Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Banyak etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma buli-buli, 90%


trauma buli-buli disebabkan oleh karena fraktur pelvis. Etiologi yang lain dari trauma
buli-buli salah satunya adalah trauma buli-buli dikarenakan suatu cedera iatrogenik.
Pada penulisan referat ini secara spesifik akan lebih dibahas mengenai trauma buli-
buli akibat cedera iatrogenik pada tindakan operatif obstetri dan ginekologi.1,2

Trauma buli-buli pada operasi seksio caesaria maupun pada operasi ginekologi
lainnya dapat mengakibatkan morbiditas yang signifikan. Hal tersebut dapat
mengakibatkan waktu intra-operatif yang memanjang, infeksi traktus urinarius, dan
terjadinya fistula vesiko-uterina maupun vesiko-vaginal. Menurut Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists (RCOG), operasi seksio caesaria memiliki resiko
terjadinya trauma buli-buli 1 : 1000 kejadian, di Saudi Arabia insidensinya mencapai
0.44%, di Karachi sebesar 0.46%, dan di Mumbai sebesar 0.67%.3

Ada beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan adanya insidensi dari
trauma buli-buli selama operasi seksio caesaria, seperti : kehamilan post caesaria,
adanya abdominal atau adhesi pada buli-buli, operasi seksio caesaria darurat, adanya
plasenta previa dan/ akreta/ inkreta/ perkreta. Untuk faktor-faktor resiko tersebut
berikut dengan mekanisme terjadinya cedera akan dibahas lebih lanjut pada bab
berikutnya.1

Perbaikan langsung dari trauma buli-buli selalu memberikan hasil yang lebih
baik. Tetapi hadirnya seorang ahli urologi pada saat intraoperatif bukanlah sesuatu
yang bisa selalu diharapkan. Seorang ahli obstetri dan ginekologi sebaiknya juga
harus dapat memahami bagaimana menangani trauma buli-buli yang terjadi, teknik
perbaikannya relatif sederhana dan dapat mengatasi masalah secara efektif.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Anatomi dan Fisiologi Vesica Urinaria

Vesica urinaria adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor
yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah
merupakan otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal.1
Mukosa vesica urinaria terdiri atas sel-sel transisional yang sama seperti pada
mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada dasar vesica
urinaria kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga
yang disebut trigonum vesica urinaria. Secara anatomik bentuk vesica urinaria terdiri
atas 3 permukaan, yaitu (1) permukaan superior yang berbatasan dengan rongga
peritoneum, (2) dua permukaan inferiolateral, dan (3) permukaan posterior.
Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding esica
urinaria.1,2
Vesica urinaria berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam
menampung urine, vesica urinaria mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya
untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300 – 450 ml; sedangkan kapasitas vesica
urinariapada anak menurut formula dari Koff adalah: Kapasitas vesica urinaria=
{Umur (tahun) + 2} ´ 30 ml. 1,2
Pada saat kosong, vesica urinaria terletak di belakang simfisis pubis dan pada
saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Vesica
urinariayang terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan
menyebabkan aktivasi pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S2-4.. Hal ini
akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher bulibuli, dan relaksasi
sfingter uretra sehingga terjadilah proses miksi. 1,2

2
Dinding Vesica urinaria memiliki beberapa lapisan :4,5

- Serosa  Lapisan terluar, merupakan perpanjangan dari lapisan


peritoneal rongga abdominopelvis. Hanya di bagian atas pelvis
- Otot Detrusor  Lapisan tengah. Terdiri dari otot – otot polos yang
saling membentuk sudut. Berperan penting dalam proses urinasi
- Submukosa  Lapisan jaringan ikat, menghubungkan antara lapisan otot
Detrusor dengan lapisan mukosa
- Mukosa  Terdiri dari epitel – epitel transisional. Membentuk lipatan
saat dalam keadaan relaks, dan akan memipih saat keadaan terisi penuh

Perdarahan vesica urinaria:4

• Nadi :
– Aa vesicales superior
– Aa. vesicales inferior
– A. vesiculodeferentialis

• Aa. vesicales superior


– Cabang dari A. umbilicalis bagian proximal (bagian distal akan menjadi
ligamentum Umbilicalis lateralis)

3
– Memperdarahi fundus dan beranastomosis dengan A. epigastrica inferior

• Aa.vesicales inferior
– Untuk bagian caudal dan lateral permukaan depan vvesica urinaria
– Juga memperdarahi glandula prostate

• A. vesiculodeferentialis
– Cabang dari A. iliaca interna
– Memperdarahi 1/3 permukaan posterior vesica urinaria
– Juga memperdarahi glandula vesiculosa, ductus deferentialis
– Pada wanita, memperdarahi ovarium dan vagina

• Vena : plexus venosus vesicales yang berhubungan dengan plexus venosus


prostaticus menuju V.iliaca interna

• Pembuluh getah bening dialirkan melalui Nn.iliaca interna dan externa.


