Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS

Disusun Oleh:

Syifa Aulia Ajeng Octafia

17613083

Kelompok A3/Ruang 27

D-III KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Disusun oleh : Syifa Aulia Ajeng Octafia

NIM : 17613083

Judul : Sirosis Hepatis

Telah disetujui dalam Rangka mengikuti Praktek Klinik Keperawatan III (PKK III) D-III

Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo Pada tanggal 30

Maret sampai 25 April 2020 di Ruang 27 Rumah Sakit Daerah Saiful Anwar Malang .

Penyusun

( )

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

( ) ( )
SIROSIS HEPATIS

A. Definisi

Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh obstruksi difus dan
regenerasi fibrotic sel-sel hepar. Karena jaringan yang nekrotik menghasikan fibrosis,
maka penyakit ini akan merusak jaringan hati serta pembuluh darah yang normal,
mengganggu aliran darah serta cairan limfe, dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi
hati. Sirosis hepatis ditemukan pada laki-laki dengan insidensi dua kali lebih sering
dibandingkan pada wanita dan khususnya prevalen di antara para penderita malnutrisi
usia di atas 50 tahun dengan alkoholisme kronis. Angka mortalitasnya tinggi dan banyak
pasien meninggal dalam lima tahun sejak awitan sirosis tersebut (Kowalak, 2011). Dan
menurut (Price, Wilson, & Carty, 2006), Penyakit hati kronis ini dicirikan dengan
destorsi arsetektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal.
Menurut (Sudoyo, 2009), Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative. Sedangkan menurut
(McPhee & Ganong, 2010), Sirosis hati adalah penyakit kronis progresif dicirikan dengan
fibrosis luas (jaringan parut) dan pemberntukan nodul. Sorosis terjadi ketika aliran
normal darah, empedu dan metabolism hepatic diubah oleh fibrosis dan perubahan di
dalam hepatosit, duktus empedu, jalur vaskuler dan sel retikuler.
B. Anatomi dan Fungsi Hati
1. Anatomi Hati
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga perut di
bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan orang dewasa
normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah.
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum
falciforme,di inferior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum teres dan di
posterior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum venosum. . Lobus kanan hati
enam kali lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus
kanan atas, lobus caudatus, dan lobus quadrates. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa
yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya. Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : Vena
porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti
asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri
hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
2. Fungsi Hati
Hati selain salah satu organ di badan kita yang terbesar , juga mempunyai fungsi yang
terbanyak. Fungsi dari hati dapat dilihat sebagai organ keseluruhannya dan dapat
dilihat dari sel-sel dalam hati.
a. Fungsi hati sebagai organ keseluruhannya diantaranya ialah;
a) Ikut mengatur keseimbangan cairan dan elekterolit, karena semua cairan dan
garam akan melewati hati sebelum ke jaringan ekstraseluler lainnya.
b) Hati bersifat sebagai spons akan ikut mengatur volume darah, misalnya pada
dekompensasio kordis kanan maka hati akan membesar.
c) Sebagai alat saringan (filter)
Semua makanan dan berbagai macam substansia yang telah diserap oleh
intestine akan dialirkan ke organ melalui sistema portal.
1) Fungsi dari sel-serl hati dapat dibagi
a) Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:
Sebagai pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat, arang, protein,
lemak, empedu, Proses metabolisme akan diuraikan sendiri
b) Sebagai alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil metabolisme. Hati
menyimpan makanan tersebut tidak hanya untuk kepentingannnya sendiri
tetapi untuk organ lainya juga.
c) Sebagai alat sekresi untuk keperluan badan kita: diantaranya akan
mengeluarkan glukosa, protein, factor koagulasi, enzim, empedu.
d) Proses detoksifikasi, dimana berbagai macam toksik baik eksogen maupun
endogen yang masuk ke badan akan mengalami detoksifikasi dengan cara
oksidasi, reduksi, hidrolisa atau konjugasi.
2) Fungsi sel kupfer sebagai sel endotel mempunyai fungsi sebagai sistem retikulo
endothelial.
a) Sel akan menguraikan Hb menjadi bilirubin
b) Membentuk a-globulin dan immune bodies
c) sebagai alat fagositosis terhadap bakteri dan elemen puskuler atau
makromolekuler.
C. Klasifikasi Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh intrahepatik dan ekstrahepatik, kolestasis, hepatitis
virus, dan hepatotolsin. Alkoholisme dan malnutrisi adalah dua factor pencetus utama
untuk sirosis Laennec. Sirosis pascanekrotik akibat hepatotoksin adalah sirosis yang
paling seing dijumpai. Ada empat macam sirosis yaitu:
1. Sirosis Laennec. Sirosis ini disebabkan ileh alkoholisme dan malnutrisi. Pada
tahap awal sirosis ini, hepar membesar dan mengeras. Namun, pada tahap akhir,
hepar mengecil dan nodular
2. Sirosis pascanekrotik. Terjadi nekrosis yang berat pada sirosis ini karena
hepatotoksin biasanya berasal dari hepatitis virus. Hepar mengecil denganbanyak
nocul dan jaringan fibrosa
3. Sirosis bilier. Penyebabnya adalah obstruksi empedu dalam hepar dan duktus
koledukus komunis (duktus sistikus)
4. Sirosis jantung. Penyebabnya adalah gagal jantung sisi kanan (gagal jantung
kongestif) (Mary Baradero, Mary Wilfrid Dayrit, & Yakobus Siswadi, 2008).
D. Etiologi
Penyebab sirosis belum teridentifikasi jelas, meskipun hubungan antara sirosis dan
minum alkhol berlebihan telah ditetapkan dengan baik. Negara-negara dengan insidensi
sirosis tertinggi memiliki konsumsi alcohol per kapita terbesar. Kecenderungan keluarga
dengan predisposisi genetic, juga hipersensitivitas terhadap alcohol, tampak pada sirosis
alkoholik (McMenurut (Kowalak, 2011),sirosis hati dapat terjadi karenan berbagai
macam penyakit. Tipe klinis sirosis berikut ini mencerminkan etiooginya yang bergam
1. Penyakit hepatoseluler. Kelompok ini meliputi gangguan berikut :
- Sirosis pasca nekrotik terdapat pada 10% hingga 30% pasien sirosis dan berasal dari
berbagai tipe hepatis (seperti hepatis virus tipe A, B, C, D) atau terjasi karena
intoksikasi
- Sirosis Laennec yagn juga dinamakan sirosis portal, sirosis nutrisional, atau sirosis
alcoholic merupakan tipe yang paling sering ditemukan dan terutama disebabkan oleh
hepatitis C serta alkoholisme. Kerusakan hati terjadi karena malnutrisi (khususnya
kekurangan protein dari makanan) dan kebiasaan minum alcohol yang menahun.
Jaringan fibrosis terbentuk di daerah porta dan di sekitar vena sentralis

