Anda di halaman 1dari 77

Laporan Kasus

Prolaps Uteri Stadium IV, Ca Cerviks Stadium IB, Anemia


BAB I
PENDAHULUAN

Prolaps organ panggul dan inkontinensia urin adalah kondisi umum yang mempengaruhi
banyak wanita dewasa saat ini. Prolapas organ panggul adalah kondisi abnormal atau herniasi
organ panggul dari posisi normal di panggul. Diperkirakan 50% dari wanita yang telah
melahirkan akan menderita prolapse organ panggul dan hampir 20% kasus ginekologi yang
menjalani operasi adalah akibat kasus prolaps organ panggul. Angka ini akan terus meningkat
jumlahnya akibat usia harapan hidup wanita Indonesia yang terus meningkat.1

Prolaps uteri merupakan salah satu dari prolaps organ panggul dan menjadi kasus nomor
dua tersering setelah cystourethrocele (bladder and urethral prolapse). Prolaps organ panggul
masih menjadi masalah kesehatan pada wanita yang insidennya mencapai 40% pada wanita usia
diatas 50 tahun.2,3

Prolaps uteri dapat diatasi dengan tindakan preventif, kuratif, atau rehabilitatif dan jika
memang dibutuhkan terapi dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif. Pengetahuan dan
pemahaman tentang prolapse uteri cukup penting sehingga setiap wanita yang mengalaminya
dapat hidup dengan layak tanpa memberikan beban yang berat pada keluarga maupun pada
masyarakat apabila ditatalaksana dengan tepat dan benar sejak dini.4

Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher
rahim/serviks, bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks
biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal dari sel
skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada
saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Karsinoma serviks biasanya timbul pada zona
transisional yang terletak antara epitel sel skuamosa dan epitel sel kolumnar yang biasanya
disebut sebagai squamo columnar junction (SCJ).1
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara global
dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke- 6 di negara kurang berkembang) dan urutan ke-
8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas
akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang, dan urutan
ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di Indonesia kanker serviks menduduki
urutan kedua dari sepuluh kanker terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010
dengan insidens sebesar 12,7%.2
Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita penderita baru
kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu
kasus kanker serviks. Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000 penderita baru di
seluruh dunia dan umumnya terjadi di negara  berkembang. 2 Pada tahun 2030, jumlah penderita
kanker serviks di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat hingga sebesar tujuh kali lipat.2
Program screening dan terapi yang terorganisir secara baik yang digunakan untuk
memeriksa tanda-tanda prekanker dan menanganinya secara dini dapat mencegah kanker serviks
secara efektif. Program ini pada umumnya berdasarkan pada kunjungan berulang, screening
berdasarkan sitologi (Pap smear), yang diikuti dengan kolposkopi dan biopsi apabila terdapat
indikasi medis. Hal tersebut tentu membutuhkan suatu pengorganisasian dan sistem manajemen
yang canggih, termasuk secara aktif mengundang para wanita yang berisiko menderita
karsinoma serviks untuk menjalani screening, menjamin kualitas sistem pengujian dan
pengobatan, serta memonitor sistem perawatan dan follow-up secara teliti. Negara-negara maju
yang telah mengimplementasikan program ini selama 40 tahun teleh menunjukkan penurunan
angka kejadian penyakit yang dramatis.3,4
Sebaliknya di negara-negara berkembang di mana 80% kasus karsinoma serviks di dunia
terjadi, karsinoma serviks masih menjadi salah satu penyebab kematian utama pada wanita.
Sistem screening dan pengobatan di negara-negara tersebut secara umum tidak terjangkau oleh
semua kalangan atau bahkan tidak tersedia. Bahkan apabila program tersebut tersedia, hal itu
kemungkinan tidak berjalan secara efektif karena pengaruh aspek pelatihan, pengontrolan
kualitas, atau dari segi logistik.3,4 Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penderita kanker
serviks di Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani
sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada.
Kejadian kanker serviks akan sangat mempengaruhi hidup dari penderitanya dan keluarganya
serta juga akan sangat mempengaruhi sektor pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab
itu peningkatan upaya penanganan kanker serviks, terutama dalam bidang pencegahan dan
deteksi dini sangat diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PROLAPS UTERI
2.1 Anatomi Pelvis
Pelvis dibentuk oleh 4 buah tulang, yaitu:5
a. Dua buah ossae coxae yang membentuk dinding anterior dan lateral.
b. Os sacrum dan os coccygis (bagian dari columna vertebralis) membentuk dinding
dorsal pelvis.

Gambar 1. Anatomi Panggul

Panggul dibagi oleh apertura pelvis superior (pintu atas panggul) yang dibentuk oleh
promontorium sacralis di sebelah dorsal, linea iliopectinea di sebelah lateral dan
symphysis pubis di sebelah anterior, menjadi6:
a. Pelvis spurium (pelvis major), yaitu bagian di atas apertura tersebut, merupakan
bagian bawah rongga abdomen
b. Pelvis verum (pelvis minor), yaitu rongga di bawah apertura pelvis superior tersebut.
a. Pelvis spurium (Pelvic Major)
Pelvis spurium merupakan bagian yang terdapat di depan vertebrae lumbalis sebagai
batas dorsal; fossa iliaca dengan m.iliacus berada di sebelah lateral dan dinding
abdomen bagian bawah di sebelah ventral. Pelvis spurium ini juga merupakan bagian
rongga perut. Fungsinya menahan alat-alat rongga perut dan menahan uterus yang
berisi fetus pada wanita hamil sejak bulan ketiga.6

b. Pelvis verum (Pelvic Minor)


 Mempunyai pintu masuk panggul (apertura pelvis superior) dan pintu keluar
(pelvis inferior) yang berupa 2 buah segitiga yang bersekutu pada alasnya (yakni
garis yang menghubungkan kedua tuber ischiadica). Segitiga bagian dorsal
trigonum anale dibentuk oleh kedua ligamentum sacrotuberosa dan puncaknya
terletak pada os coccygis. Segitiga bagian ventral trigonum urogenitale dibentuk
oleh ramus inferior ossis pubis dan ramus inferior ossis ischii sebelah kiri dan
kanan, dan puncaknya terletak pada symphysis ossium pubis (yang diperkuat oleh
ligamentum arcuatum pubis).6
 Cavum pelvis (rongga panggul) terletak di antara pintu masuk dan pintu keluar
panggul, berupa saluran pendek yang melengkung dengan bagian cekung ke
depan.6

Gambar 2. Pembagian Pelvic


Dasar panggul
Dasar panggul mempunyai 3 lapisan fungsional:1
 Fasia (fasia endopelvik), yang melekat dan mengelilingi semua organ pelvis (kandung
kemih, uterus, rektum).
 Otot (levator ani dan koksigeus atau juga disebut difragma pelvis) berbentuk otot yang
terus menerus berkontraksi, terutama bila ada tekanan abdominal yang meningkat.

Membrana perineal (terdiri dari diafragma urogenital dan otot-otot yang membentuk badan
perineal dan sfingter uretra). Otot yang aktif sebagai penggantung ini dengan syaraf-
syarafnya penting untuk mempertahankan posisi organ pelvis dan merupakan penyangga
yang aktif. Dengan kata lain, penyangga beban dilakukan oleh otot-otot pelvis. Di sisi lain
jaringan ikat (fasia) berfungsi untuk mempertahankan dan menstabilkan organ pelvis.1

Karena manusia berdiri tegak lurus, maka dasar panggul perlu mempunyai kekuatan untuk
menahan semua beban yang diletakkan padanya, khususnya isi rongga perut dan tekanan
intraabdominal. Beban ini ditahan oleh lapisan otot-otot dan fasia yang apabila mengalami
tekanan dan dorongan berlebihan atau terus-menerus dapat timbul prolapsus genitalis.1,5

Pintu bawah panggul terdiri atas diafragma pelvis, diafragma urogenital, dan lapisan-lapisan
otot yang berada diluar (penutup genitalia eksterna). Diafragma pelvis merupakan penutup
bagian bawah dari rongga perut, dan terbentuk oleh muskulus levator ani dan muskulus
koksigeus yang menyerupai sebuah mangkok serta fasia endopelvik.1,5

Muskulus levator ani terbagi menjadi iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan puborektalis,


walaupun jauh subdivisinya disebut pubouretralis, dan pubovaginalis dimana serabut-
serabut levator ani berinsersi dalam fasia yang menutupi uretra. Otot pubokoksigeus
berjalan dari permukaan dalam tulang pubis bagian anterior dan median membentang ke
belakang menuju bagian belakang rectum, setelah mengelilingi rectum dan vagina kembali
ke tulang pubis di sisi lain.1,5
Bagian lateral dari otot tersebut disebut iliokoksigeus yang membentang dari spina
ischiadika dan arkus tendius yang menutup otot obturatorius interna terus kebelakang dan
berinsersi di pinggir lateral tulang koksigeus dan sacrum bagian bawah. Otot levator ani
kanan-kiri membentuk levator plate yang kuat sekali dan terbentang dari titik
penggabungannya di belakang hiatus levator dan terus ke belakang dan berinsersi di tulang
koksigeus, central perineal body, dan pada ligament anokoksigeus.1,5

Di bawah otot levator ani terdapat diafragma urogenital yang menutup hiatus genitalis,
dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus perinei profundus dan muskulus
transversus superfisialis berjalan antara arkus pubis kanan-kiri. Di dalam sarung
aponeurosis itu terdapat muskulus rhabdo sfingter urethrae.5

Lapisan paling luar (distal) dibentuk oleh muskulus bulbokavernosus yang melingkari
genital eksterna, muskulus perinei transversus superfisialis, muskulus iskhiokavernosus dan
muskulus sfingter ani eksternus.5

Gambar 3. Dasar Panggul

Semua otot dibawah pengaruh saraf motorik dan dapat dikejangkan aktif. Fungsi otot-otot
tersebut diatas adalah sebagai berikut:5
 Muskulus levator ani berfungsi mengerutkan lumen rectum, vagina, uretra dengan cara
menariknya ke arah dinding tulang pubis sehingga organ-organ pelvis di atasnya tidak
dapat turun (prolaps), mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer
sehingga ligament-ligament tidak perlu bekerja mempertahankan letak organ-organ
pelvic di atasnya, sebagai sandaran uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung
kemih. Bila otot levator rusak atau mengalami defek maka ligament seperti ligament
kardinale, sakro uterine mempunyai kerja yang berat.
 Diafragma urgenital berfungsi memberi bantuan pada otot levator ani menahan organ-
organ pelvis.
 Muskulus sfingter ani eksternus diperkuat oleh muskulus levator ani menutup anus.
 Muskulus bulbokavernosus mengecilkan introitus vagina di samping memperkuat fungsi
muskulus sfingter vesisae internus yang terdiri atas otot polos.

Gambar 4. Otot dan Ligament Pelvic


Pada introitus vagina ditemukan juga bulbus vestibuli yang terdiri atas jaringan yang
mengandung banyak pembuluh darah sehingga dapat membesar jika pembuluh darah terisi.5

Jaringan Penunjang Dasar Panggul


Uterus berada di rongga panggul dalam ateversiofleksio sehingga bagian depannya setinggi
simfisis pubis dan bagian belakang setinggi artikulasio sakrokoksigea. Jaringan ikat di
parametrium, dan ligamentum-ligamentum membentuk suatu sistem penunjang uterus
sehingga uterus terfiksasi relatif cukup baik.1,5

Jaringan-jaringan itu ialah:5


 Ligamentum kardinale sinistrum dan dekstrum (Mackenrodt) merupakan ligamentum
yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas
jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral ke
dinding pelvis. Didalamnya ditemukan banyak pembuluh darah, antara lain vena dan
arteri uterina.
 Ligamentum sakrouterinum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang juga
menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan, melengkung dari bagian
belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sakrum kiri dan
kanan.
 Ligamentum rotundum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang menahan uterus
dalam antefleksi, dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal
kiri dan kanan.
 Ligamentum puboservikale sinistrum dan dekstrum, berjalan dari os pubis melalui
kandung kencing, dan seterusnya sebagai ligamentum vesikouterinum sinistrum dan
dekstrum ke serviks.
 Ligamentum latum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang berjalan dari uterus
ke arah lateral, dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Ligamentum ini adalah
bagian peritoneum viserale yang meliputi uterus dan kedua tuba, dan berbentuk lipatan.
Di bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium
sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.
 Ligamentum infundibulopelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba Falopii,
berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan urat saraf,
saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini
tidak banyak artinya.
 Ligamentum ovarii propium sinistrum dan dektrum, yakni ligamentum yang menahan
tuba Falopii, berjalan dari sudut kiri dan kanan belakang fundus uteri ke ovarium.

Ligamentum-ligamentum dan jaringan-jaringan di parametrium tidak semuanya berfungsi


sebagai penunjang uterus. Terdapat ligamentum-ligamentum yang mudah sekali
dikendorkan sehingga alat-alat genital mudah berganti posisi. Ligamentum latum
sebenarnya hanya satu lipatam peritoneum yang menutupi uterus dan kedua tuba, dan terdiri
atas mesosalpink, mesovariun, dan mesometrium. Di lipatam tersebut ditemukan jaringan
ikat yang letaknya disebut intraligamenter (di dalam ruangan ligamentum latum). Ruangan
tersebut berhubungan pula dengan ruangan retroperitoneal yang terdapat di atas otot-otot
dasar panggul dan di daerah ginjal.1,5

Gambar 5. Organ-Organ dalam panggul

Sistem uropoetik di rongga panggul


Ureter yang di abdomen letaknya retroperitoneal masuk ke pelvis minor melewati arteria
iliaka interna dan melintasi arteri uterina dekat pada serviks hampir tegak lurus, dan
akhirnya bermuara di kandung kencing sisi belakang di trigonum Lieutaudi.5
Vesika urinaria (kandung kencing) umumnya mudah menampung 350 ml, akan tetapi dapat
pula terisi cairan 600 ml atau lebih. Bagian kandung kencing yang mudah berkembang
adalah bagian yang diliputi oleh peritoneum viserale. Pada dasar kandung kencing terdapat
trigonum Lieutaudi, yang bersamaan dengan uretra, dihubungkan oleh septum vesiko-
uretro-veginale dengan dinding depan vagina. Di trigonum Lieutaudi bermuara kedua (atau
lebih) ureter. Dasar kandung kencing ini terfiksasi, tidak bergerak atau tidak mengembang
seperti bagian atas yang diliputi oleh serosa. Di septum vesiko-uretro-vaginale terdapat fasia
yang dikenal sebagian fasia Halban.5

Dinding kandung kencing mempunyai lapisan otot polos yang kuat, beranyaman seperti
anyaman tikar. Selaput kandung kencing di daerah trigonum Lieutaudi licin dan melekat
pada dasarnya. Pada daerah kandung kencing dan bagian atas uretra terdapat muskulus
lissosfingter, terdiri atas otot polos, dan berfungsi menutup jalan urine setempat.5

Uretra panjangnya 3,5-5 cm berjalan dari kandung kencing kedepan di bawah dan belakang
simfisis, dan bermuara di vulva. Pada wanita yang berbaring arahnya kurang lebih
horisontal. Di sepanjang uretra terdapat muskulus sfingter. Yang terkuat adalah muskulus
lissosfingter dan muskulus rhabdosfingter (bagian dari diafragma urogenitale).5

Rektum
Rektum berjalan melengkung sesuai dengan lengkungan os sakrum, dari atas ke anus.
Antara rektum dan uterus terbentuk ekskavasio rektouterina, terkenal sebagai kavum
Douglasi, yang diliputi oleh peritoneum viserale. Dalam klinik rongga ini mempunyai arti
penting: rongga ini menonjol jika ada cairan (darah atau asites) atau ada tumor di daerah
tersebut. Dasar rongga tersebut terletak 5-6 cm di atas anus. Anus ditutup oleh muskulus
sfingter ani eksternus, diperkuat oleh muskulus bulbokavernosus, muskulus levator ani, dan
jaringan ikat perineum.5
Gambar 6. Jaringan dan Dinding Penyokong Organ Pelvic

2.2 Definisi Prolaps Uteri


Prolaps (dari kata latin Prolapsus) atau dikenal juga dengan desensus atau prosidentia adalah
turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh karena kelemahan otot atau fascia yang dalam
keadaan normal menyokongnya. Atau turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus
genitalis.7

Gambar 7. Normal Uterus dan prolaps Uterus.

2.3 Epidemiologi Prolaps Uteri


Frekuensi prolapsus genitalia di beberapa negara berbeda, seperti dilaporkan di klinik
d`Gynocologie et Obstetrique Geneva insidensnya 5,7% dan pada periode yang sama di
Hamburg 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang kejadiannya lebih
tinggi, sedangkan pada orang Negro Amerika, Indonesia lebih kecil angka kejadian pada
kasus ini. Pada suku Bantu di Afrika Selatan jarang sekali terjadi.4

Telah banyak diketahui bahwa faktor predisposisi untuk terjadinya prolapsus genitalia
terutama adalah persalinan pervaginam lebih dari satu kali dan pekerjaan yang
menyebabkan tekanan intra abdominal meningkat serta kelemahan dari ligamentum-
ligamentum karena hormonal pada usia lanjut. Trauma persalinan, beratnya uterus pada
trauma persalinan, beratnya uterus pada masa involusi uterus, mungkin juga sebagai
penyebab. Pada suku Bantu involusi uterus lebih cepat terjadi dari pada orang kulit putih
dan juga pulihnya otot-otot dasar panggulnya. Hampir tak pernah ditemukan subinvolusi
uteri pada suku Bantu tersebut.4,5,8

Di Indonesia prolapsus genitalis lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan,
wanita tua yang menopause dan wanita dengan pekerjaan yang cukup berat. Di Rumah Sakit
Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dari tahun 1995-2000 telah dirawat 240 kasus prolapsus
genitalia yang mempunyai keluhan dan memerlukan penanganan terbanyak dari penderita
pada usia 60-70 tahun dengan paritas lebih dari tiga.1

2.4 Klasifikasi Prolaps Uteri


Terdapat perbedaan pendapat antara para ahli ginekologi. Friedman dan little (1961)
mengemukakan beberapa macam klasifikasi, tetapi klasifikasi yang dianjurkan adalah
sebagai berikut :1
 Desensus uteri, uterus turun, tetapi serviks masih dalam vagina.
 Prolaps uteri tingkat I, uterus turun, dengan serviks uteri turun paling rendah sampai
introitus vagina.
 Prolaps uteri tingkat II, sebagian besar uterus keluar vagina.
 Prolaps Uteri tingkat III atau prosidensia uteri, uterus keluar seluruhnya dari vagina,
disertai dengan inversio vaginae.
Gambar 8. Derajat Prolaps Uteri

Selain Klasifikasi di atas ada juga standar penentuan derajat prolaps berdasarkan
Standarisasi Terminologi POP-Q (yang diadaptasi oleh International Continence Society
oleh American Urogynecology Society dan Society of Gynecologic Surgeons) dan
klasifikasi menurut Baden-Walker:9

Tabel 1. Klasifikasi POP-Q dan Baden-Walker


Sistem POP-Q Sistem Baden-Walker
 Sangat detail untuk keperluan  Adekuat untuk keperluan praktik
praktik klinik klinik, asalkan seluruh
kompartemen dinilai.
 Adekuat Untuk kepentingan
penelitian.  Mengukur penurunan relative
terhadap hymen.
 Sangat baik untuk menilai
perubahan derajat POP.  Stadium prolaps uteri dibagi
menjadi 5 bagian berdasarkan
turunnya bagian terbawah organ
 Derajat didasarkan pada penurunan - Stadium 0: Posisi normal untuk
maksimal dari prolaps relative
terhadar hymen, pada 1 atau lebih tiap lokasi.
kompartemen. - Stadium 1: Penurunan sampai
dengan setengah jarak menuju
 Stadium prolapse uteri dibagi hymen.
menjadi 5, yaitu : - Stadium 2: turun sampai dengan
- Stadium 0 : tidak tampak hymen.
prolapse uteri. Titik Aa, Ap, Ba, - Stadium 3: turun setengah jarak
dan Bp semuanya -3cm dan titik melewati hymen.
C atau D terletak di antara – - Stadium 4: Penurunan
TVL (Total vaginal length) dan maksimum untuk tiap lokasi.
–(TVL-2)cm.
- Stadium I: Kriteria untuk
stadium 0 tidak ditemukan, tapi
bagian distal prolaps >1cm di
atas level hymen.
- Stadium II : Bagian paling distal
prolapse uteri ≤1cm proksimal
atau distal hymen.
- Stadium III : Bagian paling
distal prolapse uteri >1cm di
bawah hymen tapi tidak
menurun lebih dari 2cm dari
TVL.
- Stadium IV : eversi komplit
total panjang traktus genetalia
bawah. Bagian distal prolapse
uteri menurun sampai (TVL-
2)cm
Gambar 9. Pembagian sistem POP-Q

Gambar 10. Klasifikasi Baden-Walker

2.5 Etiologi dan Faktor Resiko Prolaps Uteri


Etiologi prolaps uteri bersifat multifaktorial. Secara hipotesis penyebab utamanya adalah
persalinan pervaginam dengan bayi aterm. Keadaan ini akibat terjadinya kerusakan pada
fasia penyangga dan inervasi syaraf otot dasar panggul. Faktor lain seperti lemahnya
kualitas jaringan ikat, penyakit neurologik, keadaan penyakit menahun yang menyebabkan
meningkatnnya tekanan intra abdominal (seperti penyakit paru-paru obstruktif kronis,
komstipasi menahun) atau obesitas, asites, tumor pelvis, faktor genetik, faktor anatomi,
biokimiawi dan metabolisme jaringan penunjang, menopause, defisiensi estrogen, dan
riwayat pembedahan mempermudah terjadinya prolapsus genitalis.9
Faktor risiko dari terjadinya prolapsus uteri antara lain:
1. Multiparitas
Persalinan yang sering merupakan faktor risiko terbanyak. Sampai saat ini belum ada
penjelasan mengenai apakah karena kehamilan atau nifas itu sendiri yang menjadi faktor
risiko dari prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko yang paling
sering dikutip. Banyak penelitian statistik jelas menunjukkan bahwa persalinan
pervaginam ini meningkatkan kecenderungan seorang wanita untuk mengalami Pelvic
Organ Prolapse (POP). Sebagai contoh dalam Dukungan Pelvic Organ Study (POSST),
peningkatan paritas dikaitkan dengan peningkatan risiko prolapsus. Studi Kohort
Keluarga Berencana Oxford dari 17.000 wanita, menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan wanita nullipara, mereka dengan dua kali persalinan mengalami peningkatan
risiko delapan kali lipat di rumah sakit untuk POP. 8,10
2. Makrosomia
Makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot jalan lahir yang terlalu
lama bisa menjadi faktor risiko yang dapat menyebabkan POP. Selain itu beberapa ahli
ginekologi menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi, laserasi sfingter anal,
penggunaan forceps, stimulasi oksitosin berulang, riwayat operasi pelvis terutama
histerektomi juga dapat meningkatkan resiko terjadinya POP dikemudian hari walaupun
hal ini masih menjadi pertimbangan. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis akan
mempermudah terjadinya prolapsus genitalia. Bila prolapsus uteri dijumpai pada
nullipara, faktor penyebab biasanya disebabkan oleh adanya kelainan bawaan berupa
kelemahan jaringan penunjang uterus.1,10

Faktor risiko yang disebutkan di atas tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal yang masih
menjadi kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan forceps untuk
mempersingkat kala kedua dan episiotomy. Beberapa ahli menyatakan penggunaan
forceps dan episiotomy tidak dianjurkan karena terbukti kurang bermanfaat dan
berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin. Pertama, penggunaan forceps dapat
menyebabkan cedera panggul dengan laserasi sfingter anal. Kedua, Forcep tidak terbukti
dalam memperpendek kala dua. Karena alasan inilah, pengguanaan forceps tidak
dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti bermanfaat tetapi dapat
menyebabkan laserasi sfingter anal, inkontinensia urin, konstipasi postpartum, dan nyeri
postpartum. Namun hal ini masih mejadi hal yang dipertanyakan karena belum ada
panjelasan jelas mengenai hal tersebut.4,6,10
3. Umur
Usia lanjut juga merupakan faktor risiko prolapsus uteri. Pada wanita yang telah
menopause, di samping akibat kurangnya hormon estrogen (hipoestrogenism) yang
dihasilkan oleh ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar panggul
seperti diafragma pelvis, diafragma urogenital dan ligamentum serta fasia akan
mengalami atrofi dan melemah, serta terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan
menyebabkan otot-otot dan fascia tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik
sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan terjadinya prolapsus genitalia.5,10
4. Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita berkulit hitam, dan wanita
Asia menunjukkan risiko terendah, sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki
risiko tertinggi. Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah dibuktikan antara
ras, namun perbedaan tulang panggul dalam setiap ras mungkin juga berperan.
Misalnya, perempuan kulit hitam, umumnya arcus pubis < 90 derajat dan umumnya
bentuk panggulnya adalah android atau antropoid. Bentuk panggul ini mengurangi
resiko untuk terjadinya prolapsus uteri dibandingkan dengan ras Barat dimana rata-rata
bentuk panggulnya ginekoid.8,10

5. Peningkatan Tekanan Intraabdominal


Peningkatan tekanan intra-abdominal yang berlangssung lama diyakini mempunyai
peranan dalam patogenesis prolapsus uteri, contohnya obesitas, konstipasi yang lama,
sering mengangkat berat, batuk kronis, dan berulang. Demikian pula, meskipun hasil
batuk kronis berulang dalam peningkatan tekanan intra-abdomen, ada mekanisme yang
jelas telah ditunjukkan.5,10
2.6 Patofisiologi Prolaps Uteri
Prolaps uteri terjadi ketika otot-otot dasar panggul dan ligamen meregang menjadi rusak dan
lemah, sehingga mereka tidak lagi dapat mendukung organ-organ panggul, memungkinkan
uterus jatuh ke dalam vagina. Penyokong utama viseral panggul terdiri atas kompleks otot
levator ani dan jaringan ikat pelekat organ-organ panggul (fasia endopelvic). Kerusakan
atau disfungsi dari satu atau kedua komponen ini dapat menyebabkan terjadinya prolaps.
Kompleks otot levator ani berkontraksi dengan kuat saat istirahat dan menutupi hiatus
genitalis serta memberikan dasar yang stabil untuk viseral panggul. Penurunan tonus otot
levator ani yang disebabkan oleh denervasi atau kerusakan otot secara langsung
menimbulkan pembukaan hiatus genitalis, kelemahan levator plate dan pembentukan
konfigurasi seperti mangkok. Defek yang nyata pada daerah puboviceral dan iliococcygeal
dari kompleks otot levator ani sesudah melahirkan pervaginam terjadi pada 20% wanita
primipara dengan pemeriksaan MRI, sedangkan pada wanita nulipara tidak terjadi. Hal ini
membuktikan bahwa melahirkan pervaginam berkontribusi untuk terjadinya prolaps melalui
cedera pada otot levator ani.7

Cedera neuropati dari otot levator ani juga dapat disebabkan oleh melahirkan pervaginam.
Wanita yang pernah melahirkan pervaginam memiliki resiko lebih tinggi mengalami defek
neuropati dibandingkan dengan yang melahirkan melalui seksio sesaria tanpa cedera.
Mengedan terlalu sering saat BAB juga dihubungkan dengan denervasi otot-otot panggul.
Mengedan berlebihan dapat menyebabkan cedera peregangan saraf pudendal sehingga
menimbulkan neuropati.11

Fasia endopelvic merupakan jaringan ikat yang membungkus semua organ-organ panggul
dan menghubungkannya dengan otot-otot penyokong dan tulang-tulang panggul. Jaringan
ikat ini menahan vagina dan uterus pada posisi normalnya sehingga memungkinkan
pergerakan visceral untuk menyimpan urin dan feses, berhubungan seksual, melahirkan, dan
BAB. Kerusakan atau peregangan jaringan ikat ini terjadi pada saat melahirkan pervaginam
atau histerektomi, dengan mengedan terlalu sering atau dengan proses penuaan normal.
Bukti tentang abnormalitas jaringan ikat dan proses perbaikannya pasca cedera menjadi
faktor predisposisi beberapa wanita mengalami prolaps. Wanita yang mengalami prolaps
dapat menunjukkan adanya perubahan metabolisme kolagen, meliputi penurunan kolagen
tipe I dan peningkatan kolagen tipe III.11

2.7 Manifestasi Klinis Prolaps Uteri


Gejala klinik sangat berbeda dan bersifat individual. Ada penderita dengan prolaps cukup
berat tidak menunjukan keluhan apa pun. Sebaliknya, ada yang dengan prolaps ringan, tetapi
keluhannya banyak.1

Keluhan yang dijumpai pada umumnya adalah perasaan mengganjal di vagina atau adanya
yang menonjol di genitalia eksterna, rasa sakit di panggul atau pinggang dan bila pasien
berbaring keluhan berkurang, bahkan menghilang. Sistokel yang sering menyertai prolaps
menyebabkan gejala-gejala polimiksi mula-mula ringan pada siang hari, lama kelamaan bila
prolaps lebih berat gejalanya juga timbul pada malam hari. Adanya perasaan kandung kemih
tidak dapat dikosongkan secara tuntas, tidak dapat menahan kencing bila batuk (stress
incontinence) dan kadang dapat terjadi pula retensio urinae. Retrokel dapat menyebabkan
gangguan defekasi. Prolapsus uteri derajat III dapat menyebabkan gejala gangguan bila
berjalan dan bekerja. Gesekan porsio uteri pada celana menimbulkan luka dan dekubitus
pada porsio uteri. Selain itu prolaps dapat menimbulkan kesulitan bersenggama.1

2.8 Diagnosis Prolaps Uteri


a. Anamnesis :12
 Gejala Vagina (semua kompartemen) :
- Terasa benjolan
- Rasa tertarik di perineum
- Tekanan pada panggul
- Rasa tidak nyaman
- Duh tubuh atau keluar darah dari vagina
 Gejala Berkemih (kompartemen anterior) :
- Sulit memulai berkemih
- Berkemih tidak lampias
- Inkontinensia Urin
- Urgensi
- ISK berulang
 Gejala BAB (kompartemen posterior) :
- Benjolan pada liang vagina saat mengedan
- BAB tidak lampias
- Inkontinensia alvi
- Perlunya penekanan pada perineum atau vagina posterior untuk membantu BAB
 Gejala Seksual (semua kompartemen) :
- Menurunnya sensasi vagina
- Dispareunia
- Menghindari hubungan seksual

b. Pemeriksaan Fisik :12


 Pasien dalam posisi terlentang pada meja ginekologi dengan posisi litotomi.
 Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain
 Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:
- Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.
- Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera,ulkus yang bukan
kanker diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada terapi.
- Perlu diperiksa ada tidaknya prolaps uteri dan penting untuk mengetahui derajat
prolaps uteri dengan inspeksi terlebih dahulu sebelum dimasukkan inspekulum.
 Manuver Valsava.
- Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan melakukan
pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan manuver Valsava.
- Setiap kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior vagina, serviks,
apeks, cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan perineum perlu dievaluasi secara
sistematis dan terpisah.
- Apabila tidak terlihat, pasien dapat diminta untuk mengedan pada posisi berdiri di
atas meja periksa.
- Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) dapat dilakukan untuk menentukan
risiko inkontinensia tipe stres pasca operasi prolaps.
 Pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui kontraksi dan kekuatan otot
levator ani
 Pemeriksaan rektovagina : untuk memastikan adanya rektokel yang menyertai
prolaps uteri.

c. Pemeriksaan Penunjang :12


 Urin residu pasca berkemih
- Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan mengukur volume
berkemih pada saat pasien merasakan kandung kemih yang penuh, kemudian
diikutin dengan pengukuran volume urin residu pasca berkemih dengan
kateterisasi atau ultrasonografi.
 Skrining infeksi saluran kemih
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu banyak membantu. Tes Papanicolaou (Pap
smear sitologi) atau biopsi dapat diindikasikan pada kasus yang jarang terjadi yang
dicurigai karsinoma, meskipun ini harus ditangguhkan ke dokter perawatan primer
atau dokter kandungan.7
 Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG bisa digunakan untuk membendakan prolaps dari kelainan-kelainan
lain.7

2.9 Penatalaksanaan Prolaps Uteri


Penatalaksanan pada prolaps uteri bersifat individual, terutama pada mereka yang telah
memiliki keluhan dan komplikasi, namun secara umum penatalaksanan dengan kasus ini
terdiri dari :
1. Observasi
Derajat luasnya prolaps tidak berkaitan dengan gejala. Mempertahankan prolaps tetap
dalam stadium I merupakan pilihan yang lebih tepat. Beberapa wanita mungkin lebih
memilih untuk mengobservasi lanjutan dari prolaps. Mereka juga harus memeriksakan
diri secara berkala untuk mencari perkembangan gejala baru atau gangguan (seperti
buang air kecil atau buang air besar terhambat, erosi vagina).11,12
2. Terapi Konservatif
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu para penderita
dengan prolapsus uteri. Cara ini biasanya diberikan pada penderita prolapsus ringan
tanpa keluhan atau pada penderita yang masih ingin mendapatkan anak lagi atau
penderita yang menolak untuk melakukan tindakan operasi atau pada kondisi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.4,10
Tindakan yang dapat diberikan pada penderita antara lain:
 Latihan otot dasar panggul (kegel exercises)
Latihan ini sangat berguna pada prolaps ringan, Tujuannya untuk menguatkan otot-
otot dasar panggul dan otot-otot yang mempengaruhi miksi. Caranya dengan
menahan otot-otot panggul seolah-olah sedang mencoba untuk menahan urin. Tahan
posisi ini selama sepuluh hitungan, kemudian lepaskan perlahan-lahan. Lakukan
selama sepuluh kali, empat kali sehari.13
 Pemasangan pessarium
Pada Kehamilan awal untuk mencegah gejala penyempitan dari 10 sampai 14 minggu
akibat prolaps uterus digunakan pesarium (pesary) yang sesuai dan digunakan sampai
bulan ke 4. Apabila dasar panggul terlalu lemah hingga pessarium terus jatuh maka
pasien di anjurkan istirahat rebah sampai bulan ke 4. Pernah dilaporkan keberhasilan
kehamilan dan pelahiran per vagina setelah fiksasi uterosakrum sakrospinosum yang
dilakukan sebelum kehamilan.14

Prisip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut membuat tekanan pada dinding
vagina bagian atas, sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat
turun dan melewati vagina bagian bawah. Pessarium yang paling baik untuk prolaps
genitalia ialah pessarium cincin, terbuat dari plastik. Jika dasar panggul terlalu lemah
dapat digunakan pessarium Napier.9

Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan prolaps tanpa melihat
stadium ataupun lokasi dari prolaps. Alat ini digunakan oleh 75%-77% ahli
ginekologi sebagai penatalaksanaan lini pertama prolaps. Pesarium tersedia dalam
berbagai bentuk dan ukuran, serta dapat dikategorikan menjadi suportif (seperti
pesarium ring) atau desak ruang(seperti pesarium donat). Pesarium yang biasa
digunakan pada prolaps adalah pesarium ring (dengan dan tanpa penyokong),
Gellhorn, donat, dan pesarium cube. Tipe pesarium yang bisa dipasang berhubugnan
dengan derajat prolaps.12

Ada banyak jenis dan bentuk pesarium untuk mempertahankan uterus pada
tempatnya. Pesarium dapat dipakai bertahun-tahun asal diawasi secara teratur.
Penempatan pesarium bila tidak tepat atau bila ukurannya terlalu besar dapat
menyebabkan perlukaan pada dinding vagina dan dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan. Pesarium diindikasikan bagi mereka yang belum siap untuk dilakukan
tindakan operatif atau bagi mereka yang lebih suka pengobatan konservatif.12

Tabel 2. Tipe Pesarium


Tipe Mekanisme Indikasi Keterangan
Kerja
Ring Suportif Sistokel, Ketebalan, ukuran,
penurunan uterus dan rigiditas
ringan. bervariasi.
Donut Suportif Semua prolapse
kecuali defek
posterior berat.
Lever Suportif Sistokel, Mengikuti
penurunan uterus kurvatura vagina
ringan.
Dish Suportif Prosidensia berat
Stem Suportif Sistokel,
prosidensia
ringan
Cube Mengisi ruang Semua prolapse Perlu dilepaskan
setiap hari
Inflantable Mengisi ruang Semua prolaps Perlu dilepaskan
setiap hari

 Stimulasi otot-otot dengan listrik.


Kontraksi otot dasar panggul dapat pula di timbulkan dengan alat listrik, elektrodanya
di pasang dalam pesarium yang dimasukan ke dalam vagina.1
 Estrogen
Estrogen diduga dapat mencegah atau membantu pentalaksanaan prolaps bila
dikombinasikan dengan intervensi lainnya melalui mekanisme penguatan struktur
penunjang dan mencegah penipisan jaringan vagina dan panggul.7
3. Terapi Bedah
Prolaps uteri biasanya disertai dengan prolapsus vagina. Maka, jika dilakukan
pembedahan untuk prolaps uteri, prolaps vagina perlu ditangani pula. Indikasi untuk
melakukan operasi pada prolapsus uteri vagina ialah bila ada keluhan berikut :1,5
 Sistokel
Operasi yang lazimnya dilakukan ialah kolporafi anterior. Kadang-kadang operasi ini
tidak mencukupi pada sistokel dengan stress incontinence yang berat. Dalam hal ini
perlu diadakan tindakan khusus. Untuk kasus berat sebaiknya dirujuk ke dokter
spesialis uroginekologi.
 Retrokel dan entrokel
Operasi yang dilakukan disini adalah kolpoperineoplastik. Retrokel yang berat sering
menjadi satu entrokel. Tindakan operatif sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis
uroginekologi.
 Prolapsus uteri
Operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita,
masih berkeinginan untuk mendapatkan anak atau mempertahankan uterus, tingkat
prolapsus, dan adanya keluhan.

Ada kemungkinan terdapat prolaps vagina yang membutuhkan pembedahan, padahal


tidak ada prolaps uteri atau prolaps uteri yang ada belum perlu dioperasi. Di Inggris dan
Wales pada tahun 2005-2006, 22.274 operasi dilakukan untuk prolaps vagina. Beberapa
literatur melaporkan bahwa dari operasi prolaps rahim, disertai dengan perbaikan prolaps
vagina pada waktu yang sama. Indikasi untuk melakukan operasi pada prolaps uteri
tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita, keinginan untuk masih mendapat
anak atau untuk mempertahankan uterus, tingkat prolaps, dan adanya keluhan.1,5

Macam-macam operasi untuk prolaps uterus sebagai berikut :1


 Ventrofiksasi
Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak, dilakukan
operasi untuk uterus ventrofiksasi dengan cara memendekkan ligamentum rotundum
atau mengikat ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi
Purandare.
 Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri, dan penjahitan
ligamentum kardinale yang telah dipotong, di muka serviks dilakukan pula kolporafia
anterior dan kolpoperineoplastik. Amputasi serviks dilakukan untuk memperpendek
serviks yang memanjang (elo ngasio kolli). Tindakan ini dapat menyebabkan
infertilitas, abortus, partus prematurus, dan distosia servikalis pada persalinan. Bagian
yang penting dari operasi Manchester ialah penjahitan ligamentum kardinale di depan
serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek, sehingga
uterus akan terletak dalam posisi anteversifleksi, dan turunnya uterus dapat dicegah.
 Histerektomi pervaginam
Operasi ini tepat untuk dilakukan untuk prolaps uterus dalam tingkat lanjut, dan pada
wanita yang telah menopause. Setelah uterus diangkat, puncak vagina digantungkan
pada ligamentum rotundum kanan dan kiri, atas pada ligamentum infundibulo
pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan dengan kolporafi anterior dan
kolpoperineorafi untuk mencegah prolaps vagina di kemudian hari.
 Kolpokleisis (operasi Neugebauer-Le Fort)
Pada waktu obat-obatan serta pemberian anestesi dan perawatan pra/pasca operasi
belum baik untuk wanita tua yang seksualnya tidak aktif lagi dapat dilakukan operasi
sederhana dengan menjahit dinding vagina depan dengan dinding vagina belakang,
sehingga lumen vagina tertutup dan uterus terletak di atas vagina. Akan tetapi,
operasi ini tidak memperbaiki sistokel dan retrokel sehingga dapat menimbulkan
inkontinensia urinae. Obstipasi serta keluhan prolaps lainnya juga tidak hilang.
 Purandare
Purandare adalah operasi yang ditujukan bagi nulipara yang mengalami prolaps uteri.
Yang mempunyai dinding abdomen yang baik. Pada operasi ini, uterus digantungkan
dari ligamentum latum ke fascia muskulus rektus abdominis menggunakan pita
mersilene. Operasi efektif selama dinding abdomen masih kuat. Ketika dinding
abdomen tidak kuat, prolaps uterus dapat terjadi kembali.

2.10Komplikasi Prolaps Uteri


Komplikasi yang dapat menyertai prolaps uteri adalah :1,5
 Kreatinisasi mukosa vagina dan portio uteri.
Prosidensia uteri disertai dengan keluarnya dinding vagina (inversio); karena itu mukosa
vagina dan serviks uteri menjadi tebal serta berkerut, dan berwarna keputih-putihan.
 Dekubitus.
Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan paha dan pakaian
dalam; hal itu dapat menyebabkan luka dan radang, dan lambat laun timbul ulkus
dekubitus. Dalam keadaan demikian, perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-
lebih pada penderita berusia lanjut
 Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli.
Jika serviks uteri turun ke dalam vagina sedangkan jaringan penahan dan penyokong
uterus masih kuat, karena tarikan ke bawah di bagian uterus yang turun serta
pembendungan pembuluh darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi
panjang pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli.
 Kemandulan, karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vagina atau sama
sekali ke luar dari vagina sehingga tidak akan mudah terjadi kehamilan.
Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vaginae atau sama sekali keluar
dari vagina, tidak mudah terjadi kehamilan.
 Gangguan miksi dan stress inkontinensia.
Pada sistokel berat, miksi kadang-kadang terhalang sehingga kandung kencing tidak
dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga menyempitkan ureter
sehingga bisa menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya sistokel dapat pula
mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan uretra sehingga dapat
menyebabkan stress inkontinensia.
 Infeksi Saluran Kemih
Adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan infeksi. Sistitis yang terjadi dapat
meluas ke atas dan dapat menyebabkan pielitis dan pielonefritis yang akhirnya keadaan
tersebut dapat menyebabkan gagal ginjal.
 Kesulitan pada waktu persalinan
Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka pada waktu persalinan dapat
menimbulkan kesulitan dikala pembukaaan sehingga kemajuan persalinan jadi
terhalang.
 Hemoroid

2.11 Pencegahan Prolaps Uteri


Pemendekan waktu persalinan terutama pada saat kala dua dengan memperbaiki power
yaitu memimpin persalinan dengan baik agar penderita dihindari untuk mengejan sebelum
pembukaan lengkap adalah tindakan yang benar, episiotomy yang benar dipertimbangkan,
memperbaiki dan mereparasi luka atau kerusakan jalan lahir dengan baik, menghindari
paksaan dalam pengeluaran plasenta (perasat Crede), mengawasi involusi uterus pasca
persalinan yang tetap baik dan cepat, serta mencegah atau mengobati hal-hal yang dapat
meningkatkan tekanan intraabdominal seperti batuk yang kronis. Menghindari mengangkat
benda-benda yang berat dan menganjurkan para wanita jangan terlalu banyak punya anak
atau terlalu sering melahirkan.5,10

2.12 Prognosis Prolaps Uteri


Pada prolaps uteri jika dilakukan management konservatif dan terapi operatif yang tepat
dapat membuat prognosis jangka panjang yang baik. Bila prolaps uteri tidak ditatalaksana,
maka secara bertahap akan memberat. Prognosis akan baik pada pasien usia muda, dalam
kondisi kesehatan optimal (tidak disertai penyakit lainnya), dan Indeks Masa Tubuh (IMT)
dalam batas normal. Prognosis buruk pada pasien usia tua, kondisi kesehatan buruk,
mempunyai gangguan sistem respirasi (asma, PPOK), serta IMT diatas batas normal.
Rekurensi prolaps uteri setelah tindakan operasi sebanyak 16%.4,7

CA SERVIKS

2.13 ANATOMI SERVIKS


Uterus merupakan organ berongga yang berbentuk buah pir dan berdinding tebal.
Pada orang dewasa muda nullipara, panjang. uterus 3 inci (8 cm), lebar 2 inci (5 cm), dan
tebal 1 inci (2,5 cm). Uterus dibagi atas fundus, corpus, dan serviks uteri. Fundus uteri
merupakan bagian uterus yang terletak di atas muara tuba uterina. Corpus uteri merupakan
bagian uterus yang terletak di bawah muara fuba uterina. Ke arah bawah corpus akan
menyempit, yang berlanjut sebagai serviks uteri. Serviks menembus dinding anterior
vagina dan dibagi menjadi portio supravaginalis dan portio vaginalis cervicis uteri. Cavum
uteri berbentuk segitiga pada penampang bidang coronal tetapi pada penampang sagital
hanya berbentuk celah. Rongga cervix, canalis cervicis, berhubungan dengan rongga di
dalam corpus uteri melalui ostium uteri internum dan dengan vagina melalui ostium uteri
externum. Sebelum melahirkan anak pertama (nullipara), ostium uteri externum berbentuk
lingkaran. Pada multipara, portio vaginalis cervicis uteri lebih besar, dan ostium uteri
extemum berbentuk celah transversal sehingga mempunyai labium anterius dan labium
posterius.15-17
Gambar 2.1: A. Bagian tuba uterina dan uterus. B. Ostium externum cervix; (atas)
nullipara; (bawah) multipara.17

Serviks adalah bagian bawah uterus yang silindris dan struktur histologinya berbeda
dari bagian lain uterus. Lapisan mukosa endoserviks adalah suatu epitel selapis silindris
penghasil-mukus pada lamina propria yang tebal. Regio serviks tempat canalis
endocervicalis membuka ke dalam vagina disebut ostium externum, yang menonjol ke
dalam bagian atas vagina dan dilapisi oleh mukosa exoserviks yang memiliki epitel gepeng
berlapis. Suatu taut khas, atau zona transformasi, dijumpai dengan perubahan mendadak
epitel kolumnar selapis menjadi epitel kolumnar berlapis. Lapisan tengah serviks yang
lebih dalam memiliki sedikit otot polos dan terutama terdiri atas jaringan ikat padat. Dari
stroma ini, banyak limfosit dan leukosit lain mempenetrasi epitel berlapis untuk
memperkuat pertahanan imun setempat terhadap mikroorganisme. Sebelum partus, serviks
sangat melebar dan melunak akibat aktivitas kolagenolisis hebat pada stroma.18

Gambar 2.2: Gambaran Histologi Serviks18


Pada gambar 2.2 (a): Mikrograf memperlihatkan bahwa mukosa canalis
endocervicalis (EC) berlanjut dengan endometrium dan seperti endometrium, jaringan
tersebut dilapisi oleh epitel kolumnar selapis (SC). Mukosa endoserviks memiliki lipatan
dan banyak kelenjar serviks besar bercabing (panah) yang menyekresi mukus dalam
pengaruh hormon ovarium dan sering agak melebar. Di ostium externum, titik saat kanal
membuka ke dalam vagina (V), terdapat pertemuan (J) mendadak antara selapis epitel
kolumnar ini dan epitel skuamosa berlapis (SS) yang melapisi eksoserviks dan vagina.
Pembesaran dilakukan 15x dengan pulasan H&E. Pada gambar 2.2 (b): Pembesaran kuat
memperlihatkan area pertemuan (panah) dan lapisan canalis endocervicalis (EC) dengan
lebih jelas. Pembesaran dilakukan 50x dengan pulasan H&E. Pada gambar 2.2 (c):
Mikrograf memperlihatkan sitologi eksfoliatif sel yang terlepas dari eksoserviks normal
pada sediaan apus rutin serviks. Sel skuamosa terpulas pada kaca objek melalui prosedur
Papanicolaou dengan menggunakan hematoksilin, orange G, dan eosin dan terpulas
berbeda sesuai kandungan keratinnya. Sel permukaan memiliki keratin sitoplasma yang
lebih padat dan terpulas jingga merah muda dengan lebih sedikit sei yang kurang
terdiferensiasi penuh di bawah permukaan dengan sitoplasma biru-hijau dan inti yang
besar. Sejumlah sel biru hijau dengan inti atipikal atau kelainan sitologis lain yang
terdeteksi oleh metode ini lebih lanjut menguji kemungkinan karsinoma serviks, yang tidak
jarang dijumpai. Pembesaran dilakukan 200x dengan pulasan Papanicolaou. Pada gambar
2.2 (d): Mikrograf memperlihatkan pembesaran kuat lapisan endoserviks. Karena terpajan
sejumlah besar mikroorganisme, mukosa ini normalnya memiliki banyak neutrofil dan
leukosit lain yang membentuk bagian penting pertahanan imunitas alamiah di regio ini.
Sel-sel semacam itu tampak dalam gambar ini di lamina propria dan epitel (panah), tetapi
juga banyak dijumpai dan tampak jelas di lapisan mukus (M) yang terfiksasi di tempatnya
pada spesimen ini. Pembesaran dilakukan 400x dengan pulasan H&E.18

2.14 DEFINISI
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum.19
2.15 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus. 5
Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi data vital, dan
data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per tahun insiden dari
kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980. Ditemukan sekitar
200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-49
tahun yang hidup di negara sedang berkembang.20
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara
global dalam segi angka kejadian (urutan ke-6 di negara kurang berkembang) dan urutan
ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka
mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara
berkembang, dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global.21

Gambar 2.3 Estimasi Insidensi Kanker Serviks di Dunia Tahun 201221


Gambar 2.3 Estimasi Mortalitas Kanker Serviks di Dunia Tahun 201221
Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak
berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar 12,7%. Menurut
perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita penderita baru kanker serviks
berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker
serviks.19

2.16 ETIOLOGI
HPV merupakan agen yang berperan besar dalam proses terjadinya kanker serviks.
DNA HPV dapat ditemukan pada 99% kasus kanker serviks di seluruh dunia, karena itu
penyebab kanker serviks diduga sebagai akibat infeksi menetap dari virus HPV. Pada
proses karsinogenesis, asam nukleat virus dapat bersatu ke dalam gen dan DNA manusia
sehingga menyebabkan mutasi sel. HPV memproduksi protein yaitu protein E6 pada HPV
tipe 18 dan protein E7 pada HPV tipe 16 yang masing-masing mensupresi gen P53 dan gen
Rb yang merupakan gen penghambat perkembangan tumor.22-23
Gambar 2.5 Peran HPV E6 dan E7

Virus papiloma pertama kali berhasil diisolasi dari kelinci cottontails pada tahun
1933. Pada tahun 1935 ditemukan bahwa kondiloma yang diinduksi virus papiloma
memiliki potensi untuk menjadi suatu keganasan. HPV adalah virus DNA sirkuler dengan
untaian ganda yang tidak berselubungkan virion. Virus tersebut adalah anggota famili
Papoviridae, genus papillomavirus. HPV memiliki kapsul isohedral dengan ukuran 72
kapsomer dan berdiameter 55 mikrometer. Berat molekul HPV adalah 5 x 10 6 Dalton. Saat
ini telah diidentifikasi lebih dari 100 tipe HPV dan mungkin akan lebih banyak lagi di
masa mendatang. Dari 100 tipe tersebut, hanya kurang dari setengahnya yang dapat
menginfeksi salurankelamin. Masing-masing tipe mempunyai sifat tertentu pada kerusakan
epitel dan perubahan morfologi lesi yang ditimbulkan. Tipe yang dapat menyebabkan
keganasan adalah HPV tipe 16, 18, 26, 27, 30, 31, 33-35, 39, 40, 42-45, 51-59, 61, 62, 64,
66-69 dan 71-74.24,25
Walaupun terdapat hubungan erat antara HPV dan kanker serviks, belum ada bukti
yang mendukung bahwa HPV adalah penyebab tunggal. HPV tipe 6 dan 11 ditemukan
pada 35% kondiloma akuminata dan NIS 1, 10 % pada NIS 2-3, serta hanya 1% ditemukan
pada kondiloma invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 10% kondiloma akuminata
dan NIS 1, 51% pada NIS 2-3, serta pada 63% karsinoma invasif.26
2.17 KLASIFIKASI
Berikut ini adalah tabel klasifikasi lesi prakanker hingga menjadi karsinoma invasif
serviks uteri. Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan
pemeriksaan histopatologik sebagai konfirmasi
diagnostik.19
Tabel 2.3: Klasifikasi Kanker Serviks19
Klasifikasi Sitologi Klasifikasi Histopatologi
Bethesda classification, 2015 WHO classification, 2014
Squamous lesion Squamous cell tumors and precursor
A. Atypical squamous cells (ASC) A. Squamous intraepithelial lesions
 Atypical squamous cells –  Low-grade squamous
undetermined significance Intraepithelial lesion (LSIL)
(ASC-US)  High-grade squamous
 Atypical squamous cells – cannot Intraepithelial lesion (HSIL)
exclude a high-grade squamous B. Squamous cell carcinoma
intraepithelial lesion (ASC-H)
B. Squamous intraepithelial lesion
(SIL)
 Low-grade squamous
intraepithelial lesion (LSIL)
 High-grade squamous
intraepithelial lesion (HSIL)
o With features suspicious
for invasion
C. Squamous cell carcinoma
Glandular lesion Glandular tumors and precursor
A. Typical A. Adenocarcinoma in situ
 Endocervical cells (NOS, or B. Adenocarcinoma
specify in comments)
 Endometrial cells (NOS, or
specify in comments)
 Glandular cells (NOS, or
specify in comments)
B. Atypical
 Endocervical cells, favor
neoplastic
 Glandular cells, favor
neoplastic
C. Endocervical adenocarcinoma in situ
(AIS)
D. Adenocarcinoma
 Endocervical
 Endometrial
 Extrauterine
 Not otherwise specified (NOS)
Other epithelial tumors
A. Adenosquamous carcinoma
B. Adenoid basal carcinoma
C. Adenoid cystic carcinoma
D. Undifferentiated carcinoma
Neuroendocrine tumors
A. Low-grade neuroendocrine tumor
B. High-grade neuroendocrine
carcinoma

Tabel 2.3 Klasifikasi Histologi Dan Stadium menurut FIGO19


Klasifikasi Stadium menurut FIGO
0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif)
I Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat
diabaikan)
IA Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua lesi yang
terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial, dimasukkan
ke dalam stadium IB
IA1 Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm atau kurang
pada ukuran secara horizontal
IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0mm
dengan penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara mikroskopik lesi
lebih besar dari IA2
IB1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau
kurang
IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0
cm II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding panggul
atau mencapai 1/3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIA1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau
kurang
IIA2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0
cm
IIB Tumor dengan invasi ke parametrium
III Tumor meluas ke dinding panggul/ atau mencapai 1/3 bawah vagina dan/atau
menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding panggul
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan / atau menimbulkan
hidronefrosis atau afungsi ginjal
IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau meluas
keluar panggul kecil (true pelvis)
IV B Metastasis jauh (termasuk penyebaran pada peritoneal, keterlibatan dari
kelenjar getah bening supraklavikula, mediastinal, atau para aorta, paru, hati,
atau tulang)
Gambar 2.5: Klasifikasi Stadium Kanker Serviks berdasarkan FIGO15

2.18 PATOGENESIS
Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastik pada lapisan
epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau
karsinoma in situ (KIS).19 Karsinoma serviks merupakan salah satu kanker yang paling
sering pada wanita di seluruh dunia. Karsinoma sel skuamosa invasif mencakup 80%
keganasan serviks. Tidak seperti kanker saluran reproduksi lainnya yang lebih banyak
terjadi di negara industri, kanker serviks merupakan kanker pembunuh nomer satu pada
wanita di dunia ketiga. Epidemiologi menunjukan bahwa kanker seviks merupakan
penyakit menular seksual. Kanker skuamosa serviks dapat dicegah jika dilakukan skrining
dan terapi yang tepat.26,27
Hampir semua karsinoma sel skuamosa serviks invasif berkembang dari prekusor
perubahan epitel yang disebut CIN (cervical intraepithelial neoplasia). Meskipun begitu,
tidak semua CIN akan berkembang menjadi kanker. Kadangkala CIN tetap ada, tetapi tidak
berubah atau berkembang.28
Umumnya, CIN bersifat asimptomatik dan terjadi sekitar 5-15 tahun sebelum
berkembangnya karsinoma invasif. Hampir semua kanker serviks berkembang pada zona
transformasi seviks. Lokasi sambungan skuamokolumnar tersebut dapat berubah sebagai
respon serviks terhadap berbagai faktor dan terdapat perbedaan lokasi antara anak
perempuan pascapubertas, dengan wanita menopause. Pada wanita tua, zona transformasi
jauh berada di kanal endoserviks. 27
Pemeriksaan sitologis dapat mendeteksi CIN sebelum ketidaknormalan nampak
secara kasar. Perubahan prekanker berupa CIN dapat bermula dari lesi derajat ringan yang
berkembang menjadi derajat yang lebih tinggi atau bisa juga serta beberapa faktor host
lainnya. Berdasarkan penampakan histologisnya, lesi prekanker dapat digolongkan
derajatnya menjadi28:
 CIN I: diplasia ringan
 CIN II: diplasia sedang
 CIN III: displasia berat dan karsinoma in situ
Sementara itu, sistem Bethesda yang terbaru membedakan lesi prekanker menjadi
dua kelompok yaitu low-grade dan high-grade squamous intraepithelial lesions (SIL). Lesi
derajat rendah berkaitan dengan CIN I atau kondiloma yang rata sedangkan yang derajat
tinggi identik dengan CIN II atau III. CIN I atau yang seringkali disebut sebagai flat
condyloma ditandai dengan perubahan koilositosis yang utamanya terjadi pada lapisan
superfisial epitel. Koilositosis tersusun dari hiperkromatik inti dan angulasi dengan
vakuolisasi perinuklear yang disebabkan efek sitopatik HPV.
Pada CIN II, displasi terjadi lebih berat dengan maturasi keratinosit yang tertunda
sampai sepertiga epitelium. CIN II berkaitan dengan beberapa variasi pada ukuran sel dan
inti serta heterogenitas kromatin inti. Sel-sel pada lapis superfisial menunjukan beberapa
diferensiasi dan pada beberapa kasus dapat menunjukan pula perubahan koilositosis.
Tingkatan selanjutnya, yang kadangkala tidak jelas perbedaannya dengan CIN II, adalah
CIN III. Biasanya CIN III ini ditandai dengan variasi ukuran sel dan inti yang semakin
besar, heterogenitas kromatin, gangguan orientasi sel dan mitosis yang normal maupun
abnormal. Perubahan tersebut terjadi pada seluruh lapisan epitel dan dikarakteristikan
dengan hilangnya maturitas. Diferensiasi sel-sel permukaan dan perubahan koilositosis
biasanya sudah menghilang. Kondisi saat terjadi perubahan displasia yang lebih atipikal
dan meluas ke kelenjar endoserviks, tetapi masih terbatas pada sel epitel dan kelenjarnya,
disebut karsinoma in situ.28

Gambar 2.6: Patogenesis Kanker Serviks28


Berdasarkan berbagai penelitian, CIN I kemungkinan mengalami regresi sebanyak
50-60%, persisten 30% dan progresif menjadi CIN III sebanyak 20%. CIN III mungkin
mengalami regresi sebanyak 33% dan semakin progesif sebanyak 60-74%. Semakin tinggi
derajatnya, peluang untuk menjadi progesif semakin besar. Namun, dapat diperhatikan pula
bahwa banyak kasus lesi derajat tinggi yang tidak berkembang menjadi kanker.28
Insiden CIN paling banyak adalah pada usia 30-an sedangkan karsinoma invasif
lebih banyak terjadi pada usia sekitar 45 tahun. Meskipun terkadang ditemukan kasus
tumor invasif pada wanita usia 20-an tahun, lesi prekanker membutuhkan beberapa tahun
untuk berkembang menjadi kanker.28
Karsinoma serviks invasif merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas di
seluruh dunia, terutama pada negara berkembang. Bentuk umum dari karsinoma serviks
adalah karsinoma sel skuamosa (75%), kemudian adenokarsinoma dan karsinoma
adenoskuamosa (20%) serta karsinoma neuroendokrin sel kecil. (<5%). Insiden puncak lesi
sel skuamosa terjadi pada usia 45 tahun, sekitar 10 sampai 15 tahun sejak terdekteksinya
prekusor kanker. Pada beberapa individu dengan perubahan intraepitelial agresif, interval
tersebut mungkin menjadi lebih pendek. Ada pula CIN yang tetap persisten tetapi tidak
berkembang menjadi kanker.28
Karsinoma serviks invasif berkembang pada zona transformasi. Penampakannya
dapat berupa fokus mikroskopik pada invasi stroma awal sampai tumor yang jelas terlihat.
Tumor mungkin invisible atau eksofitik. Tipe eksofitik merupakan yang paling umum,
meluas ke vagina dan dapat terjadi perdarahan hebat saat disentuh. Tumor yang melingkari
serviks dan berpenetrasi ke dalam stroma di bawahnya dapat menghasilkan barrel serviks
yang dapat diidentifikasi dengan palpasi langsung. Lesi ini dapat menyebabkan gejala
gangguan berkemih atau buang air besar. Ekstensi ke jaringan lunak parametrium dapat
melekatkan uterus pada struktur pelvis. Selain itu, ada pula tipe tumor ulseratif yang
mengubah serviks dan vagina bagian atas dengan lubang purulen yang besar.27
Penyebaran ke nodus limfe pelvis ditentukan oleh kedalaman tumor, dan adanya
invasi kapiler-limfatik. Metastasis jauh, termasuk yang melibatkan nodus para-aortic, organ
yang jauh, atau struktur sekitar seperti kandung kemih atau rektum, biasanya terjadi setelah
penyakit tersebut berlangsung lama. Pengecualian terjadi pada tumor neuroendokrin yang
bersifat lebih agresif.28
Patogenesis penyakit ini erat kaitannya dengan pajanan karsinofen pada jaringan
yang rentan, yaitu zona transformasi. Sambungan skuamokolumnar dipengaruhi oleh
perubahan hormonal dan anatomis saat pubertas., kehamilan dan menopause. Sebelum
pubertas, sambungan tersebut terletak pada ostium sevikalis eksterna. Saat pubertas,
perubahan bentuk dan volume serviks yang diinduksi estrogen membawa sambungan
skuamokolumnar ke bagian luar ektoserviks. Pajanan lingkungan vagina yang asam pada
epitel yang mensekresi musin sederhana menginduksi denaturasi kimia pada ujung vili
epitel kolumnar. Proses perbaikan yang terjadi setelahnya menghasilkan sel skuamosa yang
matur.27
Tanda pertama proses perbaikan adalah terdapatnya sel cadangan yang diaktivasi di
bawah epitel kolumnar. Sel cadangan secara bertahap menjadi berlapis di bawah sel
kolumnar dan menggantikan sel tersebut, membentuk zona transformasi. Setelah
menopause, sambungan skuamokolumnar kembali naik ke posisi di dalam kanal
endoserviks.28
Agen kausatif kanker serviks yang dapat disebarkan secara seksual adalah HPV.
HPV dapat dideteksi degan metode molekular hampir pada semua lesi prekanker dan
neoplasma invasif. Dari seratus lebih tipe HPV, yang paling beresiko tinggi menyebabkan
karsinoma serviks adalah HPV tipe 16, 18, 45 dan 31. Tipe lain yang lebih jarang adalah
HPV tipe 33, 35, 39, 45, 52, 56, 58, dan 59. Sementara itu, lesi ringan seperti kondiloma
berkaitan dengan infeksi HPV resiko rendah seperti tipe 6, 11, 42, dan 44.27
Pada lesi ringan, DNA virus tidak berintegrasi dengan genome host dan tetap dalam
bentuk episom bebas. Sementara itu, HPV tipe 16 dan 18 biasanya akan berintegrasi ke
dalam genom host dan mengekspresikan protein E6 dan E7 dalam jumlah besar sehingga
gen p53 dan RB yang berfungsi sebagai supressor tumor akan terinaktivasi atau terhambat.
Akibatnya terjadi perubahan fenotip sel yang bertransformasi, memungkinkan
pertumbuhan otonom dan bisa terjadi mutasi lebih jauh lagi.29
Walaupun banyak wanita yang memiliki virus tersebut, hanya sedikit yang
berkembang menjadi kanker. Hal tersebut berarti terdapat faktor lain yang mempengaruhi
perkembangan kanker. Faktor resiko yang terdefinisikan dengan baik adalah merokok dan
imunodefisiensi. Terdapat prevalensi tinggi DNA HPV pada kulit normal dari orang
dewasa sehat. Kutil dapat menghilang secara spontan seiring waktu. Namun, pada
penderita imunodefisiensi seperti HIV, dapat berkembang ke arah yang lebih berat.29

2.19 FAKTOR RISIKO


Faktor risiko kanker serviks adalah hubungan seksual pada usia muda, hubungan
seksual dengan banyak pasangan seksual, laki-laki berisiko tinggi, tembakau, kontrasepsi
oral, supresi sistem imun, nutrisi, serta adanya penyakit hubungan seksual misalnya,
trikomoniasis, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus. Faktor risiko terakhir dan
yang paling penting adalah infeksi HPV. HPV masuk ke dalam famili papillomaviridae dan
sekarang lebih dari 100 serotipe telah ditemukan. Adapun yang menyebabkan kanker
serviks yaitu HPV berisiko tinggi seperti HPV 16 dan 18.30
Perempuan yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia <20 tahun lebih
berisiko menderita kanker serviks. Hal tersebut karena pada periode dewasa muda proses
metaplasia sel skuamosa sangat meningkat sehingga risiko terjadinya transformasi atipik
skuamosa meningkat yang kemudian menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS). Berganti-
ganti pasangan seksual meningkatkan risiko menderita kanker serviks. Apabila seseorang
berganti pasangan seksual lebih dari 5 orang dalam 2 tahun terakhir, maka kemungkinan
menderita kanker serviks meningkat sampai 12 kali lipat. Faktor risiko lain yang penting
adalah hubungan seksual suami dengan pekerja seks komersial dan dari sumber itu
membawa HPV kepada isterinya.25
Berdasarkan teknik in situ, terdapat RNA HSV spesifik pada sampe jaringan wanita
dengan displasia serviks. Selain itu, infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus menjadi
faktor risiko secara tidak langsung yang dikaitkan dengan hubungan seksual multipartner.
Berdasarkan beberapa studi, infeksi klamidia yang sering menyebabkan inflamasi pelvis
tampaknya meningkatkan risiko kanker serviks pada wanita yang telah atau sedang
terinfeksi klamidia.31
Keterlibatan peran laki-laki terlihat dari korelasi kejadian kanker serviks dengan
kanker penis. Konsep “laki-laki berisiko tinggi” sebagai vektor dari agen penyebab infeksi
timbul karena meningkatnya kejadian tumor pada perempuan monogami yang suaminya
sering berhubungan seksual dengan banyak perempuan lain. Laki-laki yang tidak
melakukan sirkumsisi juga dapat meningkatkan faktor risiko seorang perempuan terkena
kanker serviks melalui mekanisme yang diduga berasal dari smegma yang terdapat pada
prepusium laki-laki.31
Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat
meningkatkan risiko relatif seseorang menjadi 2 kali daripada orang normal. Proses
tersebut diduga karena regulasi transkripsi DNA virus dapat mengenali hormon dalam pil
KB sehingga meningkatkan karsinogenesis virus. Hal ini disebabkan hormon dalam pil KB
memiliki efek permisif terhadap pertumbuhan kanker serviks dengan meningkatkan
proliferasi sel sehingga lebih rentan terhadap mutasi. Sebagai contoh, estrogen, yang
bersifat anti apoptosis sehingga sel yang terinfeksi HPV akan berproliferasi terus-menerus.
WHO juga melaporkan peningkatan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar
1,19 kali dari normal yang meningkat seiring dengan lamanya pemakaian.31
Tembakau baik yang diisap sebagai rokok atau dikunyah mengandung bahan
karsinogen sedangkan asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon
heterocyclic nitrosamines yang memberikan pengaruh buruk pada orang yang
menghirupnya baik sebagai perokok aktif maupun pasif. Seorang perempuan perokok
memiliki konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam
serum. Bahan karsinogen ini dapat ditemukan pada mukus serviks yang kemudian merusak
DNA epitel serviks sehingga dapat menimbulkan kanker serviks. Selain itu, rokok juga
memiliki efek imunosupresif. Di antara wanita yang terinfeksi HPV, risiko untuk kanker
invasif akan meningkat dua hingga tiga kali lipat pada wanita yang masih atau telah
berhenti merokok.31
Kanker serviks juga meningkat pada keadaan supresi sistem imun pada pasien
transplantasi ginjal dan HIV/AIDS. Terdapat hubungan antara defisiensi asam folat,
vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dengan peningkatan risiko kanker serviks.
Dengan berkurangnya antioksidan tubuh maka radikal bebas dengan mudah terbentuk dan
semakin menginduksi proses karsinogenesis.25
Berdasarkan studi kasus-kontrol, wanita yang pernah tujuh kali hamil cukup bulan
akan berisiko empat kali lipat sedangkan wanita dengan satu atau dua kali kehamilan akan
berisiko dua kali lipat dibandingkan wanita nulipara. Sebuah teori mengatakan bahwa
wanita tersebut harus melakukan hubungan seksual tanpa pengaman sehingga pajanan
terhadap HPV meningkat, Selain itu, ketidakseimbangan hormon dan penurunan sistem
imun selama kehamilan diduga mampu meningkatkan infeksi HPV dan pertumbuhan sel
kanker. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah juga merupakan faktor risiko terjadinya
kanker serviks. Hal ini berkaitan dengan tingkat kesadaran untuk melakukan deteksi dini
dan dipersulit dengan keterbatasan melakukan skrining dengan paps smear.32

2.20 DIAGNOSIS
Diagnosis kanker serviks ditegakkan melalui:
a. Anamnesis
Sebagian besar gejala kanker serviks pada wanita bersifat asimptomatik. Jika
timbul gejala, biasanya adalah lendir vagina yang berair dan berdarah. Perdarahan
yang intermiten juga muncul saat koitus atau membersihkan vagina. Nyeri punggung
yang menjalar ke bagian belakang kaki dan edema pada ekstremitas disebabkan oleh
kompresi saraf skiatik, limfa, vena, atau ureter. Jika terjadi obstruksi ureter akan
terdapat hidronefrosis dan uremia. Kemudian, jika tumor telah menginvasi kandung
kemih dan rektum, akan timbul hematuria dan gejala fistula vesikovaginal atau
rektovaginal.32
b. Pemeriksaan fisik
Sebagian besar akan tampak normal. Namun, dalam tahapan lanjut, akan tampak
pembesaran kelenjar getah bening inguinal dan supraklavikula, edema tungkai bawah,
asites, dan penurunan suara paru mengindikasikan metastasis. Dengan spekulum,
serviks tampak normal jika mikroinvasif. Jika makroinvasif, tampak lesi yang
membentuk massa polipoid, jaringan papiler, jaringan nekrotik, pertumbuhan ekso atau
endofitik, ulserasi, dan serviks berbentuk tong (barrel-shaped cervix). Saat palpasi
bimanual, teraba perbesaran uterus, ireguler, dan lunak akibat pertumbuhan dan invasi
tumor. Pemeriksaan melalui vaginal dan rectal toucher juga dapat dilakukan untuk
memeriksa apakah tumor telah menginvasi dinding posterior vagina, dinding pelvis,dan
lain-lain.32
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain paps smear yang
merupakan pemeriksaaan primer untuk mendiagnosis kanker serviks. Pemeriksaan
penunjang lain dapat berupa kolposkopi dan biopsi serviks. Jika ditemukan
abnormalitas pada paps smear, dilakukan kolposkopi dimana semua zona yang
abnormal diidentifikasi. Biopsi punch-cervical dan spesimen kerucut (conization)
berupa stroma dimana keduanya mampu membedakan diferensiasi antara karsinoma
invasif dan in situ.32
Pemeriksaan IVA (inspeksi visual asam asetat) dapat pula dijadikan pemeriksaan
penunjang dengan menggunakan larutan asam cuka (3-5%) dan larutan iodium lugol
untuk melihat perubahan warna serviks setelah olesan dimana sel yang mengalami
displasia memberikan gambaran acethowhile. Tidak direkomendasikan pada wanita
pascamenopause karena zona transisional (lokasi rentan tumbuhnya kanker) terletak
pada kanalis servikalis dan tidak tampak pada pemeriksaan inspikulo. Jika terdapat,
area berwarna putih dan permukaannya meninggi dengan batas yang jelas maka hasil
IVA positif. Meskipun mudah, murah,dan dapat dilakukan kapan saja (termasuk ketika
menstruasi) pemeriksaan ini sangat bergantung pada kejelian pemeriksa.32
Pemeriksaan Paps (Papanicolaou) Smear memiliki sensitivitas 50-80 persen untuk
mendeteksi lesi derajat tinggi. Penggunaan paps smear untuk evaluasi lesi yang
dicurigai tidaklah kuat sehingga dianjurkan untuk forsep biopsy Tischler atau kuret
Kevorkian. Didapatkan hasil positif palsu 3-15%, dan negatif palsu 5-50% akibat
pengambilan sediaan yang tidak adekuat. Adapun cara pengambilan spesimen:
 Pasang spekulum cocor bebek untuk menampilkan serviks
 Spatula dengan ujung pendek diusap 3600 pada permukaan serviks.
 Usapkan spatula pada kaca benda yang telah diberi label sepanjang setengah
panjang kaca benda dan usapkan sekali saja.
 Spatula Ayre yang sudah dimodifikasi dapat mencapai sambungan
skuamokolumner atau kapas lidi diusap 3600 kemudian diusap pada setengah
bagian panjang kaca sisanya.
 Masukkan segera ke dalam larutan fiksasi biasanya alkohol 95% selama 30 menit.
 Keringkan di udara lalu diwarnai dengan pewarnaan Papanicolaou.
Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:33
 Negatif: tidak ditemukan sel ganas. Ulangi pemeriksaan sitologi dalam satu tahun
kemudian.
 Inkonklusif: sediaan tidak memuaskan yang mungkin karena fiksasi yang tidak
baik, tidak ditemukan sel endoserviks, dan gambaran sel radang menutupi sel.
Lakukan pemeriksaan setelah radang diobati dan sebagainya.
 Displasia: tampak sel diskariotik derajat ringan, sedang, hingga karsinoma in situ.
Dalam hal ini, dibutuhkan konfirmasi dengan kolposkopi dan biopsy serta
penanganan lebih lanjut dalam 6 bulan berikutnya.
 Positif: terdapat sel ganas dan harus dipastikan dengan biopsy yang dilakukan
oleh ahli onkologi.
 HPV: dapat ditemukan pada sediaan negatif atau displasia. Dilakukan
pemantauan ketat dengan konfirmasi kolposkopi dan ulangi pap smear.
Pemeriksaan radiologi juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang. CT
(Computed Tomography) scan sering digunakan untuk mengidentifikasi hidronefrosis,
jauhnya metastasis, dan rencana pengobatan. Khususnya, CT scan sangat berguna
dalam evaluasi nodus para-aorta limfatikus karena 100 persen spesifik dan 67 persen
sensitif. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) membantu dalam
menentukan staging khususnya ke ekstraservikal seperti parametrium, miometrium, dan
invasi tulang servikal interna. Dalam hal ini, MRI sangat akurat dalam melokalisasi
tumor dan memiliki sensitivitas yang lebih besar daripada CT scan untuk metastasis
nodus para-aorta. Pemeriksaan PET (Positron Emission Topography) menggunaan
radioisotope FDG (fluoro-2-deoksi-D-glukosa) yang menciptakan gambaran sesuai
dengan metabolisme subtrat di dalam tubuh dapat mendeteksi metastasis nodus para-
aorta dengan sensitivitas sebesar 78 persen.33
Gambar 2.8: Algoritma deteksi dini (program skrining) dengan Tes IVA19
Gambar 2.7: Algoritma Diagnosis Deteksi Dini dan Tata Laksana (Program
Skrining)19

2.21 TATALAKSANA
A. Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan
program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat
dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila
didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan
sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.19
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila
diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik. Bila hasil elektrokauter
tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan dengan tindakan konisasi
atau histerektomi total.19
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi:
 LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi
1 tahun.
 HSIL (high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan
observasi 6 bulan.19

Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:


Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O
dan CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan
untuk destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker yang
kemudian pada fase penyembuhan berikutnya akan digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.19
a) Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan metode
pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6 menit
(teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2.
Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel‐sel mengalami
dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3)
syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem
mikrovaskular.19
b) Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan
melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada zona
transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi
anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk menentukan
tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.19
c) Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif
jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan
anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan
serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,
terutama jika lesi tersebut sangat luas.19
d) Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser
yang mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang
terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan
nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan
intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak
di bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan
kekuatan dan lama penyinaran.19

B. Tatalaksana Kanker Serviks Invasif


Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization). Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada
yang masih memerlukan fertilitas. Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-
konisasi. Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total Bila hasil konisasi ternyata
invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif.19

Stadium IA1 (LVSI negatif)


Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat) apabila fertilitas
dipertahankan (Tingkat evidens B). Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau
simple histerektomi. Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan.19
Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat
dilakukan Brakhiterapi

Stadium IA2, IB1, IIA1


Pilihan:
1. Operatif.
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik (Tingkat evidens 1 /
Rekomendasi A). Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor
risiko yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas
tumor, deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya.
Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila tepi
sayatan tidak bebas tumor/closed margin, maka radiasi eksterna dilanjutkan
dengan brakhiterapi.5

2. Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi).19

Stadium IB 2 dan IIA2


Pilihan:
1. Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi
untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa tumor
primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi.
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi
untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.19

Stadium IIB
Pilihan:
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)
3. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
3. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam penelitian).5

Stadium III A dan III B


1. Kemoradiasi (Rekomendasi A).
2. Radiasi (Rekomendasi B).19

Stadium IIIB dengan CKD


1. Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
2. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
3. Radiasi5

Stadium IV A tanpa CKD


1. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih dahulu
dilakukan kolostomi, dilanjutkan:
2. Kemoradiasi Paliatif, atau
3. Radiasi Paliatif.5

Stadium IV A dengan CKD, IVB


1. Paliatif
2. Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif/radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.19
2.22 PENCEGAHAN
Kanker serviks termasuk kanker yang dapat dicegah. Pecegahan tersebut dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti abstinens, penggunaan alat kontrasepsi mekanik,
sirkumsisi, serta kebersihan alat kelamin. Pendidikan, nutrisi yang cukup, vaksinasi,
skrining kanker serviks serta peningkatan status sosial ekonomi juga dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas kanker serviks.26
Abstinens dinilai sebagai pencegahan yang paling paten karena penularan HPV
terjadi melalui mikrotrauma akibat hubungan seksual. Cara ini disarankan untuk yang
belum menikah. Penggunaan kondom, diafragma dan spermisida sebagai alat kontrasepsi
dapat melindungi seseorang dari kanker serviks. Kontrasepsi mekanik tersebut memberikan
perlindungan terhadap berbagai infeksi virus yang ditularkan melalui hubungan seksual
meskipun tidak 100% efektif. Sirkumsisi dan kebersihan alat kelamin dapat menurunkan
kemungkinan seseorang terkena kanker serviks karena kebersihan dapat menurunkan
jumlah kuman dan virus penyebab infeksi.26
Penggunaan vaksinasi HPV juga dapat dilakukan untuk pencegahan kanker serviks.
Kini dikembangkan dua jenis vaksin yaitu vaksin profilaksis yang memicu kekebalan
tubuh humoral agar dapat terlindung dari infeksi HPV dan vaksin pengobatan untuk
menstimulasi kekebalan tubuh seluler sehingga dapat menghancurkan sel yang terinfeksi.31
Kemampuan proteksi vaksin profilaksis sebesar 90%. Oleh karena 3% anak gadis
telah melakukan hubungan seksual di bawah 13 tahun, maka vaksin dianjurkan untuk
diberikan pada usia 12 tahun dengan 3 dosis pemberian. Jika diberikan pada usia tersebut
maka respons kekebalan tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibanding saat pubertas.
Akan tetapi, serial vaksin bisa pula dimulai pada anak 9 tahun. Vaksin juga dianjurkan
untuk diberikan pada wanita 13-26 tahun yang tidak mendapatkan vaksin secara lengkap.
Berdasarkan ACOG (American College of Obstetricians and Gynecologists), wanita
dengan abnormalitas pada sitologi servikal dan condyloma acuminata masih menjadi
kandidat untuk vaksinasi. Vaksin HPV dibagi menjadi bivalen yang hanya melindungi
terhadap HPV 16 dan 18 serta kuadrivalen yang melindungi terhadap HPV 6, 11, 16, dan
18..26
Area genom E6 dan E7 yang bersifat onkogenik serta L1 dan L2 struktur protein
kapsid viral dipertimbangkan untuk perkembangan vaksin. L1 diekspresikan selama fase
proliferasi HPV dan terkumpul pada permukaan sel epitel tanpa menyebabkan kerusakan
sel, tidak terdapat di dalam darah, dan tidak terdeteksi oleh makrofag. Oleh karena respons
yang rendah terhadap L1 alami ini, maka dikembangkan vaksin L1 yang akan diserap oleh
pembuluh darah kecil dan pembuluh limfe yang berada di sekitar tempat
penyuntikan.Vaksin bekerja dengan merangsang sistem imun yang ditandai dengan
peningkatan kadar serum anti-L1 neutralizing IgG. Masa perlindungan dan apakah perlu
memberikan vaksin ulangan (booster) masih dipertanyakan. Dari data percobaan puncak
kadar antibodi pada bulan ke-7 setelah vaksinasi pertama akan menurun perlahan sampai
bulan ke-18 dan plateau. Namun, kadarnya tetap lebih tinggi dibandingkan respons
imunitas akibat infeksi HPV. IgG yang keluar dari cairan mulut rahim dapat mentransudasi
squamo-collumnar junction yang dalam konsentrasi tinggi dapat mengikat partikel HPV.25
Terdapat dua jenis vaksin yang sudah dipasarkan dan sudah melewati uji klinis
tahap 3 yaitu: cevarix dan gardasil (quadrivalent) yang keduanya diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 0,5 mL dengan 3 kali pemberian. Pemberian kedua diberikan
dua bulan dan yang ketiga diberikan enam bulan setelah dosis pertama.32-34
Vaksin tidak dianjurkan untuk diberikan kepada wanita hamil (karena belum ada
penelitiannya), sedangkan vaksin quadrivalent aman diberikan pada wanita menyusui. Pada
penyakit akut ringan seperti diare akut atau infeksi saluran napas akut tanpa demam, vaksin
boleh diberikan. Vaksin tidak boleh diberikan pada wanita dengan riwayat alergi terhadap
vaksin dan jamur. Hal ini disebabkan pada wanita dengan infeksi jamur dilaporkan
mengalami reaksi anafilaksis ketika mendapatkan vaksin ini.25
Vaksin dihasilkan dari produksi antibodi seseorang atau sel T sebagai hasil infeksi
atau pajanan alami suatu antigen. Vaksin mengandung patogen yang telah mati atau
dilemahkan yang dapat menstimulasi respons imun tubuh. Pada beberapa kasus, suntikan
booster diberikan untuk menstimulasi ulang memori imun dan mempertahankan level
proteksi yang tinggi. Vaksinasi telah mengurangi jumlah penderita penyakit infeksi di
dunia. Saat ini sedang diupayakan untuk memperoleh vaksin dalam jumlah besar, dapat
didistribusikan secara efektif dan mudah serta biaya yang murah.26
Vaksin HPV sebagai vaksin kanker serviks adalah vaksin kedua di dunia yang
dapat mencegah terjadinya kanker. Sebelumnya terdapat vaksin hepatitis B untuk
mencegah kanker hati. Teknologi untuk memproduksi vaksin HPV adalah rekombinan
DNA: 26
1. Viral Like Particles Vaccines (VLP): Vaksin dibentuk dengan protein virus, L1, yang
bertanggungjawab dalam membentuk kapsid virus. Protein tersebut memiliki fungsi
untuk membentuk dirinya sendiri menjadi partikel yang menyerupai virus. Partikel
tersebut tidak mengandung DNA virus sehingga tidak bersifat infeksius dan dapat
menghilangkan risiko seseorang terkena infeksi dari vaksin itu sendiri. Partikel
tersebut dapat menstimulasi produksi antibodi yang dapat mengikat dan menetralkan
virus yang bersifat infeksius. Saat ini penelitian mengenai penambahan polipeptid
nonstruktural dari protein virus ke protein minor L1 dan L2 sedang dilakukan dengan
harapan dapat meningkatkan sifat proteksi vaksin.
2. Recombinant Fusion Proteins and Peptides. Merupakan gabungan ekspresi antigen
dengan peptida sintetik yang dapat berrespons terhadap epitop imunogenik protein
virus. Pada binatang percobaan vaksin ini memiliki kapasitas untuk menginduksi
respons antitumor. Vaksin ini diharapkan dapat memberikan efek terapeutik terhadap
subyek yang sudah terinfeksi.
3. Live Recombinant Vectors. Vaksin berasal dari virus hidup yang direkombinan
dengan virus vaccinia untuk mengekspresikan gen HPV tipe 16 dan 18.
Pengembangan vaksin saat ini lebih menitikberatkan pada penggunaan teknologi
VLP dengan tujuan utama melindungi manusia terhadap infeksi HPV tipe 16 dan 18, yaitu
tipe virus yang bertanggungjawab terhadap 99% kanker serviks. Terdapat tipe vaksin lain
yang melindungi infeksi HPV tipe 6 dan 11. Salah satu vaksin yang sedang dikembangkan
saat ini adalah vaksin VLP yang disintesis sendiri dari protein oleh kapsid antigen L1
dengan menggunakan ragi. 26
Vaksin tersebut adalah vaksin kuadrivalen yang mengandung VLP dari HPV tipe 6,
11, 16, 18 yang ditanam dalam ragi S. cerevisiae. Penyertaan tipe 6 dan 11 pada vaksin
diharapkan dapat mencegah lebih dari 90% kasus kondiloma akuiminata dan melindungi
dari displasia awal yang dilihat pada infeksi tipe 6 dan 11. 26
Vaksin lain yang sedang dikembangkan adalah VLP tipe 16 dan 18 yang
menggunakan teknologi rekombinan baculovirus.Vaksin tersebut diharapkan dapat
mencegah 70% kanker serviks di seluruh dunia. Pemikiran terbaru adalah menggunakan
vaksin dari tipe HPV yang paling sering di dunia yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58
sehingga diharapkan dapat mencegah 87% kanker serviks di dunia. Meskipun demikian
penambahan VLP pada satu vaksin tunggal ditakutkan akan memberikan persoalan teknis
dalam produksi vaksin.26
Pendidikan seks diperlukan dalam mencegah kanker serviks.Melalui pendidikan,
perempuan dapat diinformasikan segala hal yang dapat meningkatkan kemungkinan
terkena kanker serviks seperti berhubungan seksual sejak usia muda dan berganti-ganti
pasangan seksual. Apabila seseorang mengubah gaya hidup seksualnya maka kemungkinan
untuk terkena infeksi berkurang sehingga kemungkinan terkena kanker serviks juga
berkurang. 26
Kanker serviks termasuk kanker yang dapat dideteksi secara dini karena tersedianya
cara pemeriksaan yang sensitif. WHO menyarankan skrining sekali dalam hidupnya pada
perempuan berusia 35-40 tahun dan pemeriksaan dilakukan pada perempuan berumur 35-
55 tahun sekali setiap 10 tahun apabila fasilitas tersedia atau sekali setiap 5 tahun apabila
fasilitas berlebih. Skrining yang ideal adalah sekali setiap 5 tahun pada perempuan
berumur 25-60 tahun.26
American Cancer Society menyarankan pemeriksaan rutin pada perempuan yang
tidak menunjukkan gejala, sejak usia 20 tahun atau lebih, atau kurang dari 20 tahun bila
secara seksual sudah aktif. Pemeriksaan dilakukan dua kali berturut-turut dan bila negatif,
pemeriksaan berikutnya paling sedikit setiap 3 tahun sampai berusia 65 tahun. Pada
perempuan risiko tinggi atau pernah mendapat hasil abnormal harus diperiksa setiap tahun.
26

Banyak masalah dalam penyelenggaraan skrining kanker serviks antara lain


keengganan perempuan untuk diperiksa karena malu, keraguan akan pentingnya
pemeriksaan akibat kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pemeriksaan, takut
terhadap kenyataan hasil pemeriksaan yang akan dihadapi, ketakutan merasa sakit pada
pemeriksaan, rasa segan diperiksa oleh dokter laki-laki dan kurangnya dorongan keluarga.
Masalah tersebut dapat ditanggulangi melalui pendidikan.26
Vitamin E yang banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian
dan kacang-kacangan), vitamin C yang banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-
buahan serta beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan tersebut
dapat melindungi DNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat
oksidasi karsinogen bahan kimia.26

2.23 PROGNOSIS
Prognosis untuk pasien kanker serviks bergantung pada stadium. Selain stadium,
penilaian melalui keterlibatan kelenjar getah bening juga menentukan prognosis. Sebagai
contoh, survival rate untuk wanita dengan stadium dini dan tanpa keterlibatan nodus limfa
pelvis adalah sebesar 86 persen sedangkan wanita dengan keterlibatan nodus limfa hanya
sebesar 74 persen. Kanker serviks yang tidak diobati atau tidak merespons terhadap
pengobatan akan menyebabkan kematian dalam waktu dua tahun setelah timbul gejala.
Disamping itu, risiko tinggi terjadinya rekurensi ditemukan pada pasien yang menjalani
histerektomi. Oleh karena itu, perlu deteksi dini agar dapat ditangani segera dengan
radioterapi.33,34
Angka kesintasan 5 tahun, berdasarkan AJCC tahun 2010 adalah sebagai berikut.19
Tabel 2.4 Survival Rate Kanker Serviks19
Stadium 5-year survival
0 93%
I 93%
IA 80%
IIA 63%
IIB 58%
IIIA 35%
IIIB 32%
IVA 16%
IVB 15%
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny H

No RM : 498817

Umur : 38 tahun

Suku bangsa :

Agama : Islam

Pekerjaan :-

Alamat : Kotaraja

MRS : 08/07/2022

II. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama :

Perdarahan pervaginam sejak 2 hari SMRS

2. Riwayat Perjalanan Penyakit :


Sejak tahun 2019 pasien mengeluh ada perdarahan pervaginam hilang timbul
disertai dengan benjolan yang mulai keluar. Keluhan ini disertai dengan nyeri
saat berhubungan seksual.
Tahun 2020 pasien mengeluh adanya perdarahan pervaginam lagi disertai
dengan benjolan seperti massa yang keluar namun semakin membesar.
Selama 2 tahun terakhir juga pasien mengaku banyak lendir dan keputihan,
dengan keputihan yang berbau.
2 hari SMRS pasien mengeluh perdarahan keluar lebih banyak di bandingkan
sebelumnya. Keluhan disertai dengan letih, lemas dan lesu. Pasien tidak bisa
beraktivitas karena sangat lemas. Benjolan yang keluar hingga bertangkai
disertai dengan perdarahan. Nyeri pada daerah kelamin (+). Demam, batuk,
sesak disangkal pasien. Makan minum dalam batas normal. BAB dan BAK
dalam batas normal
Penurunan Berat badan drastis pada pasien (+)

3. Riwayat Perkawinan :

Menikah

4. Riwayat Reproduksi/kehamilan/melahirkan

P4A0

Anak Jenis Kelamin Persalinan Usia Anak

1 Perempuan Pervaginam 18 tahun

2 Perempuan Pervaginam 16 tahun

3 Laki-laki Pervaginam 9 tahun

4 Laki-laki Pervaginam 7 tahun

5. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan : -

6. Riwayat Kontrasepsi : -

7. Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi (-) DM (-) Jantung (-) Paru (-) Obat Program (-)

8. Riwayat Kebiasaan :

Pasien mengaku tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol,


obat-obatan atau merokok.

9. Riwayat Vaksinasi : Vaksin Gardasil (-)

10. Riwayat Alergi : -


III. STATUS GENERALIS

1. Kesadaran : Compos Mentis

2. Keadaan Umum : Baik

3. Tanda Vital

Tekanan darah : 95/60 mmHg

Nadi : 80x/mnt, reguler, kuat

Pernafasan : 22x/mnt

SpO2 : 99% room air

Suhu : 36.8°C, aksiler.

Pemeriksaan Fisik Umum

Kepala

Bentuk kepala : Normosefali, Tidak ada deformitas

Rambut : Warna hitam, Distribusi merata, Tidak mudah


dicabut Wajah : Simetris, Tidak ada deformitas

Mata : Kelopak mata oedem (-), Konjungtiva anemis (+/+),


Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor (+/+), Refleks
cahaya langsung (+/+)

Telinga : Normotia, Deformitas (-), Nyeri tekan tragus


(-), Nyeri tekan mastoid (-), Sekret (-)

Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), Sekret (-),


Septum deviasi (-), Mukosa hiperemis (-)

Bibir : Simetris, Sianosis (-), Mukosa lembab

Mulut : Oral hygiene baik, Oral Candida (-)

Leher
Bentuk : Simetris, Normal

KGB : Tidak teraba membesar

Kelenjar tiroid : Tidak teraba


membesar

Toraks

Dinding dada : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Paru-paru

Inspeksi : Gerakan kedua hemithorak simetris saat inspirasi dan


ekspirasi

Palpasi : Gerakan dada simetris, Hemithoraks tidak tertinggal, Vokal


fremitus kedua hemithoraks sama, Krepitasi (-), Nyeri tekan
(-)

Perkusi : Sonor kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis, Tidak ada tanda radang

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Cembung, Simetris, Jejas (-), Linea nigra (-), Striae alba (-)

Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), Difans muskular-/-,
Hepar/Lien tidak teraba/tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+)6-8 kali/menit


Ekstremitas

Akral hangat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, Oedem tungkai -/-,
Varises (-), Refleks fisiologis +/+, Refleks patologis -/-.

IV. STATUS GINEKOLOGI

1. Pemeriksaan Luar

a. Abdomen

Inspeksi : Cembung, Simetris, Jejas (-), Linea nigra (-), Striae alba (-)

Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), Difans muskular-/-,
Hepar/Lien tidak teraba/tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) 6-8 kali/menit

b. Genitalia Eksterna
Inspeksi : benjolan (+) keluar dari introitus vagina sebesar telur angsa,
permukaan tidak beraturan, berbenjol-benjol, warna merah dengan selaput
putih, perdarahan (+). Benjolan yang keluar dari introitus vagina lebih dari
+/- 4 cm

Palpasi : benjolan (+) konsistensi kenyal, nyeri tekan (+)

c. Inspekulo

Tidak dilakukan pemeriksaan

2. Pemeriksaan Dalam

Tidak dilakukan pemeriksaan


V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium :

HEMATOLOGI Hasil Satuan Nilai Normal


Hemoglobin 7.4 g/dl 11,7 – 15,0

VI. DIAGNOSIS KERJA

Prolaps Uteri Stadium IV

Ca Cerviks Stadium IB

Anemia

VII. TERAPI

a. R/ Vaginal histerektomi, Vaginalperinoplasti

b. Obs. KU, TTV, GCS, observasi perdarahan aktif

c. Informed Consent

d. IVFD Nacl 0.9% 20 tpm

e. Pro Tranfusi PRC

f. Edukasi

VIII. PROGNOSIS

 Quo Ad Vitam : malam

 Quo Ad Functionam : malam

 Quo ad sanationam : malam


IX. LAPORAN OPERASI

Tanggal Operasi : 18 Juli 2022

Operator : dr. Hermanus Suhartono Sp.OG

Ahli Anestesi : dr. Duma, Sp.An

Diagnosa Pra Bedah : Prolaps Uteri + Ca Cerviks IIIB + Anemia

Diagnosa Pasca Bedah : Post vaginal histerektomi, vaginalperinoplasti


prolaps uteri, ca cerviks IIIB

Jenis Operasi : vaginal histerektomi, vaginalperinoplasti

Jenis Anestesi : Spinal

Kategori Operasi : Besar

Laporan Operasi Lengkap

 Pasien terbaring diatas meja operasi dalam pengaruh anestesi

 Posisikan pasien dalam posisi litotomi

 Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dan sekitarnya

 Dilakukan tengel pada daerah puncak vesic urinaria

 Dilakukan vaginal histerektomi dan vaginalperinoplasti

 Kontrol perdarahan

 Stabilisasi pasien

 Post Operasi :

• IVFD RL : D5% = 2 :2

• Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr

• Inj Metronidazole 3 x 500 mg


X. FOLLOW UP PASCA OPERASI
Tanggal Pemeriksaan Tindakan
S : lemas (+) - Observasi K/KU/TTV
19/06/2021 O: KU : baik, CM, TD 90/60 ketat
Folow up mmHg, N 70x/mnt, RR 21/mnt, - Tranfusi PRC
Post Op T 36,1°C Spo2 : 99% - IVFD RL : D5% =

A: Post vaginal histerektomi 2 :2

dan vaginalperinoplasti A/i - Inj Ceftriaxone 2 x 1

Prolaps Uteri Stadium IV, Ca gr

cervix stadium IB, Anemia - Inj Metronidazole 3 x


500 mg`

XI. DIAGNOSIS AKHIR

Post vaginal histerektomi dan vaginalperinoplasti A/i Prolaps Uteri Stadium IV,
Ca cervix stadium IB, Anemia

XII. PEMERIKSAAN ANJURAN

1. Histopatologi PA

XIII. PERMASALAHAN

1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?

XIV. ANALISIS KASUS

1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

Prolaps Uteri Stadium IV

Berdasarkan anamnesis di dapatkan pasien dengan benjolan yag keluar


dari introitus vagina sejak 2 tahun SMRS disertai dengan perdarahan
pervaginam. Keluhan nyeri saat berhubungan (+)
Serta pada pemeriksaan fisik di dapatkan

Genitalia Eksterna
Inspeksi : benjolan (+) keluar dari introitus vagina sebesar telur angsa,
permukaan tidak beraturan, berbenjol-benjol, warna merah dengan
selaput putih, perdarahan (+). Benjolan yang keluar dari introitus
vagina lebih dari +/- 4 cm
Palpasi : benjolan (+) konsistensi kenyal, nyeri tekan (+)

Sehingga sesuai dengan teori diamana Prolaps (dari kata latin


Prolapsus) atau dikenal juga dengan desensus atau prosidentia adalah
turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh karena kelemahan otot
atau fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya. Dengan faktor
resiko multiparitas, makrosomia, usia dan ras serta peningkatan
tekanan intraabdomen. Pada pasien ditemukan faktor resiko multipara,
dengan jumlah anak 4, dengan persalinan pervaginam.

Temuan gejala pada pasien ini berupa benjolan yang keluar dari
vagina disertao dengan perdarahan pervaginam disertai dengan nyeri
saat berhubungan yang merupakan gejala dar prolaps uteri.

Pada pemeriksaan fisik di temukan massa/benjolan keluar dari


introitus vagina sebesar telur angsa, permukaan tidak beraturan,
berbenjol-benjol, warna merah dengan selaput putih, perdarahan
(+). Benjolan yang keluar dari introitus vagina lebih dari +/- 4 cm.
Berdasarkan sistem Klasifikasi di atas ada juga standar penentuan
derajat prolaps berdasarkan Standarisasi Terminologi POP-Q (yang
diadaptasi oleh International Continence Society oleh American
Urogynecology Society dan Society of Gynecologic Surgeons) dan
klasifikasi menurut Baden-Walker didapatkan prolaps uteri pada kasus
ini berada pada stadium IV dimana didapatkan eversi komplit total
panjang traktus genetalia bawah. Bagian distal prolapse uteri menurun
sampai (TVL-2)cm atau Penurunan maksimum untuk tiap lokasi.

Tabel 1. Klasifikasi POP-Q dan Baden-Walker


Sistem POP-Q Sistem Baden-Walker
Stadium prolapse uteri dibagi menjadi  Adekuat untuk keperluan praktik
5, yaitu :
klinik, asalkan seluruh
- Stadium 0 : tidak tampak
kompartemen dinilai.
prolapse uteri. Titik Aa, Ap, Ba,
dan Bp semuanya -3cm dan titik
C atau D terletak di antara –  Mengukur penurunan relative

TVL (Total vaginal length) dan terhadap hymen.

–(TVL-2)cm.
- Stadium I: Kriteria untuk  Stadium prolaps uteri dibagi

stadium 0 tidak ditemukan, tapi menjadi 5 bagian berdasarkan

bagian distal prolaps >1cm di turunnya bagian terbawah organ

atas level hymen. - Stadium 0: Posisi normal untuk

- Stadium II : Bagian paling distal tiap lokasi.

prolapse uteri ≤1cm proksimal - Stadium 1: Penurunan sampai

atau distal hymen. dengan setengah jarak menuju

- Stadium III : Bagian paling hymen.

distal prolapse uteri >1cm di - Stadium 2: turun sampai dengan

bawah hymen tapi tidak hymen.

menurun lebih dari 2cm dari - Stadium 3: turun setengah jarak

TVL. melewati hymen.

- Stadium IV : eversi komplit - Stadium 4: Penurunan


total panjang traktus genetalia maksimum untuk tiap lokasi.
bawah. Bagian distal prolapse
uteri menurun sampai (TVL-
2)cm

Gambar 9. Pembagian sistem POP-Q

Gambar 10. Klasifikasi Baden-Walker

Ca Serviks Stadium IB

Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum. Temuan anamnesis umumnya pada pasien ca
cervix awalnya Asimptomatik, Gejala yang paling sering muncul lendir vagina yang
berair dan berdarah. jika tumor telah menginvasi kandung kemih dan rektum, akan
timbul hematuria dan gejala fistula vesikovaginal atau rektovaginal. Pada pemeriksaan
fisik di temukan Sebagian besar akan tampak normal. Namun, dalam tahapan lanjut,
akan tampak pembesaran kelenjar getah bening inguinal dan supraklavikula, edema tungkai
bawah, asites, dan penurunan suara paru mengindikasikan metastasis. Dengan spekulum,
serviks tampak normal jika mikroinvasif. Jika makroinvasif, tampak lesi yang membentuk
massa polipoid, jaringan papiler, jaringan nekrotik, pertumbuhan ekso atau endofitik, ulserasi,
dan serviks berbentuk tong (barrel-shaped cervix).

Faktor risiko kanker serviks adalah hubungan seksual pada usia muda, hubungan
seksual dengan banyak pasangan seksual, laki-laki berisiko tinggi, tembakau,
kontrasepsi oral, supresi sistem imun, nutrisi, serta adanya penyakit hubungan seksual
misalnya, trikomoniasis, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus. Faktor
risiko terakhir dan yang paling penting adalah infeksi HPV.

Pemeriksaan penunjang yang dilaukan pada pasien untuk skrining umumnya


papsmear, IVA test. Pemeriksaan penunjang lain dapat berupa kolposkopi dan biopsi
serviks.

Tabel 2.3 Klasifikasi Histologi Dan Stadium menurut FIGO19


Klasifikasi Stadium menurut FIGO
0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif)
I Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat
diabaikan)
IA Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua lesi yang
terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial, dimasukkan
ke dalam stadium IB
IA1 Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm atau kurang
pada ukuran secara horizontal
IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0mm
dengan penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara mikroskopik lesi
lebih besar dari IA2
IB1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau
kurang
IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0
cm II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding panggul
atau mencapai 1/3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIA1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau
kurang
IIA2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0
cm
IIB Tumor dengan invasi ke parametrium
III Tumor meluas ke dinding panggul/ atau mencapai 1/3 bawah vagina dan/atau
menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding panggul
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan / atau menimbulkan
hidronefrosis atau afungsi ginjal
IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau meluas
keluar panggul kecil (true pelvis)
IV B Metastasis jauh (termasuk penyebaran pada peritoneal, keterlibatan dari
kelenjar getah bening supraklavikula, mediastinal, atau para aorta, paru, hati,
atau tulang)
Gambar 2.5: Klasifikasi Stadium Kanker Serviks berdasarkan FIGO15

Berdasarkan anamnesis pasien di dapatkan pasien dengan


perdarahan pervaginam seja 2 tahun yang lalu disertai dengan penurunan berat
badan drastis. Selama 2 tahun terakhir juga pasien mengaku banyak lendir dan keputihan,
dengan keputihan yang berbau. Pasien juga belum vaksin gardasil. Untuk faktor resiko pasien
belum ditemukan. Berdasarkan anamnesis, walaupun sebagian besar ca cerviks awalnya
asimtomatik. Pasien telah menunjukan gejala ca cerviks dimana terdapat temuan perdarahan
pervaginam, produksi lendir pervaginam dan keputihan yang meningkat disertai dengan
penurunan berat badan yang merupakan tanda keganasan. Pasien juga belum vaksin gardasil
sebagai bentuk pencegahan terhadap ca cerviks.

Pada pemeriksaan fisik di temukan massa/benjolan keluar dari introitus vagina


sebesar telur angsa, permukaan tidak beraturan, berbenjol-benjol, warna merah
dengan selaput putih, perdarahan (+). Benjolan yang keluar dari introitus vagina
lebih dari +/- 4 cm.

Gambaran permukaan serviks yang abnormal dengan bentuk berbenjol-benjol dilapisii


selaput putih menandakan adanya pertumbuhan yang tidak normal. Sementara temuan
terbatas hanya pada serviks sehingga berdasarkan klasifikasi Stadium Kanker Serviks
berdasarkan FIGO temuan ini masuk dalam stadium IB Lesi terlihat secara klinik dan
terbatas di serviks atau secara mikroskopik lesi lebih besar dari IA2. Temuan ini dapat lebih
pasti jika di dukung dengan penunjang pemeriksaan patologi anatomi/ histopatologi.
2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?

Penatalaksanaan prolaps uteri pada pasien ini sesuai dengan literatur, yaitu dilakukan dengan
TVH (Trans Vaginal Histerektomi) dan Vaginoperinoplasti. Indikasi untuk melakukan TVH
pada pasien ini yaitu prolaps uteri yang terjadi sudah tingkat lanjut (derajat IV) dan pasien ini
dengan perdarahan aktif pervaginam disertai dengan tanda anemia serta tanda syok. Sehingga
penatalaksanaan operatif harus segera di lakukan.

Penatalaksanaan untuk Ca Cerviks pada pasien ini belum ada karena sementara menunggu
hasil pemeriksaan patologi anatomi. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menentukan
penatalaksanaan lanjutan untuk pasien ini.

XV. KESIMPULAN

1. Diagnosis pada pasien ini sudah tepat

2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat, namun belum tuntas,


karena belum ada tindakan PA untuk mengetahui apakah terdapat
keganasan pada pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Junizaf SA. Kelainan Letak Alat-Alat Genital. Dalam : Ilmu Kandungan edisi ke 3.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011. Hlm. 70-76
2. Detollenaere RJ, Boon J, Stekelenburg J, Alhafidh AH, Hakvoort RA, et al. Treatment
of Uterine Prolapse Stage 2 or Higher: A Randomized Multicenter Trial Comparing
Sacrospinnosus Fixation with Vaginal Hysterectomy (SAVE U Trial). BMC Womens
Health Journals. 2011; 11(4):1-6.
3. Khalilullah SA, Masnawati, Saputra RW, dan Hayati M. Prolapsus Uteri pada Rumah
Sakit Umum DR.Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia selama 2007 sampai 2010.
Banda Aceh: Departemen Obsgyn FK Univ Syiahkuala. 2011.
4. Fortnes K et al. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. Baltimore.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
5. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007. Hlm. 103-131, 421-446
6. Thomson JD. Surgical Techniques For Pelvic Organ Prolapse. In: Bent AE, Ostergard
DR, Cundiff GW, et al, eds. Ostergard’s urogynecology and pelvic floor dysfunction.
5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2003.
7. Barsoom RS, Dyne PL. Uterine Prolapse in Emergency Medicine [internet].
Medscape Article. 2013. [cite on december 24, 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/797295-overview#showall.
8. Decherrney AH, Goodwin TM, et al. Current Diagnosis and Treatment. New York:
The McGraw hill. 2007. Hlm. 720-734
9. Doshani A, Teo R, Mayne CJ, Tincello DG. Uterine Prolapse (Clinical Review).
BMJ. 2007; 335:819-23.
10. Schorge J et al. Williams Gynecology Chapter 24. United States: The McGraw Hill.
2008.
11. Putra IGM, Pratiwi KY. Prolaps Organ Panggul. Denpasar: Bagian Obsgyn FK
Udayana. 2010.
12. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan Uroginekologi Indonesia.
Panduan Penatalaksanaan Prolaps Organ Panggul. 2013. Hlm. 1-19
13. George L. Uterine Prolapse [internet]. Medscape Article. 2013. [cite on December 24,
2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/264231-overview#showall
14. Cunningham FG, et al. Kelainan saluran reproduksi. Dalam : Obstetri Williams vol 2
ed 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
15. World Health Organization. Comprehensive servical cancer control: a guide to
essential practice. Second edition. Geneva: WHO; 2014.
16. Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2010.
17. Snell RS. Perineum, organ genitalia feminina dan persalinan. dalam: Anatomi klinis
berdasarkan sistem. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2011.
18. Mescher AL. Histologi dasar junqueira. Edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2011.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan penatalaksanaan kanker
serviks. Jakarta: Kemenkes RI; 2011.
20. European Society Gyncology Oncology. Algorithms for management of cervical
cancer. Geneva: ESG0; 2011.
21. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin
DM, Forman D, Bray, F. GLOBOCAN 2012 v1.0, Cancer Incidence and Mortality
Worldwide: IARC CancerBase No. 11. Lyon, France: International Agency for
Research on Cancer; 2013. Available from: http://globocan.iarc.fr, accessed on
20/12/2017.
22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Balitbangkes Kemenkes RI; 2013.
23. Young RC. Gynecologic malignancy. In: Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Jameson J,
Kasper D, Longo D. editors. Harrison’s principles of internal medicine.16th ed. New
York: McGraw-Hill; 2005.p.556-8.
24. Carter J, Saunders V. Virology: principles and applications. England: John Wiley &
Sons, Ltd; 2017
25. Haverkos HW. Multifactorial etiology of cervical cancer: a hypothesis. Medscape
General Medicine 2005;7(4):57.
26. Pradipta B, Sungkar S. Penggunaan vaksin human papilloma virus dalam pencegahan
kanker serviks. J Maj Kedokt Indon. Nopember 2007: 57 (11); 391-6.
27. Haffner LJ, Schust DJ. At a Glance Sistem Reproduksi: Kanker Serviks. 2nded.
Jakarta:Erlangga; 2008. P.94-5.
28. Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology: The Female Genital
System and Breast. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
29. Brooks GF, et al. Mikrobiologi Kedokteran: Virus Kanker Manusia. Jakarta: Penerbit
Buku EGC; 2004.
30. Alliance for Cervical Cancer Prevention (ACCP). Improving screening coverage rates
of cervical cancer prevention programs: A focus on communities. Cervical Cancer
Prevention Issues in Depth 4;2004.
31. Rasjidi I. Epidemiologi kanker pada wanita. Jakarta: Sagung Seto; 2010,
32. Cunnigham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Sponge CY. Williams
gynecology: cervical cancer. USA: The Mc.Graw-Hill Companies; 2008.
33. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius; 2001.
34. Sweet RL, Gibbs RS. Infectious disease of female genital tract. 5th ed. USA:
Lippincott Williams and Wilkins; 2009.

Anda mungkin juga menyukai