Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

ANGKATAN III TAHUN 2022

Oleh:

dr. Sheila Agustika Herliv

Pendamping Internsip:

dr. Afriyanti Rachmatullah

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH POSO

POSO 2022
BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hati merupakan penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya
arsitektur lobulus normal oleh fibrosis, destruksi sel parenkim dan terbentuknya nodul,
proses ini terjadi secara sekunder akibat injury kronis yang menyebabkan alterasi bentuk
lobuler hati menjadi abnormal. Berbagai kondisi dapat menginduksi terjadinya sirosis
seperti infeksi viral, toksin, kondisi herediter ataupun proses autoimun. Apabila faktor
etiologi tidak segera ditangani, maka setelah bertahun-tahun hepar akan membentuk
jaringan parut berupa fibrosis dan fungsi hati akan menghilang. 1

Di negara berkembang umumnya sirosis disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B


dan C. Manifestasi dari sirosis beragam tergantung dengan kondisi pasien, kompensata
atau dekompensata. Pasien dengan sirosis dekompensata akan mengalami gejala multi-
organ yang lebih berat dengan prognosis yang lebih buruk. Sirosis dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan fisik dengan tanda khas yang ditemukan seperti telenagiectasi,
eritema palmaris, kontraktur, ginekomastia, atrofi testis, jaundice dan lain-lain. Diagnosis
sirosis didukung dengan melakukan pemeriksaan lab AST, ALT, ALP, PT, serum
albumin, pencitraan dengan USG, transient elastography, CT dan MRI serta biopsi hati
sebagai baku emas diagnosis. 1

Kerusakan pada hepar bersifat irreversibel. Kerusakan hati lanjut harus dicegah
dan menghambat progres penyakit. Manajemen umum berupa perbaikan pola hidup serta
pemantauan rutin tanda vital. Terapi spesifik berfokus untuk menangani etiologi
penyebab sirosis. 2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hepar merupakan salah satu organ glandula terbesar di tubuh setelah kulit.
Beratnya sekitar 1500gram atau 2.5% dari berat badan orang dewasa. Seluruh nutrisi dari
makanan kecuali lemak yang diserap oleh traktus gastrointestinal akan dikirim ke hepar
melalui system vena porta. Hepar menyimpan glikogen dan mengekskresikan cairan
empedu secara terus menerus untuk emulsifikasi lemak. Hepar terletak pada kuadran
kanan atas abdomen di bagian kanan kosta 7-11, dilindungi oleh tulang iga dan diafragma.
Permukaan hepar berbentuk kubah dan halus sedangkan bagian visceralnya terdapat
beberapa fisura dan jejak dari organ lain. Trias porta mernghubungkan hepar dengan
gaster, terdiri dari ductus bilier, arteri hepatica dan vena porta hepatica. 3

Hepar terbagi menjadi 2 lobus secara anatomis besar yaitu lobus kiri dan kanan,
dipisahkan oleh ligamen koronarium dan falsiform. Pembagian lebih detil menjadi 4
bagian dan 8 segmen. Masing-masing bagian menerima vaskularisasi dari arteri hepatica.
Terdapat lobus kaudatus yang divaskularisasikan oleh bifukatio trias porta. Hepar
memiliki 2 suplai darah dari pembuluh darah aferen, dari vena porta hepatika yang
berperan dalam membawa 75-80% darah ke hepar. Darah di vena porta yang mengandung
40% oksigen memberikan nutrisi pada parenkim hati dan hepatosit melalui sinusoid
hepar. Hepar merupakan organ penghasil cairan limfa mayor, umumnya dihasilkan di
spasium perisinusoidal dan akan melewati drainase di jaringan limfatik profunda di triad
porta intralobular.3

Gambar 1. Anatomi hepar


Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur
lobulus normal oleh proses fibrosis, dengan ciri khas berupa destruksi sel parenkim
disertai dengan regenerasi yang membentuk nodulus. Penyakit ini umumnya memiliki
periode laten yang panjang, biasanya diikuti dengan pembengkakan abdomen dengan
atau tanpa nyeri, hematemesis, edema dan ikterus. Pada stadium lanjut, gejala utamanya
berupa asites, jaundice, hipertensi portal, dan gangguan system saraf pusat yang dapat
berakhir menjadi koma hepatikum. 1,4

Sirosis dapat terjadi secara sekunder akibat kondisi lain. Umumnya sirosis
didahului oleh penyakit hati kronis. Pada negara maju, penyebab sirosis paling sering
adalah infeksi virus hepatitis C, penyakit hati alkoholik, non alcoholic steatohepatitis.
Sementara penyebab sirosis paling umum di negara berkembang adalah infeksi hepatitis
B dan hepatitis C4. Penyebab lain sirosis berupa hepatitis autoimun, primary biliary
cholangitis, primary sclerosing cholangitis, hemochromatosis, Wilson disease, alpha 1
antitrypsin deficiency, Budd-Chiari syndrome, sirosis akibat obat, dan gagal jantung
kanan kronis. Sirosis akibat penyebab yang tidak jelas disebut sirosis kriptogenik.5

Sirosis yang disebabkan konsumsi alkohol terdapat pada 13.7 per 100,000 orang
di Amerika. Pada tahun 2011, sebuah studi menunjukkan peningkatan prevalensi sirosis
dari 9% pada tahun 1996 menjadi 18.5% pada tahun 2006 di Amerika. Sedangkan di
Inggris, insidensi sirosis adalah sebesar 16.99 kasus per 100.000 penduduk pada tahun
2001. Data mengenai prevalensi sirosis hepatis masih sangat terbatas. 6Suatu penelitian
di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat 4.1% pasien
dengan sirosis selama satu tahun dari seluruh pasien penyakit dalam yang dirawat.7

Berbagai sel berperan dalam terjadinya sirosis hepar yaitu hepatosit, sel sinusoidal
seperti sel stellata, sel endotel sinusoidal dan sel kuppfer. Sel stellata membentuk dinding
sinusoid hepar dan berfungsi untuk menyimpan vitamin A. Apabila terekspos pada sitokin
inflamasi maka sel stellata akan teraktivtasi dan membentuk myofibroblast dan
mendeposisi kolagen sehingga membentuk jaringan parut fibrosis. Sel endotel sinusoidal
membentuk lapisan fenestrata yang memberikan kemampuan pertukaran cairan dan
nutrisi pada hepar terutama di sinusoid dan hepatosit. Proses defenestrasi pada dinding
sinusoidal dapat terjadi secara sekunder dari konsumsi alkohol kronis yang dapat
menyebabkan fibrosis pada perisinusoidal. Sel kuppfer adalah makrofag satelit yang
terdapat pada dinding sinusoid. Jika terekspost pada virus atau agen toksik maka sel
kuppfer akan mengeluarkan mediator yang dapat menstimulasi fibrosis. Hepatosit yang
rusak akan mengeluarkan reactive oxygen species dan inflamasi mediator yang dapat
mengaktivasi terbentuknya fibrosis. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas akibat
sirosis adalah hipertensi portal dan sirkulasi hiperdinamik. Hipertensi porta terbentuk
secara sekunder setelah terjadinya fibrosis dan perubahan vasoregulasi secara intrahepatal
atau sistemik. Sel endotel sinusoidal menghasilkan nitric oxide dan endothelin-1 yang
menyebabkan relaksasi dan kontraksi pada sinusoid. Perubahan kadar NO dan ET-1 akan
menyebabkan vasokostriksi dan resistensi vaskular intrahepatal menginisiasi terjadinya
hipertensi portal. Proses ini akan menstimulasi kompensasi pada sirkulasi sistemik dan
splanikus, terjadi produksi NO untuk menurunkan resistensi vascular sistemik,
mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosterone sehingga air dan sodium akan
diretensi. 2

Etanol diabsorbsi di usus halus dan gaster, dimetabolisme oleh alcohol dehydrogenase
menghasilkan asetaldehid, senyawa ini memiliki sifat yang sangat reaktif. Peningkatan
konsumsi etanol dapat menurunkan oksidasi asam lemak dan lipoprotein serta
meningkatkan trigliserida. Terjadi gangguan pada sintesis protein, glikosilasi dan sekresi.
Asetaldehid secara aktif berikatan dengan protein yang menganggu kerja enzim dan
merusak hepatosit, menstimulasi sel kuppfer. 8

Menurut etiologinya, sirosis di subklasfisikasikan menjadi

• Viral: hepatitis B, C, D
• Toksin: alcohol, obat-obatan
• Autoimun
• Kolestatik: primary biliary cholangitis, primary sclerosing cholangitis
• Vascular: Budd-Chiari syndrome, sinusoidal obstruction syndrome
• Metabolic: hemochromatosis, NASH, Wilson disease, defisiensi alfa-1antitripsin
Gambar 2. Etiologi sirosis

Sirosis dapat dibagi menjadi beberapa kelas sesuai dengan etiologi dan
morfologinya. Menurut morfologinya, sirosis diklasifikasikan menjadi 2,8

• Mikronoular: diameter dibawah 3mm, umumnya berupa sirosis akibat alcohol,


hemokromatosis, hepatic venous outflow obstruction, chronic biliary obstruction,
jejunileal bypass
• Makronodular: nodul irregular dengan variasi diatas 3mm diameter, umumnya
disebabkan oleh hepatitis B dan C, defisiensi alfa 1 antitripsin, primary biliary
cholangitis
• Mixed: terdapat bentuk mikro dan makronodular
Gambar 3. Gambaran etiologi sirosis dan histopatologis

Pasien dengan sirosis dapat bersifat asimptomatik atau simptomatik tergantung


dengan kondisi dan progresi penyakit, dengan tubuh kompensasi atau dekompensasi.
Pada sirosis kompensatif, pasien umumnya asimptomatik sehingga diagnosis bersifat
incidental dari hasil lab, pemeriksaan fisik atau pencitraan. Pasien dengan sirosis
dekompensata umumnya mengalami berbagai gejala dan tanda disfungsi hati dan
hipertensi portal, dapat mengalami ascites, jaundice, ensefalopati hepatikum, pendarahan
varises, karsinoma hepatoseluler. 1,2,8

