Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Selama

kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi.


Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung
merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa
hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi
patologis yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu 14.
Retensio urin pasca persalinan merupakan salah satu komplikasi yang bisa
terjadi pada kasus obstetri. Menurut Stanton, retensio urin adalah ketidakmampuan
berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan
tidak dapat mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 & kapasitas kandung kemih.
Kejadian retensio urin pasca persalinan tercatat berkisar antara 1,(-1(,)&. Pribakti
melaporkan
),1& retensio urin pasca seksio sesarea di RS*D *lin Banjarmasin. Penelitian Rizvi
dkk mendapatkan 11,)& retensio urin pasca seksio sesarea. Dilaporkan oleh
stepansson dkk pada penelitiannya di swedia terdapat hubungan kala dua lama
terhadap kejadian retensi urin pada periode awal post partum yaittu dari (2.5)/
kelahiran per vaginam yang mengalami retensi urin adalah (,/ & dengan riayat
seksio sesaria sebelumnya,
4,0& pada primipara, dan 1,(& multipara tanpa sksio sesaria sebelum nya 14,1(,21.
Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami
kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung
kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine
meliputi sectio cesarea, ekstraksi vakum, epidural anestesia, pada gangguan
sementara kontrol saraf kandung kemih, dan trauma traktus genital 1/.
Pada persalinan pervaginam miksi spontan akan terjadi dalam 4-0 jam
postpartum dan pengeluaran urine lebih dari 100 cc tanpa ada keluhan sewaktu miksi.
Dalam 40 jam postpartum biasanya fungsi miksi akan kembali teratur. 2amun
jika urine tidak segera keluar maka akan mengganggu kontraksi uterus dan memicu
terjadinya infeksi saluran kemih. 3nkoordinasi kerja otot dasar panggul setelah
persalinan dapat menyebabkan gangguan fungsi miksi seperti retensio urine (urine
tertahan5 dan dapat juga berupa stress inkontinensia urine (buang air kecil keluar

tanpa disadari5. Hal ini disebabkan pada akhir kehamilan kandung kemih terdorong

1
ke depan dan ke atas, terjadi kongesti, hipotonik, tekanan pada saraf pudendus,
kelemahan mekanisme otot sfingter uretra.
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2010
kejadian retensio urin pada ibu postpartum pada hari pertama adalah 60% dan
pada hari kedua 17%. Menurut Culligan dan Goldberg (2007), didapatkan 4%
mengalami stress inkon-tinensia urine sebelum kehamilan, 37% selama kehamilan
dan 7% selama periode postpartum. Hal ini disebabkan oleh gangguan pelvic floor
muscle 14.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

A. Vesica Urinaria
Vesica urinaria adalah sebuah kantong yang dibentuk oleh jaringan ikat dan otot
polos, berfungsi sebagai tempat penyimpanan urine. Apabila terisi sampai 200 — 300
cm maka timbul keinginan untuk melakukan miksi. Miksi adalah suatu proses yang
dapat dikendalikan, kecuali pada bayi dan anak-anak kecil merupakan suatu reflex.1
Bentuk, ukuran, lokalisasi dan hubungan dengan organ-organ di sekitarnya
sangat bervariasi, ditentukan oleh usia, volume dan jenis kelamin. Dalam keadaan
kosong bentuk vesica urinaria agak bulat. Terletak di dalam pelvis. Pada wanita letaknya
1
lebih rendah daripada pria.
Dalam keadaan terisi penuh vesica urinaria dapat mencapai umbilicus. Perubahan
bentuk mengikuti tahapan pengisian, mula-mula diameter transversal yang bertambah,

2
lalu dikuti peningkatan diameter longitudinal. Dalam kondisi terisi penuh, maka kedua
1
ukuran tadi adalah sama.
Dalam keadaan kosong vesica urinaria mempunyai empat buah dinding, yaitu
facies superior, fascies infero-lateralis (dua buah) dan facies posterior. Facies superior
berbentuk segitiga dengan sisi basis menghadap ke arah posterior. Facies superior dan

facies infero-lateralis bertemu di bagian ventral membentuk apex vesicae. Antara apex
vesicae dan umbilicus terdapat ligamentum umbilicale medium, yang merupakan sisa
dari
urachus. Facies infero-lateral satu sama lian bertemu di bagian anterior membentuk sisi
anterior yang bulat, dan di bagian inferior membentuk collum vesicae. Collum vesicae
dapat bergerak dengan bebas dan difiksasi oleh diphragma urogenitale. 1
Facies posterior membentuk fundus vesicae (@ basis vesicae). Sudut inferior
dari fundus berada pada collum vesicae. Bagian yang berada di antara apex vesicae, di
bagian ventral, dan fundus vesicae di bagian dorsal, disebut corpus vesicae. Facies
superior dan bagian superior dari basis vesicae ditutupi oleh peritoneum, yang
membentuk reflexi

(lipatan, lengkungan) dari dinding lateral dan dari dinding ventral abdomen, di dekat
tepi cranialis symphysis osseum pubis. Dalam keadaan vesica urinaria terisi penuh
maka
peritoneum ditekan ke arah cranial sehingga reflexi tadi turut terangkat ke cranialis. Di
1
sisi lateral vesica urinaria reflexi peritoneum membentuk fossa para vesicalis.
Di sebelah dorsal vesica urinaria peritoneum membentuk reflexi ke arah uterus
pada wanita dan rectum pada pria. Facies superior vesica urinaria mempunyai hubungan
dengan organ-organ di sekitarnya,melalui peritoneum, yaitu dengan intestinum tenue
dan colon sigmoideum. Pada wanita, vesica urinaria dalam keadaan kosong berada di
1
sbelah caudal corpus uteri.

Di antara symphysis osseumpubis dan vesica urinaria terdapat spatium retopubis


(@ spatium praevesicale Retzii ), berbentu huruf *, dan berisi jaringan ikat longgar,
jaringan lemak dan plexus venosus. Spatium ini dibatasi oleh fascia prevesicalis dan
fascia transversalis abdominis. Facies infero-lateral vesicae dipisahlan dari m.levator ani
1
dan m.obturator internus oleh fascia pelvis.
Di sebelah dorsal dari vesica urinaria feminina terdapat uterus dan vagina.
Reflexi peritoneum dari permukaan superior vesica urinaria meluas sampai pada facies
anterior uterus setinggi isthmus, sehingga corpus uteri terletak di sebelah cranial dari
vesica yang kosong. Celah yang terdapat di antara corpus uteri dan facies superior
vesica yang

kosong. Celah yang terdapat di antara corpus uteri dan facies superior vesica urinaria

3
dinamakan spatium uterovaginalis. Di antara basis vesica urinaria dengan vagina dan
1
corpus uteri terdpat jaringan ikat longgar.
Collum vesica urinaria difiksasi oleh penebalan fascia pelvis, disebut ligamentum
pubovesicalis, pada facies dorsalis symphysis osseum pubis, dan melanjutkan diri
menjadi ligamentum pubocervicale yang memfiksasi cervix uteri serta bagian cranial
1

vagina pada symphysis osseum pubis.


Pada pria peritoneum yang menutupi facies superior vesica urinaria meluas ke
posterior membungkus ductus deferens dan bagian superior vesicula seminalis, lalu
melengkung pada permukaan anterior rectum, membentuk spatium retrovesicalis, suatu
celah yang berada di antara rectum dan vesica urinaria, berisi interstinum tenue. Ke arah
postero-lateral peritoneum membentuk plica sacrogenitalis, yang berjalan ke dorsal
mencapai tepi lateral os sacrum. Basis vesica urinaria terletak menghadap ke dorsal dan
agak ke caudal. Bagian caudalnya dipisahkan dari rectum oleh vesicula seminalis dan
bentuk ductus deferens.1

Collum vesicae mempunyai hubungan dengan facies superior atau basis prostat,
difiksasi oleh ligamentum puboprostaticum mediale dan ligamentum puboprostaticum
laterale. l3gamentum puboprostaticum mediale melekat pada pertengahan symphysis
osseum pubis dan pada pihak lain melekat pada capsula prostatica, membentuk lantai
spatium retropubicum. Aigamentum puboprostaticum laterale melekat pada ujung
anterior arcus tendineus fascia pelvis dan meluas ke arah medial dan dorsal menuju ke
1,2
pars superior capsula prostatica.
Pada kedua jenis kelamin masih terdapat ligamentum lateral yang merupakan
penebalan dari fascia pelvis, yang meluas dari sisi laterale vesica urinaria menuju ke
arcus

tendineus fasciae pelvis1,2


Pembuluh-pembuluh darah vena dari plexus venosus vesicalis berjalan ke dorsal
dari basis vesicae menuju ke vena iliaca interna, dibungkus oleh jaringan ikat longgar
1
dan disebut ligamentum posterior.
Dari apex vesicae sampai ke umbilicus terdapat ligamentum umbilicale
medianum, yang merupakan sisa dari urachus. Sisa arteria umbilicalis membentuk
ligamentum umbilicale laterale. Ketiga ligamenta tersebut dibungkus oleh peritoneum
parietale, membentuk plica umbilicalis media dan plica umbilicalis lateralis, tetapi tidak
1
berfungsi untuk memfiksasi collum vesicae.

Struktur vesica urinaria terdiri atas jaringan ikat dan otot-otot polos. Mucosa
vesica urinaria berwarna agak kemerah-merahan, dan bervariasi sesuai dengan tingkat

4
volumenya. Dalam keadaan kosong mucosa membentuk lipatan-lipatan yang disebabkan
oleh karena perlekatannya pada lapisan otot menjadi longgar. Mucosa pada fundus
vesicae melekat erat pada lapisan otot dan membentuk sebuah segitiga dengan
permukaan yang licin, berwarna lebih gelap, disebut trigonum vesicae Aieutaudi. Sisa-
sisa dari segitiga ini berukuran 2,5 — 5 cm dan bertambah panjang mengikuti
volume vesica
1

urinaria.
Pada sudut craniodorsal dari trigonum vesicae terdapt ostium ureteris, yang adalah
muara ureter berbentuk elips, dan pada sudut di sebelah caudal (apex) terdapat ostium
urethrae internum,. Bang merupakan pangkal dari urethra. Di sebelah dorsal ostium
uretrae internum terdapat penonjolan yang disebut uvula vesicae, yang dibentuk oleh
lobus medius prostat. Di sebelah superior trigonum vesicae, berada diantara kedua
muara ureter, terdapat plica interurterica, berwarna pucat, dibentuk oleh serabut-serabut
transversal otot polos dinding vesica urinaria. Serabut-serabut otot ini adalah lanjutan
dari stratum longitudinale internum dari ureter. Muara ureter pada vesica urinaria
membentuk

1,2
lipatan pada dinding vesica, berada di sebelah lateralnya, dan disebut plica
ureterica.

5
Gambar 1. Anatomi Vesica *rinaria2

B. Urethra
Merupakan suatu saluran fibromuscular yang dilalui oleh urine keluar dari
vesica urinaria. Saluran ini menutup apabila kosong. Pada pria urethra dilalui juga
oleh semen (spermatozoa). Ada beberapa perbedaan antara urethra feminina dan
urethra masculina.

1. Urethra Feminina
a. Morfologi dan Aokalisasi
Panjang 4 cm, terletak di bagian anterior vagina. Muaranya disebut
ostium urethrae externum, berada didalam vestibulum vaginae, di ventralis dari
ostium

vaginae, di antara kedua ujung anterior labia minora. Berjalan melalui diaphragma

6
pelvis dan diaphragma urogenitale. Pada dinding dorsal terdapat suatu lipatan
yang menonjol, membentuk crista urethralis. *rethra difiksasi pada os pubis oleh
serabut-serabut ligamentum pubovesicale.1

b. Vascularisasi dan Aliran Aymphe


Pars cranialis mendapat suplai darah dari arteria vesicalis inferior. Pars
medialis mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteria vesicalis inferior dan
arteria uterina. Sedangkan pars caudalis mendapat vascularisasi dari cabang-
cabang arteria pudenda interna.
Aliran darah venous dibawa menuju ke plexus venosus vesicalis dan vena
pudenda interna. Pembuluh-pembuluh lymphe berjalan mengikuti arteria
pudenda menuju ke lymphonodi iliaci interni.

c. 3nnervasi
Pars cranialis urethrae dipersarafi oleh cabang-cabang dari plexus
nervosus vesicalis dan plexus nervosus uterovaginalis. Pars caudalis dipersarafi
oleh nervus pudendus.

Gambar 2. *rogenitalia wanita2

7
2. Urethra Masculina
Dimulai pada collum vesicae, mempunyai ukuran panjang 20 cm, berjalan
menembusi glandula prostat, diaphragma pelvis, diaphragma urogenitale dan penis
( radix penis, corpus penis dan glans penis ). Dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. pars prostatica
b. pars membranacea
c. pars spongiosa
*rethra pars prostatica berjalan menembusi prostata, mulai dari basis prostatae
sampai pada apex prostatae. Panjang kira-kira 3 cm. Mempunyai lumen yang lebih
besar daripada di bagian lainnya. Dalam keadaan kosong dinding anterior bertemu
dengan dinding posterior. Dinding anterior dan dinding lateral membentuk lipatan
longitudinal. Pada dinding anterior dan dinding lateral membentuk lapisan
longitudinal. Pada dinding posterior di linea mediana terdapat crista urethralis, yang ke
arah cranialis berhubungan dengan uvula vesicae, dan ke arah caudal melanjutkan diri
pada pars membranacea. Pada crista urethralis terdapat suatu tonjolan yang dinamakan
collicus seminalis (@verumontanum ), berada pada perbatasan sepertiga bagian medial
dan sepertiga bagian caudal urethra pars prostatica. Pada puncak dari collicus terdapat
sebuah lubang, disebut utriculus prostaticus, yang merupakan bagian dari suatu
diverticulum yang menonjol sedikit kedalam prostata. Bangunan tersebut tadi adalah
sisa dari pertemuan kedua ujung caudalis ductus paramesonephridicus ( pada wanita
ductus ini membentuk uterus dan vagina ). Di sisi-sisi utriculus prostaticus terdapat
muara dari ductus ejaculatorius (dilalui oleh semen dan secret dari vesicula seminalis).
Saluran yang berada di sebelah lateral utriculus prostaticus, disebut sinus prostaticus,
yang pada dinding posteriornya bermuara saluran-saluran dari glandula prostat (kira-
kira sebanyak 30 buah).
*rethra pars membranacea berjalan ke arah caudo-ventral, mulai dari apex
prostatae menuju ke bulbus penis dengan menembusi diaphragma pelvis dan
diaphragma urogenitale. Merupakan bagian yang terpendek dan tersempit, serta
kurang mampu berdelatasi. *kuran panjang 1 —2 cm, terletak 2,5 cm di sebelah dorsal
tepi caudal symphysis osseum pubis. Dikelilingi oleh m.sphincter urethrae
membranaceae pada diaphragma urogenitale. Tepat di caudalis diaphragma
urogenitale, dinding dorsal urethra berjalan sedikit di caudalis diaphragma. Ketika
memasuki bulbus penis urethramembelok ke anterior membentuk sudut lancip.
Glandula bulbourethralis terletak di sebelah cranial membrana perinealis, berdekatan
pada kedua sisi urethra.

0
Saluran keluar dari kelenjar tersebut berjalan menembusi membrana perinealis,
bermuara pada pangkal urethra pars spongiosa.
Urethra pars spongiosa berada didalam corpus spongiosum penis, berjalan di
dalam bulbus penis, corpus penis sampai pada glans penis. Panjang kira-kira 15 cm,
terdiri dari bagian yang fiks dan bagian yang mobil. Bagian yang difiksasi dengan baik

dimulai dari permukaan inferior membrana perinealis, berjalan di dalam bulbus penis.
Bulbus penis menonjol kira-kira 1,5 cm di sebelah dorsal urethra. Bagian yang mobil
terletak di dalam bagian penis yang mobil. Dalam keadaan kosong, dinding urethra
menutup membentuk celah transversal dan pada glans penis membentuk celah sagital.
Lumen urethra pars spongiosa masing-masing di dalam bulbus penis, disebut fossa
intrabulbaris, dan pada glans penis, dinamakan fossa navicularis urethrae. Lacunae
urethrales (= lacuna Morgagni ) adalah cekungan-cekungan yang terdapat pada
dinding urethra di dalam glans penis yang membuka ke arah ostium urethrae
externum, dan merupakan muara dari saluran keluar dari glandula urethrales.
Ostium urethrae

externum terdapat pada ujung glans penis dan merupakan bagian yang paling sempit.

5
2.2 FISIOLOGIS FUNGSI BE$KEMIH
Secara fisiologis, kandung kemih dapat menimbulkan rangsangan pada saraf
apabila volume urin pada kandung kemih berisi + 250 - 450 ml (dewasa) dan 200-250
ml (anak-anak). Secara normal, urin orang dewasa diproduksi oleh ginjal secara terus
menerus pada kecepatan +120 ml/jam (1200 ml/hari) atau 25 % dari curah jantung.
Volume urin normal minimal adalah 0,5-1 ml/kgBB/jam, dimana produksi urin
dikatakan abnormal atau jumlah sedikit diproduksi oleh ginjal (oliguria) adalah sekitar

100 — 500 ml/hari.


Kandung kemih adalah organ penampung urin. Selain itu, berfungsi pula
mengatur pengeluarannya. Proses berkemih dimulai dari tekanan intramural otot
detrusor. Tekanan ini dahulu dianggap semata-mata akibat persarafan, akan tetapi pada
penelitian terakhir menunjukkan bahwa tekanan intramural otot detrusor lebih
ditentukan oleh keadaan fisik kandung kemih (berisi penuh atau tidak), dimana
stimulasi ini diterima oleh stretch receptor pada kandung kemih.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas
ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung
kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah
langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot
detrusor

9
terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu
sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh
otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi
seluruh kandung kemih dengan segera. Eika kandung kemih terisi cukup dan
mengembang, sementara tekanan intravesika tetap, maka sesuai dengan hukum
Laplace, tekanan

intramural otot detrusor akan meningkat.


Peningkatan sampai titik tertentu akan merangsang stretch receptor, sehingga
timbul impuls dari medulla spinalis sakralis 2-3-4 yang akan diteruskan ke pusat
refleks berkemih di korteks serebri lobus frontalis pada area detrusor piramidal.
Penelitian terakhir menyatakan bahwa kontrol terpenting terutama berasal dari daerah
yang disebut Pontine Micturition Centre. Sistem ini ditunjang oleh system refleks
sakralis yang disebut Sacralis Micturition Centre. Eika jalur persarafan antara pusat
berkemih pontin dan sakralis dalam keadaan baik, maka proses berkemih akan
berjalan dengan baik juga.

Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara


sistem saraf otonom dan somatik. Ealur persarafan yang terdiri dari refleks fungsi
detrusor dan refleks sfingter uretra meluas dari lobus frontalis samapi ke medula
spinalis bagian sakral, sehingga penyebab dari gangguan fungsi berkemih neurogenik
dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai tingkatan jalur persarafan. Proses berkemih
menghasilkan serangkaian kejadian berupa relaksasi otot lurik uretra (rhabdosfingter),
kontraksi otot detrusor kandung kemih dan pembukaan dari leher kandung kemih dan
uretra.
Selain saraf otonom dan somatik, proses berkemih fisiologis juga dipengaruhi

oleh rasa tenang dan rasa takut nyeri. Perasaan subyektif ini melibatkan emosi yang
diatur oleh sistem limbik pada sistem saraf pusat. Tingkah laku merupakan fungsi
sistem saraf pusat yang melibatkan emosi. Tingkah laku khusus yang berhubungan
dengan emosi, dorongan motorik dan sensoris bawah sadar, serta perasaan intrinsik
mengenai rasa nyeri dan rasa tenang diatur oleh sistem saraf pusat yang dilakukan
oleh struktur sub kortikal yang terletak di daerah basal otak yang disebut sistem
limbik. Struktur sentral serebri basal dikelilingi korteks serebri yang disebut korteks
limbik. Korteks limbik berfungsi sebagai daerah asosiasi untuk pengendalian fungsi
tingkah laku tubuh dan penyimpan informasi yang menyimpan informasi mengenai
pengalaman

seperti rasa tenang, rasa nyeri, nafsu makan, bau, dan sebagainya.

1
2.3 FISIOLOGI PERSALINAN NORMAL18, 19

Kehamilan secara umum ditandai ditandai dengan aktivitas otot polos


myometrium yang relatif tenang yang memungkinkan pertumbuhan dan
perkembangan janin intrauterine sampai dengan kehamilan aterm. Menjelang
persalinan, otot polos

uterus mulai menunjukkan aktivitas kontraksi secara terkordinasi, diselingi dengan


suatu periode relaksasi, dan mencapai puncaknya menjelang persalinan, serta secara
berangsur menghilang pada periode postpartum. Mekanisme regulasi yang mengatur
aktivitas myometrium selama kehamilan, persalinan dan kelahiran, sampai saat ini
belum jelas benar.
Proses fisiologi kehamilan pada manusia yang menimbulkan inisiasi partus
dan awitan persalinan belum diketahui secara pasti. Sampai sekarang pendapat umum
yang dapat diterima bahwa keberhasilan kehamilan pada semua spesies mamalia,
bergantung pada aktivitas progesterone untuk mempertahankan ketenangan uterus

sampai mendekati akhir kehamilan.

Gambar 3. Penekanan bladder oleh bagian terbawah janin.

Fase-fase persalinan normal


Beberapa jam kehamilan ditandai dengan adanya kontraksi uterus yang
menyebabkan penipisan, dilatasi serviks, dan mendorong janin keluar melalui jalan

1
lahir. Banyak energy yang dikeluarkan pada waktu ini. Oleh karena itu, penggunaan
istilah in labor (kerja keras) dimaksudkan untuk menggambarkan proses ini.
Kontraksi myometrium pada persalinan terasa nyeri persalinan digunakan untuk
mendeskripsikan proses ini.
Tiga kala persalinan

Persalinan aktif dibagi menjadi tiga kala yang berbeda. Kala satu mulai
ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan frekuensi, intensitas, dan durasi yang
cukup
untuk menghasilkan pendattaran dan dilatasi serviks yang progresif. Kala satu
persalinan selesai ketika serviks sudah membuka lengkap ( sekitar 10 cm ) sehingga
memungkinkan kepala janin lewat. Oleh karena itu, kala satu persalinan disebut
stadium pendataran dan dilatasi serviks. Kala persalinan dimulai ketika dilatasi serviks
sudah lengkap, dan berakhir ketika janin sudah lahir, dan berakhir dengan lahirnya
placenta dan selaput ketuban janin. Kala tiga persalinan diseut juga sebagai stadium
pemisahan dan ekpulsi placenta

