Anda di halaman 1dari 15

ANATOMI PENYOKONG ALAT GENITAL

Alat penyokong organ panggul terdiri dari :


1. Tulang panggul
Tempat melekat terakhir jaringan lunak.
2. Ligamentum latum
 tidak banyak berfungsi dalam menyokong uterus agar tetap pada tempatnya (mencegah timbulnya
prolaps) kecuali ka!au terdapat fibrosis atau radang.
 Ligamentum rotundum berfungsi terutama mempertahankan agar uterus dalam posisi antefleksi serta
memberikan kestabilisasian uterus dalam sumbunya dengan sudut yang relatif sempit di atas vagina.
3. Ligamentum kardinal dan sakrouterin
 bagian yang penting untuk mempertahankan serviks dan vagina atas agar tetap pada
tempatnya.
 Ligamen kardinal menggantung serviks dan vaginal atas ke dinding samping panggul,
 Ligamen sakrouterin menggantung serviks setinggi ostium uteri internum ke daerah belakang panggul
(tulang sakrum).
 Kedua ligamentum ini dapat menjadi hipertropi akibat tekanan intra abdomen terus menerus meninggi
yang dapat menyebabkan melemahnya kedua ligamen ini.
4. Diafragma pelvis
a. Otot pubokoksigeus
 Berasal dari tulang pubis dalam, menyebar ke arah panggul dan terus ke belakang dan akhirnya
berinsersi pada tulang koksigeus. Terdiri dari
 otot pubouretralis : menyebar ke daerah uretra, dan mengelilingi uretra (menyokong uretra)
 otot pubovaginalis, : menyebar ke vagina dan menyokong vagina
 Otot puborektalis. : menyebar ke daerah rektum dan menyokong rektum,
 Otot pubokoksigeus ini kanan dan kiri bersatu di belakang rektum dan membentuk sling, sehingga
seolah-olah membuat huruf “U” dan lubang yang dibuatnya disebut hiatus diafragma. tempat
uretra, vagina, dan rektum terdapat di dalamnya.
 Tugas otot-otot ini adalah menarik uretra, vagina, dan rektum ke arah atas daerah simfisis.
b. Otot ilikoksigeus
o Berasal dari arkus tendenius berjalan ke belakang, bersama-sama dengan otot pubokoksigeus
membentuk otot puborektalis, dan sebagian serabut-serabutnya, kanan dan kiri terus berjalan ke
daerah medioraphe ikut membentuk perineal body.
o Otot levator ani ini di belakang, rektum bersatu kanan dan kiri, kemudian membentuk levator plate
yang menggantung ke tulang koksigeus.
o Pada wanita hidup dengan posisi tegak, akan didapatkan rektum dan vagina atas terletak sejajar
dengan levator plate; vagina dan rektum akan terletak di atas levator plate; sehingga uterus yang
dalam posisi antepleksi akan terletak seolah-olah bersandar di atas levator plate atau otot levator
ani.
o Otot levator ani juga berfungsi membuat keseimbangan tekanan intra-abdominal dan atmosfir (dari
luar).
o Bila otot levator ani rusak atau melemah karena trauma, maka levator plate akan ikut melemah dan
letaknya akan turun sehingga uterus di atasnya juga akan turun, apalagi bila ligamentum kardinal
dan sakro uterin tidak berfungsi.
o Bila hanya otot levator ani yang melemah, ligamentum kardinal dan sakro uterin akan menjadi
aktif untuk mempertahankan uterus dan puncak vagina agar tetap pada letaknya. Selama
otot levator ani normal, prolaps uteri tidak akan terjadi.
o Tekanan intra-abdominal yang terus-menerus meningkat karena suatu faktor seperti batuk yang
kronis, dan mengangkat barang-barang yang berat. Di samping itu, faktor hormonal dan usia dapat
menyebabkan ligamen kardinal dan sakro uterin menjadi lemah sehingga akan terjadilah prolaps
uteri.
o Kelemahan ligamentum kardinal dan sakro uterin saja tanpa didahului oleh atau tanpa disertai
kelemahan otot levator ani, hanya akan menimbulkan serviks uteri dapat turun ke dalam vagina dan
ini dapat menimbulkan elongatio coli.
5. Diafragma urogenital
 Dibentuk oleh otot-otot bulbokavernosis, otot transversal perinea dalam, dan pembukaan.
 Otot-otot diafragma urogenital ini baru berfungsi sebagai alat penyokong bila otot diaphragma pelvis
dan ligamentum kardinal dan sakro uterin (ligamen endo pelvic) melemah (membantu agar prolaps
tidak berlangsung lebih berat). Ototnya lebih banyak berperan dalam hubungan seksual.
6. Perineal body atau perineum
 Dibentuk oleh serabut otot-otot bulbokavernosus, perinea permukaan dan otot sfingter ani. serta
serabut-serabut otot levator ani.
 Berperan hanya kalau alat-alat penyokong di atas tidak berperan lagi.
 Tugas utamanya hanya membantu agar prolaps tidak berlangsung lebih berat.
 Bila ada kerusakan dari perineal body ini, dan tidak direparasi dengan baik, mungkin dapat
menimbulkan rektokel.

Vagina
 Organ yang berupa lubang yang panjangnya antara 9-10 cm dan lebarnya 4 cm; berbentuk huruf H di
bagian tengahnya dan bagian atas vagina lebih lebar dari bagian distal.
 bagian sepertiga atas digantung ke daerah sakrum oleh ligamentum sakro uterin dan ke dinding samping
panggul oleh ligamentum kardinal.
 Bagian distal dan tengah digantung oleh otot-otot diafragma pelvis, diafragma urogenital, dan perineum
 bagian tengah dan distal pada bagian anterior dipertahankan oleh fasia pubo servikalis,
 bagian posterior oleh fasia rekto vaginal.
 Vagina yang normal dalam keadaan relaksasi dan tertutup karena tarikan dari olot-otot levator ani ke arah
simphisis.
 Vagina dapat melemah dikarenakan oleh trauma, terutama trauma pada otot-otot levator ani. Keadaan ini
terutama terjadi pada persalinan karena regangan yang berlebihan atau robek saat persalinan dan tidak
diperbaiki dengan baik.

Ureter
 Perlukaan ureter di bidang obstetrik dan ginekologi paling sering terjadi pada pembedahan histerektomi
abdominal enam kali lebih banyak dari histerektomi vaginal.
 Ureter yang dalam rongga abdomen letaknya retro peritoneal, memasuki pelvis minor melalui daerah arteri
iliaka internal, dan kemudian menyeberangi arteri uterina dekat pada serviks hampir dalam posisi tegak
lurus, dan akhirnya bermuara pada sisi belakang kandung kemih di trigomim lietaudi.
 Pada saat operasi vaginal histerektomi, dengan dilakukan tarikan pada serviks serta retraksi pada plika
vesikouterina, letak ureter akan menjauh dari daerah berbahaya tersebut yaitu di daerah ligamentum
infundibulo velvico sejauh 1 cm, di daerah parametrial sejauh 2,1 cm, sedangkan di daerah dekat kandung
kemih sejauh 0,9 cm. Hal ini tidak terdapat pada tindakan operasi histerektomi abdominal

Ada 4 daerah yang sering terjadi trauma.ureter saat operasi, yaitu


1. daerah ligamentum infundibulo pelvicum,
2. dekat arteri iliaka interna,
3. daerah serviks lateral utero sakral yang sering berdekatan dengan arteri uterin, dan
4. dekat sudut yang melengkung antara vagina dan vesikaurinaria.
FISTULA UROGENITAL

Klasifikasi
I. Klasifikasi Anatomik
1. Juksta Uretral : Melibatkan leher vesika dan proksimal uretra dengan kerusakan pada mekanisme
spingter dan kadang-kadang disertai hilangnya uretra.
2. Vagina Tengah : Tanpa melibatkan leher vesika atau trigonum.
3. Juksta Servikal : Terbuka sampai forniks anterior dan mungkin melibatkan ureter bagian distal.
4. Masife : Kombinasi jenis 1 sampai 3 dengan bekas parut dan melekat pada tulang dan sering
melibatkan ureter pada pinggir fistula dan prolapsus vesiko melalui lubang yang besar.
5. Compound : Melibatkan rekto vagina atau uretero vagina seperti halnya fistula vesiko vagina.
6. Vesiko Servikal atau Vesiko Uterina : sesudah tindakan bedah sesar.
II. Klasifikasi Fungsional Risiko Tinggi / Fistula yang sulit
1. Diameter > 4 - 5 cm, melibatkan : Uretra, Ureter, Rektum
2. Fistula juksta servikal dengan visualisasi inkomplit bagian superior
3. Riwayat operasi fistula yang gagal
Diagnostik
 Bila fistula berukuran sangat kecil, kebocoran urin mungkin terjadi sekali-sekali atau bergantung pada
vesika yang terisi penuh atau posisi tubuh.
 Instilasi cairan biru metilen ke dalam vesika akan mewarnai vagina bila terdapat fistula vesiko vagina, dan
bila tidak ada pewarnaan biru metilen pada vagina menandakan terdapat fistula uretero vagina dan
akan dikonfirmasi dengan Indigo karmin intravena, urografi intravena, atau urografi retrograd
sistoskopi.
 Dengan sistoskop dapat diketahui ukuran fistula, letak, dan jumlahnya. Selain itu, juga diketahui jaringan di
sekitar fistula. Hal lain yang penting adalah apakah mendekati leher vesika, spingter uretra dan osifisium
ureter dan disertai adanya udem jaringan, infeksi, sikatriks, dan terfiksir pada tulang.
 Cairan urin sebaiknya diperiksa secara mikroskopik dan dilakukan biakan urin dan diobati bila ada infeksi.
Penatalaksanaan
 Operasi fistula jangan dilakukan sebelum 6 bulan sesudah terjadinya fistula.
 Fistula akibat radiasi dapat dikerjakan sesudah 12 bulan.
 Teknik operasi, perawatan pra dan pascaoperasi penentu keberhasilan operasi.
 Operasi perbaikan fistula, sebaiknya dengan satu kali operasi sudah berhasil  bila gagal  operasi
ulangan lebih sulit karena sebagian jaringan hilang, terjadi kekakuan dan jaringan sikatriks yang lebih luas.
Beberapa teknik operasi untuk memperbaiki fistula :
- Teknik Futh Mayo - Teknik Sims-Simon
- Teknik Latzko Colcopcleisis - Teknik Martius Bulbocovernosus Flap Plasty
Prognosis
 tidak selalu bergantung pada ukuran fistula.
 fistula dengan ukuran besar lebih mudah ukuran kecil yang sulit ditampakkan dan letaknya tinggi.
 Fistula yang kaku serta mempunyai jaringan sikatriks yang luas  tidak menguntungkan untuk diperbaiki.
Beberapa hal yang harus diperhitungkan untuk keberhasilan operasi fistula :
1. Mobilisasi jaringan harus cukup luas untuk memungkinkannya menyatukan jaringan tanpa tegangan.
2. Jahitan yang terlalu tegang akan memberikan hasil yang buruk.
3. Dinding vesika harus bebas pada daerah fistula.
4. Benang yang dipakai berukuran 3 - 0 atau 4-0 yang diserap tubuh dengan jarum atraumatik. Gunakan
jahitan interupted karena lebih hemostatik. Fistula pada umumnya dijahit dalam dua lapis.
Perawatan Pascaoperasi
 Dipasang kateter hisap selama 8-10 hari  dilepaskan dan dilakukan latihan otot vesika dengan cara
menjepitkan dan membuka kateter tiap 4 jam (kateter buka tutup) selama 2 hari Kemudian dilepas
(pemeriksaan urinalisis dan biakan urin dilakukan) dan penderita disuruh miksi sendiri setiap 4-6 jam, dan
diukur sisa urin dan dapat dipulangkan bila sisa urin kurang dari 100 ml.
 Bila sisa urin > 100 ml  kateterisasi intermiten kateter dilepas, penderita disuruh minum 400 - 500 ml
dalam waktu 4 jam  miksi spontan
 Bila tidak bisa miksi, penderita disuruh meneran. Selanjutnya dilakukan kateterisasi sampai vesika kosong
dan urin tersebut ditampung dan diukur.
 Kateter intermiten dilakukan tiap 4 jam, sebelumnya penderita disuruh minum 100 - 125 ml/jam. Program
ini dihentikan bila sisa urin kurang dari 100 ml.
 Antibiotika biasanya diberikan, pada kasus pascamenopause dapat diberikan estrogen.
 Sesudah operasi dianjurkan tidak koitus selama 10-12 minggu.
FISTULA VESIKO VAGINA

Etiologi
 Trauma obstetrik : partus lama, tindakan bedah obstetri
 Operasi ginekologi : histerektomi transabdominam/ transvaginal, operasi ginek lainnya
 Prosedur Urologi : pengangkatan batu buli
 Trauma sebab lain, Trauma karena radiasi pada pengobatan penderita. dengan karsinoma ginekologi
Fistula akibat trauma obstetri : timbul segera setelah melahirkan atau beberapa lama sesudah melahirkan,
Fistula akibat tindakan operasi ginekologi : timbul hari ke 5 sampai 14 pascaoperasi. Jumlah urin yang
hilang, bergantung dari besarnya fistula.
Diagnosis
Fistula yang besar  dapat dilihat dan diraba besar fistula pada pemeriksaan vagina
Fistula yang sangat kecil :
 Tes metilen biru  beberapa kasa diletakkan dalam vagina, kemudian kandung kemih diisi melalui kateter
dari uretra sebanyak 30-50 cc. Setelah 3-5 menit, kasa dalam vagina diangkat satu per satu, dan dengan
mudah akan dilihat adanya cairan metilen biru mengenai kasa tersebut, dan sekaligus dapat diketahui lokasi
fistula. Kadang-kadang penderita disuruh berjalan-jalan 10-15 menit selelah kandung kemih diisi metilen
biru, agar metilen biru keluar melalui fistula. Bila fistula berasal dari ureter, tidak akan terlihat ada
cairan metilen biru pada kasa.
 Intra venus pyelograf  mengetahui adanya fistula utero vagina.
 sistoskopi  dapat diketahui letak, besar, dan jumlah fistula.
Penatalaksanaan Fistula Vesiko Vagina
Pada fistula yang akut dan kecil sekali  dipasang kateter melalui uretra  drainase urin dengan
mempertahankan kateter selama 10 hari, dan kortison 100 mg setiap hari Bila tidak menutup  operasi
Waktu Melakukan Operasi : 3-6 bulan pascafistula.
Pilihan Cara Operasi
Transabdominam baru dikerjakan bila fistula tinggi sekali, yang tidak bisa dicapai dengan transvagina.
Keuntungan cara-cara transvagina adalah:
 Perdarahan sedikit, Morbiditas dan mortalitas rendah.
 Penderita tidak banyak keluhan seperti transabdominam/transvesika.
Pada fistula utero vagina, reparasi dengan melakukan inplantasi ureter pada kandung kemih adalah mudah
sekali. Pada fistula rekto vagina atau vesiko-rekto vagina, sebelum dilakukan reparasi, tindakan pembuatan
kolostomi harus dilakukan bila fistula besar atau letaknya tinggi, agar daerah fistula dan sekitarnya bebas dari
infeksi dan kontaminasi feses.
Reparasi baru dapat dilakukan setelah 2-3 bulan setelah kolostomi dibuat.

Prinsip Reparasi Fistula


 Lubang fistula haruslah dapat dilihat keseluruhannya, dengan membuat beberapa jahitan penunjang pada
tepi fistula.
 Dilakukan insisi pada pinggir fistula dan jangan melukai mukosa vesika atau rektum: serta dinding vagina
dibebaskan dari mukosa sejauh 1 cm atau lebih.
 Pelepasan mukosa vagina dari dasarnya pada daerah fistula sebanyak 1-2 cm dari pinggir fistula tersebut,
sehingga fistula menjadi cukup mobil dari jaringan sekitarnya.
 Penjahitan submukosa vesiko atau rekto dengan benang dexon atau vikryl no. 3.0 dan begitu pula lapisan
otot. Kemudian mukosa vagina dengan dexon atau vikryl no. 1.
 Hindari timbulnya ketegangan jaringan dalam penjahitan.

Perawatan Pascaoperasi
 Penderita sebaiknya tidur berbaring dan kandung kemih dikosongkan dengan memasang kateter melalui
uretra yang dihubungkan dengan “water suction”.
 Kateter dipertahankan selama 12-15 hari dan penderita diberi minum 2,5 - 3 liter per hari.
 Keettel dan Sehring mempunyai keberhasilan 94,2% dengan cara-memasang kateter 10 hari, dan penderita
boleh jalan-jalan (ambulans) dan dijaga jangan ada retraksasi pada daerah reparasi fistula.
 Selama perawatan pascaoperasi penderita diberi makanan lunak tanpa serat dan tidak melakukan
pemeriksaan dalam selama perawatan.
 Penderita dilarang melakukan sanggama selama ± 2 bulan pascaoperasi.
INFEKSI SALURAN KEMIH PADA WANITA
 Seseorang dikatakan menderita infeksi saluran kemih bila dari hasil kultur urin ditemukan bakteri
100.000/ml,
 bakteriuria asimptomatik  tidak menimbulkan gejala atau simptom.
 bakteuriuria simptomatik  menimbulkan gejala atau simpton  berkemih perih, sering berkemih, sesudah
berkemih ingin berkemih lagi, air kemih terasa panas, kadang-kadang berdarah, sakit di daerah suprasimifis
atau, sakit didaerah punggung bawah.
 Bila penyakit lebih berat, penderita dapat muntah, panas, menggigil, dan malaise.
 Bila pengobatan tidak cepat dan tepat diberikan dapat menimbulkan penyakit lebih hebat lagi, seperti
pyelonefritis, infeksi berulang, dan pada mereka yang sedang hamil dapat terjadi abortus atau persalinan
prematur atau pertumbuhan janin terlambat.

Patogenesisi
 Bakteri dapat masuk kedalam saluran kemih melalui tiga jalan, yaitu rute asenden, hematogen, dan
limfogen.
 Terbanyak bakteri masuk kedalam saluran kemih melalui uretra, dan bakjteri dapat terus naik sampai
kebagian saluran kemih lebih atas seperti ureter dan ginjal.
 Hal ini karena uretra yang pendek dan mempunyai muara yang terbuka, dekat sekali letaknya dengan
tempat yang banyak mengandung bakteri yaitu vagina dan anus.
 Infeksi secara desenden jarang sekali terjadi baik melalui hematogen maupun limpogen, dan kalau ada
biasanya karena infeksi dari bakteri khusus seperti bakteri tuberkulosa.

Faktor Predisposisi
1. Uretra
 Uretra wanita panjangnya kurang hanya 3 cm, dengan muaranya terbuka dan letaknya dekat sekali
dengan sumber kuman, yaitu anus dan vagina.
 Dua pertiga distal bangian uretra merupakan tempat reservoir bakteri-bakteri, yang pada keadaan
normal adalah nonpatogen.
 Dalam keadaan tidak normal bakteri-bakteri dapat naik atau amsuk kedalam saluran kemih bagian atas
seperti pada tindakan katerisasi urin, saat bersenggama kasar.
2. Kateter
 Wanita lebih banyak menderita katerisasi daripada laki-laki
 Katerisasi ini selain dapat mendorong kuman yang ada di uretra bagian distal ke saluran kemih bagian
atas juga sebagai mediator rute jalannya infeksi saluran kemih dari dunia luar kedalam saluran kemih
(infeksi nosokomial).
3. Faktor hambatan pengeluaran urin
a. Kebiasaan wanita menahan kencing
Penundaan atau menahan berkemih  kandung kemih sangat penuh dan teregang  setelah wanita
tersebut berkemih  ada sisa urin yang tertinggal karena fungsi dinding kandung kemih terganggu
akibat regangan yang hebat tadi  mendorong kuman-kuman bertumbuh, dan terjadilah infeksi
(bakteriuria)
b. Kehamilan
Pada kehamilan tonus otot saluran kemih menurun karena pengaruh hormonal, sehingga aliran urin
akan lebih pelan dan kapasias kandung kemih pun lebih besar dari wanita tidak hamil, ditambah lagi
dengan penekanan oleh rahim (uterus) yang membesar, sehingga terjadilah penahanan pengeluaran
urin.
c. Kelainan anatomi uretra atau kandung kemih (sistokel dan uretrokel)
Pada kedua keadaan ini seringkali ditemkukan wanita tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya
secara sempurna, masih ada sisa urin
d. Faktor-faktor lain
- Polip uretra, divertikal, tumor buli-buli, dan batu dalam saluran kemih.
- usia : makin lanjut usia makin mudah terjadinya infeksi.
- Faktor sistematik : Diabetes Melitus, Siskle sel, dan goud nefro paty.

Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda infeksi saluran kemih bagian bawah Gejala-gejala dan tanda infeksi saluran kemih atas
(sistitis) (pyelonefritis)
 Disuria  Demam
 Frekuensi/sering berkemih  Menggigil
 Urgensi kadang-kadang ada inkontinensia ringan  Melaise umum
 Nokturia (sering kencing malam hari)  Anoreksia
 Nyeri suprasimpisis  Mual
 Nyeri pada pinggul bawah  Muntah-muntah
 Peranakan terasa turun atau turun berok  Nyeri dan rasa sakit pada pinggul atau sudut
 Hematuria pada akhir berkemih atau urin merah kostovetebra

Etiologi
Pada wanita tak hamil dan hamil biasanya disebabkan oleh bakteri gram negatif aerobik, terbanyak adalah
bakteri Eschehia Coli, antara 6-80 %. Bakteri lain yang juga sering terdapat adalah Klebsiella entero bakteri
Entrokokus,
Pada wanita yang dirawat di rumah sakit, dan mungkin menggunakan kateter, maka dapat ditemukan bakteri
lain seperti seratia morcecen, candida albicans, dan biasanya merupakan infeksi nosokomial.

Diagnosis
1. Pemeriksaan urin (Urinalisis) : lekosit yang jumlahnya lebih dari 10/lapanagn pengelihatan besar dengan
mikroskop
2. Pemeriksaan urin dengan tes dipstik plastik contoh tes nitrit Bila tes dipstik plastik ini positif, berarti ada
bakteri dalam urin.
3. Perhitungan jumlah bakteri dari sediaan langsung urin tanpa pusingan dan diwarnai dengan pewarnaan
Gram, bila ditemukan 1 bakteri saja pada pemeriksaan dengan mikroskop, ini akan menunjukkan adanya
bakteriuria sekitar 88 % secara kultur.
4. Kultur urin atau biakan kuman
5. Pemeriksaan Sistoskopi : menyatakan adanya lekosit dan hematuria karena adanya tumor buli-buli,
sekaligus untuk melihat adanya tanda-tanda radang akut atau kronik dari saluran kemih, juga dapat melihat
kemungkinan ada polip, divertikal yang sangat erat hubungannya dengan kejadian infeksi saluran kemih.
6. Pemeriksaan Ultrasonografi : mengetahui pembesaran ginjal, adanya bendungan kelainan bentuk serta
massa atau batu.
7. pemeriksaan Pyelografi : melihat bentuk ginjal, fungsi ekskresi, keadaan ureter, batu ureter, sekaligus batu
buli-buli dan sebagainya.

Penatalaksanaan dan Pengobatan Infeksi Saluran Kemih


 Tujuan : menurunkan gejala, morbiditas, menagangkat bakteri penyebab dan mencegah rekurensi serta
terjadinya perubahan sekunder abnormalitas fungsi ginjal dan kerusakan struktur saluran kemih.
 Pencegahan : berkemih normal secara periodik serta mendapat cairan yang cukup. Pada penderita yang
menggunakan kateter usahakanlah menggunakan kateter sistem tertutup, pemberian cairan atau minuman
yang banyak sekitar 2500 – 3000 ml per hari, dan menjaga higienis alat genitalis dan sekitarnya.
 Pengobatan dengan antibiotika harus diberikan selama 3 hari dan ada juga yang menganjurkan sampai 5 – 7
hari. Dua minggu kemudian sesudah pengobatan harus dilakukan pemeriksaan kultur urin ulang untuk
memastikan bahwa urin sudah steril atau masih terdapat bakteriuria dan tes kepekaan kuman.
 Pemberian antibiotika pada wanita hamil dan pada anak-anak ini gunanya untuk mencegah terjadinya
komplikasi selama kehamilan dan kemungkinan kerusakan saluran kemih pada anak-anak setelah mereka
dewasa. Pada wanita yang tidak hamil yang menderita infeksi saluran kemih yang asimptomatik,
juga pada wanita yang sedang dirawat di rumah sakit atau pada orang tua, tidak diberikan
pengobatan dengan antibiotika karena dapat menyebabkan meningkatnya resistensi kuman
terhadap antibiotika.
 Pada bakteriuria simptomatik seperti sistitis akut perlu diberikan antibiotika selama 3 hari, kalau perlu
sampai 7-10 hari. Pada pengobatan yang baik hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 24 sampai 48
jam dengan menurunnya atau hilangnya gejala dan tanda, serta sterilnya urin.
 Untuk mengurangi rasa pedih atau sakit dapat pula diberikan obat analgesik.
 Pada infeksi saluran kemih yang lebih tinggi seperti pielonefritis, penderita harus dirawat, diberi cairan
yang cukup, antibiotika, dan semua obat diberikan pariental.
 Pada penderita yang ada penyulit selain pemberian antibiotika, juga perlu diperhartikan penatalaksanaan
penyulit-penyulit tersebut sehingga infeksi tidak dapat berulang atau menjadi lebih berat.
INFEKSI NOSOKOMIAL SALURAN KEMIH
PADA WANITA PASCA BEDAH

Patogenisis dan Etiologi


Setelah tindakan pembedahan, kateter dipertahankan untuk pengawasan produksi urin. Dengan
penggunaan kateter tersebut, kuman yang terdapat pada uretra 2/3 distal akan terdorong masuk ke kandung
kemih, kuman tersebut akan diencerkan oleh urin dan setelah kapasitas kandung kemih tercapai, urin
dikeluarkan setiap kali pasien berkemih. Pada pasien yang menggunakan kateter, kuman akan masuk ke dalam
kandung kemih melalui :
1. Meatus eksterna di sekitar kateter
2. Lumen kateter
3. Persambungan kateter pengumpul urin ke dalam kandung kemih.
Kuman yang masuk ke dalam kandung kemih umumnya sudah resisten terhadap beberapa macam
antibiotika. E. Koli adalah penyebab paling sering pada infeksi nosokomial yang diperkirakan 50 % dari
bakteriuria nosokomial, sedangkan Klebsiella-Enterobacter diperkirakan 3-13 %, dan Pseudomonas Aeruginosa,
Serratia, Entero kokki, stapfilokokki, dan jamur sebagai penyebab lainnya. E. koli dan Klebsiella – Enterobakter
sering sebagai penyebab terjadinya infeksi pada pasien yang tidak mendapat pengobatan antimikroba.

Faktor dan Pengobatan


- Pemakaian kateter
- Jenis kelamin
- Ras/genetik
- Lama perawatan
Pencegahan dan Pengobatan
 Pengobatan dengan antimikroba tidak diberikan pada pasien bakteriuria asimptomatik selama menggunakan
kateter. Hal ini untuk mencegah timbulnya resistensi kuman.
 Bila timbul gejala sistitis atau pielonefritis akut, penggunaan antimikroba diberikan selama 10-14 hari.
Yang paling penting diperhatikan adalah upaya pencegahan, yaitu :
1. Pembatasan penggunaan kateter atau digunakan apabila memang sangat diperlukan dan diangkat secepat
mungkin, dan digunakan kateter sistem tertutup.
2. Penggunaan teknik aseptik yang baik bila akan menggunakan kateter.
3. Bersihkan sambungan meatus eksterna kateter dengan sabun dan air sekali atau dua kali sehari untuk
mengurangi kontaminasi bakteri periuretra.
4. Menjaga agar aliran urin tetap lancar pada kateter sistem tertutup.
5. Bila mungkin, pisahkan pasien dengan pengguna kateter satu dengan lainnya untuk mencegah infeksi silang.
6. Yang tidak kalah pentingnya dalam perawatan pengguna kateter adalah meminta hasil biakan kuman
sesudah pengangkatan kateter dan mengobati dengan antimikroba yang sesuai.
INFEKSI SALURAN KEMIH PADA MASA KEHAMILAN DAN NIFAS

Fisiologi
 Trimester pertama kehamilan  dilatasi ureter di atas atau proksimal dari pintu atas panggul disertai dilatasi
pelvis renalis dan calyces renalis.
 Faktor hormonal (tonus dan motilitas ureter berkurang) dan Uterus gravidus yang membesar  kompresi
mekanik  Buli-buli mengalami hipotonia  menggembung penuh urin tanpa disertai rasa ingin berkemih
dan apabila selesai berkemih, tetap masih ada rest urin yang tertinggal.

Faktor Predisposisi (Bakteriuria dan dilatasi sistem saluran kemih dalam kehamilan)
 uretra wanita yang pendek dan mudahnya kontaminasi bakteri dari vagina dan rektum
 Selama kehamilan dan juga pada waktu postpartum terjadi “shunt” dari kiri ke kanan aliran darah vena
ovarica dan juga karena vena ovarica kanan menyilang ureter kanan diatas linea terminalis pelvis
penekanan terhadap ureter kanan oleh vena ovarica kanan yang membesa  ureter kanan predominan
dilatasi, lumen dari ureter melebar perubahan hidroureter dan hidronefrosis fisiologik.
 Penurunan peristaltik ureter dan tonus otot polos, dan juga rendahnya tonus dan tekanan buli -buli,
menyebabkan terjadinya “refluks” urin dari dalam buli-buli ke dalam ureter pada waktu wanita tersebut
bermiksi, karena tidak terjadi oklusi bagian ureter yang intravesikal.
 Urin stasis dan refluks urin, akibat menurunnya tonus otot-otot polos buli-buli dan ureter memberikan
fasilitas buat bakteri untuk naik (ascendens).
 Pada wanita hamil dengan bakteriuria asimptomatik ternyata 30% dari padanya menjadi simptomatik dengan
gejala partus.
 Faktor predisposisi lainnya adalah kateterisasi dan kontaminasi vulva oleh tinja atau lokia yang mengandung
bakteri patogen.
 Bakteriuria asimptomatik bisa ada selama kehamilan dan jadi memburuk dalam masa nifas, terutama untuk
ibu-ibu dengan diabetes mellitus atau komplikasi lain yang menurunkan daya tahan tubuh  pemberian
antibiotika profilaktif postpartum pada penderita bakteriuria sangat penting untuk mencegah terjadinya
pielonefritis.

Etiologi
Kuman penyebab utama pada infeksi saluran kemih adalah golongan basi garam negatif yang aerobik yang
dalam keadaan normal bertempat tinggal di dalam traktus digestifus
1. Escherichia coli (90% penyebab infeksi saluran kemih)
2. Proteus mirabilis
3. Klebsiella pneumonia
4. Golongan B beta-hemolytik streptococcus
5. Pseudomonas aeroginosa
6. Proteus, Aerobakter, dan Klebsiella
7. Jarang sekali disebabkan oleh Gonokokkus, kandida albikans, atau Trikomonas vaginalis.

Cara Terjadinya Infeksi


1. Melalui aliran darah yang berasal dari usus halus atau organ lain ke bagian saluran kemih.
2. Penyebaran melalui saluran getah bening berasal dari usus besar ke buli-buli atau ginjal.
3. Secara ascendens yaitu migrasi mikroorganismus melalui saluran kemih yaitu uretra, buli-buli, dan ureter ke
ginjal.

 Pada masa kehamilan dan nifas  stasis urin, kongesti pembuluh vena, dan edema saluran kemih post
partum. invasi bakteri dalam selaput lendir uretra, buli-buli, ureter dan pelvis renalis  naiknya
(ascendens) bakteri dari uretra via buli-buli dan ureter ke pelvis renalis.
 Pada masa nifas  adanya Lactosuria  medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Sistitis akut
biasanya muncul pada hari ke 2 dan 3 postpartum (retensi urin dan perkembangbiakan bakteri di dalam
uretra dan buli-buli yang telah mengalami trauma persalinan)
 Trauma partus pada dasar buli-buli sering menyebabkan timbulnya gangguan fungsi buli-buli karena
kerusakan neurogenik, yang mengakibatkan fungsi refleks berkemih buli-buli tidak adekuat lagi  buli-buli
menjadi overdistended  refluks urin vesikoureteral  infeksi trauma pada uretra dan buli-buli  selama
partus dipasang kateter Foley dan dibiarkan selama 24 jam postpartum, untuk mengurangi obstruksi karena
edema dan hiperemia serta mencegah terjadinya retensi urin.
Manifestasi Klinik

Bakteriuria asimptomatik Bakteriuria Simptomatik


Definisi ditemukan adanya 100.000 bakteri atau Serimg terjadi  pielonefritis akut.
lebih per milliliter urin dari penderita tanpa
keluhan infeksi saluran kemih
Morbiditas 30% bakteriuria simptomatik dalam -Gangguan fungsi ginjal
kehamilan berupa sistitis atau pielonefritis -partus preterm
akut
Patofisiologi sering ditemukan pada ibu hamil Faktor Bakteri
Hormon progesteron tonus dan aktivitas infeksi ascendens yang berasal dari saluran
otot –otot, dan obstruksi mekanik oleh kemih bagian bawah. 90% oleh Eskerisia
pembesaran uterus  meningkatkan koli dan sisanya oleh Proteus, Klebsiella,
kapasitas buli-buli dan terdapatnya rest enterobakter, Serratia, dan Pseudomonas.
urin Faktor Maternal
Perubahan pH urin karena meningkatnya ama seperti yang diuraikan pada bakteriuria
ekskresi bikarbonas  kemudahan untuk asimptomatik.
pertumbuhan bakteri. Glycosuria sering Tanda : demam, menggigil, sakit pinggang,
terjadi pada kehamilan predisposisi enek dan muntah, sering kencing dan sakit,
untuk perkembangbiakan bakteri dalam dan nyeri ketok pada sudut kostovertebral.
urin.
laboratorium kultur urin (midstream) terdapatnya Urin analisis menunjukkan bakteriuria dan
100.000 bakteri atau lebih dari spesies piuri. Kultur urin ditemukan lebih dari
yang sama per mililiter urin 100.000 bakteri per mililiter urin.
Tatalaksana a. Evaluasi wanita hamil a. Antibiotika
b. Pengobatan bakteriuria asimptomatik b. Cairan (3000ml/24 jam)
c. Analgesik
Prognosis pencegahan yang efektif terhadap 10 – 20% sifatnya rekurens selama
terjadinya infeksi saluran kemih yang berat kehamilan dan nifas. Apabila berulang lagi
 antimikrobial nitrofurantoin selama masa
kehamilan dan nifas.

PEMILIHAN DAN PENGGUNAAN KATETER DI BIDANG OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

Kateter menetap
 Untuk wanita sebaiknya digunakan kateter ukuran kecil (12 – 16F ) dan cairan yang dimasukkan ke dalam
balon tidak melebihi 5 cc at au paling tidak 5 – 10 cc.
 Lama kateter menetap menetap dipertahankan pascabedah sangat bervariasi sekitar 12- 24 jam. Durfee
menganjurkan untuk melepas kateter 6 jam pascabedah, sedangkan pascahisterektomi total 24 jam
pascabedah.
 Kateter menetap juga digunakan pada kasus –kasus retensio urin pasca bedah, post partum, atau karena
sebab lain yang dilanjutkan dengan kateter intermiten sebagai upaya bladder training.
 Selama pemasangan kateter menetap, intake cairan dianjurkan minimal 2.500 cc per hari untuk mencegah
kolonisasi bakteri di kandung kemih, monitor urin setiap 4 jam, dan hindari manipulasi kateter dan anti
kateter bila terdapat kecurigaan infeksi.

Kateter Intermiten
 untuk pasien gangguan fungsi berkemih, untuk bladder training setelah pemasangan kateter menetap jangka
panjang, pada kasus retensio urin untuk mengetahui urin sisa.
 Kateterisasi harus teratur setiap 3 jam sepanjang hari dan 1 – 2 kali pada malam hari untuk 2 minggu
pertama.

Kateter Suprapubik
o Digunakan bila perlu drainase kandung kemih jangka panjang (histerektomi radikal).
o Kecenderungan terjadinya infeksi saluran kemih pada hari ke tiga pemasangan kateter menurun
dibandingkan pemakaian keteter menetap transuretra, mempermudah bladder training tanpa harus
melakukan kateterisasi intermiten untuk menghitung urin sisa.
o Kekurangan  membutuhkan waktu pemasangan lebih lama, menimbulkan trauma kandung kemih, dan
dapat menimbulkan fistula vesikokutan dan herniasi
PENANGANAN RETENSIO URIN PASCAPERSALINAN

Miksi pada masa nifas dini


 Peningkatan pembentukan urin selama masa nifas dini.
 Berkemih spontan postpartum harus sudah terlaksana < 6 jam sesudah melahirkan.
 Apabila buli-buli penuh dan pasien tidak dapat berkemih untuk mengosongkannya, maka terjadilah retensio
urin masa nifas (ischuriapuerperalis)

Penyebab Retensio Urin Masa Nifas


1. Trauma intra partm
Adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan vesika urinaria tersebut
oleh kepala bayi yang memasuki panggul terhadap tulang panggul ibu sehingga terjadi perlakukan jaringan
 edema selaput lendir pada leher buli-buli  ekstravasasi darah didalam buli-buli  Ostium uretra
internum tersumbat oleh edema mukosa dan kontraksi vesika jelek akibat ekstravasasi darah ke dalam
dinding buli-buli  retensio urin.
2. Refleks kejang (krampf) sfingter uretra
Ketakutan akan timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi
3. Hipotomia selama hamil dan nifas
Tonus dinding buli-buli sejak masa kehamilan sapai post partum menurun.
4. Tidak dapat berkemih dalam posisi tidur terlentang.

Bahaya Retensio Urin Pascapersalinan


1. timbulnya sistitis, rupture buli-buli spontan akibat retensio urin.
2. mengakibatkan uremi dan sepsis  meninggal pada post partum

Penanganan Retensio Urin Pascapersalinan


1. Sedini mungkin berdiri dan jalan ke WC untuk berkemih spontan.
2. Terapi medikamentosa misalnya dapat diberikan : Doryl ® (2 x 1 ml i.m/hari)
3. agar terjadi invulosio uteri yang baik  uterotonika  Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi vesika
urinaria.
4. kateterisasi, dan jika perlu berulang.

PENANGANAN RETENSIO URIN PASCABEDAH

 Retensio urin pasca operasi ginekologi (histerektomi vagina dan kolporafi anterior)  nyeri, edema, dan
spasme otot-otot pubokoksigeus selama dan sesudah operasi.
 Retensio urin pascaseksio sesarea  anestesia, nyeri pada luka insisi di dinding perut (spasme dari otot
levator  kontraksi spastik pada sfingter uretra), pasien enggan untuk mengontraksikan otot-otot dinding
perut guna memulai pengeluarkan urin, dan manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea, serta pada
kasus yang dilakukan seksio sesarea di mana terdapat historia partus kala II lama (iritasi, edema,
hematom, bahkan kerusakan mukosa dan otot kandung kemih)
Diagnosis
 Klinis : massa sekitar daerah pelvik dengan perkusi yang pekak. Vesika urinaria mungkin dapat teraba
transabdominal jika isinya berkisar antara 150-300 ml. Pemeriksaan bimanual biasanya dapat meraba
vesika urinaria bila terisi > 200ml.
 Uroflometri : penurunan peak flow rate dan perpanjangan waktu berkemih.
 Pemeriksaan urin sisa (residu urin) : pascabedah ginekologi  volume urin sisa > 100 ml, sedangkan
pada pasien pascabedah obstetrik  volume urin sisa > 200 ml.
 Ultrasonografi (USG) “ diukur volume urin tidak invasif.
Adapun diagnosis nilai normal fungsi berkemih pada wanita adalah:
 Volume residu < 50 ml
 Keinginan yang kuat timbul setelah pengisian > 250 ml
 Kapasitas sistometri 400 – 600 ml
 Tekanan otot detrusor < 50 cm H 2O
 Flow rate > 15 ml per detik
Penatalaksanaan
1. Penggunaan kateter
2. Obat-obatan  saraf simpatis/ parasimpatis, otot polos
3. Minum 3 liter per 24 jam
PROLAPSUS ALAT GENITALIA

Ada 3 mekanisme yang menjelaskan uterus dan vagina tetap berada pada posisinya,
1. Facia endopelvis menyokong uterus dan vagina dengan menempel pada dinding lateral pelvis
2. Otot levator ani berkontraksi menarik lumen sehingga membentuk lapisan penutup tempat organ pelvis
ini dapat bersandar.
3. Bertindak sebagai katup penutup yang merupakan basil kerja gabungan kedua struktur tadi.
Otot dasar panggul dapat melemah akibat trauma persalinan, neuropati pelvis, usia, operasi histerektomi,
defisiensi hormon karena menopause, meningkatnya tekanan intraabdominal yang kronis, atau akibat
kelainan kongenitai yang menyebabkan levator ani akan kehilangan tonus istirahat dan tidak dapat
berkontraksi dengan cepat dan kuat saat tekanan intraabdomen meningkat, juga faktor ras dan kelainan
bawaan.
Keluhan yang sering dijumpai:
1. Perasaan adanya benda yang nienonjol atau mengganjal di genitalia eksterna (100%)
2. Rasa sakit/nyeri di pinggang, biasanya bila penderita berbaring akan berkurang atau menghilang
(13%).
3. Sistokel dapat memberikan gejala-gejala:
a. Sering berkemih dan sedikit-sedikit (39%)
b. Perasaan seperti kandung kemih tidak dapat dikosongkan seluruhnya (39%)
c. Tidak dapat menahan kencing jika batuk atau mengejan.
4. Rektokel dapat memberi gangguan pada defekasi (39%):
a. Konstipasi karena feses berkumpul dalam rongga rektokel
b. Baru dapat defekasi setelah diadakan penekanan pada rektokel dari vagina.
5. Enterokel  perasaan berat di rongga panggul dan perasaan penuh di vagina
6. Kesukaran untuk berjalan (45%)
7. Kesulitan koitus (39%)
Pencegahan:
 Mengurangi hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal, seperti batuk yang kronis atau,
mengangkat benda-benda berat.
 Melakukan latihan otot-otot dasar panggul
 Menghindari persalinan lama
 Persalinan ditolong dengan baik
 Mengurangi jumlah anak (keluarga berencana)
Terapi Operasi
 sistokel atau uretrokel,  kolporafi anterior
 prolapsus uteri stadium II dan III  vaginal histerektomi disertai dengan kolporafi anterior dan
kolpoperineorafi. Pada. penderita yang masih berkeinginan punya anak, atau masih muda, atau masih
mendapat haid, maka dilakukan ventro fiksasi uterus
 Bila prolaps berupa elongation serviks dilakukan amputasi serviks.
 Rektokel dilakukan kolporafi posterior yang sering dilanjutkan dengan perineorafi (kolpoperineorafi).
Pada prolaps puncak vagina, dapat dibantu dengan pesarium, bila tidak bisa bare dilakukan operasi. Jenis
operasi untuk prolaps puncak vagina dapat dilakukan dengan:
1. Sakropeksi
2. Sakrospenosos feksi
3. Kolpopeksi pada fasia otot rektus abdominalis
4. Kolpokleisis bila os tidak mempunyai suami lagi atau tidak ada aktivitas seksual
PROLAPSUS UTERI DALAM KEHAMILAN

Pengaruh Prolapsus Uteri pada Kehamilan dan Sebaliknya


 infertilitas
 keguguran karena trauma dan bendungan pembuluh darah
 Luka dan infeksi pada serviks karena trauma,
 Retensio urin  radang saluran kemih  partus prematurus
 Distosia servikalis karena serviks mengalami hipertropi, elongatio / portio edema.
 Pada masa nifas dapat menimbulkan infeksi masa nifas
 Dengan adanya kehamilan, uterus yang telah mengalami prolapsus akan mengalami keadaan prolapsus
lebih berat. Hal ini karena uterus menjadi lebih besar dan berat, dan otot-olot penyangga uterus lebih
lunak karena pengaruh hormon progesterone  uterus akan turun lebih rendah dari biasa sampai
kehamilan 14-16 minggu, kemudian sesudah usia kehamilan 16 minggu, uterus akan keluar ke dalam
pelvis mayor, dan dengan sendirinya akan menarik serviks ke dalam vagina.
 Pada kehamilan 32-34 minggu atau lebih mungkin serviks akan turun ke luar introitus vagina karena
dorongan dari bagian terendah janin yang telah memasuki jalan lahir. Serviks yang keluar dari introitus
vagina ini sering mengaiami luka dan edema serta terinfeksi, sehingga dapat timbul perdarahan atau
infeksi.
Penatalaksanaan
Dalam kehamilan
 Tindakan pemasangan pesarium dapat dilakukan pada penderita prolapsus uteri dengan kehamilan
muda bila penderita mengeluh peranakan terasa turun, dan ingin meneran serta gangguan pada
kandung kemih dan rektum.
 Pesarium dapat digunakan sampai usia kehamilan akhir bulan keempat. Pender ita dengan pesarium
dapat melakukan pekerjaan sehari-hari seperti biasa. Pesarium diangkat hanya untuk dibersihkan
secara teratur. Pemasangan pesarium ini juga dapat mengurangi edema portio
 Pada keadaan di mana pesarium tak dapat dipasang, penderita harus istirahat baring selama
beberapa jam setiap hari, dan dianjurkan tidak memakai pakaian ketat yang menjepit pinggang.
 Bila prolapsus timbul lagi, pasien harus istirahat baring, pesarium dipertahankan sampai penderita
inpartu.
Intrapartum
Keettel melaporkan bahwa persalinan normal dijumpai pada 45,7% kasus, 27,1% dilahirkan dengan
ekstrasi forseps, Versi dan ekstraksi dilakukan pada 4,3% kasus dengan 2 kematian perinatal.
Kraniotomi dilakukan pada 7,8% kasus. Seksio sesarea dilakukan pada 1 kasus dengan tekn ik Porro,
tunggal serviks difiksasi.
Nifas
Dapat dikoreksi setelah persalinan masa involusi sempurna yakni setelah 3 bulan postpartum. Selama masa
tersebut dapat digunakan pesarium. Jenis operasi yang dilakukan ialah bila penderita telah berusia di atas 40
tahun atau anak hidup telah cukup, dilakukan histerektomi vaginal, sedangkan pada kasus-kasus dengan
infertilitas primer atau usia kurang dad 40 tahun dan masih ingin haid atau masih ingin punya anak dilakukan
operasi Purendare atau Manchester.
OVERACTIVE BLADDER

 Overactive bladder adalah salah satu penyebab inkontinensia urin dan merupakan penyebab kedua
sesudah kelemahan sfingter uretra.
 Timbulnya overactive detrusor ini dapat disebabkan oleh gangguan mekanis, persarafan yang disebabkan
oleh kelainan di daerah susunan saraf pusat seperti bila ada stroke, tumor otak multiple scierosis,
penyakit Parkinson, tumor, atau kerusakan spinal cord; kelainan ini disebut detrusor hiperefleksia.
 sebagian besar dari overactive detrusor ini tidak diketahui sebabnya (idiopatik). Kelainan ini disebut
detrusorin stubility atau instabilitas detrusor.
 Pada orang tua lebih sering ditemukan karena pada mereka kapasitas kandung kemih menjadi lebih kecil
dan tidak adanya hormon estrogen mengakibatkan kandung kemih lebih rentan terhadap rangsangan
Refleks yang terjadi pada penyimpanan dan pengeluaran urin agar kandung kemih bagian bawah
1. Refleks relaksasi dari otot detrusor selama pengisian  simpatik inhibitor thadap ganglion parasimpatik.
2. Refleks peningkatan aktivitas otot rhabdo sfingter uretra dalam pengisian kandung kemih:.
3. Refleks permulaan relaksasi uretra pada permulaan berkemih
4. Refleks kontraksi otot detrusor pada permulaan berkemih
5. Refleks pengaliran urin di dalam uretra.
Gejala Klinik
1. Frekuensi : berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24 jam.
2. Nokturia: malam hari akan lebih sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
3. Urgensi: keinginan kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita belum lama sudah berkemih
dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan normal.
4. Urgent inkontinensia: dorongan yang kuat sekali untuk berkemih dan tidak dapat ditahan sehingga
kadang-kadang sebelum sampai ke toilet urin telah keluar lebih dulu.
Diagnostik
1. Anamnesis: keluhan frekuensi, urgensi, nokturia.
2. Pemeriksaan fisik: penilaian organ-organ yang dipersaraf oleh S234.
3. Pemeriksaan urin (urinalisis)  deteksi ISK, batu buli-buli, dan tumor kandung kemih.
4. Daftar harian berkemih selama 4-5 hari dibuat untuk mengetahui frekuensi berkemih, volume urin yang
dikeluarkan, adanya nokturia atau tidak, dan keinginan berkemih.
5. Pemeriksaan sistoskopi  mengetahui keadaan mukosa kandung kemih dan uretra, serta kemungkinan
adanya atrofi, polip, radang, divertikel, keganasan, sekaligus menilai kapasitas kandung kemih.
6. Pemeriksaan urodinamik  dilakukan bila diagnosis masih diragukan
1. Terapi Konservatif
a. Dengan mempergunakan obat-obat
 Musculotropic agents, Tricyclie antidepressants, estrogen (hormonal)
 Obat yang banyak digunakan adalah Tolterodine L,-tartrate yang berfungsi sebagai anti muskarinik
agent, yang biasanya diberikan 1 - 2 mg 2 kali setiap hari.
b. Bladder drill
 Penderita dipacu untuk mencapai target waktu yang telah ditetapkan untuk berkemih dan dinaikkan
dengan interval dalam setiap setengah jam dan dilakukan minimal selama 6 minggu.
 Latihan otot kandung kemih ini sebagai terapi sering disertai pula dengan pemberian obat -obat
c. Psikoterapi dan Akupuntur
d. Terapi dengan perubahan perilaku  Mengurangi minum (1500 ml per hari dan terbagi rata),
mencegah minum kopi dan alkohol.
e. Mempergunakan inkontinens pads (pampers) dan protective device
2. Terapi operatif
a. Augmentasi sistoplasty
b. Bladder transeksi
c. Sistoplasty, dengan mempergunakan helium.
OVERACTIVE STRESS INKONTINENSIA
GEJALA
BLADDER URIN
1. Urgensi + -
2. Frekuensi berkemah (> 8 kali) + -
3. Keluarnya urin berhubungan dengan - +
aktivitas (batuk, bensin)
4. Jumlah urin yang keluar > banyak Sedikit
5. Berkemih malam hari > 2 kali Jarang
6. Dapat menahan urin sampai ke toilet Bisa Tidak
STRES INKONTINENSIA URIN

 Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol yang secara objektif
dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis.
 Pada stres inkontinensia terdapat tekanan intravesikal yang melebihi tekanan maksimal uretra, sehingga
urin keluar, sedangkan kandung kemih sendiri tidak aktif atau istirahat.
 Menurut De Lancy ada 3 faktor yang mempertahankan kontinensia, yaitu faktor penyokong uretra dan
Bladder neck yang baik, sfingter uretra interna, dan sfingter uretra eksterna

Etiologi : Kelemahan sfingter uretra.


Ada 4 faktor yang berperan dalam peristiwa inkontinensia ini
1. Mekanisme sfingter uretra interna.
2. Mekanisme sfingter uretra eksterna.
3. Faktor penyokong sambungan uretravesika ( urethrovesical junction).
4. Koordinasi kontrol persarafan pusat dan perifer.
Faktor risiko
1. Usia  Kejadian inkontinensia meningkat dengan meningkatnya usia
2. Faktor ras  orang kulit hitam seperti bangsa ekskimo dan Cina lebih sedikit menderita inkontinensia
dibandingkan dengan orang kulit putih (Barat).
3. Kehamilan dan melahirkan wanita multipara lebih banyak ditemukan stres inkontinensia daripada
nulipara.
4. Menopause  fungsi uretra dipengaruhi oleh faktor usia & hormon estrogen
5. Faktor jaringan ikat  jumlah jaringan kolagennya sangat sedikit.
6. Faktor merokok, minum alkohol, dan kegemukan (obesitas)

Diagnosis
Anamnesis : gejala-gejala inkontinensia, penyakit-penyakit atau keadaan yang menyebabkan
meningkatnya intraabdominal serta derajat gangguan sosial yang dialami oleh penderita dan keluarga,
keadaan menopause, pengobatan inkontinensia sebelumnya, serta riwayat operasi pelvis.
Pemeriksaan fisik : gangguan persarafan S2-4 dan pemeriksaan uroginekologi, tes batuk/vasava untuk
melihat urin keluar dari uretra serta tes bodi.
Pemeriksaan tambahan : pemeriksaan cotton swab (Q tes) untuk mengetahui perubahan sudut
uretro vesikalis, perhitunggan urin sisa, tes Multichannel urodynamic, sistometri.
Penatalaksanaan
Terapi konservatif:
1. Latihan otot dasar panggul
2. Penggunaan pesarium
3. Penggunaan pad atau tampon vaginal
4. Pemberian obat-obatan seperti hormon estrogen dan alfa andregenik agents
5. Stimulasi listrik fungsional.
Terapi operatif:
1. Kolporafi anterior
2. Uretropeksi retropubik
3. Prosedur jarum
4. Prosedur sling pubo vagina
5. Periuretral bulking agent
PENANGANAN KASUS AGENESIS VAGINA

Kelainan vagina dapat berupa:


1. Kegagalan perkembangan saluran Muller dan sinus urogenitalis secara komplit sehingga tidak
terdapatnya vagina, uterus, dan tuba.
2. Kegagalan perkembangan saluran Muller secara komplit akan tetapi sinus urogenitalis tidak sehingga
terdapat agenesis vagina atas dengan vagina bagian bawah masih ada.
3. Kegagalan dalam perkembangan vagina bawah (sinus urogenitalis) dapat berupa atresia vagina dan
atresia himenalis.
4. Kegagalan dalam kanalisasi kembali saluran Muller dan sinus urogenitalis yang tak sempurna sehingga
terdapat septum longitudinal atau transversa yang kadang - kadang disertai dengan inferforata.

Diagnosis
 Keluhan : amenore primer, perkembangan seks se k u n d e r dalam keadaan normal. Pada penderita
yang mempunyai kelainan vagina dengan uterus ada, akan didapat tumor intraabdominal (hematometra)
atau kadang-kadang dengan mudah ditemui hematokolpos dengan himen inferforata atau vagina yang
menonjol karena desakan darah haid yang turun ke dalam vagina.
 Pada penderita agenesis vagina, perlu dilakukan pemeriksaan kromosom dan seks kromatin.
Pemeriksaan laparoskopi atau laparatomi tidak dianjurkan
Pemeriksaan Anjuran  IVP
Faktor - faktor yang harus diperhatikan pada pengobatan agenesis vagina :
1. Faktor emosi dari penderita dan keluarganya:
a. Perlu diterangkan bahwa hanya vagina yang tidak ada , bukanlah suatu penyakit yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan fisik lainnya.
b . Perlu diterangkan tujuan pengobatan yang akan diberikan pada penderita dan familinya bila
akan dilakukan tindakan operasi pembentukan n e o v a g i n a
c. Kemungingan penderita dapat haid, dan hamil setelah tindakan pengobatan
d. Tindakan pembentukan vagina pada penderita agenesis hanya dilakukan bila ia
membutuhkan neovagina, dan penderita cukup kooperatif untuk melakukan dilatasi atau
melakukan busi pada neovaginanya setelah tindakan operasi sampai penderita telah
menikah.
2. Waktu melakukan tindakan pengobatan
sebaiknya dilakukan tindakan operasi kira-kira 1 bulan sebelum perkawinannya, atau sesudah
menikah di mana mereka memerlukan lubang vagina lebih baik. Pada pasien yang ada hematometra
atau hematokolpos secepatnya dilakukan tindakan operasi agar pasien tidak lama menderita.
3. Cara pengobatan yang dipilih
a. T e k n i k F r a n k , yaitu melakukan pembentukan neovagina tanpa operasi, hanya dengan
melakukan dilatasi dengan alat busi yang dilakukan sendiri oleh penderita. Tindakan ini akan
berhasil bila agenesis hanya disebabkan oleh kelainan saluran Muller sedang kan ada v a g ina
bagian bawah.
b. Teknik Wharton. Neovagina dibuat dengan melakukan insisi dan membuat ruangan antara
kandung kencing dan rektum.
c. Teknik McIndoe. Seperti pada Wharton, tetapi di sini dilakukan penutupan dinding neovagina
baru dengan skin graf yang diambil dari kulit pada pantat.
d. Menempelkan usus atau peritoneum pada dinding neovagina baru yang dibuat seperti Wharton.
Operasi ini cukup tinggi risiko serta kegagalannya.
e. Teknik Williams, yaitu dengan menggunakan jaringan labia. Yang terkenal adal ah dengan vulva
vagino-plasty.
f. Penggunaan selaput ketuban sebagai graft

Anda mungkin juga menyukai