Transisi sirosis kompensata menjadi dekompensata terjadi 5-7% per tahun. Pada kondisi
9
dekompensasi, akan terjadi disfungsi multi-organ. Efek sirosis pada berbagai organ
adalah sebagai berikut:

• Gastrointestinal: sirosis dapat menyebabkan hipertensi portal yang memicu


terjadinya ascites, hepatosplenomegaly, munculnya vena periumbilical abdominal
caput medusa. Varises esofagus merupakan komplikasi dari sirosis sekunder,
terjadi peningkatan sirkulasi darah kolateral. Pasien dengan riwayat alcohol
memiliki risiko untuk pertumbuhan bakteri yang lebih tinggi pada usus dan
pakreatitis kronis serta lebih berisiko untuk pembentukan gallstone.
• Hematologi: anemia dapat terjadi akibat defisiensi folat, hemolitik anemia akibat
konsumsi alcohol dan hiperslenisme. Hipersplenisme dapat menyebabkan
pansitopenia pada hipertensi portal, disertai dengan terganggunya koagulasi,
disseminated intravascular coagulation dan hemosiderosis.
• Renal: pasien sirosis lebih rawan mengaami sindrom hepatorenal sekunder akibat
hipertensi portal dan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Vasodilatasi
splanikus pada sirosis membuat penurunan aliran darah ke ginjal sehingga sistem
renin-angiotensin-aldosterone teraktivasi, menyebabkan retensi air dan natrium.
Terjadi hipoperfusi yang dapat berujung pada gagal ginjal.
• Pulmoner: manifestasi sirosis berupa sindrom hepatopulmoner, hipertensi
portopulmoner, hidrothoraks hepatic, penurunan saturasi oksigen, ventilation
perfusion mismatch, hiperventilasi
• Kulit: dapat muncul tanda khas berupa spider nevi (arteriol sentral dikeliling
pembuluh darah lebih kecil yang tampak seperti laba-laba) sekunder terhadap
kondisi hiperestrogenemia. Disfungsi hati dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hormon, terjadi peningkatan estrogen akibat dari rasio
testosterone yang meningkat. Palmar eritema juga merupakan salah satu tanda
sirosis akibat hiperestrogenemia. Dapat terjadi diskolorisasi kulit dan mukosa
menjadi kuning jika bilirubin serum meningkat >3mg/dl
• Endokrin: pasien dengan sirosis akibat alcohol dapat mengalami hipogonadisme
dan ginekomastia. Patofisiologinya multifactorial umumnya akibat
hipersensitivitas estrogen dan reseptor androgen. Disfungsi pada hipotalamus dan
pituitari dapat menyebabkan libido dan impotensipada laki-laki, hilangnya tanda
seks sekunder dan feminisasi. Pada wanita dapat terjadi pendarahan menstruasi
yang ireguler hingga infertilitas.
• Kuku: dapat ditemukan tanda clubbing, hipertrofi osteoartropati dan kontraktur
Dupuytren
• Lain-lain: fetor hepaticus dapat diamati pada pasien sirosis yang ditandai dengan
mau manis namun apek pada nafas akibat tingginya kadar dimetil sulfida dan
ketone pada darah, asterixis yaitu flapping tremor pada saat lengan diekstensikan
dan tangan dalam posisi dorsofleksi. Tanda tersebut mengarah pada ensefalopati.

Gambar 4. Patogenesis komplikasi multiorgan pada sirosis dekompensata

Pemeriksaan fisik pada pasien sirosis memiliki temuan khas penyakit hati kronis
berupa spider teleangiectasia, palmar eritema, dupuytren contracture, ginekomastia dan
atrofi testis. Tanda portal hipertensi dapat ditemukan seperti ascites, splenomegaly, caput
medusae) dan tanda ensefalopati hepatikum (kebingungan, asteriksis, fetor hepaticus),
tanda lain berupa kuning, pembesaran kelenjar parotis. 1,2

Gambar 4. Palmar eritma dan spider nevi

Temuan lab pada pasien sirosis berupa peningkatkan aminotransferase ringan-


sedang dengan kadar AST lebih tinggi daripada ALT, pada beberapa kasus kadar AST
dan ALT normal pada sirosis. Pada kondisi hepatitis kronis, rasio AST/ALT <1. Dengan
progres hepatitis kronis menuju sirosis akan terjadi perubahan pada rasio AST/ALT.
kadar ALP dan GGT dapat mengalami elevasi. Waktu PT memanjang akibat defek pada
koagulasi dan bilirubin. Kadar albumin umumnya rendah karena albumin disintesa oleh
hepar sehingga menurun akibat fungsi hepar yang menurun. Anemia pada sirosis
umumnya bersifat normokromik, pada kasus alkoholisme dapat ditemukan anemia
makrositik. Leukopenia dan trombositopenia merupakan efek sekunder terhadap
splenomegaly. Pemeriksaan serologi dan PCR untuk hepatitis viral dan antibodi autoimun
seperti anti-nuclear antibodies (ANA), anti-smooth muscle antibodies (ASMA) dan anti
liver kidney microsomal antibodies type 1 (ALKM-1) dan serum IgG untuk hepatitis
autoimun dapat diperiksa. Antibodi anti-mikrobial dapat diperiksa untuk mendeteksi
primary biliary cholangitis. Ferritin dan saturasi transferrin dapat diperiksa untuk melihat
hemochromatosis, copper urin untuk mendeteksi Wilson disease, kadar anti-1antitripsin
untuk mendiagnosa defisiensi alfa-1antitripsin, dan serum alfaprotein untuk mendeteksi
hepatoseluler karsinoma 1,2

Modalitas pencitraan dapat membantu mengakkan diagnosis sirosis seperti USG,


CT, MRI dan transient elastrography. USG merupakan alternatif yang murah, non invasif
dan lebih tersedia, dapat digunakan untuk mendeteksi nodul pada hepar dan peningkatan
ekogenisitas pada hepar sebagai tanda sirosis. CT dan MRI dapat sekaligus digunakan
untuk mendeteksi hepatoseluler karsinoma pada pasien sirosis. MRI dapat mendeteksi
kadar besi dan deposisi lemak pada hepar untuk melihat hemochromatosis dan steatosis
namun MRI mahal dan jarang tersedia di fasilitas kesehatan. Transient elastography
merupakan metode non invasif yang menggunakan gelombang ultrasonic untuk
mengukur kekakuan hepar. Biopsi hepar merupakan baku emas untuk deteksi sirosis,
dapat membantu menilai derajat inflamasi dan fibrosis 1,2
Gambar 5. Diagnosis, terapi dan prognosis sirosis sesuai penyebabnya

Kerusakan pada hepar bersifat permanen. Diperlukan pengobatan dan intervensi


untuk menghindari kerusakan hepar dan menghambat progresi sirosis. Manajemen umum
berupa pencegahan dini penyakit hepar kronis dengan menghindari alkohol, vaksinasi
HBV dan HCV, nutrisi yang baik dan diet yang seimbang, penurunan berat badan apabila
obesitas, menghindari kondisi dehidrasi, hipotensi dan infeksi. Penurunan berat badan
sebesar 7% dan diet NASH sangat penting terutama pada hepatitis akibat alkohol. Dapat
dilakukan pemantauan rutin pada fungsi ginjal dan pembentukan varises serta skrining
karsinoma hepatoseluler 2

Terapi spesifik berfokus pada etiologic penyebab sirosis seperti antiretroviral


untuk hepatitis (lamivudine, adefovir, telbivudine, entecavir dan tenofovir), steroid, dan
agen immunosupresor pada autoimun, ursodeoxycholic acid 13-15mg/kg per hari dan
obeticholic acid pada primary biliary cholangitis, kelasi copper pada penyakit Wilson dan
kelasi besi pada hemochromatosis. Transplantasi hepar diindikasikan pada pasien sirosis
dekompensata yang tidak merespon pada terapi medikamentosa. Peluang hidup 1 tahun
setelah transplantasi hepar adalah 85% dan 5 tahun sebesar 72%. 2 Pada pasien sirosis
alkoholik dapat diberikan glukokortikoid, pentoxifylline oral. Penggunaan asetaminofen
dihindari namun apabila pemberian <2g per hari tidak menjadi masalah. Interferon alfa
dapat diberikan pada hepatitis B apabila belum menjadi sirosis. Umumnya pasien sirosis
dengan hepatitis B diberikan entecavir atau tenofovir. (Harrison)

Gambar 6. Sistem penilaian Child-Turcotte-Pugh

Prognosis sirosis dengan model prediktif dengan mengestimasi kelangsungan


hidup untuk 10 tahun pada pasien sirosis sebesar 47% namun menurun menjadi 16% jika
terjadi episode dekompensata. Klasifikasi Child-Tucotte-Pugh dengan menilai albumin
serum, bilirubin, PT, ascites dan ensefalopati untuk mengklasifikan pasien sirosis menjadi
kelas A,B dan C. Modalitas lain yang dapat digunakan adalah model for end-stage liver
disease untuk prediksi mortalitas pasien sirosis dengan mengukur serum bilirubin,
kreatinin dan INR untuk mortalitas dalam 3 bulan. 2
Edukasi yang dapat diberikan pada pasien adalah istirahat yang cukup dan bahwa
perubahan pola hidup tidak dapat menyembuhkan sirosis namun modifikasi gaya hidup
dapat menunda progresi penyakit dan memperbaikin gejala yang dialami. Modifikasi
gaya hidup yang perlu dilakukan adalah menghindari konsumsi etanol, intervensi diet
seimbang tergantung kondisi klinis (diet rendah garam), menghindari kerrang dan
seafood, vaksinasi pneumonia, influenza dan hepatitis, vitamin A, laktulosa apabila
diperlukan dengan target BAB 2-3 kali sehari dan pemberian suplemen mineral. 1 Pasien
diberikan pengertian bahwa pasien sirosis dapat berisiko mengalami hepatoseluler
karsinoma dan sebaiknya dilakukan skrining setiap 6 bulan dengan USG abdomen.
Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis. [Updated 2021 Nov 5]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.

BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas pasien
Nama : Yakub Undilele
Usia : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Alamat : Olumokunde
Pekerjaan : Petani
Status : Sudah menikah

II. Anamnesis
A. Keluhan utama: badan lemas
B. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien merupakan rujukan puskesmas dengan keluhan lemas yang
dirasakan disertai rasa tidak nyaman pada perut beberapa hari sebelum
berobat ke puskesmas. Keluhan demam, nyeri kepala, batuk, sesak, mual
disangkal. Pasien sempat muntah berwarna kehitaman 2 kali, terjadi
setelah makan dan minum, BAK berwarna coklat seperti teh namun lancar,
BAB warna kehitaman 2 kali, tampak pendarahan pada gusi. Menurut
keluarga perut pasien dirasa semakin membesar sejak 3 minggu terakhir,
pasien terlihat semakin kurus. Pasien merupakan penderita hepatitis B
terdiagnosa 5 tahun yang lalu namun tidak pernah minum obat rutin.
C. Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat hepatitis B (+) sejak tahun 2017 terdiagnosa saat skrining
pemeriksaan akibat ada keluarga yang mengalami penyakit serupa,
diabetes mellitus (+) tidak rutin minum obat, riwayat muntah darah dan
BAB hitam (-), riwayat hipertensi (-), riwayat keganasan (-), riwayat
kolesterol (-), riwayat vaksin saat kecil (-)
D. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat hepatitis B (+) pada kakak laki-laki pasien, diabetes mellitus (-),
riwayat muntah darah dan BAB hitam (+) pada kakak pasien hingga rawat
inap, riwayat hipertensi, riwayat keganasan, dan riwayat kolesterol tidak
diketahui
E. Lifestyle:
Merokok (+) kurang lebih 1 bungkus per hari, alkohol (+) kadang-kadang
2 gelas sehari sejak muda, tato (-), penggunaan jarum suntik dan narkoba
(-), riwayat transfusi (-)

III. Pemeriksaan fisik


A. Status generalis
Kondisi umum : baik, tampak lemas
Kesadaran : compos mentis E4M6V5
Tekanan darah : 120/70mmHg
Nadi : 80 kali per menit
Respirasi : 21 kali per menit
Suhu : 36.6 celcius
Tinggi badan : 156cm
Berat badan : 50kg

B. Status interna
i. Kepala
Wajah : simetris
Deformitas : tidak ada
Bentuk kepala : normocephal
Rambut : hitam, lurus, pendek
Mata : konjungtiva anemis (+/+)
Sklera : ikterik (+/+)
Pupil : bulat, isokor 3mm/3mm, reflek (+/+)
Mulut : pucat (-) lidah kotor (-)
ii. Leher
Kelenjar KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
Trakea : tidak ada deviasi
Massa : tidak ada
iii. Thoraks (paru)
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
spidernevi (-) ginekomastia (-)
Palpasi : nyeri tekan (-) massa (-) fremitus vokal normal
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : vesikuler (+/+) ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
iv. Thoraks (jantung)
Inspeksi : normal
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : kardiomegali (-)
Auskultasi : S1 S2 reguler, bising (-)
v. Abdomen
Inspeksi : datar, spidernevi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : nyeri ketuk CVA (-) shifting dullness (+)
Palpasi : nyeri tekan (-) massa (-) hepar dan lien tidak teraba
vi. Ekstremitas
Atas : edema (-/-) akral hangat, CRT < 2 detik, jaundice
(+/+) clubbing finger (-) asterixis (-) motorik 5/5
Bawah : edema (-/-) akral hangat, CRT < 2 detik, jaundice
(+/+) motorik 4/4

Gambar 7. Foto pasien

IV. Pemeriksaan penunjang

Parameter Hasil Satuan

Ureum 59.2 Mg/dl

Kreatinin 0.75 Mg/dl

SGOT 109 U/L

SGPT 59.2 U/L

Glukosa 165.7 Mg/dl


sewaktu

Kalium 4.28 Mmol/L


Klorida 96.8 Mmol/L
Natrium 134.2 Mmol/L
HbsAg reaktif -
A. Laboratorium ALC 1496 Juta/L
RDW-CV 12 %
Parameter Hasil Satuan

Hemoglobin 10.6 g/dl


Eritrosit 3.07 Juta/uL
Hematokrit 32 %
Leukosit 6.8 Ribu/uL
Trombosit 42 Ribu/uL
MCV 103 fL
MCH 34 Pg
MCHC 33 g/dl
Basophil 0.8 %
Neutrofil 72.2 %
Limfosit 22 %
Eosinophil 2.9 %
Monosit 2.1 %
NLR 3.3 Cutoff
Kesan: anemia makrositik hiperromik, neutrofilia, limfositosis, trombositopenia,
hiponatremia relatif, hepatitis B

B. EKG
Gambar 8. Foto EKG pasien
Intepretasi:
Sinus rhythm, heart rate 91 kali per menit, segmen PR, QRS, ST normal

C. USG abdomen

Gambar 9. Foto USG pasien

Intepretasi:
• Hepar: ukuran dan echo parenkim heterogen, permukaan irregular,
tip tajam, tidak tampak dilatasi vascular dan bile duct
ekstra/intrahepatic, tidak tampak SOL
• Gallbladder: dinding tidak menebal, mukosa regular, tidak tampak
batu/SOL
• Pankreas: ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak
tampak SOL
• Lien: ukuran membesar, echo parenkim dalam batas normal, tidak
tampak SOL
• Ginjal kanan: bentuk, ukuran, echo kortikomedullar normal, tidak
tampak dilatasi PCS, tidak tampak echo/batu/SOL
• Ginjal kiri: bentuk, ukuran, echo kortikomedullar normal, tidak
tampak dilatasi PCS, tidak tampak echo batu/SOL
• Vesika urinaria: dinding tidak menebal, mukosa regular, tidak
tampak echo batu/SOL
• Cairan bebas pada cavum peritoneal

Kesan: tanda-tanda sirosis hepatis, splenomegali, ascites

D. Apusan darah tepi (12 Oktober 2022)


• Eritrosit: normositik normokrom, anisopoikilositosis, ditemukan
ovalosit dan sel target. Tidak ditemukan sel muda dan benda
inklusi
• Leukosit jumlah meningkat, PMN>limfosit, ditemukan granulasi
toksik, vakuolasi, peningkatan monosit dan sel batang. Tidak
ditemukan blast
• Trombosit jumlah menurun, ditemukan giant trombosit

Kesan: eritrosit dengan tanda peningkatan aktivitas hepar, leukositosis


sukpek kausa infeksi (sepsis), trombositopenia

V. Diagnosis
Hematemesis melena e.c. sirosis, hepatitis B kronik, ascites, trombositopenia,
general weakness e.c. chronic disease

Diagnosis banding
Hipertensi porta, ruptur varises esofagus

VI. Tatalaksana awal


• IVFD ringer’s lactate 20 tpm
• Tablet furosemide 20mg 2x1 (1-1-0)
• Injeksi vit K 1x1
• Injeksi omeprazole 40mg per 12 jam
• Injeksi ondansetron 4mg per 8 jam
• Drips cocktail (adona, vitamin K)
• Tablet propanolol 10mg 2x1
• Tablet spironolakton 100mg 2x1
• Tablet hepaQ 2x1
• Tablet fibumin 3x1
• Syrup episan 3x1

VII. Follow up
5 Oktober 2022

Parameter Hasil Satuan


Glukosa sewaktu 138.8 Mg/dl
Albumin 2.82 g/dl
PT 20.3 detik
INR 1.52 -
APTT 36.8 Detik

7 Oktober 2022

Parameter Hasil Satuan


Hemoglobin 10.9 g/dl
Eritrosit 3.06 Juta/uL
Hematokrit 33 %
Leukosit 4.7 Ribu/uL
Trombosit 37 Ribu/uL
MCV 108 fL
MCH 36 Pg
MCHC 33 g/dl
Basophil 1.2 %
Neutrofil 83.2 %
Limfosit 10.8 %
Eosinophil 3.1 %
Monosit 1.7 %
NLR 7.7 Cutoff
ALC 507.5 Juta/L
RDW-CV 13 %

8 Oktober 2022

Parameter Hasil Satuan


Hemoglobin 10.4 g/dl
Eritrosit 2.91 Juta/uL
Hematokrit 30 %
Leukosit 23.3 Ribu/uL
Trombosit 24 Ribu/uL
MCV 102 fL
MCH 36 Pg
MCHC 35 g/dl
Basophil 0.3 %
Neutrofil 90.4 %
Limfosit 2.9 %
Eosinophil 0.6 %
Monosit 5.8 %
NLR 31.2 Cutoff
ALC 675.7 Juta/L
RDW-CV 12 %

9 Oktober 2022
Glukosa stik: 162mg/dL
10 Oktober 2022

S: badan lemas, pendarahan gusi (+) sedikit, muntah darah (-) BAB darah (-)
nyeri perut (-) pusing kepala (-)

O: KU lemas, compos mentis GCS E5M6V5


Tekanan darah 90/48mmHg, nafas 22 kali per menit, suhu 37, nadi 91 kali per
menit
kepala: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
thoraks: vesikuler (+/+) ronkhi (-/-)
jantung: s1 s2 normal bising (-)
abdomen: datar, inspeksi spidernevi (-) caput medusa (-) bising usus (+)
menurun, perkusi dull, palpasi hepar dan lien tidak teraba
ekstremitas: clubbing finger (-) jaundice (+) akral hangat

A: sirosis hepatis, hepatitis B kronik, trombositopenia, ascites

P: terapi lanjut, tambah norepinephrine 0.2 micro/kgBB

11 Oktober 2022

S: mengigil (+) badan lemas (+) sesak (-)

O: KU lemas, compos mentis GCS E5M6V5


Tekanan darah 138/73mmHg, nafas 20 kali per menit, suhu 37.8, nadi 85 kali
per menit
kepala: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
thoraks: vesikuler (+/+) ronkhi (-/-)
jantung: s1 s2 normal bising (-)
abdomen: datar, inspeksi spidernevi (-) caput medusa (-) bising usus (+)
menurun, perkusi dull, palpasi hepar dan lien tidak teraba
ekstremitas: clubbing finger (-) jaundice (+) akral hangat

A: sirosis hepatis, hepatitis B kronik, trombositopenia, ascites


P: terapi lanjut, drip PCT 500mg/8 jam IV, vascon diturunkan menjadi
0.1micro/kgBB

12 Oktober 2022

S: penurunan kesadaran (+) tidak merespon saat diajak bicara, lemas (+)

O: KU lemas, compos mentis GCS E5M6V5


Tekanan darah 153/100mmHg, nafas 22 kali per menit, suhu 37, nadi 93 kali
per menit
kepala: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
thoraks: vesikuler (+/+) ronkhi (-/-)
jantung: s1 s2 normal bising (-)
abdomen: datar, inspeksi spidernevi (-) caput medusa (-) bising usus (+)
menurun, perkusi dull, palpasi hepar dan lien tidak teraba
ekstremitas: clubbing finger (-) jaundice (+) akral hangat

A: koma hepatikum e.c. ensefalopati hepatikum, sirosis hepatis, hepatitis B


kronik, trombositopenia

P: terapi lanjut, vascon stop, hepamers per 24 jam

13 Oktober 2022

S: penurunan kesadaran (+) tidak merespon saat diajak bicara, lemas (+)
keringat dingin (+)

O: KU lemas, compos mentis GCS E5M6V5


Tekanan darah 129/83mmHg, nafas 20 kali per menit, suhu 37.5, nadi 88 kali
per menit
kepala: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
thoraks: vesikuler (+/+) ronkhi (-/-)
jantung: s1 s2 normal bising (-)
abdomen: datar, inspeksi spidernevi (-) caput medusa (-) bising usus (+)
menurun, perkusi dull, palpasi hepar dan lien tidak teraba
ekstremitas: clubbing finger (-) jaundice (+) akral hangat

GDS 385

A: koma hepatikum e.c. ensefalopati hepatikum, sirosis hepatis, hepatitis B


kronik, trombositopenia

P: terapi lanjut, vascon stop, ryzodex 10-0-0 unit

14 Oktober 2022

S: penurunan kesadaran (+)

O: KU lemas, compos mentis GCS E5M6V5


Tekanan darah 90/48mmHg, nafas 22 kali per menit, suhu 37, nadi 91 kali per
menit
kepala: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
thoraks: vesikuler (+/+) ronkhi (-/-)
jantung: s1 s2 normal bising (-)
abdomen: datar, inspeksi spidernevi (-) caput medusa (-) bising usus (+)
menurun, perkusi dull, palpasi hepar dan lien tidak teraba
ekstremitas: clubbing finger (-) jaundice (+) akral hangat

GDS 491

A: koma hepatikum e.c. ensefalopati hepatikum, sirosis hepatis, hepatitis B


kronik, trombositopenia

P: terapi lanjut, ryzodex ditambahkan 14-0-14 unit


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien dari hasil anamnesis didapatkan temuan gejala hematemesis dan
melena, serta perut yang membesar mengarah ke ascites. Pasien memiliki riwayat
hepatitis B kronis sejak tahun 2017 terdiagnosa saat skrining akibat kakak yang
mengalami hepatitis B hingga rawat inap. Saat terdiagnosa pasien tidak mengalami gejala
apapun dan setelah terdiagnosa pasien tidak mengkonsumsi obat rutin. Pasien memiliki
faktor risiko diabetes mellitus namun tidak mengkonsumsi obat rutin, riwayat hipertensi
disangkal. Pasien merokok dan memiliki riwayat minum alkohol, namun penggunaan
narkoba, tato, jarum suntik dan transfusi disangkal. Pasien baru pertama kali mengalami
gejala saat ini dan sebelumnya merasa sehat-sehat saja.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis dan sklera ikterik. Pada
pemeriksaan organ thoraks dan jantung dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen
didapatkan shifting dullness yang mengarah ke ascites, bising usus menurun. Pada
esktremitas didapatkan jaundice dan penurunan motorik pada tungkai bawah. Tanda khas
sirosis seperti caput medusa, spider nevi, palmar eritema maupun asterixis tidak
ditemukan pada pasien.
Hasil laboratorium didapatkan anemia kesan makrositik hiperkromik, dengan
leukosit normal namun ditemukan neutrofilia, peningkatan ureum kreatinin dan SGOT
SGPT, HbsAg reaktif, dan penurunan kadar natrium dan klorida relatif. Hasil EKG pasien
normal. Hasil USG didapatkan hepar dengan ukuran dan echo parenkim heteroen,
permukaan irregular, dengan cairan bebas pada cavum peritoneal mengarah kepada
tanda-tanda sirosis hepatis, splenomegaly dan ascites.

Gambar 10. Komplikasi sirosis

Pasien dengan sirosis tahap lanjut dapat menjadi komplikasi seperti hipertensi
portal, pendarahan varises esofagus, ascites, splenomegali, ensefalopati hepatikum,
peritonitis bacterial spontan, sindrom hepatorenal.8 Pada saat rawat inap didapatkan
penurunan kesadaran pada pasien, akibat dekompensasi dari sirosis dan komplikasi
berupa ensefalopati hepatikum yang menyebabkan koma hepatikum.

Splenomegali umum ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal, disertai


dengan trombositopenia dan leukopenia. Dapat ditemukan nyeri tekan pada kuadran kiri
atas abdomen dan pembesaran lien. Splenomegali sendiri tidak membutuhkan terapi
spesifik, dapat dilakukan splenektomi pada kondisi tertentu. Ascites merupakan
akumulasi pada kavitas peritoneum. Pada hipertensi portal, terdapat peningkatan
resistensi intrahepatic dan vasodilatasi ateri splanikus, meningkatkan aliran vena porta
dan produksi cairan limfatik. Perubahan hemodinamik menyebabkan retensi sodium dan
mengaktivasi RAAS. Retensi sodium membuat akumulasi cairan dan ekspansi volume
cairan ekstrasel, menjadi ascites dan edema perifer. Hal ini diperberat oleh
hypoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik plasma yang berkontribusi dalam
hilangnya cairan dari kompartemen vascular ke kavitas peritoneal. Pada pasien dengan
ascites yang baru muncul pertama kali direkomendasikan untuk melakukan parasentesis
untuk menilai protein total, konten albumin, hitung sel darah differensial dan kultur.
Pasien dengan ascites yang sedikit dapat diberikan diet restriksi sodium saja <2g per hari.
Dapat diberikan spironolakton 100-200mg/hari dosis tunggal kemudian ditambah
furosemide 40-80mg/hari. Jika cairan ascites tetap tidak dapat dimobilisasi dari kavitas
peritoneum maka dosis spironolakton dapat ditingkatkan menjadi 400-600mg/hari dan
furosemide ditingkatkan 120-160mg/hari. Pada ascites refrakter disarankan untuk
parasentesis. Manajemen ascites sendiri tidak meningkatkan peluang hidup. Prognosis
pasien dengan sirosis <50% akan bertahan hidup 2 tahun setelah ascites muncul sehingga
dapat dipertimbangkan transplantasi hati. 8

Gambar 11. Patogenesis ascites pada sirosis

Ensefalopati hepatikum merupakan sindrom reversible yang ditemukan pada


pasien dengan disfungsi hepar berat, terdiri dari spektrum abnormalitas neuropsikiatri
yang diakibatkan oleh penumpukan substansi neurotoksik pada aliran darah dan otak.
Gejala berupa kebingungan, perubahan sifat, disorientasi dan penurunan kesadaran.
Tahap pertama berupa terbaliknya pola tidur, pasien tidur pada siang hari dan terbangun
pada malam hari. Kemudian muncul konfusi, letargis dan perubahan sifat. Pada tahap
lanjut pasien mengalami koma dan dapat berakhir pada kematian. Ensefalopati hepatikum
dapat terjadi pada 30-45% pasien penyakit hepar. Pada pasien sirosis kompensata sering
tidak mengalami gejala sehingga tidak mencari pengobatan hingga terjadinya
komplikasi.10 Ensefalopati dapat dipresipitasi oleh hipokalemia, infeksi, gangguan
elektrolit. 8
Pada kondisi normal, ammonia dihasilkan oleh bakteri pada traktus
gastrointestinal setelah pemecahan asam amino, purin dan urea diikuti oleh metabolisme
dan pembuangan dari hepar. Pada sirosis, terdapat penurunan jumlah hepatosit
fungsional, shunting menyebabkan penurunan pembuangan ammonia dan terjadi
hiperammonemia. Ammonia yang melewati blood brain barrier dapat menghasilkan efek
neurotoksik multipel, alterasi dari transpor molekul (asam amino, elektrolit, air) di astrosit
dan neuron, peningkatan glutamin oleh astrosit dan inihibisi eksitatori dan inhibitori,
peningkatan aktivitas GABA. 10

Diagnosis ensefalopati hepatikum bersifat klinis dan membutuhkan penanganan


dokter dengan pengalaman yang tinggi. Terapi ensefalopati bersifat multifactorial, berupa
manajemen dari seluruh faktor presipitasi yang dapat berpengaruh. Pada beberapa kasus
dengan hidrasi dan perbaikan imbalans elektrolit dapat membantu ensefalopati. Restriksi
diet protein tidak direkomendasikan karena risiko untuk terjadinya malnutrisi lebih tinggi
dibandingkan dengan keutungannya. Dapat diberikan laktulosa untuk membantu
mengeliminasi produk nitrogen pada sistem gastrointestinal. Dapat diberikan rifaximin
550mg 2 kali sehari dan suplementasi zinc. Terjadinya ensefalopati dapat memperburuk
prognosis sirosis. 8

DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi I, Salim S, Hidayat R, et al. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam


Panduan Praktik Klinis. 5th ed. 2015.

2. Sharma Bashar, John Savio. Hepatic Cirrhosis. Statpeals publishing, treasure island (FL),
2021.

3. Moore KL, Agur A, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy. 8th ed. Lippincott Williams
and Wilkins, 2017.

4. Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis . Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.

5. Kasper DL FAHS et al. Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies, 2015.

6. F K, T H, JR K, et al. Increasing prevalence of HCC and cirrhosis in patients with chronic


hepatitis C virus infection. Gastroenterology 2011; 140: 1182–1188.

7. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Sirosis Hati.


8. Kasper DL FAHS et al. Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies, 2015.

9. Angeli P, Bernardi M, Villanueva C, et al. EASL Clinical Practice Guidelines for the
management of patients with decompensated cirrhosis. J Hepatol 2018; 69: 406–460.

10. Mandiga P, Foris LA, Bollu PC. Hepatic Encephalopathy. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai