bukhori atau Al-Jami’ al- Shahih
Kitab ini memiliki nama al-Jami’ ash-Shahih al- Musnad
al-Mukhtashar min Hadits Rosulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi
atau kitab Jami’ yang mencakup berbagai pembahasan yang
Shahih yang bersambung kepada Rasulullah yang ringkas dari
hadits Rasulullah dan sunnah-sunnahnya serta kesehariannya,
disusun oleh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim
7
Nawir Yuslem. Ulumul Hadits. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hlm. 223-225
8
Mahmud Yunus, Ilmu Hadits Disadur dari Kitab Mustalah Al-Hadits (Semarang: Mutiara
Aksara, 2019), hlm. 36
bin Al-Mughirah bin Bardzibah al- Ja’fi al-Bukhari, yang
dilahirkan pada malam Jum’at 13 Syawal 194 H dan wafat pada
tahun 256 H. Diusia belia, Imam Bukhari telah menghafal Al-
Qur’an serta ribuan hadits. Beliau berguru kepada ribuan guru.
Kitab Shohih Bukhori adalah respon dari kitab-kitab yang
beliau susun sebelumnya. Kitab Shohih Bukhari ini ditulis selama
16 tahun yang didalamnya terdapat 9.802 hadits yang disertai
pengulangan hadis, sebelum beliau mencatat hadits shahih, beliau
melaksanakan shalat sunnah dua raka’at setelah berwudhu, maka
seluruh hadits dalam kitab Shohih Bukhari ditulis dalam keadaan
suci.9
Imam Bukhari tidak menjelaskan secara gamblang metode
seleksi hadits yang dipakai dalam menyusun kitabnya. Namun
dilihat dari hadits-hadits yang dicantumkan dalam Shahih Bukhari
dan dari pernyataan beliau dalam kitabnya yang lain, at-Tarikh al-
Kabir, maka para ahli hadits menyimpulkan sebenarnya ada dua
syarat:
 Kualitas Rijal al-Hadits (para perawi hadits).
Dalam masalah ini, Imam Bukhari hanya memilih hadits yang
status perawinya tidak dikomentari jelek oleh para pakar hadits.
Utamanya dalam hadits yang berkaitan dengan akidah atau dasar
Islam.
 Ittishal as-Sanad (ketersambungan sanad [perawi hadits])
Sedangkan dalam masalah ini, Imam Bukhari menekankan murid
mendengar langsung dari gurunya atau paling tidak bertemu
walaupun hanya sekali. Beliau tidak mencantumkan hadits
mu'an'an (hadits yang di dalamnya ada perawi tidak dikenal).
Kecuali jika berasal dari seorang perawi yang terbukti secara kuat
telah mendengar dari gurunya. Sedangkan Imam Muslim tidak
menetapkan syarat seketat ini.10
9
Dudung Basori Alwi, MANAJEMEN BELAJAR (DAN MENGAJAR) ILMU HADITS
(Yogyakarta: DEEPUBLISH, 2019), hlm. 91
10
Shahih Bukhari, “n.d.,https://id.m.wikipedia.org/wiki/Shahih_Bukhari.
2. Shohih Muslim
Kitab ini disusun olen Imam Muslim, nama lengkapnya
Abul Husain Muslim bin al- Hajjaj al- Naisaburi, yang hidup
antara 202 H- 261 H. Beliau merupakan murid Imam Bukhari,
namun pada kitab tersebut dituliskan nama Imam Bukhari karena
pada saat Imam Muslim telah menyelasaikan kitab Shohih Muslim,
Imam Muslim masih tetap menghadiri pengajian Imam Bukhari.
Interaksi guru-murid bagai dua sisi mata uang. Sehingga bila
terlihat satu sisi, sisi lain tidak perlu ditampakkan. Selain itu,
beliau juga banyak berguru pada ulama besar lainnya. Tepat pada
tahun 250 H beliau telah mentuntaskan kitab Shohih Muslim yang
berisi 5788 hadis. Konon beliau ditanyai mengenai suatu hadits di
pengajiannya, beliau menjawabnya tidak tahu, begitu tiba di
rumahnya, penasaran mencari hadits itu hingga larut malam. Dari
pengajian itu, seorang ajudan dan muridnya mengantarkan
sewadah kurma, hingga habis kurma tersebut, hadits pun
ditemukan, sejak saat itu beliau jatuh sakit hingga wafat.
Dalam meletakkan urutan sanad, pada jalur utama beliau
merangkai sanad dengan kualitas perilaku istiqamah (adil
bertaqwa) sekaligus kuat hafalannya (itqan). Matan haditsnya di
jalur utama ini adalah hadits ushul (data primer). Matan-matan
atau redaksi hadits Muslim seolah dikatalogkan pada satu bab,
adalah tidak dibubuhi kata pengantar atau tarjamah baik ayat
Qur’an maupun simpulan fiqih. Artinya beliau melakukan inovasi
pada sistematika katalog hadits.11
3. Sunan Abu Daud
Kitab ini disusun oleh Imam Abu Daud lahir pada tahun
202 H, nama lengkapnya Sulaiman bin Asy’ats bin Ishaq bin
Basyir bin Syadad bin Amr bin Imran al-Azdi as-Sajistani. Untuk
mengumpulkan hadits beliau pergi ke Arab Saudi, Irak, Khurasan,
Mesir, Suriah, Nishapur, Marv dan tempat-tempat lainnya. Beliau

Alwi, MANAJEMEN BELAJAR (DAN MENGAJAR) ILMU HADITS, 101.


11
merupakan murid dari Imam Ahmad bin Hanbal, beliau menyusun
kitab Sunan tidak terlepas dari respon Imam Hanbali, Imam Abu
Daud kerap hadir di pengajian Imam Hanbali dan menyodorkan
kitan Sunan untuk diperiksa sang guru.12
Dalam kitab Sunan dipilihlah 4.800 hadits dari sekitar
50.000 hadits yang Imam Abu Daud kumpulkan, 4.800 hadits
tersebut telah disaring dan dipilih oleh Imam Abu Daud. Imam
Abu Daud menyusun kitab ini di Baghdad, minat utamanya adalah
syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni pada hadits
tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa
kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya. Kitab
Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia Muslim sebagai
salah satu kitab hadits yang paling autentik.13
4. Sunan (Al-Jami’) At- Tirmidzi
Kitab ini disusun oleh Imam At- Tirmidzilahir pada tahun
209 H dan wafat pada tahun 279 H, di Tirmidz sebuah kota di
sebelah selatan Ozbekistan, nama lengkapnya adalah Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Ad-Dahak As-Sulami
At- Tirmidzi. Beliau berguru pada Imam Muslim dan Abu Daud,
serta berguru pada guru-guru Imam Bukhari dan Muslim, hali ini
dapat dibuktikan dengan sanad-sanad Imam At- Tirmidzi. 14
Kitab Sunan At- Tirmidzi terdiri dari 3956 hadits, hadits
ini ditulis dan disodorkan pada ulama Hijaz, Irak dan Khurasan
untuk diperiksa, kitab ini tersebar pada bab-bab fiqih, dan adapula
pula menjelaskan mengenai hadits-hadits cacat. Konsep teoritik
hadits shahih dan hadits dhaif serta variasi tingkatannya.
Mencakup pula pola nama-nama sanad dan panggilan populernya,
termasuk kritik hadits.15
5. Sunan An-Nasa’i
12
Alwi, 107.
13
“Abu Dawud,” n.d.,
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Abu_Dawud#Penyusunan_Sunan_Abu_Dawud.
14
Yunus, Ilmu Hadits Disadur Dari Kitab Mustalah Al-Hadits, 122.
15
Alwi, MANAJEMEN BELAJAR (DAN MENGAJAR) ILMU HADITS, 107.
Nama lengkap pengarang kitab Sunan An-Nasa’I (As-
Sunan as-Sughra atau al-Mujtaba) adalah Alhafiz Abu
Abdurrahman Ahman bin Syuaeb bin Ali bin Bahar bin Sinan bin
Dinar An-Nasai. Lahir pada tahun 215 H. di Nasa’i daerah di
wilayah provinsi Khurasan. Beliau merupakan murid dari Imam
Abu Daud dan ulama lainnya, beliau berguru ke Balkha, Mesir,
Hijaz, Irak, Jazirah Arab, Damaskus, dan lain-lain. Beliau wafat
pada tahun 303 H, di Paletina tak lama setelah beliau disiksa oleh
masyarakat Syuri’ah karena pembelaannya terhadap Ali bin Abi
Thalib.16
Ketika Imam al-Nasa’i telah menyelesaikan koleksi hadits
dalam format besar memuat hadits shahih dan hadits-hadits
ber’illat diperlihatkan kepada Amir (kepala daerah) Ramlah
(Palestina) dan diberi nama “Sunan al-Kubra”. Amir Ramlah
menyarankan agar ditempuh koleksi hadits yang selektif, dalam
pengertian menyisihkan hadits-hadits klasifikasi shahih saja dan
tidak membaurkannya dengan yang ber’illat (ma’lul). Dorongan
Amir Ramlah itulah yang melahirkan koleksi hadits berbentuk
revisi Sunan al-Kubra dan formatnya mengecil sehingga di sebut
“Sunan al-Sughra” yang kelak lebih memasyarakat dengan sebutan
“Sunan al-Nasa’i”.
Jumlah satuan hadits yang ditampung dalam Sunan al-
Nasa’i mencapai 5.761 hadits, di dalamnya banyak diketemukan
penyajian suatu hadits berulang di banyak tempat. Sebagai contoh
hadits tentang niat termuat sebanyak 16 kali di tempat yang
berserakan. Materi matan hadits mirip kitab-kitab sunan yang lain
yakni memprioritaskan hadits yang menyangkut perikehidupan
beragama. Sedikit berbeda dengan kitab sunan pada umumnya
Imam al-Nasai cenderung menampung hadits amaliah diniyah
sangat mendetil, seperti terbukti dalam koleksi hadits tertuang di

16
Alwi, 111.
dalamnya tuntunan do’a yang perlu di baca sepanjang hai’at
sembahyang, pedoman-pedoman hukum serta masalah mu’amalah.
Kitab ini di susun dengan metode penyusunan kitab hadits
berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah), hanya
mencantumkan hadits-hadits yang bersumber dari Nabi
Muhammad Saw saja (hadits marfu'). Bila terdapat hadits-hadits
yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi'in (maqtu'), maka
relatif jumlahnya hanya sedikit. Sistematika penyajian hadits
dalam sunan al-Nasai menyerupai tertib sistem kitab fiqh serta
masing-masing kelompok hadits yang satu materi dilengkapi
dengan judul sub bab yang mewakili persepsi hasil analisis Imam
al-Nasa’i terhadap inti kandungan matan hadits yang bersangkutan,
dan pada awal penyajian setiap hadits, di terangkan sanad lengkap
setiap matan.17
6. Sunan Ibnu Majah
Kitab ini disusun oleh Ibnu Majah nama lengkapnya Imam
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah Ar-Raba’
Alqawizni, lahir di Irak pada tahun 209 H dan wafat pada tahun
273 H. Beliau telah berguru di kawasan: Kufah, Basrah,
Damaskus, Hijaz, dan Mesir. Beliau berprinsip bahwa beliau
menghedaki menerima hadits dari guru terdekat supaya
mengurangi rangkaian sanad dan andaikan semakin panjang atau
jauh suatu sanad semakin besar pula kekeliruannya. 18
Beliau berguru kepada Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami,
salah seorang murid Imam al-Bukhari, ada juga nama Muhammad
bin Abdullah bin Numair, Jabbaroh bin al-Mughlis, Abdullah bin
Muawiyah, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin Rumh, Dawud
bin Rasyid, dll.

17
Hania Okta Viani, “Kitab Sunan An-Nasa’i,” 2013, https://www-
kompasiancom.cdn.ampproject.org/v/s/www.kompasiana.com/amp/haniaoktavani/kitab-
sunanalnasai_.
18
Alwi, MANAJEMEN BELAJAR (DAN MENGAJAR) ILMU HADITS, 114.
Metode Ibnu Majah dalam menulis bukunya ini adalah
dengan merunutkan bab-babnya. Terdiri dari muqoddimah, 37
kitab (pembahasan), 1500 bab, dan mencakup 4341 hadits. 3002
hadits di antaranya adalah hadits-hadits yang juga diriwayatkan di
lima buku hadits yang lain. Dan 1329 hadits lagi ia sendiri yang
meriwayatkan. Tidak ada di lima buku hadits yang lain. Terdapat
428 hadits yang shahih dan 119 hadits hasan. Ibnu Hajar
mengatakan, “Ia bersendirian meriwayatkan banyak hadits yang
shahih.” Maksudnya, hadits yang diriwayatkan darinya saja banyak
sekali hadits yang shahih.
Kitab Sunan Ibnu Majah termasuk empat kitab sunan yang
dikenal kaum muslimin: Sunan Abu Dawud, Sunan at-Turmudzi,
Sunan an-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah. Karyanya ini
dikelompokkan bersama Shahih al-Bukhari dan Muslim dan
dinamai dengan kelompok kutubus sittah. Keenam buku hadits ini
menjadi rukukan utama hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hadits shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah, dan
sempurna. Sedangkan secara istilah hadits shahih adalah hadits yang
sanadnya bersambung, para periwayatnya bersifat ‘adil dan dabit,
tidak mengandung syaz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).
2. Hadits shahih bisa dikatakan shahih apabila memenuhi kriteria tertentu
sebagai berikut:
- Sanadnya bersambung (iitishal al-sanad)
- Perawinya bersifat adil (‘adalat al-rawi)
- Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi)
- Terhindar dari syadz (‘adam al-syadz)
- Terhindar dari illat (‘adam ‘illat)
3. Para ulama membagi hadits shahih menjadi dua macam, yaitu hadits
shahih li-dzatih dan hadits shahih li-ghairih..
4. Sebagian Ulama Hadits membagi tingkatan Hadits Shahih,
berdasarkan kepada kriteria yang dipedomani oleh para mukharrij
(perawinya yang terakhir yang membukukan) Hadits Shahih tersebut
kepada tujuh tingkatan.
5. Kitab-kitab hadits shahih yang masyhur adalah enam kitab pokok
(Kutubul Sittah). Enam kitab tersebut disusun oleh ulama-ulama
masyhur yaitu:
- Shohih Bukhori atau Al-Jami’ al- Shahih
- Shohih Muslim
- Sunan Abu Daud
- Sunan (Al-Jami’) At- Tirmidzi
- Sunan An-Nasa’i
- Sunan Ibnu Majah
DAFTAR PUSTAKA

Yuslem, Nawir.1998.Ulumul Hadits. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.

Anda mungkin juga menyukai