- Penyakit autoimun, sesperti sarkoidosis atau penyakit usus inflamatorik, yang kronis
dapat menyebabkan sirosis hepatis

2. Penyakit kolestalik. Kelompok ini meliputi penyakit pada percabangan bilier


(sirosis bilier terjadi karena penyakit pada saluran empedu yang menekan aliran
empedu) dan kolangitis sklerosis
3. Penyakit metabolic. Kelompok ini meliputi gangguan seperti penyakit Wilson,
alfa, -antitripsin, dan hemokromatosis (sirosis pigmen)
4. Tipe sirosi lain. Tip sirosis hepatis yang meliputi sindrom Budd-Chiari (nyeri
epigastrium, pembesaran hati, dan asites akibat obstruksi vena hepatika) sirosis
jantung dan sirosis kriptogenik. Sirosis jantung merupakan penyakit yang langka;
kerusakan hai terjadikarena gagal jantung kanan. Kriptogenik berarti sirosis
dengan etiologi yang tidak diketahui.Phee & Ganong, 2010).

E. Manifestasi Klinis
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran
hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati
akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila
dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan
fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari
organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati.
Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran
darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan
konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan
kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak
dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita
dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami
penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites.
Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan.
Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi
terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan
fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam
pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis
sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat
pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus
gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang
sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini
akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat
sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan.
Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang
nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan
mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur
varises pada lambung dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan
vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati
turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan
status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat
yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien,
kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
F. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis
terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan
penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan
alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan
konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada
individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal
tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida,
naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak
daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel
hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang
dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui
jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih
tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang
berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu
berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang
sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus.
Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang ( urine
kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome
hepatorenal.
2) Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi
pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam
usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja
berwarna cokelat atau kehitaman.
3) Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –kadang
dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12
atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan
gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
4) Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang
sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan
albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin,
pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9 Kadar
normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan globulin yang
masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum.
Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. 39 Selain itu, kadar
asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi
kelainan hati secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
1) Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks,
splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
2) Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati,
termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya
penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan
irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu
tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar
dan sebagian lagi dalam batas nomal.
3) Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan jelas
kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil
dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan
pembesaran limpa.
3. Penatalaksanaan
Penatalaksaan pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada. Sebagai contoh,
antasid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan meminimalkan kemungkinan
perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan suplemen nutrisi akan meningkatkan proses
kesembuhan pada sel-sel hati yang rusak dan memperbaiki status gizi pasien. Pemberian
preparat diuretik yang mempertahankan kalium (spironolakton) mungkin diperlukan
untuk mengurangi asites dan meminimalkan perubahan cairan serta elektrolit yang umum
terjadi pada penggunaan jenis diuretik lainnya (Sjaifoellah, 2000).
a. Penatalaksaan lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
1) Istirahat yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2) Diet rendah protein (diet hati III: protein 1 g/kg BB, 55 g protein, 2.000 kalori).
Bila ada ascites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2.000 mg).
Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3.000 kalori) dan tinggi
protein (80-125 g/hari).
b. Penatalaksanaan pada asites dan edema, yaitu:
1) Istirahat dan diet rendah garam.
2) Bila istirahat dan diet rendah garam tidak dapat mengatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300
mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat perubahan.
3) Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif) lakukan terapi parasentesis.
4) Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1kg/2 hari
atau keseimbangan cairan negative 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak
dikeluarkan dalam satu saat, dapat mencetus ensefalopati hepatic.
4. Komplikasi
Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:
1. Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada chirrosis
hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus. Sifat perdarahan yang
ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis, biasanya mendadak tanpa
didahului rasa nyeri. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan
membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung. Penyebab lain adalah
tukak lambung dan tukak duodeni.
2. Koma hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak, sehingga
hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum mempunyai
gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran penderita. Koma hepatikum dibagi
menjadi dua, yaitu: Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis
hati yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak
dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma
hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh
sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-
obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
3. Ulkus Peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila
dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan
diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi
yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi
makanan
4. Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk
postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi
adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita
sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis,
diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru,
glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas
maupun septikemi.
Pathway Sirosis Hepatis
Pengaruh lkohol, Virus
Hepatitis, Toksin

Hipertermi Pencegahan Kapsula Hati

Inflamasi Pada Hepar


Perubahan Kenyamanan hepatomegali

Gangguan metabolism Gangguan suplai


karbohidrat lemak dan darah normal pada
Perasaan tidak
protein sel-sel hepar
nyaman di
kuadran kanan
Kerusakan sel parenkim, atas
Glukogenes
Glikogenesis sel hati dan duktulii
is menurun
menurun empedu intrahepatik
nyeri Anoreksia

Glikogen
dalam hepar Perubahan
berkurang nutrisi
Kerusakan sel
prenkim, sel hati dan Kurang
Kerusakan konjungsi
diktuli empedu
Glikogenolisis intrahepatik
menurun Birilubin tidak
sempurna
Glukosa obstruksi dikeluaran
dalam darah melalui duktus
menurun hepatikus
Kerusakan
sel ekskresi Birilubin
keletihan
direk

Retensi Icterus
birilubin

Regurgitasi pada duktilii


empedu intrahepatik

Birilubin direk
meningkat
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Anamnesa
 Identitas klien
 Riwayat Keperawatan
 Keluhan Utama: biasanya pasien mengalami panas, dan tubuh
lemas
 Keluhan kesehatan masa lalu: riwayat penyakit hepatitis.
 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Kurang Baik, Suara kurang jelas, kesadaran
Composmentis
 Pengukuran BB,TB
 Pengukuran Tanda-Tanda Vital :Meliputi tekanan darah, Nadi, suhu,
respirasi
 Pemeriksaan Thorax : ditemukan suara sonor
 Pemeriksaan Abdomen: Ditemukan perut pasien tampak buncit, tidak
tampak peristaltic, umbilicus masuk kedalam, perut terdengar shifting
dullness, nyeri tekan abdomen, hati teraba ( terdapat benjolam pada
perut dekstra kuadran 1 dengan tepi tajam)
 Ekstremitas
Atas : tangan dapat digerakkan dengan kondisi lemah
Kaki : kaki dapat digerakkan dengan kondisi lemah, biasanya terdapat
edema di tungkai
Kegiatan sehari-hari
 Nutrisi : terdapat penurunan BB karena tidak nafsu makan
 Eliminasi: bisa dapat menyebabkan konstipasi dimana hal ini
dikarenakan adanya kurang serat yang masuk dalam tubuh dan BAK
berwarna coklat
 Aktivitas : aktivitas hanya terbaring di kasur saja .
2. Diagnose Keperawatan
1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh berhubungan dengan intake tang
tidak adekuat sekunder terhadap anoreksia
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan hipertensi portal sekunder
terhadap sirosis hepatis
4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi akut
5. Kerusakan intregritas kulit berhubungan denfan imobilitas sekunder terhadap
kelemahan
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan
7. Ketidak seimbangan elektrolit berhubungan dengan peningkatan peristaltic
usus
8. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan peningkatan
peristaltic usus
9. Resiko perdarahan berhubungan dengan faktor pembekuan darah dan sintesis
prosumber terganggu
10. Resiko gangguan fungsi hati berhubungan dengn sirosis hepatis
3. Intervensi
 Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Tujuan:

NOC:

Respiratory status: ventilation

Respiratory status: Airway Patency

Vital sign

Kriteria Hasil:

- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak


ada sianosisdan dyspnea
- Menunjukan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara
pernapasan abnormal)
- Tanda-tanda vital dalam rentan normal

NIC:
AirwayManagement

- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
- Monitor respirasi dan status o2
- Pertahankan jalan nafas paten
- Atur peralatan oksigenasi
- Monitor aliran oksigen
- Observasi adanya tanda hipoventilasi
- Vital sign monitoring (TD,suhu,RR,N)

 Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari tubuh berhubungan dengan intake


yang tidak adekuat .
NOC:
Nutritional status
Nutritional status: food fluid
Intake
Nutritional status: Nutrient intake
Weight control
Kriteria Hasil:
- Adanya peningkatan BB sesuai tujuan
- BB ideal sesuai TB
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Menunjukan peningkatan fingsi pengecapan dari menelan
- Tidak terjadi penurunan BB

NIC:

Nutritional Management

- Kaji adanya alergi makanan


- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menenyukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien
- Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
- Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
- Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi

Nutritional Monitoring

- Monitor adanya penurunan BB


- Monitor lingkungan selama makan
- Monitor kulit kering da perubahan pigmentasi
- Monitor turgor kulit
- Monitor mual dan muntah
 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan hipertensi portal sekunder
terhadap sirosis hepatis
NOC:
Elektrolit and acid base balance
Fluid bpertahankanalance
Hydration
Kriteria Hasil
- Terbebas dari edema, efusi anaskara
- Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspnea/ortopeneu
- Terbatas dari distensi vena jugularis, refleks hepatojugular (+)
- Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung
dan vital sign dalam batas normal
- Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan
- Menjelaskan indicatorkelebihan cairan

NIC

Fluid Management

- Pertahankan cairan intake dan output yang akurat


- Monitor Hb yang sesuai dengan retensi cairan
- Monitor status hemodiamik
- Kaji lokasi dan luas edema
- Monitor status nutrisi
- Kolaborasi pemberian diuretic nutrisi sesuai intruksi
- Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebihan muncul memburuk

Fluid Monitoring

- Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan eliminasi


 Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi akut
NOC
Pain Level
Pain Control
Comfort level
Kriteria Hasil
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunkan
teknik nonfarmakologi untuk mengurasi nyeri, mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensi, frekuensi dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC

Pain Management

- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,


karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presdiposisi
- Observasi non verbal dari ketidaknyamananan
- Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan
- Kaji type nyeri untuk menentukan intervensi
- Ajarkan teknik nonfarmakologi
- Berikan analgesic untuk mengurangi nyeri
Analgesic Administrasion

- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi


- Cek riwayat alergi
 Kerusakan intregritas kulit berhubungan dengan imobilitas sekunder terhadap
kelemahan
NOC
Tissue intregrity: skin and mucous
Membranes
Hemodyalisis akses
Kriteria Hasil:
- Intregritas kulit yang baik bisa di pertahankan (sensasi, elastisitas,
temperature, hidrasi, pigmentasi)
- Tidak ada luka/lesi pada kulit
- Perfusi jaringan baik
- Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang
- Mampu melindungi kulit dan memperyahankan kelembapan kulit
NIC
Preasure Management
- Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian longgar
- Hindari keritan pada tempat tidur
- Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan lembut
- Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
- Monitor kulit akan adanya kemerahan
- Oleskan lotion atau minyak baby oil pada daerah yang tertekan
memandikan pasien dengan sabun dan air hangat

Insision site care

- Monitor proses kesembuhan area insisi


- Gunakan preparat antiseptic, sesuai program
 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan
NOC
Energy convervation
Acitivity tolerance
Self care ADLs
Kriteria Hasil
- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi dan RR
- Mapu melakukan ADL secara mandiri
- TTV normal
- Mampu berpindah dengan atau tanpa bantuan alat

NIC

Acitivty Therapy

- Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medic dalam merencanakan


teapi yang tepat
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mamphu dilakukan
- Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan social
- Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai monitor respon
fisik, emosi social spiritual

DAFTAR PUSTAKA

Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.


M.Black, J., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Mary Baradero, S. M., Mary Wilfrid Dayrit, S. M., & Yakobus Siswadi, M. (2008). Klien
Gangguan Hati : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

McPhee, S. J., & Ganong, W. F. (2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran
Klinis. Jakarta: EGC.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction Jogja.

Nurdjanah, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

Price, S. A., Wilson, & Carty, L. M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC.

Sudoyo, A. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publising.

Anda mungkin juga menyukai