Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Hati merupakan organ intestinal terbesar pada tubuh manusia yang menempati
sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan memiliki banyak fungsi kompleks
yang berhubungan satu dengan yang lain. Penyakit hati dapat disebabkan oleh infeksi,
toksin, genetik dan metabolic.1

Sirosis Hepatis merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang


panjang dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim
hati.1,2,3 Sirosis Hepatis merupakan tahap akhir dari proses difus fibrosis hati yang
progresif yang ditandai dengan pembentukan nodul regeneratif. Penyakit sirosis
hepatis merupakan penyebab kematian ketiga di dunia pada penderita berusia 45-49
tahun, dengan prevalensi kasus sebesar 1,3% dan jumlah kematian sebanyak 1,03 juta
per tahunnya4,5,6.

Di Asia Tenggara, penyebab utama sirosis hepatis adalah hepatitis B dan


hepatitis C. Prevalensi sirosis hepatis di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 1,7%. 7,8
Di Indonesia, sebagian besar penyebab sirosis hepatis masih berhubungan dengan
infeksi hepatitis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 45% sirosis hepatis Indonesia
di Indonesia disebabkan oleh virus hepatitis B dan 27% oleh karena virus hepatitis
C.2,9

Angka insiden sirosis hepatis sangat berkaitan dengan kemampuan


penegakkan diagnosis sirosis hepatis, yang terkadang sulit karena pasien biasanya
baru merasakan gejala pada saat penyakit sudah memasuki fase lanjut
(dekompensata). Hasil terapi yang belum memuaskan juga turut berperan dalam
peningkatan angka insiden sirosis hepatis. Tingginya angka kematian akibat sirosis
hepatis mungkin disebabkan oleh proses penyakitnya ataupun komplikasi yang
ditimbulkan dari sirosis itu sendiri. Pemahaman yang adekuat tentang penyakit sirosis
hepatis diperlukan dalam rangka meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan dalam
mendiagnosis lebih dini dan melakukan penatalaksanaan yang tepat sehingga
komplikasi dari sirosis hepatis dapat ditekan dan kualitas hidup pasien dapat
ditingkatkan.1,2,10

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sirosis hepatis merupakan tahap akhir difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul yang regeneratif.
Gambaran morfologi dari sirosis hepatis meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif,
perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular hepatik dan
intrahepatik antara vena porta dan arteri hepatika serta vena hepatika.2,3

Penurunan fungsi hati yang permanen ditandai dengan adanya perubahan


secara histopatologi, yakni terdapat kerusakan pada sel-sel hati. Hal inilah yang dapat
merangsang proses peradangan dan perbaikan sel-sel hati yang mati sehingga
menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati beregenerasi
untuk menggantikan sel-sel yang telah mati. Dampaknya adalah akan terbentuk
sekelompok-sekelompok sel-sel hati baru (nodul-nodul regeneratif) dalam jaringan
parut.2,3

2.2 Epidemiologi

Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian keempat belas di


dunia, dengan prevalensi kasus sebesar 1,3% dan jumlah kematian sebanyak 1,03 juta
pertahunnya. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia 45-59 tahun. 4,5,6,7
Tingkat mortalitas di seluruh dunia dilaporkan meningkat menjadi 45,6% dari tahun
1990 sampai tahun 2013.12 Lebih dari 40% pasien sirosis tidak memiliki gejala. Di
Amerika, insiden sirosis hepatis diperkirakan terjadi pada 360 per 100.000 penduduk,
dimana pada tahun 2007 didapatkan 29.165 kematian penduduk yang diakibatkan
oleh sirosis hepatis dengan 48,1% diantaranya akibat alkohol. 1 Sirosis merupakan
faktor utama terjadinya karsinoma hepatoselular, dengan insiden meningkat tiga kali
lipat dari tahun 1975 sampai 2005.2

Prevalensi sirosis hepatis di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 1,7%. Secara
umum, diperkirakan angka insiden sirosis hepatis pada seluruh rumah sakit di
Indonesia berkisar antara 0,6-14,5%.7,8 Menurut laporan rumah sakit umum
pemerintah Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% dari seluruh
pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh
penyakit hati yang dirawat. Perbandingan prevalensi sirosis pada pria : wanita adalah
2,1 : 1 dan usia rata-rata 44 tahun.13

2
Penyebab utama terjadinya sirosis hepatis di negara-negara maju adalah
infeksi virus hepatitis C, penyalahgunaan alkohol dan juga perlemakan hati akan
mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH). Infeksi virus hepatitis B
dilaporkan menjadi penyebab tersering pada daerah sub-Sahara Afrika dan sebagian
besar wilayah Asia. Prevalensi sirosis hepatis sendiri sulit untuk dinilai dan
diperkirakan lebih besar dari yang dilaporkan karena pada stadium awal penyakit ini
umumnya asimptomatis sehingga penyakit ini sulit untuk didiagnosis.6,14,15

2.3 Etiologi

Penyebab sirosis hepatis bermacam-macam, terkadang sirosis hepatis


disebabkan oleh lebih dari satu pencetus. Di negara Amerika, alkoholisme kronik
merupakan penyebab tersering dari sirosis hepatis. Di Asia Tenggara, sirosis hepatis
lebih banyak disebabkan oleh virus hepatitis B dan hepatits C

Tabel 1. Etiologi Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronis2

Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomiasis
Toksoplasmosis
Virus hepatitis (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)
Penyakit keturunan dan metabolic
Defisiensi α1-antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fruktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit Wilson
Obat dan toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer

3
Kolangitis sklerosis primer
Penyakit lain atau tidak terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis

2.4 Patogenesis

Mekanisme terjadinya sirosis hepatis antara lain, kematian sel-sel hepatosit,


regenerasi dan fibrosis progresif. Kegagalan sel hepar (hepatosit) pada sirosis
merupakan hasil yang didapat dari proses patologis yang diawali pada tingkat
molekuler. Hepar dibentuk oleh sel parenkim (hepatosit) dan sel lainnya yang disebut
kelompok sel non-parenkimal, terdiri dari liver sinusoidal endothelial cells (LSECs),
sel Kupffer dan hepatic stellate cells (HSCs). Sel Kupffer merupakan makrofag
terspesialisasi yang berlokasi di dinding sinusoid hepar, apabila teraktivasi oleh
infeksi virus, alkohol, diet tinggi lemak atau deposisi besi akan menghancurkan
hepatosit dengan cara memproduksi mediator inflamasi dan bertindak sebagai
Antigen-Presenting Cells (APCs) selama infeksi viral berlangsung. Peran LSECs
dalam menimbulkan kegagalan sel hepar adalah melalui pengaktifan HSCs. Akibat
adanya infeksi, LSECs akan menyekresikan sitokin IL-33 yang nantinya akan
mengaktifkan HSCs dan menginduksi adanya fibrosis. Proses tersebut akan
menyebabkan terjadinya defenestrasi dan kapilarisasi LSECs, yang secara akumulatif
akan menyebabkan disfungsi hepatosit atau disebut kegagalan sel hepar.10

Salah satu akibat yang ditimbulkan adalah gagalnya sel hepar untuk
membuang bilirubin dari darah dan menyebabkan adanya manifestasi klinis berupa
icterus. Akibat selanjutnya dari kegagalan sel hepar adalah menurunnya kemampuan
sel hepar mengubah estrogen dan derivatnya, sehingga menyebabkan
hiperestrogenisme. Adapun gejala kegagalan sel hepar yang disebabkan oleh
gangguan hiperestrogenisme adalah eritema palmaris, kerontokan rambut pada tubuh,
spider naevi dan ginekomastia. Pada pasien ditemukan keluhan yang terkait dengan
kegagalan fungsi hepar, yaitu kuning pada kedua mata dan kulit seluruh tubuh, perut
yang membesar dan bengkak pada kaki kanan dan kiri, pembesaran payudara kanan
dan kiri dan keluar darah dari hidung.2,16

Penyebab kedua dari timbulnya manifestasi klinis pada sirosis hati adalah
hipertensi porta. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi
vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta. Secara

4
anatomi, sistem porta terdiri dari semua vena yang mengangkut darah dari vena
gastrika, vena mesenterika inferior (mengangkut darah dari kolon desenden dan
rektum), vena mesenterika superior (mengangkut darah dari usus halus, kolon
asenden dan caput pankreas) dan vena lienalis. Manifestasi klinis yang ditemui pada
pasien sesuai dengan vena yang terlibat dalam patogenesisnya.2

Gambar 1. Patogenesis Sirosis Hepatis2

Dewasa ini, patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir,


memperlihatkan adanya peranan sel stelata. Dalam keadaan normal sel stelata
mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan
proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses
keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus
(misal virus hepatitis, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel
yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus
di dalam sel stelata dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat.2,9,10

2.5 Klasifikasi

5
Secara klinis sirosis dapat dapat dibedakan menjadi sirosis kompentasa (gejala
klinis belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata (gejala dan tanda klinis
jelas).

1. Sirosis Kompensata
Kebanyakan bersifat asimtomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui
pemeriksaaan fungsi hati. Bila ada gejala yang muncul berupa kelelahan
nonspesisik, penurunan libido atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis
juga seringkali belum tampak pada tahap ini. Sebenarnya sektar 40% kasus sirosis
kompentasa telah mengalami varises esofagus, namun belum menunjukkan tanda-
tanda perdarahan.
2. Sirosis Dekompensata
Disebut sirosis dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu dari manifestasi
berikut, ikterus, asites dan edema perifer, hematemesis melena (akibat perdarahan
esofagus), jaundice atau ensefalopati (baik tanda dan gejala minimal hingga
perubahan status mental). Asites merupakan tanda dekompensata yang paling
sering ditemukan (sekitar 80%). Selain itu, tedapat beberapa stigma sirosis lainnya
yang dapat diidentifikasi, antara lain:
a. Tanda gangguan endokrin:
i. Spider angioma, gambaran seperti laba-laba dikulit, terutama daerah leher,
bahu dan dada.
ii. Eritema palmaris pada tenar dan hipotenar
iii. Atrofi testis, sering disertai penurunan libido dan impotensi
iv. Ginekomastia
v. Alopesia pada dada dan aksila
vi. Hiperpigmentasi kulit, diduga akibat peningkatan kadar melanocyte-
stimulating hormone (MSH).
b. Kuku Muchrche. Gambaran pita putih horizontal yang memisahkan warna
kuku normal
c. Kontraktur Dupuytren. Penebalan fasia pada palmar (terutama pada sirosis
alkoholik)
d. Fetor hepatikum. Bau napas khas akibat penumpukan metionin (gagal
dimetabolisme) atau akibat peningkatan konsentrasi dimetilsulfida akibat pirau
portosistemik yang berat
e. Atrofi otot
f. Petekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia koagulopati berat
g. Splenomegali

6
h. Pemeriksaan palpasi hati sangat bervariasi, mulai dari tidak ditemukan
pembesaran hati, lobus kiri hati yang dapat teraba lunak (khas sirosis), atau
teraba nodul dengan konsistensi keras.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Sirosis hepatis sering disebut sebagai silent disease, dengan sebagian besar
pasien tidak menunjukkan gejala apapun sampai proses dekompensasi terjadi. Maka
dari itu perlu dilakukan anamnesis yang akurat tentang faktor-faktor risiko yang
mempengaruhi pasien sirosis hepatis. Kuantitas dan durasi konsumsi alkohol
merupakan faktor penting dalam diagnosis awal sirosis. Selain itu, riwayat transmisi
virus hepatitis B dan hepatitis C (misal kelahiran di daerah endemis, hubungan
seksual berisiko, penggunaan obat intranasal atau intravena, tindik badan atau tato,
kontaminasi dengan darah atau cairan tubuh lainnya), sejarah transfusi dan riwayat
penyakit autoimun terdahulu serta riwayat penyakit hati atau autoimun di keluarga.2

Berdasarkan anamnesis biasanya pasien datang ke tempat pelayanan


kesehatan dengan keluhan berupa: merasa badan cepat lelah, nafsu makan berkurang
mudah kenyang,badan mengurus, rasa tidak enak di epigastrium, kembung, mual,
sakit perut kanan atas, sklera mata tampak kekuningan, kelemahan otot, buang air
kecil berwarna gelap seperti teh, gatal-gatal, serta jika keadaan berlanjut akan
terdapat riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas seperti muntah dan buang air
besar berisikan darah hingga penurunan kesadaran. Selain itu juga terdapat riwayat
perut membesar (asites) dan bengkak pada tungkai bawah.2

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan sirosis hepatis biasanya menunjukkan


gejala kegagalan fungsi hati serta terdapat tanda-tanda hipertensi porta dimana
diantaranya sebagai berikut.1,2,16,17

a. Tanda-tanda kegagalan fungsi hati


Tanda-tanda kegagalan fungsi hati meliputi adanya gambaran spider naevi
yang berupa lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini
sering ditemukan di bahu, muka dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum
diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil,malnutrisi
berat, terkadang bisa juga ditemukan pada orang sehat namun dengan ukuran lesi
kecil.