Persarafan Vesica Urinaria:

Cabang-cabang plexus hypogastricus inferior yaitu:2

• Serabut-serabut post ganglioner simpatis gll.para vertebra L1-2


• Serabut-serabut preganglioner parasimpatis N.S2-4 melalui N. splancnicus dan
plexus hypogastricus inferior mencapai dinding vesica urinaria, disini terjadi
sinapsis dengan serabut post ganglioner
• Serabut-serabut sensoris visceral afferent: N.splancnicus menuju SSP
• Serabut-serabut afferen mengikuti serabut simpatis pada plexus hypogastricus
menuju medula spinalis L1-2

II. 2. Trauma Vesika Urinaria


Trauma buli-buli atau trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah
yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera
dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis.
Secara anatomis buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis
sehingga jarang mengalami cedera.5

4
Rupture kandung kemih atau trauma buli-buli dibagi menjadi dua macam, yaitu :5
A. Ruptur intraperitoneal (20%): didapatkan pada trauma surgikal atau adanya
trauma pada buli-buli yang distensi.
B. Ruptur ekstraperitoneal (80%): trauma yang dapat terjadi pada trauma tajam atau
trauma tumpul dengan adanya frakture pada os pubis atau adanya cidera
iatrogenik.
Trauma buli-buli juga dapat dibagi berdasarkan area yang terlibat pada cidera, yaitu :5
1. Kubah dari buli-buli
2. Cidera pada daerah trigonum
Yang dimaksud dengan trigonum adalah daerah yang dibatasi oleh 3 orificum,
yaitu 2 orificium pada daerah superior dan 1 orificium urethra interna pada daerah
inferior.5,6

II.3. Epidemiologi Trauma Vesica urinaria


Pada waktu lahir hingga usia anak, vesica urinaria terletak di rongga abdomen.
Namun semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum
pelvis; sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi.4,5
Angka kejadian trauma pada vesica urinaria pada beberapa klinik urologi
kurang lebih 2% dari seluruh truma pada sistem urogenitalia.6
Pada kehamilan post cesaria, insidensi terjadinya trauma buli-buli meningkat
sampai 3 kali lipat (0.6% vs 0.19%; seksio caesaria berulang vs seksio caesaria
primer). Resiko terjadinya trauma buli juga meningkat sampai 1.5% setelah 4 atau
lebih insisi pada uterus. Pada pasien dalam proses persalinan dibandingkan dengan
seksio caesaria elektif, resiko nya berbanding 24% : 16%.6
Adanya dilatasi dari cervix (9-10 cm) memiliki resiko trauma buli sebesar
33% dibandingkan dengan dilatasi cervix (0-1 cm) dengan resiko yang hanya sebesar
17%. Pada histerektomi caesaria resiko trauma buli-buli itu sendiri sebesar 1-4%.4

II.4. Etiologi
Kurang lebih 90% trauma tumpul vesica urinaria adalah akibat fraktur pelvis.
Fiksasi vesica urinaria pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis
sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada
arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek vesica urinaria.
Robeknya vesica urinaria karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang
pelvis merobek dindingnya.2
Dalam keadaan penuh terisi urine, vesica urinaria mudah sekali robek jika
mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Vesica
5
urinaria akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan ekstravasai urine ke rongga
intraperitoneum. Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma vesica urinaria
iatrogenik antara lain pada reseksi vesica urinaria transuretral (TUR vesica urinaria)
atau pada litotripsi.3
Demikian pula partus kasep atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat
menyebabkan trauma iatrogenik pada vesica urinaria. Ruptura vesica urinaria dapat
pula terjadi secara spontan; hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan
pada dinding vesica urinaria. Tuberkulosis, tumor vesica urinaria, atau obstruksi
infravesikal kronis menyebabkan perubahan struktur otot vesica urinariayang
menyebabkan kelemahan dinding vesica urinaria. Pada keadaan itu bisa terjadi
ruptura vesica urinaria spontanea. Dalam hal ini akan kami bahas secara lebih spesifik
mengenai trauma buli-buli akibat cedera iatrogenik pada tindakan operatif obstetri dan
ginekologi. Berikut beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan terjadinya trauma
buli-buli :3
1. Partus lama dengan buli-buli yang penuh.
2. Persalinan yang tertahan
3. Kehamilan post caesaria
4. Kehamilan post myomektomi
5. Kehamilan post laparotomi
6. Kasus-kasus dimana telah terjadi perubahan anatomi, seperti adanya
fibrosis atau ekstensi secara langsung dari proses peradangan kronis di
pelvis, endometriosis, adanya operasi pada daerah pelvis sebelumnya,
malignansi, adanya radiasi sebelumnya, atau kelainan kongenital dari
sistem urogenitalia.
7. Riwayat adanya perforasi uterus , abortus septik
8. Pada proses persalinan, adanya penurunan fetus pada bidang lebih atau
sama dengan +1, dan adanya bayi besar adalah resiko independen dari
trauma buli-buli selama operasi seksio caesaria.
9. Adanya penipisan dan dilatasi dari cervix (insisi pada uterus dapat
mengenai vagina, dan diseksi buli-buli dari vagina adalah hal yang sulit
dibandingkan bagian bawah dari uterus)
10. Seksio caesarea pada bayi preterm dimana segmen bagian bawah belum
terbentuk dengan baik

6
11. Pada histerekstomi caesaria.

Pada faktor resiko no 3,4,5,6,7 dapat terjadi adanya adhesi yang berat antara
buli-buli dan bagian bawah dari uterus, dan posisi dari buli-buli dapat berada superior
dari uterus.2,7
Adanya ruptur pada uterus juga dapat disertai dengan trauma buli-buli.
Plasenta perkreta dapat mempenetrasi ke dalam buli-buli dan dapat menyebabkan
cidera pada waktu mendorong lipatan peritoneum dari utero-vesikal ke arah bawah.7

II.5. Patofisiologi dari trauma buli-buli


Pada patofisologi dari trauma buli-buli ini akan dibahas secara khusus
mengenai patofisologi pada cidera iatrogenik akibat operasi obstetri dan ginekologi.
Seringkali cidera buli-buli terjadi ketika memasuki rongga peritoneum dikarenakan
tertariknya buli ke atas atau adanya adhesi pada buli-buli.2
Pada proses persalinan yang memanjang atau terhambat disertai kondisi buli-
buli yang distensi luas, insisi dapat mengenai buli-buli tersebut. Pada histerektomi
caesaria yang umumnya adalah supra cervical histerektomi, kemungkinan untuk
menciderai buli-buli lebih besar, terutama pada histerektomi yang dilakukan untuk
kasus ruptur uterus dimana kondisi anatomi di daerah lokal tersebut menjadi tidak
beraturan.2
Usaha pembebasan buli-buli dari perlekatan secara tumpul dapat menimbulkan
cidera atau trauma pada buli-buli, lebih aman apabila dilakukan pemisahan secara
tajam dengan mendorong buli-buli ke arah bawah apabila didapatkan adanya
perlekatan.2,3
Pada prolaps dari tali pusat, apabila digunakan teknik buli-buli penuh untuk
mengelevasi bagian yang menumbung, maka kateter foley harus dibuka sebelum
dilakukan seksio caesaria, apabila hal ini tidak dilakukan, operasi yang terburu-buru
dapat menimbulkan cidera pada buli-buli.3
II.6. Klasifikasi
Cedera vesika urinaria diklasifikasikan menurut American Association for the
Surgery of Trauma (AAST) - Organ Injury Scale (OIS) menjadi 5 grade, yaitu :2
Grade (AAST) : Jenis Cedera Deskripisi Kerusakan
I Hematoma Kontusio dan hematoma
Laserasi intramural

7
Laserasi sebagian dari
dinding buli – buli
II Laserasi Laserasi dari dinding
ekstraperitoneal buli –
buli < 2 cm
III Laserasi Laserasi dari dinding
ekstraperitoneal > 2 cm
atau intraperitoneal < 2
cm
IV Laserasi Laserasi ekstraperitoneal
> 2 cm
V Laserasi Laserasi intraperitoneal
atau ekstraperitoneal
yang meluas ke dalam
kandung kemih leher atau
muara uretra trigonum.

Grade I Grade II

Grade III

8
Grade IV Grade V
Selain itu dari Konsensus Societe Internationale D'Urologie
mengklasifikasikan cedera kandung kemih menjadi empat jenis dengan tidak
memperhitungkan panjang atau luas dari laserasi dinding kandung kemih, yaitu :1,2
 Tipe 1 adalah memar kandung kemih
 Tipe 2 yaitu ruptur dinding intraperitoneal
 Tipe 3 yaitu ruptur dinding ekstraperitoneal

II.7. Diagnosis
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluh
nyeri di daerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau mungkin pasien tidak dapat
miksi.2
Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian vesica
urinaria yang mengalami cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang
mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin
didapatkan tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, atau tampak tanda sepsis
dari suatu peritonitis atau abses perivesika.3,4

Berikut adalah beberapa hal yang dapat dijadikan patokan pada trauma buli-
buli akibat cidera iatrogenik :3
1. Tampak adanya urine yang menetes pada lapangan operasi
2. Hematuria, 95% dari trauma buli-buli memiliki gejala gross hematuria.
Pada kecurigaan adanya trauma buli-buli intraoperatif, selalu dapat dicek
adanya perubahan warna urine pada kateter, walaupun tidak tampak
adanya urine yang keluar pada lapangan operasi.
3. Apabila didapatkan adanya kecurigaan trauma buli-buli iatrogenik, dapat
dilakukan tes konfirmasi dengan instilasi zat pewarna seperti methylene
blue atau indigo carmine ke dalam buli-buli sebanyak 300-400 ml.

9
II. 8. Pemeriksaan Radiologi
1. X-Ray
Radioanatomi
Sistogram yang normal berupa garis lingkar, dindingnya rata bundar dan oval.2

Gambar Buli-buli yang terisi penuh oleh kontras

2. Sistografi
Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras ke
dalam vesica urinariasebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui
kateter per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat vesica
urinariaterisi kontras dalam posisi anterior-posterior (AP), (2) pada posisi oblik, dan
(3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari esica urinaria.2
Jika didapatkan robekan pada vesica urinaria, terlihat ekstravasasi kontras di
dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal.
Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti ada robekan vesica
urinariaintraperitoneal. Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya
ekstravasasi (negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250
ml.2
Sebelum melakukan pemasangan kateter uretra, harus diyakinkan dahulu
bahwa tidak ada perdarahan yang keluar dari muara uretra. Keluarnya darah dari
muara uretra merupakan tanda dari cedera uretra.5,6
Jika diduga terdapat cedera pada saluran kemih bagian atas di samping cedera
pada vesica urinaria, sistografi dapat diperoleh melalui foto PIV. Di daerah yang jauh
dari pusat rujukan dan tidak ada sarana untuk melakukan sistografi dapat dicoba uji
pembilasan esica urinaria, yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis steril ke
dalam vesica urinaria sebanyak ± 300 ml kemudian cairan dikeluarkan lagi.7
Jika cairan tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang

10
dimasukkan, kemungkinan besar ada robekan pada esica urinaria. Cara ini sekarang
tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan infeksi atau menyebabkan robekan yang
lebih luas.3,4

Ruptur Ekstraperitoneal Vesika Urinaria. Tampak ekstravasasi (tanda panah)


terlihat di luar kandung kemih pada pelvis pada pemeriksaan sistogram.

Ruptur Intraperitoneal Vesika Urinaria. Pada gambaran sistografi menunjukkan


kontras yang mengisi di sekitar usus.

3. CT Cystographic
Computed tomografi (CT) cystography telah dianjurkan sebagai pengganti
sistografi konvensional pada pasien dengan dugaan trauma kandung kemih. CT
cystography dapat diterapkan untuk mengklasifikasi cedera kandung kemih
berdasarkan tingkat cedera dinding dan lokasi anatomi dan menunjukkan gambaran
karakteristik untuk setiap jenis cedera.2
Quagliano et al, melaporkan sensitifitas dan spesifitas 95% dan 100%, masing,
untuk kedua cystography CT dan cystography konvensional. Penulis lain telah
melaporkan sensitivitas tinggi yang sama dan spesifisitas untuk CT cystography.2
Tipe 1: Kontusio Vesika Urinaria

11
Kontusio kandung kemih diartikan sebagai cedera seluruh atau sebagian dari mukosa
kandung kemih. Walaupun pasien datang dengan hematuria, tetapi temuan pada
sistrografi konvensional dan CT sistografi normal. Data statistik yang dapat
diandalkan mengenai prevalensi tipe ini tidak tersedia.2
Tipe 2: Ruptur intraperitoneal
Ruptur dinding intraperitoneal kandung kemih terjadi pada sekitar 10% -20% dari
cedera kandung kemih umumnya. Cedera ini biasanya merupakan pukulan langsung
ke kandung kemih yang distensi. Peningkatan mendadak tekanan intravesikular
menyebabkan pecahnya kubah dinding intraperitoneal kandung kemih. CT
cystography menunjukkan bahan kontras intraperitoneal di sekitar lumen usus, antara
lipatan mesenterika, dan di saluran paracolic.2

Tipe 3: Cedera Interstitial


Cedera kandung kemih interstisial jarang terjadi dan didefinisikan sebagai laserasi
intramural atau laserasi sebagian dari ketebalan dengan serosa yang utuh (Gambar 5).
Akibatnya, CT cystography mungkin menunjukkan bahan kontras pada intramural
tanpaadanya ekstravasasi.2

Tipe 4: Ruptur Ekstraperitoneal

12
Ruptur ekstraperitoneal adalah jenis yang paling umum dari cedera kandung kemih
(80% -90% kasus). Hal ini biasanya disebabkan oleh trauma tembus, trauma tumpul,
mekanisme diduga adalah laserasi langsung ke dalam kandung kemih oleh fragmen
tulang pelvis. Jalur ekstravasasi kontras adalah berubah - ubah. Ekstravasasi hanya
terbatas di ruang perivesical pada ruptur ekstraperitoneal yang sederhana (Tipe 4a)
(Gambar a), sedangkan pada rupture ekstraperitoneal kompleks, bahan kontras
melampaui ruang perivesical (Tipe 4b) dan dapat membedah ke berbagai bidang dan
ruang fasia (Gambar b).2

Tipe 5: Ruptur kombinasi


Ruptur Kombinasi kandung kemih terdiri dari cedera intraperitoneal dan
ekstraperitoneal yang bersamaan. Prevalensi ruptur kombinasi kandung kemih adalah
5% -12% yang dilaporkan baik karena penetrasi dan trauma tumpul. CT cystography
biasanya menunjukkan pola ekstravasasi yang khas untuk kedua jenis cedera ini.2

13
II.9. Terapi
Pada kontusio vesica urinaria, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan
tujuan untuk memberikan istirahat pada vesica urinaria. Dengan cara ini diharapkan
vesica urinaria sembuh setelah 7-10 hari.8
Pada cedera intraperitoneal dari buli-buli, usaha perbaikan harus dilakukan
sesegera mungkin. Pada kecurigaan trauma buli intraperitoneal harus dilakukan
eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan
cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urine ke rongga
intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Bahkan disebutkan pada trauma buli-
buli yang diakibatkan oleh karena cidera iatrogenik pada histerektomi, apabila
teridentifikasi, ruptur buli-buli harus ditangani terlebih dahulu sebelum
menyelesaikan operasi histerektomi tersebut. Perkecualian dari penanganan segera
pada ruptur buli-buli adalah pada beberapa kasus plasenta akreta dengan sumber
perdarahan yang tak dapat diketahui, operasi repair dilakukan secara bertahap dengan
buli-buli dibiarkan terbuka sampai operasi yang kedua (24-28 jam). Penanganan
secara garis besar , yaitu : rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada vesica
urinaria dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar
sayatan laparotomi.8,9
Apabila cidera atau trauma pada buli-buli tidak melibatkan daerah trigonal,
maka ahli obstetri dan ginekologi itu sendiri dapat melakukan penjahitan dari buli-
buli. Apabila melibatkan daerah trigonum, disarankan untuk meminta bantuan dan
konsultasi dari ahli urologi atau uroginekologi.9,10
Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)
dianjurkan untuk memasang kateter selama 7 – 10 hari, tetapi sebagian ahli lain
menganjurkan untuk melakukan penjahitan vesica urinariadengan pemasangan kateter
sistostomi.10,11
Namun tanpa tindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka ±
15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar 12%.
Oleh karena itu jika bersamaan dengan ruptur vesica urinaria terdapat cedera organ
lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan vesica urinaria dan

14
pemasangan kateter sistostomi.11,12
Untuk memastikan bahwa vesica urinaria telah sembuh, sebelum melepas
kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi
guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urine. Sistografi dibuat pada
hari ke-10-14 paska trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi
dipertahankan sampai 3 minggu.10
Berikut adalah beberapa detail dari teknik perbaikan pada ruptur buli-buli :3
1. Penjahitan pada buli-buli dapat dilakukan dengan jahitan 2 lapis.
2. Terdiri dari 2 lapis jahitan continous
3. Beberapa ahli menggunakan jahitan satu lapis.
4. Bahan jahitan dapat berupa vicryl atau bahan absorbable lainnya, dengan ukuran
jarum yang kecil.
5. Ukuran benang dapat berupa 2-0 atau 3-0
6. Untuk ruptur uterus dengan trauma buli-buli, tepi dari luka ruptur dirapikan dan
dijahit.
7. Jahitan pertama dapat meliputi seluruh lapisan termasuk mukosa buli-buli,
walaupun banyak ahli bedah tidak menjahit mukosa buli melainkan hanya
submucosa dan lapisan muskularis nya.
8. Jahitan lapis kedua untuk memperkuat dapat berupa jahitan paralel Lambert atau
jahitan perpendikular Connell
9. Cidera yang melibatkan daerah trigonal atau orificium ureter mungkin
membutuhkan ureteric stenting, ureteroneocystostomy, dan lain- lain.

Gambar. Lambert Stitches

15
Gambar . Connell Stitches
II.10. Penanganan post operatif
Pada prinsip nya dilakukan drainase dari buli-buli yang berkelanjutan, ahli
urologi pada umumnya menggunakan kateter suprapubic dan urethral, sedangkan
kebanyakan ginekologis menggunakan hanya kateter urethral. Hal ini tidak menjadi
masalah selama buli tetap dalam keadaan kosong selama periode post operatif, pada
umumnya kateter yang digunakan adalah kateter Foley 16-18 fr dengan kateter
suprapubik berukuran 28-24 fr.3
Terdapat suatu paham yang lain dimana pada ruptur buli yang besar, setelah
dilakukan penjahitan digunakan kateter suprapubik, sedangkan pada cidera yang lebih
kecil kateter urethral saja sudah cukup.3
Berikut akan dijelaskan mengenai penggunaan kateter sebagai manajemen
post operatif :3
1. Untuk amannya kateter urethral tetap dibiarkan terpasang selama 10-14
hari.
2. Apabila digunakan kateter suprapubik, kateter suprapubik dapat diklem
pada hari ke 10 dan dilepas pada hari ke 12, sedangkan kateter foley untuk
urethra dapat dilepas pada hari ke 14.
3. Beberapa pendapat lain adalah untuk tetap menggunakan kateter
suprapubik dan urethral selama 7 hari berturut-turut.
Selama masa pemasangan kateter, dianjurkan untuk melakukan tes sensitivitas
dan kultur urine setiap 3 hari.

16
II.11. Penyulit
Pada cedera vesica urinaria ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga
pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis.
Yang lebih berat lagi adalah robekan vesica urinaria intraperitoneal, jika tidak segera
dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada
rongga intra-peritoneum. Kedua keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat
mengancam jiwa.11,12
Kadang-kadang dapat pula terjadi penyulit berupa keluhan miksi, yaitu
frekuensi dan urgensi yang biasanya akan sembuh sebelum 2 bulan.11

II.12. Aspek Medikolegal


Dari sisi medikolegal, adalah hal yang bijaksana apabila kita mencantumkan
deskripsi dari identifikasi buli-buli dan ureter pada laporan operasi.3
1. Pada cidera buli-buli pada saat diseksi dari adhesi, hal ini adalah hal yang
masih dapat dimaklumi.
2. Pada posisi buli yang abnormal, sebagai contoh posisi buli yang berada diatas
uterus, akan sangat besar kemungkinan terjadi cidera. Pada kasus seperti ini
cidera buli adalah hal yang bukan merupakan kelalaian.
3. Pada kondisi dimana tidak didapatkan abnormalitas dari buli, tetapi tetap
terjadi cidera buli, maka hal ini dapat mengundang permasalahan.
4. Apabila cidera buli-buli tidak teridentifikasi selama intraoperatif, maka hal ini
dapat mengundang permasalahan.
Di luar hal-hal di atas, demi untuk menghindari permasalah medikolegal, adalah
hal yang bijaksana apabila selalu dijelaskan pada keluarga pasien selama konseling
pre-operatif tentang resiko terjadinya cidera buli-buli pada pasien-pasien dengan
faktor resiko yang tinggi.3

17
BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan

1. Trauma buli dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi, 90 % trauma buli-
buli disebabkan oleh karena adanya fraktur pelvis.
2. Trauma pada buli-buli itu sendiri diklasifikasikan secara garis besar menjadi dua,
yaitu : trauma ekstraperitoneal dan trauma pada intraperitoneal.
3. Penanganan dari trauma buli-buli itu sendiri terkait dengan jenis traumanya, pada
trauma ekstraperitoneal cukup dilakukan pemasangan kateter dengan maksud
buli-buli diistirahatkan. Sedangkan pada trauma buli-buli intraperitoneal, repair
harus dilakukan sesegera mungkin begitu diagnosis ditegakkan, terutama pada
saat intra-operatif.
4. Pada penanganan trauma buli-buli yang intraperitoneal, dapat dilakukan
penjahitan secara 2 lapis dengan menggunakan benang absorbable, dan sebagian
ahli bedah juga memasang kateter sistostomi yang dikeluarkan diluar sayatan
laparotomi. Pada trauma buli yang tidak melibatkan daerah trigonum, maka
penjahitan dapat dilakukan oleh ahli obstetri dan ginekologi itu sendiri, tetapi
apabila cidera melibatkan daerah trigonum maka memerlukan penanganan lebih
lanjut dari dokter ahli urologi.11

III.2. Saran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa faktor resiko yang
dapat memperbesar kemungkinan terjadinya trauma pada buli-buli pada operasi
obstetri dan ginekologi. Hal ini sebaiknya dijelaskan pada keluarga dan penderita
pada konseling pra-operatif, agar tidak menimbulkan masalah aspek medikolegal di
kemudian harinya.10

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Manidip Pal, Soma Bandyopadhyay, Bladder injury during Cesarean Section,


Journal of General Practice 2013, India, 1:4.
2. Mendrofa Calvinus, Trauma Traktus Urinarius pada Bedah Ginekologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2000, Semarang.
3. Acharya S, Uprety DK, Pokharel Hp, Amatya R, Rai R, Cesarean section
without urethral catheterization : A randomized control trial, Kathmandu med
journal, 2012, India, 38(2) : 18-22.
4. Hounanasso Prince Pascal, Avakoudjo Josue Gorges, Babadi Nameoua,
Urologic complications after Gynaecologic and Obstetric Surgery at the
Urology-Andrology Teaching Clinic of Teaching Hospital of Cotonou, Open
Journal of Urology, 2014, 4, 121-125.
5. Leroy R. Weeks, Shobhana Anil Gandhi, Anil Krishnakumar Gandhi, Surgical
Complications of Gynaecologic Surgery, Journal of the National Medical
Association, 1977, Vol 69, no 12.
6. Purnomo Basuki B., Dasar-dasar Urologi edisi kedua, CV. Sagung Seto,
Jakarta, 2003, 5-6, 93-96.
7. Mattox L. Kenneth, Moore E. Ernest, Feliciano David V., Trauma Seventh
edition, McGraw Hill Companies, United States, 2013, Ch 36, 677, 685-686,
695-698.
8. Rahman MS, Gasem T, Al Suleiman SA, Al Jama FE, Burshaid S, et al. (2009)
Bladder injuries during cesarean section in a University Hospital: a 25-year
review. Arch Gynecol Obstet 279: 349-352.
9. Baskett TF, Calder AA, Arulkumaran S (2007) Obstetrics Hysterectomy. In:
Munro Kerr’s Operative Obstetrics, (11th edn) Saunders Elsevier, Edinburgh,
309-314
10. Corriere JN Jr, Sandler CM (2006) Diagnosis and management of bladder
injuries. Urol Clin North Am 33: 67-71, vi
11. Shenoy KR, Nileshwar A (2010) The urinary bladder and urethra. In: Manipal
manual of surgery. (3rd edn) CBS Publishers & Distributors Pvt Ltd, New
Delhi, 771-786.

19
12. Neal DE (2008) The urinary bladder. In: Williams NS, Bulstrode CJK,
O’Connell PR (Eds) Bailey & Love’s Short Practice of Surgery. (25thedn)
Hodder Arnold, London, 1313-1342

20

Anda mungkin juga menyukai