Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG

Fistula ginekologi banyak ditemukan di negara sedang berkembang sebagai akibat persalinan yang lama, kelainan kongenital, dan trauma operasi. Di negara maju fistula vesiko vagina terbanyak disebabkan oleh tindakan operasi histerektomi baik secara abdominal maupun transvaginal. 1 Greber dkk, melaporkan 1,9 % kejadian trauma bulibuli dari 819 histerektomi abdominal, Thomson melaporkan 75% dari trauma ureter akibat bedah ginekologi, 75% pada pembedahan abdominal, 25% pada pembedahan vaginal. Angka kejadian pasti di Indonesia sulit didapatkan oleh karena banyak laporan hanya menggambarkan kejadian pada penderita yang datang ke Rumah Sakit. WHO

Gambar 1. Negara asal kasus fistula vesiko vaginal (WHO1991) (1991) melaporkan angka kejadian di Afrika 55 80 per 100.000 kelahiran hidup. 3 Di
Ethiopia 90 % disebabkan oleh persalinan kasip.

Fistula vesiko vagina merupakan kasus yang tidak seorangpun membayangkan akan terjadi pada dirinya. Penderitaan pasien, bukan hanya pada fisik saja berupa
1

mudahnya mengalami ISK, namun memiliki dampak psikososial yang dirasakan lebih menyakitkan. Penderita merasa terisolasi dari pergaulan, keluarga dan lingkungan kerjanya oleh karena senantiasa mengeluarkan urine dan bau yang tidak sedap setiap saat. Tidak jarang suami akan meninggalkannya dengan alasan tidak terpenuhinya kebutuhan biologis dengan wajar. 2 Kasus Fistula Obstetri seringkali dialami oleh para wanita dari kalangan sosio ekonomi yang rendah dimana pada saat kehamilan dan persalinan tidak mendapat pelayanan yang memadai sehingga persalinan berlangsung lama dan terjebak pada persalinan kasip 1,2 Kompresi kepala janin pada jalan lahir akan menyebabkan dinding vagina, kandung kemih serta urethra mengalami nekrosis dan selanjutnya akan terjadi fistula. Kehidupan masyarakat dengan tingkat sosio ekonomi yang rendah akan menyebabkan gangguan kekurangan gizi yang menahun, akibatnya pada saat usia reproduksi dan melahirkan kelak akan mengalami gangguan imbang janin dan jalan lahir. 3 Pada kasus seperti ini apabila tidak mendapatkan pelayanan obstetri yang memadai saat persalinan, penderita akan mengalami persalinan kasip.

B. DEFINISI Perhatian terhadap kesehatan organ reproduksi wanita merupakan suatu faktor yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup wanita dimana saja dalam menjalani kehidupan yang sehat dan produktif. Banyak hal yang dapat mengganggu kehidupan seorang wanita sehingga dapat menurunkan produktifitasnya dan mengganggu perjalanan hidup keseharian wanita yaitu antara lain ketidak mampuan menahan pengeluaran air kemih dalam proses berkemih secra normal. Fistula ginekologi adalah salah satu penyebab penurunan kualitas hidup wanita sebagaimana dimaksud diatas. Ketidak mampuan wanita tersebut dalam proses berkemih

secara normal tentu akan sangat mengganggu kehidupan wanita itu sendiri sepanjang hidupnya jika tidak mendapat perhatian yang serius. Fistula ginekologi diartikan sebagai suatu hubungan abnormal antara dua atau bahkan lebih organ internal urogenital atau terbentuknya hubungan antara saluran kemih (uretra, kandung kemih, urter) dan saluran genitalia (vagina, uterus). Namun penderitaan sebenarnya tidak selalu dapat dilihat secara jelas, sebab kebanyakan wanita yang menderita fistula enggan mencari penolong untuk mengatasi permasalahannya. Akibatnya angka yang menunjukan jumlah penderita sebenarnya tidak diketahui secara pasti. C. ANATOMI Anatomi sistem urinaria yang berhubungan dengan fistula ginekologi: 1) Traktus Urinaria Bagian Bawah Kandung kemih merupakan suatu kantung musculomembranosa tempat penampungan urin yang terbentuk dari empat lapisan, yaitu serosa, muskuler, submukosa dan mukosa. Secara anatomis kandung kemih terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu (6): a. Detrusor (dasar kandung kemih) Detrusor merupakan lapisan muskuler yang terdiri dari tiga lapis otot polos yang secara acak bersilangan satu sama lain sehingga membentuk satu unit fungsional yang berfungsi dalam peregangan pasif ataupun dalam kontraksi kandung kemih. Di leher kandung kemih, otot polos tersusun sirkuler sehingga bertindak sebagai suatu sfingter fungsional. b. Trigonum (badan kandung kemih) Trigonum merupakan area segitiga dibagian inferior kandung kemih yang dibatasi bagian superior dan lateral oleh orificium ureter serta dibagian inferior oleh orificium uretra internal. Trigonum bagian dalam merupakan kelanjutan dari otot polos detrusor, sementara trigonum superfisial merupakan kelanjutan dari otot-otot ureter. Pada wanita, panjang uretra kurang lebih 4 cm. Terdiri dari tiga lapisan, yaitu mukosa, submukosa dan lapisan otot. Lapisan otot terdiri dari dua lapisan otot polos yang berjalan longitudinal pada bagian dalam yang merupakan sambungan dari otot kandung
3

kemih dan membentuk sfingter uretra infolunter. Diluar lapisan ini terdapat lapisan otot lurik (volunter) yang berjalan secara sirkler pada 1/3 tengah uretra. Pada pria, penis terbentuk dari dua corpora cavernosa yang mengandung jaringan spongy erectile dan sebuah corpora spingosum yang mengelilingi uretra. Uretra pria dengan panjang total kurang lebih 20 cm, terbagi menjadi tiga bagian yaitu: a. Uretra prostatik pada bagian posterior, yang memanjang dari leher kandung kemih hingga diafragma urogenital. b. Uretra anterior atau spongy portions yang memanjang hingga meatus. c. Uretra membranosa yang menghubungkan uretra anterior dan posterior. 2) Sfingter Uretra Secara tradisional, uretra mempunyai dua sfingter yang berbeda yaitu internal dan eksternal (rhabdosphincter). Sfingter internal bukanlah sfingter anatomis murni. Pada pria maupun wanita, istilah tersebut ditujukan untuk paut leher kandung kemih dan uretra proksimal, dibentuk oleh susunan sirkuler jaringan ikat dan serabut otot polos yang meluas dari kandung kemih. Area ini merupakan suatu sfingter fungsional karena akan terjadi suatu peningkatan progresif tonus seiring dengan pengisian kandung kemih, sehingga tekanan uretra menjadi lebih besar dari tekanan intravesikal. Pada pria, sfingter eksternal atau urethral rhabdosphincter sering digambarkan sebagai suatu pita sirkuler tipis dari otot lurik yang membentuk diafragma pada bagian distal uretra prostatik (uretra membranosa). Sfingter ini bekerja dibawah kontrol volunter dengan proporsi serabut slowtwitch yang cukup besar untuk suatu kompresi tonik yang terus menerus (steady) dalam uretra baik pada pria maupun wanita. 3) Otot Dasar Panggul Dasar panggul merupakan diafragma muskuler yang memisahkan cavum pelvis di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk oleh m. levator ani, serat m. coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fascia parietalis (7): a. Muskulus levator ani, yang terdiri dari dua otot, yaitu: a) Muskulus pubococcigeus dengan tiga bagian otot: pubovaginalis, puborectalis dan pubococcigeus propria. b) Muskulus iliococcigeus b. Muskulus coccigeus (ischiococcigeus)
4

Otot dasar panggul khususnya m. levator ani, mempunyai peranan penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi dan seksual. Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter dan cepat pada satu waktu, tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus istirahan secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada pada m. levator ani. Saat m.levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau intrauretra. Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut muskular ini terdapat kombinasi serabut slow-twitch dan fast-twitch. Serabut slowtwitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator iternis dan piliformis (8). 4) Sistem saraf yang berperan dalam membantu proses berkemih a) Persarafan traktus urinarius bagian bawah, berasal dari tiga sumber: Sistem saraf parasimpatis (S2-S4) n. pelvikus Sistem saraf simpatis (T11-L2) n. hipogastrikus dan rantai simpatis Sistem saraf somatis atau volunter (S2-S4) n.pudendus

Sistem saraf pusat mengintegrasi kontrol traktus urinarius. Pusat miksi yang berasal dari pontine memperantarai relaksasi sfingter dan kontraksi detrusor secara sinkron. Sementara lobus frontalis, basal ganglia dan cerebellum mengatur efek inhibisi dan fasilitasi. Penyimpanan urin dimediasi oleh relaksasi detrusor dan penutupan sfingter. Relaksasi detrusor terjadi karena inhibisi sistem saraf pusat terhadap tonus parasimpatis, sementara penutupan sfingter dimediasi oleh peningkatan reflex aktifitas alfa adrenergik dan somatis. Pengeluaran urin terjadi saat detrusor berkontraksi, dimediasi oleh sistem saraf parasimpatis, yang disertai dengan relaksasi sfingter. Suplai saraf parasimpatis eferen berasal dari nukleus detrusor yang berada di intermediolateral gray matter medula spinalis S2-S4. Efren sakral keluar seagai suatu serabut preganglionik di ventral roots dan berjalan melalui saraf pelvikus
5

(nervi erigentes) ke ganglia dekat atau dalam otot detrusor untuk memberikan input eksitasi kepada kndung kemih. Setelah impuls tiba di ganglia parasimpatis, impuls akan berjalan melalui postganglionik yang pendek ke reseptor otot polos kolinergik, menyebabkan timbulnya kontraksi kandung kemih. Saraf simpatis eferen mempersarafi kandung kemih dan uretra dimulai dari intermediolateral gray column T11-T12 dan memberikan input inhibisi ke kandung kemih. Impuls simpatis ini berjalan dalam rentang pendek ke ganglia simpatis paravertebral lumbal, kemudian ke sepanjang saraf postganglionik yang panjang dalam saraf hipogastrik untuk bersinaps di reseptor alfa dan beta adrenergik dalam kandung kemih dan uretra. Stimulasi simpatis akan memfasilitasi penyimpanan urin di kandung kemih dalam suatu keadaan yang terkoordinasi karena lokasi reseptor adrenergik yang strategis. Reseptor beta adrenergik terutama terletak dibagian superior kandung kemih dan stimulasinya menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor alfa adrenergik mempunyai densitas yang lebih tinggi didekat dasar kandung kemih dan uretra prostatik, hingga stimulasinya akan menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan tahanan outlet kandung kemih dan uretra prstatic. b) Persarafan pada uretra Sfringter uretra eksternal mempunyai persarafan somatik yang menyebabkan sfingter dapat tertutup sesuai keinginan. Saraf somatik eferen berasal dari nucleus pudendal di segmen sakral (S2 sampai S4) yang disebut dengan Onufrowiczs nucleus (Onufs). Saraf eferen ini lalu berjalan melalui saraf pudendal ke paut neuromuskuler serabut otot lurik di sfingter uretra eksternal. Sfingter uretra internal bekerja dibawah kontrol sistem otonom. Area ini mempunyai sejumah reseptor alfa simpatis, yang jika distimulasi akan menyebabkan timbul kontraksi.

Gambar 1. Anatomi dan histologi kandung kemih pada wanita. D. EPIDEMIOLOGI Salah satu insidensi yang paling dikemukakan secara umum adalah 1-2 per 1000 kelahiran dari seluruh populasi di dunia. Terbesar adalah dinegara berkembang, berkaitan dengan persalinan dan penyakit keganasan serta radiasi. Laporan lainnya mejelaskan perkiraan terdapat 2 juta wanita menderira fistula ginekologi diseluruh dunia. Namun dengan demikian angka tersebut masih lebih kecil dari yang sebenarnya. Besarnya permasalahan fistula diseluruh dunia belum diketahui secara jelas, namun diyakini sangat memprihatinkan. Sebagaimana dilakukan penelitian di Nigeria saja, dari tahun ke tahun, Harrison (1985) melaporkan fistula vesikovaginal mencapai jumlah frekuensi 350 kasus dari 100.000 wanita bersalin di rumah sakit pendidikan. Hajiya (2001) memperkirakan jumlah fistula yang tidak ditangani adalah antara 800.000 1.000.000 kasus. Fistula vesikovaginal sebagai hasil trauma obstetrik sudah dikenal sejak lama, yaitu saat Marion sims pada pertengahan 1800, keberhasilan pembedahan fistula dikerjakan. Namun pada negara berkembang hingga saat ini belum menunjukan penurunan jumlah kasus yang berarti.

Wall Lewis (2006), total jumlah kasus 932 dengan fistula, sebanyak 899 kasus berkaitan dengan keterlambatan persalinan. 33 kasus sisanya disebabkan oleh faktor lain, 4 kasus trauma, dan 8 kasus keganasan. 764 kasus obstetri dijumpai fistula vesikovaginal saja, 99 kasus dijumpai campuran fistula vesikovaginal, dan rektovaginal dan 36 kasus fistula rektovaginal. Wanita dengan fistula sering dijumpai menikah pada usia mudam menurut data yang terkumpul menurut data yang terkumpul, nilai median umur penderita fistula 27 tahun. Usia rata-rata menikah 15,5 tahun, namun dengan demikian 352 wanita yang telah menikah tersebut belum mengenal menars. Wanita yang mengalami fistula cenderung adalah pendidikan rendah dan diantaranya 700 penderita tidak mengikuti pendidikan formal. Hanya 126 penderita pernah mengikuti pendidikan dasar. Sebanyak 13 wanita hanya sampai pendidikan lanjut pertama. Dan tidak ada yang mengikuti pendidikan lanjut. Fistula umumnya terjadi pada wanita primigravida, 45,5% (412) dari fistula terjadi pada kehamilan pertama dan 20% terjadi pada kehamilan dengan multiparitas (183 kasus). Terdapat angka kematian janin lahir mati sebesar 91,7 % (824 kasus), 75 kelahiran hidup. Data yang diperoleh menunjukan bahwa 647 diantara wanita tersebut tidak pernahmemeriksa kehamilannya secara rutin (antenatal care). Sedangkan 211 wanita (23,5%) melahirkan dirumah. Terdapat 688 wanita lainnya melahirkan dibeberapa fasilitas kesehatan. Keterlambatan menuju fasilitas rujukan kesehatan yang memadai mengakibatkan seringnya persalinan macet. Hanya 190 wanita yang mengalami fistula bersalin dalam waktu kurang 24 jam. Kebanyakan penderita mengalami persalinan yang lebih lama, yaitu 272 wanita (30,2%) melahirkan lebih 24 jam, 244 wanita melahirkan setelah 27 jam. E. ETIOLOGI Sejumlah faktor berperan dalam kejadian fistula pada wanita. Umumnya dijumpai di daerah yang memiliki budaya perkawinan pada usia muda dan kehamilan pada usia muda. Malnutrisi kronis merupakan faktor terjadinya fistula jangka panjang, keadaan persalinan yang abnormal seperti disproporsi kepala panggul dan malpresentasi janin, yang tidak ditangani oleh tenaga kesehatan yang terampil selama persalinan, sehingga mengakibatkan
8

persalinan macet. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan letak daerah yang sulit untuk menjangkau tempat pelayanan kesehatan yang lebih memadai. paling umum terjadi adalah akibat trauma obstetrik, selanjutnya akibat trauma pembedahan, radiasi, penyakit radang saluran usus, penyakit infeksi, dan neoplasma. Penyebab fistula berhubungan dengan komplikasi, yaitu : 1. Komplikasi obstetrik Nekrosis jaringan dinding depan vagina dan kandung kemih, dan dapat menimbulkan fistula, tindakan ekstraksi cunam dan tindakan obstetri lainnya berupa vakum, kuretase dan SC (section cesarea) yang kurang hati-hati dan lege artis dapat mengakibatkan trauma dan fistula kandung kemih. 2. Komplikasi ginekologi Merupakan faktor yang paling sering dewasa ini. Komplikasi histerektomi abdominal dan histerektomi vaginal paling sering menjadi penyebabnya, juga komplikasi radioterapi. Terjadinya fistula pada histerektomi dapat juga diakibatkan oleh : a. Kurang pengalaman, kurang hati-hati operator dalam membebaskan kandung kemih dari portio vagina. b. Kegagalan mengenal jaringan kandung kemih waktu melakukan hemostatis pada puncak kandung kemih dengan jahitan. c. Kegagalan mengenal atau tidak melakukan pengujian terhadap adanya kemungkinan cedera kandung kemih waktu tindakan operasi. d. Terputarnya kandung kemih karena mioma yang besar atau oleh endometriosis. 3. Radiasi pelvis 4. Penyakit kanker, infeksi dan batu saluran kemih 5. Instrumentasi: kateterisasi, trauma endoskopik, dilatasi Penyebab lain adalah didapat dari budaya tertentu yang mengharuskan bayi wanita untuk dilakukan insisi pada bagian depan vagina atau insisi Gishiri untuk mempermudah persalinan kelak dan budaya yang cenderung untuk meningkatkan daya tarik dengan pembedahan dinding vagina agar tetap ketat seperti nullipara. Pembedahan khusus lainnya seperti prosedur suburetral sling, pembedahan untuk koreksi uretral divertikulum, pembedahan pada keganasan pelvis.
9

F. PATOFISIOLOGI Trauma pada kandung saat melakukan tindakan histerektomi yang sulita tau perslinan operatif persalinan sectio cesarea (SC) dapat menimbulkan fistula vesikovaginal adalah saat melakukan deseksi tumpul yang luas pada saat memisahkan lapisan kandung kemih. Hal ini menyebabkan devaskularisasi atau robekan yang tidak teridentifikasi pada dinding posterior kandung kemih. Hal lain dalam tindakan pembedahan dapat menyebabkan terjadinya fistula adalah jahitan pada puncak vagina yang secara kebetulan melibatkan kandung kemih, keadaan ini menjadikannya jaringan sekitarnya isquemia, nekrosis dan selanjutnya menjadi fistula. Fistula sebagai hasil dari suatu proses suatu proses persalinan lama atau dengan kesulitan. Bagian kepala janin akan menekan bagian trigonaldan leher kandung kemih dengan penekanan ke bagian tulang pubis pada simfisis. Keadaan demikian menyababkan isquemia dan nekrosis. Hampir 10-15% fistula tidak dijumpai pada 10 30 hari setelah tindakan pembedahan atau persalinan. Bahkan ada fistula yang tidak manifes dalam hitungan bulan. Fistula yang timbul sebagai komplikasi radiasi tidak tampak dalam kurun waktu tahun setelah radiasi. Manifestasi lambat tersebut disebabkan oleh perubahan lanjutan oleh efek radiasi. Timbul fibrosis pada jaringan subepitelial, hialinisas i jaringan ikat akan tampak dengan pemeriksaan histologi. Terjadi perubahan vaskularisasi berupa obliterasi pembuluh darah arteri. Perubahan pada pembuluh darah tersebut akan menghasilkan atropi atau nekrosis pada epitel kandung kemih, kemudian terjadi ulserasi atau terbentuk fissura. G. KLASIFIKASI FISTULA Belum dijumpai kesepakatan yang menjadi standar untuk menentukan satu pembagian ataupun tingkat keparahan fistula urogenital. Berbeda penulis nampaknya menentukan klasifikasi yang berbeda pula. Hamlins menentukan klasifikasi berdasarkan penilaian subjektif dari hasil penilaian kerusakan yang dijumpai. Arrowsmith menyarankan pemakaian sistem skoring untuk dapat memprediksi luaran penderita fistula. Klasifikasi terdahulu oleh Sims(1852) yang melakukan pembagian fistula berdasarkan lokasinya pada vagina, klasifikasi tersebut adalah
1. Uretro-vaginal, yaitu kerusakan terjadi melibatkan uretra. 2. Fistula yang melibatkan leher kandung kemih atau pangkal uretra. 10

3. Fistula yang melibatkan dasar kandung kemih. 4. Fistula utero-vesikal, dengan bagian terbuka pada uterus dan kanalis serviks.

Klasifikasi umum dari fistula urogenital dapat dikelompokkan dalam 4 jenis: 1. Vesikouterina. 2. Urethrovaginal. 3. Vesikovaginal. 4. Ureterovaginal. Namun pada umumnya, terdapat dua faktor yang sangat penting yang harus dilibatkan dalam setiap pembagian suatu fistula urogenital dengan maksud untuk mendapatkan prediksi nilai luaran yang lebih akurat. Faktor tersebut adalah : 1. Besarnya kerusakan, yang diukur berdasarkan besarnya fistula, jaringan parut yang ada pada vagina dan kandung kemih. 2. Keterlibatan dengan mekanisme aliran urin, yang berarti penentuan lokasi pada uretra dan leher kandung kemih. Untuk menilai kerusakan objektif yang terjadi pada bagian leher kandung kemih sangat sulit dilakuk an, namun demikian pengukuran panjang urethra yang sehat dapat menghasilkan suatu tersebut. Klasifikasi tersebut adalah Fistula vesikovaginal dapat dibagi lagi berdasarkan lokasi anatomi fistula penilaian yang cukup terpercaya. Fistula vesikovaginal dapat dibagi lagi berdasarkan lokasi anatomi fistula tersebut. Klasifikasi tersebut adalah: 1. Juxtauretral, melibatkan lehir kandung kemih dan proksimal uretra dengan kerusakan mekanisme spingter dan terkadang disertai hilangnya uretra. 2. Midvaginal, tanpa melibatkan leher kandung kemih dan trigonum 3. Juxtaservikal, terbuka sampai forniks anterior dengan kemungkinan melibatkan ureter bagian distal 4. Vesikoservikal atau vesikouterina 5. Masife, kombinasi 1 sampai 3 dengan bekas parut dan melibatkan tulang simfisis, sering melibatkan ureter pada pinggir fistula dan prolapsus kandung kemih melalui lubang fistula yang besar. 6. Compound, melibatkan rekto vaginal atau ureterovaginal

11

Gambar 4. Fistula urethrovaginal Secara sedarhana dapat diklasifikasikan kedalam 2 jenis fistula, yaitu:
1.

Fistula simple, panjang vagina normal, fistula diameter tidak lebih 2 cm keganasan yang menjalani radiasi dan panjang fistula > 3 cm. Fistula complex, panjang vagina lebih pendek, terdapat riwayat penyakit dan tidak dijumpai riwayat radiasi atau keganasan vaginal atau serviks.

2.

H. DIAGNOSIS FISTULA GINEKOLOGI Kebocoran urin sebagian tidak disadari oleh penderita itu sendiri. Kemungkinan timbul sekalisekali tergantung pada posisi penderita, atau pada saat kandung kemih sedang terisi penuh. Evaluasi sebaiknya melibatkan pemeriksaan fisik yang lengkap dan terperinci Gambar 3. A. Fistula vesikosevikal, B. Juxtaservikalis, C. midvaginal vesikovaginal, D. Suburethral vesikovaginal, E. Fistula urethrovaginal tentang perjalanan penyakit penderita fistula urogenital dan tercatat dalam suatu sistem pencatatan yang mudah diakses. Penilaian fistula ginekologi antara lain:
1. Gejala klinis. 2. Pemeriksaan vaginal. 3. Test diagnostik, antara lain: a. bahan pewarna atau susu. b. Air dan udara (flat-tire). 12

4. Radiologi. 5. Urografi intravena. 6. Urografi Retrograde. 7. Sistografi. 8. CT-Scan. 9. Laboratorium.

I. GEJALA KLINIS Adanya kebocoran urin melalui vagina tanpa nyeri dan terjadi setelah proses persalinan atau operasi dan radiasi. Pada fistula yang kecil urin dapat merembes atau mungkin terjadi sekali sekali tergantung pada vesika yang terisi penuh atau posisi tubuh. Gejala yang paling sering pada fistula vaginal adalah inkontinensia total involunter. Dijumpai iritasi daerah vulva, paha dan infeksi saluran kemih. Dalam anamnesa harus diupay akan mengetahui penyebab fistula dengan pertanyaan yang spesifik tentang etiologi. Juga perlu diperoleh catatan medis sebelumnya tentang penyakit, kondisi atau terapi yang bisa saja menyebabkan berkembangnya fistula dan juga setiap pengobatan fistula atau prosedur yang mungkin pernah dilakukan untuk menyembuhkan

Gambar 5. Fistula Ureterovaginal

13

J. Pemeriksaan Vagina Vulva dan perineum biasanya basah dan disertai bau urin. Dengan bantuan spekulum biasanya mudah mencari lokasi fistula urogenital yang melibatkan kandung kemih atau urethra bila pasien diperiksa dalam posisi litotomi. Dipakai spekulum sims untuk pemeriksaan dinding vagina, dan bisa digunakan probe kecil untuk memperlihatkan fistula diantara urethra atau kandung kemih dengan vagina. Adanya urin di forniks posterior vagina merupakan keadaan yang abnormal. Walaupun pemeriksaan vagina dapat menentukan lokasi fistula dan kebocoran dapat diperlihatkan, namun penilaian lebih lanjut masih dibutuhkan. K. Uji Diagnostik Dalam Uji ini dapat digunakan bahan warna dan metode antara lain: 1. Indigo car mine atau methylene blue dalam air steril atau saline normal atau susu (misalnya, formula bayi steril) digunakan untuk mengisi kandung kemih melalui kateter transurethral. Bila ada fistula vesikovaginal, cairan berwarna atau susu biasanya bisa dilihat bocor ke dalam vagina. Bila fistula kecil, mungkin perlu menempatkan sedikit bola kapas secara longgar melalui liang vagina dan pasien diinstruksikan bergerak-gerak berganti posisi agar terjadi kebocoran dari kandung kemih ke dalam vagina. Bila ini terjadi, bola kapas akan basah dan berwarna biru di dalam vagina. Namun jika metoda ini gagal, atau tampon terlihat basah tapi tidak terdapat pewarnaan, Pyridium oral atau indigo carmine intravena kemudian dapat ditentukan adanya fistula ureterovaginal, ureterouterin dan ureteroservikal. 2. Double-dye test digunakan untuk mendeteksi fistula ureterovaginal. Pasien diberikan phenazopyridine oral (Pyridium) dan indigo carmine atau methylene blue dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui kateter urethra. Pyridium membuat urin warna merah dan methylene blue atau indigo carmine membuat urin berwarna biru. Adanya warna biru pada tampon menunjukkan fistula vesikovagina atau urethrovagina dan jika berwarna merah menunjukkan fistula ureterovagina.

14

3. Test tampon Moir dapat digunakan untuk membantu mendeteksi fistula ureterovaginal. Setelah fistula vesikovaginal disingkirkan dan semua cairan berwarna biru telah dikeluarkan dari kandung kemih. Beberapa tampon ditempatkan secara longgar pada keseluruhan panjang liang vagina, dan indigo carmine (5 mL) diberikan secara intravena. Kemudian pasien disuruh berjalan - jalan di sekitar ruangan. Setelah 10 sampai 15 menit, tampon satu persatu diambil dari vagina, apabila tampon bagian bawah tidak berwarna biru dan tampon pada puncak vagina berwarna biru, maka harus dicurigai adanya fistula ureterovaginal. 4. Uji air dan udara(flat-tire) Dalam metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi fistula vesikovaginal. Pasien dengan knee-chest position, vagina diisi dengan air steril atau saline normal dan udara atau karbon dioksida dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui kateter transurethral kecil. Gas yang keluar melalui fistula dibuktikan oleh gelembung-gelembung cairan di dalam vagina. Ini sama halnya dengan menguji sebuah tabung atau ban apabila ada bagian yang bocor. Uji ini sangat membantu dalam mendiagnosis fistula vesikovaginal yang sangat kecil. L. Endoskopi Cystourethroscopy adalah bagian penting dari penilaian prabedah pasien kali selama penanganan prabedah fistula urogenital. dari fistula dan hubungan fistula vesicovaginal dengan muara ureter. Yang penting,cystourethroscopy juga memungkinkan penilaian jaringan di sekitar fistula. Kondisi jaringan ini menentukan ketepatan waktu perbaikan secara bedah. Ada kemungkinan bahwa cystourethroscopy harus diulang beberapa dengan fistula urogenital. Ini membantu memastikan lokasi anatomis yang pasti. M. Radiologi Urografi intravena harus dipertimbangkan pada wanita penderita fistula urogenital, terutama bila fistula merupakan akibat dari proses penyakit, histerektomi atau terapi radiasi yang dapat menyebabkan fistula ureterovaginal atau obstruksi ureter. Ureterografi retrograde dilakukan pada kasus yang dicurigai keterlibatan ureter tapi belum dapat
15

dideteksi pada gambaran urogram intravena. CT-Scan dilakukan pada penderita yang terkait dengan neoplasma pelvis dan obstruksi ureter. Kebanyakan fistula yang terjadi adalah cukup besar untuk dapat diketahui dengan pemeriksaan sederhana. Tapi banyak juga yang diameter fistula terlalu kecil untuk dapat dideteksi dan kemudian dapat menutup dengan sendirinya tanpa lanjutan gejala klinis. Fistula vesikoservikal sebagai suatu bentuk fistula yang terjadi sebagai akibat dari tindakan sesarea. Fistula tersebut sangat sulit untuk diidentifikasi dan jarang dijumpai. Lesi mungkin tidak diketahui dan dapat pula salah dalam diagnosis sebagai sekret vagina biasa atau inkotinensia urin transien. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan menyeluruh pada saluran urinerenbagian atas dan bawah secara sistematik. Riwayat perjalanan penyakit penderita dan pemeriksaan fisik diikuti dengan uji pewarnaan ganda dapat menerangkan terjadinya fistula tersebut. Urografi ekskretori dan pielografi retrograde dipergunakan untuk evaluasi saluran urineren bagian atas untuk menghilangkan kemungkinan adanya kelainan pada ureter oleh sebab lain, sedangkan sistografi, evaluasi untuk saluran urineren bagian bawah. Fistula sebaiknya dapat diketahui segera dan kemudian merencanakan untuk tindakan perbaikan fistula. Pada kasus fistula vesikovagina dapat dideteksi secara visual. Sedangkan jenis lain seperti fistula ureterovaginal atau vesikouterina dapat dibantu dengan pemeriksaan urogram atau flouroskopi. N. Laboratorium Dilakukan pemeriksaan kadar urea dari cairan yang keluar dari vagina yang dicurigai suatu fistula, hasil kadar urea yang tinggi menandakan cairan tersebut adalah urin. Cairan urin sebaiknya dilakukan kultur dan uji sensitivitas, apabila ada infeksi diberikan terapi antibiotik yang sesuai. O. Penatalaksanaan fistula urogenital 1. Manajemen konservatif Jika suatu fistula dijumpai beberapa hari setelah pembedahan ginekologi,kateter surprapubis atau transurethral terpasang dan dipertahankan sampai 30hari. Fistula vesikovaginal (FVV) yang kecil < 1 cm akan hilang atau
16

berkurang selama periode waktu tersebut. Kebocoran urin dari fistula yang kecil dapat sembuh dengan pemasangan kateter foley, fistula yang terjadi dapat menutup spontan kembali setelah 3 minggu pemasangan kateter untuk drainase urin. Selain itu jika dalam kurun waktu 30 hari setelah pemasangan kateter, fistula semakin mengecil, dari uji klinis yang dilakukan, mempertahankan kateter tersebut 2 3 minggu lagi dapat memberikan manfaat. Jika lebih dari 30 hari tidak ada perubahan, dalam kasus FVV tidak akan menutup secara spontan. Untuk itu tidak dibenarkan lagi mempertahankan kateter lebih lama sebab akan memberikan kesempatan untuk terjadi infeksi yang lebih besar daripada pengecilan fistulanya sendiri. Pemberian kortikosteroid diharapkan dapat memfasilitasi percepatan penyembuhan dengan mengurangi edema dan fibrosis pada fistula. Dosis kortikosteroid yang dianjurkan, diberikan kortison 100 mg setiap hari. Setelah 10 hari kateter dilepas apabila fistel tidak menutup dilakukan tindakan operasi. Suatu fistula semakin besar kemungkinan untuk sembuh sendiri pada keadaan; fistula yang terjadi dalam waktu 7 hari setelah pembedahan, ukuran fistula < 1 cm, suatu fistula simple, tidak ada riwayat radiasi dan penyakit keganasan genitalia dan penderita telah menjalani setidaknya 4 minggu pemasangan kateter menetap. Sebagian fistula vesikovaginal yang berdiameter hingga 3 mm bisa disembuhkan dengan superficial electro surgical coagulation dari epitel saluran yang mengalami fistula diikuti dengan drainase kandung kemih dalam waktu yang lama. Akan tetapi, koagulasi yang lebih dalam akan lebih besar kemungkinan memperberat dan memperbesar fistula. Penyembuhan spontan dapat juga dirangsang dengan pemberian Argentum nitrat 5% atau tinctura jodii memakai kapas lidi di pinggir fistula, selain perawatan rendam (sitzbad) memakai larutan betadine, Kamillosan atau Permanganas kalikus 2-3 kali sehari.

17

2. Perawatan prabedah Perlu dilakukan tindakan untuk memperbaiki keadaan umum. Penderita yang sudah menopause dan sudah menjalani oophorectomy diberikan terapi estrogen dapat secara topikal atau sistemik yang berguna untuk memperbaiki jaringan vagina, diberikan suntikan IM 1 mg estradiolbenzoat setiap hari selama 1-2 minggu dan dilanjutkan 2 minggu paska bedah. Infeksi saluran kemih dan agina harus diatasi sebelum tindakan bedah. Topikal dapat diberikan estrogen vaginal cream dengan dosis 2-4 gr setiap pada waktu hendak tidur, atau 1 gr tiga kali seminggu pada waktu tidur. Kulit yang mengalami dermatitis akibat pengaruh urin diatasi dengan pemberian salep antibiotika dan setelah peradangan sembuh kulit dilindungi dengan pemberian pasta zinc. Penilaian keadaan umum dan kondisi jaringan di sekitar fistula menentukan waktu pembedahan fistula urogenital. 3. Penentuan waktu operasi Penentuan waktu melakukan tindakan operasi atau fistelplastik masih merupakan kontroversi dan menjadi kendala bagi dokter maupun penderita sendiri. Padahal penentuan waktu tindakan sangat penting dalam menentukan keberhasilan tindakan operasi. Selama ini dipahami adalah interval 3 bulan sejak terjadinya fistula atau selama 1 tahun jika fistula yang berhubungan dengan terapi radiasi. Dalam kurun waktu tersebut diharapkan peradangan atau infeksi telah diatasi atau dalam masa pengobatan seperti antibiotik, estrogen atau steroid. Mempersingkat waktu untuk dapat segera melakukan tindakan operasi fistula sangatlah bermanfaat sebab dampak sosial dan psikologis akibat fistula itu sendiri sudah cukup mengganggu penderita, namun demikian mempertimbangkan upaya-upaya yang bertujuan untuk keberhasilan tindakan operasi fistula adalah yang lebih utama. Belum ada kesepakatan berkenaan dengan tindakan bedah segera atau penundaan dalam penatalaksanaan bedah fistula. Pemahaman segera adalah bila dalam kurun waktu 1 3 bulan atau kurang dari 6 bulan, sedangkan penundaan adalah dalam interval 2 4 bulan atau 6 bulan dan lebih Keberhasilan tindakan operasi lambat dan segera menunjukkan perbedaan angka keberhasilan tindakan.
18

Keberhasilan tindakan segera lebih efektif diutarakan oleh Waaldijk (2004) Sedangkan penundaan tindakan untuk menghilangkan infeksi biasanya dianjurkan pada kasus fistula obstetrik. Keadaan lain jika infeksi dan peradangan sudah hilang, langsung dilakukan tindakan bedah fistula. Perbedaan pendapat tersebut tercetus dari besarnya dampak sosial dan psikologis penderita yang mengalami penundaan tindakan, sebab terjadi penurunan kualitas hidup dan isolasi lingkungan. Dampak tersebut bisa lebih besar daripada morbiditas yang terjadi. Untuk itu sebagian peneliti menganjurkan pemilihan penderita agar tidak semua kasus fistula urogenital dilakukan penundaan tindakan operasi repair. Waktu yang tepat untuk dilakukan tindakan operasi berbeda pada setiap penderita, penilaian tergantung keadaan jaringan fistula. Operasi dapat dilakukan apabila jaringan fistula tidak ada peradangan, sudah terjadi epitelialisasi dan tidak ada jaringan granulas i dan jaringan yang nekrotik. Keberhasilan operasi fistulaplastik sangat dipengaruhi beberapa faktor antara lain peradangan pada pinggir fistula, edema jaringan sekitarnya sehingga tidak dapat dijahit, atau dinding vagina yang atrofi. Semua ini memerlukan persiapan prabedah yang baik dan ideal membutuhkan waktu yang cukup untuk pemulihan jaringan agar fistula tersebut laik untuk direparasi. Untuk mendapatkan keberhasilan yang tinggi dari operasi fistelplastik dimana jaringan dinding fistula dan sekitarnya sudah layak untuk dilakukan operasi dengan pertimbangan berikut :
a. Fistula akibat partus lama yang menyebabkan nekrosis jaringan sehingga

menimbulkan fistula, maupun akibat tindakan pembedahan ginekologik atau akibat trauma lainnya, maka saat yang baik untuk melakukan operasi yaitu 3 bulan setelah terjadinya fistula.
b. Fistula yang terjadi akibat terapi radiasi terhadap proses keganasan maka saat

yang baik untuk melakukan operasi yaitu 1 tahun setelah terjadinya fistula. 4. Penanganan Bedah Prinsip dasar pembedahan untuk menutup suatu fistula adalah sama, yaitu mobilitas jaringan, vaskularisasi yang baik dan penyatuan jaringan yang baik. Namun
19

demikian terdapat beberapa perbedaan seiring dengan perkembangan penanganan kasus fistula dalam penentuan waktu pembedahan dan tehnik pembedahan. Keutamaan dalam pelaksanaan tindakan bedah fistula adalah tampilan fistula yang adekuat, hemostasis yang baik, mobilisasi yang luas dari vagina dan kandung kemih dan menghilangkan jaringan yang mengalami devaskularisasi dan benda asing, jaringan bebas regangan, permukaan jaringan sesuai jalur dan konfermasi penutupan fistula dan drainase kandung kemih selama 10 14 hari. Pendekatan operasi untuk fistula urogenital pada prinsipnya ada 3 pilihan yaitu : a. Transvaginal b. Transabdominal (suprapubik) c. Kombinasi transvaginal dan transabdominal Ahli Obstetri dan Ginekologi yang sudah terlatih dan terbiasa untuk menangani fistula urogenital lebih memilih pendekatan transvaginal sebab lebih mudah, tidak berbahaya dan lebih besar keberhasilannya dibandingkan dengan pendekatan transabdominal. Pendekatan abdominal digunakan pada kasus fistula ureterovaginal, fistula urogenital yang melibatkan organ lain (misalnya, uterus, usus), penyakit keganasan di daerah pelvis yang rekuren atau terapi radiasi pelvis yang ekstensif sebelumnya. Untuk fistula yang lebih besar dan pinggirnya terfiksasi oleh jaringan sikatriks pada simfisis pubis maka operator akan memilih kombinasi keduanya. a. Pendekatan Transvaginal Penanganan fistula urogenital dengan pendekatan transvaginal hanya dikerjakan pada jenis-jenis fistula urethrovaginal, vesikovaginal dan tidak dilakukan pada fistula ureterovaginal yang sering terjadi sebagai komplikasi operasi histerektomi. Posisi penderita menjadi perhatian untuk tujuan pamaparan daerah fistula yang lebih adekuat, beberapa posisi dalam pendekatan transvaginal antara lain adalah : i. Posisi Lawson Posisi ini ideal untuk fistula pada urethra proksimal dan leher kandung kemih. Pasien ditem patkan dalam posisi prone dengan lutut diangkat melebar disangga dengan penyangga kaki, dikombinasi dengan anti tredelenberg sehingga lapangan operasi lebih jelas.
20

ii. Posisi Jackknife Posisi ini ideal untuk fistula pada urethra proksimal dan leher kandung kemih. Pasien ditempatkan pada posisi prone dengan abduksi dan fleksi panggul. iii. Posisi dorsal litotomi Posisi dorsal litotomi dengan tredelenberg merupakan posisi yang baik untuk reparasi fistula vesikovaginal yang tinggi.

b. Tehnik Latzko

Gambar 5. Posisi Lawson Tehnik Latzko

Gambar 6. Posisi Jacknife

diindikasikan untuk fistula vesikovaginal kecil pada puncak vagina sebagai komplikasi dari histerektomi transvaginal atau transabdominal. Karena prosedur biasanya merupakan kolpokleisis apikal dan tidak melibatkan bedah pada saluran fistula atau kandung kemih, prosedur ini bisa dilakukan segera setelah berkembangnya fistula vesikovaginal.
21

i. Dengan pasien pada posisi litotomi, em pat jahitan penggantung

ditempatkan di sekitar puncak vagina pada posisi jam 12, 3, 6 dan 9, sedikitnya 2 cm dari tepi fistula.
ii. Dengan tarikan pada jahitan penggantung ini, dibuat gambaran lingkaran

atau oval 2 cm ke segala arah dari tepi lubang fistula, dan ini secara kasar dibagi menjadi empat kuadran.
iii.

Hidrodiseksi dengan saline atau bahan vasokonsriktif encer bisa digunakanuntuk memisahkan epitelium vagina di dalam lingkaran dari lapisan otot dibawahnya. Semua jaringan epitelium di daerah lingkaran tersebut dibuang. Penempatan kateter balon kecil melalui fistula dapat membantu dalam mobilisasi dan memaparkan puncak vagina.

iv. Setelah seluruh epitelium vagina diangkat, vagina ditutupkan ke atas

saluran fistula dengan lapisan pertama jahitan terputus bahan yang dapat diserap (chromoic 3-0 atau 4-0) dan kemudian dua lapisan jahitan terputus dengan benang absorpsi lambat (misalnya, polyglactin atau asam polyglycolat 3-0 atau 4-0 ).
v. Dilakukan pengujian kedap air dengan menempatkan 250 sampai 300

mL larutan steril (misalnya, air dengan bahan pewarna indigo carmine, saline atau susu) ke dalam kandung kemih. Apabila terjadi kebocoran, pada tempat kebocoran dilakukan jahitan secara terputus menutupi tepi kebocoran. Sesudah jahitan kedap air, epitelium vaginal diaproksimasi dengan jahitan terputus benang dan

absorpsi lambat.

22

Gambar 7. Fistelplastik tehnik Latzko

BAB II

23

KESIMPULAN

1.

Menurut International Continence Society, inkontinensia urin adalah keluhan berkemih tanpa disadari (involunter) yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata

2. 1) 2) 3) 4) 5)

Etiologi: a. Inkontinensia yang berhubungan dengan kandung kemih : Penurunan kapasitas tampung Disfungsi detrusor Komplians buruk Pengosongan urine yang tak sempurna Urgensi sensoris b. Inkontinensia yang berhubungan dengan sfingter

3.

Faktor resiko inkontinensia urin: usia, ras, obesitas, menopause, persalinan dan multipara, kebiasaan merokok, penyakit paru kronis dan histerektomi.

4.

Klasifikasi a. Berdasarkan keluhan yaitu: Inkontinensia urgensi,

inkontinensia stress dan inkontinensia totalis b. neurophatic incontinence c. d. e. 5. 6. Mixed Incontinence Inkontinensia karena sebab lain Stress inkontinensia pada wanita Berdasarkan kelainan anatomis, yaitu: overflow

incontinence, functional / transient urinary incontinence, continuos incontinence,

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Simptom Urinaria:
24

a.Frekuensi urinasi b.Retensi urin c.Simptom urinari lain 7. Penatalaksanaan pada inkontinensia urin terdiri dari tatalaksana konservatif berupa dukasi intervensi gaya hidup, terapi fisik dengan pelatihan otot dasar panggul, Pesarium dan Urethral Inserts, terapi medikamentosa, tatalaksana bedah, neuromodulasi sakral dan rujukan. 8. Prognosis inkontinensia urin sangat bergantung pada diagnosis, tatalaksana yang akurat, identifikasi penyebab sejak dini, indikasi rujuk ke pelayanan kesehatan spesialistik. Dengan demikian morbiditas pasien dapat ditekan dan kualitas hidup pasien dapat lebih ditingkatkan

25

DAFTAR PUSTAKA
1.

Lenan, Mac. 2000. The prevalence parity and mode of delivery. Br J Obstet

Gynaecol.
2.

Brunner & Suddrath. 2002. Buku Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


3.

Santoso, Budi. 2008. Inkontinensia Urin pada Perempuan. Majalah

Kedokteran Indonesia. Vol. 58. No. 7. 4. 5.


6.

Gerald, MPF. 2000. Ultrastructure of detrusor and urethral smooth muscle

in women with urinary incontenence. Am J Obstet Gynaecol.


7.

Roger. 2003. Anatomy of pelvic support. Ostergards urogynecology and

pelvic floor dysfunction. Edisi 5. Philadelphia: Lippincott Wiiliams and Wilkins.


8.

Murray & Chaote. 2005. Research in pelvic floor muscle strength in and nuliparaous women. Available from:

postpartum

http://www/ibismedical.com/notekege.html. Diakses tanggal 5 Juni 2012. 9. Yunizaf H. Overactive Bladder. 2001. Satelit Simposium Inkontinensia.

Kumpulan Makalah. Denpasar, Bali: KOGI. 10. Petrou SP, Baract F. Evaluation of Urinary Incontinence in Women. Braz J

Urol;27:165-0, 2001.

26

11. (4):164-9, 2000. 12. 13.

Siddiqi S, Kausar S.Urinary Incontinence in Women. Medicine Today;3

Purnomo, B Basuki. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang: Sagung Seto. Santoso, B Iman. 2008. Inkotinensia Urin pada Perempuan. Jakarta:

Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI. 14. Hannestad YS, Rortveit G, Sandvik H, et al. A community-based

epidemiological survey of female urinary incontinence: the Norwegian EPINCONT study. Epidemiology of Incontinence in the County of Nord-Trondelag. J Clin Epidemiol 53:1150, 2000. 15. Bump RC, McClish DK. Cigarette Smoking and Urinary Incontinence in

Women. Am J Obstet Gynecol 167:1213, 2005. 16. Hannestad YS, Rortveit G, Daltveit AK, et al. Are Smoking and Other

Lifestyle Factors Associated with Female Urinary Incontinence? The Norwegian EPINCONT Study. BJOG 110:247, 2003. 17. Bai SW, Kang JY, Rha KH, et al. Relationship of Urodynamic Parameters

and Obesity in Women with Stress Urinary Incontinence. J Reprod Med 47:559, 2002. 18. Fantl JA, Cardozo L, McClish DK. Estrogen Therapy in The Management

of Urinary Incontinence in Postmenopausal Women: a Meta-analysis. First report of the Hormones and Urogenital Therapy Committee. Obstet Gynecol 83:12,2004. 19. Iosif CS, Batra S, Ek A, et al. Estrogen receptors in the human female lower

urinary tract. Am J Obstet Gynecol 141:817, 2010. 20. Carlile A, Davies I, Rigby A, et al: Age changes in the human female

urethra: a morphometric study. J Urol 139:532, 2008.

27

21.

Raz R, Stamm WE: A controlled trial of intravaginal estriol in

postmenopausal women with recurrent urinary tract infections. N Engl J Med 329:753, 1993. 22. Fantl JA, Bump RC, Robinson D, et al: Efficacy of estrogen

supplementation in the treatment of urinary incontinence. The Continence Program for Women Research Group. Obstet Gynecol 88:745, 2006. 23. Snooks SJ, Swash M, Henry MM, et al: Risk factors in childbirth causing

damage to the pelvic floor innervation. Int J Colorectal Dis 1:20, 2006. 24. Brown JS, Seeley DG, Fong J, et al: Urinary incontinence in older women:

who is at risk? Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Obstet Gynecol 87(5 Pt 1):715, 2006. 25. Diokno AC, Brock BM, Herzog AR, et al: Medical correlates of urinary

incontinence in the elderly. Urology 36:129, 2010. 26. Bump RC, Norton PA. Epidemiology and natural history of pelvic floor

dysfunction. Obstet Gynecol Clin North Am 25:723, 2008. 27. Vervest HA, van Venrooij GE, Barents JW, et al: Non-radical hysterectomy

and the function of the lower urinary tract. II: Urodynamic quantification of changes in evacuation function. Acta Obstet Gynecol Scand 68:231, 2008. 28. Wake CR: The immediate effect of abdominal hysterectomy on intravesical

pressure and detrusor activity. Br J Obstet Gynaecol 87:901, 2007.

28

29

Anda mungkin juga menyukai