7
Eritema palmaris, warna merah saga pada tenar dan hipotenar telapak tangan.
Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.Tanda ini
juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis rematoid,
hipertiroidisme dan keganasan hematologi. Ginekomastia secara histologis berupa
proliferasi jinak jaringan kelenjar mamae laki-laki, kemungkinan akibat
peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada
dan aksilla pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah lebih
feminim. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga
diduga fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini
menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Fetor hepatikum, yakni
merupakan bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat. Ikterus pada
kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang
dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap, seperti air teh. Adanya
kecenderungan untuk lebih mudah mengalami perdarahan maupun anemia. Hal ini
dikarenakan menurunnya produksi faktor pembekuan darah yang dihasilkan dihati
sehingga memudahkan untuk terjadinya perdarahan yang berujung pada
berkurangnya darah.

b. Tanda-tanda adanya hipertensi porta

Pada pasien dengan sirosis hepatis adalah ditemukannya, splenomegali,


varises esofagus, asites, caput medusa. Hepar pada sirosis hepatis biasanya akan
teraba keras dan bernodul. Splenomegali yang disebabkan oleh shunting darah ke
dalam vena lienalis pada hipertensi porta. Varises vena esofagus, disebabkan oleh
suatu anastomosis aliran darah dari vena porta menuju vena esofagus akibat dari
tingginya tekanan alirah darah yang melalui sinusoid hati sehingga berakibat pada
pembesaran pembuluh vena diesofagus. Apabila tidak segera ditangani maka
terdapat kecenderungan untuk pecah dan terjadi perdarahan yang masif berupa
hematemesis maupun melena.

8
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang membantu diagnosis sirosis hepatis maupun


komplikasinya meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologi dan histopatologi.1,2,17,19

a. Pemeriksaan laboratorium

 Urin

Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Na dalam urin akan
berkurang (kurang dari 4 mEq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi sindrom
hepatorenal.

 Tinja

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi


pigmen empedu rendah. Sterkobiliniogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam
usus akan diubah menjadi sterkobilin, yaitu suatu pigmen yang menyebabkan
tinja berwana cokelat atau kehitaman.

 Darah

Biasanya dijumpai anemia normokromik normositer yang ringan, kadang-kadang


dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folat dan vitamin
B12 atau karena splenomegali. Bila mana penderita pernah mengalami
pendarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi anemia hipokromik. Pada
pasien dapat juga dijumpai leukopenia bersamaan dengan adanya
trombositopenia.

 Tes faal hepar

Enzim aspartat amino transferase (AST) atau serum glutamil oksaloasetat


transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil
piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST lebih
meningkat dari pada ALT, namun bila transaminase normal tidak mengeliminasi
diagnosis sirosis. Alkali fosfatase meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal.
Konsentrasi yang tinggi biasanya bisa ditemukan pada pasien kolangitis sclerosis
primer dan sirosis bilier primer. Konsentrasi gamma-glutamil transpeptidase
(GGT) tinggi pada penyakit hati alkohol kronik, karena alkohol selain
menginduksi GGT mikrosomal penyakit hati alkoholik kronik, karena alkohol
selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik juga dapat menyebabkan bocornya

9
GGT dari hepatosit. Konsentrasi bilirubin bisa normal pada sirosis hepatis
kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin yang
sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan
perburukan sirosis. Konsentrasi globulin meningkat pada sirosis yang terjadi
sekunder akibat dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan
limfoid, selanjutnya menginduksi produksi imunoglobulin.

Waktu protrombin mencerminkan derajat atau tingkatan disfungsi sintesis hati


sehingga pada sirosis hepatis akan terlihat memanjang. Kadar serum natrium
menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan
ekskresi air bebas.

 Serologis

Pemeriksaan serologis yang dimaksud dapat meliputi pemeriksaan HBsAg


maupun anti HCV untuk mencari tahu apakah virus hepatitis merupakan faktor
predisposisi terhadap terjadinya sirosis hepatis.

b. Pemeriksaan radiologi

 Foto thoraks

Pemeriksaan foto thoraks bertujuan untuk mencari tahu apakah terdapat


komplikasi seperti edema paru.

 Barium meal

Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi


adanya hipertensi porta.

 Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi (USG) yang dikombinasikan dengan color flow Doppler adalah


alat pencitraan paling berguna bagi pasien sirosis. Pemeriksaan USG dapat
melihat karateristik dari morfologi sirosis termasuk batas dari nodul-nodul,
strukturnya dan tanda-tanda hipertensi porta.

 Tomografi komputerisasi (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI)

Sangat terbatas penggunaannya karena biayanya yang relatif mahal.

c. Biopsi hati

10
Biopsi hati sebenarnya tidak diperlukan, bahkan kontraindikasi bila diagnosis
sirosis hepatis dapat ditegakkan dengan temuan klinis dan pencitraan. Biopsi
hanya diindikasikan bila penyebab sirosis tidak dapat ditentukan atau stadium
penyakitnya belum dapat ditegakkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan
sebelumnya dan untuk mencari tahu apakah terdapat tanda-tanda keganasan pada
sel hati tersebut.

Tabel 2. Ringkasan Penegakan Diagnosis Sirosis Hepatis14

Pemeriksaan Hasil yang mngkin didapat


1. Anamnesis Lesu, BB turun, anoreksia-dispepsia,
nyeri perut, ikterus (BAK coklat dan
mata kuning), perdarahan gusi, perut
membuncit, libido menurun, konsumsi
alkohol, riwayat kesehatan yang lalu
(sakit kuning, dll), riwayat muntah darah
dan feses kehitaman
2. Pemeriksaan Fisik - Keadaan umum dan nutrisi
- Tanda gagal fungsi hati
- Tanda hipertensi portal
3. Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Tepi Anemia, leukopenia, trombositopenia,
 Kimia Darah PPT
Bilirubin, transaminase (hasil bervariasi),
alkali fosfatase, albumin-globulin,
elektroforesis protein serum, elektrolit
 Serologi (K, Na, dll) bila ada asites
- HBsAg dan anti HCV
- Afp
4. Endoskopi saluran cerna atas Varises, gastropati
5. USG/CT scan Ukuran hati, kondisi vena porta,
splenomegali, asites, dll
6. Laparoskopi Gambaran makroskopik visualisasi
langsung hepar
7. Biopsi hati Dilakukan bila koagulasi memungkinkan
dan diagnosis masih belum pasti
8. Foto Toraks Untuk mencari tahu komplikasi dari
sirosis hepatis seperti edema paru dan
sebagainya

11
2.7 Penatalaksanaan

Umum penatalaksanaan sirosis dapat dibagi berdasarkan klasifikasi


fungsionalnya, yaitu pada sirosis kompensata dan sirosis dekompensata. Prinsip
penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi fungsional tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.

2.7.1 Penatalaksanaan Sirosis Kompensata

Prinsip penatalaksanaan pasien sirosis kompensata adalah mengurangi


progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, antara
lain alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dihentikan penggunaannya. Jika
penyakit hepatitis B diketahui sebagai etiologi maka dua golongan obat, yaitu
interferon (IFN) alfa dan analog nukleosida merupakan terapi utama. Golongan
analognukleosida, meliputi lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, tenofovir dan
emtricitabin.4 Apabila etiologi sirosis hepatis diketahui oleh karena hepatitis C
kronik, maka kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. 16
Menurut WHO, terdapat tujuh agen antivirus (lamivudin, adefovir,entecavir,
telbivudin, tenofovir, emtricitabindan PEG-IFN) yang saat ini diakui dalam
pengobatan hepatitis B kronik dan telah terbukti dapat menurunkan progresivitas
sirosis hepatis serta menurunkan insiden karsinoma hepar. Pemberian analog
nukleosida yang tergolong high barrier to drug resistance, seperti tenofovir dan
entecavir, direkomendasikan oleh WHO sebagai terapi utama hepatitis B kronik.
Lamivudin, adefovir dan telbivudin saat ini sudah tidak direkomendasikan sebagai
terapi utama hepatitis B kronik karena memiliki ketahanan yang rendah terhadap
resistensi obat atau sering disebut sebagai golongan low barrier to drug resistance.4

Pemilihan golongan obat hepatitis B kronik, IFN-alfa atau analognukleosida,


didasarkan atas beberapa pertimbangan. IFN-alfa mengharuskan administrasi obat
secara intravena dan harga sangat mahal serta efek samping obat yang dihasilkan
lebih sering terjadi. Namun, IFN-alfa diketahui dapat mencapai kadar HbeAg dan
HbsAg (-) dan tidak menyebabkan resistensi obat. Keuntungan analog nukleosida dari
IFN-alfa adalah administrasi obat dapat per oral satu kali sehari. Selain itu, analog
nuleosida juga memiliki efek samping obat yang lebih ringan. Adapun dosis tenofovir
yang dapat diberikan pada penderita hepatitis Bkronik adalah 1 x 300 mg/hari
sedangkan dosis pegylated IFN-alfa adalah 1 x 180μg/minggu. 4 Pada pengobatan
fibrosis hati maka pengobatan antifibrosis pada saat inilebih mengarah kepada
inflamasi dan tidak terhadap fibrosis. Namun di masa mendatang sel stelata dapat
dipergunakan sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan
terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivitas sel stelata bisa merupakan salah

12
satu pilihan. Interferon memiliki aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan
pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek antiinflamasi serta mencegah
pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai antifibrosis
dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai antifibrosis.1

2.7.2 Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata

Penatalaksanaan pada sirosis dekompensata dapat meliputi upaya konservatif


untuk meredakan gejala yang dialami pasien serta pengaturan pola makan dan
pengobatan yang dapat diberikan. Pada gejala asites maka tirah baring serta diet
rendah garam yakni dengan konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90mmol/hari
dapat diberikan di awal. Diet rendah garam dikombinasikan dengan obat-obatan
diuretik dimana awalnya dapat diberikan pemberian spironolakton dengan dosis 100-
200 mg sehari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari bila terdapat edema kaki. Apabila
pemberian spironolakton tidak adekuat maka dapat dikombinasikan dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya
bila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160mg/hari. Namun apabila asites sangat
besar maka dapat dilakukan tindakan parasentesis. Pengeluaran asites dapat dilakukan
hingga 4-6 liter dan untuk mencegah hipovolemik dengan pemberian albumin.16

Jika terdapat komplikasi berupa ensefalopati hepatik (EH), maka laktulosa


merupakan lini pertama. Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan
uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.
Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normalyang digunakan
sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan
bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga
memberikan ion hidrogen pada ammonia sehingga terjadi perubahan molekul dari
amonia (NH3) menjadi ion amonium(NH4). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari
darah menuju lumen.9,10

Sedangkan pemberian pemberian antibiotik ditujukan untuk menurunkan


produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab
menghasilkan amonia. Antibiotik yang diberikan saat ini adalah rifaximin. Untuk diet
protein dapat dikurangi hingga 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan
yang kaya asam amino rantai cabang.

Penanganan varises esofagus sebelum terjadi perdarahan maupun sesudah


perdarahan dapat diberikan obat β-blocker. Waktu perdarahan akut dapat diberikan
preparat somatostatin atau oktreotid kemudian diteruskan dengan tindakan
skleroterapi atau ligasi endoskopi.16

13
Pada komplikasi peritonitis bakterial spontan (PBS) dapat diberikan
antibiotik, seperti sefotaksim intravena, amoksisilin atau aminoglikosida. Pengobatan
PBS biasanya menggunakan antibiotik golongan sefalosporin generasi III, seperti
sefotaksim secara parenteral (2x2 gr/hari) selama lima hari. Pengobatan selanjutnya
berdasarkan pada hasil kultur dan tes sensitivitas antibiotik terhadap cairan asites.16

2.8 Komplikasi

Morbiditas dan mortalitas sirosis hepatis menjadi tinggi akibat komplikasinya.


Kualitas hidup pasien sirosis hepatis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasi tersebut. Adapun beberapa komplikasi dari sirosis hepatis,
meliputi.19,20,21,22

1. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)


Pada sirosis, cairan yang mengumpul di dalam perut tidak mampu untuk
melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-
bakteri menemukan jalan mereka dari usus kedalam asites. Oleh karenanya,
infeksi di dalam perut dan asites, dirujuk sebagai PBS. PBS merupakan suatu
komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa gejala yang muncul adalah
demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut, diare serta
memburuknya asites.
2. Ensefalopati hepatik
Protein yang bersumber dari makanan ketika memasuki saluran pencernaan
selain diabsorpsi untuk memenuhi kebutuhan tubuh juga akan dimetabolisme
oleh bakteri flora usus normal. Metabolisme tersebut akan menghasilkan zat
sisa yakni ammonia yang kemudian akan ikut terabsorpsi menuju aliran vena
porta menuju hati untuk didetoksifikasi. Namun, oleh karena fungsi hati pada
sirosis menurun, amonia akan terakumulasi dalam darah. Meningkatnya
permeabilitas sawar darah otak untuk amonia menyebabkan toksisitas amonia
terhadap astrosit yang berujung pada fungsi otak terganggu, dan dikenal
dengan istilah ensefalopati hepatik.
3. Sindrom hepatorenal
Pada pasien dengan sirosis hepatis yang memburuk dapat menimbulkan
sekumpulan gejala khas yang dikenal dengan sindrom hepatorenal. Sindrom
ini merupakan suatu komplikasi yang serius dimana fungsi dari ginjal telah
berkurang. Hal ini menekankan pada defek fungsi ginjal dengan tanpa
kerusakan struktural pada ginjal. Akibat yang ditimbulkan meliputi kegagalan
yang progresif dalam membersihkan darah serta menghasilkan produksi urin
yang memadai meskipun beberapa fungsi penting lain dari ginjal, seperti
retensi garam masih dapat dipertahankan.

14
2.9 Prognosis

Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,


meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang
menyertai. Klasifikasi Child Turcotte Pugh (CTP) juga untuk menilai prognosis
pasien sirosis hepatis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi
bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati serta INR. Klasifikasi ini
terdiri dari CTP A, B dan C. Kategori CTP A apabila mendapatkan skor 5-6, CTP B
bila mendapatkan skor 7-9 dan CTP C dengan skor 10-15. Pasien yang termasuk
dalam kategori CTP A masih berada dalam fase kompensata sedangkan kategori CTP
B dan C sudah dalam fase dekompensata. Klasifikasi CTP berkaitan dengan
kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien
dengan kategori CTP A, B dan C berturut-turut yakni 100%, 80% dan 45%.2,3,5,14

Tabel 3. Klasifikasi Child Turcotte Pugh (CTP) Pasien Sirosis hepatis dalam
Terminologi Cadangan Fungsi Hati2,3

Derajat Kerusakan 1 2 3
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Asites Nihil Mudah dikontrol Sukar
Ensefalopati (derajat) Nihil Minimal I-II Berat/koma (III-IV)
INR <1,8 1,8-2,3 >2,3

Pada umumnya mortalitas hanya terjadi setelah pasien mengalami fase


dekompensata. Untuk sirosis kompensata saja, angka kelangsungan hidup selama 10
tahun diperkirakan sekitar 90%, namun angka kejadian terjadinya fase dekompensata
dalam 10 tahun tersebut meningkat hingga 50%. Selain itu, angka kejadian karsinoma
hepatoselular dilaporkan konstan 3% per tahun dan berkorelasi dengan prognosis
yang buruk pada setiap stadium karsinoma hepatoselular.5

Tabel 4. Prognosis Sirosis Hati Berdasarkan Kondisi Klinis5

Stadium Kompensasi Mortalitas 1 Tahun


Stadium 1 Terkompensasi, tanpa varises esophagus 1% per tahun
Stadium 2 Kompensasi dengan varises 3-4%
Stadium 3 Dekompensasi dengan asites 20%
Dekompensasi dengan perdarahan

15
Stadium 4 gastrointestinal 57%
Stadium 5 Infeksi dan gagal ginjal 67%

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. M

16
No.RM : 551843
Status perkawinan : Menikah
Tempat & tanggal lahir : 01-12-1983
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin. : Laki-laki
Alamat. : Bonggo
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Tanggal MRS : 19-11-2021

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


A. Keluhan Utama:
Bengkak dikedua tungkai dan perut.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Abepura dengan rujukan dari Puskesmas
Bonggo, pasien mengeluh bengkak dikedua tungkai ± 3 minggu lalu, bagian perut
juga membesar dan terasa nyeri disertai dengan sesak, mual, muntah, nyeri ulu hati,
dan penurunan berat badan yang signifikan, sering merasa lemas. Pasien juga
mengaku BAB berwarna hitam sudah sejak 3 bulan yang lalu sampai saat ini. Pasien
merupakan perokok aktif dan sering mengkonsumsi minuman beralkohol semasa
muda sejak pasien berusia 25 tahun dan baru berhenti 2 tahun ini.
Keluhan lainnya seperti demam (-), batuk (-), Makan dan Minum baik, BAK
dan BAB normal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Sakit Ginjal (-)
- Riwayat Hipertensi (+)
- Riwayat Asam Urat (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat Penyakit Jantung (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama seperti pasien.

E. Kebiasaan
Pasien mengaku sering mengkonsumsi makanan berlemak, dan jarang
mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Pasien tidak pernah berolah raga

17
secara rutin, mempunyai kebiasaan merokok sewaktu muda dan mengkonsumsi
minuman beralkohol.

A. Pemeriksaan Fisik
1. Status Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Tekanan Darah : 144/86 mmHg
Nadi : 90x/menit
Respirasi : 26x/menit
Suhu : 37,1°C
2. Status Interna
 Kepala/leher
Mata : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik(+/+), Edema
Palpebra(-/-)
Hidung : Deformitas (-), secret (-)
Telinga : Deformitas (-), secret (-)
Mulut : Deformitas (-), Bibir sianosis (-), Oral Candidiasis (-), ulserasi (-)
hipertrofi gusi (-), atrofi papil lidah (-),
Leher : Trakea di tengah, Pembesaran KGB (-)
 Thorax
Pulmo : Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas, jejas (-)
Palpasi : Vocal Fremitus D=S
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SN vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing(-/-)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikula
sinistra
Perkusi : Batas kanan jantung ICS IV linea parasternal
dextra
Batas kiri jantung ICS V linea midclavicula
sinistra
Auskultasi : BJ I–II regular, murmur (-), Gallop (-).
 Abdomen : Inspeksi : Cembung (+), venektasi (+), Caput Medusa (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal: 2-3x/15 detik
Palpasi : Distended (+), Nyeri tekan (-), ascites (+),
Perkusi : Timpani (+), Shifting Dullness (+)
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (+/+), Ulkus (-/-), CRT >2’
 Vegetatif : Makan dan Minum menurun, BAB/BAK dalam batas normal

18
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium Pada saat di IGD RSUD Abepura (19/11/2021):
Jenis
Sampel pemeriks Hasil Nilai Rujukan Satuan
aan
HGB 5,7 11,0-16,5 g/dl
RBC 1,63 3,69-5,46 106/mm3
HCT 16,5 35,2-46,7 %
PLT 18 172-378 10 /mm3
3
Darah
MCV 101,2 86,7-102,3 fL
Lengka
MCH 35,0 27,1-32,4 Pg
p
MCHC 34,5 29,7-33,1 g/dL
WBC 2,26 3,37-8,38 103/mm3
DDR Negatif Negatif
GDS 90 <200 mg/dl
SGOT/
42 10-40,0 U/L
AST
Asam
3,4-7,0 Mg/dl
Urat
Kimia BUN 7,0-18,0 mg%
lengkap Kreatini
1,32 0,8-1,5 mg%
n
SGPT 20 <=40 Mg/dl
Albumin 2,2 3,5-5,2 g/dl

Natrium
135,0 135-148 mEq/L
darah
Elektro Kalium
4,44 3,50-5,30 mEq/L
lit darah
CL
112,0 98-106 mEq/L
Darah

Koagul PT 10,2-12-1 Detik


asi APTT 24,8-34-4 Detik

19
Imunol Non
HbsAg Non reaktif
ogi reaktif
Tes
VCT
Non reaktif
Antibo
di
Rapit
tes
antigen Negatif Negatif
SARS-
COV -2

Diagnosis dari IGD:


Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis:
- Edema tungkai ec susp hipoalbumin
- Anemia berat
- Pansitopenia
- Hipertensi
- Riwayat melena susp asites
Tatalaksana dari IGD:
- IVFD NaCL 0,9% 12 tpm
- Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam/ IV
- Amlodipin 1x10 mg
- Pasang 02 3lpm nasal

2. Pemeriksaan USG Abdomen (22/11/2021)

20
Kesimpulan: Tampak Hepar membesar, sudut tajam, permukaan rata, tekstur
parenkim homogeny halus, kapsul tidak menebal, tidak tampak bayangan
nodul/massa. Vena porta sedikit melebar, dan vena hepatica tidak melebar.
Tampak koleksi cairan disekitarnya, Hepatomegali dengan pelebaran vena
porta disertai acites ec cirosis hepatis.

3. Perjalanan Penyakit (Follow Up)

21
Tanggal Catatan Tindakan
23 Nov S: Kepala terasa berat, lemas, perut kembung P:
2021 dan kedua kaki bengkak, BAB Hitam. 1. IVFD NaCl 0,9% 12
O: KU: TSS, Kesadaran: Compos mentis tpm
GCS: E4V5M6 2. Inj. Omeprazole 1
TD: 132/81, N:77x/m, S:36,7°C, R:20x/m vial/12 jam/IV
SpO2: 97% 3. Amlodipin 1x10 mg
K/L: CA(+/+), SI(+/+), OC(-) 4. Propanolol 3x10 mg
- Thorax 5. Onoiwa 3x1 mg
Pulmo :
- Inspeksi: Simetris, ikut gerak nafas
- Palpasi : Vocal Fremitus D=S
- Perkusi : Sonor/sonor
- Auskultasi: SN vesikuler, Rhonki (-/-)
, Wheezing (-/-)
Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
linea midclavikula sinistra
- Perkusi : Dalam Batas Normal
- Auskultasi: BJ I–II regular, murmur (-),
Gallop (-).
- Abdomen :
- Inspeksi : Tampak Cembung
- Auskultasi : Bising Usus (+)
- Palpasi : Distended (+), Nyeri
tekan (+),
Hepar /Lien (ttb)
- Perkusi : Redup
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (+),
Ulkus (-/-),CRT >2’
 Vegetatif : Makan dan Minum
sedikit, BAB dan BAK dalam batas
normal
A :
1. Cirosis Hepatis
2. Anemia Berat
3. Melena
4. Hipertensi grade I

22
24 Nov S: Kepala terasa berat, lemas, perut kembung P:
2021 dan kedua tungkai bengkak, BAB Hitam 1. IVFD NaCl 0,9% 12
O: KU: TSS, Kesadaran: Compos Mentis tpm
GCS: E4V5M6 2. Inj. Omeprazole 1
TD: 132/81mmHg, N:77x/m, S:36,7°C, vial/12 jam/IV
R:20x/m, SpO2: 97% 3. Amlodipin 1x10 mg
K/L: CA(+/+), SI(+/+), OC(-) 4. Propanolol 3x10 mg
- Thorax 5. Onoiwa 3x1mg
Pulmo : 6. Transfusi PRC 2 kolf
- Inspeksi: Simetris, ikut gerak nafas
- Palpasi : Vocal Fremitus D=S
- Perkusi : Sonor/sonor
- Auskultasi: SN vesikuler, Rhonki (-),
Wheezing (-/-)
Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
linea midclavikula sinistra
- Perkusi : Dalam Batas Normal
- Auskultasi: BJ I–II regular, murmur (-),
Gallop (-).
- Abdomen :
- Inspeksi : Tampak cembung
- Auskultasi : Bising Usus (+)
- Palpasi : Distended (+), Nyeri
tekan(-)
Hepar /Lien (ttb)
- Perkusi : Redup
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (+),
Ulkus (-/-),CRT > 2’
 Vegetatif : Makan dan Minum baik ,
BAB dan BAK dalam batas normal
A :
1. Cirosis Hepatis
2. Anemia Berat
3. Melena
4. Hipertensi grade I
25 Nov S: Kepala terasa berat, Perut terasa kembung, P:
2021 kedua kaki bengkak, BAB hitam. 1. Furosemid 2x1

23
O: KU: TSS, Kesadaran: Compos mentis 2. Omeprazole 2x1
GCS: E4V5M6 3. Kalnex 3x1
TD: 120/84, N:73x/m, S:36,4°C, R:20x/m 4. Spironolakton 1x25 mg
SpO2: 98% 5. Curcuma 3x1
K/L: CA(+/+), SI(+/+), OC(-) 6. Aspar K 1x1 mg
- Thorax 7. Amlodipin 1x10 mg
Pulmo : 8. Onoiwa 3x2 mg
- Inspeksi: Simetris, ikut gerak nafas 9. Propanolol 3x1 mg
- Palpasi : Vocal Fremitus D=S
- Perkusi : Sonor/sonor
- Auskultasi: SN vesikuler, Rhonki (-),
Wheezing(-/-)
Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
linea midclavikula sinistra
- Perkusi : Dalam Batas Normal
- Auskultasi: BJ I–II regular, murmur (-),
Gallop (-).
- Abdomen :
- Inspeksi : Tampak cembung,
- Auskultasi : Bising Usus (+)
- Palpasi : Distended, Nyeri
tekan(-),
Hepar /Lien (ttb)
- Perkusi : Redup
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (+),
Ulkus (-/-),CRT > 2’
 Vegetatif : Makan dan Minum baik ,
BAB dan BAK dalam batas normal
A :
1. Cirosis Hepatis
2. Anemia Berat
3. Melena
4. Hipertensi grade 1
26 Nov S: Bengkak pada kedua kaki, Perut Kembung, P:
2021 BAB Hitam. 1. Furosemid 2x1
O: KU: TSS, Kesadaran: Compos Mentis 2. Omeprazole 2x1
GCS: E4V5M6 3. Kalnex 3x1

24
TD: 115/74 mmHg, N: 64x/m, S: 36,3°C, 4. Spironolakton 1x25 mg
R:22x/m, SpO2: 99% 5. Curcuma 3x1
K/L: CA(+/+), SI(+/+), OC(-) 6. Aspar K 1x1 mg
- Thorax 7. Amlodipin 1x10 mg
Pulmo : 8. Onoiwa 3x2 mg
- Inspeksi: Simetris, ikut gerak nafas 9. Propanolol 3x1 mg
- Palpasi : Vocal Fremitus D=S 10. BC 3x1
- Perkusi : Sonor/sonor
- Auskultasi: SN vesikuler, Rhonki (-),
Wheezing(-/-)
Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
linea midclavikula sinistra
- Perkusi : Dalam Batas Normal
- Auskultasi: BJ I–II regular, murmur (-),
Gallop (-).
- Abdomen :
- Inspeksi : Tampak Cembung,
- Auskultasi : Bising Usus (+)
- Palpasi : Distended (+), Nyeri
tekan(-). Hepar /Lien (ttb)
- Perkusi : Redup
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (+),
Ulkus (-/-),CRT > 2’
 Vegetatif : Makan dan Minum baik ,
BAB dan BAK dalam batas normal.
A:
1. Cirosis Hepatis
2. Anemia Berat
3. Melena
4. Hipertensi grade 1

BAB IV

PEMBAHASAN

25
4.1 Diagnosa

Berdasarkan teori yang didapatkan dari anamnesis biasanya pasien datang ke


tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan berupa: merasa badan cepat lelah, nafsu
makan berkurang mudah kenyang, badan mengurus, rasa tidak enak di epigastrium,
kembung, mual, sakit perut kanan atas, sklera mata tampak kekuningan, kelemahan
otot, buang air kecil berwarna gelap seperti teh, gatal-gatal, serta jika keadaan
berlanjut akan terdapat riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas seperti muntah
dan buang air besar berisikan darah hingga penurunan kesadaran. Selain itu juga
terdapat riwayat perut membesar (asites) dan bengkak pada tungkai bawah.2

Sejalan dengan teori Pada kasus didapatkan pasien mengeluhkan badan terasa
lemas, penurunan BB yang signifikan, nyeri ulu hati, mual dan muntah, pada
pemeriksaan fisik juga didapatkan sklera ikterik seperti pada teori. BAB berwarna
hitam sejak ± 3 bulan diikuti dengan edema ekstremitas dan perut membesar yang
terasa kencang. Gejala ini disebut sebagai sirosis hepatis dan ascites, yang mana
Sirosis Hepatis merupakan penyakit kronis hepar yang irreversible yang ditandai oleh
fibrosis, disorganisasi struktur lobulus dan vaskuler, serta nodul regeneratif dari
hepatosit yang merupakan hasil akhir kerusakan hepatoseluler.
Diagnosis klinis SH dapat ditegakkan jika terdapat lima dari tujuh tanda berikut:
eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral atau varises esofagus, asites dengan atau
tanpa edema, splenomegali, hematemesis dan melena, serta rasio albumin dan
globulin terbalik.

Pada pasien juga ditemukan gejala yang menunjukkan bahwa pasien


mengalami sirosis hepatis tipe dekompensata dikarenakan ditemukan paling tidak
satu dari manifestasi berikut, ikterus, asites dan edema perifer, hematemesis melena
(akibat perdarahan esofagus), jaundice atau ensefalopati (baik tanda dan gejala
minimal hingga perubahan status mental). Asites merupakan tanda dekompensata
yang paling sering ditemukan (sekitar 80%). Temuan pada Pada pasien berupa asites,
edema perifer dan melena.

Selain itu pasien juga mengeluhkan BAB hitam yang sudah berlangsung ± 3
bulan sebelum masuk rumah sakit, hal tersebut kemungkinan dikarenakan perdarahan
akibat pecahnya varises esofagus. Sifat perdarahan yang ditimbulkan ialah BAB
berwarna hitam, biasanya mendadak tanpa di dahului rasa nyeri. Darah yang keluar
berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku karena sudah bercampur dengan
asam lambung. Penyebab lain dapat ditimbulkan oleh tukak lambung dan tukak
duodeni. Pada sirosis hepatis perdarahan saluran cerna yang paling sering
menyebabkan dan paling berbahaya. Keluhan ascites dan edema pada ekstremitas

26
yang dialami pasien juga menandakan bahwa sirosis hepatis yang dialami pasien
termasuk tipe sirosis hepatis dekompensata. Selain itu Pada pemeriksaan
laboratorium juga ditemukan penurunan kadar Hb, hal ini dikarenakan adanya
perdarahan pada saluran cerna berupa BAB berwarna hitam, hal ini yang
menyebabkan pasien mengalami anemia berat dengan kadar Hb 5,7.

4.2 Tatalaksana

Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari sirosis


hepatis. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas dari
penyakit. Menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakaan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi merupakan prinsip dasar penanganan kasus
sirosis. Terapi yang diberikan kepada pasien antara lain:

1. Furosemid 2x1

Furosemide adalah golongan diuretic ang bermanfaat untuk mengeluarkan


kelebihan cairaan dari dalam tubuh melalui urine, furosemide bekerja dengan cara
menghalangi penyerapan natrium didalam sel-sel tubule ginjal dan meningkatkan
jumlah urine yang dihasilkan oleh tubuh. Pada kasus pasien furosemide
digunakan untuk mengatasi ascites dan edem yang dialami oleh pasien, diberikan
dengan dosis 40mg/12jam

2. Omeprazole 2x1
Adalah obat yang digolongkan sebagai penghambat pompa/proton pump inhibitor
(PPI). Omeprazole berfungsi sebagai obat untuk penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh kelebihan produksi asam lambung. Obat ini menekan sekresi
asam lambung dengan cara menghambat secara spesifik dan irreversible system
pompa asam dalam mukosa lambung, obat ini diberikan untuk mengatasi nyeri
ulu hati yang dialami oleh pasien.
3. Kalnex 3x1

Merupakan obat dengan kandungan asam traneksamat golongan anti fibrinolitik


yang digunakan untuk membantu menghentikan perdarahan pada sejumlah
kondisi, pada pasien sendiri obat ini dibutuhkan untuk mengehntikan melena yang
dialami oleh pasien.

4. Spironolakton 1x25 mg

27
Merupakan obat diuretic hemat kalium, obat ini bekerja dengan cara menghambat
penyerapan natrium berlebih kedalam tubuh dan menjaga kadar kalium darah agar
tidak terlalu rendah sehingga tekanan darah dapat diturunkan, pada kasus obat ini
digunakan untuk mengatasi sirosis hepatis dengan edema yang dialami pasien

5. Curcuma 3x1

Merupakan suplemen makanan yang berasal dari temulawak yang digunakan


untuk menambah atau meningkatkan nafsu makan serta memperbaiki fungsi hati
pasien.

6. Aspar K 1x1 mg

Obat yang mengandung kalium l-aspartate, digunakan untuk suplementasi kalium


pada kondisi kekurangan ataupun penyakit yang menyebabkan kalium rendah.

7. Amlodipin 1x10 mg

Merupakan golongan calcium channel blockers (CCBs) atau antagonis kalsium.


Bekerja dengan cara membantu melemaskan otot pembuluh darah. Dengan begitu
pembuluh darah akan melebar, darah dapat mengalir dengan lebih lancar dan
tekanan darah dapat menurun, obat ini diberikan untuk menurunkan tekanan darah
pasien karena pasien memiliki riwayat hipertensi grade 1.

8. Onoiwa 3x2 mg

Merupakan inovasi albumin oral yang memiliki kandungan albumin,


protein,vitamin A, B1, B6, B12, D3, dan E serta omega 3, 6, 9, mineral, hal ini
baik untuk menormalkan kadar albumin pada pasien.

9. Propanolol 3x1 mg

Merupakan obat golongan beta blocker yang bekerja dengan mengahmbat


reseptor beta dijantung dan pembuluh darah yang sebelumnya menyempit da
melebar, sehingga aliran darah bisa lancar.

10. BC 3x1

Merupakan multivitamin yang digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan


multivitamin pada masa pertumbuhan dan selama masa penyembuhan.

BAB V

28
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus Pasien datang ke IGD RSUD Abepura dengan


rujukan dari Puskesmas Bonggo, pasien mengeluh bengkak dikedua tungkai ± 3
minggu lalu, bagian perut juga membesar dan terasa nyeri disertai dengan sesak,
muntah, nyeri ulu hati, dan penurunan berat badan yang signifikan, sering merasa
lemas. Pasien juga mengaku BAB berwarna hitam sudah sejak 3 bulan yang lalu
sampai saat ini. Pasien merupakan perokok aktif dan sering mengkonsumsi minuman
beralkohol semasa muda sejak pasien berusia 25 tahun dan baru berhenti 2 tahun ini,
demam (-), batuk (-), Makan dan Minum baik, BAK dan BAB normal.
Untuk menegakkan diagnosis pada tinjauan pustaka anamnesis dan gejala
klinis dari sirosis hepatis adalah hasil pemeriksaan penunjang, pemeriksaan fisik
bersama dengan tanda dan gejala sirosis hepatis berupa eritema palmaris, spider nevi,
vena kolateral atau varises esofagus, asites dengan atau tanpa edema, splenomegali,
hematemesis dan melena, serta rasio albumin dan globulin terbalik.
Pada tatalaksana yang diberikan oleh pasien berdasarkan gejala yang telah
dialami diberikan diuretic, PPIs, antifibrinolitik, calcium channel blockers,
antihipertensi, serta suplemen dan multivitamin. Dengan ini tatalaksana pada laporan
kasus sesuai dengan teori berdasarkan gejalanya.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Starr PS, Raines D.. Cirrhosis: diagnosis, management, and prevention. Am
Fam Physician, 2011, 1353-1359 p.
2. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima.
Jakarta: InternaPublishing. 2009. 668-673 p.
3. Wibawa IDN, Purwadi N, Suryadarma IGN, Mariadi K. Sirosis hepatis.
Dalam: Putra TR, Suega K, Artana IGNB. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Denpasar: Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013. 98-103 p.
4. World Health Organization. Guidelines for the Prevention, Care and
Treatment of Persons with Chronic Hepatitis B Infection. France: WHO Press.
2015.
5. Klarisa C, Liwang F, Hasan I. Sirosis hati. Dalam: Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta:
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. 693-
697 p.
6. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs. Liver cirrhosis, Lancet 2014.1749-1761p.
7. Sariani. “Karakteristik Penderita Sirosis Hati yang Dirawat Inap di Rumah
Sakit Umum Marta Friska Medan Tahun 2006-2010” (skripsi). Medan:
Universitas Sumatera Utara. 2010.
8. Simanjuntak MAP. “Karakteristik Klinis Penderita Sirosis Hati yang Dirawat
Inap di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Haji Adam
9. Malik Medan Tahun 2014” (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara.
2014.
10. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Sirosis Hati. Perhimpunan Peneliti Hati
Indonesia. http://pphi-online.org. 2010. [Diakses tanggal 20 Januari 2018].
11. Zhou WC, Zhang QB, Qiao L. Pathogenesis of liver cirrhosis. World J
Gastroenterology, 20(23), 2014. 7312-7324p.
12. Irianto K. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia. Bandung: Penerbit Yrama
Widia. 2008.
13. Ge PS, Runyon BA, Treatment of patients with cirrhosis. New England
Journal of Medicine, 375(7),2016. 67-77p.
14. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noor HMS. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Hati. Edisi pertama. Jakarta: CV Sagung Seto. 2012.
15. Runyon BA, Gotes G, Talwalkar JA. Cirrhosis. NIH Publication, 14(1134)
2014, 1-16p.
16. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and chronic liver failure. Am Fam
Physician, 74, 2006.756-762p.

30
17. Porth CM. Disorders of hepatic and biliary function. Dalam: Essential of
Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. Edisi ketiga. China:
Wolters Kluwer Health. 2011. 737-751p.
18. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complication. Dalam: Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. Edisi keenam belas. New York: Mc-Graw
Hill. 2005. 1858-1862p.
19. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. Dalam:
Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi keenam belas. New York:
Mc-Graw Hill. 2005. 1808-1813p.
20. Garcia-Tsao G, Lim J. Management and treatment of patients with cirrhosis
and portal hypertension. Am J Gastroenterol, 104, 2009. 1802-1829p. Bosch
J, Garcia-Pagan JC. Prevention of variceal rebleeding. Lancet, 361, 2003.
952-954p.
21. Gines P, Guevara M, Arroyo V, Rodes J. Hepatorenal syndrome. Lancet,
27(3), 2003. 1-8p.
22. Hasan I, Arraminta AP. Ensefalopati hepatik. Medicinus, 27(3), 2014.1-8p.

31

Anda mungkin juga menyukai