Anda di halaman 1dari 100

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A

BLOK 24

OLEH:

KELOMPOK A4

1. Anjeli Primeisa (04011181823004)


2. Muhammad Hafizh Arrafi (04011181823007)
3. Hikmidaariyyati (04011181823010)
4. Atik Mutiara Ningsih (04011181823013)
5. Alissa Rahma (04011181823016)
6. Nyayu Khalisha Putri (04011281823115)
7. Deffa Al-Mardhiyyah (04011281823118)
8. Ivana Maggia Risdianto (04011281823121)
9. Dea Februanti (04011281823124)
10. Uswatun Hasanah (04911281823166)
11. Made Widia Astuti (04011281823169)
12. Syahri Banun (04011281823246)
13. Fadhilla Wulan Sari (04011381823217)

Tutor:

Dr.Iche Andriani Liberty, SKM., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2021

i
LAMPIRAN STRUKTUR KELOMPOK

Tutor : Dr.Iche Andriani Liberty, SKM., M.Kes

Moderator : Nyayu Khalisha Putri

Sekretaris 1 : Made Widia Astuti

Sekretaris 2 : Hikmidaariyyati

Waktu Pelaksanaan : 10 Mei 2021 & 11 Mei 2021

09.40-13.50 WIB

Peraturan selama tutorial:

- Angkat tangan bila ingin berpendapat dan jika diberi kesempatan.


- Hanya menggunakan gadget untuk kepentingan tutorial.
- Dilarang memotong pembicaraan orang lain.
- Selama tutorial dilarang makan tapi diperbolehkan minum.
- Diperbolehkan ke toilet seizin tutor tapi diperbolehkan langsung keluar
apabila tutor sedang tidak ada di ruangan.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya yang menyertai kami sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan tutorial untuk pleno dari skenario A pada blok 24 ini.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari
system pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada tutor kami Dr.Iche
Andriani Liberty, SKM., M.Kes, yang telah mengarahkan dan membimbing kami
dalam menyelesaikan laporan tutorial ini. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada teman-teman seperjuangan yang juga sudah member kontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan laporan serta menjaga
keharmonisan saat menjalani proses tutorial yang lalu. Kami mengucapkan pula
rasa terimakasih yang paling dalam kepada orangtua kami yang selalu mendukung
segala hal yang kami kerjakan berkenaan dengan pengembangan diri kami.

Kiranya laporan pleno ini dapat bermanfaat bagi semua yang


membacanya. Dalam penyusunan laporan pleno ini, kami menyadari masih
banyak kekurangan dari laporan ini, mengingat pengetahuan dan pengalaman
kami masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan. Terimakasih.

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


LAMPIRAN STRUKTUR KELOMPOK .................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. 4
SKENARIO A BLOK 24 ............................................................................... 5
KLARIFIKASI ISTILAH ............................................................................. 6
IDENTIFIKASI MASALAH ........................................................................ 8
ANALISIS MASALAH ................................................................................ 9
LEARNING ISSUES ................................................................................... 44
SINTESIS MASALAH ............................................................................... 44
A. COVID-19 ........................................................................................ 61
B. Strategi dan indikator penanggulangan pandemi ............................. 74
C. Surveilans epidemiologi ................................................................... 89
D. Sistem kewaspadaan diri .................................................................. 97
KERANGKA KONSEP ............................................................................... 98
KESIMPULAN ............................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA

4
TUTORIAL SKENARIO A
SKENARIO A BLOK 24 TAHUN 2021
BIOSTATISTIK EPIDEMIOLOGI

I. Skenario
World Health Organization secara resmi mendeklarasikan virus corona (COVID 19)
scbagai Pandemi pada tanggal 9 Maret 2020. Pada awal kcjadian pandemi COVID-19 di
Indonesia, Sistem Kewaspaduan Dini tidak dilakukan dengan baik. Kasus positif COVID-19
di Indonesia pertan kali dideteksi pada tinggal 2 Maret 2020, ketika dua orang terkontirmasi
tertular dari scorang warga
negara Jepang. Kasus pertama dua orang tersebut, warga Depok Jawa Barat mulai dilakukan
penyelidikan/investigasi pada Februari 2020.
Angka Statisitik kejadian COVID-19 di Indonesia sampai tanggal 4 Mei 2021
menunjukkan bahwa kasus konfirmasi kumulatit seban yak 1.686.373 orang (bertambah 4.369
orang). Pada hari tersebut, di Sunatera Selatan (Sumsel) kasus konfirmasi sudab mencapai
20.725 orang (bertambah 130). Kasus meninggal Kumulatit di Indonesia 46.1 37 (bertambah
188) dengan Case Futality Rate (CFR) sebesar 2.7%. Sedangkan di Sumsel, pada hari tersebut
untuk jumlah kenutian sebesar 1033 orang (bertambah 13) dengan CFR sebesar 4.93%.
Sedangkan Positivity rate di Indonesia 16.9% dan di Sumsel 30.78 %.
Stategi Pemerinth untuk memutus rantai penularan COVID-19 dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undung berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapan
Protokol keschatan dan PPKM Mikro. Sedungkan di beberapa negara menerapkan Lockdown.
Hasil penelitian membuktikan ada hubungan yang bernukna antara kepatuhan pencrapan
protokol kesehatan dengan penurunan kasus COVID-19.
Sampai saat ini kasus COVID-19 masih belum terkendali. Meskipun WHO sudah
memberikan pedoman untuk menyesuaikan aktivitas masyarakat dengan menggunakan tiga
indikator yaitu indikator epidemiologi, indikator kesipan sistem kesehatan dan indikator
surveilans keschatan masyarakat. Ketiga indikator ini kemudian digunakan oleh Satgas
Penanganan COVID-19 Nasional sebagai dasar pemetaan 20 zonasi peta risiko (merah,
kuning, orange. hijau) COVID-19 untuk seluruh Kabuputen/Kota di Indonesia Pada awal thun
2021. Pemerinth mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegjatan Masyarakat
yang berbasis skala mikro (PPKM Mikro) yaitu hingga tingkat RT/RW dalam rungka

5
menguatkan 3T dan 3M untuk pengendalin COVID-19. Sinergitas 3T, vaksinasi, dan 3M
merupakan strategi yang diharapkan dapat membantu seluruh dunia benar-benar lepas dari
pandeni COVID-19.
Dokter Sigap sebagai kepala Puskesmas Biasa melakukan upaya Preventif, Deteksi
dan Respon dalam penanggulangan COVID-19 tetapi belum maksiml. Hal ini terlihat dari
rendahnya kontak erat yang dilacak, testing yang tidak mencapai target WHO, kurangnya
pengawas yang menjalani isolasi mandini dan karantinu bagi orang yang kontak erat dengan
kasus konfirmas dan posien COVID-19 Sehingga kasus COVID-19 di wilayahnya masih tetap
bertambah dan pandeni betum terkendali.

II. Klarifikasi Istilah


1. Pandemi Menunjukkan penyakit yang mempengaruhi atau
menyerang populasi suatu wilayah yang luas, negara,
benua, global; epidemi yang meluas. (Farlex partner
medical dictionary 2012)
2. Statistik Ukuran yang diperoleh atau yang berasal dari sampel
(Jurnal, UNY)
3. Case Fatality Rate Proporsi orang yang tertular penyakit dan meninggal
karena penyakit itu. (Farlex partner medical
dictionary 2012)
4. Epidemiologi Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan faktor-
faktor yang menentukan atau memengaruhi frekuensi
dan distribusi suatu penyakit, cedera dan kejadian
terkait kesehatan lainnya dan penyebabnya pada
suatu populasi manusia yang sudah jelas.Selain
itu,merupakan kumpulan pengetahuan yang
didapatkan melalui cara seperti demikian (Dorland)
5. Indikator • Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk
Surveilans memperoleh gambaran penyakit, faktor risiko
dan masalah kesehatan dan/atau masalah
yang berdampak terhadap kesehatan yang
menjadi indikator program dengan

6
menggunakan sumber data yang terstruktur.
(PERMENKES)
• Surveillance indicator: meliputi ukuran
infrastruktur surveilans (misalnya, jumlah
unit pelaporan yang melaporkan setiap
minggu), ketepatan waktu pemberitahuan
(misalnya, interval antara onset kasus dan
pemberitahuan), kecukupan investigasi kasus
(misalnya, proporsi kasus dengan spesimen
laboratorium waktunya diperoleh), dan
ketepatan waktu pengujian laboratorium.
(Pan American Health Organization. Polio
eradication field guide. Washington, DC:
PAHO, 1987.

6. Positivity Rate Salah satu indikator penting dalam penanganan


pandemi. Positivity rate dihitung dengan
membandingkan jumlah orang yang positif dengan
jumlah orang yang diperiksa. (Kemenkes)

7. Vaksinisasi Pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang


pembentukan imunitas (antibodI) system imun di
dalam tubuh.Vaksinasi sebagai upaya pencegahan
primer yang sangat

handal, untuk mencegah penyakit yang dapat dicegah


dengan vaksinasi. (Jurnal Unhas)

8. Pembatasan Sosial Pembatasan kegiatan tertentu penduduk di dalam


Berskala Besar suatu wilayah yang diduga ada infeksi COVID-19
atau PSBB guna mencegah kemungkinan penyebaran. Sekjen
kemenkes RI. (Sekjen kemenkes)

7
9. Kontak erat Kontak Erat adalah orang yang memiliki riwayat
kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
COVID-19. (Kemenkes)

10. Kasus konfirmasi Kasus Konfirmasi Seseorang yang dinyatakan positif


terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus
konfirmasi dibagi menjadi 2, yakni kasus konfirmasi
dengan gejala (simptomatik), dan kasus konfirmasi
tanpa gejala (asimptomatik). (kemenkes)

III. Identifikasi Masalah


No. Identifikasi Masalah
1. World Health Organization secara resmi mendeklarasikan virus corona (COVID-
19) sebagai Pandemi pada tanggal 9 Maret 2020. Pada awal kejadian pandemi
COVID-19 di Indonesia, Sistem Kewaspadaan Dini tidak dilakukan dengan baik.
Kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali didetek si pada tanggal 2 Maret
2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertu lar dari seorang warga negara Jepang.
Kasus pertama dua orang tersebut, warga Depok Jawa Barat mu lai dilakukan
penyelidikan/investigasi pada Februari 2020.
2. Angka Statisitik kejadian COVID-19 di Indonesia sampai tanggal 4 Mei 2021
menunjukkan bahwa kasus konfirmasi kumulatif seban yak 1.686,373 orang
(bertambah 4.369 orang). Pada hari tersebut, di Sumatera Selatan (Sumsel) kasus
konfirmasi sudah mencapai 20.725 orang (bertambah 130). Kasus meninggal
kumulatif di Indonesia 46.137 (bertambah 188) dengan Case Fatality Rate (CFR)
sebesar 2,7%. Sedangkan di Sumsel, pada hari tersebut untuk jumlah kematian
sebesar 1033 orang (bertambah 13) dengan CFR sebesar 4,93%. Sedangkan
Positivity rate di Indonesia 16,9 % dan di Sumsel 30,78 %..
3. Strategi Pemerintah untuk memutus rantai penularan COVID-19 dilaksanakan
sesuai dengan Undang-Undang berupa Pembata san Sosial Berskala Besar (PSBB),
Penerapan Protokol kesehatan, dan PPKM Mikro. Sedangkan di beberapa negara

8
menerapkan Lockdown,. Hasil penelitian membuktikan ada hubungan yang
bermakna antara kepatuhan penerapan protokol kesehatan dengan penurunan kasus
COVID-19.
4. Sampai saat ini kasus COVID-19 masih belum terkendali. Meskipun WHO sudah
memberikan pedoman untuk menyesuaikan aktivitas masyarakat dengan
menggunakan tiga indikator yaitu indik ator epidemiologi, indikator kesiapan
sistem kesehatan dan indikator sur veilans keschatan masyarakat. Ketiga indikator
ini kemudian digunakan oleh Satgas Penanganan COVID-19 Nasional sebagai
dasar pemetaan zonasi peta risiko (merah, kuning, orange, hijau) COVID-19 untuk
seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Pada awal tahun 2021, Pemerintah
mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang
berbasis skala mikro (PPKM Mikro) yaitu hingga tingkat RT/RW dalam rangka
menguatkan 3T dan 3M untuk pengendalian COVID-19, Sinergitas 3T, vaksinasi,
da benar-benar lepas dari pandemi COVID-19. M merupakan strategi yang
diharapkan dapat membantu seluruh dunia.
5. Dokter Sigap sebagai kepala Puskesmas Biasa melakukan upaya Preventif, Deteksi
dan Respon dalam penanggulangan COVID-19 tetapi belum mak simul. Hal ini
terlihat dari rendahnya kontak erat yang dilacak, testing yang tidak mencapai target
WHO, kurangnya pengawasan pasien COVID-19 yang menjalani isolasi mandiri
dan karantina bagi orang yang kontak erat dengan kasus konfirmasi, Sehingga
kasus COVID-19 di wilayahnya masih tetap bertambah dan pandemi belum
terkendali.

IV. Analisis Masalah

1. World Health Organization secara resmi mendeklarasikan virus


corona (COVID-19) sebagai Pandemi pada tanggal 9 Maret
2020. Pada awal kejadian pandemi COVID-19 di Indonesia,
Sistem Kewaspadaan Dini tidak dilakukan dengan baik. Kasus
positif COVID-19 di Indonesia pertama kali didetek si pada
tanggal 2 Maret 2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertu lar

9
dari seorang warga negara Jepang. Kasus pertama dua orang
tersebut, warga Depok Jawa Barat mu lai dilakukan
penyelidikan/investigasi pada Februari 2020.
a) Bagaimana kriteria suatu penyakit dikatakan sudah menjadi
pandemi?
Jawab:
Seperti yang dilansir dari New Scientist, beberapa pakar epidemi
mengatakan sebenarnya tidak ada kriteria tertentu untuk
menyebutkan kalau suatu wabah sudah mendunia. Hanya saja
memang WHO lebih berhati-hati menyebut suatu wabah pandemi
mengingat dampak penanggulangan pandemi yang cukup memakan
biaya yang sebenarnya tidak diperlukan.
Ketika suatu keadaan disebut sebagai pandemi, maka tindakan
yang harus dilakukan adalah mengisolasi setiap orang yang diduga
mengidap virus tersebut, termasuk juga melacak orang per
orangnya dan melakukan karantina.

b) Apa yang dimaksud dengan pandemik?


Jawab:
Pandemi sendiri merupakan sebuah epidemi yang telah menyebar
ke berbagai benua dan negara, umumnya menyerang banyak orang.
Sementara epidemi sendiri adalah sebuah istilah yang telah
digunakan untuk mengetahui peningkatan jumlah kasus penyakit
secara tiba-tiba pada suatu populasi area tertentu.

c) Bagaimana sistem atau prosedur pelaporan kasus COVID-19?


Jawab:
Penyelenggaraan surveilans COVID-19 juga dilakukan sesuai
amanat Permenkes Nomor 45 Tahun 2014 meliputi pencatatan,
pelaporan, pengolahan data, hingga distribusi data dan informasi
berdasarkan kebutuhan nasional dan wilayah sebagai bahan
pengambilan kebijakan pencegahan dan pengendalian COVID-19.

10
Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan kasus terkait COVID-19 harus
menjadi alat komunikasi efektif antara petugas kesehatan baik di
daerah maupun di pusat, agar terjadi kesinambungan informasi dan
upaya pengendalian kasus dapat tercapai. Oleh karena itu sistem
pencatatan dan pelaporan COVID-19 harus dilaksanakan secara
cepat, tepat, lengkap dan valid, dengan tetap memperhatikan
indikator kinerja surveilans yaitu kelengkapan dan ketepatan
laporan.
Pencatatan dan pelaporan COVID-19 terbagi menjadi
laporan notifikasi kasus, laporan pengiriman dan pemeriksaan
spesimen, laporan penyelidikan epidemiologi, pelacakan dan
pemantauan kontak, dan laporan harian agregat.
Secara umum, pencatatan dan pelaporan kasus COVID 19
dilaksanakan terkomputerisasi dengan cara online berbasis
aplikasi. Beberapa wilayah yang tidak bisa melaporkan secara
online, pengiriman pelaporan dilakukan secara offline
menggunakan formulir-formulir terlampir melalui mekanisme
yang disepakati. Laporan offline dari fasyankes akan diinput
ke aplikasi online oleh dinas kesehatan kabupaten/kota.
Aplikasi online yang sudah disiapkan sebagai sistem
pencatatan dan pelaporan COVID-19 adalah: All Record TC-19
(https://allrecordtc19.kemkes.go.id), dan Sistem Online Pelaporan
Harian COVID-19 (https://s.id/laporhariancovid).
Unit-unit yang melakukan pencatatan kasus COVID-19
diantaranya:
a. Puskesmas
b. Rumah sakit
c. Klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lainnya
d. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
e. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

11
Laboratorium Kesehatan yang ditunjuk:
1) Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
2) Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda)
3) Laboratorium RS
4) Laboratorium Universitas
5) B/BTKLPP
6) B/BLK
7) Laboratorium BPOM
8) Balai Besar Veteriner
9) Laboratorium swasta
Setiap elemen data/variabel yang berhubungan dengan
surveilans dilaporkan melalui aplikasi, dengan alur pencatatan dan
pelaporan data sebagai berikut:

Gambar 1. Alur Pencatatan dan Pelaporan COVID 19

d) Bagaimana konsep penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini?


Jawab:

Penyelenggaraan SKD KLB :

Dalam penyelenggaraan SKD KLB dapat dilakukan dengan :

(1) Pengorganisasian, Sesuai dengan peran dan fungsinya maka setiap


unit pelayanan kesehatan, Dikes kab./kota, provinsi dan Depkes RI

12
wajib menyelenggarakan SKD KLB dengan membentuk unit
pelaksana yang bersifatfungsional atau struktural;
(2) Sasaran, sasaran SKD KLB meliputi penmyakit berpotensi KLB
dan kondisi rentan KLB;
(3) Kegiatan SKD KLB.

e) Bagaimana indikator penanggulangan pandemik?


Jawab:
Indikator Penanggulangan Pandemi
Dalam rangka menanggulangi pandemi COVID-19, Indonesia telah
menerapkan berbagai langkah kesehatan masyarakat termasuk
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
seperti penutupan sekolah dan bisnis, pembatasan perpindahan atau
mobilisasi penduduk, dan pembatasan perjalanan internasional.
Dalam perkembangan pandemi selanjutnya, WHO sudah
menerbitkan panduan sementara yang memberikan rekomedasi
berdasarkan data tentang penyesuaian aktivitas ekonomi dan sosial
kemasyarakatan. Serangkaian indikator dikembangkan untuk
membantu negara melalui penyesuaian berbagai intervensi
kesehatan masyarakat berdasarkan kriteria kesehatan masyarakat.
Selain indikator tersebut, faktor ekonomi, keamanan, hak asasi
manusia, keamanan pangan, dan sentimen publik juga harus
dipertimbangkan. Keberhasilan pencapaian indikator dapat
mengarahkan suatu wilayah untuk melakukan persiapan menuju
tatanan normal baru produktif dan aman dengan mengadopsi
adaptasi kebiasaan baru.
Kriteria yang perlu dievaluasi untuk menilai keberhasilan
dikelompokkan menjadi tiga domain melalui tiga pertanyaan

13
utama yaitu:
1. Kriteria Epidemiologi - Apakah epidemi telah
terkendali? (Ya atau tidak)
2. Kriteria Sistem kesehatan - Apakah sistem
kesehatan mampu mendeteksi kasus COVID-19
yang mungkin kembali meningkat? (Ya atau
tidak)
3. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat -
Apakah sistem surveilans kesehatan masyarakat
mampu mendeteksi dan mengelola kasus dan
kontak, dan mengidentifikasi kenaikan jumlah
kasus? (Ya atau tidak)
Ambang batas yang ditentukan sebagai indikasi untuk menilai
keberhasilan penanggulangan dapat digunakan jika tersedia
informasi epidemiologi COVID-19. Dari 3 kriteria tersebut,
terdapat 24 indikator yang dapat dievaluasi untuk melakukan
penyesuaian. Penilaian ini sebaiknya dilakukan setiap minggu di
tingkat kabupaten/kota/provinsi.
1. Indikasi Wabah Terkendali
Ukuran Utama: Efektif Reproduction Number (Rt) < 1 selama 2
minggu terakhir. Secara teori Rt (jumlah penularan efektif pada
kasus sekunder di populasi), nilai di bawah 1 merupakan
indikasi bahwa wabah sudah terkendali dan jumlah kasus baru
semakin berkurang. Rt harus dihitung pada wilayah
administratif yang tidak terlalu besar dan memiliki variabilitas
yang tinggi. Perhitungan dapat dilakukan pada tingkat
Kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan. Nilai Rt sangat
tergantung jumlah kasus absolut, pada kasus yang tinggi > 100
perhari pengurangan 5-10 kasus tidak terlalu bermakna secara
absolut, tetapi nilai Rt menjadi turun < 1, pada kasus dengan
tren fluktuatif nilai Rt tidak relevan untuk dilakukan. Nilai Rt
menjadi acuan terbaik setelah puncak kasus terjadi dan menilai

14
program penanggulangan untuk mencegah terjadinya
peningkatan baru dari pandemi.
Karena itu selain nilai Rt, penilaian kualitatif juga dilakukan
sebagai pelengkap/pendukung dengan beberapa kriteria, atau
jika data surveilans tidak memadai untuk menilai Rt yang
adekuat untuk menilai apakah pandemi telah terkendali.

*Evaluasi melalui tren tetap dibutuhkan dan tidak terjadi


perubahan pada uji lab atau strategi pengukuran **Masa 2
minggu berhubungan degan masa inkubasi terpanjang dan
periode tersingkat untuk menilai perubahan tren
2. Sistem kesehatan mampu mengatasi lonjakan kasus yang
mungkin timbul setelah penyesuaian (pelonggaran PSBB)
Ukuran kunci: Jumlah kasus baru yang membutuhkan rawat
inap lebih kecil dari perkiraan kapasitas maksimum rumah sakit

15
dan tempat tidur ICU (Sistem kesehatan dapat mengatasi rawat
inap baru dan pemberian pelayanan kesehatan esensial lainnya).
Jika tidak ada informasi ini, penilaian kualitatif berdasarkan
kriteria berikut dapat digunakan.

3. Surveilans kesehatan masyarakat dapat mengidentifikasi


sebagian besar kasus dan kontak pada masyarakat Setiap daerah
harus memiliki mekanisme surveilans yang berkualitas dan
didukung dengan kapasitas dan mekanisme laboratorium yang
memadai. Beberapa indikator di bawah ini dapat dimanfaatkan
dalam menilai kapasitas surveilans kesehatan masyarakat.

16
17
Dalam konteks pandemi COVID-19, menemukan, menguji, dan
mengisolasi kasus, pelacakan kasus dan karantina tetap menjadi
langkah utama dalam semua tahap respons. Demikian pula
langkah-langkah untuk memastikan perlindungan terhadap
petugas kesehatan dan kelompok rentan harus dipertahankan.
Tergantung pada tingkat risiko, tindakan lain seperti kegiatan di
masyarakat, pembatasan pengumpulan massal, dan langkah-
langkah untuk mengurangi risiko masuknya virus harus
diadaptasi

18
2. Angka Statisitik kejadian COVID-19 di Indonesia sampai tanggal
4 Mei 2021 menunjukkan bahwa kasus konfirmasi kumulatif
seban yak 1.686,373 orang (bertambah 4.369 orang). Pada hari
tersebut, di Sumatera Selatan (Sumsel) kasus konfirmasi sudah
mencapai 20.725 orang (bertambah 130). Kasus meninggal
kumulatif di Indonesia 46.137 (bertambah 188) dengan Case
Fatality Rate (CFR) sebesar 2,7%. Sedangkan di Sumsel, pada
hari tersebut untuk jumlah kematian sebesar 1033 orang
(bertambah 13) dengan CFR sebesar 4,93%. Sedangkan Positivity
rate di Indonesia 16,9 % dan di Sumsel 30,78 %.
a) Bagaimana cara menghitung case fatality rate?
Jawab:

CFR (Case Fatality Rate)

Case fatality Rate (CFR) merupakan suatu angka yang dinyatakan ke


dalam persentase yang berisikan data orang mengalami kematian
akibat suatu penyakit tertentu. CFR digunakan untuk mengetahui
distribusi penyakit serta tingkat kematian penyakit tersebut. Pada
dasarnya Case Fatality Rate digunakan pada pengkuran penyakit
menular.

Dalam epidemiologi, tingkat kematian kasus - kadang-kadang disebut


risiko kematian kasus atau rasio kematian kasus - adalah proporsi
kematian akibat penyakit tertentu dibandingkan dengan jumlah total
orang yang didiagnosis dengan penyakit untuk jangka waktu tertentu.

Cara menghitung CFR sebagai berikut;

19
b) Bagaimana cara menghitung positivity rate berdasarkan kasus?
Jawab:
Positivity Rate

Positivity Rate merupakan perbandingan antara jumlah kasus positif


harian dengan jumlah tes harian yang dilakukan (persentase individu
yang dites positif untuk penyakit tertentu). Dalam penghitungan ini,
seseorang hanya dihitung sekali (meskipun orang tersebut telah diuji
beberapa kali). Positivity Rate merupakan salah satu indikator
surveilans masyarakat yaitu didapatkan positivity rate rendah menurut
WHO adalah target ≤5% sampel positif dari seluruh orang yang
diperiksa. Semakin rendah positive rate menunjukkan juga jumlah
orang yang dites semakin banyak dan menunjukkan pelacakan kontak
yang memadai.

Selain itu, orang yang dites positif penyakit tertentu hanya dihitung
sebagai satu orang positif (meskipun mereka dites positif beberapa
kali). Dengan menggunakan metodologi ini, individu dicatat satu kali
pada tanggal pengambilan spesimen paling awal. Cara menentukan
positivity rate sebagai berikut:

Positivity Rate % = Kasus Positif/ (Kasus positif + Kasus negatif) x 100%

c) Bagaimana interpretasi kejadian COVID-19 di Indonesia secara


statistik?
Jawab:
Interpretasi CFR di Indonesia dan Sumatera Selatan
- Case Fatality Ratio di Indonesia mencapai 2,7% artinya tergolong tinggi
dimana melampaui nilai CFR Global (2,2% - kemkes.go.id). Hal ini
menandakan belum optimalnya strategi penanggulangan COVID 19
dalam upaya memutuskan rantai penularan dan mengakhiri pandemi
COVID-19 di Indonesia.

20
- Case Fatality Ratio di Sumatera Selatan mencapai 4,93% artinya
tergolong tinggi dimana melampaui nilai CFR Global (2,2%). Hal ini
menandakan belum optimalnya strategi penanggulangan COVID 19
dalam upaya memutuskan rantai penularan dan mengakhiri pandemi
COVID-19 di Sumatera Selatan.

Persentase Positivity Rate dan CFR di Sumatera Selatan memiliki nilai


yang lebih tinggi dibandingkan Persentase Positivity Rate dan CFR di
Indonesia. Adanya pertambahan jumlah kasus positif dan angka
kematian yang terjadi hampir setiap harinya menandakan bahwa
dibutuhkan re-evaluasi kembali strategi penanggulangan COVID-19

d) Apa kriteria kasus konfirmasi?


Jawab:
Kasus Konfirmasi Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi
virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)

e) Apa tujuan penilaian CFR?


Jawab:

CFR digunakan untuk mengetahui distribusi penyakit serta tingkat


kematian penyakit tersebut. Pada dasarnya Case Fatality Rate
digunakan pada pengkuran penyakit menular.

f) Apa tujuan penilaian Positivity Rate?


Jawab:
Positivity rate adalah perbandingan antara jumlah kasus positif
covid-19 dengan jumlah tes yang dilakukan.
Positivity rate adalah rasio jumlah kasus terkonfirmasi positif

21
COVID-19 dibandingkan dengan jumlah total tes di suatu wilayah.
Makin rendah positivity rate juga mengindikasikan makin banyak
jumlah orang yang dites dan pelacakan memadai. Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), menetapkan
standar positivity rate di bawah 5 persen.

g) Bagaimana cara menghitung insiden rate kasus baru di Indonesia?


Jawab:
Incidence Rate

Jumlah kasus baru yang terjadi di kalangan penduduk selama periode


waktu tertentu. Untuk memperoleh insidensi harus dilakukan dengan
melakukan pengamatan kelompok penduduk yang mempunyai resiko
terkena penyakit yang ingin dicari yaitu dengan cara mengikuti secara
prospektif untuk menentukan insidense kasus baru. Cara menentukan
incidence rate adalah sebagai berikut:

Incidence Rate: ∑ kasus baru / populasi


terexpose

Incidence Rate COVID-19 saat ini yang terdeteksi per 100.000 penduduk.

Gambaran Besarnya Masalah COVID-19

Secara deskriptif, angka dan grafik dapat mengambarkan besarnya

22
masalah COVID-19.

- Angka: data kasus positif dan pemeriksaan laboratorium berdasarkan data


surveilans Kementerian Kesehatan. Data pasien ODP, PDP, dan kapasitas
pelayanan RS didapatkan berdasarkan data RS Online di bawah
koordinasi Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
- Grafik: Dapat menunjukkan daerah yang memiliki kasus konfirmasi
Covid-19 tertinggi di Indonesia, persentase sembuh Covid-19 tertinggi di
Indonesia, persentase Covid-19 yang sembuh dan meninggal di Sumatera
Selatan, dan lain-lain.

3. Strategi Pemerintah untuk memutus rantai penularan COVID-19


dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang berupa Pembata san
Sosial Berskala Besar (PSBB), Penerapan Protokol kesehatan, dan
PPKM Mikro. Sedangkan di beberapa negara menerapkan
Lockdown,. Hasil penelitian membuktikan ada hubungan yang
bermakna antara kepatuhan penerapan protokol kesehatan
dengan penurunan kasus COVID-19.
a) Bagaimana cara penularan COVID-19?
Jawab:
Penularan

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan


manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan
dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke
manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-
19 ini masih belum diketahui.

Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1


dan 14 hari namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan
tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh

23
konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi
dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum
onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah
onset gejala. Sebuah studi Du Z et. al, (2020) melaporkan bahwa
12,6% menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk
mengetahui periode presimptomatik karena memungkinkan virus
menyebar melalui droplet atau kontak dengan benda yang
terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus
konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko
penularan sangat rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil
untuk terjadi penularan.

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan


bahwa COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala
(simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui
droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-
10 µm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak
dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala
pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko
mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata).
Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang
terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena
itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung
dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang
terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer).

b) Bagaimana penerapan protokol kesehatan dalam memutuskan rantai


penularan COVID-19?
Jawab:
Prinsip pencegahan penularan COVID-19 pada individu dilakukan
dengan menghindari masuknya virus melalui ketiga pintu masuk

24
tersebut dengan beberapa tindakan, seperti:
a. Menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi
hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau
berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status
kesehatannya (yang mungkin dapat menularkan COVID-19).
Apabila menggunakan masker kain, sebaiknya gunakan masker kain
3 lapis.
b. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai
sabun dengan air mengalir atau menggunakan cairan antiseptik
berbasis alkohol/handsanitizer. Selalu menghindari menyentuh
mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang tidak bersih (yang
mungkin terkontaminasi droplet yang mengandung virus).
c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk
menghindari terkena droplet dari orang yang bicara, batuk, atau
bersin, serta menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan.
Jika tidak memungkinkan melakukan jaga jarak maka dapat
dilakukanberbagai rekayasa administrasi dan teknis lainnya.
Rekayasa administrasi dapat berupa pembatasan jumlah orang,
pengaturan jadwal, dan sebagainya. Sedangkan rekayasa teknis
antara lain dapa t berupa pembuatan partisi, pengaturan jalur masuk
dan keluar, dan lain sebagainya.
d. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mengkonsumsi gizi
seimbang, aktivitas fisik minimal 30 menit sehari dan istirahat yang
cukup(minimal 7 jam), serta menghindari faktor risiko penyakit.
Orang yang memiliki komorbiditas/penyakit penyerta/kondisi
rentan seperti diabetes, hipertensi, gangguan paru, gangguan
jantung, gangguan ginjal, kondisi immunocompromised/penyakit
autoimun, kehamilan, lanjut usia, anak-anak, dan lain lain, harus
lebih berhati-hati dalam beraktifitas di tempat dan fasilitas umum.

c) Bagaimana pencegahan dan pengendalian faktor risiko Covid-19 di

25
Fasilitas pelayanan kesehatan?
Jawab:
Strategi PPI untuk mencegah atau memutuskan rantai penularan infeksi
COVID-19 di fasilitas pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan
penerapan prinsip pencegahan dan pengendalian risiko penularan
COVID-19.
1. Penerapan Kewaspadaan Isolasi
a. Kebersihan tangan
b. APD
c. Kebersihan Pernafasan
d. Kebersihan Lingkunagn
e. Penanganan Linen
f. Tatalaksana Limbah
g. Disinfeksi Peralatan Perawatan Pasien Berdasarkan Jenisnya
h. Praktik Menyuntik yang Amann
2. Kewaspadaan Tranmisi
a. Melakukan triase dengan melakukan penyaringan dipintu masuk
ruang penerimaan pasien baru.
b. Pemisahan antara pasien dengan gangguan sistem pernapasan dan
tidak dengan gangguan sistem pernapasan
c. Memberi penanda khusus untuk mengatur jarak minimal 1 meter di
lokasi-lokasi antrian pasien/pengunjung.
d. Membuat penghalang fisik (barrier) antara petugas dan pengunjung.
Pembatas terbuat dari kaca atau mika dan dapat dipasang pada: loket
pendaftaran, apotek, penerimaan spesimen, kasir, dan lain-lain.
e. Mengatur penempatan posisi meja konsultasi, tempat tidur periksa
dan kursi pasien dengan tenaga kesehatan, dan lain - lain yang
mencegah aliran udara dari pasien ke pemeriksa/petugas.
f. Menempatkan kasus suspek atau terkonfirmasi positif di ruang Isolasi

3. Pengendalian Administratif
a. Memastikan penerapan jaga jarak minimal 1 meter dapat diterapkan

26
di semua area fasyankes.
b. Melakukan pelarangan pengunjung dan penunggu pada pasien
dewasa kasus suspek, kasus probable atau terkonfirmasi positif
COVID-19.
c. Mengorganisir logistik APD agar persediaan digunakan dengan
benar.
d. Membuat kebijakan tentang kesehatan dan perlindungan petugas
kesehatan

4. Pendidikan dan Pelatihan

d) apa perbedaan PSBB, PPKM Mikro dan lockdown?


Jawab:
PPKM Mikro adalah kependekan dari Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat berbasis mikro dengan membentuk gugus tugas
setingkat RT/RW. Baik itu pendirian posko, tim penegak disiplin,
maupun tim tracing yang terdiri atas tiga orang. Misalnya, memasang
spanduk berisikan pesan untuk mematuhi protokol kesehatan maupun
mengingatkan masyarakat secara langsung.

PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu


wilayah yang diduga terinfeksi corona virus disease 2019 (Covid-19)
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebarannya. PSBB
dilakukan atas dasar pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman,
efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan
ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.

Lockdown adalah Situasi darurat di mana orang tidak diperbolehkan


untuk masuk, keluar, atau bergerak dengan bebas dalam suatu
bangunan atau area. Seluruh area publik, seperti sekolah, universitas,
museum, klub malam, hingga restoran pun ditutup. Warga hanya boleh
keluar dari rumah apabila ada kebutuhan mendesak seperti pekerjaan,
alasan kesehatan, atau membeli kebutuhan pokok.

27
4. Sampai saat ini kasus COVID-19 masih belum terkendali.
Meskipun WHO sudah memberikan pedoman untuk menyesua
ikan aktivitas masyarakat dengan menggunakan tiga indikator
yaitu indik ator epidemiologi, indikator kesiapan sistem kesehatan
dan indikator sur veilans keschatan masyarakat. Ketiga indikator
ini kemudian digunakan oleh Satgas Penanganan COVID-19
Nasional sebagai dasar pemetaan zonasi peta risiko (merah,
kuning, orange, hijau) COVID-19 untuk seluruh Kabupaten/Kota
di Indonesia. Pada awal tahun 2021, Pemerintah mengeluarkan
kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang
berbasis skala mikro (PPKM Mikro) yaitu hingga tingkat RT/RW
dalam rangka menguatkan 3T dan 3M untuk pengendalian
COVID-19, Sinergitas 3T, vaksinasi, da benar-benar lepas dari
pandemi COVID-19. M merupakan strategi yang diharapkan
dapat membantu seluruh dunia.
a) Apa saja kriteria indikator epidemiologi, kesiapan sistem kesehatan
dan surveilans masyarakat pada kasus Covid-19?
Jawab:
Indikator Epidemiologi:
1) Penurunan jumlah kasus positif & probable pada minggu terakhir
sebesar ≥50% dari puncak
2) Penurunan jumlah kasus suspek pada minggu terakhir sebesar ≥50%
dari puncak
3) Penurunan jumlah meninggal kasus positif & probable pada minggu
terakhir sebesar ≥50% dari puncak
4) Penurunan jumlah meninggal kasus suspek pada minggu terakhir
sebesar ≥50% dari puncak
5) Penurunan jumlah kasus positif & probable yang dirawat di RS
pada minggu terakhir sebesar ≥50% dari puncak
6) Penurunan jumlah kasus suspek yang dirawat di RS pada minggu

28
terakhir sebesar ≥50% dari puncak
7) Persentase kumulatif kasus sembuh dari seluruh kasus positif &
probable
8) Laju insidensi kasus positif per 100,000 penduduk
9) Mortality rate kasus positif per 100,000 penduduk
10) Kecepatan Laju Insidensi per 100,000 penduduk

PS. Data probable didapatkan dari data PHEOC utk nomor 1, 3, 7


Sedangkan data probable untuk nomor 6 didapatkan dari data RS
Online

Indikator Surveilans Kesehatan Masyarakat


1) Jumlah pemeriksaan sampel diagnosis meningkat selama 2 minggu
terakhir
2) Positivity rate rendah (target ≤5% sampel positif dari seluruh orang
yang diperiksa)

Indikator Pelayanan Kesehatan


1) Jumlah tempat tidur di ruang isolasi RS Rujukan mampu
menampung s.d >20% jumlah pasien positif COVID-19 yang dirawat
di RS
2) Jumlah tempat tidur di RS Rujukan mampu menampung s.d >20%
jumlah ODP, PDP, dan pasien positif COVID-19 yang dirawat di RS

b) Bagaimana penerapan pelaksanaan PPKM-Mikro?


Jawab:
Pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat yang berbasis skala mikro (PPKM Mikro) yaitu
hingga tingkat RT/RW untuk pengendalian COVID-19. PPKM Mikro
diterapkan mulai 9 hingga 22 Februari 2021. Penerapan PPKM
Mikro disesuaikan dengan data perkembangan kasus untuk
menekan kasus positif.

29
Detail Pelaksanaan PPKM Mikro
Beberapa kepala daerah (gubernur) mengatur pemberlakuan PPKM
Mikro sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Nomor 03 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan PPKM Mikro dan
Pembentukan Posko di Tingkat Desa/Kelurahan serta Instruksi Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes
PDTT) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penggunaan Dana Desa dalam
Pelaksanaan PPKM Mikro di Desa.

Selanjutnya, Kepala Daerah menindaklanjuti Instruksi Mendagri dan


Instruksi Mendes PDTT dengan menerbitkan aturan kebijakan di
masing-masing daerah.

Selain itu, untuk menetapkan zonasi risiko di tingkat mikro, digunakan


indikator penerapan PPKM Mikro di tingkat RT dengan kriteria dan
Skenario Pengendalian sebagai berikut:

c) Bagaimana tahapan penyelidikan epidemiologi?


Jawab:
Tahapan Penyelidikan Epidemiologi
Langkah penyelidikan epidemiologi untuk kasus COVID-19 sama
dengan penyelidikan KLB pada untuk kasus Mers. Tahapan
penyelidikan epidemiologi secara umum meliputi:
1. Konfirmasi awal KLB

30
Petugas surveilans atau penanggung jawab surveilans
puskesmas/Dinas Kesehatan melakukan konfirmasi awal untuk
memastikan adanya kasus konfirmasi COVID-19 dengan cara
wawancara dengan petugas puskesmas atau dokter yang
menangani kasus.
2. Pelaporan segera
Mengirimkan laporan W1 ke Dinkes Kab/Kota dalam waktu
3. Persiapan penyelidikan
a. Persiapan formulir penyelidikan sesuai form terlampir
b. Persiapan Tim Penyelidikan
c. Persiapan logistik (termasuk APD) dan obat-obatan jika
diperlukan
4. Penyelidikan epidemiologi
a. Identifikasi kasus
b. Identifikasi faktor risiko
c. Identifikasi kontak erat
d. Pengambilan spesimen di rumah sakit rujukan
e. Penanggulangan awal
Ketika penyelidikan sedang berlangsung petugas sudah harus
memulai upayaupaya pengendalian pendahuluan dalam
rangka mencegah terjadinya penyebaran penyakit kewilayah
yang lebih luas. Upaya ini dilakukan berdasarkan pada hasil
penyelidikan epidemiologi yang dilakukan saat itu. Upaya-
upaya tersebut dilakukan terhadap masyarakat maupun
lingkungan, antara lain dengan:
– Menjaga kebersihan/ higiene tangan, saluran pernapasan.
– Penggunaan APD sesuai risiko pajanan.
– Sedapat mungkin membatasi kontak dengan kasus yang
sedang diselidiki dan bila tak terhindarkan buat jarak
dengan kasus.
– Asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan
tubuh.

31
– Apabila diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit
dapat dilakukan tindakan isolasi dan karantina.
5. Pengolahan dan analisis data
6. Penyusunan laporan penyelidikan epidemiologi

d) Bagaimana cara penetapan pemetaan zonasi peta risiko COVID-19


berdasarkan ketiga indikator sesuai kasus?
Jawab:
penentuan zonasi risiko di suatu daerah ditentukan melalui 3 indikator
yaitu epidemiologi, surveillance kesehatan masyarakat dan pelayanan
kesehatan. Dari masing-masing indikator itu ditentukan skor dan
pembobotan yang menggambarkan risiko di wilayah tersebut.

Setelah dilakukan pendekatan dan penghitungan, maka dilakukan


skoring dan pembobotan sehingga terbagi 4 warna zona. Warna
tersebut katanya dipilih berdasarkan warna kebencanaan yang lazim
digunakan untuk mengidentifikasi risiko wilayah. Dan juga
rekomendasi dari WHO.

Zona risiko tinggi atau zona merah dengan skor 0 - 1.80, zona risiko
sedang atau zona oranye skor 1.81 - 2.40, zona risiko rendah atau zona
kuning skor 2.41 - 3.0 dan zona hijau tidak ada kasus baru atau zona
hijau tidak terdampak skornya diatas 3.0.

32
5. Dokter Sigap sebagai kepala Puskesmas Biasa melakukan upaya
Preventif, Deteksi dan Respon dalam penanggulangan COVID-19
tetapi belum mak simul. Hal ini terlihat dari rendahnya kontak
erat yang dilacak, testing yang tidak mencapai target WHO,
kurangnya pengawasan pasien COVID-19 yang menjalani isolasi
mandiri dan karantina bagi orang yang kontak erat dengan kasus
konfirmasi, Sehingga kasus COVID-19 di wilayahnya masih tetap
bertambah dan pandemi belum terkendali.
a) Bagaimana tahapan pelacakan kontak erat?
Jawab:
Tahapan pelacakan kontak erat terdiri dari 3 komponen utama yaitu
identifikasi kontak (contact identification), pencatatan detil kontak
(contact listing) dan tindak lanjut kontak (contact follow up).
1. Identifikasi Kontak
Identifikasi kontak sudah dimulai sejak ditemukannya kasus suspek,
kasus probable dan/kasus konfirmasi COVID-19.
2. Pendataan Kontak Erat
Semua kontak erat yang telah diidentifikasi selanjutnya dilakukan
wawancara secara lebih detail.

3. Follow up Kontak Erat (Pemantauan dan Karantina)

b) Bagaimana langkah tepat untuk menangani masalah COVID-19 di


wilayah kerja puskesmas ini?
Jawab:
Manajemen Kesmas pada Kasus Probable
Apabila menemukan kasus probable maka dilakukan manajemen
kesmas meliputi:
a. Dilakukan isolasi sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir.
Isolasi pada kasus probable dilakukan selama belum dinyatakan selesai

33
isolasi sesuai dengan pembahasan di manajemen klinis (BAB V).
b. Pemantauan terhadap kasus probable dilakukan berkala selama belum
dinyatakan selesai isolasi sesuai dengan definisi operasional selesai
isolasi. Pemantauan dilakukan oleh petugas FKRTL. Jika sudah selesai
isolasi/pemantauan maka dapat diberikan surat pernyataan
sebagaimana formulir terlampir.
c. Apabila kasus probable meninggal, tatalaksana pemulasaraan jenazah
sesuai protokol pemulasaraan jenazah kasus konfirmasi COVID-19.
d. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi tetap dilakukan terutama untuk
mengidentifikasi kontak erat.
e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko kepada kontak erat
kasus berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan penularan,
pemantauan perkembangan gejala, dan lain-lain.

Manajemen Kesmas pada Kasus Konfirmasi


Apabila menemukan kasus konfirmasi maka dilakukan manajemen
kesmas meliputi:
a. Dilakukan isolasi sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir.
Isolasi pada kasus konfirmasi dilakukan selama belum dinyatakan
selesai isolasi sesuai dengan pembahasan di manajemen klinis BAB V.
b. Pengambilan spesimen pada kasus dengan gejala berat/kritis untuk
follow up pemeriksaan RT-PCR dilakukan di rumah sakit. Pada kasus
tanpa gejala, gejala ringan, dan gejala sedang tidak perlu dilakukan
follow up pemeriksaan RT-PCR.
c. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat
yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi
pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada tabel 4.1 di BAB IV
Pengiriman spesimen disertai formulir penyelidikan epidemiologi
sebagaimana terlampir.
d. Pemantauan terhadap kasus konfirmasi dilakukan berkala selama

34
belum dinyatakan selesai isolasi sesuai dengan definisi operasional
selesai isolasi. Pada kasus konfirmasi yang melakukan isolasi mandiri
di rumah, pemantauan dilakukan oleh petugas FKTP/FKRTL
berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Pemantauan dapat
melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan
dicatat pada formulir pemantauan harian sebagaimana terlampir.
Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan
skrining gejala harian. Jika sudah selesai isolasi/pemantauan maka
dapat diberikan surat pernyataan sebagaimana formulir terlampir.
Pasien tersebut secara konsisten juga harus menerapkan protokol
kesehatan.
e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kasus termasuk
kontak eratnya berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan
penularan, tatalaksana lanjut jika terjadi perburukan, dan lain-lain.
Kasus konfirmasi yang melakukan isolasi mandiri harus melakukan
kegiatan sesuai dengan protokol isolasi mandiri.
f. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi pada kasus konfirmasi juga termasuk dalam
mengidentifikasi kontak erat.

Manajemen Kesmas pada Kontak Erat


Apabila menemukan kontak erat maka dilakukan manajemen kesmas
meliputi:
a. Dilakukan karantina sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir
Karantina dilakukan sejak seseorang dinyatakan sebagai kontak erat
selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan dengan kasus probable
atau konfirmasi COVID-19. Karantina dapat dihentikan apabila selama
masa karantina tidak menunjukkan gejala (discarded).
b. Pemantauan dilakukan selama masa karantina. Pemantauan terhadap
kontak erat dilakukan berkala untuk memantau perkembangan gejala.

35
Apabila selama masa pemantauan muncul gejala yang memenuhi
kriteria suspek maka dilakukan tatalaksana sesuai kriteria. Pemantauan
dapat melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian)
dan dicatat pada formulir pemantauan harian sebagaimana terlampir.
Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan
skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas FKTP dan
berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
c. Kontak erat yang sudah selesai karantina/pemantauan, dapat diberikan
surat pernyataan sebagaimana formulir terlampir.
d. Bagi petugas kesehatan yang memenuhi kriteria kontak erat yang tidak
menggunakan APD sesuai standar, direkomendasikan untuk segera
dilakukan pemeriksaan RT-PCR sejak kasus dinyatakan sebagai kasus
probable atau konfirmasi.
1) Apabila hasil positif, petugas kesehatan tersebut melakukan isolasi
mandiri selama 10 hari. Apabila selama masa isolasi, muncul gejala
dilakukan tata laksana sesuai kriteria kasus konfirmasi simptomatik.
2) Apabila hasil negatif, petugas kesehatan tersebut tetap melakukan
karantina mandiri selama 14 hari. Apabila selama masa karantina,
muncul gejala dilakukan tata laksana sesuai kriteria kasus suspek.

e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kontak erat
berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan penularan,
tatalaksana lanjut jika muncul gejala, dan lain-lain.
f. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan ketika kontak erat mengalami
perkembangan gejala sesuai kriteria kasus suspek/konfirmasi.

Manajemen Kesmas pada Pelaku Perjalanan


Dalam rangka pengawasan pelaku perjalanan dalam negeri
(domestik) maupun luar negeri, diharuskan untuk mengikuti ketentuan
sesuai protokol kesehatan ataupun ketentuan peraturan perundang-

36
undangan yang berlaku. Bagi pelaku perjalanan yang akan berangkat
ke luar negeri harus mengikuti protokol yang sudah ditetapkan negara
tujuan. Protokol kesehatan dilakukan sesuai dengan penerapan
kehidupan masyarakat produktif dan aman terhadap COVID-19.
Seluruh penumpang dan awak alat angkut dalam melakukan
perjalanan harus dalam keadaan sehat dan menerapkan prinsip-prinsip
pencegahan dan pengendalian COVID-19 seperti menggunakan
masker, sering mencuci tangan pakai sabun atau menggunakan hand
sanitizer, menjaga jarak satu sama lain (physical distancing),
menggunakan pelindung mata/wajah, serta menerapkan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS). Selain menerapkan prinsip-prinsip tersebut,
penumpang dan awak alat angkut harus memiliki persyaratan sesuai
dengan peraturan kekarantinaan yang berlaku.
Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) di bandar udara
atau pelabuhan keberangkatan/kedatangan melakukan kegiatan
pemeriksaan suhu tubuh terhadap penumpang dan awak alat angkut,
pemeriksaan lain yang dibutuhkan serta melakukan verifikasi kartu
kewaspadaan kesehatan atau Health Alert Card (HAC) secara
elektronik maupun non elektronik. Untuk, peningkatan kewaspadaan,
dinas kesehatan daerah provinsi/kabupaten/kota dapat mengakses
informasi kedatangan pelaku perjalanan yang melalui bandara atau
pelabuhan ke wilayahnya melalui aplikasi electronic Health Alert Card
(eHAC).
Penemuan kasus di pintu masuk dapat menggunakan formulir
notifikasi penemuan kasus pada pelaku perjalanan sebagaimana
terlampir. Penekanan pengawasan pelaku perjalanan dari luar negeri
dilakukan untuk melihat potensi risiko terjadinya kasus importasi
sehingga perlu adanya koordinasi antara KKP dengan dinas kesehatan.

37
c) Apa tujuan dan fungsi puskesmas?
Jawab:
Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang dilaksanakan oleh puskesmas
yang tertera pada peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia
nomor 75 tahun 2014 Pasal 2 yang mana tujuan tersebut Untuk
mewujudkan masyarakat yang memiliki perilaku sehat yang meliputi
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat; untuk mewujudkan
masyarakat yang mampu menjangkau pelayanan kesehatan
bermutu;untuk mewujudkan masyarakat yang hidup dalam lingkungan
sehat;untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki derajat kesehatan
yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Fungsi Puskesmas

38
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2014 Tentang Puskesmas, dimana Puskesmas
menyelenggarakan fungsi yaitu penyelenggaraan Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP) tingkat pertama di wilayah. kerjanya dan Upaya
kesehatan mayarakat (UKM) tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Dalam menyelenggarakan fungsinya, Puskesmas berwenang untuk:
1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah
kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang
diperlukan
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
3. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan
pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan
4. Menggerakkan masyarakat untuk mengindentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat
perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor
lain terkait
5. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan
dan upaya kesehatan berbasis masyarakat
6. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia
Puskesmas
7. Memantau pelaksanaaan pembangunan agar berwawasan
kesehatan
8. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
akses, mutu, dan cakupan pelayanan kesehatan
9. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan
masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan
dini dan respon penanggulangan penyakit.

d) Bagaimana struktur manajemen puskesmas yang baik?


Jawab:
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Puskesmas tersebut, Puskesmas
harus melaksanakan manajemen Puskesmas secara efektif dan efisien.

39
Siklus manajemen Puskesmas yang berkualitas merupakan rangkaian
kegiatan rutin berkesinambungan, yang dilaksanakan dalam
penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan secara bermutu, yang harus
selalu dipantau secara berkala dan teratur, diawasi dan dikendalikan
sepanjang waktu, agar kinerjanya dapat diperbaiki dan ditingkatkan
dalam satu siklus “Plan-Do-Check-Action (P-D-C-A)”.
Contoh:

40
e) Apa definisi operasional dari kasus suspek, probable, konfirmasi, dan
kontak erat?
Jawab:
Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)* DAN pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi
lokal**.
b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA* DAN pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable COVID-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat*** yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan.

41
Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS***/meninggal dengan
gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil
pemeriksaan laboratorium RT-PCR.

Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)

Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau
konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:

42
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit
atau lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi
(seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable
atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan
epidemiologi setempat (penjelasan sebagaimana terlampir).
Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik),
untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari
sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul
gejala.
Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk
menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum
dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

Hipotesis
Dokter Sigap sebagai kepala Puskesmas harus melakukan upaya preventif, deteksi,
dan respon dalam penanggulangan COVID-19 untuk meningkatkan pelacakan kontak
erat, testing, isolasi mandiri, dan karantina bagi orang yang kontak erat dengan kasus
konfirmasi.

43
V. LEARNING ISSUE

No. Learning Issue What I What I don’t What I must How I


Know know prove learn
1. Covid 19 Definisi, Epidemiologi, Promosi
pencegahan, dan kesehatan,pencega
penyebaran penanganan han,edukas

2. Strategi dan Strategi psbb Strategi dan Jenis strategi dan


indikator indikator jenis indikator
penanggulangan penanganan penanggulangan E-Book,
pandemi pandemi Journal,

3. Surveilans Definisi dan Langkah- Case fatality Rate Textbook,


epidemiologi jenis langkah (CFR) dan Internet
surveilans surveilans Positivity Rate
epidemiologi epidemiologi
4. Sistem Definisi dan Kesiapsiagaan Tindakan
kewaspadaan diri KLB menghadapi penanggulangan
KLB KLB yang cepat
dan tepat

VI. SINTESIS MASALAH

1. COVID 19

Definisi

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 adalah
coronavirus varian baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada dua
jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat
seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). Gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti
demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi

44
terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia,
sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. (Kemenkes, 2020, hlm 17)

Epidemiologi

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 (Li et al, 2020).
Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, kasus tersebut diduga berhubungan dengan
Pasar Seafood di Wuhan. Pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian
mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian
diberi nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini
berasal dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun berasal
dari famili yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular dibandingkan dengan SARS-CoV
dan MERS-CoV (CDC China, 2020). Proses penularan yang cepat membuat WHO
menetapkan COVID-19 sebagai KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari 2020. Angka
kematian kasar bervariasi tergantung negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh,
perkembangan wabahnya di suatu negara, dan ketersediaan pemeriksaan laboratorium.

Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan adanya kasus COVID-
19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang melaporkan kasus pertama COVID-19 adalah
Jepang dan Korea Selatan yang kemudian berkembang ke negara-negara lain. Sampai dengan
tanggal 30 Juni 2020, WHO melaporkan 10.185.374 kasus konfirmasi dengan 503.862
kematian di seluruh dunia (CFR 4,9%). Negara yang paling banyak melaporkan kasus
konfirmasi adalah Amerika Serikat, Brazil, Rusia, India, dan United Kingdom. Sementara,
negara dengan angka kematian paling tinggi adalah Amerika Serikat, United Kingdom, Italia,
Perancis, dan Spanyol.

Peta sebaran COVID19 di dunia

45
Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020 dan jumlahnya
terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020 Kementerian
Kesehatan melaporkan 56.385 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 2.875 kasus meninggal
(CFR 5,1%) yang tersebar di 34 provinsi. Sebanyak 51,5% kasus terjadi pada laki-laki. Kasus
paling banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia 0-5
tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien dengan usia 55-64 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus paling
banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling sedikit terjadi
pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang ringan, 14% parah,
dan 5% kritis (Wu Z dan McGoogan JM, 2020). Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki
penyakit bawaan diketahui lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia
lanjut juga diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan bahwa
CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%, sementara CFR keseluruhan hanya
2,3%. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian di Italia, di mana CFR pada usia ≥ 80
tahun adalah 20,2%, sementara CFR keseluruhan adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro
S, 2020). Tingkat kematian juga dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada pasien.
Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien
dengan diabetes, 6,3% pada pasien dengan penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien
dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien dengan kanker.

Peta Sebaran dan Risiko Covid 19 di Indonesia dapat di akses di covid19.go.id

46
KURVA CASE

(https://covid19.go.id/peta-sebaran) -- Lebih lengkapnya buka disini ya

47
PERHITUNGAN INDIKATOR-INDIKATOR KESEHATAN MASYARAKAT
Peta Zonasi Risiko daerah dihitung berdasarkan indikator-indikator kesehatan masyarakat
dengan menggunakan skoring dan pembobotan.
Indikator-indikator yang digunakan adalah sbb:

INDIKATOR EPIDEMIOLOGI:
1) Penurunan jumlah kasus positif & probable pada minggu terakhir sebesar ≥50% dari
puncak
2) Penurunan jumlah kasus suspek pada minggu terakhir sebesar ≥50% dari puncak
3) Penurunan jumlah meninggal kasus positif & probable pada minggu terakhir sebesar ≥50%
dari puncak
4) Penurunan jumlah meninggal kasus suspek pada minggu terakhir sebesar ≥50% dari
puncak
5) Penurunan jumlah kasus positif & probable yang dirawat di RS pada minggu terakhir
sebesar ≥50% dari puncak
6) Penurunan jumlah kasus suspek yang dirawat di RS pada minggu terakhir sebesar ≥50%
dari puncak
7) Persentase kumulatif kasus sembuh dari seluruh kasus positif & probable
8) Laju insidensi kasus positif per 100,000 penduduk
9) Mortality rate kasus positif per 100,000 penduduk
10) Kecepatan Laju Insidensi per 100,000 penduduk

PS. Data probable didapatkan dari data PHEOC utk nomor 1, 3, 7


Sedangkan data probable untuk nomor 6 didapatkan dari data RS Online

INDIKATOR SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT


1) Jumlah pemeriksaan sampel diagnosis meningkat selama 2 minggu terakhir
2) Positivity rate rendah (target ≤5% sampel positif dari seluruh orang yang diperiksa)

INDIKATOR PELAYANAN KESEHATAN


1) Jumlah tempat tidur di ruang isolasi RS Rujukan mampu menampung s.d >20% jumlah
pasien positif COVID-19 yang dirawat di RS

48
2) Jumlah tempat tidur di RS Rujukan mampu menampung s.d >20% jumlah ODP, PDP, dan
pasien positif COVID-19 yang dirawat di RS

SUMBER DATA
- Data kasus positif dan pemeriksaan laboratorium berdasarkan data surveilans Kementerian
Kesehatan.
- Data pasien ODP, PDP, dan kapasitas pelayanan RS didapatkan berdasarkan data RS Online
di bawah koordinasi Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Etiologi dan Patogenesis

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Coronavirus
merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4
struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M
(membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo
Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada
hewan atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus,
gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6 jenis
coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu

HCoV-229E (alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63


(alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus), dan
MERS-CoV (betacoronavirus).

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus betacoronavirus,


umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil

49
analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan
coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas
dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama
penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas permukaan,
tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya coronavirus
bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan,
suhu atau kelembapan lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020) menunjukkan
bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless
steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus
corona lain, SARS-COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat
dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol,
disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali
khlorheksidin).

Patogenesis infeksi COVID-19 belum diketahui seutuhnya. Pada hasil analisis filogenetik
menunjukkan COVID-19 merupakan bagian dari subgenus Sarbecovirus dan genus
Betacoronavirus.

Penelitian lain menunjukkan protein (S) memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel
target. Proses ini bergantung pada pengikatan protein S ke reseptor selular dan priming
protein S ke protease selular. Penelitian hingga saat ini menunjukkan kemungkinan proses
masuknya COVID-19 ke dalam sel mirip dengan SARS. Hal ini didasarkan pada
kesamaan struktur 76% antara SARS dan COVID-19. Sehingga diperkirakan virus ini
menarget Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan
menggunakan serine protease TMPRSS2 untuk priming S protein, meskipun hal ini masih

50
membutuhkan penelitian lebih lanjut, Proses imunologik dari host selanjutnya belum
banyak diketahui. Dari data kasus yang ada, pemeriksaan sitokin yang berperan pada
ARDS menunjukkan hasil terjadinya badai sitokin (cytokine storms) seperti pada kondisi
ARDS lainnya.

Dari penelitian sejauh ini, ditemukan beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu:
interleukin-1 beta (IL-1β), interferon-gamma (IFN-γ), inducible protein/CXCL10 (IP10)
dan monocyte chemoattractant protein 1 (MCP1) serta kemungkinan mengaktifkan T-
helper-1 (Th1).1,4 Selain sitokin tersebut, COVID-19 juga meningkatkan sitokin T-helper-
2 (Th2) (misalnya, IL4 and IL10) yang mensupresi inflamasi berbeda dari SARS-CoV.
Data lain juga menunjukkan, pada pasien COVID-19 di ICU ditemukan kadar
granulocyte-colony stimulating factor (GCSF), IP10, MCP1, macrophage inflammatory
proteins 1A (MIP1A) dan TNFα yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak
memerlukan perawatan ICU. Hal ini mengindikasikan badai sitokin akibat infeksi
COVID-19 berkaitan dengan derajat keparahan penyakit.

Faktor Risiko

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus, jenis
kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2.
Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi
perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada
peningkatan ekspresi reseptor ACE2.

Diaz JH menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker
(ARB) berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini, European
Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk
menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga
pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya.44 Pasien
kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Kanker
diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi agen
proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritic.

51
Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons imun,
sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih
buruk.48 Studi Guan, dkk. menemukan bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki
komorbid, 10 pasien di antaranya adalah dengan kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B.
Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki risiko
mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini
belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2.50

Hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga


belum dilaporkan. Belum ada studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma dengan
kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, studi meta-analisis yang dilakukan oleh
Yang, dkk. menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem
respirasi akan cenderung memiliki manifestasi klinis yang lebih parah. Beberapa faktor
risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah
kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan
ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius
2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah satu populasi
yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga medis.
Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6%.

Penularan

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian


menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan
MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19
ini masih belum diketahui.

Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun
dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit
disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat
langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik)
dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. Sebuah studi Du Z et. al, (2020)
melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk
mengetahui periode presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui
droplet atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat

52
kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat
rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID-19
utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada
jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10
µm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter)
dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga
droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan
juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar
orang yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan
permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop
atau termometer).

Gejala Klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap. Beberapa
orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap merasa sehat. Gejala
COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa
pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala,
konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit.

Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan
mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia,
15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis.
Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan
mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal
multiorgan, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian.
Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya
seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko
lebih besar mengalami keparahan.

Diagnosis

53
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat dengan kasus
terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang merawat pasien infeksi COVID-19 atau
berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien terkonfirmasi COVID-19 disertai
gejala klinis dan komorbid.

Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan derajat morbiditas. Pada pneumonia dilakukan
foto toraks, bisa dilanjutkan dengan computed tomography scan (CT scan) toraks dengan
kontras. Gambaran foto toraks pneumonia yang disebabkan oleh infeksi COVID-19 mulai
dari normal hingga ground glass opacity, konsolidasi. CT scan toraks dapat dilakukan
untuk melihat lebih detail kelainan,

seperti gambaran ground glass opacity, konsolidasi, efusi pleura dan gambaran pneumonia
lainnya. Disini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang
terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RTPCR.

Jurnal Respirologi Indonesia :

54
Kemenkes 2020 :

Pelaporan

Kemenkes mengadopsi tahapan pelacakan kontak erat terdiri dari 3 komponen utama yaitu
identifikasi kontak (contact identification), pencatatan detil kontak (contact listing) dan tindak
lanjut kontak (contact follow up).

Ada 6 (enam) tahapan yang harus dilakukan dalam memonitor kontak terdekat terkait
penyebaran COVID-19, yaitu:

1. Identifikasi kontak

Identifikasi kontak merupakan bagian dari investigasi kasus. Jika ditemukan kasus
COVID-19 yang memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan, kasus konfirmasi, atau
kasus yang mungkin, maka perlu segera untuk dilakukan identifikasi kontak erat.

55
Informasi terkait paparan ini harus selalu dilakukan pengecekan ulang untuk
memastikan konsistensi dan keakuratan data untuk memperlambat dan memutus
penularan penyakit. Untuk membantu dalam melakukan identifikasi kontak dapat
menggunakan tabel formulir identifikasi kontak erat.

2. Pendataan kontak

Petugas surveilans yang telah melakukan kegiatan identifikasi kontak dan pendataan
kontak akan mengumpulkan tim baik dari petugas puskesmas setempat, kader, relawan
dari PMI dan pihak-pihak lain terkait. Pastikan petugas yang memantau dalam kondisi
sehat dan tidak memiliki penyakit komorbid. Alokasikan satu hari untuk menjelaskan
cara melakukan monitoring, mengenali gejala, tindakan observasi rumah, penggunaan
alat pelindung diri (APD). Komunikasi risiko harus secara pararel disampaikan kepada
masyarakat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti munculnya stigma
dan diskriminasi akibat ketidaktahuan

3. Tatalaksana Kontak

Seluruh kegiatan tatalaksana kontak ini harus dilakukan dengan penuh empati kepada
kontak erat, menjelaskan dengan baik, dan tunjukkan bahwa kegiatan ini adalah untuk
kebaikan kontak erat serta mencegah penularan kepada orang- orang terdekat
(keluarga, saudara, teman dan sebagainya). Diharapkan tim promosi kesehatan juga
berperan dalam memberikan edukasi dan informasi yang benar kepada masyarakat.

56
4. Pemantauan

Petugas surveilans kab/kota dan petugas surveilans provinsi diharapkan dapat


melakukan komunikasi, koordinasi dan evaluasi setiap hari untuk melihat
perkembangan dan pengambilan keputusan di lapangan.

5. Pencatatan dan Pelaporan

Setiap penemuan kasus baik di pintu masuk negara maupun wilayah harus melakukan
pencatatan sesuai dengan formulir (terlampir) dan menyampaikan laporan. Selain
formulir untuk kasus, formulir pemantauan kontak erat juga ha- rus dilengkapi.
Laporan hasil orang dalam pemantauan, pemantauan kontak erat, dan pemantauan
orang dalam observasi/karantina dilaporkan setiap hari oleh petugas surveilans Dinkes
setempat secara berjenjang.

57
Upaya 3T atau tindakan melakukan tes COVID-19 (testing), penelusuran kontak erat
(tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien COVID-19 (treatment) adalah salah
satu upaya utama penanganan COVID-19.

Dukung upaya 3T ini dengan bersedia melakukannya dan stop stigma pada pasien COVID-19.

58
Selain itu, terus disiplin 3M (Memakai masker dengan benar, Menjaga jarak dan hindari
kerumunan, Mencuci tangan pakai sabun dengan rutin), dan siap divaksinasi saat vaksin siap!

3T terdiri dari tiga kata yakni pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan
perawatan (treatment). Monica mengungkapkan pemeriksaan dini menjadi penting agar bisa
mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, kita
bisa menghindari potensi penularan ke orang lain.

Lalu, pelacakan dilakukan pada kontak-kontak terdekat pasien positif COVID-19. Setelah
diidentifikasi oleh petugas kesehatan, kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau
mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Kemudian, perawatan akan dilakukan apabila seseorang positif COVID-19. Jika ditemukan
tidak ada gejala, maka orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri di fasilitas yang sudah
ditunjuk pemerintah. Sebaliknya, jika orang tersebut menunjukkan gejala, maka para petugas
kesehatan akan memberikan perawatan di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah.

Tata Laksana

Hingga saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk mencegah atau mengobati
COVID-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi simptomatis dan suportif. Ada beberapa
kandidat vaksin dan obat tertentu yang masih diteliti melalui uji klinis.

Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 di Masyarakat

Mengingat cara penularannya berdasarkan droplet infection dari individu ke individu,


maka penularan dapat terjadi baik di rumah, perjalanan, tempat kerja, tempat ibadah,
tempat wisata maupun tempat lain dimana terdapat orang berinteaksi sosial. Prinsipnya
pencegahan dan pengendalian COVID-19 di masyarakat dilakukan dengan:

1. Pencegahan penularan pada individu


a. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan air
mengalir selama 40-60 detik atau menggunakan cairan antiseptik berbasis
alkohol (handsanitizer) minimal 20 – 30 detik. Hindari menyentuh mata,
hidung dan mulut dengan tangan yang tidak bersih.

59
b. Menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan
mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak
diketahui status kesehatannya (yang mungkin dapat menularkan COVID-19).
c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari terkena
droplet dari orang yang yang batuk atau bersin. Jika tidak memungkin
melakukan jaga jarak maka dapat dilakukan dengan berbagai rekayasa
administrasi dan teknis lainnya.
d. Membatasi diri terhadap interaksi / kontak dengan orang lain yang tidak
diketahui status kesehatannya.
e. Saat tiba di rumah setelah bepergian, segera mandi dan berganti pakaian
sebelum kontak dengan anggota keluarga di rumah.
f. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) seperti konsumsi gizi seimbang, aktivitas fisik minimal 30 menit
sehari, istirahat yang cukup termasuk pemanfaatan kesehatan tradisional
g. Mengelola penyakit penyerta/komorbid agar tetap terkontrol
h. Mengelola kesehatan jiwa dan psikososial
i. Apabila sakit menerapkan etika batuk dan bersin. Jika berlanjut segera
berkonsultasi dengan dokter/tenaga kesehatan.
j. Menerapkan adaptasi kebiasaan baru dengan melaksanakan protokol kesehatan
dalam setiap aktivitas.
2. Perlindungan kesehatan pada masyarakat
a. Upaya pencegahan (prevent)
1) Kegiatan promosi kesehatan (promote) dilakukan melalui sosialisasi,
edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi untuk memberikan
pengertian dan pemahaman bagi semua orang, serta keteladanan dari
pimpinan, tokoh masyarakat, dan melalui media mainstream.

2) Kegiatan perlindungan (protect) antara lain dilakukan melalui penyediaan


sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses dan memenuhi standar atau
penyediaan handsanitizer, upaya penapisan kesehatan orang yang akan masuk
ke tempat dan fasilitas umum, pengaturan jaga jarak, disinfeksi terhadap
permukaan, ruangan, dan peralatan secara berkala, serta penegakkan

60
kedisplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko dalam penularan dan
tertularnya COVID-19 seperti berkerumun, tidak menggunakan masker,
merokok di tempat dan fasilitas umum dan lain sebagainya.

b. Upaya penemuan kasus (detect)


1) Deteksi dini untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19 dapat dilakukan
semua unsur dan kelompok masyarakat melalui koordinasi dengan dinas
kesehatan setempat atau fasyankes.
2) Melakukan pemantauan kondisi kesehatan (gejala demam, batuk, pilek,
nyeri tenggorokan, dan/atau sesak nafas) terhadap semua orang yang
berada di lokasi kegiatan tertentu seperti tempat kerja, tempat dan fasilitas
umum atau kegiatan lainnya.

c. Unsur penanganan secara cepat dan efektif (respond)


1) Pembatasan Fisik dan Pembatasan Sosial
2) Penerapan Etika Batuk dan Bersin
3) Isolasi Mandiri/Perawatan di Rumah
4) Pelaksanaan Tindakan Karantina Terhadap Populasi Berisiko

2. STRATEGI DAN INDIKATOR PENANGGULANGAN PANDEMI

1. Strategi Penanggulangan Pandemi


Sejak kasus pertama diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020, penyebaran penularan
COVID-19 terjadi dengan cepat di Indonesia. Hal ini memerlukan strategi penanggulangan
sesuai dengan transmisi yang terjadi baik di tingkat nasional maupun provinsi, dengan
tujuan:

1. Memperlambat dan menghentikan laju transmisi/penularan, dan menunda


penyebaran penularan.
2. Menyediakan pelayanan kesehatan yang optimal untuk pasien, terutama kasus
kritis.
3. Meminimalkan dampak dari pandemi COVID-19 terhadap sistem kesehatan,
pelayanan sosial, kegiatan di bidang ekonomi, dan kegiatan sektor lainnya.

61
Seluruh provinsi dan kabupaten/kota perlu melakukan identifikasi kasus baru,
mengelola, dan memberikan intervensi pada kasus-kasus baru COVID-19, serta upaya
pencegahan penularan kasus baru dalam adaptasi kebiasaan baru dengan pelaksanaan
protokol kesehatan yang ketat dalam setiap aktifitas masyarakat. Setiap daerah juga harus
menyiapkan dan merespon berbagai skenario kesehatan masyarakat.

Strategi yang komprehensif perlu disusun dalam dokumen Rencana Operasi


(Renops) Penanggulangan COVID-19 yang melibatkan lintas sektor. Renops mencakup: (1)
Koordinasi, perencanaan dan monitoring; (2) komunikasi risiko dan pemberdayaan
Masyarakat (3) Surveilans, Tim Gerak Cepat (TGC), Analisis Risiko, Penyelidikan
Epidemiologi; (4) Pintu Masuk negara/ Wilayah, Perjalanan Internasional dan transportasi
(5) Laboratorium; (6) Pengendalian Infeksi; (7) Manajemen Kasus; (8) Dukungan
Operasional dan Logistik; (9) Keberlangsungan pelayanan dan sistem esensial dan
memperhatikan kondisi transmisi di komunitas atau kondisi kapasitas terbatas dan kondisi
yang memerlukan bantuan kemanusiaan.

Pandemi merupakan salah satu bencana nonalam sehingga rencana respon


penanggulangan COVID-19 dapat menggunakan kerangka kerja respon bencana nasional
berdasarkan prinsip penanggulangan manajemen risiko pandemi. Dokumen renops perlu
direview dan diperbaharui minimal setiap 2 minggu. Konsep operasi respon penanggulangan
COVID-19 berdasarkan framework kebencanaan nasional.

Berdasarkan panduan WHO, terdapat 4 skenario transmisi pada pandemi COVID-


19yaitu:

1. Wilayah yang belum ada kasus (No Cases)


2. Wilayah dengan satu atau lebih kasus, baik kasus import ataupun lokal, bersifat
sporadik dan belum terbentuk klaster (Sporadic Cases)
3. Wilayah yang memiliki kasus klaster dalam waktu, lokasi geografis, maupun paparan
umum (Clusters of Cases)
4. Wilayah yang memiliki transmisi komunitas (Community Transmission)
Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus dapat memetakan skenario transmisi di
wilayahnya. Suatu wilayah dapat memiliki lebih dari 1 skenario transmisi pada wilayah
yang lebih kecil, misalnya beberapa kabupaten/kota di suatu provinsi atau beberapa
kecamatan di suatu kabupaten/kota. Inti utama dalam skenario penanggulangan adalah

62
sebanyak mungkin kasus berada pada klasternya dan berhasil dilakukan penanggulangan
(minimal 80%), setelah dilakukan penanggulangan terjadi penurunan jumlah kasus
minimal 50% dari puncak tertinggi selama minimal 2 minggu dan terus turun 3 minggu
selanjutnya. Skenario transmisi yang berbeda membutuhkan persiapan dan respon berbeda
seperti dijabarkan pada tabel berikut:

63
64
2. Indikator Penanggulangan Pandemi
Dalam rangka menanggulangi pandemi COVID-19, Indonesia telah menerapkan
berbagai langkah kesehatan masyarakat termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona

65
Virus Disease 2019 (COVID-19) seperti penutupan sekolah dan bisnis, pembatasan
perpindahan atau mobilisasi penduduk, dan pembatasan perjalanan internasional.

Dalam perkembangan pandemi selanjutnya, WHO sudah menerbitkan panduan


sementara yang memberikan rekomedasi berdasarkan data tentang penyesuaian aktivitas
ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Serangkaian indikator dikembangkan untuk
membantu negara melalui penyesuaian berbagai intervensi kesehatan masyarakat
berdasarkan kriteria kesehatan masyarakat. Selain indikator tersebut, faktor ekonomi,
keamanan, hak asasi manusia, keamanan pangan, dan sentimen publik juga harus
dipertimbangkan. Keberhasilan pencapaian indikator dapat mengarahkan suatu wilayah
untuk melakukan persiapan menuju tatanan normal baru produktif dan aman dengan
mengadopsi adaptasi kebiasaan baru.

Kriteria yang perlu dievaluasi untuk menilai keberhasilan dikelompokkan menjadi


tiga domain melalui tiga pertanyaan utama yaitu:

1. Kriteria Epidemiologi - Apakah epidemi telah terkendali? (Ya atau tidak)


2. Kriteria Sistem kesehatan - Apakah sistem kesehatan mampu mendeteksi kasus
COVID-19 yang mungkin kembali meningkat? (Ya atau tidak)
3. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat - Apakah sistem surveilans kesehatan
masyarakat mampu mendeteksi dan mengelola kasus dan kontak, dan
mengidentifikasi kenaikan jumlah kasus? (Ya atau tidak)
Ambang batas yang ditentukan sebagai indikasi untuk menilai keberhasilan
penanggulangan dapat digunakan jika tersedia informasi epidemiologi COVID-19. Dari 3
kriteria tersebut, terdapat 24 indikator yang dapat dievaluasi untuk melakukan
penyesuaian. Penilaian ini sebaiknya dilakukan setiap minggu di tingkat
kabupaten/kota/provinsi.

1. Indikasi Wabah Terkendali


Ukuran Utama: Efektif Reproduction Number (Rt) < 1 selama 2 minggu
terakhir. Secara teori Rt (jumlah penularan efektif pada kasus sekunder di populasi),
nilai di bawah 1 merupakan indikasi bahwa wabah sudah terkendali dan jumlah
kasus baru semakin berkurang. Rt harus dihitung pada wilayah administratif yang
tidak terlalu besar dan memiliki variabilitas yang tinggi. Perhitungan dapat dilakukan
pada tingkat Kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan. Nilai Rt sangat tergantung

66
jumlah kasus absolut, pada kasus yang tinggi > 100 perhari pengurangan 5-10 kasus
tidak terlalu bermakna secara absolut, tetapi nilai Rt menjadi turun < 1, pada kasus
dengan tren fluktuatif nilai Rt tidak relevan untuk dilakukan. Nilai Rt menjadi acuan
terbaik setelah puncak kasus terjadi dan menilai program penanggulangan untuk
mencegah terjadinya peningkatan baru dari pandemi.

Karena itu selain nilai Rt, penilaian kualitatif juga dilakukan sebagai
pelengkap/pendukung dengan beberapa kriteria, atau jika data surveilans tidak
memadai untuk menilai Rt yang adekuat untuk menilai apakah pandemi telah
terkendali.

67
*Evaluasi melalui tren tetap dibutuhkan dan tidak terjadi perubahan pada uji lab
atau strategi pengukuran

**Masa 2 minggu berhubungan degan masa inkubasi terpanjang dan periode


tersingkat untuk menilai perubahan tren

2. Sistem kesehatan mampu mengatasi lonjakan kasus yang mungkin timbul setelah
penyesuaian (pelonggaran PSBB)

68
Ukuran kunci: Jumlah kasus baru yang membutuhkan rawat inap lebih kecil dari
perkiraan kapasitas maksimum rumah sakit dan tempat tidur ICU (Sistem kesehatan
dapat mengatasi rawat inap baru dan pemberian pelayanan kesehatan esensial lainnya).
Jika tidak ada informasi ini, penilaian kualitatif berdasarkan kriteria berikut dapat
digunakan.

69
3. Surveilans kesehatan masyarakat dapat mengidentifikasi sebagian besar kasus dan
kontak pada masyarakat

70
Setiap daerah harus memiliki mekanisme surveilans yang berkualitas dan didukung
dengan kapasitas dan mekanisme laboratorium yang memadai. Beberapa indikator di
bawah ini dapat dimanfaatkan dalam menilai kapasitas surveilans kesehatan masyarakat.

71
72
73
Dalam konteks pandemi COVID-19, menemukan, menguji, dan mengisolasi kasus, pelacakan
kasus dan karantina tetap menjadi langkah utama dalam semua tahap respons. Demikian pula
langkah-langkah untuk memastikan perlindungan terhadap petugas kesehatan dan kelompok
rentan harus dipertahankan. Tergantung pada tingkat risiko, tindakan lain seperti kegiatan di
masyarakat, pembatasan pengumpulan massal, dan langkah-langkah untuk mengurangi risiko
masuknya virus harus diadaptasi.

3. SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

DEFINISI

CDC mendefinisikan Surveilans Kesehatan adalah prosedur sistematik dalam


pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data, yang diikuti dengan pengaplikasian
data tersebut pada program kesehatan masyarakat dalam rangka meningkatkan aktivitas
kesehatan masyarakat.

Menurut Depkes (2003:15), Surveilans epidemiologi adalah suatu rangkaian proses


pengamatan yang terus menerus sistematik dan berkesinambungan dalam pengumpulan data,
analisis dan interpretasi data kesehatan dalam upaya untuk menguraikan dan memantau suatu
peristiwa kesehatan agar dapat dilakukan untuk menguraikan dan memantau suatu peristiwa
kesehatan agar dapat dilakukan penanggulangan yang efektif dan efesien terhadap masalah
kesehatan masyarakat tersebut.

Dengan demikian kata kunci dalam surveilans kesehatan masyarakat adalah


mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, menerapkan, dan menghubungkan dengan
praktik-praktik kesehatan masyarakat.

Hasil dari surveilans intinya adalah tindakan yang berbentuk respon. Respon terhadap
surveilan ada dua tipe yaitu Respon segera (epidemic type response) dan Respon terencana
(management type response).

74
JENIS SURVEILANS

Surveilans Kesehatan Masyarakat terdiri dari 5 jenis (McNab, NA dalam Crooker,


2014) yaitu: 1) Participatory surveillance; 2) Predictive Surveillance (Climate and Ecology);
3) Syndromic surveillance; 4) Eventbased surveillance; dan 5) Indicator-based surveillance.

Disamping itu menurut intervensinya ke masyarakat, surveilans kesehatan masyarakat


dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Active surveillance (surveilans aktif) yaitu pemerintah melalui petugas


kesehatan secara aktif mengumpulkan data kejadian kesehatan di masyarakat
atau komunitas; dan
2. Pasive surveillance (surveilans pasif) yaitu pemerintah melalui biro kesehatan
(dinkes) menerima laporan penyakit secara reguler dari pelayanan kesehatan
sesuai dengan aturan yang berlaku.

RUANG LINGKUP SURVEILANS KESMAS

Surveilans kesmas atau surveilans epidemiologi merupakan kegiatan yang ditujukan


bagi intervensi suatu kejadian penyakit yang mencakup surveilans terhadap: Penyakit menular
(PM), Penyakit tidak menular (PTM), Kesehatan Lingkungan (Kesling), Perilaku sehat,
Masalah kesehatan, Kesehatan Matra (Darat, Laut, Udara), Kesehatan Kerja, dan Kecelakaan
Kerja.

Surveilans epidemiologi pada penyakit menular meliputi:

a. PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi);


b. AFP (Acute Flacid Paralysis);
c. Penyakit Potensial Wabah/Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan
Keracunan;
d. Demam Berdarah Dengue (DBD);
e. Malaria;
f. Zoonosis (Antraks, Rabies, Leptospirosis);
g. Filariasis
h. Tuberkulosis
i. Diare, Tifus, Kecacingan dan penyakit perut lainnya

75
j. Kusta k. HIV/AIDS
k. Penyakit Menular Seksual (PMS); dan
l. Pneumonia, termasuk SARS

TUJUAN SURVEILANS

Secara umum tujuan surveilans adalah mendapatkan informasi epidemiologi penyakit


tertentu dan mendistribusikannya kepada pihak terkait, pusat-pusat kajian, pusat penelitian,
serta unit lainnya.

Adapun tujuan khusus diselenggarakannya surveilans kesehatan masyarakat dari


berbagai sumber dan literatur adalah sebagai berikut:

1. Mendeteksi wabah;
2. Mengidentifikasi masalah kesehatan dan kecenderungan penyebaran penyakit;
3. Mengestimasi luas dan pengaruh masalah kesehatan;
4. Memberi penekanan pada penyebaran kejadian kesehatan secara geografis dan
demografis;
5. Mengevaluasi cara pengawasan;
6. Membantu dalam pengambilan keputusan;
7. Mengalokasikan sumberdaya kesehatan secara lebih baik;
8. Menggambarkan riwayat alamiah suatu penyakit;
9. Membuat hipotesis dalam rangka pengembangan penelitian epidemiologi;
10. Memonitor perubahan agen infeksi; dan
11. Memfasitasi program perencanaan kesehatan.

Jenis Surveilans Epidemiologi


a. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor
individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar,
tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan
dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang

76
dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat
tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi
seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).

Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan
SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial.
Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit
menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak
terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmis penyakit.
Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang
orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos
tertentu dicutikan, sedang di pos-pos lainnya tetap bekerja.

Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah


legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan
efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan
masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).

b. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan
kematian, serta data relevan lainnya. Jadi focus perhatian surveilans penyakit adalah
penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya
didukung melalui program vertical (pusat-daerah). Contoh, program surveilans
tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal
dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan
akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans
penyakit vertical yang berlangsung parallel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk

77
sumberdaya masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga
mengakibatkan inefisiensi.

c. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing
penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan
individual maupun populasi yang bias diamati sebelum konfirmasi diagnosis.
Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola
perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari
aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun


nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-
penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik
dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan
skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit
tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati.
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai
influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan
dini dan dapat digunakan sebagai instrument untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung. (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006)

Suatu system yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut
surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui system surveilans sentinel merupakan
cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber
daya yang terbatas. (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010)

d. Surveilans Berbasis Laboratorium


Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor
penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan
seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi

78
strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera
dan lengkap daripada system yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-
klinik. (DCP2, 2008)

e. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)
sebagai sebuah pelayanan public bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur,
proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang
diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans
terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit
tertentu. (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).

Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:

1. Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);


2. Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
3. Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
4. Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan,
analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan
supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya);
5. Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun
menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit
yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda. (WHO, 2002)
f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia
dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.
Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan
Negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemic global
(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh
dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik
penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun

79
penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-
aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi
(Calain, 2006; DCP2, 2008)

PRINSIP, FUNGSI, DAN LANGKAH SURVEILANS EPIDEMIOLOGI


PRINSIP SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.

Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan sarana


pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan masyarakat,
dan petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan jumlah populasi berisiko
terhadap penyakit yang sedang diamati. Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan
dengan wawancara dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan
kelompok high risk; Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan
reservoir; Transmisi; Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.

a. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang
masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang terkumpul
dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau bentuk
lainnya. Kompilasi data tersebut harus dapat memberikan keterangan yang berarti.

b. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan


Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada
dalam masyarakat.

c. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik


Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup jelas
dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan
kepada semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai mana mestinya.

80
d. Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan
tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program
dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil
kegiatan.

FUNGSI SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

Kegunaan surveilans epidemiologi

1. Mendeteksi perubahan masalah kesehatan sedini mungkin sehingga dapat dilakukan


tindakan kontrol atau preventif terhadap perubahan tersebut.
2. Deteksi perubahan lingkungan/vector yang dianggap dapat menimbulkan penyakit
pada populasi.
3. Mutlak digunakan pada program-program pemberantasan penyakit menular sebagai
dasar perencanaan, monitoring dan evaluasi program.
4. Menilai kejadian penyakit pada populasi seperti insidensi atau prevalensi.
5. Data surveilans dapat digunakan untuk perencanaa dan pelaksanaan program
kesehatan.
Manfaat surveilans epidemiologi

Pada awalnya surveilans epidemiologi banyak dimanfaatkan pada upaya


pemberantasan penyakit menular, tetapi pada saat ini surveilans mutlak diperlukan
pada setiap upaya kesehatan masyarakat baik upaya pencegahan maupun
pemberantasan penyakit menular. Secara garis besar, tujuan surveilans epidemiologi
yaitu:

1. Mengetahui distribusi geografis penyakit endemis dan penyakit yang dapat


menimbulkan epidemic.
2. Mengetahui perioditas suatu penyakit.
3. Menentukan apakah terjadi peningkatan insidensi yang disebabkan oleh kejadian
luar biasa atau karena perioditas penyakit.
4. Mengetahui situasi suatu penyakit tertentu.
5. Memperoleh gambaran epidemiologi tentang penyakit tertentu.

81
6. Melakukan pengendalian penyakit.
7. Mengetahui adanya pengulangan outbreak yang pernah menimbulkan endemic.
8. Pengamatan epidemiologi terhadap influenza untuk mengetahui adanya tipe baru
dari virus influenza.
LANGKAH-LANGKAH SURVEILANS

Menurut WHO (1999) serta Myrnawati (2001) langkah-langkah surveilans kesehatan


masyarakat meliputi: Pengumpulan data, Pengolahan Data, Analisis data; dan Penyebarluasan
informasi.

a. Pengumpulan Data
Tahap ini merupakan permulaan kegiatan surveilans yang sangat penting untuk
menghasilkan data kejadian penyakit yang baik. Kegiatan pengumpulan data dapat
dilakukan secara aktif dan pasif (lihat sub bab tentang jenis surveilans).
Sumber data yang bisa digunakan dalam surveilans antara lain: Laporan
penyakit, Pencatatan kematian, Laporan wabah, Pemeriksaan laboratorium,
Penyelidikan peristiwa penyakit, Penyelidikan wabah, Survey/Studi Epidemiologi,
Penyelidikan distribusi vektor dan reservoir, Penggunaan obat-serum-vaksin, Laporan
kependudukan dan lingkungan, Laporan status gizi dan kondisi pangan, dan
sebagainya.
Sedangkan jenis data surveilans meliputi: Data kesakitan, Data kematian, Data
demografi, Data geografi, Data laboratorium, Data kondisi lingkungan, Data status
gizi, Data kondisi pangan, Data vektor dan reservoir, Data dan informasi penting
lainnya.
Dilihat dari frekuensi pengumpulannya, data surveilans dibedakan dalam
empat kategori:
a. Data rutin bulanan, yang digunakan untuk perencanaan dan evaluasi.
Misalnya: data yang bersumber dari SP2TP, SPRS;
b. Data rutin harian dan mingguan, yang digunakan dalam Sistem Deteksi
Dini pada Kejadian Luar Biasa (SKD KLB). Misalnya: data yang
bersumber dari Laporan Penyakit Potensial Wabah (W2);
c. Data insidensil. Misalnya: Laporan KLB (W1); dan
d. Data survey

82
Adapun syarat yang dibutuhkan agar data surveilans yang dikumpulkan
berkualitas adalah sebagai berikut:
1. Memuat informasi epidemiologi yang lengkap. Misalnya:
− Angka kesakitan dan angka kecacatan menurut umur, jenis kelamin dan
tempat tinggal;
− Angka cakupan program;
− Laporan Faktor Risiko Penyakit;
− Dan sebagainya
2. Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus dan sistematis;
3. Data kejadian penyakit yang dikumpulkan selalu tepat waktu, lengkap dan
benar;
4. Mengetahui dengan baik sumber data yang dibutuhkan, misalnya dari
Puskesmas, pelayanan 83 esehatan swasta, laporan kegiatan lapangan
Puskesmas, dan sebagainya; dan
5. Menerapkan prioritas dalam pengumpulan data yang diutamakan pada
masalah yang signifikan.

b. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan kegiatan penyusunan data yang sudah
dikumpulkan ke dalam format-format tertentu, menggunakan teknik-teknik
pengolahan data yang sesuai. Dalam pengolahan data, dua aspek perlu
dipertimbangkan yaitu ketepatan waktu dan sensitifitas data (lihat sub bab tentang
Atribut Surveilans).
Dalam pengolahan data, terdapat langkah yang penting yaitu Kompilasi Data,
yang bertujuan untuk menghindari duplikasi (doble) data dan untuk menilai
kelengkapan data. Proses kompilasi data dapat dilakukan secara manual (dengan kartu
pengolah data atau master table), atau komputerisasi (dengan aplikasi pengolah data,
misalnya Epiinfo). Variabel yang dikompilasi meliputi orang, tempat, dan waktu.
Pengolahan data yang baik memenuhi kriteria antara lain:
1. Selama proses pengolahan data tidak terjadi kesalahan sistemik;

83
2. Kecenderungan perbedaan antara distribusi frekeuensi dengan
distribusi kasus dapat diidentifikasi dengan baik;
3. Tidak ada perbedaan atau tidak ada kesalahan dalam menyajikan
pengertian/definisi; dan
4. Menerapkan metode pembuatan tabel, grafik, peta yang benar.

c. Analisis data
Data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis untuk membantu dalam
penyusunan perencanaan program, monitoring, evaluasi, dan dalam upaya pencegahan
serta penanggulangan penyakit. Penganalisis data harus memahami dengan baik data
yang akan dianalisa. Data yang telah diolah dan disusun dalam format tertentu
umumnya lebih mudah dipahami. Beberapa cara berikut biasanya dilakukan untuk
memahami data dengan baik, antara lain:
1. Pada data sederhana dan jumlah variabel tidak terlalu banyak, cukup dengan
mempelajari tabel saja; dan
2. Pada data yang kompleks, selain mempelajari tabel juga dilengkapi dengan
peta dan gambar. Peta dan gambar berfungsi untuk mempermudah pemahaman
akan trend, variasi, dan perbandingan.
Beberapa teknik berikut umumnya dipakai dalam analisa data surveilans,
seperti:
a. Analisis univariat, yaitu teknik analisis terhadap satu variable saja
dengan menghitung proporsi kejadian penyakit dan menggambarkan
deskripsi penyakit secara statistik (mean, modus, standar deviasi);
b. Analisis Bivariat, yaitu teknik analisis data secara statistik yang
melibatkan dua variable. Untuk menggambarkan analisis ini bisa
digunakan tools seperti Tabel (menghitung proporsi dan distribusi
frekuensi), Grafik (menganalisis kecenderungan), dan Peta (menganalisis
kejadian berdasarkan tempat dan waktu); dan
c. Analisis lebih lanjut dengan Multivariat, yaitu teknik analisis statistik
lanjutan terhadap lebih dari dua variable, untuk mengetahui determinan
suatu kejadian penyakit.

84
d. Penyebarluasan informasi
Tahap selanjutnya adalah menyebarluaskan informasi berdasarkan kesimpulan
yang didapat dari analisis data. Penyebaran informasi disampaikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dengan program kesehatan, seperti Pimpinan program, Pengelola
program, atau Unit-unit kerja yang kompeten di lintas program atau sektoral. Menurut
Noor (2008) informasi surveilans sebaiknya disebarkan kepada tiga arah yaitu:
1. Kepada tingkat administrasi yang lebih tinggi, sebagai tindak lanjut dalam
menentukan kebijakan;
2. Kepada tingkat administrasi yang lebih rendah atau instansi pelapor, dalam bentuk
data umpan balik; dan
3. Kepada instansi terkait dan masyarakat luas.

Kapan informasi disebarkan? Penyebaran dapat memanfaatkan waktu-waktu atau


kegiatan yang memungkinkan berkumpulnya para pemangku kepentingan, misalnya pada
rapat rutin, rapat koordinasi, atau pertemuan rutin warga masyarakat.

Selain berbentuk laporan, media untuk penyebaran informasi dapat berupa bulletin,
news letter, jurnal akademis, website, dan media sosial.

ATRIBUT DAN INDIKATOR KERJA SURVEILANS

Atribut surveilans adalah karakteristik-karakteristik yang melekat pada suatu kegiatan


surveilans, yang digunakan sebagai parameter keberhasilan suatu surveilans. Menurut
WHO (1999), atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut:

1. Simplicity (kesederhanaan)
Surveilans yang sederhana adalah kegiatan surveilans yang memiliki struktur dan
sistem pengoperasian yang sederhana tanpa mengurangi tujuan yang ditetapkan.
Sebaiknya sistem surveilans disusun dengan sifat demikian.
2. Flexibility (fleksibel atau tidak kaku)
Surveilans yang fleksibel adalah kegiatan surveilans yang dapat menyesuaikan
dengan perubahan informasi dan/atau situasi tanpa menyebabkan penambahan
yang berati pada sumberdaya antara lain biaya, tenaga, dan waktu. Perubahan

85
tersebut misalnya perubahan definisi kasus, variasi sumber laporan, dan
sebagainya.
3. Acceptability (akseptabilitas)
Surveilans yang akseptabel adalah kegiatan surveilans yang para pelaksana atau
organisasinya mau secara aktif berpartisipasi untuk mencapai tujuan surveilans
yaitu menghasilkan data/informasi yang akurat, konsisten, lengkap, dan tepat
waktu.
4. Sensitivity (sensitifitas)
Surveilans yang sensitif adalah kegiatan surveilans yang mampu mendeteksi
Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan cepat. Sensitifitas suatu surveilans dapat
dinilai pada dua tingkatan, yaitu pada tingkat pengumpulan data, dan pada tingkat
pendeteksian proporsi suatu kasus penyakit. Beberapa faktor mempengaruhi
sensitivitas suatu surveilans, antara lain:
a. Orang-orang yang mencari upaya kesehatan dengan masalah kesehatan atau
penyakit khusus tertentu;
b. Penyakit atau keadaan yang akan didiagnosa; dan
c. Kasus yang akan dilaporkan dalam sistem, untuk diagnosis tertentu.
5. Predictive value positif (memiliki nilai prediksi positif)
Surveilans yang memiliki nilai prediktif positif adalah kegiatan surveilans yang
mampu mengidentifikasi suatu populasi (sebagai kasus) yang kenyataannya
memang kasus. Kesalahan dalam mengidentifikasi KLB disebabkan oleh kegiatan
surveilans yang memiliki predictive value positif (PVP) rendah.
6. Representativeness (Keterwakilan)
Surveilans yang representatif adalah kegiatan surveilans yang mampu
menggambarkan secara akurat kejadian kesehatan dalam periode waktu tertentu
dan distribusinya menurut tempat dan orang. Studi kasus merupakan sarana yang
dapat digunakan untuk menilai representativeness suatu surveilans. Untuk
mendapatkan surveilans yang representatif dibutuhkan data yang berkualitas, yang
diperoleh dari formulir surveilans yang jelas dan penatalaksanaan data yang teliti.
7. Timeliness (Ketepatan waktu)
Surveilans yang tepat waktu adalah kegaiatan surveilans yang mampu
menghasilkan informasi yang sesuai dengan waktu yang tepat (tidak terlalu

86
lambat dan cepat). Misalnya informasi penanggulangan/pencegahan penyakit,
baik dalam jangka pendek (segera) maupun jangka panjang.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1116/Menkes/SK/VII/2003 tentang
surveilans epidemiologi, indikator kerja surveilans meliputi:
a. Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebesar 90%;
b. Ketepatan laporan bulanan STP Unit Pelayanan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebesar 80%;
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator epidemiologi
STP sebesar 80%;
d. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
ke Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 100%;
e. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke
Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 90%;
f. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen
PPM&PL Depkes sebesar 100%;
g. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen
PPM&PL Depkes sebesar 90%;
h. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, Propinsi dan
Nasional sebesar 100%;
i. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional
sebesar 100%;
j. Penerbitan buletin epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali
setahun;
k. Penerbitan buletin epidemiologi di Propinsi dan Nasional adalah
sebesar 12 kali setahun;
l. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.

PERMASALAHAN SURVEILANS

Permasalahan potensial yang umumnya terjadi dalam kegiatan survailans antara lain:

87
1. Pemahaman yang keliru antara surveilans dengan survei. Perbedaan utama antara
surveilans dan survei adalah dalam hal konsistensi. Surveilans dilakukan secara
terus menerus, sedangkan survei dilakukan temporer dan terjadwal;
2. Keterbatasan sumber daya, baik manusia, sarana, prasarana dan finansial.
Sumberdaya manusia merupakan keterbatasan yang paling sering dialami dalam
kegiatan surveilans;
3. Kualitas sumber daya yang belum merata. Rendahnya pemahaman petugas
kesehatan dan non kesehatan akan kegiatan surveilans merupakan faktor utama;
4. Rendahnya kualitas data, disebabkan ketidaktepatan dan ketidaklengkapan
laporan;
5. Diseminasi informasi kurang berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan koordinasi
yang kurang baik antara tim surveilans dengan pemangku kepentingan informasi;
6. Monitoring dan evaluasi surveilans melalui atribut surveilans yang tidak berjalan
dengan baik;
7. Adanya perbedaan metode dan definisi kasus; dan
8. Politisasi masalah kesehatan.

Kegiatan surveilans penyakit menular di Indonesia belum memberikan dampak yang


menggembirakan dalam upaya penurunan penyakit. Beberapa permasalahan yang selalu
muncul antara lain:

a. Tidak tersedianya data kejadian penyakit yang akurat, lengkap, dan tepat waktu
menjadi masalah dasar dalam pelaksanaan surveilans di Indonesia. Masalah ini
ditambah dengan jarak antara Puskesmas dengan kantor dinas kesehatan yang jauh
terutama di wilayah terpencil (Sulistyowaty, 2005).
b. Sistem surveilans yang terlalu sederhana juga menjadi penyebab tidak
bermaknanya pelaksanaan surveilans penyakit. Beberapa parameter kejadian
penyakit yang seharusnya dapat dianalisis dari informasi atau data kejadian
kesehatan, tidak didapat karena begitu sederhananya jenis dan metode
pengumpulan data.
c. Kekurangpahaman sumber daya manusia survelilans akan pentingnya data kejadian
penyakit menyebabkan data kejadian penyakit tidak dilakukan secara
berkesinambungan.

88
d. Masalah birokrasi antara lain implementasi kebijakan surveilans yang tidak berjalan
serta tarik menarik antara sektor kesehatan dengan Pemda dalam penanggulangan
suatu kejadian penyakit

4. SISTEM KEWASPADAAN DIRI

Pendahuluan

Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular, keracunan makanan, keracunan bahan
berbahaya lainnya masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan
jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran yang besar dalam
upaya penanggulangannya, berdampak padasektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi
menyebar luas lintaskabupaten/kota, provinsi, regional bahkan internasional yang
membutuhkan koordinasi dan penanggulangan.

Penanggulangan KLB/wabahpenyakit menular diatur dalam UU No.4 tahun 1984 tentang


wabah penyakit menular, Permenkes no 949 tahun 2004 tentang pedoman penyelenggaraan
SKD KLB dan PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan provinsi
sebagai daerah otonom yang berpengaruh terhadap penyelenggaran penggulangan
KLB/wabah serta peraturan terkait lainnya yang berhubungan dengan SKD KLB.

Dampak KLB :

KLB penyakit dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kesakitan dan kematian yang
besar sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan oleh semua pihak yang terkait.
Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti tindakan yang cepat dan tepat,
perlu diidentifikasi ancaman KLB agar dapat dilakukan peningkatan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB/wabah.

Pengertian KLB :

(1) Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB adalah kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi
KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi
surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap
kesiapsiagaan, upaya-upaya dan tindakan penanggulangan KLB yangcepat dan tepat;

89
(2) Peringatan kewaspadaan dini KLB adalah pemberian informasi adanya ancaman KLB
pada suatu daerah dalam periode waktu tertentu;
(3) Deteksi dini KLB adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB dengan
cara melakukan intensifikasi pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap
perkembangan penyakit berpotensi KLB dan perubahan kondisi rentan KLB agar dapat
mengetahui secara dini terjadinya KLB;
(4) Kondisi rentan KLB adalah kondisi masyarakat, lingkungan, perilaku dan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang merupakan faktor risiko terjadinya KLB.

Ruang Lingkup :

Kegiatan SKD KLB meliputi kajian epidemiologi secara terus menerus dan sistematis
terhadap penyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB, peringatan kewaspadaan dini
KLB dan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan sarana dan prasarana kesehatan
pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya KLB/wabah.

Tujuan penyelenggaraan Kegatan SKD KLB :

Terselenggaranya kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB,


seperti

(1) Teridentifikasinya adanya ancaman KLB;


(2) Terselenggaranya peringatan kewaspadaan dini KLB;
(3) Terselenggaranya kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya KLB;
(4) Terdeteksinya secara dini adanya kondisi rentan KLB;
(5) Terselenggaranya penyelidikan dugaan KLB.

Penyelenggaraan SKD KLB :

Dalam penyelenggaraan SKD KLB dapat dilakukan dengan :

(4) Pengorganisasian, Sesuai dengan peran dan fungsinya maka setiap unit pelayanan
kesehatan, Dikes kab./kota, provinsi dan Depkes RI wajib menyelenggarakan SKD KLB
dengan membentuk unit pelaksana yang bersifatfungsional atau struktural;
(5) Sasaran, sasaran SKD KLB meliputi penmyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB;

90
(6) Kegiatan SKD KLB.

Secara umum kegiatan SKD KLB meliputi :

Kajian Epidemiologi,

Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka dilakukan kajian secara terus menerus dan
sistematis terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi KLB dengan menggunakan kajian.
Kajian tersebut diantaranya adalah :

1. Data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB;


2. Kerentanan masyarakat spt status gizi yang buruk, imunisasi yang tdk lengkap, personal
hygiene yang buruk dll;
3. Kerentanan lingkungan spt sanitasi dan lingkungan yang jelek;
4. Kerentanan pelayanan kesehatan spt sumberdaya, sarana dan prasarana yang rendah
atau kurang memadai;
5. Ancaman penyebaran penyakitberpotensi KLB dari daerah lain;

1. Sumber data surveilans epidemiologi penyakit adalah :

• Laporan KLB/wabah dan hasil penyelidikan KLB,


• Data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya,
• Surveilans terpadu penyakit berbasis KLB,
• Sistem peringatan dini KLB di rumah sakit.

2. Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi adalah :

a. Data surveilans terpadu penyakit,


b. Data surveilans khusus penyakit berpotensi KLB,
c. Data cakupan program.

Data cakupan program tersebut diantaranya adalah

• Data lingkungan pemukiman, data perilaku masyarakat, data pertanian, data


meteriologi dan fisika;

91
• Informasi masyarakat sebagai laporan kewaspadaan dini;
• Data terkait lainnya.

Peringatan Kewaspadaan,

Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah tertentu
dibuat untuk jangka pendek (periode 3 – 6 bulan yang akan datang) dan disampaikan kepada
semua unit terkait di Dikes kab./kota, provinsi dan Depkes RI, sektor terkait dan masyarakat
sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di unit
pelayanan kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan masyarakat
perorangan dan kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap
penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yangakan datang) agar
terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat dijadikan acuan perumusan perencanaan
strategis program penanggulangan KLB.

Suatu wilayah tertentu dinyatakan KLB apabila memenuhi kriteria sbb :

a) Angka kesakitan dan atau angka kematian di suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan)
menunjukkan kenaikan yang mencolok (bermakna) selama 3 kali masa observasi
berturut-turut (Harian atau Mingguan),
b) Jumlah penderita dan atau jumlah kematian di suatu wilayah (Desa/Kelurahan,
Kecamatan) menunjukkan 2 kali atau lebih dalam periode waktu tertentu (Harian,
MIngguan, Bulanan) dibandingkan dengan rata-rata dalam satu tahun terakhir,
c) Peningkatan CFR (case fatality rate) pada suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan)
dalam waktu satu bulan dibandingkan CFR bulan lalu,
d) Peningkatan jumlah kesakitan atau kematian dalam periode waktu (Mingguan, Bulanan)
di suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) dibandingkan dengan periode yang sama
pada tahun yang lalu.

Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB.

Kewaspadaan dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan kegiatan


surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB, peningkatan kegiatan surveilans untuk

92
deteksi dini KLB, penyelidikan epidemiologi adanya dugaan KLB, kesiapsiagaan menghadapi
KLB dan mendorong segera dilaksanakan tindakan penggulangan KLB.

Deteksi dini kondisi rentan KLB.

Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan
masyarakat, kerentanan lingkungan, perilaku dan kerentanan pelayanan kesehatan terhadap
KLB dengan menerapkan cara-cara surveilans epidemiologi atau PWS kondisi rentan. Dalam
penerapan cara surveilans epidemiologi terhadap KLB, dapat dilakukan dengan :

(1) Identifikasi kondisi rentan KLB,


(2) Mengidentifikasi secara terus-menerus perubahan kondisi lingkungan, kualitas dan
kuantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan masyarakat yang berpotensi
menimbulkan KLB di daerah,
(3) Pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap sarana pelayanan kesehatan
merekam data perubahan kondisi rentan KLB menurut desa/kelurahan atau lokasi tertentu
lainnya, menyusun tabel dan grafik PWS kondisi rentan KLB. Setiap kondisi rentan KLB
dianalisis terus-menerus dan secara sistematis untuk mengetahui secara dini adanya
ancaman KLB,
(4) Penyelidikan dugaan kondisi rentan KLB. Penyelidikan tersebut dapat dilakukan :

1. Di Sarkes secara aktif mengumpulkan informasi kondisi rentan KLB dari berbagai
sumber termasuk laporan perubahan kondisi rentan oleh masyarakat,perorangan atau
kelompok;
2. Di Sarkes petugas meneliti dan mengkaji data kondisi rentan KLB, data kondisi
kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat, status kesehatan masyarakat,status
pelayanan kesehatan;
3. Petugas kesehatan mewawancarai pihak-pihak terkait yang patut diduga mengetahui
adanya perubahan kondisi rentan KLB;
4. Mengunjungi daerah yangdicurigai terdapat perubahan kondisi rentan.

Deteksi dini KLB.

93
Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLB dengan mengidentifikasi
kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi
KLB dan penyelidikan dugaan KLB :

1) Identifikasi kasus berpotensi KLB. Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke UPK
diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar tempat tinggal kemudian
dilanjutkan dengan penyelidikan kasus;
2) PWS penyakit berpotensi KLB. Setiap UPK melakukan analisis adanya dugaan
peningkatan penyakit dan faktor risiko yang berpotensi KLB diikuti penyelidikan kasus;
3) Penyelidikan dugaan KLB. Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara :

1. Di UPK setiap petugas menanyakan kepada setiap pengunjung UPK tentang


kemungkinan adanya peningkatansejumlah penderita yang diduga KLB pada lokasi
tertentu;
2. Di UPK setiap petugas meneliti register rawat jalan dan rawat inap khususnya yang
berkaitan dengan alamat penderita, umur dan jensis kelamin atau karakteristiklain;
3. Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa atau pihak yang terkait yang
mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan kasus yang diduga KLB;
4. Membuka pos pelayanan di lokasi yangdiduga terjadi KLB;
5. Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai memunculkan KLB.

Deteksi dini KLB dapat dilakukan melalui :

a. pelaporan kewaspadaan KLB oleh masyarakat,


b. Perorangan dan organisasi yang wajib membuat laporan kewaspadaan KLB antara lain
:

1. Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit


berpotensi KLB;
2. Petugas kesehatan yang memeriksa penderita yangberpotensi KLB;
3. Kepala instansi yangterkait seperti kepala pelabuhan, kepala stasiun kereta api,
kepala bandara udara dll serta UPK lainnya;
4. Nahkoda kapal, pilot dan sopir.

94
Kesiapsiagaan menghadapi KLB.

Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap SDM, sistem konsultasi dan referensi,
sarana penunjang, laboratorium dan anggaran biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB
serta jejaring kerja tim penanggulangan KLB kabupaten/kota, provinsi dan pusat.

Tindakan Penanggulangan KLB yang Cepat dan Tepat.

Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap kejadian KLB dapat terdeteksi dini dan
dilakukan tindakan penanggulangan dengan cepat dan tepat. Tindakan penanggulangan KLB
yang cepat dan tepat dilakukan dengan :

a. Advokasi dan Asistensi Penyelenggaran SKD KLB

Advokasi dan asistensi tujuannya agar SKD KLB berjalan secara terus menerus
dengan dukungan daripihak yang terkait;

b. Pengembangan SKD KLB Darurat.

Untuk menghadapi ancaman terjadinya KLB penyakit tertentu yang sangat serius
dapat dikembanghkan dan atau ditingkatkan SKD KLB penyakit tertentu dalam
periode waktu terbatas dan wilayah terbatas.

Peran Unit SKD KLB dan Mekanisme Kerja.

Masing masing unit yang ada dijajaran kesehatan dapat berperan sebagai berikut :

1) Peran Dinas Kesehatan Provinsi :

• Kajian Epidemiologi Ancaman KLB;


• Peringatan Kewaspadaan Dini KLB;
• Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB;
• Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB,

2) Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota: Kajian Epidemiologi Ancaman KLB,


Peringatan Kewaspadaan Dini KLB, Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan

95
Terhadap KLB, Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB, Pengembangan
SKD KLB Darurat;
3) Peran Puskesmas : Kajian Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan Kewaspadaan Dini
KLB, Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB,
4) Peran Masyarakat (perorangan, kelompok dan masyarakat):

• Peningkatan kegiatan pemantauan perubahan kondisi rentan;


• Peningkatan kegiatan pemantauan perkembangan penyakit dengan melapor kepada
puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota sebagai laporan kewaspadan dini;
• Melaksanakan penyuluhan serta mendorong kewaspadaan KLB di tengah masyarakat;
• Melakukan identifikasi penderita, pengenalan tatalaksana kasus dan rujukan serta
upaya pencegehan dan pemberantasan tingkat awal

Indikator Kinerja :

Indikator kinerja SKD KLB adalah :

1) Kajian dan peringatan kewaspadaan dini KLB secara teratur setidak-tidanya setiap
bulan dilaksanakan oleh Dikes Kabupaten/Kota, Provinsi dan Depkes RI;
2) Terselenggaranya deteksi dini KLB penyakit berpotensi KLB prioritas di puskesmas,
Rumah Sakit dan Laboratorium,
3) Kegiatan penyelidikan dan penanggulangan KLB yangcepat dan tepat terlaksana
kurang dari 24 jam sejak teridentifikasi adanya KLB atau dugaan KLB,
4) Tidak terjadi KLB yang besar dan berkepanjangan.

96
VII. KERANGKA KONSEP

Kasus positif covid-19 di Indonesia WHO menetapkan


pertama kali terdeteksi pada covid-19 sebagai
tanggal 2 Maret 2020 pandemu pada
tanggal 9 Maret 2020

Angka statistik
kejadian covid-19
sampai tanggal 4 Mei
2020
Indonesia Sumatera Selatan

Kasus konfirmasi Kasus Konfirmasi mencapai


kumulatif 1.686.373 20.725 (+130 onrag)
orang (+4369 orang)

Kasus
Positivity Rate 16.9 % Kasus meninggal Positivity Rate 30.78 % meninggal
kumulatif 46.137 kumulatif 1033
(+188 orang) (+13 orang)
dengan CFR 2.7 % dengan CFR
4.93 %

- Indikator kesiapan
Strategi pemerintah : sistem kesehatan
PSBB,PPKM mikro, - Indikator surveilans
penerapan protokol - Indikator
epidemiologi

Dr.Sigap ,kepala
psukesmas biasa

Upaya
preventif,deteksi,respon
dalam penganggulangan
covid-19 belum maksimal

Rendahnya kontak Kurangnya Testing yang tidak


erat yang dilacak pengawasan pasien mencapai target WHO
covid-19

Harus dilakukan
Kasus covid-19 masih terus upaya preventif
bertambah dan pandemi ,deteksi,respon
belum terkendali 97
penganggulangan
covid-19 secara
maksimal
VIII. KESIMPULAN

Dokter Sigap sebagai kepala Puskesmas harus melakukan upaya preventif, deteksi, dan respon
dalam penanggulangan COVID-19 untuk meningkatkan pelacakan kontak erat, testing, isolasi
mandiri, dan karantina bagi orang yang kontak erat dengan kasus konfirmasi.

98
DAFTAR PUSTAKA

Adityo Susilo1,dkk. (2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia , 45-67.

Backer J, Backer J, Klinkenberg D, Wallinga J. 2020, Incubation period of 2019 novel


coronavirus (2019-nCoV) infections among travellers from Wuhan, China, 20–28
January 2020.https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-
7917.ES.2020.25.5.200 0062.

Burke RM, Midgley CM, Dratch A, Fenstersheib M, Haupt T, Holshue M, et al. Active
monitoring of persons exposed to patients with confirmed COVID-19 — United States,
January–February 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020 doi :
10.15585/mmwr.mm6909e1external icon Diah Handayani, Dwi Rendra Hadi, Fathiyah
Isbaniah, Erlina Burhan, Heidy Agustin . (2020). Penyakit Virus Corona 2019 .
JURNAL RESPIROLOGI INDONESIA, 119-129.

Byambasuren, O., Cardona, M., Bell, K., Clark, J., McLaws, M.-L., Glasziou, P., 2020.
Estimating the extent of true asymptomatic COVID-19 and its potential for community
transmission: systematic review and metaanalysis (preprint). Infectious Diseases (except
HIV/AIDS). MedRxiv.[preprint].(https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.0
5.10.20097543v1
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Supplement: Community
Containment Measures, Including Non Hospitasl Isolation and Quarantine.
https://www.cdc.gov/sars/guidance/d-quarantine/app3.html
Centers for Disease Controland Prevention (CDC). 2020. Coronavirus.
https://www.cdc.gov/coronavirus/index.html.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Symptom and
diagnosis.https://www.cdc.gov/coronavirus/about/symptoms.html.
Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, Napoli. RD. 2020. Features, Evaluation and
Treatment Coronavirus (COVID-19). https://www.ncbi.nlm.nih.gov
/books/NBK554776/?report=classic
CDC.2020. Human virus types. https://www.cdc.gov/coronavirus/types.html
Chen, et al. 2020. Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel

99
coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7.
Du Z, Xu X, Wu Y, Wang L, Cowling BJ, Meyers LA. Serial interval of COVID-19 among
publicly reported confirmed cases. Emerging infectious diseases. 2020;26(6).
Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN, et al.
2020. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1.
N Engl J Med. 2020 Apr 16;382(16):1564-1567. doi: 10.1056/NEJMc2004973. Epub
2020 Mar 17.
ECDC. 2020. Contact tracing: Public health management of persons, including healthcare
workers, having had contact with COVID-19 cases in the European Union – first
update. Tersedia pada: https://www.ecdc.europa.eu/sites/default/files/documents/Public-
healthmanagement-persons-contact-novel-coronavirus-cases-2020-03-31.pdf
Epidemiology Group of the New Coronavirus Pneumonia Emergency Response Mechanism
of the Chinese Center for Disease Control and Prevention. Epidemiological
characteristics of the new coronavirus pneumonia [J / OL]. Chinese Journal of
Epidemiology, 2020,41 (2020-02-17) .http: //rs.yiigle.com/yufabiao/1181998.htm. DOI:
10.3760 / cma.j.issn.0254-6450.2020.02.003
Heryana, Ade.2015.Surveilans Epidemiologi. Diakses pada tanggal 10 Mei 2021 di:
https://www.researchgate.net/publication/341997623_Surveilans_Epidemiologi_Penyak
it_Menular/link/5edd97d292851c9c5e8f9474/download

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia . (2020). PEDOMAN PENCEGAHAN DAN


PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5 .
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Last, JM. 2001. A Dictionary of Epidemiology. New York: Oxford University Press,
Inc.

Murti, Bhisma. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Edisi Kedua, Jilid
Pertama. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

WHO. 2001. An Integrated Approach to Communicable Disease Surveillance. Weekly


epidemiological record, 75: 1-8.

100

Anda mungkin juga menyukai