Prolaps organ panggul dan inkontinensia urin adalah kondisi umum yang mempengaruhi
banyak wanita dewasa saat ini. Prolapas organ panggul adalah kondisi abnormal atau herniasi
organ panggul dari posisi normal di panggul. Diperkirakan 50% dari wanita yang telah
melahirkan akan menderita prolapse organ panggul dan hampir 20% kasus ginekologi yang
menjalani operasi adalah akibat kasus prolaps organ panggul. Angka ini akan terus meningkat
jumlahnya akibat usia harapan hidup wanita Indonesia yang terus meningkat.1
Prolaps uteri merupakan salah satu dari prolaps organ panggul dan menjadi kasus nomor
dua tersering setelah cystourethrocele (bladder and urethral prolapse). Prolaps organ panggul
masih menjadi masalah kesehatan pada wanita yang insidennya mencapai 40% pada wanita usia
diatas 50 tahun.2,3
Prolaps uteri dapat diatasi dengan tindakan preventif, kuratif, atau rehabilitatif dan jika
memang dibutuhkan terapi dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif. Pengetahuan dan
pemahaman tentang prolapse uteri cukup penting sehingga setiap wanita yang mengalaminya
dapat hidup dengan layak tanpa memberikan beban yang berat pada keluarga maupun pada
masyarakat apabila ditatalaksana dengan tepat dan benar sejak dini.4
Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher
rahim/serviks, bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks
biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal dari sel
skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada
saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Karsinoma serviks biasanya timbul pada zona
transisional yang terletak antara epitel sel skuamosa dan epitel sel kolumnar yang biasanya
disebut sebagai squamo columnar junction (SCJ).1
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara global
dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke- 6 di negara kurang berkembang) dan urutan ke-
8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas
akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang, dan urutan
ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di Indonesia kanker serviks menduduki
urutan kedua dari sepuluh kanker terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010
dengan insidens sebesar 12,7%.2
Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita penderita baru
kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu
kasus kanker serviks. Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000 penderita baru di
seluruh dunia dan umumnya terjadi di negara berkembang. 2 Pada tahun 2030, jumlah penderita
kanker serviks di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat hingga sebesar tujuh kali lipat.2
Program screening dan terapi yang terorganisir secara baik yang digunakan untuk
memeriksa tanda-tanda prekanker dan menanganinya secara dini dapat mencegah kanker serviks
secara efektif. Program ini pada umumnya berdasarkan pada kunjungan berulang, screening
berdasarkan sitologi (Pap smear), yang diikuti dengan kolposkopi dan biopsi apabila terdapat
indikasi medis. Hal tersebut tentu membutuhkan suatu pengorganisasian dan sistem manajemen
yang canggih, termasuk secara aktif mengundang para wanita yang berisiko menderita
karsinoma serviks untuk menjalani screening, menjamin kualitas sistem pengujian dan
pengobatan, serta memonitor sistem perawatan dan follow-up secara teliti. Negara-negara maju
yang telah mengimplementasikan program ini selama 40 tahun teleh menunjukkan penurunan
angka kejadian penyakit yang dramatis.3,4
Sebaliknya di negara-negara berkembang di mana 80% kasus karsinoma serviks di dunia
terjadi, karsinoma serviks masih menjadi salah satu penyebab kematian utama pada wanita.
Sistem screening dan pengobatan di negara-negara tersebut secara umum tidak terjangkau oleh
semua kalangan atau bahkan tidak tersedia. Bahkan apabila program tersebut tersedia, hal itu
kemungkinan tidak berjalan secara efektif karena pengaruh aspek pelatihan, pengontrolan
kualitas, atau dari segi logistik.3,4 Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penderita kanker
serviks di Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani
sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada.
Kejadian kanker serviks akan sangat mempengaruhi hidup dari penderitanya dan keluarganya
serta juga akan sangat mempengaruhi sektor pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab
itu peningkatan upaya penanganan kanker serviks, terutama dalam bidang pencegahan dan
deteksi dini sangat diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PROLAPS UTERI
2.1 Anatomi Pelvis
Pelvis dibentuk oleh 4 buah tulang, yaitu:5
a. Dua buah ossae coxae yang membentuk dinding anterior dan lateral.
b. Os sacrum dan os coccygis (bagian dari columna vertebralis) membentuk dinding
dorsal pelvis.
Panggul dibagi oleh apertura pelvis superior (pintu atas panggul) yang dibentuk oleh
promontorium sacralis di sebelah dorsal, linea iliopectinea di sebelah lateral dan
symphysis pubis di sebelah anterior, menjadi6:
a. Pelvis spurium (pelvis major), yaitu bagian di atas apertura tersebut, merupakan
bagian bawah rongga abdomen
b. Pelvis verum (pelvis minor), yaitu rongga di bawah apertura pelvis superior tersebut.
a. Pelvis spurium (Pelvic Major)
Pelvis spurium merupakan bagian yang terdapat di depan vertebrae lumbalis sebagai
batas dorsal; fossa iliaca dengan m.iliacus berada di sebelah lateral dan dinding
abdomen bagian bawah di sebelah ventral. Pelvis spurium ini juga merupakan bagian
rongga perut. Fungsinya menahan alat-alat rongga perut dan menahan uterus yang
berisi fetus pada wanita hamil sejak bulan ketiga.6
Membrana perineal (terdiri dari diafragma urogenital dan otot-otot yang membentuk badan
perineal dan sfingter uretra). Otot yang aktif sebagai penggantung ini dengan syaraf-
syarafnya penting untuk mempertahankan posisi organ pelvis dan merupakan penyangga
yang aktif. Dengan kata lain, penyangga beban dilakukan oleh otot-otot pelvis. Di sisi lain
jaringan ikat (fasia) berfungsi untuk mempertahankan dan menstabilkan organ pelvis.1
Karena manusia berdiri tegak lurus, maka dasar panggul perlu mempunyai kekuatan untuk
menahan semua beban yang diletakkan padanya, khususnya isi rongga perut dan tekanan
intraabdominal. Beban ini ditahan oleh lapisan otot-otot dan fasia yang apabila mengalami
tekanan dan dorongan berlebihan atau terus-menerus dapat timbul prolapsus genitalis.1,5
Pintu bawah panggul terdiri atas diafragma pelvis, diafragma urogenital, dan lapisan-lapisan
otot yang berada diluar (penutup genitalia eksterna). Diafragma pelvis merupakan penutup
bagian bawah dari rongga perut, dan terbentuk oleh muskulus levator ani dan muskulus
koksigeus yang menyerupai sebuah mangkok serta fasia endopelvik.1,5
Di bawah otot levator ani terdapat diafragma urogenital yang menutup hiatus genitalis,
dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus perinei profundus dan muskulus
transversus superfisialis berjalan antara arkus pubis kanan-kiri. Di dalam sarung
aponeurosis itu terdapat muskulus rhabdo sfingter urethrae.5
Lapisan paling luar (distal) dibentuk oleh muskulus bulbokavernosus yang melingkari
genital eksterna, muskulus perinei transversus superfisialis, muskulus iskhiokavernosus dan
muskulus sfingter ani eksternus.5
Semua otot dibawah pengaruh saraf motorik dan dapat dikejangkan aktif. Fungsi otot-otot
tersebut diatas adalah sebagai berikut:5
Muskulus levator ani berfungsi mengerutkan lumen rectum, vagina, uretra dengan cara
menariknya ke arah dinding tulang pubis sehingga organ-organ pelvis di atasnya tidak
dapat turun (prolaps), mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer
sehingga ligament-ligament tidak perlu bekerja mempertahankan letak organ-organ
pelvic di atasnya, sebagai sandaran uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung
kemih. Bila otot levator rusak atau mengalami defek maka ligament seperti ligament
kardinale, sakro uterine mempunyai kerja yang berat.
Diafragma urgenital berfungsi memberi bantuan pada otot levator ani menahan organ-
organ pelvis.
Muskulus sfingter ani eksternus diperkuat oleh muskulus levator ani menutup anus.
Muskulus bulbokavernosus mengecilkan introitus vagina di samping memperkuat fungsi
muskulus sfingter vesisae internus yang terdiri atas otot polos.
Dinding kandung kencing mempunyai lapisan otot polos yang kuat, beranyaman seperti
anyaman tikar. Selaput kandung kencing di daerah trigonum Lieutaudi licin dan melekat
pada dasarnya. Pada daerah kandung kencing dan bagian atas uretra terdapat muskulus
lissosfingter, terdiri atas otot polos, dan berfungsi menutup jalan urine setempat.5
Uretra panjangnya 3,5-5 cm berjalan dari kandung kencing kedepan di bawah dan belakang
simfisis, dan bermuara di vulva. Pada wanita yang berbaring arahnya kurang lebih
horisontal. Di sepanjang uretra terdapat muskulus sfingter. Yang terkuat adalah muskulus
lissosfingter dan muskulus rhabdosfingter (bagian dari diafragma urogenitale).5
Rektum
Rektum berjalan melengkung sesuai dengan lengkungan os sakrum, dari atas ke anus.
Antara rektum dan uterus terbentuk ekskavasio rektouterina, terkenal sebagai kavum
Douglasi, yang diliputi oleh peritoneum viserale. Dalam klinik rongga ini mempunyai arti
penting: rongga ini menonjol jika ada cairan (darah atau asites) atau ada tumor di daerah
tersebut. Dasar rongga tersebut terletak 5-6 cm di atas anus. Anus ditutup oleh muskulus
sfingter ani eksternus, diperkuat oleh muskulus bulbokavernosus, muskulus levator ani, dan
jaringan ikat perineum.5
Gambar 6. Jaringan dan Dinding Penyokong Organ Pelvic
Telah banyak diketahui bahwa faktor predisposisi untuk terjadinya prolapsus genitalia
terutama adalah persalinan pervaginam lebih dari satu kali dan pekerjaan yang
menyebabkan tekanan intra abdominal meningkat serta kelemahan dari ligamentum-
ligamentum karena hormonal pada usia lanjut. Trauma persalinan, beratnya uterus pada
trauma persalinan, beratnya uterus pada masa involusi uterus, mungkin juga sebagai
penyebab. Pada suku Bantu involusi uterus lebih cepat terjadi dari pada orang kulit putih
dan juga pulihnya otot-otot dasar panggulnya. Hampir tak pernah ditemukan subinvolusi
uteri pada suku Bantu tersebut.4,5,8
Di Indonesia prolapsus genitalis lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan,
wanita tua yang menopause dan wanita dengan pekerjaan yang cukup berat. Di Rumah Sakit
Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dari tahun 1995-2000 telah dirawat 240 kasus prolapsus
genitalia yang mempunyai keluhan dan memerlukan penanganan terbanyak dari penderita
pada usia 60-70 tahun dengan paritas lebih dari tiga.1
Selain Klasifikasi di atas ada juga standar penentuan derajat prolaps berdasarkan
Standarisasi Terminologi POP-Q (yang diadaptasi oleh International Continence Society
oleh American Urogynecology Society dan Society of Gynecologic Surgeons) dan
klasifikasi menurut Baden-Walker:9
Faktor risiko yang disebutkan di atas tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal yang masih
menjadi kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan forceps untuk
mempersingkat kala kedua dan episiotomy. Beberapa ahli menyatakan penggunaan
forceps dan episiotomy tidak dianjurkan karena terbukti kurang bermanfaat dan
berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin. Pertama, penggunaan forceps dapat
menyebabkan cedera panggul dengan laserasi sfingter anal. Kedua, Forcep tidak terbukti
dalam memperpendek kala dua. Karena alasan inilah, pengguanaan forceps tidak
dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti bermanfaat tetapi dapat
menyebabkan laserasi sfingter anal, inkontinensia urin, konstipasi postpartum, dan nyeri
postpartum. Namun hal ini masih mejadi hal yang dipertanyakan karena belum ada
panjelasan jelas mengenai hal tersebut.4,6,10
3. Umur
Usia lanjut juga merupakan faktor risiko prolapsus uteri. Pada wanita yang telah
menopause, di samping akibat kurangnya hormon estrogen (hipoestrogenism) yang
dihasilkan oleh ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar panggul
seperti diafragma pelvis, diafragma urogenital dan ligamentum serta fasia akan
mengalami atrofi dan melemah, serta terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan
menyebabkan otot-otot dan fascia tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik
sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan terjadinya prolapsus genitalia.5,10
4. Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita berkulit hitam, dan wanita
Asia menunjukkan risiko terendah, sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki
risiko tertinggi. Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah dibuktikan antara
ras, namun perbedaan tulang panggul dalam setiap ras mungkin juga berperan.
Misalnya, perempuan kulit hitam, umumnya arcus pubis < 90 derajat dan umumnya
bentuk panggulnya adalah android atau antropoid. Bentuk panggul ini mengurangi
resiko untuk terjadinya prolapsus uteri dibandingkan dengan ras Barat dimana rata-rata
bentuk panggulnya ginekoid.8,10
Cedera neuropati dari otot levator ani juga dapat disebabkan oleh melahirkan pervaginam.
Wanita yang pernah melahirkan pervaginam memiliki resiko lebih tinggi mengalami defek
neuropati dibandingkan dengan yang melahirkan melalui seksio sesaria tanpa cedera.
Mengedan terlalu sering saat BAB juga dihubungkan dengan denervasi otot-otot panggul.
Mengedan berlebihan dapat menyebabkan cedera peregangan saraf pudendal sehingga
menimbulkan neuropati.11
Fasia endopelvic merupakan jaringan ikat yang membungkus semua organ-organ panggul
dan menghubungkannya dengan otot-otot penyokong dan tulang-tulang panggul. Jaringan
ikat ini menahan vagina dan uterus pada posisi normalnya sehingga memungkinkan
pergerakan visceral untuk menyimpan urin dan feses, berhubungan seksual, melahirkan, dan
BAB. Kerusakan atau peregangan jaringan ikat ini terjadi pada saat melahirkan pervaginam
atau histerektomi, dengan mengedan terlalu sering atau dengan proses penuaan normal.
Bukti tentang abnormalitas jaringan ikat dan proses perbaikannya pasca cedera menjadi
faktor predisposisi beberapa wanita mengalami prolaps. Wanita yang mengalami prolaps
dapat menunjukkan adanya perubahan metabolisme kolagen, meliputi penurunan kolagen
tipe I dan peningkatan kolagen tipe III.11
Keluhan yang dijumpai pada umumnya adalah perasaan mengganjal di vagina atau adanya
yang menonjol di genitalia eksterna, rasa sakit di panggul atau pinggang dan bila pasien
berbaring keluhan berkurang, bahkan menghilang. Sistokel yang sering menyertai prolaps
menyebabkan gejala-gejala polimiksi mula-mula ringan pada siang hari, lama kelamaan bila
prolaps lebih berat gejalanya juga timbul pada malam hari. Adanya perasaan kandung kemih
tidak dapat dikosongkan secara tuntas, tidak dapat menahan kencing bila batuk (stress
incontinence) dan kadang dapat terjadi pula retensio urinae. Retrokel dapat menyebabkan
gangguan defekasi. Prolapsus uteri derajat III dapat menyebabkan gejala gangguan bila
berjalan dan bekerja. Gesekan porsio uteri pada celana menimbulkan luka dan dekubitus
pada porsio uteri. Selain itu prolaps dapat menimbulkan kesulitan bersenggama.1
Prisip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut membuat tekanan pada dinding
vagina bagian atas, sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat
turun dan melewati vagina bagian bawah. Pessarium yang paling baik untuk prolaps
genitalia ialah pessarium cincin, terbuat dari plastik. Jika dasar panggul terlalu lemah
dapat digunakan pessarium Napier.9
Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan prolaps tanpa melihat
stadium ataupun lokasi dari prolaps. Alat ini digunakan oleh 75%-77% ahli
ginekologi sebagai penatalaksanaan lini pertama prolaps. Pesarium tersedia dalam
berbagai bentuk dan ukuran, serta dapat dikategorikan menjadi suportif (seperti
pesarium ring) atau desak ruang(seperti pesarium donat). Pesarium yang biasa
digunakan pada prolaps adalah pesarium ring (dengan dan tanpa penyokong),
Gellhorn, donat, dan pesarium cube. Tipe pesarium yang bisa dipasang berhubugnan
dengan derajat prolaps.12
Ada banyak jenis dan bentuk pesarium untuk mempertahankan uterus pada
tempatnya. Pesarium dapat dipakai bertahun-tahun asal diawasi secara teratur.
Penempatan pesarium bila tidak tepat atau bila ukurannya terlalu besar dapat
menyebabkan perlukaan pada dinding vagina dan dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan. Pesarium diindikasikan bagi mereka yang belum siap untuk dilakukan
tindakan operatif atau bagi mereka yang lebih suka pengobatan konservatif.12
CA SERVIKS
Serviks adalah bagian bawah uterus yang silindris dan struktur histologinya berbeda
dari bagian lain uterus. Lapisan mukosa endoserviks adalah suatu epitel selapis silindris
penghasil-mukus pada lamina propria yang tebal. Regio serviks tempat canalis
endocervicalis membuka ke dalam vagina disebut ostium externum, yang menonjol ke
dalam bagian atas vagina dan dilapisi oleh mukosa exoserviks yang memiliki epitel gepeng
berlapis. Suatu taut khas, atau zona transformasi, dijumpai dengan perubahan mendadak
epitel kolumnar selapis menjadi epitel kolumnar berlapis. Lapisan tengah serviks yang
lebih dalam memiliki sedikit otot polos dan terutama terdiri atas jaringan ikat padat. Dari
stroma ini, banyak limfosit dan leukosit lain mempenetrasi epitel berlapis untuk
memperkuat pertahanan imun setempat terhadap mikroorganisme. Sebelum partus, serviks
sangat melebar dan melunak akibat aktivitas kolagenolisis hebat pada stroma.18
2.14 DEFINISI
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum.19
2.15 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus. 5
Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi data vital, dan
data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per tahun insiden dari
kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980. Ditemukan sekitar
200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-49
tahun yang hidup di negara sedang berkembang.20
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara
global dalam segi angka kejadian (urutan ke-6 di negara kurang berkembang) dan urutan
ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka
mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara
berkembang, dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global.21
2.16 ETIOLOGI
HPV merupakan agen yang berperan besar dalam proses terjadinya kanker serviks.
DNA HPV dapat ditemukan pada 99% kasus kanker serviks di seluruh dunia, karena itu
penyebab kanker serviks diduga sebagai akibat infeksi menetap dari virus HPV. Pada
proses karsinogenesis, asam nukleat virus dapat bersatu ke dalam gen dan DNA manusia
sehingga menyebabkan mutasi sel. HPV memproduksi protein yaitu protein E6 pada HPV
tipe 18 dan protein E7 pada HPV tipe 16 yang masing-masing mensupresi gen P53 dan gen
Rb yang merupakan gen penghambat perkembangan tumor.22-23
Gambar 2.5 Peran HPV E6 dan E7
Virus papiloma pertama kali berhasil diisolasi dari kelinci cottontails pada tahun
1933. Pada tahun 1935 ditemukan bahwa kondiloma yang diinduksi virus papiloma
memiliki potensi untuk menjadi suatu keganasan. HPV adalah virus DNA sirkuler dengan
untaian ganda yang tidak berselubungkan virion. Virus tersebut adalah anggota famili
Papoviridae, genus papillomavirus. HPV memiliki kapsul isohedral dengan ukuran 72
kapsomer dan berdiameter 55 mikrometer. Berat molekul HPV adalah 5 x 10 6 Dalton. Saat
ini telah diidentifikasi lebih dari 100 tipe HPV dan mungkin akan lebih banyak lagi di
masa mendatang. Dari 100 tipe tersebut, hanya kurang dari setengahnya yang dapat
menginfeksi salurankelamin. Masing-masing tipe mempunyai sifat tertentu pada kerusakan
epitel dan perubahan morfologi lesi yang ditimbulkan. Tipe yang dapat menyebabkan
keganasan adalah HPV tipe 16, 18, 26, 27, 30, 31, 33-35, 39, 40, 42-45, 51-59, 61, 62, 64,
66-69 dan 71-74.24,25
Walaupun terdapat hubungan erat antara HPV dan kanker serviks, belum ada bukti
yang mendukung bahwa HPV adalah penyebab tunggal. HPV tipe 6 dan 11 ditemukan
pada 35% kondiloma akuminata dan NIS 1, 10 % pada NIS 2-3, serta hanya 1% ditemukan
pada kondiloma invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 10% kondiloma akuminata
dan NIS 1, 51% pada NIS 2-3, serta pada 63% karsinoma invasif.26
2.17 KLASIFIKASI
Berikut ini adalah tabel klasifikasi lesi prakanker hingga menjadi karsinoma invasif
serviks uteri. Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan
pemeriksaan histopatologik sebagai konfirmasi
diagnostik.19
Tabel 2.3: Klasifikasi Kanker Serviks19
Klasifikasi Sitologi Klasifikasi Histopatologi
Bethesda classification, 2015 WHO classification, 2014
Squamous lesion Squamous cell tumors and precursor
A. Atypical squamous cells (ASC) A. Squamous intraepithelial lesions
Atypical squamous cells – Low-grade squamous
undetermined significance Intraepithelial lesion (LSIL)
(ASC-US) High-grade squamous
Atypical squamous cells – cannot Intraepithelial lesion (HSIL)
exclude a high-grade squamous B. Squamous cell carcinoma
intraepithelial lesion (ASC-H)
B. Squamous intraepithelial lesion
(SIL)
Low-grade squamous
intraepithelial lesion (LSIL)
High-grade squamous
intraepithelial lesion (HSIL)
o With features suspicious
for invasion
C. Squamous cell carcinoma
Glandular lesion Glandular tumors and precursor
A. Typical A. Adenocarcinoma in situ
Endocervical cells (NOS, or B. Adenocarcinoma
specify in comments)
Endometrial cells (NOS, or
specify in comments)
Glandular cells (NOS, or
specify in comments)
B. Atypical
Endocervical cells, favor
neoplastic
Glandular cells, favor
neoplastic
C. Endocervical adenocarcinoma in situ
(AIS)
D. Adenocarcinoma
Endocervical
Endometrial
Extrauterine
Not otherwise specified (NOS)
Other epithelial tumors
A. Adenosquamous carcinoma
B. Adenoid basal carcinoma
C. Adenoid cystic carcinoma
D. Undifferentiated carcinoma
Neuroendocrine tumors
A. Low-grade neuroendocrine tumor
B. High-grade neuroendocrine
carcinoma
2.18 PATOGENESIS
Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastik pada lapisan
epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau
karsinoma in situ (KIS).19 Karsinoma serviks merupakan salah satu kanker yang paling
sering pada wanita di seluruh dunia. Karsinoma sel skuamosa invasif mencakup 80%
keganasan serviks. Tidak seperti kanker saluran reproduksi lainnya yang lebih banyak
terjadi di negara industri, kanker serviks merupakan kanker pembunuh nomer satu pada
wanita di dunia ketiga. Epidemiologi menunjukan bahwa kanker seviks merupakan
penyakit menular seksual. Kanker skuamosa serviks dapat dicegah jika dilakukan skrining
dan terapi yang tepat.26,27
Hampir semua karsinoma sel skuamosa serviks invasif berkembang dari prekusor
perubahan epitel yang disebut CIN (cervical intraepithelial neoplasia). Meskipun begitu,
tidak semua CIN akan berkembang menjadi kanker. Kadangkala CIN tetap ada, tetapi tidak
berubah atau berkembang.28
Umumnya, CIN bersifat asimptomatik dan terjadi sekitar 5-15 tahun sebelum
berkembangnya karsinoma invasif. Hampir semua kanker serviks berkembang pada zona
transformasi seviks. Lokasi sambungan skuamokolumnar tersebut dapat berubah sebagai
respon serviks terhadap berbagai faktor dan terdapat perbedaan lokasi antara anak
perempuan pascapubertas, dengan wanita menopause. Pada wanita tua, zona transformasi
jauh berada di kanal endoserviks. 27
Pemeriksaan sitologis dapat mendeteksi CIN sebelum ketidaknormalan nampak
secara kasar. Perubahan prekanker berupa CIN dapat bermula dari lesi derajat ringan yang
berkembang menjadi derajat yang lebih tinggi atau bisa juga serta beberapa faktor host
lainnya. Berdasarkan penampakan histologisnya, lesi prekanker dapat digolongkan
derajatnya menjadi28:
CIN I: diplasia ringan
CIN II: diplasia sedang
CIN III: displasia berat dan karsinoma in situ
Sementara itu, sistem Bethesda yang terbaru membedakan lesi prekanker menjadi
dua kelompok yaitu low-grade dan high-grade squamous intraepithelial lesions (SIL). Lesi
derajat rendah berkaitan dengan CIN I atau kondiloma yang rata sedangkan yang derajat
tinggi identik dengan CIN II atau III. CIN I atau yang seringkali disebut sebagai flat
condyloma ditandai dengan perubahan koilositosis yang utamanya terjadi pada lapisan
superfisial epitel. Koilositosis tersusun dari hiperkromatik inti dan angulasi dengan
vakuolisasi perinuklear yang disebabkan efek sitopatik HPV.
Pada CIN II, displasi terjadi lebih berat dengan maturasi keratinosit yang tertunda
sampai sepertiga epitelium. CIN II berkaitan dengan beberapa variasi pada ukuran sel dan
inti serta heterogenitas kromatin inti. Sel-sel pada lapis superfisial menunjukan beberapa
diferensiasi dan pada beberapa kasus dapat menunjukan pula perubahan koilositosis.
Tingkatan selanjutnya, yang kadangkala tidak jelas perbedaannya dengan CIN II, adalah
CIN III. Biasanya CIN III ini ditandai dengan variasi ukuran sel dan inti yang semakin
besar, heterogenitas kromatin, gangguan orientasi sel dan mitosis yang normal maupun
abnormal. Perubahan tersebut terjadi pada seluruh lapisan epitel dan dikarakteristikan
dengan hilangnya maturitas. Diferensiasi sel-sel permukaan dan perubahan koilositosis
biasanya sudah menghilang. Kondisi saat terjadi perubahan displasia yang lebih atipikal
dan meluas ke kelenjar endoserviks, tetapi masih terbatas pada sel epitel dan kelenjarnya,
disebut karsinoma in situ.28
2.20 DIAGNOSIS
Diagnosis kanker serviks ditegakkan melalui:
a. Anamnesis
Sebagian besar gejala kanker serviks pada wanita bersifat asimptomatik. Jika
timbul gejala, biasanya adalah lendir vagina yang berair dan berdarah. Perdarahan
yang intermiten juga muncul saat koitus atau membersihkan vagina. Nyeri punggung
yang menjalar ke bagian belakang kaki dan edema pada ekstremitas disebabkan oleh
kompresi saraf skiatik, limfa, vena, atau ureter. Jika terjadi obstruksi ureter akan
terdapat hidronefrosis dan uremia. Kemudian, jika tumor telah menginvasi kandung
kemih dan rektum, akan timbul hematuria dan gejala fistula vesikovaginal atau
rektovaginal.32
b. Pemeriksaan fisik
Sebagian besar akan tampak normal. Namun, dalam tahapan lanjut, akan tampak
pembesaran kelenjar getah bening inguinal dan supraklavikula, edema tungkai bawah,
asites, dan penurunan suara paru mengindikasikan metastasis. Dengan spekulum,
serviks tampak normal jika mikroinvasif. Jika makroinvasif, tampak lesi yang
membentuk massa polipoid, jaringan papiler, jaringan nekrotik, pertumbuhan ekso atau
endofitik, ulserasi, dan serviks berbentuk tong (barrel-shaped cervix). Saat palpasi
bimanual, teraba perbesaran uterus, ireguler, dan lunak akibat pertumbuhan dan invasi
tumor. Pemeriksaan melalui vaginal dan rectal toucher juga dapat dilakukan untuk
memeriksa apakah tumor telah menginvasi dinding posterior vagina, dinding pelvis,dan
lain-lain.32
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain paps smear yang
merupakan pemeriksaaan primer untuk mendiagnosis kanker serviks. Pemeriksaan
penunjang lain dapat berupa kolposkopi dan biopsi serviks. Jika ditemukan
abnormalitas pada paps smear, dilakukan kolposkopi dimana semua zona yang
abnormal diidentifikasi. Biopsi punch-cervical dan spesimen kerucut (conization)
berupa stroma dimana keduanya mampu membedakan diferensiasi antara karsinoma
invasif dan in situ.32
Pemeriksaan IVA (inspeksi visual asam asetat) dapat pula dijadikan pemeriksaan
penunjang dengan menggunakan larutan asam cuka (3-5%) dan larutan iodium lugol
untuk melihat perubahan warna serviks setelah olesan dimana sel yang mengalami
displasia memberikan gambaran acethowhile. Tidak direkomendasikan pada wanita
pascamenopause karena zona transisional (lokasi rentan tumbuhnya kanker) terletak
pada kanalis servikalis dan tidak tampak pada pemeriksaan inspikulo. Jika terdapat,
area berwarna putih dan permukaannya meninggi dengan batas yang jelas maka hasil
IVA positif. Meskipun mudah, murah,dan dapat dilakukan kapan saja (termasuk ketika
menstruasi) pemeriksaan ini sangat bergantung pada kejelian pemeriksa.32
Pemeriksaan Paps (Papanicolaou) Smear memiliki sensitivitas 50-80 persen untuk
mendeteksi lesi derajat tinggi. Penggunaan paps smear untuk evaluasi lesi yang
dicurigai tidaklah kuat sehingga dianjurkan untuk forsep biopsy Tischler atau kuret
Kevorkian. Didapatkan hasil positif palsu 3-15%, dan negatif palsu 5-50% akibat
pengambilan sediaan yang tidak adekuat. Adapun cara pengambilan spesimen:
Pasang spekulum cocor bebek untuk menampilkan serviks
Spatula dengan ujung pendek diusap 3600 pada permukaan serviks.
Usapkan spatula pada kaca benda yang telah diberi label sepanjang setengah
panjang kaca benda dan usapkan sekali saja.
Spatula Ayre yang sudah dimodifikasi dapat mencapai sambungan
skuamokolumner atau kapas lidi diusap 3600 kemudian diusap pada setengah
bagian panjang kaca sisanya.
Masukkan segera ke dalam larutan fiksasi biasanya alkohol 95% selama 30 menit.
Keringkan di udara lalu diwarnai dengan pewarnaan Papanicolaou.
Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:33
Negatif: tidak ditemukan sel ganas. Ulangi pemeriksaan sitologi dalam satu tahun
kemudian.
Inkonklusif: sediaan tidak memuaskan yang mungkin karena fiksasi yang tidak
baik, tidak ditemukan sel endoserviks, dan gambaran sel radang menutupi sel.
Lakukan pemeriksaan setelah radang diobati dan sebagainya.
Displasia: tampak sel diskariotik derajat ringan, sedang, hingga karsinoma in situ.
Dalam hal ini, dibutuhkan konfirmasi dengan kolposkopi dan biopsy serta
penanganan lebih lanjut dalam 6 bulan berikutnya.
Positif: terdapat sel ganas dan harus dipastikan dengan biopsy yang dilakukan
oleh ahli onkologi.
HPV: dapat ditemukan pada sediaan negatif atau displasia. Dilakukan
pemantauan ketat dengan konfirmasi kolposkopi dan ulangi pap smear.
Pemeriksaan radiologi juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang. CT
(Computed Tomography) scan sering digunakan untuk mengidentifikasi hidronefrosis,
jauhnya metastasis, dan rencana pengobatan. Khususnya, CT scan sangat berguna
dalam evaluasi nodus para-aorta limfatikus karena 100 persen spesifik dan 67 persen
sensitif. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) membantu dalam
menentukan staging khususnya ke ekstraservikal seperti parametrium, miometrium, dan
invasi tulang servikal interna. Dalam hal ini, MRI sangat akurat dalam melokalisasi
tumor dan memiliki sensitivitas yang lebih besar daripada CT scan untuk metastasis
nodus para-aorta. Pemeriksaan PET (Positron Emission Topography) menggunaan
radioisotope FDG (fluoro-2-deoksi-D-glukosa) yang menciptakan gambaran sesuai
dengan metabolisme subtrat di dalam tubuh dapat mendeteksi metastasis nodus para-
aorta dengan sensitivitas sebesar 78 persen.33
Gambar 2.8: Algoritma deteksi dini (program skrining) dengan Tes IVA19
Gambar 2.7: Algoritma Diagnosis Deteksi Dini dan Tata Laksana (Program
Skrining)19
2.21 TATALAKSANA
A. Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan
program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat
dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila
didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan
sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.19
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila
diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik. Bila hasil elektrokauter
tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan dengan tindakan konisasi
atau histerektomi total.19
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi:
LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi
1 tahun.
HSIL (high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan
observasi 6 bulan.19
2. Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi).19
Stadium IIB
Pilihan:
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)
3. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
3. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam penelitian).5
2.23 PROGNOSIS
Prognosis untuk pasien kanker serviks bergantung pada stadium. Selain stadium,
penilaian melalui keterlibatan kelenjar getah bening juga menentukan prognosis. Sebagai
contoh, survival rate untuk wanita dengan stadium dini dan tanpa keterlibatan nodus limfa
pelvis adalah sebesar 86 persen sedangkan wanita dengan keterlibatan nodus limfa hanya
sebesar 74 persen. Kanker serviks yang tidak diobati atau tidak merespons terhadap
pengobatan akan menyebabkan kematian dalam waktu dua tahun setelah timbul gejala.
Disamping itu, risiko tinggi terjadinya rekurensi ditemukan pada pasien yang menjalani
histerektomi. Oleh karena itu, perlu deteksi dini agar dapat ditangani segera dengan
radioterapi.33,34
Angka kesintasan 5 tahun, berdasarkan AJCC tahun 2010 adalah sebagai berikut.19
Tabel 2.4 Survival Rate Kanker Serviks19
Stadium 5-year survival
0 93%
I 93%
IA 80%
IIA 63%
IIB 58%
IIIA 35%
IIIB 32%
IVA 16%
IVB 15%
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny H
No RM : 498817
Umur : 38 tahun
Suku bangsa :
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Kotaraja
MRS : 08/07/2022
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
3. Riwayat Perkawinan :
Menikah
4. Riwayat Reproduksi/kehamilan/melahirkan
P4A0
6. Riwayat Kontrasepsi : -
Hipertensi (-) DM (-) Jantung (-) Paru (-) Obat Program (-)
8. Riwayat Kebiasaan :
3. Tanda Vital
Pernafasan : 22x/mnt
Kepala
Leher
Bentuk : Simetris, Normal
Toraks
Paru-paru
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis, Tidak ada tanda radang
Abdomen
Inspeksi : Cembung, Simetris, Jejas (-), Linea nigra (-), Striae alba (-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), Difans muskular-/-,
Hepar/Lien tidak teraba/tidak teraba
Perkusi : Timpani
Akral hangat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, Oedem tungkai -/-,
Varises (-), Refleks fisiologis +/+, Refleks patologis -/-.
1. Pemeriksaan Luar
a. Abdomen
Inspeksi : Cembung, Simetris, Jejas (-), Linea nigra (-), Striae alba (-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), Difans muskular-/-,
Hepar/Lien tidak teraba/tidak teraba
Perkusi : Timpani
b. Genitalia Eksterna
Inspeksi : benjolan (+) keluar dari introitus vagina sebesar telur angsa,
permukaan tidak beraturan, berbenjol-benjol, warna merah dengan selaput
putih, perdarahan (+). Benjolan yang keluar dari introitus vagina lebih dari
+/- 4 cm
c. Inspekulo
2. Pemeriksaan Dalam
a. Laboratorium :
Ca Cerviks Stadium IB
Anemia
VII. TERAPI
c. Informed Consent
f. Edukasi
VIII. PROGNOSIS
Kontrol perdarahan
Stabilisasi pasien
Post Operasi :
• IVFD RL : D5% = 2 :2
• Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr
Post vaginal histerektomi dan vaginalperinoplasti A/i Prolaps Uteri Stadium IV,
Ca cervix stadium IB, Anemia
1. Histopatologi PA
XIII. PERMASALAHAN
Genitalia Eksterna
Inspeksi : benjolan (+) keluar dari introitus vagina sebesar telur angsa,
permukaan tidak beraturan, berbenjol-benjol, warna merah dengan
selaput putih, perdarahan (+). Benjolan yang keluar dari introitus
vagina lebih dari +/- 4 cm
Palpasi : benjolan (+) konsistensi kenyal, nyeri tekan (+)
Temuan gejala pada pasien ini berupa benjolan yang keluar dari
vagina disertao dengan perdarahan pervaginam disertai dengan nyeri
saat berhubungan yang merupakan gejala dar prolaps uteri.
–(TVL-2)cm.
- Stadium I: Kriteria untuk Stadium prolaps uteri dibagi
Ca Serviks Stadium IB
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum. Temuan anamnesis umumnya pada pasien ca
cervix awalnya Asimptomatik, Gejala yang paling sering muncul lendir vagina yang
berair dan berdarah. jika tumor telah menginvasi kandung kemih dan rektum, akan
timbul hematuria dan gejala fistula vesikovaginal atau rektovaginal. Pada pemeriksaan
fisik di temukan Sebagian besar akan tampak normal. Namun, dalam tahapan lanjut,
akan tampak pembesaran kelenjar getah bening inguinal dan supraklavikula, edema tungkai
bawah, asites, dan penurunan suara paru mengindikasikan metastasis. Dengan spekulum,
serviks tampak normal jika mikroinvasif. Jika makroinvasif, tampak lesi yang membentuk
massa polipoid, jaringan papiler, jaringan nekrotik, pertumbuhan ekso atau endofitik, ulserasi,
dan serviks berbentuk tong (barrel-shaped cervix).
Faktor risiko kanker serviks adalah hubungan seksual pada usia muda, hubungan
seksual dengan banyak pasangan seksual, laki-laki berisiko tinggi, tembakau,
kontrasepsi oral, supresi sistem imun, nutrisi, serta adanya penyakit hubungan seksual
misalnya, trikomoniasis, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus. Faktor
risiko terakhir dan yang paling penting adalah infeksi HPV.
Penatalaksanaan prolaps uteri pada pasien ini sesuai dengan literatur, yaitu dilakukan dengan
TVH (Trans Vaginal Histerektomi) dan Vaginoperinoplasti. Indikasi untuk melakukan TVH
pada pasien ini yaitu prolaps uteri yang terjadi sudah tingkat lanjut (derajat IV) dan pasien ini
dengan perdarahan aktif pervaginam disertai dengan tanda anemia serta tanda syok. Sehingga
penatalaksanaan operatif harus segera di lakukan.
Penatalaksanaan untuk Ca Cerviks pada pasien ini belum ada karena sementara menunggu
hasil pemeriksaan patologi anatomi. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menentukan
penatalaksanaan lanjutan untuk pasien ini.
XV. KESIMPULAN
1. Junizaf SA. Kelainan Letak Alat-Alat Genital. Dalam : Ilmu Kandungan edisi ke 3.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011. Hlm. 70-76
2. Detollenaere RJ, Boon J, Stekelenburg J, Alhafidh AH, Hakvoort RA, et al. Treatment
of Uterine Prolapse Stage 2 or Higher: A Randomized Multicenter Trial Comparing
Sacrospinnosus Fixation with Vaginal Hysterectomy (SAVE U Trial). BMC Womens
Health Journals. 2011; 11(4):1-6.
3. Khalilullah SA, Masnawati, Saputra RW, dan Hayati M. Prolapsus Uteri pada Rumah
Sakit Umum DR.Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia selama 2007 sampai 2010.
Banda Aceh: Departemen Obsgyn FK Univ Syiahkuala. 2011.
4. Fortnes K et al. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. Baltimore.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
5. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007. Hlm. 103-131, 421-446
6. Thomson JD. Surgical Techniques For Pelvic Organ Prolapse. In: Bent AE, Ostergard
DR, Cundiff GW, et al, eds. Ostergard’s urogynecology and pelvic floor dysfunction.
5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2003.
7. Barsoom RS, Dyne PL. Uterine Prolapse in Emergency Medicine [internet].
Medscape Article. 2013. [cite on december 24, 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/797295-overview#showall.
8. Decherrney AH, Goodwin TM, et al. Current Diagnosis and Treatment. New York:
The McGraw hill. 2007. Hlm. 720-734
9. Doshani A, Teo R, Mayne CJ, Tincello DG. Uterine Prolapse (Clinical Review).
BMJ. 2007; 335:819-23.
10. Schorge J et al. Williams Gynecology Chapter 24. United States: The McGraw Hill.
2008.
11. Putra IGM, Pratiwi KY. Prolaps Organ Panggul. Denpasar: Bagian Obsgyn FK
Udayana. 2010.
12. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan Uroginekologi Indonesia.
Panduan Penatalaksanaan Prolaps Organ Panggul. 2013. Hlm. 1-19
13. George L. Uterine Prolapse [internet]. Medscape Article. 2013. [cite on December 24,
2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/264231-overview#showall
14. Cunningham FG, et al. Kelainan saluran reproduksi. Dalam : Obstetri Williams vol 2
ed 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
15. World Health Organization. Comprehensive servical cancer control: a guide to
essential practice. Second edition. Geneva: WHO; 2014.
16. Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2010.
17. Snell RS. Perineum, organ genitalia feminina dan persalinan. dalam: Anatomi klinis
berdasarkan sistem. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2011.
18. Mescher AL. Histologi dasar junqueira. Edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2011.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan penatalaksanaan kanker
serviks. Jakarta: Kemenkes RI; 2011.
20. European Society Gyncology Oncology. Algorithms for management of cervical
cancer. Geneva: ESG0; 2011.
21. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin
DM, Forman D, Bray, F. GLOBOCAN 2012 v1.0, Cancer Incidence and Mortality
Worldwide: IARC CancerBase No. 11. Lyon, France: International Agency for
Research on Cancer; 2013. Available from: http://globocan.iarc.fr, accessed on
20/12/2017.
22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Balitbangkes Kemenkes RI; 2013.
23. Young RC. Gynecologic malignancy. In: Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Jameson J,
Kasper D, Longo D. editors. Harrison’s principles of internal medicine.16th ed. New
York: McGraw-Hill; 2005.p.556-8.
24. Carter J, Saunders V. Virology: principles and applications. England: John Wiley &
Sons, Ltd; 2017
25. Haverkos HW. Multifactorial etiology of cervical cancer: a hypothesis. Medscape
General Medicine 2005;7(4):57.
26. Pradipta B, Sungkar S. Penggunaan vaksin human papilloma virus dalam pencegahan
kanker serviks. J Maj Kedokt Indon. Nopember 2007: 57 (11); 391-6.
27. Haffner LJ, Schust DJ. At a Glance Sistem Reproduksi: Kanker Serviks. 2nded.
Jakarta:Erlangga; 2008. P.94-5.
28. Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology: The Female Genital
System and Breast. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
29. Brooks GF, et al. Mikrobiologi Kedokteran: Virus Kanker Manusia. Jakarta: Penerbit
Buku EGC; 2004.
30. Alliance for Cervical Cancer Prevention (ACCP). Improving screening coverage rates
of cervical cancer prevention programs: A focus on communities. Cervical Cancer
Prevention Issues in Depth 4;2004.
31. Rasjidi I. Epidemiologi kanker pada wanita. Jakarta: Sagung Seto; 2010,
32. Cunnigham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Sponge CY. Williams
gynecology: cervical cancer. USA: The Mc.Graw-Hill Companies; 2008.
33. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius; 2001.
34. Sweet RL, Gibbs RS. Infectious disease of female genital tract. 5th ed. USA:
Lippincott Williams and Wilkins; 2009.