osisinya dalam
Khazanah Keilmuan Islam
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Qur’an hadits
DosenPengampu : M. AfhamUlumi, S. Sy., MH
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian hadist dhoif?
2. Bagaimana hukum meriwayatkan hadist dhoif?
3. Apa pegertian hadist palsu (maudhu’)?
4. Bagaimana hukum meriwayatkan hadist palsu?
5. Bagaimana usaha para ulama’ dalam mengatasi hadist palsu?
6. Apa contoh para pendusta dan kitab-kitab yang memuat hadist palsu?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu hadist dhoif
2. Untuk mengetahui hukum meriwayatkan hadist palsu
3. Untuk mengetahui pegertian hadist palsu (maudhu’)
4. Untuk mengetahui hukum meriwayatkan hadist palsu
5. Untuk mengetahui usaha para ulama’ dalam mengatasi hadist palsu
6. Untuk mengetahui contoh para pendusta dan kitab-kitab yang memuat
hadist palsu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Dha’if
Menurut bahasa kata dha’if berarti lemah, sebagai lawan kata dari
al-qawiy (yang kuat).Maka dari itu, Hadis dha’if secara bahasa berarti
hadis lemah atau hadis yang tidak kuat.Kata dha’if juga bisa sebagai lawan
kata dari sahih, yaitu saqim (yang sakit).1Dengan demikian hadis dha’if
berarti hadis yang sakit. Sedangkan secarra istilah para ulama
mendefinisikannya dengan reedaksi yang berrmacam-macam, meski
maksud dan kandungannya sama. An-Nawawi mendefinisikan hadis
dha’if:
2
ﻣﺎﻟﻢ ﯾﻮﺟﺪ ﻓﯿﮫ ﺷﺮوط اﻟﺼﺤﺔ وﻻ ﺷﺮوط اﻟﺤﺴﻦ
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, bahwa hadis daif adalah hadis yang yang
tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima.
1
Idris, Studi Hadis(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 177
2
Muhyiddin Yahya Ibn Syarf an-Nawawi, at-Taqrib li an-Nawawi Fann Usul al-Hadis(Kairo:
‘Abd ar-Rahman Muhammad, tth.), hlm. 19
3
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (cet.VII; Jakarta : Bulan Bintang,
1987), Jilid I, hlm. 220
Fatchur Rahman berpendapat bahwa hadis daif adalah :
4
.ﻣﺎ ﺷﺮطﺎ أو أﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺷﺮوط اﻟﺼﺤﯿﺢ أو اﻟﺤﺴﻦ
Hadits dla’if menurut Ibn Shalah adalah setiap Hadits yang tidak
terkumpul di dalamnya sifat-sifat Hadîts shahih dan sifat-sifat Hadits
hasan. 5 Adapun menurut Abu Syuhbah mengatakan bahwa jika suatu
Hadits yang tidak memenuhi di dalamnya syarat-syarat Hadits shahih dan
hasan. Berikut adalah kriteria hadis dha’if yang kebalikan kriteria dari
hadis sahih, yaitu:
1) Sanadnya terputus,
2) Periwayatnya tidak ‘adil,
3) Periwayatnya tidak selamat dari banyak salah dan lupa (tidak dlabith),
4) Mengandung syaz,
5) Mengandung ‘illat.6
4
Fathur Rahman, Ikhstisar Mushthalahul Hadits. (cet.VIII; Bandung : PT.Almaarif, 1995),
hlm. 140.
5
Ibn al-Shalah, Ibn, Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum al-Hadits (Beirut: Dar al-Kutub alAlamiyah,
1989), hlm. 20
6Ahmad Zuhri, Fatimah Zahara, and Watni Marpaung, ‘ULUMUL HADIS’ (Medan: CV. Manhaji
dan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Medan, 2014), p. 160.
7
Ibid., hlm. 276
8
Muammad ‘Ajjâj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1998)
9
Syuhbah, al-Wasid fî Ulûm, hlm. 280.
Hadîts munqathi’ adalah Hadîts yang dalam sanadnya
gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau
didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham.7 Dari segi
gugurnya seorang perawi, ia sama dengan Hadîts mursal, hanya
saja kalau Hadîts mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan
sahabat. Sementara Hadîts munqathi’ tidak ada batasan gugurnya
perawi pada tingkatan keberapa, baik gugurnya di awal, di tengah
atau di akhir tetap disebut Hadîts munqathi’.Dengan demikian
Hadîts mursal dapat dimasukkan kedalam Hadîts munqathi’ sebab
gugurnya pada posisi di awal yakni pada tingkatam sahabat.
c. Hadîts Mu’dal
Hadîts mu’dal adalah Hadîts yang sanadnya gugur dua atau
lebih perawinya secara berturut-turut.Termasuk jenis ini adalah
Hadîts yang dimursalkan oleh tâbi’ altâbi’în.Hadîts ini sama
bahkan lebih rendah dari Hadîts munqathi’.Sama dari segi
keburukan kualitasnya, bila ke munqathi’an-nya lebihdari satu
tempat. 10 Adapun perbedaan antara mu’dal dengan munqathi’
adalah kalau mu’dal sanadnya gugur dua atau lebih secara
berurutan, sedangkan pada munqathi’ sanadnya yang gugur satu
atau lebih tidak secara berurutan.Ibnu Shalah mengatakan bahwa
setiap Hadîts mu’dal itu termasuk munqathi’, akan tetapi tidak
setiap munqathi’ itu mu’dal.11
d. Hadîts Mudallas
Secara etimologi kata tadlis berasal dari akar kata al-dalas
yang berarti al-dzulmah (kedzaliman).Tadlis dalam jual beli berarti
menyembunyikan aib barang dari pembelinya.Dari sinilah diambil
pengertian tadlis dalam sanad. Karena memiliki kesamaan alasan,
yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa
menyebutkannya.12
e. Hadîts Mu’allal
yakni Hadîts yang tersingkap didalamnya illat qadihah,
meski lahiriyahnya tampak terbebas darinya. Artinya seolah-olah
Hadîts tersebut tergolong bebas dari cacat tetapi setelah diteliti
secara mendalam ternyata terdapat kecacatan pada sanadnya.Ajaj
al-Khatib memasukkan Hadîts dalam kategori ini kedalam Hadîts
dla’îf dari segi kemuttasilan sanad, karena kecacatan Hadîts bisa
dari sanad, kadang pada matan, dan kadang juga pada sanad dan
matan sekaligus.
2. Hadîts dla’îf yang karena sebab lain dari ketidak muttasil-an sanad
atau hal lain ada enam jenis kategori, yaitu:
a) Hadîts mudlâ’af
10
Ibid., hlm. 306
11
Ahmad Umar Hasyim, Qawâ’id Ushûl al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1984), hlm.
103.
12
al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, hlm. 307
yakni Hadîts yang tidak disepakati kedla’îf-annya.
Sebagian ahli Hadîts menilainya mengandung kedlaifan, baik dari
segi sanadnya maupun matannya, dan sebagian ahli lain menilainya
sebagi Hadîts yang kuat. Dengan demikian yang tergolong Hadîts
ini tidak ada kesepakatan atas kedla’îf-annya dan sebagian ahli
Hadîts mengkategorikan sebagai Hadîts dla’îf yang derajatnya
paling tinggi.13
b) Hadîts Mudltharib
yakni Hadîts yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk
yang saling berbeda, yang tidak mungkin di-tarjîh-kan sebagiannya
atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Bila salah
satunya bisa di tarjih kan dengan salah satunya yng lain dengan
alasan tarjîh, misalnya perawinya lebih hafid atau lebih sering
bergaul dengan perawi sebelumnya (gurunya), maka penilaiannya
diberikan kepada yang râjih itu. Dalam kondisi yang demikian
tidak lagi dimasukkan dalam kategori yang mudltharib, baik untuk
yang râjih maupun yang marjûh. Kadang-kadang ke-mudltharib-an
terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi, kadang juga
pada sanad,kadangpada matan dan kadang juga pada keduanya.
Ke-mudltharib-an mengakibatkan suatu Hadîts menjadi dla’îf,
karena menunjukkan ketidak dlabit-an adalah syarat ke-shahîh-an
dan ke-hasan-an Hadîts.14
c) Hadîts Maqlûb
yakni Hadîts yang mengalami pemutarbalikan dari diri
perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam
sanadnya atau suatu anad untuk matan lainnya. Pemutarbalikan itu
adakalanya pada matannya, adakalanya pada sanadnya yaitu
terbaliknya nama perawi, kadang pula ada Hadîts yang
diriwayatkan melalui jalur perawi yang telah dikenal atau sanadnya
telah populer kemudian tertukar dengan perawi lain pada
tingkatannya atau dengan sanad lain yang bukan sanadnya, karena
tidak sengaja.15
d) Hadîts Syadz
Sebagaimana kata Imâm al-Syafi’i sang ulama’ yang
memperkenalkan Hadîts syadz bahwa, Hadîts syadz tidaklah
merupakan Hadîts yang perawinya tsîqah meriwayatkan Hadîts
yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain, tetapi Hadîts
syadz adalah bila diantara sekian perawi tsîqah ada diantara mereka
yang menyimpang dari lainnya. Dan selanjutnya pengikut Imâm al-
Syâfi’î sepakat dengan pengertian tersebut. 16 Dengan demikian
kriteria syadz adalah tafarrud (kesendirian perawinya) dan
mukhâlafah (penyimpangan). Seandainya ada perawi yang
13
Hasyim, Qawâ’id Ushûl, hlm. 117
14
al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, hlm. 310
15
Ibid., hlm. 12
16
Syuhbah, al-Wasid fî Ulûm, hlm. 300.
berkualitas tsîqah melakukan penyendirian dalam periwayatan
suatu Hadîts tanpa melakukan penyimpangan dari yang lainnya,
maka Hadîtsnya shahîh bukan syadz. Seandainya ada yang
menyimpang darinya yang lebih kuat karena hafalannya atau
banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjîh lainnya, maka
yang rajih disebut mahfûdz, sedang yang marjûh disebut syadz.17
e) Hadîts Munkar
yakni Hadîts yang diriwayatkan oleh perawi dla’îf yang
berbeda dengan perawi-perawi lainnya yang tsîqah. Oleh karena itu
kriteria Hadîts munkar adalahpenyendirian perawi dla’îf dan
mukhalafah.Seandainya ada seorang perawi dla’îf melakukan
penyendirian dalam meriwayatkan suatu Hadîts, tanpa
menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsîqah, maka Hadîtsnya
tidak munkar, akan tetapi dla’îf.Bila Hadîtsnya ditentang dengan
adanya Hadîts dari perawi tsîqah, maka yang râjih disebut ma’rûf
dan yang marjûh disebut munkar. 18 Dalam hal ini Ibnu Shalah
menggolongkan Hadîts munkar ke dalam Hadîts syadz, karena
memiliki kesamaan kriteria, yakni tafarrud dan mukhalafah.
f) Hadîts Matruk dan Matruh
Hadîts matruk adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang muttaham bi al-kidzbi (yang tertuduh
melakukan dusta) dalam Hadîts nabawi, atau sering berdusta dalam
pembicaraannya, atau terlihat kefasikannya melalui perbuatan
maupun perkataannya, ataupun yang sering sekali salah dan
lupa.Dan Hadîts ini adalah tingkat Hadîts dla’îf yang terendah
derajatnya.Misalnya Hadîts Sidqah alDaqiqi dari Farqad dari
Murrah dari Abî Bakr, dan Hadîts Amr ibn Shamr dari Jâbir al-
Ja’fî dari Harits dan Alî.19Sedangkan dalam hal Hadîts matruh, al-
Hâfidz al-Dzahabi memasukkan sebagai suatu Hadîts tersendiri.
Dengan mengambil istilah tersebut dari term ulama’ Fulan Matruh
al-Hadîts (seseorang yang terlempar Hadîtsnya).Ia mengatakan:
seseorang yang demikian termasuk dalam daftar Hadîts perawi
dla’îf lagi tertinggal Hadîtsnya. Akan tetapi al-Jazayri berpendapat
bahwa yang demikian itu tidak lain adalah Hadîts matruk, yakni
yang diriwayatkan dengan menyendiri oleh perawi yang tertuduh
dusta dalam Hadîts, termasuk orang yang dikenal sering berbuat
dusta selain dalam Hadîts.20
17
al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, hlm., 313
18
Ibid., 313.
19
Syuhbah, al-Wasid fî Ulûm, hlm. 305.
20
al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, hlm. 314.
1. Terwujudnya cacat-cacat (sifat ketercelaan) para perawinya, baik
keadilan maupun kedhabitannya.
2. Ketidakbersambungannya sanad dikarenakan adanya seorang perawi
atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.21
21
Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 148
22
M. Syuhudi Ismail, Kaedah, hlm. 179
23
Zuhri, Zahara, and Marpaung.
Bila suatu hadis dhoif dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar
hafal dan menyampaikannya dengan cara yang benar maka hal ini telah
mengandung perbedaan pendapat yang serius dikalangan ulama
sehubungan dengan pengalamannya.
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam
Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif
boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
24Misbakhul Khaq, ‘Studi Kritik Kualitas Hadis Dalam Kitab Al Nurul Al Burhani Fi Tarjamati Al
Lujaini Al Dhani Juz II Karys KH. Muslih Bin Abdurrahman Mranggen’ (UIN Walisongo
Semarang, 2015), hlm 33-35.
Suatu hadis yang jelas dha’if ,harusnya diterangkan kedha’ifannya,
agar pembaca atau pendengar tidak ragu tentang kedudukan hadis tersebut.
Maka dari itu para ulama’ yang ‘arif melarang menyampaikan hadis dha’if
tanpa menjelaskan sanadnya. Dengan adanya penjelasan sanadnya, mereka
tidak mengingkarinya.25
Pendapat dari Imam an-Nawawi, apabila kita bermaksud untuk
mengutip hadis dha’if tanpa menyebutkan sanadnya, hendaklah jangan
memakai shighat jazm: qala, fa’ala dan amara Rasulullahi haza-
wahakaza. Sebab shighat jazm ini memberikan pengertian bahwa
Rasulullah saw. benar-benar bersabda, berbuat, atau memerintahkan
seperti apa yang diriwayatkannya, padahal kita tidak menetapkan yang
demikian melalui riwayat hadis dha’if. Untuk meriwayatkan hadis dha’if
tanpa menyebutkan sanadnya, hendaklah menggunakan shighat tamrid
seperti: ruwiya’an, hukiya’anRasulullah annahu qala, dan sebagainya.
Apabila mengemukakan suatu hadis dha’if, hendaknya dikatakan
bahwa “ini adalah dha’if sanadnya”.Perkataan seperti ini jangan dipakai
untuk menetapkan kedha’ifan matan suatu hadis semata-mata karena
dha’if sanadnya. Sebab ada kemungkinana bahwa hadis yang dha’if
sanadnya itu mempunyai sanad lain yang shahih.26
ذﻟﻚ ﻛﺎن ﺳﻮاء وﺑﮭﺘﺎﻧﺎ زورا وﺳﻠﻢ ﻋﻠﯿﮫ ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ رﺳﻮل اﻟﻰ اﻟﻤﺼﻮب ھﻮاﻟﻤﺨﺘﻠﻊ
ﺧﻄﺄ ام ﻋﻤﺪا
‘’hadits yang diciptakan serta dibuat seseorang (pendusta), yang ciptaan
itu dibangsakan rosulullah saw, secara palsu dan dusta”.
25
T. M. Hasbi ash-Shiddeqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, jilid I (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), hlm. 227
26
Ahmad Zuhri, Fatimah Zahara, and Watni Marpaung, ‘ULUMUL HADIS’ (Medan: CV.
Manhaji dan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Medan, 2014), hlm. 160.
mendefinisikannya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi
SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi
disandarkan kepada beliau secara sengaja.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Hadis dha’if berarti hadis yang sakit. bahwa hadis daif adalah hadis
yang yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. Atau setiap
Hadits yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat Hadîts shahih dan
sifat-sifat Hadits hasan.
2. Suatu hadis yang jelas dha’if ,harusnya diterangkan kedha’ifannya, agar
pembaca atau pendengar tidak ragu tentang kedudukan hadis tersebut.
Maka dari itu para ulama’ yang ‘arif melarang menyampaikan hadis
dha’if tanpa menjelaskan sanadnya.
3. Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau
secara dusta. ulama hadits mendefinisikannya sebagai apa-apa yang
tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja.
4. Umat Islam telah sepakat (ijmak) bahwa hukum membuat dan
meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram. Tapi jika
meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ dan menyebutkan kedudukan
hadits tersebut sebagai maudhu’, tidak ada masalah.
5. Terdapat beberapa usaha yang dilakukan para ulama’ dalam
menaggulangi dan mengatasi hadist palsu atau hadist maudhu’ yaitu:
menjelaskan tingkah laku para perawi hadist, meningkatkan
kesungguhan dalam meneliti hadist, dan memelihara sanad hadist.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.uin-suska.ac.id/3680/2/bab%201%20.pdf
Idris, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010)
Muhyiddin Yahya Ibn Syarf an-Nawawi, at-Taqrib li an-Nawawi Fann
Usul al-Hadis(Kairo: ‘Abd ar-Rahman Muhammad, tth.)
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (cet.VII;
Jakarta : Bulan Bintang, 1987), Jilid I
Fathur Rahman, Ikhstisar Mushthalahul Hadits. (cet.VIII; Bandung :
PT.Almaarif, 1995)
Ibn al-Shalah, Ibn, Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum al-Hadits (Beirut: Dar
al-Kutub alAlamiyah, 1989)
Ahmad Zuhri, Fatimah Zahara, and Watni Marpaung, ‘ULUMUL HADIS’
(Medan: CV. Manhaji dan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Medan,
2014), p. 160.
Muammad ‘Ajjâj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1998)
Syuhbah, al-Wasid fî Ulûm
Ahmad Umar Hasyim, Qawâ’id Ushûl al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Arabi, 1984)
al-Khatib, Ushûl al-Hadîts
Hasyim, Qawâ’id Ushûl
Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka
Setia, 2009)
M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Zuhri, Zahara, and Marpaung.
Misbakhul Khaq, ‘Studi Kritik Kualitas Hadis Dalam Kitab Al Nurul Al
Burhani Fi Tarjamati Al Lujaini Al Dhani Juz II Karys KH. Muslih Bin
Abdurrahman Mranggen’ (UIN Walisongo Semarang, 2015)
T. M. Hasbi ash-Shiddeqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, jilid I
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
Ahmad Zuhri, Fatimah Zahara, and Watni Marpaung, ‘ULUMUL HADIS’
(Medan: CV. Manhaji dan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Medan,
2014), hlm. 160.