Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN

PRAKTIKUM SURVEILANS
KEPATUHAN DOSEN DAN TENAGA KEPENDIDIKAN TERHADAP PENERAPAN
PROTOKOL KESEHATAN COVID-19 DI UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

DOSEN PEMBIMBING
Moh. Guntur Nangi, SKM,M.Kes
KELOMPOK II
SARTI (K201801023)
SUTARJO (K201802002)
AMELIA PUTRI NUR.H (K201801067)
NAZLI AMALIA (K201801039)
SITI MURNI (K201801065)
PUTRI ANGGRAENI (K201801018)
ICHE APRIYANI (K201801020)
MONA MARSITA (K201801050)
ZULQIFAR SUYADI (K201801005)

KELAS : PEMINATAN EPIDEMIOLOGI


SEMESTER : V

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVESITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

         Puji dan Syukur kami Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas Berkat dan
Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaik baiknya, tak
lupa kami mengucapkan terimakasih pada bapak selaku dosen mata kuliah Praktikum Surveilans
yang telah memberikan tugas ini kepada kami serta teman-teman yang telah banyak membantu
dalam terselesaikannya laporan yang berjudul “KEPATUHAN DOSEN DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN TERHADAP PENERAPAN PROTOKOL KESEHATAN COVID-19 DI
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA”. ini dengan baik.

      Kami juga menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dalam
pembuatan suatu makalah. Untuk itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik agar kami
dapat menyempurnakan tugas makalah ini di masa yang akan datang.

        Dengan demikian, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarNya. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi semuanya dan dapat dijadikan pengetahuan.

                                                                                                

                                                                                     Kendari, 23 Januari 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal tahun 2020, dunia dihadapkan dengan suatu wabah penyakit infeksi yang
disebut virus Covid-19 atau disebut juga dengan virus Corona. Sejak akhir tahun 2019 hingga
saat ini, angka kejadiannya terus mengalami kenaikan yang sangat pesat serta penyebaran infeksi
virus Covid- 19 ini sangat cepat ke seluruh bagian dunia termasuk negara Indonesia. Bahkan
WHO telah menyatakan wabah Covid-19 sebagai keadaan darurat kesehatan global sejak bulan
Januari 2020 (Sebayang, 2020).

Istilah Covid-19 (Corona virus deseases 2019)merupakan nama yang diberikan oleh
WHO terhadap virus yang sedang mewabah saat ini. Negara Cina merupakan tempat pertama
terjadinya infeksi virus Covid-19 dan menyebar sangat luas dan cepat sehingga mengakibatkan
pandemi global yang berlangsung hingga saat ini. Sumber virus ini diketahui awalnya berasal
dari kelelawar yang akhirnya tertular ke manusia dan antar manusia (Burhan et al., 2020; WHO,
2020). Hingga saat ini kejadian terjangkit nya virus Covid-19masih terus bertambah. Data global
catatan WHO hingga bulan Oktober 2020, kasus Covid-19 di dunia mencapai angka 36,7 juta.
Sedangkan di negara Indonesia sendiri yang terkonfirmasi terjangkit virus Covid-19mencapai
321.000kasus, untuk angka kematian tercatat sebanyak 11.580 orang (Tim Komunikasi Publik
Gugus Tugas Nasional, 2020).

Saat ini sudah banyak jenis himbauan patuh terhadap protokol kesehatan seperti rajin
mencuci tangan pakai sabun, menggunakan masker saat keluar rumah serta menerapkan physical
distancing yang disampaikan melalui iklan, acara di televisi, poster-poster, baliho dan sosial
media yang saat ini sangat mudah di akses oleh remaja, namun kenyataan nya, banyak remaja
yang belum menerapkan kebiasaan patuh protokol kesehatan dalam kehidupan sehari - hari,
masih banyak remaja yang di dalam keadaan pandemi virus Covid-19 seperti saat sekarang ini
yang kegiatan sekolah dan pembelajaran dilakukan secara daring (dalam jaringan) atau dari
rumah masing - masing malah memanfaatkan hal tersebut untuk berekreasi, berlibur, berbelanja
ke mall, nonton ke bioskop dan jalan - jalan ke luar kota tanpa menerapkan protokol kesehatan
(Malik & Muhammad, 2020)
Patuh terhadap protokol kesehatan merupakan salah satu bentuk upaya menghadapi
bencana wabah virus Covid-19 yangdilakukan dengan langkahlangkah yang efektif (Mardiatno,
2018).pengetahuan tentang ancaman yang dihadapi dan berada di sekitar lingkungan nya,
mengetahui cara melindungi diri dan melakukan upaya perlindungan diri dan orang lain serta
faktor dukungan dari orang terdekat merupakan hal yang sangat di perlukan dalampenerapan
patuh protokol kesehatan (BNPB, 2018).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan laporan ini
adalah bagaimanakah kepatuhan Dosen dan Tenaga Kependidkan terhadap penerapan protokol
kesehatan COVID-19 di Universitas Mandala Waluya?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kepatuhan Dosen dan Tenaga
Kependidkan terhadap penerapan protokol kesehatan COVID-19 di Universitas Mandala
Waluya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Surveilans Epidemiologi


a. Definisi Surveilans Kesehatan Masyarakat

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, pengolahan, analisis dan


penyajian data kemudian diinterpretasikan secara terus- menerus dan sistematis yang kemudian
didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya (WHO). Surveilans memantau terus-menerus kejadian
dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada
agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada
pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans
kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab
menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah
kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat
(core science of public health).

Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola


dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi
pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan
pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk
mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai
menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian
keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2,
2008).

Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara


terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan
kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,
sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.

b. Tujuan Surveilans

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,
sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan
kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:

1. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;


2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak;
3. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden)
pada populasi;
4. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
6. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
c. Manfaat Surveilans
1. Deteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya
2. Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit
3. Identifikasi kelompok resiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat
4. Identifikasi faktor resiko dan penyebab lainnya
5. Deteksi perubahan layanan kesehatan yang terjadi
6. Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis
7. Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya
8. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan
di masa datang.
d. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara operasional
masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan sendiri, diperlukan
tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan kerjasama yang harmonis antar sektor dan
antar program, sehingga perlu dikembangkan subsistem survailans epidemiologi kesehatan yang
terdiri dari Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak
Menular, Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Dan Perilaku, Surveilans
Epidemiologi Masalah Kesehatan dan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra

1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular


Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan faktor
risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular.
2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan
faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular.
3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor risiko
untuk mendukung program penyehatan lingkungnan.
4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor
risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.
5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor
risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra.

e. Jenis – Jenis Surveilans

Dikenal beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans penyakit; (3)
Surveilans sindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5) Surveilans terpadu; (6)
Surveilans kesehatan masyarakat global.

1. Surveilans Individu

Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-


individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus,
demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional
segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau
binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode
menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi
seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).

Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS.
Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi
kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk
mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan
gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit
campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada
pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.

Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal,
politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-
langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan
Upshur, 2007).

2. Surveilans Penyakit

Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus


terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis,
konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya.
Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.

Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program


vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak
program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan
penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk
sumberdaya masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.

3. Surveilans Sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-


menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit.
Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun
populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati
indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi
laboratorium tentang suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan
surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like
illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para
dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana
(demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus,
jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang
teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai
influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan
dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et
al., 2004; Sloan et al., 2006).

Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas
kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans
sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk
memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008;
Erme dan Quade, 2010).

4. Surveilans Berbasis Laboratorium


Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit
infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis,
penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan
deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

5. Surveilans Terpadu

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan


surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah
pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia
yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan
pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan
perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al.,
2006).

Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai


pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3)
Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti
surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung
surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen
sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun
menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda
memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).

6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang
serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-
masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah,
dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang
melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik
penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit
yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda
surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku
kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

f. Pendekatan Surveilans

Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans
aktif (Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan.

Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara
anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan,
sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit.
Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen
pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.

Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke


lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik,
dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut
penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.

Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh
petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal
dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif. Sistem surveilans dapat diperluas pada
level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi
dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan
diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader
kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat
pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih
spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi
kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006)

g. Manajemen Surveilans

Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi pendukung.
Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi
kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data,
analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah
intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons
terencana (management type response). Fungsi pendukung (support activities) mencakup
pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber
daya, dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb et al., 2002).

Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu sifat dari
masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SAR S, maka
manajer program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu
dibutuhkan suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik
dan laboratorium.

Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok,
berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor
perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem surveilans
yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan
informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa
diperoleh dari survei rumah tangga.
h. Surveilans Efektif

Karakteristik surveilans yang efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana,


fleksibel, akseptabel, digunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002;
JHU, 2006).

1. Kecepatan.

Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely) memungkinkan
tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan
jika diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam. Kecepatan surveilans dapat
ditingkatkan melalui sejumlah cara:

a. Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi
“lag” (beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan tanggapan;
b. Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu (notifiable
diseases);
c. Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;
d. Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil
surveilans;
e. Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera.
2. Akurasi

Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi hasil
negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif
palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm”
(peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke
lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.
Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor:

a. Kemampuan petugas;
b. Infrastruktur laboratorium.

Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu
dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip
epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan
peralatan laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan
konfirmasi kasus.

3. Standar, Seragam, Reliabel, Kontinu

Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam sistem surveilans
agar diperoleh informasi yang konsisten.

Sistem surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya
intermiten atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan.
Pelaporan rutin data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu
sekali.

4. Representatif Dan Lengkap

Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya terjadi pada


populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika
penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas
surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.

5. Sederhana, Fleksibel, Dan Akseptabel

Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik dalam organisasi,
struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan terfokus. Format pelaporan
fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang buruk biasanya
terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak berguna,
dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat diterima oleh petugas
surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk
memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada setiap
level operasi.
6. Penggunaan (Uptake)

Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans digunakan
oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku surveilans pada berbagai
level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara berkembang
dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun network
dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.

2.2 Tinjauan Teori


a. Pengertian COVID-19

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan


yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) atau
yang sering disebut virus Corona. Virus ini memiliki tingkat mutasi yang tinggi dan merupakan
patogen zoonotik yang dapat menetap pada manusia dan binatang dengan presentasi klinis yang
sangat beragam, mulai dari asimtomatik, gejala ringan sampai berat, bahkan sampai kematian.

Penyakit ini dilaporkan memiliki tingkat mortalitas 2-3%. Beberapa faktor risiko dapat
memperberat keluaran pasien, seperti usia >50 tahun, pasien imunokompromais, hipertensi,
penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit paru, dan penyakit jantung.[1-3]
COVID-19 dapat dicurigai pada pasien yang memiliki gejala saluran pernapasan, seperti
demam >38⁰C, batuk, pilek, sakit tenggorokan yang disertai dengan riwayat bepergianke daerah
dengan transmisi lokal atau riwayat kontak dengan kasus suspek atau kasus konfirmasi COVID-
19. Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien COVID-19 tidak spesifik, tetapi limfopenia,
peningkatan laktat dehidrogenase, dan peningkatan aminotransferase, umumnya sering
ditemukan.
Sampai saat ini, belum terdapat terapi antiviral spesifik dan vaksin dalam penanganan
COVID-19. Akan tetapi, beberapa terapi, seperti remdesivir, dexamethasone, lopinavir-ritonavir,
dan tocilizumab ditemukan memiliki efikasi dalam penanganan COVID-19 dan sudah masuk
dalam uji coba klinis obat. Pada awal pandemi, beberapa medikamentosa lain, seperti
chloroquine, hydroxychloroquine, dan oseltamivir telah diteliti tetapi tidak menunjukkan
efektivitas terhadap COVID-19. Pasien COVID-19 dengan infeksi ringan umumnya hanya
disarankan isolasi di rumah dan menggunakan obat yang dijual bebas untuk meredakan gejala.
Pada pasien dengan infeksi berat, disarankan untuk dirawat inap dan terkadang diperlukan
tindakan intubasi dan ventilasi mekanik apabila terjadi gagal napas atau acute respiratory
distress syndrome.

b. Epidemiologi COVID-19
Secara epidemiologi, prevalensi coronavirus disease 2019 (COVID-19) meningkat secara
cepat di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menetapkan penyakit COVID-19
sebagai pandemi global.
1. Global
Kasus COVID-19 pertama kali ditemukan pada Desember 2019 di Wuhan, Cina. Setelah
itu, dalam beberapa minggu, virus ini menyebar ke seluruh bagian negara Cina dan dalam kurun
waktu 1 bulan menyebar ke negara lainnya, termasuk Italia, Amerika Serikat, dan Jerman.

Sampai tanggal 2 September 2020, COVID-19 sudah ditemukan di 216 negara, dengan
total kasus konfirmasi sebesar 25.602.665 kasus. Amerika Serikat merupakan negara dengan
kasus COVID-19 terbanyak dengan total kasus 5.968.380, diikuti dengan Brazil 3.908.272 kasus,
dan India 3.769.523 kasus.

2. Indonesia
Kasus COVID-19 pertama di Indonesia dikonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020
berjumlah 2 orang. Sampai 3 September 2020, kasus COVID-19 di Indonesia sudah mencapai
184.268 kasus konfirmasi yang menempati peringkat ke 23 total kumulatif kasus COVID-19 di
dunia.

3. Mortalitas
Sampai tanggal 3 September 2020, jumlah mortalitas akibat COVID-19 adalah sebesar
852.758 kasus. Di Indonesia, jumlah kematian akibat COVID-19 adalah sebesar 7.750 kasus.
Case fatality rate (CFR) akibat COVID-19 di Indonesia adalah sebesar 4,2%. Angka ini masih
tergolong tinggi jika dibandingkan dengan CFR secara global, yaitu 3,85%.

c. Edukasi dan Promosi Kesehatan


Edukasi dan promosi kesehatan memegang peran utama dalam penanganan COVID-19.
Selama masa pandemi, pemerintah telah merekomendasikan seluruh warga untuk menerapkan
3M, yaitu menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Dengan edukasi dan
promosi kesehatan yang baik maka tingkat penyebaran COVID-19 dapat ditekan.

1. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Edukasi merupakan salah satu upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah penyebaran
COVID-19. Berikut ini merupakan beberapa edukasi yang dapat diberikan pada komunitas:
 Sering cuci tangan menggunakan sabun dan air. Penggunaan hand sanitizer mengandung
alkohol minimal 60% dapat menjadi pilihan alternatif apabila tidak terdapat air dan sabun
 Menerapkan etika batuk dan bersin dengan menutup hidung dan mulut dengan lengan
siku atau tisu lalu membuang tisu ke tempat sampah

 Cuci tangan sebelum menyentuh wajah, terutama mata, hidung, mulut

 Menjaga jarak antarindividu minimal 1,5 meter dan menjauhi orang yang batuk atau
bersin

 Orang dengan gejala infeksi pernapasan akut dianjurkan untuk memakai masker bedah,
menjaga jarak, menutup batuk atau bersin dengan tisu atau baju, dan mencuci tangan.

 Pasien imunokompromais atau sakit disarankan untuk tetap di rumah dan jangan
mendatangi keramaian

 Pemakaian masker bedah disarankan pada orang dengan gejala batuk pilek dan tenaga
kesehatan melakukan kontak dengan pasien

 Keluar rumah apabila terdapat keperluan penting. Apabila perlu keluar rumah, disarankan
menggunakan masker, tidak memakai aksesoris, rajin mencuci tangan dengan sabun dan
air atau hand sanitizer setelah menyentuh benda atau permukaan apapun, dan hindari
penggunaan transportasi umum.
 Lakukan disinfeksi pada barang atau permukaan yang sering disentuh

 Melakukan social distancing dan pembatasan perjalanan sebagai upaya kesehatan


masyarakat
 Berobat ke fasilitas kesehatan hanya jika diperlukan
Salah satu pencegahan dan pengendalian penyakit COVID-19 adalah dengan pemberian
vaksin. Akan tetapi, sampai sekarang vaksin COVID-19 masih dalam uji klinis keamanan serta
efikasinya dan belum terdapat vaksin COVID-19 yang telah disetujui pemberiannya pada
pasien. Vaksinasi di masa depan diharapkan dapat membantu mencapai herd immunity.
2. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan mengenai cara pencegahan COVID-19 sangat penting diberikan
kepada masyarakat. Selain itu, pemberian informasi mengenai cara transmisi dan tingkat
keparahan penyakit juga dapat diberikan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat.
Pemberian informasi dapat diberikan melalui media sosial dan media cetak, seperti poster dan
pamflet.
BAB III

METODE

3.1 Jenis Survei

Jenis survey yang kami gunakan adalah kuantitatif yang di dukung dengan kualiatatif,
instrument kuantitatif menggunakan pertanyaan pilihan ganda, sedangkan pengummpulan data
kualitatif menggunakan pertanyaan survey yang bersifat terbuka. Pengumpulan data kuantitatif
dan kualitatif dilakukan secara bersamaan waktu, dengan urutan pertanyaan kuantitatif di
lakukan terlebih dahulu.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi yang di gunakan dalam survey adalah Dosen dan tenaga kependidikan
Universitas Mandala Waluya. Besaran sampel yang di dapatkan sebanyak 50 responden yang
berasal dari semua dosen dan tenaga kependidikan yang sedang berada di lingkungan kampus.

3.3 Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel yang kami lakukan yaitu melalui kuesioner tertulis yang di
sebarluaskan secara lansung terhadap sasaran yaitu dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan
kampus Universitas Mandala waluya.

3. 4 Analisa dan Penyajian Data

Dalam analisis data, kami menggunakan analisis univariat yaitu Mean atau rata-rata tiap varibel,
dengan penyajian data memakai tabel, grafik dan narasi.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

a. Karakteristik Responden

1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin responden terdiri atas laki-laki dan perempuan, frekuensinya seperti yang
terlihatpadaTabel 1.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Dosen dan Tenaga


Kependidikan di Universitas Mandala Waluya

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase(%)


Laki-laki 22 44,0
Perempuan 28 56,0
Jumlah 100 100,0
Sumber: Data Primer, 2021

Berdasarkan hasil survei didapatkan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan
lebih banyak yaitu 28 responden (56,0%), dibanding yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 22
responden (44,0%).

Grafik Jenis Kelamin


30
25
20

Axis Title 15
10
5
0
Laki-laki Perempuan

2. Umur
Umur responden dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu sama dengan atau dibawah 20
tahun dan diatas 20 tahun, seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan kelompok Usia Dosen dan Tenaga


Kependidikan di Universitas Mandala Waluya

Kelompok Usia Frekuensi (n) Persentase(%)


≤ 40 Tahun 42 84,0
>40 Tahun 8 16,0
Jumlah 100 100,0
Sumber: Data Primer, 2021

Berdasarkan tabel diatas, menunjukan bahwa distribusi frekuensi umur terbanyak


terdapat pada kelompok umur ≤ 40 tahun dengan frekuensi 42 orang (84,0%) ,dibandingkan
dengan kelompok umur > 40 Tahun dengan frekuensi 8 orang (16,0%).

Grafik Kelompok Umur


45 42
40
35
30
Frekuensi
25
20
15
10 8
5
0
≤ 40 Tahun > 40 Tahun

3. Status
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Dosen dan Tenaga Kependidikan di
Universitas Mandala Waluya

Status Frekuensi (n) Persentase(%)


Dosen 38 76,0
Tenaga Kependidikan 12 24,0
Jumlah 50 100,0
Sumber: Data Primer, 2021

Berdasarkan tabel diatas, distribusi frekuensi berdasarkan status Dosen dan Tenaga
Kependidikan di Universitas Mandala Waluy, dari 50 responden di ketahui paling banyak
berstatus Dosen sebanyak 38 orang (76,0%) di bandingkan dengan Tenaga kependidikan yaitu
12 orang (24,0%).

Grafik Status

24%
Dosen
Tenaga
Kependidikan

76%

b. kepatuhan terhadap penerapan protokol kesehatan covid-19

a. Hal-hal yang di lakukan dalam seminggu terakhir (terutama ketika sedang berada di
dalam kampus)
Tabel 4. Hal-hal yang di lakukan dalam seminggu terakhir (terutama ketika sedang berada
di dalam kampus)

No Hal yang dilakukan dalam seminggu terakhir Jumlah %


Ya Tidak
1. Memakai masker 50 0 50 100%
2. Menggunakan hand sanitizer 47 3 50 100%
3. Mencuci tangan 47 3 50 100%
4. Menghindari berjabat tangan 46 4 50
100%

5. Menjaga jarak 47 3 50 100%


Sumber: Data Primer, 2021

Grafik 1. Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Yang Memakai Masker di


Universitas Mandala Waluya

memakai masker
60
50
40
Axis Title 30
20
10
0
Ya Tidak

Berdasarkan tabel hasil survei dapat di lihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang
menggunakan masker dalam seminggu terakhir (terutama ketika berada di dalam kampus)
sebanyak 50 orang (100%) dan tidak memakai masker berjumlah 0 responden (0%).

Grafik 2. Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Yang Menggunakan Hand Sanitizer
Di Universitas Mandala Waluya
menggunakan hand sanitizer
50
40
30
Axis Title 20
10
0
Ya Tidak

Berdasarkan tabel hasil survey dapat dilihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang
menggunakan hand sanitizer dalam seminggu terakhir (terutama ketika berada di dalam kampus)
berjumlah 47 orang (94,0%) dan yang tidak menggunakan hand sanitizer selama seminggu
terakhir berjumlah 3 orang (6,0%).

Grafik 3. Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Yang Mencuci Tangan di Universitas
Mandala Waluya

mencuci tangan
50
40
30
Axis Title
20
10
0
Ya Tidak

Berdasarkan tabel hasil survei dapat di lihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang
mencuci tangan dalam seminggu terakhir terakhir (terutama ketika berada di dalam kampus)
berjumlah 47 responden (94,0%) dan yang tidak mencuci tangan selama seminggu terakhir
berjumlah 3 responden (6.0%).

Grafik 4 Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Yang Menghindari Berjabat Tangan
di Universitas Mandala Waluya
Menghindari berjabat tangan
50
40
30
Axis Title 20

10
0
Ya Tidak

Berdasarkan hasil tabel survei dapat di lihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang
sring menghindari berjabat tangan dalam seminggu terakhir (terutama ketika berada di dalam
kampus) berjumlah 46 respnden (92,0%) dan yang tidak menghindari berjabat tangan selama
seminggu terakhir berjumlah 4 responden (8,0%).

Grafik 5. Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Yang Menjaga Jarak Di Universitas
Mandala Waluya

Menjaga jarak
50
45
40
35
30
Axis Title 25
20
15
10
5
0
Ya Tidak

Berdasarkan hasil tabel survei dapat dilihat Dosen dan Tenaga kependidikan bahwa yang
menjaga jarak dalam seminggu terakhir (terutama ketika berada di dalam kampus) berjumlah 47
responden (94,0%) dan yang tidak menjaga jarak dalam seminggu terakhir berjumlah 3
responden (6,0%).

b. Hal-hal yang diterapkan dalam seminggu terakhir


Tabel 5. Hal-Hal Yang Diterapkan Dosen Dan Tenaga Kependidikan Dalam Seminggu
Terakhir

No Hal-hal yang diterapkan dalam Sering Kadang Tidak Jumlah %


seminggu terakhir pernah
1. Memakai masker saat keluar 49 1 0 50 100%
rumah
2. Menggunakan hand sanitizer/ 36 13 1 50 100%
disifektan setelah bersentuhan
dengan orang/barang di tempat
umum
3. Mencuci tangan saat berada di 35 15 0 50 100%
tempat umum dan saat sehabis
keluar rumah
4. Menghindari brjabat tangan ketika 37 12 1 50 100%
di ajak berjabat tangan
5. Menjaga jarak (1 meter) saat 33 17 0 50 100%
berada di tempat ramai
Sumber : data primer 2021

Grafik 1. Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Yang Memakai Masker saat keluar
rumah di Universitas Mandala Waluya

memakai masker saat keluar rumah


60
50
40
Axis Title 30
20
10
0
Sering Kadang Tidak pernah

Berdasarkan tabel hasil survei dapat di lihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang
sering menerapkan memakai masker dalam seminggu terakhir berjumlah 49 responden (98,0%)
dari total 50 responden yang berhasil kami data sedangkan kadang menggunakan masker dalam
seminggu terakhir berjumlah 1 responden (2,0%), dan yang tidak pernah berjumlah 0 responden
(0%).
Grafik 2 Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Yang Menggunakan Hand Sanitizer/
Disifektan Setelah Bersentuhan Dengan Orang/Barang Di Tempat Umum

menggunakan hand sanitizer


40
35
30
25
Axis Title 20
15
10
5
0
Sering Kadang Tidak pernah

Berdasarkan tabel hasil survey dapat dilihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang
sering menerapkan mengunakan hand sanitizer dalam seminggu terakhir berjumlah 36
responden (72,0%) dari total 50 responden yang berhasil kami data sedangkan yang kadang
menggunakan hand sanitizer dalam seminggu terakhir berjumlah 13 responden (26,0%) dan yang
tidak pernah menggunakan hand sanitizer dalam seminggu terakhir berjumlah 1 responden
(2,0%).

Grafik 3. Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Mencuci Tangan Saat Berada Di
Tempat Umum Dan Saat Sehabis Keluar Rumah
mencuci tangan
40
35
30
25
Axis Title 20
15
10
5
0
Sering Kadang Tidak pernah

Berdasarkan tabel hasil survei dapat di lihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang
sering menerapkan mencuci tangan dalam seminggu terakhir berjumlah 35 responden (70,0%)
dari 50 responden yang berhasil kami data sedangkan yang kadang mencuci tangan dalam
seminggu terakhir berjumlah 15 responden (30,0%), dan yang tidak pernah menerapkan mencuci
tangan berjumlah 0 responden (0%)

Grafik 4. Distribusi Dosen dan Tenaga kependidikan Menghindari Berjabat Tangan


Ketika Diajak Berjabat Tangan

menghindari berjabat tangan


40
35
30
25
Axis Title 20
15
10
5
0
Sering Kadang Tidak pernah

Berdasarkan hasil tabel survey diatas, dapat di lihat bahwa Dosen dan Tenaga
kependidikan yang sering menerapkan menghindari berjabat tangan dalam seminggu terakhir
berjumlah 37 respnden (74,0%) dari 50 responden yang berhasil kami data sedangkan yang
kadang menghindari berjabat tangan berjumlah 12 responden (24,0%) dan yang tidak pernah
menghindari berjabat tangan dalam seminggu terakhir berjumlah 1 responden (2%)

Grafik 5. Distribusi Dosen Dan Tenaga Kependidikan Yang Menjaga Jarak Saat Berada
Di Tempat Ramai
Menjaga jarak(1 meter)
35
30
25
20
Axis Title
15
10
5
0
Sering Kadang Tidak pernah

Berdasarkan hasil tabel survei diatas, dapat dilihat bahwa Dosen dan Tenaga
kependidikan yang sering menerapkan menjaga jarak (1 meter) ) saat berada di tempat ramai
berjumlah 33 responden (66,0%) dan %), dan yang kadang menerapka jaga jarak berjumlah 17
responden (34,0%),serta yang tidak perna menerapkan berjumlah 0 responden (0%).

c. Penyebab Orang Tidak Menerapkan Protokol Kesehatan


Distribusi penyebab orang tidak menerapkan protokol kesehatan pada tabel di bawah ini
Tabel 5. Penyebab Orang Tidak Menerapkan Protokol Kesehatan

No Penyebab orang tidak terapkan protocol Jumlah % Dari


kesehatan total
1. Harga masker, face shield (pelindung wajah),
hand sanitizer atau APD lain cenderung mahal 25 50,0% 50
2. Aktivitas menjadi sulit ketika memakai masker 28 56,0% 50
3. Mengikuti orang lain 18 36,0% 50
4. Tidak ada sanksi jika tidak menerapkan 35 70,0% 50
protokol kesehatan
5. Tidak ada kejadian penderita Covid-19 di 26 52,0% 50
lingkungan sekitarnya
6. Alasan lain 12 24,0% 50
Sumber: Data Primer, 2021

Grafik 11. Distribusi penyebab orang tidak menerapkan protocol kesehatan


Penyebab Orang Tidak Menerapkan Protocol Kesehatan
80 70
70
60 56 52
50
50
40 36
30 24
20
10
0 it
al

an

n
ain

i
ks
ul

lai
ah

di
an
gl
is
ll m

an
eja
as
jad

an

as
ak
rd

ad
or
en

Al
ad
ke

uti
sm

ak
as

ak
Tid
gik
ita
am

Tid
en
tiv

M
rg

Ak
Ha

4.1 PEMBAHASAN
1. Kepatuhan dan Perilaku penerapan Protokol Kesehatan (masker, cuci tangan, hand
sanitizer,menghindari berjabat tanga dan jaga jarak)

Kajian mendalami perilaku utama yang diharapkan dapat diterapkan oleh Dosen dan
Tenaga Kependidikan dalam mencegah transmisi Covid-19. Perilaku utama tersebut adalah
menggunakan masker, penggunaan hand sanitizer, kebiasaan mencuci tangan, menghindari
berjabat tangan serta menjaga jarak.

Hasil survey menunjukkan bahwa 98,0% dari 50 responden atau menyatakan sering
menggunakan masker. Responden yang menyatakan kadang hanya mencapai 2,0% atau
sebanyak 1 dari 50 responden dan yang tidak pernah menggunakan masker berjumlah 0%. Hal
ini menunjukkan bahwa penggunaan masker Dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan
kampus Universitas Mandala Waluya sudah sangat baik (di atas 90%).

Hasil survey menunjukkan bahwa 36 Sebanyak 72,0% dari 50 responden menyatakan


sering menggunakan handsinitizer , responden yang menyatakan kadang mencapai 26,0% atau
sebanyak 13 dari 50 responden dan yang tidak pernah menggunakan hand sanitizer sebanyak
2,0% atau sebanyak 1 dari 50 responden. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan handsinitizer
Dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan kampus Universitas Mandala Waluya sudah
cukup baik.

Hasil survei menunjukkan bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan yang sering
menerapkan mencuci tangan dalam seminggu terakhir berjumlah 35 responden (70,0%) dari 50
responden yang berhasil kami data sedangkan yang kadang mencuci tangan dalam seminggu
terakhir berjumlah 15 responden (30,0%),. Gambaran hasil terkait cuci tangan ini juga terlihat
cukup baik yaitu berjumlah 35 responden (70,0%) dari 50 responden . Kondisi ini tidak terlepas
dari mulai maraknya penyediaan sarana cuci tangan dengan sabun di berbagai tempat. Hal ini
juga memberikan gambaran tentang kepedulian yang tinggi di kalangan Dosen dan Tenaga
kependidikan dalam hal cuci tangan dengan sabun. Namun demikian masih terdapat sejumlah
30,0% responden yang menyatakan kadang mencuci tangan dengan sabun dan yang tidak pernah
menerapkan mencuci tangan berjumlah 0 responden (0%).
Berdasarkan hasil survey diatas, dapat di lihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan
yang sering menerapkan menghindari berjabat tangan dalam seminggu terakhir berjumlah 37
respnden (74,0%) dari 50 responden yang berhasil kami data sedangkan yang kadang
menghindari berjabat tangan berjumlah 12 responden (24,0%) dan yang tidak pernah
menghindari berjabat tangan dalam seminggu terakhir berjumlah 1 responden (2%). Hal ini
menunjukkan bahwa menghindari berjabat tangan Dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan
kampus Universitas Mandala Waluya sudah cukup baik.

Berdasarkan hasil survei diatas, dapat dilihat bahwa Dosen dan Tenaga kependidikan
yang sering menerapkan menjaga jarak (1 meter) ) saat berada di tempat ramai berjumlah 33
responden (66,0%) dan %), dan yang kadang menerapka jaga jarak berjumlah 17 responden
(34,0%),serta yang tidak perna menerapkan berjumlah 0 responden (0%).Dibandingkan dengan
perilaku penggunaan masker angka ini terlihat tertinggal. Sebanyak 66,0% responden atau 33
responden dari 50 responden menyatakan selalu menjaga jarak saat berkomunikasi dengan
lawan bicara. Sebanyak 34,0% menyatakan kadang menjaga jarak saat berkomunikasi dengan
lawan bicara. Protokol menjaga jarak menjadi protokol yang nampaknya cukup sulit dalam
memenuhi yang dilakukan oleh Dosen dan tenaga kependidikan.

2. Penyebab tidak menerapkan Protokol Kesehatan


Berdasarkan hasil survey penyebab orang tidak menerapkan protokol kesehatan dari 50
responden paling tinggi berjumlah 35 responden dengan persentase (70,0%) yaitu dengan
asumsi Tidak ada sanksi jika tidak menerapkan protokol kesehatan, sedangkan yang paling
rendah yaitu berjumlah 12 responden (24,0) dengan asumsi alasan lain yang di sampaikan oleh
Dosen dan tenaga kesehatan yaitu salah satunya faktor abai dan ketidak pedulian terhadap
keamanan dan kesehatan pribadi dan sekitar (kurang pemahaman).

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Masyarakat memiliki peran penting dalam memutus mata rantai penularan Covid-19 agar
tidak menimbulkan sumber penularan baru pada tempat-tempat dimana terjadinya pergerakan
orang, interaksi antar manusia dan berkumpulnya banyak orang.
Kepatuhan dan penerapan protokol kesehatan oleh Dosen dan Tenaga Kependidikan
terkait dengan memakai masker, cuci tangan, menggunakan hand sanitizer,menghindari berjabat
tanga dan jaga jarak) sudah baik di lakukan.

penyebab orang tidak menerapkan protokol kesehatan paling dominan di sebabkan karena Tidak
ada sanksi jika tidak menerapkan protokol kesehatan, sedangkan yang paling rendah dengan
asumsi alasan lain yang di sampaikan oleh Dosen dan tenaga kesehatan yaitu salah satunya
faktor abai dan ketidak pedulian terhadap keamanan dan kesehatan pribadi dan sekitar (kurang
pemahaman), malas, dan menganggap covid-19 tidak ada/tidak takut dengan covid-19.

B. Saran
Dengan adanya laporan ini, diharapkan adanya keterlibatan semua pihak baik pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian penularan Covid-19 di tempat
dan fasilitas umum dapat membantu meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh Covid-
19,dan secara makro dapat berkontribusi mencegah penularan atau penyebaran covid-19 di
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disesase (Covid-19). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2020.
World Health Organization. 2020. Novel Coronavirus.
Huang, C. Wang, Y. Li, X. , Renc, L. Zhao, J. Zan, G.Li., Fan, G., Etc. 2020. Clinical Features
Of Patient Infectted With 2019 Novel Coronavirus In Wuhan, China. The Lancet.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai