Anda di halaman 1dari 31

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sirosis Hepatis


3.1.1 Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat
dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan
sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat perubahan jaringan ikat
dan nodul tersebut (Sjaifoelah, 1996). Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan
peningkatan vaskularisasi ke hati menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh
darah di daerah gaster maupun esophagus (Widjaja & Karjadi, 2011).

3.1.2 Prevalensi
Di amerika, sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan
29.165 kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000
orang (Starr & Rainess, 2011). Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria
lebih banyak menderita sirosis dari wanita (2 - 4: 1), terbanyak didapat pada usia
dekade kelima (Sjaifoelah, 1996). World Health Organization (WHO) tahun 2002
memperkirakan 783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati
paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus
hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak dihubungkan dengan infeksi virus
hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi
dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati terinfeksi
hepatitis B atau C (Perz, Armstrong, Farrington, Hutin, & Bell, 2006). South East
Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di
Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang
pembawa hepatitis C (WHO, 2011).

12
3.1.3 Etiologi dan Klasifikasi
Sirosis hepatis bisa dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyalahgunaan
alkoholn dan infeksi virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering
(Starr & Rainess, 2011).
Tabel 1. Etiologi Umum Sirosis Hepatis (Starr & Rainess, 2011)

ETIOLOGI UMUM SIROSIS


Inflamasi Genetik/Kongenital
Viral Sirosis Bilier Primer
Hepatitis B (15 %) Defisiensi α1 Anti Tripsin
Hepatitis C (47 %) Hemokromatosis
Schistosomiasis Non-Alkohol Fatty Liver Disease
Autoimun (Tipe 1,2,3) Wilson Disease
Sarcoidosis Gagal jantung Kongestif
Toxic Venoocclusive Disease
Alkohol (18%) (Budd-Chiari Syndrome)
Metrotrexat
Unknown (14 %)

Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka


klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi Child-
Turcotte-Pugh (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Tabel 2. Klasifikasi Sirosis dengan Skor Child-Turcotte-Pugh
Kriteria Klinis dan Nilai*
Biokimia 1 2 3
Bilirubin (mg/dl) < 2,0 2,0-3,0 > 3,0
Albumin (g/dl) > 3,5 2,8-3,5 < 2,8
Ascites - Ringan-Sedang Berat atau refrakter
terhadap diuretik
Ensefalopati - Stadium I/II Stadium III/IV
Waktu Protrombin#
Perpanjangan <4 4-6 >6
INR <1,7 1,7-2,3 >2,3

* Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, kelas A (5-6 poin) mengindikasikan


penyakit hati least severe, kelas B (7-9 poin) mengindikasikan penyakit hati
moderately severe dan kelas C (10-15 poin) mengindikasikan most severe.
# Hanya salah satu. Pemanjangan waktu protrombin atau INR yang digunakan.

13
3.1.4 Patogenesis
Infeksi hepatitis viral tipe B atau C menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jarigan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran
histologis sirosis hati sama atau hampir sama (Price & Wilson, 2006)
Patogenesis sirosis menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya
peranan sel stelata (stellate cell), yang berperan dalam keseimbangan matriks
ekstraseluler dan proses degradasi, jika terpapar faktor tertentu secara terus
menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik) maka sel stelata akan
menjadi sel yang membentuk kolagen dan jika terus berlangsung maka jaringan
hati normal akan diganti oleh jaringan ikat Septa bisa dibentuk dari sel retikulum
penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat
menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang lainnya atau porta dengan
sentral (bridging necrosis).
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai
ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan
gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian
dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap
berikutnya terjadi peradangan dari sirosis pada sel duktules, sinusoid
retikuloendotel, terjadi abrogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari
reversibel menjadi ireversibel bila telah tertbentuk septa permanen yang aselular
pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung etiologi
sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis
daerah portal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limfosit T
dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator
timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis
aktif. Septa aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.

14
3.1.5 Diagnosis
Pasien dengan sirosis biasanya akan tampak gejala dan tandanya baik dari
penyakit sirosis itu sendiri ataupun dari komplikasinya (Starr & Rainess, 2011)
Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas manifestasi klinis pada
pemeriksaan fisik, laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan
pemeriksaan biopsi hati (Sjaifoelah, 1996).
Suharyono Soebandiri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah
ini sudah dapat menegakkan diagnosa sirosis hati dekompensasi :
1. Asites
2. Splenomegali
3. Perdarahan varises
4. Albumin yang merendah
5. Spider naevi
6. Eritema palmaris
7. Vena kolateral (Sjaifoelah, 1996)

3.1.5.1 Manifestasi Klinis


Secara umum, meskipun memiliki banyak etiologi dan pola, namun
hamper semua jenis sirosis memiliki gambaran klinis yang sama. Masa ketika
sirosis bermanifestasi sebagai masalah klinis hanya sepenggal waktu dari
perjalanan klinis selengkapnya. Sirosis bersifat laten selama bertahun-tahun dan
perubahan patologis yang terjadi berkembang lambat hingga akhirnya gejala yang
timbul menyadarkan akan kondisi ini dan dalam waktu yang sama terjadi
kemunduran fungsi hati secara bertahap (Price & Wilson, 2006)
 Fase Kompensasi Sempurna
Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan
samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak sehat, merasa kurang
kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,
kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan
perasaan cepat lelah akibat deplesi protein (Price & Wilson, 2006). Keluhan
dan gejala tersebut tidak banyak bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif

15
tanpa sirosis hati dan tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati
(Sjaifoelah, 1996).
 Fase Dekompensasi
Manifestasi klinis pasien sirosis pada fase dekompensasi secara garis besar
dibagi menjadi 2 yaitu (Price & Wilson, 2006) :
1. Manifestasi Gagal Hepatoseluler
Ikterus terjadi pada 60 % penderita selama perjalanan penyakitnya
dan biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih
sering terjadi. Penderita dapat menjadi ikterus selama fase
dekompensasi disertai gangguan reversibel fungsi hati. Gangguan
endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon korteks adrenal, testis,
dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati. Gangguan
pada hati juga akan mengganggu proses metabolime dan inaktivasi
dari hormon-hormon tersebut. Spider nevy yang terdiri dari arteriola
sentral tempat memanvarnya banyak pembuluh darah halus akan
terlihat pada kulit terutama di bagian leher, dada, dan bahu. Spider
nevy, atrofi testis, ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta
eritema palmaris diduga disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam
sirkulasi. Peningkatan pigmentasi kulit juga diduga disebabkan oleh
aktivitas hormon perangsang melanosit (Melanocyt-stimulating
Hormone) yang bekerja secara berlebihan. Gangguan hematologik
yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan perdarahan,
anemia, leukopenia dan trombositopenia. Penderita sering mengalami
perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Masa
protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini dapat terjadi akibat
berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati.
Anemia, leukopenia, dan trombositopenia diduga disebabkan oleh
hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif
menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga
menyebabkan anemia adalah defisiensi besi, asam folat, dan vitamin
B 12 yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan

16
hemolisis eritrosit. Penderita juga akan lebih mudah terserang infeksi.
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites dan dapat
dijelaskan akibat hipoalbuminemia serta retensi garam dan air.
Kegagalan hati untuk inaktivasi aldosteron dan hormone anti diuretik
merupakan penyebab retensi natrium dan air. Fetor hepatikum
merupakan bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita dan
diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam memetabolisme
metionin. Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut
adalah ensefalopati hepatikum yang diyakini akibat kelainan
metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap
toksin.
2. Manifestasi Hipertensi Portal
Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena
porta yang menetap di atas nilai normal (6-12 cm H2O). Tanpa
memandang penyakit dasarnya, mekanisme primer penyebab
hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah
melalui hati. Selain itu biasanya terjadi peningkatan aliran arteria
splanknikus. Kombinasi kedua faktor yaitu menurunnya aliran keluar
melalui vena hepatica dan meningkatnya aliran masuk bersama-sama
menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan yang
berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral
guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada
sistem portal mengakibatkan splenomegali dan sebagian bertanggung
jawab terhadap tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan
cairan encer intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor
utama patogenesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada
kapiler usus (Hipertensi Portal) dan penurunan tekanan osmotik
koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor lain yang berperan adalah
retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati.
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi
portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui

17
melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi venaa-vena ini
(Varises Oesofagus) varises ini terjadi sekitar 70% pada pasien
dengan sirosis lanjut. Perdarahan pada varises ini sering menyebabkan
kematian. Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding
abdomen dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-
vena skitar umbilicus (Caput Medusae). Sistem vena rectal membantu
dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan
dapat menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna, perdarahan
pada hemorhhoid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di
daerah ini tidak setinggi tekanan pada esophagus karena jarak yang
lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan
berdasarkan kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan
darah yang lebih tinggi pada vena lienalis.

3.1.5.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom
mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan
leukopenia dan trombositopenia.
a) Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk
tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya
didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami
kerusakan. Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini
lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase
dan gama GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
b) Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin
merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.
c) Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.
d) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.

18
e) Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan
fungsi hati. Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa
protrombin.
f) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan
kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.
g) Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab,
HbeAg/ HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.

Pada pemeriksaan darah, saat ini dapat ditentukan apakah pada pasien
mengalami sirosis atau tidak dengan menghitung dengan rumus P2/MS yakni
ratio jumlah platelet dan fraksi monosit serta fraksi segmentasi neutrofil.

Jumlah Platelet (109/L) 2


Formulasi P2/MS =
Fraksi monosit (%) x Segmented Neutrofil Fraction (%)

Keterangan.
Untuk indikator sirosis hepatis bila nilai P2/MS < 45.0 maka berarti ada
sirosis hepatis, bila nilai > 60.0 berarti tidak ada sirosis hepatis. Untuk
indikator fibrosis yang signifikan, bila nilai P2/MS <62.0 berarti ada fibrosis
signifikan, namun bila nilai > 115.0 berarti tidak ada fibrosis signifikan
(Gentile & Thabut, 2012).

2. Pemeriksaan AFP
Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi
transformasi kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai
diagnostik suatu kanker hati primer.

3. Pemeriksaan penunjang lainnya.


EGD, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografi.

19
3.1.6 Penatalaksanaan
Terapi dan prognosis sirosis hati tergaantug pada derajat komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi portal (Sjaifoelah, 1996).
 Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik, dilakukan kontrol
yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori dan protein,
lemak secukupnya (DH III-IV). Bila timbul ensefalopati hepatikum,
protein dikurangi (DH I).
 Pasien sirosis hati dengan penyebab diketahui, seperti alkohol,
hemokromatosis, penyakit Wilson, diobati penyebabnya.
 Ada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
1. Untuk asites, diberi rendah garam 0,5 gr/hari dan total cairan 1,5 l/hr.
spironolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hr dinaikkan
sampai total dosis 800 mg sehari. Idealnya penurunan berat badan 1
kg/hr. Bila perlu dikombinasikan dengan furosemid.
2. Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat dirumah sakit sebagai
kasus perdarahan saluran cerna atas.
3. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti
pemberian KCL pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein
makanan dengan memberi diet DH I, aspirasi cairan lambung bagi
pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma
untuk mengurangi absorpsi bahan nitrogen dan pemberian duphalac
2 x C II.
4. Peritonitis bacterial spontan diberi antibiotik pilihan, seperti
cefotaxim 2 gr/8 jam iv.

3.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dialami oleh penderita sirosis adalah :
 Kegagalan hati
 Hipertensi portal
 Varises Esofagus
 Asites

20
 Ensefalopati
 Peritonitis bacterial spontan.
 Sindrom hepatorenal.
 Transformasi kearah kanker hati primer.

3.1.9 Prognosis
Prognosis tidak baik bila
 Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%
 Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar
 Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)
 Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus
 Hati mengecil
 Perdarahan akibat varises esofagus
 Komplikasi neurologis
 Kadar protrombin rendah
 Kadar natrium darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg

3.2 Perdarahan Varises Esofagus


3.2.1 Definisi
Varises gastroesofagus adalah pelebaran pembuluh darah di gaster atau
esofagus yang terjadi semakin besar. Pecahnya varises tersebut akan
menimbulkan perdarahan. Varises terjadi pada hampir 50% pasien dengan sirosis
hati (Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, & Carey, 2007). Indikator peningkatan faktor
resiko terjadinya perdarahan pada varises esophagus adalah skor Child-Pugh,
perhitungan platelet, tekanan vena porta, dan muncul atau tidaknya hepatocellular
carcinoma, splenomegali dan atau ascites. Skor Child-Pugh menunjukkan
keparahan dari penyakit liver dan telah dilaporkan dapat menjadi penanda yang
andal. Tekanan dan aliran dari vena porta dan vena hepatica juga terbukti secara
signifikan menjadi prediktor dari perdarahan varises esophagus. Sebagai faktor
local, keberadaan Red Color Sign (RCS) merupakan prediktor penting dari
perdarahaan varises esophagus dan juga sudah diketahui bahwa perdarahan

21
varises berasal dari rupture pada RCS ini. Karena itu endoskopi untuk melihat
keberadaan RCS menjadi penting untuk dilakukan (Okamoto, et al., 2008).
Varises gastroesofagus timbul pada hampir setengah pasien sirosis hati
dan tertinggi pada pasien sirosis Child- Turcotte-Pugh kelas B atau C. VGE
sendiri terjadi sekitar 7% per tahun. Angka kejadian perdarahan varises yang
pertama dalam satu tahun sekitar 12% dan terjadinya rekurensi perdarahan varises
diperkirakan 60% dalam satu tahun (Bosch & Garcia-Pagan, 2003). Mortalitas
dalam enam minggu setiap perdarahan sekitar 15- 20%, berkisar antara 0% pada
pasien dengan Child kelas A sampai sekitar 30% pasien dengan Child kelas C
(Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, & Carey, 2007).
Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan
komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hati. Sayangnya, pasien seringkali
datang untuk pertama kali karena hematemesis atau melena dan baru kemudian
terdiagnosis sirosis hati. Padahal ancaman kematian selalu ada setiap terjadi
perdarahan. Karena itu, faktor-faktor yang menjadi risiko pecahnya VGE berulang
perlu diketahui agar pengelolaan pasien lebih optimal (Widjaja & Karjadi, 2011)
Patofisiologi pecahnya VGE pada sirosis hati penting diketahui agar
sasaran terapi untuk mencegah perdarahan menjadi jelas. VGE terjadi karena
hipertensi porta yang diakibatkan oleh peningkatan tahanan ke aliran porta dan
banyaknya darah yang masuk ke vena porta. Kedua mekanisme itu menjadi
sasaran tata laksana pasien agar tidak terjadi perdarahan berulang akibat pecahnya
VGE, ditambah dengan intervensi lokal (seperti ligasi) (Dib, Oberti, & Cales,
2006). Pasien sirosis hati tanpa atau dengan VGE yang belum pernah mengalami
perdarahan mempunyai kemungkinan rendah terjadinya perdarahan dan kematian.
Akan tetapi, jika sudah pernah mengalami perdarahan sekali saja, kemungkinan
perdarahan berulang menjadi sangat tinggi (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Ditambah lagi, angka survival lebih rendah pada pasien dengan perdarahan
berulang dibandingkan dengan perdarahan yang baru sekali terjadi (Nidegger,
Ragot, Berthelemy, Masliah, Pilette, & Martin, 2003). Angka perdarahan ulang
berkisar antara 30-40%. Pasien yang tetap hidup pasca perdarahan pertama juga
masih beresiko dalam 1-2 tahun ke depan untuk terjadi perdarahan ulang.

22
Berkembangnya pengobatan dan cara baru ternyata tidak menurunkan angka
kejadian perdarahan varises esofagus pada pasien-pasien sirosis, dengan angka
insiden berkisar antara 15-35%. Perdarahan varises esophagus merupakan proses
yang panjang dimulai dari peningkatan tekanan vena portal, pembentukan
kolateral yang kemudian menjadi varises, dilatasi progresif dari varises, dan
berakhir dengan rupture dan pendarahan. Pembentukan varises memerlukan waktu
yang lama, dengan insiden varises baru per tahun sebesar 5%.
Fakta-fakta diatas memberikan kesimpulan bahwa pengelolaan perdarahan
varises esofagus merupakan bagian yang terintegrasi dari penanganan penyakit
sirosis dengan hipertensi portal. Penanganan perdarahan varises esofagus meliputi
pengenalan dini terhadap varises esophagus yang baru terbentuk, pencegahan
primer terhadap serangan perdarahan pertama, mengatasi perdarahan aktif, dan
prevensi perdarahan ulang setelah perdarahan pertama terjadi.
3.2.2 Patogenesis
Varises gastroesofagus merupakan akibat langsung hipertensi porta karena
peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran darah yang masuk ke
vena porta. Hal tersebut sejalan dengan hukum Ohm yang menyebutkan bahwa
tekanan vena porta adalah hasil dari tahanan vaskular (R) dan aliran darah (Q)
pada bagian porta (P = Q x R) (Dib, Oberti, & Cales, 2006). Peningkatan tahanan
(R) terjadi melalui dua cara: mekanik dan dinamik. Tahanan mekanik disebabkan
oleh gangguan struktur vaskular hati akibat fibrosis, nodul regeneratif dan
deposisi kolagen di ruang disse, sedangkan tahanan dinamik dikarenakan
peningkatan tonus vaskular hati yang dimodulasi oleh vasokontriksi endogen
seperti norepinefrin, endotelin I, angiotensin II, leukotrien dan tromboksan A2.
Peningkatan vasokonstriktor endogen diakibatkan oleh disfungsi endotel serta
penurunan bioavaibilitas nitrit oksida. (Garcia-Tsao & Bosch, 2010). Penyebab
peningkatan aliran darah (Q) adalah peningkatan curah jantung dan penurunan
tahanan vaskuler sistemik. Hal tersebut mengakibatkan sirkulasi meningkat
dengan vasodilatasi arteri sistemik dan splanknik, yang semakin memperburuk
hipertensi porta. Selain itu, sebagai usaha mendekompresi sistem vena porta,
faktor-faktor angiogenik akan membentuk pembuluh darah kolateral sehingga

23
terjadi hubungan antara sirkulasi sistemik dengan porta. Hal tersebut justru
menambah aliran darah yang akan memperburuk hipertensi porta (Dib, Oberti, &
Cales, 2006). Peningkatan tekanan porta (hipertensi porta) menyebabkan dilatasi
pembuluh darah terutama yang berasal dari vena azygos, yang kemudian
menyebabkan varises. Varises terjadi jika terdapat peningkatan perbedaan tekanan
antara vena porta dan vena hepatika lebih dari 10 mmHg. Varises akan semakin
berkembang akibat peningkatan aliran darah ke tempat varises dan terjadi rupture
(Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Ruptur dari varises sangat sulit untuk diprediksi dari penanda sistemik
seperti trombositopenia, splenomegaly, atau ascites (Okamoto, et al., 2008). Dib
et al menuliskan tiga hal yang membuat risiko perdarahan VGE, yaitu (1)
peningkatan hipertensi porta: kerusakan hati yang ditimbulkan penyakit, asupan
makanan, asupan etanol, irama sirkadian, olahraga fisik dan peningkatan tekanan
intraabdomen; (2) Faktor yang melemahkan dinding varises, seperti asam
asetilsalisilat dan OAINS; (3) infeksi bakteri yang dapat membuat perdarahan
awal dan berulang (Dib, Oberti, & Cales, 2006).
Adanya RCS pada varises esophagus diketahui sebagai faktor resiko local
perdarahan varises. Meskipun vaarises esophagus dengan RCS banyak terbentuk
di dinding posterior, pada penelitian tentang lokasi rupturnya varises esophagus
dengan RCS diketahui bahwa RCS yang berada di dinding anterior kanan
esophagus menjadi faktor resiko tinggi terjadinya ruptur varises esophagus.
Mekanisme mengapa varises esfagus dengan derajat yang tinggi pada dinding
anterior kanan esophagus memiliki resiko yang tinggi untuk pecah belum
sepenuhnya diketahui dengan pasti. Pengaruh dari peningkatan vena porta bukan
faktor yang diduga menjadi penyebabnya karena peningkatan tekanan vena porta
lebih cenderung mempengaruhi pembentukan varises pada dinding posterior
kanan. Ada 2 mekanisme yang dpat menjelaskan terjadinya fenomena ini. Alasan
yang pertama, diketahui bahwa kerusakan mukosa seperti erosi dan ulkus pada
reflux esofagitis derajat rendah sering ditemukan pada dinding anterior kanan
pada mukosa esophagus bawah yang mungkin karena waktu kontak asam yang
lama pada dinding anterior kanan pada esophagus bagian bawah. Waktu kontak

24
asam yang lama pada dinding anterior kanan dapat menyebabkan kerusakan pada
mukosa esophagus dan mungkin meningkatkan resiko ruptur pada varises. Pada
pasien dengan sirosis hepatis dan varises esophagus, aktivitas motorik dari
esophagus menurun sehingga menyebabkan hambatan pada pembersihan refluks
asam lambung. Di penelitian yang lain dituliskan bahwa prevalensi penyakit
refluks gastroesofageal meningkat pada pasien sirosis. Alasan yang kedua,
tekanan intralumen berhadapan dengan mukosa esofaagus dengan tekanan yang
berbeda-beda sesuai lokasinya. Dinding posterior esophagus menghadapi tekanan
intraluminal yang besar sedangkan dinding anterior menghadapi tekanan
intraluminal yang kecil. Karena itu gradien tekanan antara varises dengan lumen
esophagus diduga lebih besar pada varises yang terbentuk pada dinding anterior.
Tekanan varises yang lebih besar ini mungkin menjadi mekanisme yang mungkin
mengapa varises pada dinding anterior esophagus memiliki resiko yang lebih
besar untuk ruptur. Spekulasi ini sesuai dengan teori eruptive yang dipercaya
secara luas sebagai mekanisme daru perdarahan varises esophagus (Okamoto, et
al., 2008).
Lee et al mempelajari faktor risiko terjadinya perdarahan berulang enam
minggu setelah terjadinya pecah VGE pada pasien dengan sirosis hati. Faktor
risiko yang ditemukan berkaitan dengan pecah VGE adalah insidens infeksi
bakteri yang tinggi, terutama pneumonia dan jumlah ligasi akibat kerusakan
mukosa pada permukaan yang lebih luas dan ulkus setelah ligasi. Parameter
seperti usia, jenis kelamin, etiologi dan beratnya sirosis hati, asites, diameter lien
yang panjang, kadar hemoglobin, sel darah putih, albumin yang rendah,
karsinoma hepatoseluler ataupun thrombosis vena porta dikatakan tidak menjadi
risiko perdarahan berulang (Lee, Lee, & Chang, 2009)
Pada studi retrospektif untuk mengetahui faktor risiko perdarahan berulang
dengan gambaran klinis dan endoskopi ditemukan perdarahan berulang meningkat
pada pasien dengan total bilirubin >2mg/ dL, asites, hepatoma, klasifikasi Child-
Pugh kelas C atau red color sign pada endoskopi. Usia, trombosit, albumin, waktu
protrombin, varises di fundus dan grade varises esophagus tidak meningkatkan
risiko perdarahan berulang (Hidayat, Djojoningrat, Akbar, & Sabarinah, 2004).

25
3.2.3 Diagnosis
Pasien dengan perdarahan varises esofagus biasanya memberikan gejala
yang khas berupa hematemesis, hematoskezia, atau melena, penurunan tekanan
darah, dan anemia. Perlu dipahami bahwa adanya tanda-tanda sirosis hati yang
khas dengan dugaan telah terjadi hipertensi portal, tidak serta merta
menyingkirkan penyebab pendarahan lain seperti gastropati hipertensi portal. Oleh
sebab itu, pemeriksaan endoskopi menjadi penting dalam mendiagnosis
perdarahan varises esofagus.
Penderita sirosis hati sebaiknya dilakukan endoskopi pada saat diagnosis
dibuat. Bila pada saat endoskopi pertama tidak ditemukan varises, maka dilakukan
endoskopi berkala dengan jarak 3 tahun. Namun bila pada endoskopi pertama
ditemukan varises kecil, maka endoskopi berkala dilakukan setiap tahun.
Klasifikasi varises esophagus dibagi menjadi 4 tingkatan (Kusumobroto, Adi,
& Setiawan, 2007), yaitu :
I. Dilatasi vena (< 5mm), masih tertutup dengan jaringan sekitarnya.
II. Dilatasi vena (> 5 mm) terdapat penonjolan ke jaringan sekitar namun
belum menutup lumen esofagus.
III. Vena besar, tegang dan sudah meyebabkan obstruksi lumen.
IV. Hampir menutup lumen secara total dengan stigmata endoskopik ter
utama cherry red spots (bintik kemerahan).
Gambaran perdarahan pada endoskopi dapat berupa oozing atau spurting,
dimana perdarahan terlihat nyata, atau dapat juga terlihat white nipple sebagai
tanda perdarahan baru. Batasan perdarahan varises adalah perdarahan dari varises
esophagus atau lambung yang tampak pada saat endoskopi, atau ditemukan
adanya varises yang besar dengan darah di lambung tanpa ditemukan sumber
perdarahan lain. Perdarahan dikatakan bermakna bila membutuhkan transfusi 2
unit dalam 24 jam disertai tekanan darah dibawah 100 mmHg, atau penurunan
tekanan darah >20 mmHg dengan perubahan posisi, atau nadi > dari 100 x/mnt.

26
Saat ini telah ditemukan cara sederhana untuk mengetahui apakah pada
pasien sudah terbentuk varises atau belum yakni dengan menghitung rasio P2/MS.

Jumlah Platelet (109/L) 2


Formulasi P2/MS =
Fraksi monosit (%) x Segmented Neutrofil Fraction (%)

Keterangan :
Bila rasio P2/MS < 8.0 maka beresiko tinggi terbentuk Varises Esofagus dan bila
> 21 tidak beresiko tinggi menderita Varises Esofagus. Bila Rasio P2/MS < 13.0
berarti sudah terbentuk Varises Esofagus, dan bila >39.0 berarti tidak terdapat
Varises Esofagus. (Gentile & Thabut, 2012)

3.2.4 Penatalaksanaan
Sama halnya dengan kasus kegawatan lainnya, hal yang pertama dilakukan
dalam menangani pasien perdarahan varises esofagus adalah memastikan patensi
jalan nafas, mencegah aspirasi, dan resusitasi cairan termasuk transfusi bila
diperlukan. Perlu diingat overtransfusi pada kasus perdarahan varises esofagus
dapat meningkatkan tekanan porta dan perburukan control perdarahan, sehingga
transfusi harus dievaluasi secara cermat. Pemberian antibiotik berspektrum luas
ternyata secara bermakna mengurangi resiko infeksi dan menurunkan mortalitas.
Jika memungkinkan, dapat dilakukan endoskopi segera untuk menentukan sumber
perdarahan dan memberikan terapi secara tepat. Apabila perdarahan masih
berlangsung dan besar kecurigaan adanya hipertensi portal, dapat diberikan obat
vasopressin IV dalam dosis 0,1-1 U/menit ditambah nittrogliserin IV 0,3 mg/mnt
untuk mengurangi efek konstriksi pada jantung dan pembuluh darah perifer.
Octeotrid, suatu analog somatostatin, dapat menurunkan tekanan portal tanpa
menimbulkan efek samping seperti vasopressin. Obat ini diberikan secara bolus
IV 50-100 mcg dilanjutkan dengan drip 25-200 mcg/jam.
Penatalaksanaan definitif yang utama adalah dengan ligasi varises secara
endoskopik (LVE). Apabila LVE sulit dilakukan karena perdarahan yang massif
dan terus berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan, maka dapat
dilakukan skleroterapi endoskopik (STE). STE adalah menyuntikan zat sklerosan

27
(1,5% sodium tetradecyl sulfate atau 5% ethanolamine oleat) ke daerah varises
dengan harapan pembuluh darah yang melebar tersebut tertutup dan perdarahan
berhenti. Kondisi akan semakin sulit bila pada endoskopi juga ditemukan varises
gaster.
Apabila endoskopi tidak memungkinkan, maka obat-obat vasokonstriktor
seperti dijelaskan sebelumnya atau pemasangan balon tamponade (Sangestaken-
Blakemore tube) dapat dikerjakan sampai terapi definitif dapat dilakukan.
Pada kasus-kasus dimana endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan,
jalan terakhir adalah dilakukan tindakan bedah Transjugular Intrahepatic
Portosystemic Shunt (TIPS). Tindakan ini hampir pasti dapat mengatasi
perdarahan, namun pada penderita dengan penyakit hati lanjut dan kegagalan
multiorgan dapat menimbulkan bahaya ensefalopati sampai kematian. Saat ini
untuk hipertensi portal dan perdarahan varises esophagus terus berkembang luas.
Banyak jenis modalitas pengobatan menunjukkan bahwa tidak ada terapi tunggal
yang memberikan kepuasan pada seluruh pasien dengan seluruh kondisi klinis.
Operasi Shunt dan devaskularisasi merupakan metode dasar bedah untuk penyakit
ini. Operasi Shunt lebih sering digunakan di negara-negara barat sedangkan
prosedur devaskularisasi lebih sering digunakan di china. Prosedur bedah ideal
sebagai terapi perdarahan pada hipertensi portal harus bisa mengontrol
perdarahan, menghindara rekurensi dengan kerusakan fungsi liver yang minimal
dan sebisa mungkin menurunkan resiko ensefalopati. Tekhnik laparoskopi telah
menjadi gold standard untuk menghilangkan limpa baik yang normal ataupun
yang mengalami pembesaran. Biarpun begitu, teknik laparoskopi memiliki lebih
banyak tantangan saat digunakan pada pasien dengan sirosis, hipertensi portal dan
splenomegali. Komplikasi intraoperasi selama proses operasi ini adalah
perdarahan yang menjadi alasan utama konversi operasi menjadi laparotomi.
Pasien yang telah dilakukan operasi mengalami penyembuhan dengan perlahan.
Setelah dilakukan observasi 3 bulan sampai 5 tahun, tidak ada kejadian kegagalan
fungsi hepar, ensefalopati atau perdarahan berulang dan semua pasien yang
melakukan operasi ini mengalami peningkatan kualitas hidup.

28
3.2.5 Profilaksis Primer
Pencegahan perdarahan varises merupakan tujuan utama pengelolaan
sirosis, seiring dengan data yang memperlihatkan peningkatan mortalitas karena
perdarahan aktif dan menurunnya survival secara progresif sesuai dengan indeks
perdarahan.Apabila pada pasien sirosis ditemukan varises tingkat 3, pasien harus
mendapatkan profilaksis primer tanpa melihat beratnya gangguan faal hati. Pasien
dengan varises tingkat 2 pun perlu mendapatkan profilaksis primer jika gangguan
faal hatinya Child kelas B atau C.
Profilaksis primer dapat dilakukan dengan medikamentosa berupa beta
bloker (propranolol, atenolol, atau nadolol). Propranolol bekerja sebagai
vasokonstriktor arteriol mesenterika sehingga diharapkan dapat menurunkan
tekanan portal. Dosis dimulai dengan 2 x 40 mg/hari, kemudian dinaikan menjadi
2 x 80 mg. penggunaan beta bloker long acting dapat memperbaiki ketaatan. Pada
kasus dimana beta bloker menjadi kontraindikasi, LVE menjadi pilihan utama.
Apabila beta bloker dan LVE tidak dapat digunakan, maka dapat diberikan
isosorbide mononitrat sebagai pilihan utama dengan dosis 2 x 20 mg. terapi
kombinasi antara beta bloker dengan isosorbide mononitrate secara bermakna
dapat menekan perdarahan lebih baik dibandingkan dengan beta bloker tunggal,
tetapi tidak berbeda dalam angka mortalitas.
Menjadi pemahaman umum, jika peningkatan tekanan vena porta menjadi
faktor penyebab utama terbentuknya kolateral portosistemik dan varises
esophagus. Kolateral ini terbentuk sebagai akibat dari vena tersebut. Sebagai
tambahan, angiogenesis aktif dapat juga berpartisipasi pada proses ini. Dalm
sebuah penelitiaan diketahui bahwa meskipun vena porta menurun secara
signifikan, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap angka kejadian varises
esophagus. Lebih jauh lagi, perbedaan yang tidak bermakna ini diluar faktor peran
neoangiogenesis dalam pembentukan varises esophagus. Hal ini menunjukkan
penggunaan obat-obat penurun tekanan pada hipertensi portal tidak banyak
berfungsi pada pasien sebelum terbentuk varises esophagus (Alatsakis, et al.,
2009).

29
3.2.6 Profilaksis Sekunder
Sejak dua dekade terakhir, berbagai terapi (pembedahan, endoskopi dan
farmakologi) telah diperkenalkan untuk menurunkan risiko perdarahan berulang
dan mortalitas. Walaupun hampir seluruh penelitian menyatakan bahwa terapi
kombinasi lebih baik daripada terapi tunggal, perbedaan kriteria inklusi dan
penilaian akhir menyulitkan perbandingan yang objektif. Selain itu, sangat sulit
membuat randomized controlled trial untuk membandingkan terapi pada kasus
perdarahan sirosis hati sehingga penelitian yang ada banyak menggunakan kohort
prospektif, dengan level of evidence tidak cukup tinggi (Bosch & Garcia-Pagan,
2003).
Tabel.3. Perbandingan Resiko Terjadinya Perdarahan Berulang Dan
Mortalitas Dengan Terapi Tertentu (Widjaja & Karjadi, 2011).
Tata laksana Jumlah Jumlah Reported of Report
Studi Pasien Rebleeding Rates Mortality Rates
Tidak ditatalaksana 19 928 55-67% 23-64%
Penghambat β 26 983 37-57% 13-39%
EIS 54 2347 34-53% 18-36%
EIS + Penghambat β 13 445 19-49% 7-26%
EBL 18 836 20-43% 19-34%
Penghambat β + ISMN 6 310 30-42% 12-32%
TIPS 14 519 12-22% 18-35%
DSRS 9 309 11-31% 22-55%

EIS = endoscopic injection sclerotherapy, EBL = endoscopic band ligation, ISMN


= isosorbide 5-mononitrate, TIPS = transjugular intrahepatic portal-systemic
shunt, DSRS = distal splenorenal shunt. Tabel meringkas hasil dari studi dengan
pilihan tatalaksana berbeda termasuk dalam beberapa meta analisis.
Berbagai terapi tersebut mempunyai perbedaan indikasi karena memiliki
sasaran terapi yang berbeda. Jika dikaitkan dengan patofisiologinya, terapi dibagi
dua yaitu terapi yang menurunkan tekanan porta dan terapi lokal tanpa
menurunkan tekanan porta. Terapi yang menurunkan tekanan porta dapat berupa
terapi farmakologis dengan sasaran menurunkan tahanan sistemik vaskular,
tahanan intrahepatik atau aliran darah splanknik serta terapi pembuatan shunt atau
pembedahan. Terapi lokal tanpa menurunkan tekanan porta menggunakan bantuan
endoskopi untuk melakukan ligasi atau skleroterapi (Dib, Oberti, & Cales, 2006).

30
Atas dasar patofisiologi yang menyebabkan tekanan porta meningkat,
terapi ditujukan untuk menurunkan tahanan intrahepatik, aliran darah sistem porta,
atau keduanya. Sampai saat ini, penurunan tahanan intrahepatik hanya dapat
dikoreksi dengan cara transplantasi hati atau portal-systemic shunt (Bosch &
Garcia-Pagan, 2003). Terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan porta terdiri
dari vasokonstriktor splanknik, penghambat β adrenergik nonselektif, nitrat dan
interferon. Selain terapi farmakologis, shunt dan pembedahan juga digunakan
untuk menurunkan tekanan porta. Vasokonstriktor splanknik seperti vasopresin
(terlipressin) dan somatostatin (serta analognya seperti octreotide dan vapreotide)
dapat diberikan secara parenteral tetapi obat tersebut hanya diberikan terbatas
untuk perawatan akut. Jika diberikan secara cepat obat-obat tersebut
efektivitasnya sama dengan skleroterapi dalam mengatasi perdarahan akut,
mencegah perdarahan berulang dini, kebutuhan transfusi dan mortalitas (Garcia-
Tsao & Bosch, 2010). Penghambat β adrenergik nonselektif mempengaruhi laju
aliran porta dengan cara penurunan curah jantung dan vasokonstriktor splanknik.
penghambat β adrenergik nonselektif seperti propanolol atau nadolol lebih baik
daripada penghambat β selektif. Obat tersebut diberikan secara oral dan
digunakan untuk tata laksana jangka panjang hipertensi porta, namun terdapat
kontraindikasi untuk penggunaan obat tersebut yaitu: asma, bradikardi, blok
atrioventrikular, hipotensi dan hiperglikemia yang tidak terkontrol (Lo, 2006).
Obat-obatan yang meningkatkan pengantaran NO ke sirkulasi intrahepatik seperti
nitrat, bekerja dengan menginduksi vasodilatasi intrahepatik sehingga
menurunkan tahanan hepatik. Kekurangan venodilator dapat mengakibatkan
vasodilatasi sistemik dengan membuat retensi natrium dan vasokonstriksi ginjal
(Garcia-Tsao & Bosch, 2010). Terdapat pula obat alternatif yang bekerja
meningkatkan tonus vaskular hepar atau fibrogenesis hati (seperti interferon
ditambah ribavirin pada infeksi hepatitis C kronis) (Sulaiman, Julitasari, Srie,
Rustam, Melani, & Corwin, 1995). Selain farmakologis, terdapat terapi lain yaitu
pemasangan shunt yang menghubungkan sistem porta yang mengalami hipertensi
dengan vena sistemik bertekanan rendah untuk menurunkan hipertensi porta
melalui transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) atau pembedahan.

31
Cara tersebut efektif untuk menurunkan risiko perdarahan varises berulang, tetapi
dapat meningkatkan ensefalopati dan memperburuk kerusakan hati. Kelebihan
TIPS adalah tidak memerlukan pembedahan dan mempunyai angka mortalitas dan
morbiditas yang rendah. Namun, hasil jangka panjang TIPS kurang baik karena
sering terjadinya disfungsi shunt akibat proliferasi tunika intima di dalam stent
shunt atau keluar ke vena hepatika (Bosch & Garcia-Pagan, 2003).
Golongan terapi yang lain untuk mencegah peradarahan berulang pada
varises esophagus adalah terapi lokal yang tidak menurunkan tekanan porta.
Prosedur endoskopi dapat digunakan untuk menempatkan elastic band pada
bagian varises (ligasi varises), memasukkan agen sklerosis (skleroterapi varises)
atau menempelkan jaringan (obsturasi varises) ke varises gastroesofagus. Teknik
tersebut dapat membuat obliterasi varises (eradikasi varises). Namun setelah
terapi, pantauan endoskopi dan pengobatan penting dilakukan untuk mencegah
VGE kembali. Cara lain yang singkat dan temporer serta bekerja lokal adalah
tamponade balon dan penempatan stent esophagus (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Cara tersebut dapat menginduksi thrombosis dan fibrosis. Elastic band baru-baru
ini menggantikan skleroterapi sebagai terapi endoskopi karena lebih aman, lebih
efektif, dan berkaitan dengan morbiditas yang rendah, namun tidak dapat
mengubah tekanan portal dan aliran darah splanknik yang tinggi sehingga varises
seringkali timbul kembali (Gonzales, Zamora, Gomez-Camarero, Molinero,
Banares, & Albillos, 2008). N-butyl-2-cyanoacrylate pertama kali diperkenalkan
tahun 1986. Sampai saat ini masih sedikit praktisi yang menggunakan senyawa
tersebut padahal merupakan senyawa terpilih untuk VGE (Wang, et al., 2008)
Senyawa tersebut akan mengalami polimerisasi yang cepat jika bersentuhan
dengan darah setelah disuntikan ke lokasi varises, dan kemudian akan menyumbat
lumen untuk mencegah perdarahan berlanjut (Cipoletta, Zambelli, Bianco, De
Grazia, Meucci, & Lupinacci, 2009). N-butyl-2-cyanoacrylate menghentikan
perdarahan VGE dengan hemostasis yang terjadi pada sekitar 95,2% pasien
dengan perdarahan dan 90,2% pasien dengan perdarahan akibat sirosis dan
membuktikan bahwa senyawa tersebut relatif aman (Cheng, Wang, Li, Cai,
Huang, & Linghu, 2007). Pada penelitian yang lain ditemukan bahwa hemostasis

32
awal terjadi pada 94,2% perdarahan aktif dengan rata-rata perdarahan kembali
hanya 5,2%. Tidak ditemukan efek samping dalam studi tersebut dan harganya
juga lebih murah dibandingkan dengan terapi ligasi (Cipoletta, Zambelli, Bianco,
De Grazia, Meucci, & Lupinacci, 2009).

3.2.7 Pengelolaan Pencegahan Perdarahan Berulang


Dengan tingkat rekurensi tinggi, pasien yang masih dapat bertahan karena
perdarahan varises akut harus mendapat terapi untuk mencegah rekurensi sebelum
pasien dipulangkan dari rumah sakit (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Regimen Dosis Target Durasi Tindak Lanjut
Penghambat β
Propanolol Mulai 20 mg Ditingkatkan sampai Tidak Pastikan target
per oral dosis maksimal yang ditentukan frekuensi nadi
2x/hari dapat ditoleransi atau tercapai setiap
sampai frekuensi nadi pasien kontrol,
55 x/menit tidak membutuhkan
tindak lanjut
endoskopi
Nadolol Mulai 40 mg Ditingkatkan sampai Tidak Pastikan target
per oral dosis maksimal yang ditentukan frekuensi nadi
1x/hari dapat ditoleransi atau tercapai setiap
sampai frekuensi nadi pasien kontrol,
55 x/menit tidak membutuhkan
tindak lanjut
endoskopi
Ligasi Varises Ligasi setiap Varises terobliterasi 2-4 sesi Surveillans
Endoskopi 2-4 minggu endoskopi pertama
1-3 bulan, setelah
obliterasi, lalu
setiap 6-12 bulan
Isosorbid 10 mg per Ditingkatkan sampai Tidak Pastikan kepatuhan
Mononitrat oral setiap dosis maksimal yang ditentukan regimen
digabung dengan malam dapat ditoleransi pengobatan setiap
penghambat β dengan dengan tekanan darah kedatangan, tidak
(Propanolol/Nado peningkatan 95 mmHg membutuhkan
lol)# bertahap tindak lanjut
hingga endoskopi.
maksimun
20 mg
2x/hari

33
* Hanya satu penghambat-b dengan ligasi yang sebaiknya digunakan. Terapi
yang tidak digunakan untuk pencegahan tahap pertama perdarahan varises
berulang adalah penghambat-b nonselektif saja, skleroterapi varises
endoskopi, ligasi varises endoskopi saja, dan ligasi varises endoskopi dengan
skleroterapi varises endoskopi.
# Terapi ini sedang diteliti. Direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat
dilakukan ligasi.

Terapi farmakologis kombinasi (penghambat β nonselektif ditambah


nitrat) atau kombinasi ligasi varises endoskopi ditambah terapi obat perlu
diberikan karena tingkat kekambuhan yang tinggi, walaupun efek samping
menjadi lebih tinggi dibandingkan terapi tunggal. Terapi tunggal hanya
direkomendasikan untuk profilaksis primer. Kedua cara tersebut dibandingkan
dalam suatu randomized controlled trial dan hasilnya menunjukkan adanya
penurunan perdarahan berulang varises yang bermakna pada kombinasi ligasi
varises dengan endoskopi dan terapi obat (penghambat beta nonselektif ditambah
nitrat) dibandingkan terapi obat saja. Angka terjadinya perdarahan dari tempat
lain, seperti dari ulkus esofagus yang diinduksi oleh ligasi varises, tidak berbeda
bermakna (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Kesulitan pemberian terapi farmakologis untuk profilaksis sekunder VGE
adalah intoleransi pasien terhadap obat, ketidak patuhan pasien, dan kurangnya
bukti (Cheung, Wong, Zandieh, Leung, Lee, & Ramji, 2006). Intoleransi pasien
terhadap obat tertentu perlu mendapatkan perhatian penting jika pasien
mengeluhkan hal yang berhubungan dengan efek samping. Selain itu, pasien juga
perlu diberikan edukasi untuk kontrol teratur dan minum obat secara rutin. Risiko
terjadinya perdarahan berulang perlu dipaparkan secara jelas, terutama jika pasien
tidak melakukan terapi sesuai dengan petunjuk dokter.
Lo (Lo, 2006) membuat algoritme sederhana untuk pencegahan
perdarahan berulang pada VGE. Lo juga menyarankan jika pasien menyandang
sirosis hati dengan kelas Child-Pugh kelas C dengan perdarahan varises berulang,
sebaiknya direncanakan transplantasi hati. Untuk pasien dengan perdarahan

34
berulang yang terkontrol, tes penyaring karsinoma hepatoseluler sebaiknya
dilakukan.

Gambar 1. Algoritme pencegahan perdarahan berulang VGE. ISMN (isosorbid


mononitrat); EVL (ligasi varises endoskopi); TIPS (transjugular intrahepatic
portosystemic stent shunt) (Lo, 2006).
Bila dibandingkan terapi kombinasi ligasi dengan terlipresin yang
dibandingkan dengan terlipresin saja. Penelitiannya mendapatkan bahwa
kombinasi tersebut menurunkan kejadian perdarahan berulang dini, mengurangi
kegagalan tata laksana awal, tanpa memberikan efek samping yang meningkat
secara bermakna, serta menurunkan kebutuhan jumlah darah untuk transfuse (Lo,
Chen, Wang, Lin, Chan, & Tsai, 2009). Dari pendapat yang lain dikatakan dosis
terlipressin yang diberikan terlalu rendah, hanya 1 mg setiap 6 jam. Mungkin bila
dosis dinaikkan akan menurunkan insidens perdarahan berulang dan membuat
perbedaan dengan terapi kombinasi semakin kecil (Salerno & Cazzaniga, 2009).
Metaanalisis yang dilakukan pada penelitian lain menunjukkan angka
terjadinya perdarahan berulang (dari varises maupun sumber lain) lebih rendah
dengan kombinasi terapi endoskopi dan terapi obat dibandingkan dengan salah
satu terapi saja, tetapi angka survival masih belum jelas. Terapi kombinasi juga
menurunkan mortalitas tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya karena kematian

35
dapat disebabkan bukan oleh hipertensi porta dan varises (Gonzales, Zamora,
Gomez-Camarero, Molinero, Banares, & Albillos, 2008).
Pada pasien yang tidak dapat dilakukan ligasi varises, penghambat β
nonselektif ditambah nitrat perlu diberikan untuk memaksimalkan penurunan
tekanan porta, walaupun terapi kombinasi ini belum direkomendasikan (Garcia-
Tsao & Bosch, 2010). Hal tersebut didukung oleh penelitian lain yang
memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang bermakna dalam hal kejadian
perdarahan berulang pada pasien yang diberikan penghambat β nonselektif dan
nitrat saja dibandingan dengan obat tersebut ditambah ligasi. Sebagai tambahan,
kemungkinan terjadinya perdarahan berulang akibat varises lebih rendah pada
terapi ligasi dan obat dibandingkan obat saja, tetapi perlu dipertimbangkan bahwa
dengan memberikan kombinasi terapi ligasi dan obat lebih banyak efek samping
yang akan timbul. Pasien juga membutuhkan perawatan yang lebih lama (terutama
jika terjadi perdarahan akibat ulkus) dan biaya menjadi jauh lebih besar (Garcia-
Pagan, Villanueva, Albillos, Banares, Morillas, & Abraldes, 2009).
Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan berulang walaupun telah
dilakukan ligasi serta obat dengan dosis dan jadwal yang direkomendasikan perlu
dipikirkan penempatan TIPS perkutan atau pembentukan shunt dengan bedah.
Baik TIPS perkutan maupun pembedahan memiliki efektifitas yang sama (Garcia-
Tsao & Bosch, 2010). Bila dibandingkan dengan terapi endoskopi, TIPS lebih
efektif untuk mencegah perdarahan berulang serta pembedahan untuk membuat
shunt lebih efektif dari skleroterapi endoskopi. Tetapi, keduanya belum terbukti
meningkatkan survival dan keduanya berkaitan dengan risiko ensefalopati yang
tinggi (Dib, Oberti, & Cales, 2006). Revisi penelitian TIPS perlu lebih sering
dilakukan untuk mengatasi penggunaan terkini dengan coated stent yang
mempunyai angka oklusi yang lebih rendah secara bermakna. Pemilihan antara
TIPS dan pembedahan tergantung ahli setempat dan permintaan pasien. (Garcia-
Tsao & Bosch, 2010).
Pada penelitian randomized controlled trial yang membandingkan antara
TIPS dengan terapi obat (propanolol+ isosorbide-5-mononitrate) dan
mendapatkan perdarahan berulang selama 15 bulan terjadi pada 13% pasien

36
dengan TIPS dan 39% pasien dengan terapi obat. Angka survival pada kedua
perlakuan sebesar 72%. Beban biaya dua kali lebih besar pada pasien dengan
TIPS (Escorsell, Banares, Garcia-Pagan, Gilabert, Moitinho, & Piqueras, 2002).
Panduan dari American Association for the Study of Liver Diseases dan
American College of Gastroenterology merekomendasikan terapi untuk mencegah
perdarahan varises berulang pada pasien sirosis hati yang telah mengalami
perdarahan VGE. Kombinasi yang disarankan adalah penghambat β nonselektif
ditambah ligasi varises. Penghambat β nonselektif perlu disesuaikan untuk dosis
maksimal yang dapat ditoleransi seperti pada Tabel 3. Ligasi varises sebaiknya
diulang setiap 1-2 minggu sampai varises hilang dengan pemeriksaan endoskopi
dan kembali dilakukan 1-3 bulan setelah varises hilang serta setiap 6-12 bulan
untuk memantau terjadinya varises berulang (Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, &
Carey, 2007).
Rekomendasi di atas berlaku untuk mencegah perdarahan berulang pada
pasien yang belum mendapat profilaksis primer sebelumnya. Jika profilaksis
primer menggunakan penghambat β dengan dosis yang sesuai gagal, penghambat
β tidak boleh dilanjutkan sebagai terapi tunggal dan ligasi varises sebaiknya
dilakukan. Jika dosis penghambat β tidak sesuai, optimalisasi dosis atau ligasi
varises dapat dilakukan. Bila ligasi gagal sebagai profilaksis, TIPS dapat menjadi
pilihan berikut. Transplantasi hati dapat dipikirkan pada semua kasus, khususnya
pasien dengan sirosis berat (Child kelas B atau C) (Dib, Oberti, & Cales, 2006).
Baveno I sampai V merupakan lokakarya yang berfokus pada perdarahan
varises dan hipertensi porta. Baveno V diadakan pada tahun 2010 dan merupakan
konsensus terbaru. Konsensus Baveno V merekomendasikan hal yang sama
dengan panduan dari American Association for the Study of Liver Diseases dan
American College of Gastroenterology bahwa terapi kombinasi penghambat β
nonselektif dan ligasi varises menjadi pilihan terbaik. Namun sebagai tambahan,
Baveno V juga merekomendasikan penambahan ISMN pada penghambat β
nonselektif terutama pada pasien yang menolak atau tidak dapat dilakukan ligasi.
Tetapi jika pasien mempunyai kontraindikasi penghambat β nonselektif, ligasi
dapat menjadi pilihan utama. (Franchis & Faculty, 2010)

37
Konsensus Baveno V juga menjelaskan definisi dan kriteria pro-filaksis
sekunder dikatakan gagal. Gagal terhadap pencegahan perdarahan berulang
didefinisikan sebagai episode tunggal perdarahan berulang yang bermakna secara
klinis yang berasal dari hipertensi porta setelah hari ke-5. Perdarahan berulang
yang bermakna tersebut adalah melena berulang atau hematemesis yang
mengakibatkan salah satu hal berikut: masuk ke rumah sakit, transfusi darah, Hb
turun 3 g/dL, atau kematian dalam enam minggu (Franchis & Faculty, 2010).
Terapi tambahan seperti antasid dan penghambat pompa proton mungkin
dapat berguna pada pasien sirosis hati karena ulkus peptikum dan refluks
esofagitis merupakan salah satu penyebab perdarahan pada saluran cerna bagian
atas. Refluks asam lambung mungkin dapat menyebabkan ruptur varises karena
supresi yang kuat dengan penggunaan proton pump inhibitor dapat menurunkan
angka rupture varises esophagus dengan jumlah yang signifikan. Penggunaan H2
Blocker tidak memiliki efek sebaik penggunaan proton pump inhibitor. Ini
mungkin disebakan adanya toleransi yang terbentuk untuk efek antasida pada
reseptor antagonis histamine akibat penggunaan dalam waktu lama. Karena itu
penggunaan proton pump inhibitor lebih disukai daripada H2 blocker (Okamoto,
et al., 2008).
Pada RSUD AWS, terdapat prosedur tetap penatalaksanaan pasien varises
esophagus post ligasi yakni (1) Puasa 4 jam, (2) Diet Cair/susu 24 jam, (3) Diet
Bubur Saring 3x24 jam, (4) Diet Bubur biasa 3x24 jam (5) Injeksi As.
Tranexamat 500mg/8jam (6) Vit K 1 amp/12 jam (7) Bed Rest, dilarang
mengejan, dilarang angkat berat.

38
DAFTAR PUSTAKA
Alatsakis, M., Ballas, K., Pavlidis, T., Psarras, K., Rafailidis, S., Tzioufa-
Asimakopoulou, V., et al. (2009). Early Propanolol Administration Does
Not Prevent development of Esophageal Varices in Cirrhotic Rats.
European Surgical Research , 11-16.
Bosch, J., & Garcia-Pagan, J. (2003). Prevention of Variceal Rebleeding. Lancet
952-954.
Cheng, L., Wang, Z., Li, C., Cai, F., Huang, Q., & Linghu, E. (2007). Treatment
of gastric varices by endoscopic schlerotherapy using butyl cyanoacrylate:
10 years experience of 645 cases. China Medical Journal , 2081-2085.
Cheung, J., Wong, W., Zandieh, I., Leung, Y., Lee, S., & Ramji, A. (2006).
Acute management and secondary prophylaxis of esophageal variceal
bleeding: A western Canadian survey. Can J Gastroenterol , 531-534.
Cipoletta, L., Zambelli, A., Bianco, M., De Grazia, F., Meucci, C., & Lupinacci,
G. (2009). Acrylate glue injection for acutely bleeding oesophageal varices:
a prospective cohort study. Dig Liver Dis , 1729-1734.
Dib, N., Oberti, F., & Cales, P. (2006). Current Management of The
Complications of Portal Hypeertension: Variceal Bleeding and Ascites.
CMAJ , 1433-1443.
Escorsell, A., Banares, R., Garcia-Pagan, J., Gilabert, R., Moitinho, E., &
Piqueras, B. (2002). TIPS versus drug therapy in preventing variceal
rebleeding in advanced cirrhosis: a randomizad controlled trial. Hepatology
, 385-392.
Franchis, R., & Faculty, T. B. (2010). Revising consensus in portal hypertensio:
Report of the Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis
and therapy in portal hypertension. Hepatology , 762-768.
Garcia-Pagan, J., Villanueva, C., Albillos, A., Banares, R., Morillas, R., &
Abraldes, J. (2009). Nadolol plus isosorbide mononitrate alone or
associated with band ligation in the prevention of recurrent bleeding: a
multicentre randomised controlled trial. Gut , 1144-1150.

50
Garcia-Tsao, G., & Bosch, J. (2010). Management of Varices and Variceal
Hemorrhage in Cirrhosis. N Engl J Med , 823-832.
Garcia-Tsao, G., Sanyal, A., Grace, N., & Carey, W. (2007). Prevention and
Mahagement of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage in
Cirrhosis. Hepatology , 922-938.
Gentile, I., & Thabut, D. (2012). Noninvasive prediction of oesophageal varices :
as simple as blood count ? Liver International , 1091-1093.
Gonzales, R., Zamora, J., Gomez-Camarero, J., Molinero, L., Banares, R., &
Albillos, A. (2008). Meta-analysis: combination endoscopic and drug. Ann
Intern Med , 109-122.
Hidayat, S., Djojoningrat, D., Akbar, N., & Sabarinah. (2004). Risk Factors for
Recurrent Upper Gastrointestinal Tract Bleeding After Esophageal Varices
Ligation on Patients with Liver Cirrhosis. The Indonesian Journal of
Gastroenterohepatology Hepatology and Digestive Endoscopy , 79-88.
Kusumobroto, H., Adi, P., & Setiawan, P. (2007). Panduan Penatalaksanaan
Perdarahan Varises Pada Sirosis Hati. Surabaya: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia.
Lee, J., Yoon, J., Myung, S., Keam, B., Kim, B., Chung, G., et al. (2008).
Complete Blood Count Reflects The Degree Of Oesophageal Varices and
Liver Fibrosis in Virus Related Chronic Liver Disease Patient. Journal Of
Viral Hepatitis , 444-452.
Lee, S., Lee, T., & Chang, C. (2009). Independent Factors Associated With
Recurrent Bleeding in Cirrhotic Patients With Esophageal Variceal
Hemorrhage. Dig Dis Sci , 1128-1134.
Lo, G. (2006). Prevention of Esophageal Variceal Rebleeding. J Chin Med Assoc
, 553-560.
Lo, G., Chen, W., Wang, H., Lin, C., Chan, H., & Tsai, W. (2009). Low-dose
terlipressin plus banding ligation versus low-dose terlipressin alone in the
prevention of very early rebleeding of oesophageal varices. Gut , 1275-
1280.

51
Nidegger, D., Ragot, S., Berthelemy, P., Masliah, C., Pilette, C., & Martin, T.
(2003). Cirhhosis and Bleeding: The Need for Very Early Management.
Journal of Hepatology , 509-514.
Okamoto, E., Amano, Y., Fukuhara, H., Furuta, K., Miyake, T., Sato, S., et al.
(2008). Does Gastroesophageal Reflux Have an Influence on Bleeding from
Esophageal Varices? Journal of Gastroenterology , 803-808.
Perz, J., Armstrong, G., Farrington, L., Hutin, Y., & Bell, B. (2006). The
Contributions of Hepatitis B Virus dan Hepatitis C Virus in Infections to
Cirrhosis and Primary Liver Cancer Worlwide. Hepatology , 529-538.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Salerno, F., & Cazzaniga, M. (2009). Prevention of early variceal rebleeding
adding banding to terlipressin therapy. Gut , 1182-1183.
Sjaifoelah, N. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI.
Starr, P., & Rainess, D. (2011). Cirrhosis: Diagnosis, Management and
Prevention. American Family Physician , 1353-1359.
Sulaiman, H., Julitasari, Srie, A., Rustam, M., Melani, W., & Corwin, A. (1995).
Prevalence of Hepatitis B and C Viruses in Healthy Indonesian Blood
Donors. Trans R Soc Trop Med Hyg , 167-170.
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., & Soegiarto, G. (2009). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga. Surabaya: Airlangga
Press.
Wang, Y. D., Ye, H., Ye, Z. Y., Zhu, Y. W., Xie, Z. J., Zhu, J. H., et al. (2008).
Laparoscopic Splenectomy And Azygoportal Disconnection for Bleeding
Varices With Hypersplenism. Journal of Laparoendoscopic and Advanced
Surgical Techniques , 37-41.
Wang, Y., Cheng, L., Li, N., Wu, K., Zhai, J., & Wang, Y. (2009). Study of glue
extrusion after endoscopic N-butyl-2-cyanoacrylate injection on gastric
variceal bleeding. World J Gastroeneterology , 4945-4951.

52
WHO. (2011). Viral Hepatitis in The WHO South-East Asia Region. New Delhi:
WHO.
Widjaja, F. F., & Karjadi, T. (2011). Pencegahan Perdarahan Berulang Pada
Pasien Sirosis Hati. Indonesian Medical Association , 417-424.

53

Anda mungkin juga menyukai