Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prolaps uteri yaitu turunnya uterus kedalam introitus vaginae. Hal ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup yang sebabkan dari gejala akibat dari penekanan dan
ketidaknyamanan dari prolaps uteri tersebut.[1] Prolaps uteri merupakan salah satu
dari prolaps organ pelvis dan menjadi kasus nomor dua tersering setelah
cystourethrocele (bladder and urethral prolapse).[2] Prolaps uterus dapat disebabkan
karena kelemahan otot, fasia, dan ligemen penyokongnya.[3] Prolapsus organ
genitalia masih menjadi masalah kesehatan pada wanita yang insidennya mencapai
40% pada wanita usia diatas 50 tahun.[4] Frekuensi prolapsus genitalia di beberapa
negara berlainan, seperti dilaporkan di klinik Gynecologie et Obstetrique Geneva
insidesnya 5,7%, dan pada priode yang sama di Hambrug 5,4%, Roma 6,4%.
Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang kejadiannya cukup tinggi, sedangkan pada
orang Negro Amerika, Indonesia kurang. Penyebabnya terutama adalah melahirkan
dan pekerjaan yang menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat serta kelemahan
dari ligamentum-ligamentum karena hormonal pada usia lanjut.[5]
1.2 Anatomi Genitalia Interna pada Wanita 1. Uterus Uterus pada orang
dewasa berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang sedikit gepeng. Ukuran
panjang uerus adalah 7-7,5 cm, lebar ditempat yang paling lebar 5,25 cm, dan tebal
2,5 cm. Uterus terdiri atas korpus uteri (2/3 bagian atas) dan serviks uteri (1/3 bagian
bawah). Bagian atas uterus disebut fundus uteri, di situ tuba Fallopii kanan dan kiri
masuk ke uterus.[5]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Prolaps (dari kata latin Prolapsus) atau dikenal juga dengan desensus atau
prosidentia adalah turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh karena
kelemahan otot atau fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya. Atau
turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis (Barsoom, 2013).

Gambar 1. Normal Uterus dan prolaps Uterus.


Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/797295- overview#showall.

B. Anatomi Panggul
Dasar panggul mempunyai 3 lapisan fungsional (Junizaf, 2011):
 Fasia (fasia endopelvik), yang melekat dan mengelilingi semua organ
pelvis (kandung kemih, uterus, rektum).
 Otot (levator ani dan koksigeus atau juga disebut difragma pelvis)
berbentuk otot yang terus menerus berkontraksi, terutama bila ada
tekanan abdominal yang meningkat.
 Membrana perineal (terdiri dari diafragma urogenital dan otot-otot yang
membentuk badan perineal dan sfingter uretra). otot yang aktif sebagai
penggantung ini dengan syaraf-syarafnya penting untuk mempertahankan
posisi organ pelvis dan merupakan penyangga yang aktif. Dengan kata
lain, penyangga beban dilakukan oleh otot-otot pelvis. Di sisi lain
jaringan ikat (fasia) berfungsi untuk mempertahankan dan menstabilkan
organ pelvis.
Jaringan – jaringan penyangga yang mempertahankan posisi dan
letak uterus dan vagina terdiri dari (Manuaba, 1998):
 Tulang Panggul
o 2 tulang pangkal paha (os coxae)
o 1 tulang Kelangkang (os Sacrum)
o 1 tulang tungging (os coccygis)
 Ligamentum latum dan ligamentum rotundum (teres uteri)
Ligamentum latum merupakan lipatan peritoneum kanan dan
kiri uterus meluas sampai dinding panggul,ligamentum latum seolah-
olah tergantung pada tuba fallopii. Tempat dimana terdapat banyak
pembuluh darah dan pembuluh limfe. ligmentum ini tidak berfungsi
dalam menyangga uterus untuk tetap dalam posisinya (tidak prolaps)
kecuali bila terdapat fibrosis atau radang.
Mulai sedikit kaudal dari insersi tuba menuju kanalis
inguinalis dan mencapai labium mayus. Ligamentum rotundum yang
termasuk dalam ligamentum latum ini berfungsi terutama untuk
mempertahankan uterus dalam anteflexsi serta memberikan
stabilisasi pada sumbu dengan sudutnya yang relatif sempit di atas
vagina.
 Ligamentum kardinale dan ligamentum sacro-uterinum
Terdiri dari serabut otot yang kuat dan merupakan bagian
yang penting untuk mempertahankan kedudukan serviks dan vagina
bagian atas. Ligamentum ini menggantung serviks dan vagina bagian
atas pada dinding samping panggul. Sementara itu, ligamentum
sakrouterina menggantung serviks setinggi ostium uteri internum ke
daerah tulang sakrum. Di dalam kedua ligamentum ini terdapat
pembuluh darah dan saluran limfe.
Kedua ligamentum dapat mengalami hipertrofi akibat
tekanan intraabdominal yang terus-menerus hingga menyebabkan
lemahnya kedua ligamentum ini.
 Diafragma Pelvis
Diafragma ini dibentuk oleh otot-otot pubokoksigeus dan otot
iliokoksigeus. Otot ini berawal pada tulang pubis bagian dalam dan
menyebar ke arah panggul dan terus ke belakang dan berakhir di
tulang koksigeus. Sebagian menyebar ke vagina sehingga disebut
juga pubovaginalis, sedangkan yang menyebar ke rektum disebut
puborektalis.
 Diafragma urogenital
Otot pubokoksigeus kanan dan kiri bersatu dibelakang
rektum seperti membentuk huruf “U”. Tugas otot ini adalah menarik
uretra, vagina dan rektum ke arah atas, ke daerah simfisis.
 Perineum (perineal body)
Otot iliokoksigeus berasal dari arkus pubis tendinius, berjalan
ke belakang, bersama-sama dengan otot puborektalis, sebagian
serabut-serabutnya kanan dan kiri, terus berjalan menuju mediorafe
dan ikut membentuk perineum (perineal body). Otot levator ani
berfungsi membuat keseimbangan tekanan intrabdominal dan
tekanan luar. Bila otot ini melemah atau rusak, maka tekanan
abdominal akan lebih tinggi dari pada tekanan luar, dan ini akan
menjadi faktor pendorong timbulnya prolapsus uteri atau turunnya
uterus ke dalam vagina.

C. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi bersifat multifaktorial. Penyebab prolpas organ pelvis sulit


untuk di cari etiologinya karena secara teknis sulit membedakan mana yang
disebut normal dan mana yang abnormal. Secara hipotetik penyebab
utamanya adalah persalinan pervaginam dengan bayi aterm. Keadaan ini
akibat terjadinya kerusakan pada fasia penyangga dan inervasi syaraf otot
dasar panggul. Faktor lain seperti lemahnya kualitas jaringan ikat, penyakit
neurologik, keadaan penyakit menahun yang menyebabkan meningkatnnya
tekanan intra abdominal (seperti penyakit paru-paru obstruktif kronis,
komstipasi menahun) atau obesitas, asites, tumor pelvis, faktor genetik, faktor
anatomi, biokimiawi dan metabolisme jaringan penunjang, menopause,
defisiensi estrogen, dan riwayat pembedahan mempermudah terjadinya
prolapsus genitalis (Doshani, 2007).

D. Klasifikasi
Terdapat perbedaan pendapat antara para ahli ginekologi. Friedman dan
little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi, tetapi klasifikasi
yang dianjurkan adalah sebagai berikut (Junizaf, 2011) :
 Desensus uteri, uterus turun, tetapi serviks masih dalam vagina.\
 Prolaps uteri tingkat I, uterus turun, dengan serviks uteri turun paling
rendah sampai introitus vagina.
 Prolaps uteri tingkat II,sebagian besar uterus keluar vagina
 Prolaps Uteri tingkat III atau prosidensia uteri, uterus keluar seluruhnya
dari vagina, disertai dengan inversio vaginae.

Gambar. 2 : Derajat Prolaps Uteri


Sumber : http://herminahospitalgroup.com/home/produk/78

Selain Klasifikasi di atas ada juga standar penentuan derajat


prolaps berdasarkan Standarisasi Terminologi POP-Q yang di adaptasi
oleh International Continence Society oleh American Urogynecology
Society dan Society of Gynecologic Surgeons dan klasifikasi menurut
Baden-Walker (Doshani, 2007):
Gambar 3. Pembagian sistem POP-Q
Sumber : http://www.medscape.com/viewarticle/814321_2
Gambar 4. klasifikasi Baden-Walker
Sumber : http://www.medandlife.ro/medandlife498.html

E. Patofisiologi
Uterine Prolaps terjadi ketika otot-otot dasar panggul dan ligamen
meregang menjadi rusak dan lemah, sehingga mereka tidak lagi dapat
mendukung organ-organ panggul, memungkinkan uterus jatuh ke dalam
vagina. Penyokong utama viseral panggul terdiri atas kompleks otot
levator ani dan jaringan ikat pelekat organ-organ panggul (fasia
endopelvic). Kerusakan atau disfungsi dari satu atau kedua komponen ini
dapat menyebabkan terjadinya prolaps. Kompleks otot levator ani
berkontraksi dengan kuat saat istirahat dan menutupi hiatus genitalis serta
memberikan dasar yang stabil untuk viseral panggul. Penurunan tonus otot
levator ani yang disebabkan oleh denervasi atau kerusakan otot secara
langsung menimbulkan pembukaan hiatus genitalis, kelemahan levator
plate dan pembentukan konfigurasi seperti mangkok. Defek yang nyata
pada daerah puboviceral dan iliococcygeal dari kompleks otot levator ani
sesudah melahirkan pervaginam terjadi pada 20% wanita primipara
dengan pemeriksaan MRI, sedangkan pada wanita nulipara tidak terjadi.
Hal ini membuktikan bahwa melahirkan pervaginam berkontribusi untuk
terjadinya prolaps melalui cedera pada otot levator ani (Barsoom, 2013).
Cedera neuropati dari otot levator ani juga dapat disebabkan oleh
melahirkan pervaginam. Wanita yang pernah melahirkan pervaginam
memiliki resiko lebih tinggi mengalami defek neuropati dibandingkan
dengan yang melahirkan melalui seksio sesaria tanpa cedera. Mengedan
terlalu sering saat BAB juga dihubungkan dengan denervasi otot-otot
panggul. Mengedan berlebihan dapat menyebabkan cedera peregangan
saraf pudendal sehingga menimbulkan neuropati (Putra, 2010).
Fasia endopelvic merupakan jaringan ikat yang membungkus semua
organ-organ panggul dan menghubungkannya dengan otot-otot penyokong
dan tulang-tulang panggul. Jaringan ikat ini menahan vagina dan uterus
pada posisi normalnya sehingga memungkinkan pergerakan visceral untuk
menyimpan urin dan feses, berhubungan seksual, melahirkan, dan BAB.
Kerusakan atau peregangan jaringan ikat ini terjadi pada saat melahirkan
pervaginam atau histerektomi, dengan mengedan terlalu sering atau
dengan proses penuaan normal. Bukti tentang abnormalitas jaringan ikat
dan proses perbaikannya pasca cedera menjadi faktor predisposisi
beberapa wanita mengalami prolaps. Wanita yang mengalami prolaps
dapat menunjukkan adanya perubahan metabolisme kolagen, meliputi
penurunan kolagen tipe I dan peningkatan kolagen tipe III (Putra, 2010).

F. Tanda dan Gejala Klinis


Gejala klinik sangat berbeda dan bersifat individual ada penderita
dengan prolaps cukup berat tidak menunjukan keluhan apa pun.
Sebaliknya, ada yang dengan prolaps ringan, tetapi keluhannya banyak
(Junizaf, 2011).
Keluhan yang dijumpai pada umumnya adalah perasaan
mengganjal di vagina atau adanya yang menonjol di genitalia eksterna,
rasa sakit di panggul atau pinggang dan bila pasien berbaring keluhan
berkurang, bahkan menghilang. Sistokel yang sering menyertai prolaps
menyebabkan gejala-gejala polimiksi mula-mula ringan pada siang hari,
lama kelamaan bila prolaps lebih berat gejalanya juga timbul pada malam
hari. Adanya perasaan kandung kemih tidak dapat dikosongkan secara
tuntas, tidak dapat menahan kencing bila batuk (stress incontinence) dan
kadang dapat terjadi pula retensio urinae. Retrokel dapat menyebabkan
gangguan defekasi. Prolapsus uteri derajat III dapat menyebabkan gejala
gangguan bila berjalan dan bekerja. Gesekan porsio uteri pada celana
menimbulkan luka dan dekubitus pada porsio uteri. Selain itu prolaps
dapat menimbulkan kesulitan bersenggama (Badash, 2011).

G. Diagnosis
1. Anamnesis (POGI, 2013) :

2. Pemeriksaan Fisik (POGI, 2013) :


• Pasien dalam posisi terlentang pada meja ginekologi dengan posisi
litotomi.
• Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain
• Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:
o Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.
o Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera,ulkus yang
bukan kanker diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada terapi.
o Perlu diperiksa ada tidaknya prolaps uteri dan penting untuk
mengetahui derajat prolaps uteri dengan inspeksi terlebih dahulu sebelum
dimasukkan inspekulum.
• Manuver Valsava.
o Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan
melakukan pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan
manuver Valsava.
o Setiap kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior
vagina, serviks, apeks, cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan
perineum perlu dievaluasi secara sistematis dan terpisah.
o Apabila tidak terlihat, pasien dapat diminta untuk mengedan pada
posisi berdiri di atas meja periksa.
o Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) dapat dilakukan untuk
menentukan risiko inkontinensia tipe stres pasca operasi prolaps.
• Pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui kontraksi dan
kekuatan otot levator ani
• Pemeriksaan rektovagina
o untuk memastikan adanya rektokel yang menyertai prolaps uteri.

3. Pemeriksaan Penunjang (POGI, 2013) :


 Urin residu pasca berkemih
o Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan
mengukur volume berkemih pada saat pasien merasakan kandung
kemih yang penuh, kemudian diikutin dengan pengukuran volume
urin residu pasca berkemih dengan kateterisasi atau ultrasonografi.
 Skrining infeksi saluran kemih
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu banyak membantu. Tes
Papanicolaou (Pap smear sitologi) atau biopsi dapat diindikasikan pada
kasus yang jarang terjadi yang dicurigai karsinoma, meskipun ini harus
ditangguhkan ke dokter perawatan primer atau dokter kandungan
(Barsoom, 2013).
 Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG bisa digunakan untuk membendakan prolaps dari
kelainan-kelainan lain (Barsoom, 2013).

H. Penatalaksanaan
1. Observasi
Derajat luasnya prolaps tidak berkaitan dengan gejala.
Mempertahankan prolaps tetap dalam stadium I merupakan pilihan yang
lebih tepat. Beberapa wanita mungkin lebih memilih untuk mengobservasi
lanjutan dari prolaps. Mereka juga harus memeriksakan diri secara berkala
untuk mencari perkembangan gejala baru atau gangguan (seperti buang air
kecil atau buang air besar terhambat, erosi vagina) (Putra, 2010).
2. Terapi Konservatif
 Latihan otot dasar panggul (kegel exercises)
Latihan ini sangat berguna pada prolaps ringan, Tujuannya untuk
menguatkan otot-otot dasar panggul dan otot-otot yang mempengaruhi
miksi. Caranya dengan menahan otot-otot panggul seolah-olah sedang
mencoba untuk menahan urin. Tahan posisi ini selama sepuluh
hitungan, kemudian lepaskan perlahan-lahan. Lakukan selama sepuluh
kali, empat kali sehari (George, 2013).
 Pemasangan pessarium
Pada Kehamilan awal untuk mencegah gejala penyempitan dari
10 sampai 14 minggu akibat prolaps uterus digunakan pesarium
(pesary) yang sesuai dan digunakan sampai bulan ke 4. Apabila dasar
panggul terlalu lemah hingga pessarium terus jatuh maka pasien di
anjurkan istirahat rebah sampai bulan ke 4. Pernah dilaporkan
keberhasilan kehamilan dan pelahiran per vagina setelah fiksasi
uterosakrum sakrospinosum yang dilakukan sebelum kehamilan
(Cunningham, 2012).
Prisip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut membuat
tekanan pada dinding vagina bagian atas, sehingga bagian dari vagina
tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian
bawah. Pessarium yang paling baik untuk prolaps genitalia ialah
pessarium cincin, terbuat dari plastik. Jika dasar panggul terlalu lemah
dapat digunakan pessarium Napier (Doshani, 2007).

Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan


prolaps tanpa melihat stadium ataupun lokasi dari prolaps. Alat ini
digunakan oleh 75%-77% ahli ginekologi sebagai penatalaksanaan lini
pertama prolaps. Pesarium tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran,
serta dapat dikategorikan menjadi suportif (seperti pesarium ring) atau
desak ruang(seperti pesarium donat). Pesarium yang biasa digunakan
pada prolaps adalah pesarium ring (dengan dan tanpa penyokong),
Gellhorn, donat, dan pesarium cube. Tipe pesarium yang bisa dipasang
berhubugnan dengan derajat prolaps (POGI, 2013).
Ada banyak jenis dan bentuk pesarium untuk mempertahankan
uterus pada tempatnya. Pesarium dapat dipakai bertahun-tahun asal
diawasi secara teratur. Penempatan pesarium bila tidak tepat atau bila
ukurannya terlalu besar dapat menyebabkan perlukaan pada dinding
vagina dan dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Pesarium
diindikasikan bagi mereka yang belum siap untuk dilakukan tindakan
operatif atau bagi mereka yang lebih suka pengobatan konservatif
(POGI, 2013).
 Stimulasi otot-otot dengan listrik.
Kontraksi otot dasar panggul dapat pula di timbulkan dengan alat
listrik, elektrodanya di pasang dalam pesarium yang dimasukan ke
dalam vagina (Junizaf, 2011).
 Estrogen
Estrogen diduga dapat mencegah atau membantu pentalaksanaan
prolaps bila dikombinasikan dengan intervensi lainnya melalui
mekanisme penguatan struktur penunjang dan mencegah penipisan
jaringan vagina dan panggul (Barsoom, 2013).

3. Terapi Bedah

Prolaps uteri biasanya disertai dengan prolapsus vagina. Maka, jika


dilakukan pembedahan untuk prolaps uteri, prolaps vagina perlu ditangani
pula. Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri vagina ialah
bila ada keluhan berikut (Junizaf, 2011) :
 Sistokel
Operasi yang lazimnya dilakukan ialah kolporafi anterior. Kadang-
kadang operasi ini tidak mencukupi pada sistokel dengan stress
incontinence yang berat. Dalam hal ini perlu diadakan tindakan
khusus. Untuk kasus berat sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis
uroginekologi.
 Retrokel dan entrokel
Operasi yang dilakukan disini adalah kolpoperineoplastik. Retrokel
yang berat sering menjadi satu entrokel. Tindakan operatif
sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis uroginekologi.
 Prolapsus uteri
Operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor,
seperti umur penderita, masih berkeinginan untuk mendapatkan
anak atau mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan adanya
keluhan.

Ada kemungkinan terdapat prolaps vagina yang membutuhkan


pembedahan, padahal tidak ada prolaps uteri atau prolaps uteri yang ada
belum perlu dioperasi. Di Inggris dan Wales pada tahun 2005-2006,
22.274 operasi dilakukan untuk prolaps vagina. Beberapa literatur
melaporkan bahwa dari operasi prolaps rahim, disertai dengan perbaikan
prolaps vagina pada waktu yang sama. Indikasi untuk melakukan operasi
pada prolaps uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita,
keinginan untuk masih mendapat anak atau untuk mempertahankan uterus,
tingkat prolaps, dan adanya keluhan. Macam-macam operasi untuk prolaps
uterus sebagai berikut (Junizaf) :
 Ventrofiksasi
Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak,
dilakukan operasi untuk uterus ventrofiksasi dengan cara memendekkan
ligamentum rotundum atau mengikat ligamentum rotundum ke dinding
perut atau dengan cara operasi Purandare.
 Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri, dan
penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong, di muka serviks
dilakukan pula kolporafia anterior dan kolpoperineoplastik. Amputasi
serviks dilakukan untuk memperpendek serviks yang memanjang (elo
ngasio kolli). Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus,
partus prematurus, dan distosia servikalis pada persalinan. Bagian yang
penting dari operasi Manchester ialah penjahitan ligamentum kardinale
di depan serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale
diperpendek, sehingga uterus akan terletak dalam posisi anteversifleksi,
dan turunnya uterus dapat dicegah.
 Histerektomi vagina
Operasi ini tepat untuk dilakukan untuk prolaps uterus dalam tingkat
lanjut, dan pada wanita yang telah menopause. Setelah uterus diangkat,
puncak vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan
kiri, atas pada ligamentum infundibulo pelvikum, kemudian operasi
akan dilanjutkan dengan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk
mencegah prolaps vagina di kemudian hari.
 Kolpokleisis (operasi Neugebauer-Le Fort)
Pada waktu obat-obatan serta pemberian anestesi dan perawatan
pra/pasca operasi belum baik untuk wanita tua yang seksualnya tidak
aktif lagi dapat dilakukan operasi sederhana dengan menjahit dinding
vagina depan dengan dinding vagina belakang, sehingga lumen vagina
tertutup dan uterus terletak di atas vagina. Akan tetapi, operasi ini tidak
memperbaiki sistokel dan retrokel sehingga dapat menimbulkan
inkontinensia urinae. Obstipasi serta keluhan prolaps lainnya juga tidak
hilang.

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai prolaps uteri adalah (Badash, 2011) :
 Kreatinisasi mukosa vagina dan portio uteri. Prosidensia uteri disertai
dengan keluarnya dinding vagina (inversio); karena itu mukosa vagina dan
serviks uteri menjadi tebal serta berkerut, dan berwarna keputih-putihan.
 Dekubitus. Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser
dengan paha dan pakaian dalam; hal itu dapat menyebabkan luka dan
radang, dan lambat laun timbul ulkus dekubitus. Dalam keadaan demikian,
perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita
berusia lanjut
 Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli. Jika serviks uteri turun ke
dalam vagina sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih
kuat, karena tarikan ke bawah di bagian uterus yang turun serta
pembendungan pembuluh darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan
menjadi panjang pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli.
 Kemandulan. Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus
vaginae atau sama sekali keluar dari vagina, tidak mudah terjadi
kehamilan.
 Infeksi Saluran Kemih
 Hemoroid

J. Prognosis
Pada prolaps uteri jika dilakukan management konservatif dan terapi operatif
yang tepat dapat membuat prognosis jangka panjang yang baik (Barsoom,
2013).
BAB III
KESIMPULAN

1. Prolaps uteri adalah turunnya uterus kedalam introitus vagina yang


diakibatkan oleh kegagalan atau kelemahan dari ligamentum dan jaringan
penyokong (fasia).
2. Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan
penyulit, merupakan penyebab prolapsus uteri, dan memperburuk prolaps
yang sudah ada.
3. Prolapsus uteri tingkat I,dimana serviks uteri turun sampai introitus
vaginae; Prolapsus uteri tingkat II, dimana serviks menonjol keluar dari
introitus vaginae; Prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus keluar dari
vagina, prolapsus ini juga dinamakan prosidensia uteri.
4. Gejala yang sering mucul adalah Perasaan adanya suatu benda yang
mengganjal atau menonjol di genialia eksterna. Rasa sakit di panggul dan
pinggang (backache). Biasanya jika penderita berbaring, keluhan
menghilang atau menjadi kurang.
5. Penatalaksanaan pada prolaps uterus yaitu: observasi, konservarif, dan
terapi pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

Badash M. 2011. Uterine Prolapse. Ebsco Publishing. [cited on mei 25,2015].

Barsoom RS, Dyne PL. Uterine Prolapse in Emergency Medicine. Medscape


Article. [database on the medscape] 2013. [cite on mei 25, 2015]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/797295- overview#showall.

Cunningham, F.G et al. 2012. Kelainan saluran reproduksi. Dalam : Obstetri


Williams vol 2 ed 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Detollenaere RJ, Boon J, Stekelenburg J, Alhafidh AH, Hakvoort RA, et al.


Treatment of Uterine Prolapse Stage 2 or Higher: A Randomized
Multicenter Trial Comparing Sacrospinnosus Fixation with Vaginal
Hysterectomy (SAVE U Trial). BMC Womens Health Journals 2011.
[database on the NCBI]. [cited on mei 25, 2015]; 02:1402. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3045971/pdf/1472-6874-11-
4.pdf.

Doshani A, Teo R, Mayne CJ, Tincello DG. Uterine Prolapse. Clinical Review
2007. [database on the NCBI]. [cited on mei 25, 2015]; 335:819-823.
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2034734/pdf/bmj-335-7624-
cr-00819.pdf.

George, Lazarou. Uterine Prolapse. Medscape Article. [database on the


medscape] 2013. [cite on mei 25, 2015]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/264231-overview#showall.

Junizaf, Soejoenoes A. 2011. Kelainan Letak Alat-Alat Genital. Dalam : Ilmu


Kandungan edisi ke 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardj.

Khailullah SA, Masnawati, Saputra RW, dan Hayati M. 2011. Prolapsus Uteri
pada Rumah Sakit Umum DR.Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia selama
2007 sampai 2010. Departemen Obsgyn FK Univ Syiahkuala.

Manuaba I.B.G. 1998. Anatomi dan Fisiologi Alat Reproduksi. Dalam : Ilmu
Kebidanan, penyakit kandungan & keluarga berencana untuk pendidikan
bidan. Jakarta : EGC.

POGI. 2013. Panduan Penatalaksanaan Organ Panggul.

Putra IGM, Pratiwi KY. 2010. Prolaps Organ Panggul. Bagian Obsgyn FK
Udayana / RSU Pusat Sanglah. Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai