Anda di halaman 1dari 28

“Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Infeksi

Endemis-SARS
Difteri”

DISUSUN OLEH:
1. ERLIN REYFANI (202201069)
2. DEWI FORTUNA .A (202201068)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


INSTITUT ILMU KESEHATAN PELAMONIA MAKASSAR
2023
Rubrik Penilaian tugas paper
Mata kulian keperawatan Medical Bedah 1 (MKK 3. 03)
Judul :
Tanggal :
Item Penilaian Skore Nilai
A. Penyediaan makalaH (50%)

1. Tinjauan medis; Pengertian, Etiologi, 15


Patofisiologi,
Penatalaksanaan, Pemeriksaan
penunjang.
2. Tinjauan Keperawatan; Pengkajian 20
Keperawatan,
Diagnosa kepereawatan, Intervensi
meliputi Tujuan dan
rencana keperawatan
3. Penyimpangan KDM (Clinical 10
patoflow chart)
4. Referensi terbaru (10 tahun) 3

5. Konten penulisan mengikuti 2


ketentuan
B. Penyajian (50%)

1. Penyajian materi dengan 10


benar/sesuai
2. Handal menggunakan alat 5
bantu/media tepat guna
3. Penggunaan tata bahasa yang benar 5
4. Penyampaian materi yang menarik 5

5. Kemampuan berargumen 10

6. Kesesuaian pembahan dengan 5


materi
7. Mampu menguraian penyimpangan 10
KDM kasus
TOTAL 100
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur khadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
anugerah-Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Penyakit Difteri”.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas mata kuliah “KMB 1” pada program studi D-III
Keprawawatan. Banyak kendala yang kami alami dalam penyusunan
makalah ini baik secara fisik maupun materi. Namun berkat usaha dan
doa serta motivasi dari berbagai pihak makalah ini dapat kami selesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada selaku dosen
pengampu Ns. Aulia Insani Latif, S. Kep., M. Kep yang telah
memberikan bimbingan, saran, dan arahan pada kami sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami. Dan saya juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang sudah mau membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu,
kami mengharapakan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
dimasa yang akan datang. Akhir kata kami mengucapkan banyak terima
kasih dan kiranya agar proposal ini dapat bermanfaat kepada para
pembaca dan khususnya bagi penulis.

Makassar, 02 Oktober 2023

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 2
C. Tujuan.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 3
A. Definisi.................................................................................... 3
B. Etiologi.................................................................................... 4
C. Tanda dan Gejala.................................................................... 5
D. Patogenesis............................................................................ 6
E. Manifestasi Klinis.................................................................... 7
F. Prognosis................................................................................ 8
G. Pathway................................................................................... 9
H. Komplikasi............................................................................... 10
I. Pemeriksaan Diagnostik......................................................... 10
J. Penatalaksanaan Medis.......................................................... 10
BAB III PENUTUP.............................................................................. 23
A. Kesimpulan.............................................................................. 23
B. Saran....................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae yang menyerang sistem pernapasan
bagian atas. Menurut Purwana (2010) bahwa semua golongan umur
dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, namun 80%
kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun dan yang
tidak mendapatkan imunisasi dasar.(1, 2) Kejadian difteri masih tinggi
di seluruh dunia. Menurut WHO tahun 2012, kasus difteri di Afrika
terjadi sebanyak 50 kasus pada tahun 2010 dan terdapat 13 kasus
pada tahun 2011. Kejadian di Amerika terjadi kasus sebanyak 41
kasus pada tahun 2010 dan sebanyak 8 kasus pada tahun 2011.
Kejadian difteri di Eropa terjadi 32 kasus pada tahun 2011. Kejadian di
Mediterania Timur terdapat 154 kasus pada tahun 2010 dan 352
kasus pada tahun 2011. Kasus di bagian Asia Tenggara (South East
Asian Region) menurut WHO tahun 2012, India menempati urutan
pertama pada tahun 2011 dengan kasus sebanyak 3485. Pada urutan
kedua yaitu Indonesia dengan kasus sebanyak 806. Nepal berada
pada posisi ketiga dengan kasus sebanyak 94.(1, 3) Tahun 2013
menurut data WHO terjadi kasus sebanyak 4680 di dunia, dengan
South East Asia menempati urutan pertama dengan 4080 kasus.
Tahun 2014 tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus
diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South
East Asian Region (SEAR). Data kasus difteri menurut WHO tahun
2016 berjumlah 7097 kasus. Kasus menurut benua, South East Asia
menempati urutan pertama dengan laporan kasus sebanyak 4016.
Posisi kedua diikuti Africa dengan 2870 kasus. Posisi ketiga dengan
98 kasus yaitu Western Pasific. Kasus difteri menurut Kota tahun

1
2016, terjadi terbanyak di India dengan 3380 kasus. Posisi kedua
diikuti oleh Madagascar yaitu dengan 2865 kasus.
B. Rumusan Masalah
Difteri merupakan masalah kesehatan berbasis lingkungan yang
tersebar di seluruh dunia. Semua golongan umur dapat terinfeksi oleh
bakteri Corynebacterium diphtheria, sebagian besar kasus terjadi
diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun. Diperlukan pengetahuan
untuk penanganan danpelaksanaan pemberantasan dan pencegahan
difteri. Seperti pengetahuan keluarga mengenai difteri dan
pencegahannya.

C. Tujuan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan serta penangulangan
pemerintah terhadap pasien penyakit difteri :
1. Untuk mengetahui pengertian dan difteri
2. Untuk mengetahui etiologi dari difteri
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari difteri
4. Untuk mengetahui patway dari difteri
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan difteri

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh spesies
Corynebacterium, terutama Corynebacterium diphtheria (Putri, 2022).
Corynebacterium diphtheria adalah kokus anaerobik, gram positif, non
motil, serta menghasilkan toksin (Yuwono, 2012). Berdasarkan sifat
biokimia dan morfologi koloni, bakteri ini memiliki empat biotipe, yaitu
gravis, mitis, intermedius, dan belfanti.
Difteri dapat menyebabkan komplikasi serius akibat eksotoksin
yang diproduksi oleh C.diphteriae dapat menyyebabkan gangguan
otot jantung, sistem saraf, hingga berakibat pada kematian (Sitti
Fatmayani Marhaes & Zaenab, 2018). Oleh karena itu, diagnosis dini
serta pemberian intervensi yang sesuai perlu dilakukan untuk
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas difteri.
Suatu penyakit infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering
diserangterutama saluran pernafasan bagian atas dengan tanda khas
timbulnya“pseudomembran”. Kuman juga melepaskan eksotoksin
yang dapat menimbulkangejala umum local. Penyebab penyakit ini
adalah kumanCorynebacterium diptheriaeyang bersifat gram positif
dan polimorf, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora.Bakteri
dapat ditemukan dalam sediaan langsung yang diambil dari
hapusantenggorok atau hidung, basil difteria akan mati pada suhu 60
derajat celcius selama 10menit tapi tahan hidup sampai beberapa
minggu dalam es, air, susu, dan lendir yangtelah mengering.
Dapat diartikan juga sebagai suatu penyakit infeksi akut yang
menyerangsaluran pencernaan bagian atas dengan masa inkubasi
antara 2 sampai 7 hari. Basilnyadapat hidup dan berkembang biak

3
pada saluran pernafasan atas, maka dapatmenimbulkan terjadinya
radang dengan terbentuknya pseudomembran local. Bilatidak
mendapat pengobatan maka akan menyebar ke seluruh saluran
pernafasan atasyang akhirnya menyebabkan tersumbatnya jalan
nafas atau obstruksi.Basil difteri akan mengeluarkan toksin dan akan
menyebar ke jantungsehingga menyebabkan paralise, menyebar ke
syaraf sehingga mengakibatkan paralise, dan menyebar ke ginjal
sehingga menyebabkan nepritis.

B. Etiologi
Corynebacterium diptheriae merupakan kuman batang gram
positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora, mati dalam pemanasan 60 derajat celcius, tahan dalam
keadaan beku dan kering. Dengant pewarnaan, kuman bisa tampak
dalam susunan palisade bentuk L atau V atau merupakan kelompok
dengan formasi mirip huruf eina. Kuman tumbuh secara acrob bisa
dalam keadaan media yang mengandung K-tellurit atau media
Loeffler. Pada membrane mukosa manusia, Corynebacterium
diptheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid
saprofid yang mempunyai morfologi serupa sehingga
membedakannya kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus
dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose, dan
sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe
gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut
antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa
menerangkan mengapa pada seseorang pasien bisa terdapat
kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas dari
Cdiphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin seperti
in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein
dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,

4
mempunyai dua fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan
fragmen B (karboksi terminal). Kemampuan suatu strain untuk
membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C diphtheriae yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.Penularan
difteri dari penderita terjadi secara langsung melalui air ludah. maupun
secara tidak langsung melalui sapu tangan dan berbagai benda lain
yang tercemar ludah penderita. Penularan melalui air susu dan debu
dapat juga terjadi dan manusia merupakan satu-satunya sumber
infeksi difteri bagi manusia lainnya.

C. Tanda dan Gejala


1. Gejala umum: demam tidak terlalu tinggi, lesu pucat, nyeri kepala
dan anoreksia.
2. Gejala ringan pilek, secret yang keluar terkadang bercampur
darah, radang selaput lender.
3. Gejala berat : radang akut tenggorokan, suhu tinggi, nafas berbau,
pembengkakan kelenjar getah bening, suara serak, sesak nafas
dan sianosis.
Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit difteri:
1. Diphtheria Hidung: permulaan mirip common cold, yaitu pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen
mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
2. Diphtheria Tonsil-Faring: Gejala anoroksia, malaise, demam
ringan, nyeri menelan dalam 1-2 hari timbul membran yang
melekat. berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring
dan trakea.

5
3. Diphtheria Laring: Pada diphtheria laring primer gejala toksik
kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas
atas.
4. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga: Diphtheria kulit berupa tukak
di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan
cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau.

D. Pathogenesis
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat
berkembang biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian
memproduksi eksotoksin yang disebut diphtheria toxin (dt). Toksin
yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap oleh membran
mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel
saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi
daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian
akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan.
Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang
membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit
untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran
terbentuk pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa meluas sampai
trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan edema
pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan
obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri
pemafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf
yang memiliki banyak reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan
nekrosis pada jaringan tersebut. Bila mengenai jantung akan
mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah jantung, sedangkan

6
pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati. Kematian
biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan
gangguan pernafasan dapat menimbulkan respon imun terhadap
difteri, walaupun level toksin biasanya tidak cukup tinggi untuk
menyebabkan kerusakan serius. Hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa wabah difteri biasanya terjadi di daerah beriklim sedang,
dimana kasus infeksi kulit jarang terjadi sehingga level imunitas alami
yang terbentuk juga rendah, hal ini terutama terjadi pada anak-anak.

E. Manifestasi Klinis
Pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit tenggorok,
disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit
kepala. Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat
berakibat fatal karena bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas.
Efek sistermik berat meliputi miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal
akibat C.diphtheriae (sering pada strain yang nontoksigenik) dapat
menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar hegienis
yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk cenderung
terjadi kolonisasi (dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring).
Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila
di pernafasan maka disebut difteri pernafasan respiratory yang
meliputi area tonsilar. faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan
merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum
dikembangkannya pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah
dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada anak-
anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada
tenggorokan bagian atas dan bawah.
Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri
hidung. kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri
hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian
berkembang membentuk membran dijaringan antara lubang hidung

7
dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang
dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke
dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada
orang lain.

F. Prognosis
Bergantung pada:
1. Umur pasien, makin muda usianya makin jelek prognosisnya
2. Perjalanan penyakit makin terlambat diketemukan makin buruk
keadaannya.
3. Letak lesi difteria, Bila di hidung tergolong ringan
4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk juga buruk
5. Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk
prognosis.
6. Pengobatan terlambat pemberian ADS maka prognosis akan
memburuk.

8
9
H. Komplikasi:
1. Pada saluran pemafasan: terjadi obstruksi jalan nafas dengan
segala akibatnya,bronkopneumonia, atelectasis.
2. Kardiovaskular: miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang
membentuk kuman difteria.
3. Kelainan pada ginjal (nefritis)
4. Kelainan saraf (kira-kira 10% pasien difteria mengalami
komplikasi yang mengenai susunan saraf terutama system
motoric), berupa :
a. Paralisis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia
(suara sengau),tersedak, atau sukar menelan, dan dapat
terjadi pada minggu ke I sampai II.
b. Paralisis/paresis otot-otot mata sehingga dapat menyebabkan
strabismus,gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis
yang timbul pada minggu ke III
c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu ke IV,
kelainan dapat mengenai otot-otot muka, leher, anggota gerak
dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.

I. Pemeriksaan Diagnostik :
1. Laboratorium (apakah ada kuman corynebacterium diphtheriae).
2. Pemeriksaan darah (apakah ada penurunan Hb, leukosit, eritrosit,
dan albumin).
3. Pemeriksaan bakteriologis
4. Shick test (apakah seseorang tersebut rentan terhadap difteri)

10
J. Penatalaksanaan Medis:
1. Tindakan umum:
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala / akibat yang timbul

2. Pengobatan :
a. Antitoksin Anti Diphtheria Serum (ADS) harus diberikan
setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke enam
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai
30%.
b. Antibiotic : diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000 - 100.000
IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat
hipersensivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
c. Kortikosteroid: dianjurkan pemberian kortikosteroid pada
kasus difteria yang disertai gejala :
1) Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau
tidak bullneck)
2) Bila terdapat penyulit miokarditis, pemberian kortikosteroid
untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednisone 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian
diturunkan dosisnya bertahap.
d. Pengobatan penyulit: ditujukan untuk menjaga agar
hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh
toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

11
e. Pengobatan kontak: pada anak yang kontak dengan pasien
sebaiknya diisolasi sampai tindakan berlaku atau terlaksana
yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui. Pemeriksaan
serologi dan observasi harian, anak yang telah mendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

f. Pengobatan karier : mereka yang tidak merasakan atau


menunjukkan keluhan, mempunyai uji Shick (-) tapi
mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Dapat
diberikan penisilin 100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kg BB/hari. Selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi atau adenoidektomi.
g. Imunisasi:
1) Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu
yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan
antitoksin yang dapat bertahan selama 2 sampai 3
minggu. Sedangkan imunisasi aktif diperoleh setelah
menderita aktif atau nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria.
2) Uji kepekaan Shick (menentukan kerentanan atau
suseptibilitas seseorang terhadap difteria, dilakukan
dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan
secara IC).
3) Uji kepekaan Moloney (menentukan sensitivitas terhadap
produk bakteri dari basil difteria, dilakukan dengan cara
memberikan 0.1 ml larutan toksoid secara intradermal)

12
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Blodata:
Umur : biasanya terjadi pada anak-anak umur 2 sampai 10 tahun
dan jarang ditemukan pada bayi berumur di bawah 6 bulan
daripada remaja di atas 15 tahun.
Suku bangsa : dapat terjadi diseluruh dunia
Tempat tinggal ditemukan di daerah dengan pemukiman yang
sangat padat penduduknya, sanitasi dan hygiene kurang baik, dan
fasilitas kesehatan yang kurang.
2. Keluhan utama: klien merasakan demam tetapi tidak terlalu tinggi
suhunya
3. Riwayat kesehatan sekarang: klien mengalami demam tetapi tidak
terlalu tinggi suhunya, terlihat lesu, pucat, sakit kepala, dan
terkadang anoreksia.
4. Riwayat kesehatan dahulu klien mengalami peradangan kronis
pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas serta
mengalami pilek dengan secret bercampur dengan darah.
5. Riwayat penyakit keluarga : adanya keluarga yang menderita
difteri
6. Pola fungsi kesehatan :
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan
demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat
dan tidur

13
d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena
jumlah asupan gizi atau nutrisi yang kurang disebabkan
anoreksia.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Pada difteria tonsil-faring:
1) Malaise
2) Suhu tubuh <38,9 derajat celcius
3) Pseudomembran melekat dan menutup tonsil dan dinding
faring
4) Bullneck
b. Difteria laring:
1) Stridor
2) Suara parau
3) Batuk kering
4) Pada obstruksi laring yang berat, terdapat retraksi
suprasternal,subcostal, dan supraclavicular
c. Difteria hidung:
1) Secret hidung serosanginus mukopurulen
2) Lecet pada nares dan bibir atas
3) Membrane putih pada septum nasi

B. Diagnosa Keperawatan :
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI 2016) Diagnosis
keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau
respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan,
pada risiko masalah kesehatan atau pada proses kehidupan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema laring
Pola Napas Tidak Efektif

14
Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat,
Penyebab
a. Depresi pusat pernapasan
b. Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan
otot pernapasan)
c. Deformitas dinding dada
d. Deformitas tulang dada
e. Gangguan neomuskular
f. Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram (EEG] positif,
cedera kepala, ganguan kejang)
g. Imaturitas neurologis8.
h. Penurunan energi
i. Obesitas
j. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
k. Sindrom hipoventilasi12.
l. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
m. Cedera pada medula spinalis
n. Efek agen farmakologis
o. Kecemasan
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
a. Dispnea
Objektif
a. Penggunaan olot bantu pernapasan
b. Fase ekspirasi memanjang
c. Pola napas abnormal (mis. takipnea, bradipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes)

15
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
a. Ortopnea
Objektif
a. Pernapasan pursed-lip
b. Pernapasan cuping hidung
c. Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
d. Ventilasi semenit menurun
e. Kapasitas vital menurun
f. Tekanan ekspirasi menurun
g. Tekanan inspirasi menurun
h. Ekskursi dada berubah
Kondisi Klinis Terkait
a. Depresi sistem saraf pusat
b. kepala
c. Trauma thoraks
d. Gullian barre syndrome
e. Sklerosis multipe
f. Myasthenia gravis
g. Stroke
h. Kuadriplegia
i. Intoksikasi alkoh
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflama
Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab

16
a. Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia,
neoplasma)
b. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)
c. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar,
terpotong. mengangkat berat, prosedur operasi, trauma,
latihan fisik berlebihan)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
Mengeluh nyeri
Objektif
a. Tampak meringis
b. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyer)
c. Gelisah
d. Frekuensi nadi meningkat
e. Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
a. Tekanan darah meningkat
b. Pola napas berubah
c. Nafsu makan berubah
d. Proses berpikir terganggu
e. Menarik diri
f. Berfokus pada diri sendiri
g. Diaforesis
Kondisi Klinis Terkait
a. Kondisi pembedahan
b. Cedera traumatis
c. Infeksi
d. Sindrom koroner akut

17
e. Glaukoma

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI 2018) Intervensi keperawatan
merupakan segala bentuk terapi yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penliaian klinis untuk mencapai
peningkatan, pencegahan, dan pemulihan kesehatan klien individu,
keluarga, dan komunitas.
1. Latihan Batuk Efektif
a. Definisi
Melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara
efektif untuk membersihkan w trakea dan bronkiolus dari
sekret atau benda asing di jalan napas.
b. Tujuan
1) Batuk efektif meningkat
2) Produksi sputum menurun
3) Mengi menurun
4) Wheezing menurun
5) Mekonium (pada neonatus) menurun
6) Dispnea menurun
7) Ortopnea menurun
8) Sulit bicara menurun
9) Sianosis menurun
10) Gelisah menurun
11) Frekuensi nafas membaik
12) Pola napas membaik
c. Tindakan
Observasi
1) Identifikasi kemampuan batuk
2) Monitor adanya retensi sputum

18
3) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
4) Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan
karakteristik)
Terapeutik
1) Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
2) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
3) Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2) Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
3) Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
4) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas
dalam yang ke-3
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika
perlu
2. Nyeri Akut
a. Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat dan konstan.
b. Tujuan
1) Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
2) Keluhan nyeri menurun
3) Meringis menurun
4) Sikap protektif menurun
5) Gelisah menurun
6) Kesulitan tidur menurun

19
7) Menarik diri menurun
8) Berfokus pada diri sendiri menurun
9) Diaforesis menurun
10) Perasaan depresi (tertekan) menurun
11) Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun
12) Anoreksia menurun
13) Perineum terasa tertekan menurun
14) Usus teraba membulat menurun
15) Ketegangan otot menurun
16) Pupil dilatasi menurun
17) Muntah menurun
18) Mual menurun
19) Frekuensi nadi membaik
20) Pola napas membaik
21) Tekanan darah membaik
22) Proses berfikir membaik
23) Focus membaik
24) Fungsi berkemih membaik
25) Perilaku membaik
26) Nafsu makan membaik
27) Pola tidur membaik
3. Tindakan
Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respons nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyaninan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup

20
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan

i. Monitor efek samping analgetik


Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan,kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Menurut (Anwar, 2021) Implementasi adalah tindakan
keperawatan yang dilakukan sesuai dengan instruksi yang telah
teridentifikasi dalam komponen perencanaan. Implentasi juga
merupakan realisasi rencana tindakan untuk mecapai tujuan yang
telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan data

21
berkelanjutan, mengobservasi respon klien sealama dan sesudah
pelaksanaan tindakan serta menilai data yang baru.
Dalam implementasi rencana tindakan keperawatan pada pasien
demam typhoid adalah mengkaji keadaan klien, melibatkan keluarga
dalam pemberian kompres hangat, menganjurkan klien memakai
pakaian tipis, mengobservasi reaksi non verbal, mengkaji intake dan
output klien, dan membantu keluarga dalam memberikan asupan
kepada klien.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Menurut (Anwar, 2021) Merupakan tahap akhir dari suatu proses
keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan
rencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di
tetapkan di lakukan dengan cara melibatkan pasien dan sesama
tenaga kesehatan.
Menurut (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2015) Evaluasi
merupakan evaluasi intervensi keperawatan dan terapi dengan
membandingkan kemajuan klien dengan tujuan dan hasil yang
diinginkan dan rencana asuhan keperawatan. Evaluasi di susun
menggunakan SOAP dimana:
S (Subjek ) :Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan
secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi
keperawatan.
O (Objektif) : Keadaan objektif yang dapat didentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang objektif.
A (Assesment) : Analisis perawat setelah mengetahui respon
subjektif dan objektif.
P (Planing) : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan
analisis.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium. Gejalanya berupa sakit tenggorokan, demam, dan
terbentuknya lapisan di amandel dan tenggorokan. Dalam kasus yang
parah, infeksi bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung dan
sistem saraf. Beberapa pasien juga mengalami infeksi kulit.

B. Saran
1. Disarankan agar menambah lagi pelatihan-pelatihan untuk
petugas Puskesmas.
2. Disarankan pelaksanaan monitoring dan evaluasi langsung
kepada petugas puskesmas dalam pelaksanaan surveilans difteri.

23
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Difteri. In: RI DK. editor. Jakarta: Pusat Data dan Informasi; 2017
Najmah. Epidemiologi: Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Depok:
Rajagrafindo Persada; 2015
WHO. Diphtheria Reported cases by country 2017 [26 Januri 2018].
Available from: http://apps.who.int/gho/data/view.main. 1540 41?
lang=en.
Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi. Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2011
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2015). Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Konsep, Proses & Praktik Edisi 7
Volume Jakarta: ECG.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Tindakan. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP
PPNI.

24

Anda mungkin juga menyukai