2.4 KELAINAN KALA DUA 18, 19


A. Kala dua memanjang
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan
keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20 menit untuk
multipara, tetapi angka ini juga sangat bervariasi. Pada ibu dengan paritas tinggi yang
vagina dan perineumnya sudah melebar, dua atau tiga kai usaha mengejan setelah
pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin. Sebaliknya, pada

seorang ibu dengan panggul sempit atau janin besar atau dengan kelainan gaya
ekspulsif akibat anastesia regional atau sedasi yang berat, maka kala dua sangat dapat
memanjang. Rata rata persalinan kala dua , sebelum pengeluaran janin spontan,
memanjang sekitar 25 menit oleh anastesia regional. Seperti telah disebutkan, tahap
panggul atau penurunan janin pada persalinan umumnya berlangsung setelah
pembukaan lengkap. Selain itu kala dua melibatkan banyak gerakan pokok yang
sangat penting agar janin dapat melewati jalan lahir. Selama ini terdapat aturan aturan
yang membatasi durasi kala dua. Kala dua persalinan pada nulipara dibatasi 2 jam dan
diperpanjang sampai 3 jam apabila digunakan anastesi regional. Untuk multipara 1

jam , diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan analgesia regional.

1
Setelah pembukaan lengkap, sebagian besar ibu tidak dapat memahami
keinginan untuk mengejan atau mendorong setiap kali uterus berkontraksi. Biasanya,
mereka menarik napas dalam, menutup glotisnya, dan melakukan kontraksi otot
abdomen secara berulang dengan kuat untuk menimbulkan peningkatan tekanan intra
abdomen sepanjang kontraksi. Kombinasi gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus

dan otot abdomen akan mendorong janin ke bawah.. Menuntun ibu yang bersangkutan
untuk mengejan yang kuat, atau membiarkan mereka mengikuti keinginan mereka
sendiri untuk mengejan, dilaporkan tidak memberikan manfaat.

B. Penyebab kurang adekuatnya gaya ekspulsif


Kekuatan gaya yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat terganggu
secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina. Sedasi
berat bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina. Sedasi
berat atau anastesia regional, epidural lumbal, kaudal, atau intrarektal, kemungkinan

besar mengurangi dorongan reflex untuk mengejan, dan pada saat yang sama mungkin
mengurangi kemampuan pasien mengontraksikan otot-otot abdomen. Pada beberapa
kasus, keinginan alami untuk mengejan dikalahkan oleh menghebatnya nyeri yang
timbul akibat mengejan.
Pemilihan analgesia yang cermat dan waktu pemberiannya sangat penting
untuk menghindari gangguan upaya ekspulsif voluntar. Dengan sedikit pengecualian,
analgesia intrarektal atau anastesia umum jangan diberikan sampai semua kondisi
untuk pelahiran dengan forceps pintu bawah panggul (outlet forceps) yang aman
telah terpenuhi. Pada analgesia kontinu, efek paralitik mungkin perlu dibiarkan
menghilang

sendiri sehingga yang bersangkutan dapat menghasilkan tekanan intraabdomen yang


cukup kuat untuk menggerakkan kepala janin ke posisi yang sesuai untuk pelahiran
dengan forceps pintu bawah panggul. Pilihan lain, pelahiran dengan forceps tengah
yang mungkin sulit atau seksio sesarea, merupakan pilihan yang kurang memuaskan
apabila tidak terdapat tanda tanda gawat janin.
Bagi ibu yang kurang dapat mengejan dengan benar setiap kontraksi karena
nyeri hebat, analgesia mungkin akan memberikan banyak maanfaat. Mungkin pilihan
paling aman untuk janin dan ibunya adalah nitrose oksida, yang dicampur dengan
volume yang sama dengan oksigen dan diberikan saat setiap kali kontraksi. Pada saat

yang sama, dorongan dan instruksi yang sesuai kemungkinan besar memberiikan
manfaat.

1
C. Dampak persalinan lama terhadap otot-otot dasar panggul
Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera otot-otot
dasar panggul atau persarafan atau fasia penghubungnya merupakan konsekuensi yang
tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya sulit.
Saat kelahiran bayi, dasar panggul dapat tekanan langsung dari kepala janin serta
tekanan

kebawah akbiat mengejan ibu. Gaya-gaya ini meregangkan dan melebarkan dasar
panggul sehingga terjadi perubahan fungsional dan anatomik otot, saraf, dan jaringan
ikat. Terdapat kekhawatiran semakin besar bahwa efek-efek pada otot dasar panggul
selama melahirkan ini, akan menyebabkan retensi urin serta prolapse organ panggul.
Hal ini disebabkan pada akhir kehamilan kandung kemih terdorong ke depan dan ke
atas, terjadi kongesti, hipotonik, tekanan pada saraf pudendus, dan kelemahan
mekanisme otot sfingter uretra. Karena kekhawatiran ini, dalam sebuah jajak pendapat
baru baru ini terhadap ahli kebidanan perempuan di inggris, 30 persen menyatakan
kecendrungan melakukan seksio sesaria daripada persalinan pervaginam dan menyebut

alas an pilihan mereka yaitu menghindari cedera dasar panggul.


Sepanjang sejarah obstetric, intervensi yang ditujukan untuk mencegah
cedera dasar panggul telah lama dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1920 DeLee
menyarankan persalinan dengan forceps profilaktik untuk mengurangi peregangan
terhadap otot dan saraf pada persalinan kala dua dan untuk melindungi dasar panggul
serta fasia di dekatnya dari peregangan berlebihan. 2amun kemajuan dalam bidang
obstetric pada abad ke 20 umumnya difokuskan untuk memperbaiki prognosis
neonates serta morbiditas dan mortalitas ibu akibat preeklamsia, infeksi, dan
perdarahan obstetric.

Contoh klasik cedera melahirkan adalah robekan sfingter ani yang terjadi saat
persalinan pervaginam. Robekan ini terjadi pada 3 sampai 6 persen persalinan dan
sekitar separuh dari mereka kemudian mengeluhkan adanya permasalahan saat buang
air kecil. Walaupun proses persalinan jelas berperan penting dalam cedera dasar
panggul, insiden, dan jenis cedera yang dilaporkan sangat bervariasi antara beberapa
penelitian. Saat ini masih terdapat ketidak jelasan mengenai insiden cedera dasar
panggul akibat proses melahirkan dan informasi tentang peran relative proses obstetric
yang mendahuluinya masih terbatas.

1
18, 19
2.5 PERSALINAN DENGAN SEKSIO SESARIA
Kebanyakan seksio sesaria dilakukan dengan anastesia spinal atau epidural.
Seksio sesaria dilakukan dengan indikasi detak jantung janin yang tidak normal.
Derajat gawat janinnya harus dipertimbangkan dalam memutuskan jenis anastesia
yang akan diberikan. Seksio sesaria yang dilakukan karena nonreassuring FHR
tidak perlu

menghindari penggunaan anastesia regional.


Sebelum menggunakan persalinan dengan seksio sesaria, janin dan juga
ibunya harus di evaluasi. Monitor detak jantung janin harus terus dilakukan sampai
persiapan pembedahan dimulai.
Sehubungan dengan pemilihan anastesia, antasida nonpartikel (contoh
sodium sitrat) diberikan secara oral untuk mengurangi risiko meningkatnya aspirasi
pneumonitis pada ibu. Sebagai tambahan bisa diberikan H2-reseptor antagonis
(contohnya simetidin, ranitidine), metoklopramid, atau keduanya untuk mengurangi
keasaman dan mempercepat pengosongan lambung.

Pulse oximetry harus digunakan pada semua pasien yang melakukan


pembedahan mayor (contohnya seksio sesaria ). Pada pasien yang dilakukan intubasi
endotrakeal untuk anastesia umum dianjurkan menggunakan analisis end tidal CO2
secara terus menerus
A. Anastesia epidural
Anastesia epidural adalah pilihan untuk kebanyakan pasien yang menerima
anastesia epidural selama proses persalinan dan pasien yang setelah itu memerlukan
persalinan dengan seksio sesaria. Level sensorik pada paling tidak T-4 dilakukan
untuk meminimalkan rasa yang sangat tidak nyaman selama operasi.

B. Anastesia spinal
Anastesia spinal adalah pilihan utama untuk pasien seksio sesarea berencana
dan emergensi. Bupivakain 12 mg memberi anastesi untuk 1-2 jam. Anaestetik lokal
yang digunakan untuk anesthesia spinal biasanya dalam bentuk cairan hiperbarik.
Keuntungan anesthesia spinal untuk seksio sesaria adalah mudah, blok yang
mantap, dan kinerja cepat. Komplikasi terseringnya adalah hipotensi yang dapat
dikurangi dengan pemberian cairan kristaloid 500-1000 ml yang tidak mengandung
glukosa pada saat melakukan spinal. Untuk mencegah komplikasi aurtokaval, posisi
pasien dibuat sedikit miring ke kiri ( 30 derajat ) sampai bayi lahir. Hipotensi yang

terjadi diatasi dengan pemberian vasopressor (efedrin, fenilefrin) dan tambahkan


cairan kristaloid.

1
Pada masa lalu keburukan anesthesia spinal tingginya angka kekerapan sakit
kepala pascapinal. Akan tetapi, saat ini dengan menggunakan jarum tumpul (whitacre)
atau jarum tajam nomor 27 G atau 29 G, angka kekerapan kurang dari 1%.
Eika waktunya memungkinkan dokter spesialis anestesiologi harus
memastikan dulu apakah blok yang terjadi sudah adekuat atau belum karena beberapa

pasien mengalami blok yang tidak adekuat. Bila hal ini terjadi :
✓ Lakukan lagi anastesi spinal
✓ Tambahkan infiltrasi anastesi lokal
✓ Tambahkan analgesia sistemik seperti 50% 22o atau dosis kecil

opioid atau ketamine


✓ Ubah menjadi anastesia umum endotrakeal

C. Anastesi umum
Beberapa pasien kontraindikasi untuk dilakukan anastesia regional seperti
koagulopati, perdarahan dengan kardiovaskular yang masih labil atau prolapse tali
pusat dengan bradikardi janin hebat. Anastesia umum endotrakeal menjadi pilihan.
Untuk mengurangi risiko aspirasi, berikan antasida nonpartikel ( natrium sitrat ) dan
lakukan rapid sequence induction
Pada masa lalu dianggap waktu mulai insisi kulit sampai bayi lahir adalah
saat yang penting, misalnya bila lebih dari 10 menit maka kesejahteraan janin
terganggu. Belakangan dibuktikan bahwa waktu terpenting adalah saat uterus di
insisi sampai bayi lahir, bila lebih dari 3 menit maka Ph tali pusat dan nilai apgar
rendah. Hal ini
tidak berhubungan dengan jenis anastesia yang digunakan.
Anastesia infiltrasi lokal
Dalam keadaan gawat darurat yang ekstrim, seksio sesaria bisa dilakukan dengan
menggunakan anastesia infiltrasi local bila tidak ada dokter spesialis anastesiologi.

D. Perawatan fungsi kandung kemih pasca section sesaria


Pemakaian kateter dibutuhkan pada prosedur bedah. Semakin cepat melepas kateter
akan lebih baik mencegah kemungkinan infeksi dan membuat perempuan lebih cepat
mobilisasi
✓ Eika urin jernih, kateter dilepas 0 jam setelah bedah
✓ Eika urin tidak jernih biarkan kateter dipasang sampai urin jernih.
✓ Kateter 40 jam dipasang pada kasus :
• Bedah karena rupture uteri
• Partus lama atau partus macet
• Fdema perineum yang luas
• Sepsis pueperalis / pelvio
peritonitis Catatan : pastikan urin jernih saat
melepas kateter.

1
✓ Eika terjadi perlukaan pada kandung kemih pasang kateter sampai minimum 7
hari atau urin jernih.
✓ Eika sudah tidak memakai antibiotika, berikan nitrofuration 100 mg per oral
per hari sampai kateter dilepas (untuk mencegah sistitis)
Antibiotika

Eika ada tanda infeksi atau pasien demam, berikan antibiotika sampai bebas demam
selama 40 jam.
Demam
✓ Suhu yang melebihi 30GC Pasca pembedahan hari ke dua harus dicari
penyebab nya.
✓ Bakinkan pasien tidak panas minimum 24 jam sebelum keluar rumah sakit.
Ambulasi/ mobilisasi
✓ Ambulasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam, dan
menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal.
✓ Menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya dalam
dalam waktu 24 jam
Perawatan gabungan
Pasien dapat dirawat gabung dengan bayi dan memberikan AS3 dalam posisi tidur
atau duduk.
Memulangkan pasien
✓ 2 hari pasca seksio sesaria berencana tanpa komplikasi
✓ Perawatan 3-4 hari cukup untuk pasien. Berikan instruksi mengenai perawatan
luka (mengganti kasa)
✓ Pasien diminta datang untuk kontrol setelah 7 hari pasien pulang.
✓ Pasien perlu segera datang bila perdarahan, demam, dan nyeri perut
berlebihan.

2.7 DEFINI RETENSI URIN POSTPARTUM


Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih spontan
setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa
kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah tidak bisa berkemih
selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana tidak dapat
mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Residu urine setelah

1
berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urine ini lebih dari
150 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensi urine

2.8 ETIOLOGI

a. Retensi urin akut.


Merupakan retensi urine yang berlangsung H 24 jam post partum. Retensi
urine akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen khususnya gangguan
pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot detrusor kurang atau tidak adekuat dalam
fase pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra, karena overaktivitas
otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bisa pada ganglion
parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post partum merupakan
penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma
kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,
epidural anestesi, obat- obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva.10,11
Retensio urine biasanya disebabkan oleh trauma kandung kemih. 2yeri atau
interfensi sementara pada persyarafan kandung kemih, nyeri sering mengecilkan usaha
volunter yang diperlukan untuk memulai urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih
kurang sensitif. Pada keadaan ini, kandung kemih sangat mengembang ketika
keinginan dan kemampuan untuk berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil
urine dapat dikeluarkan,kandung kemih banyak mengandung urine residu.

b. Retensi urin kronik


Merupakan retensi urin yang berlangsung I 24 jam post partum. Pada kasus
retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical
yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan
fungsi ginjal.

2.8 KLASIFIKASI
Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu:
a. Retensi urin covert (volume residu urinI150 ml pada hari pertama post partum
tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh
pemeriksa.

1
Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu
setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase
kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang
air kecil J 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk pada
kategori ini. 10,11

b. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis) adalah
ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. 3nsidensi
retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan
terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah
dilakukan penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin
jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua
jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka insidensinya mencapai
0,7%.10,11

2.9 PATOFISIOLOGI RETENSI URIN POST PARTUM


Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu :
(1) pengisian dan penyimpanan urin, serta
(2) pengosongan urin dari kandung kemih.
Proses ini sering berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot
detrusor kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh
sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf
simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem
simpatis dari aktivitas kontraksi otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan
tekanan otot dari leher kandung kemih dan uretra proksimal.
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang simultan
dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian
impuls dari saraf aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion
medulla spinalis di segmen S2 - S4 dan selanjutnya sampai ke batang otak. 3mpuls
saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis
sakral dihentikan, sehingga timbul kembali kontraksi otot detrusor.

1
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot
detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna
menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat
mengosongkan kandung kemihnya dengan baik

18, 19
2.10 PERAWTAN IBU PADA MASA NIFAS
A. Perawatan Rumah sakit
Dalam jam pertama setelah pelahiran tekanan darah dan nadi harus diperiksa
setiap 15 menit, atau lebih sering jika ada indikasi. Eumlah perdarahan pervaginam
diawasi, dan palpasi fundus untuk memastikan kontraksi yang baik. Eika teraba
melemas, uterus harus dipijat melaluli dinding abdomen sampai tetap berkontraksi
pemberian uterotonin kadang diperlukan. Darah dapat berakumulasi di dalam uterus
tanpa perdarahan eksternal. 3ni dapat diketahui secara awal dengan mendeteksi
pembesaran uterus selama palpasi fundus dalam jam jam pertama setelah pelahiran.

Karena kemungkinan terjadinya perdarahan yang signifikan segera setelah kelahiran


adalah besar, bahkan pada kasus yang normal, uterus dipantau secara ketat selama
paling kurang 1 jam setelah pelahiran.
Analgesia regional atau anastesia umum digunakan untuk persalina atau
pelahiran, ibu harus diobservasi di ruang pemulihan sengan peralatan dan staff yang
lengkap.

B. Perawatan perineal
3bu diberitahukan untuk membersihkan vulva dari anterior ke posterior dari

vulva kea rah anus. Aplikasi kantung es dapat mengurangi edema dan ketidak
nyamanan selama beberapa jam pertama jika terdapat laserasi atau episiotomy.
Sebagian besar wanita juga reda nyerinya dengan pemberian semprotan anastetik
local. Perasaan yang sangat tidak nyaman biasanya menandakan suatu masalah,
seperti hematoma dalam hari pertama atau lebih, dan infeksi setelah hari ke tiga atau
keempat. 2yeri perineal, vaginal atau rektal yang berat biasanya memerlukan
inspeksi dan palpasi yang hati-hati. Dalam kira kira 24 jam setelah pelahiran,
pemanasan basah dengan berendam dalam sitz bath hangat dapat digunakan untuk
menurunkan ketidak nyamanan local. Diizinkan mandi berendam setelah pelahiran
tanpa komplikasi. 3nsisi

episiotomy sembuh sempurna secara normal dan hamper asimtomatik dalam minggu
ketiga.

2
C. Fungsi kandung kemih
Pengisian kandung kemih setelah pelahiran dapat bervariasi. Pada sebagian
besar unit, cairan intravena diinfuskan pasca partum, dan satu jam setelah pelahiran.
8xytocin, dalam dosis yang yang berefek antidiuretic, sering diinfuskan pasca

partum, dan sering terjadi pengisian cepat kandung kemih. Selain itu baik sensasi
kandung kemih maupun kemampuan mengosongkan kandung kemih secara spontan
dapat berkurang karena analgesia local maupun umum. Fpisiotomy atau laserasi, dan
karena pelahiran yang dibantu alat. Eadi retensi urin dengan distensi berlebihan
kandung kemih sering terjadi pada awal nifas. Ching chung, dkk (200(5 melaporkan
terjadinya retensi pada 4,( persen wanita yang menjalani persalinan epidural. Factor
risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya retensi adalah primipara,
persalinan yang diinduksi atau diaugmentasi oxitosin, laserasi perineal, persalinan
yang lebih dari 10 jam.

Pencegahan distensi berlebihan kandung kemih memerlukan observasi setelah


pelahiran untuk menjamin bahwa kandung kemih tidak terisi secara berlebihan dan
terjadi pengosongan yang adekuat pada setiap miksi. Kandung kemih yang membesar
dapat dipalpasi suprapubik, atau abdomen terlihat membesar karena secara tidak
langsung kandung kemih tersebut mengangkat fundus diatas umbilicus 16

D. Penatalaksanaan
Eika wanita tidak buang air kecil dalam waktu 4 jam setelah pelahiran,
kemungkinan dia tidak bisa. Eika dia telah bermasalah dalam buang air kecil dari

awal, kemungkinan dia juga mengalami kesulitan untuk selanjutnya. Dilakukan


pemeriksaan hematoma perineum dan traktus genitalia. Eika terjadi distensi
berlebihan, balon kateter harus ditinggalkan di tempatnya sampai factor factor yang
menyebabkan retensi telah berkurang. 7alaupun tanpa penyebab yang jelas, biasanya
yang terbaik adalah meninggalkan kateter ditempatnya selama paling kurang 24 jam.
3ni mencegah rekurensi dan memungkinkan pemulihan sensasi dan tonus kandung
kemih normal.
Eika kateter dilepas, selanjutnya penting untuk menunjukkan kemampuan
berkemih secara tepat. Eika seorang wanita tidak dapat buang air kecil setelah 4 jam,

ia harus dipasang kateter dan volume urin diukur. Eika lebih dari 200 ml, maka
kandung kemih tidak berfungsi secara tepat, dan kateter ditinggal untuk hari

2
selanjutnya. Eika urin kurang dari 200 ml, kateter dapat dilepas dan kandung kemih
selanjutnya diperiksa kembali seperti sebelumnya. 40 persen wanita dengan
gangguan ini menderita bakteriuria sehingga antimikroba dosis tunggal atau jangka
pendek dapat diberikan setelah kateter dilepaskan.

E. Pen3e4a4 $etensi- Urin Masa Ni+as


Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensio urin post
partum, antara lain:
1. Trauma intra partum
3ni adalah penyebab utama terjadinya retensio urin, dimana terdapat
perlukaan pada urethra dan vesika urinaria. Hal itu terjadi karena adanya penekanan
yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap urethra dan vesika urinaria tersebut
oleh kepala bayi yang memasuki panggul terhadap tulang panggul ibu sehingga
terjadi perlukaan jaringan. Akibatnya terdapat edema pada selaput lender pada
leher buli-buli serta

terjadinya ekstravasasi darah didalam buli-buli. 8stium urethra internum tersumbat


oleh edema mukosa dan kontraksi vesika jelek akibat ekstravasasi darah ke dalam
dinding buli-buli sehingga pasien menderita retensio urin.
2. Refleks kejang (krampft5 sfingter urethra
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut ketakutan akan timbul perih
dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi ketika berkemih

/. Hypotomia selama hamil dan nifas


Tonus dinding buli-buli sejak masa kehamilan sampai post partum masih sangat

menurun.
2.11 MIKSI MASA NIFAS
Masa nifas dini adalah masa nifas dari hari pertama sampai dengan hari ke 10-
14 post partum. Pada masa ini pasien berkemih banyak sekali, mengeluarkan urin
setiap harinya lebih kurang /-4 liter. Pada masa nifas hari pertama terjadi apa yang
dinamakan : Hanflut. Cairan tubuh yang selama masa kehamilan sangat banyak
terdapat didalam jaringan, sekarang via ginjal kembali dikeluarkan dari dalam tubuh
(entedeminasi5.
Peningkatan pembentukan urin selama masa nifas dini sangat banyak, setiap

hari dikeluarkan 2-4 liter, dan bahkan pada ibu hamil dengan hydrops fetalis bisa

2
sampai 9 liter per hari. Akan tetapi sebaliknya pengalaman pasien menunjukkan

2
bahwa pada hari pertama post partum sering sekali mengalami gangguan miksi
berupa kesulitan untuk berkemih. *ntuk pertama kalinya berkemih spontan post
partum harus sudah terlaksana 9 jam sesudah melahirkan. Apabila buli buli penuh dan
pasien tidak dapat berkemih untuk mengosongkan nya maka hal tersebut dinamakan :
retensio urin masa nifas, hal ini harus diatasi dengan segala upaya. Eadi pengawasan

terhadap miksi yang benar dan teratur adalah penting selama masa nifas.

2.12 DIAGNOSIS
Gejala retensi urin postpartum dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan pada pasien, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh
pasien yang digali melalui anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan
subyektif biasanya didapat keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena
rasa ingin kencing, serta kandung kemih berasa penuh.
2. Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien
untuk mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari
pemeriksaan obyektif dengan metode palpasi atau perkusi, biasanya
ditemukan massa di daerah suprasimfisis karena kandung kemih yang terisi
penuh dari suatu retensi urin.
/. Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan
laboratorium, radiologi atau imaging (pencitraan5, uroflometri, atau
urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi. Pada
pemeriksaan laboratorium paling sering digunakan kateter dan uroflowmetri,
yaitu untuk mengukur volume dan residu urin pada kandung kemih. Selain itu
juga dapat digunakan cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi
kandung kemih dan uretra. Menurut dr. Basuki Purnomo, volume maksimal
kandung kemih dewasa normal berkisar antara /00-450 ml dengan volume
residu sekira 200 ml. Apabila dari hasil kateterisasi didapatkan volumeDresidu
urin telah mendekatiDmelampaui batas normal, maka pasien dinyatakan
mengalami retensi urin

2.13 PENANGAN $ETENSI U$IN POSTPA$TUM


A. Penggunaan kateter
Pemasangan kateter pasca bedah dipertahankan beberapa lama untuk
mencegah peregangan kandung kemih yang berlebihan, dengan membuat

2
drainase menggunakan trans-uretra nomor 12 sampai 14 f. Dari hasil
penelitian di sub bagian uroginekologi untuk kasus pasca secsio sesaria yang
terbaik dipertahankan kateter pasca bedah selama 24 jam dan dari
kepustakaan ada yang menggunakan 12 jam dan 24 jam 11
Setelah 24 jam kateter dilepas dan 4-6 jam kemudian pasien dinilai
buang air kecil spontan lalu dilakukan pengukuran sisa urin. Apabila volume
sisa urin > 200ml pada pasca operasi obstetrik ( seksio sesaria ) > 100 ml
pasca operasi gynekologi kateter harus dipasang kembali 20

B. Pelvic floor muscle training (PFMT)


Pelvic floor muscle training (PFMT) adalah latihan otot dasar
panggul yang dianggap mampu menstimulus pemulihan organ
urogenitalia kepada fungsi fisiologisnya pada ibu postpartum. PFMT
merupakan latihan ringan yang dapat dilakukan ditempat tidur, disaat ibu
rileks. PFMT merupakan upaya preventif untuk menstimulus fungsi miksi
dan defekasi pada ibu early postpartum sebelum adanya gangguan
PFMT dapat dilakukan ketika ibu berdiri, duduk maupun berbaring,
dengan posisi yang nyaman dan rilek. Ibu seolah-olah mencoba
menghentikan aliran buang air kecil selama 5 detik, kemudian rilek,
dengan merelaksasikan otot sfingter, kemudian seolah-olah mengeluarkan
urine kembali selama 10 detik, ulangi sekali lagi untuk 1 (satu) sesi
latihan. Latihan dilakukan sebanyak 15 sesi dan 3 (tiga) kali sehari,
selama 10-15 menit. Pelvic floor muscle training ini belum menjadi
asuhan pilihan pada ibu postpartum dalam pelayanan kebidanan
Metode ini pernah dilakukan oleh mustika dewi dkk penelitian nya di

pelayanan kesehatan di Kota Padang dari tanggal 26 Februari sampai


dengan 26 Mei 2014, dimana dari penelitian tersebut menunjukkan hasil
dengan metode PFMT ini terdapat kecendrungan pemulihan miksi pada
retensi urin post partum spontan.

Secara umum pertama kali diupayakan dengan segala cara agar pasien tersebut dapat
berkemih spontan. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan berjalan ke WC
untuk berkemih spontan. Diupayakan terjadi involusio yang baik, untuk itu diberikan
uterotonika. Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi vesika urinaria. Apabila semua
upaya telah dikerjakan akan tetapi tidak juga berhasil untuk mengosongkan buli buli yang
penuh tersebut, barulah terakhir sekali dilakukan kateterisasi dan jika perlu berulang.

2
Sangat penting sekali dalam tindakan kateterisasi tersebut dicegah, agar kuman
tidak ikut terdorong masuk ke dalam buli-buli. Hampir semua sistitis terjadi akibat
kateterisasi.

2.10 KOMPLIKASI

Walaupun pemulihan sempurna biasanya terjadi, retensi urin yang tidak dikenali dan
intervensi terlambat dapat menyebabkan kerusakan otot otot detrusor yang bersifat ireversibel
dan menyebabkan disfungsi berkemih jangka panjang yang mengakibatkan ruptur kandung
kemih spontan, namun ini komplikasi yang sangat jarang

BAB 3
$INGKASAN

Persalinan merupakan peristiwa alamiah yang dialami oleh setiap ibu hamil,
namun persalinan juga memiliki peluang terjadi komplikasi seperti akibat trauma pada
otot dasar panggul. Asuhan kebidanan pada ibu postpartum sangat diperlukan untuk

2
memu-lihkan fungsi fisiologis tubuh ibu secara alamiah. Sesuai filosofi bidan, asuhan
yang diberikan mengacu kepada kebutuhan fisiologis, asuhan sayang ibu dan minimal
intervensi. Penolong persalinan diharapkan memberikan dukungan kepada ibu secara
fisiologis 14.
Retensio urin pasca persalinan merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi

pada kasus obstetri. Menurut Stanton, retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih
selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak dapat
mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 & kapasitas kandung kemih. Kejadian retensio urin
pasca persalinan tercatat berkisar antara 1,(-1(,)&
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang simultan dari
otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis
yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian impuls dari saraf
aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion medulla spinalis di segmen S2 -
S4 dan selanjutnya sampai ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran

parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih,
hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan, sehingga timbul kembali kontraksi otot
detrusor.
Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem
saraf otonom dan somatik. Ealur persarafan yang terdiri dari refleks fungsi detrusor dan
refleks sfingter uretra meluas dari lobus frontalis samapi ke medula spinalis bagian sakral,
sehingga penyebab dari gangguan fungsi berkemih neurogenik dapat diakibatkan oleh lesi
pada berbagai tingkatan jalur persarafan. Proses berkemih menghasilkan serangkaian
kejadian berupa relaksasi otot lurik uretra (rhabdosfingter), kontraksi otot detrusor kandung

kemih dan pembukaan dari leher kandung kemih dan uretra.


Selain saraf otonom dan somatik, proses berkemih fisiologis juga dipengaruhi oleh
rasa tenang dan rasa takut nyeri. Perasaan subyektif ini melibatkan emosi yang diatur oleh
sistem limbik pada sistem saraf pusat. Tingkah laku merupakan fungsi sistem saraf pusat
yang melibatkan emosi. Tingkah laku khusus yang berhubungan dengan emosi, dorongan
motorik dan sensoris bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan rasa
tenang diatur oleh sistem saraf pusat yang dilakukan oleh struktur sub kortikal yang terletak
di daerah basal otak yang disebut sistem limbik. Struktur sentral serebri basal dikelilingi
korteks serebri yang disebut korteks limbik. Korteks limbik berfungsi sebagai daerah asosiasi

untuk pengendalian fungsi tingkah laku tubuh dan penyimpan informasi yang menyimpan

2
informasi mengenai pengalaman seperti rasa tenang, rasa nyeri, nafsu makan, bau, dan
sebagainya
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot detrusor dan
sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna menyebabkan nyeri
dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan

baik
Penyebab Retensio *rin Masa 2ifas Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan
terjadinya retensio urin post partum, antara lain:

1. Trauma intra partum


Ini adalah penyebab utama terjadinya retensio urin, dimana terdapat perlukaan
pada urethra dan vesika urinaria. Hal itu terjadi karena adanya penekanan yang cukup
berat dan berlangsung lama terhadap urethra dan vesika urinaria tersebut oleh kepala
bayi yang memasuki panggul terhadap tulang panggul ibu sehingga terjadi perlukaan

jaringan. Akibatnya terdapat edema pada selaput lender pada leher buli-buli serta
terjadinya ekstravasasi darah didalam buli-buli. 8stium urethra internum tersumbat
oleh edema mukosa dan kontraksi vesika jelek akibat ekstravasasi darah ke dalam
dinding buli-buli sehingga pasien menderita retensio urin.

2. Refleks kejang (krampft) sfingter urethra


Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut ketakutan akan timbul perih
dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi ketika berkemih

3. Hypotomia selama hamil dan nifas


Tonus dinding buli-buli sejak masa kehamilan sampai post partum masih sangat
menurun.

Gejala retensi urin postpartum dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan pada
pasien, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang
digali melalui anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya
didapat keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin kencing, serta

kandung kemih berasa penuh.

2
2. Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk
mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif
dengan metode palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah
suprasimfisis karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.
3. Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium,
radiologi atau imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika, elektromiografi,
endourologi, dan laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium paling sering
digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume dan residu urin
pada kandung kemih. Selain itu juga dapat digunakan cystourethrografi untuk melihat
gambaran radiografi kandung kemih dan uretra. Menurut dr. Basuki Purnomo, volume
maksimal kandung kemih dewasa normal berkisar antara 300-450 ml dengan volume
residu sekira 150 ml. Apabila dari hasil kateterisasi didapatkan volume/residu urin
telah mendekati/melampaui batas normal, maka pasien dinyatakan mengalami retensi
urin

Pelvic floor muscle training (PFMT) adalah latihan otot dasar panggul
yang dianggap mampu menstimulus pemulihan organ urogenitalia kepada fungsi
fisiologisnya pada ibu postpartum. PFMT merupakan latihan ringan yang dapat
dilakukan ditempat tidur, disaat ibu rileks. PFMT merupakan upaya preventif
untuk menstimulus fungsi miksi dan defekasi pada ibu early postpartum
sebelum adanya gangguan

PFMT dapat dilakukan ketika ibu berdiri, duduk maupun berbaring, dengan
posisi yang nyaman dan rilek. Ibu seolah-olah mencoba menghentikan aliran
buang air kecil selama 5 detik, kemudian rilek, dengan merelaksasikan otot
sfingter, kemudian seolah-olah mengeluarkan urine kembali selama 10 detik,
ulangi sekali lagi untuk 1 (satu) sesi latihan. Latihan dilakukan sebanyak 15
sesi dan 3 (tiga) kali sehari, selama 10-15 menit. Pelvic floor muscle training
ini belum menjadi asuhan pilihan pada ibu postpartum dalam pelayanan kebidanan

Metode ini pernah dilakukan oleh mustika dewi dkk penelitian nya di
pelayanan kesehatan di Kota Padang dari tanggal 26 Februari sampai dengan 26
Mei 2014, dimana dari penelitian tersebut menunjukkan hasil dengan metode PFMT
ini terdapat kecendrungan pemulihan miksi pada retensi urin post partum spontan.

2
Secara umum pertama kali diupayakan dengan segala cara agar pasien tersebut dapat
berkemih spontan. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan berjalan ke WC
untuk berkemih spontan. Diupayakan terjadi involusio yang baik, untuk itu diberikan
uterotonika. Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi vesika urinaria. Apabila semua
upaya telah dikerjakan akan tetapi tidak juga berhasil untuk mengosongkan buli buli yang

penuh tersebut, barulah terakhir sekali dilakukan kateterisasi dan jika perlu berulang.

Wlaupun pemulihan sempurna biasanya terjadi, retensi rin yang tidakdikenali dan
intervensi terlambat dapat menyebabkan kerusakan otot otot detrusor yang bersifat
ireversibel dan menyebabkan disfungsi berkemih jangka panjang yang mengakibatkan
ruptur kandung kemih spontan, namun ini komplikasi yang sangat jarang

DAFTA$ PUSTAKA

1. Standring, Susan. Bladder, Prostate and *rethra. In : GrayKs Anatomy: The

Anatomical Basis of Clinical Practice, Thirty-2inth Fdition. Flsevie. 2008.


2. 2etter, Frank. 2etter: Atlas of Human Anatomy, 4th edition. Saunders. 2008

2
3. Geng V, dkk. Catheterisation, Indwelling catheters in adults, Urethral and
Suprapubic. European Association of Urology Nurses. 2012
4. Zieve A, dkk. Urinary catheters. Available from
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003981.htm. Diakses 15 Juli
2015
5. Rebeo L. Urinary Catheterization. Available from
http://meds.queensu.ca/central/assets/modules/ts-urinary-
catheterization/index.html. Diakses 15 Juli 2015
6. Thomsen TW, Setnik GS. Male Urethral Catheterization. N Engl J Med
2006;354:e22.
7. Shlamovitz GZ. Urethral Catheterization in Women. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/80735-overview. Diakses 15 Juli 2015
8. Shlamovitz GZ. Urethral Catheterization in Men. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/80716-overview#a01. Diakses 15 Juli 2015
9. Anonymous. Clinical Guideline For Intrapartum And Post Partum Bladder Care.
NHS. Royal Cornwall Hospitals.
10. Leduc D, dkk. Induction of Labour. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(9)
11. Junizaf, dkk. Buku Ajar : Uroginekologi. Departemen Obsetri dan Ginekologi
FKUI/RSCM. Jakarta : 2002.
12. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta : 2001.
13. Mustika dewi dkk, Pengaruh Pelvic Floor Muscle Training terhadap
Pengembalian Fungsi Miksi dan Defekasi pada Ibu Postpartum Spontan, Jurnal
kesehatan andalas 2014
14. Pribakti B, Tinjauan Kasus Retensio Urin Postpartum di RSUD Ulin
Banjarmasin,
(2002-2003), Subbagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri dan

Ginekologi FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin


15. Max Rarung, Perbandingan Pemasangan Kateter Menetap selama 12 dan 24 jam
Pasca Seksio Sesarea pada Pencegahan Retensio Urin dan Resiko Infeksi
Saluran Kemih, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi, Rumah Sakit Prof.Dr.R.D. Kandou, Manado : JKM.
Vol.8 No.1 Juli 2008
16. Ermiati dkk, Efektivitas bladder training terhadap fungsi eliminasi Buang Air
Kecil (BAK) pada ibu postpartum spontan, Maj Obstet Ginekol Indones 2008
17. Aziz dkk, Faktor risiko infeksi saluran kemih padapertolongan persalinan spontan
di RS Moh. Hoesin Palembang Maj Obstet Ginekol Indones 2009
18. Cuningham FG, mac donald PC, gant NF. Cesarian section and hyterectomy. In :
cunningham FG, mac donald, Gant NF, ed eilliam obstetrics, 2012

3
19. Prawirohardjo S, Ilmu Kebidanan, Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2009
20. Sabri Cavkayta, Postpartum urinary retention after vaginal delivery: Assessment
of risk factors in a case-control study, by the Turkish-German Gynecological
Education and Research Foundation 2014
21. O Step hansson, Prolonged sec ond stag e of labour, maternal infectious disease,
urinary retention and other complica tions in the early postp artum period,
Karolinska University Hospital, Solna, SE-17176 Stockholm, Sweden 2014

Anda mungkin juga menyukai