Anda di halaman 1dari 25

STATUS RESUS BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

Nama Ko-assisten
Nomor Induk
Gelombang/Periode

: Aldhimas Marthsyal Pratikna


: 20110310070
: 51

Tanda Tangan

Tanda Tangan
Dokter Pembimbing : dr. Esti Mahanani, Sp.M

Total Nilai

Total Nilai (Huruf)

(.................................................)
Nama Pasien
Usia
Alamat
Pekerjaan

: Ny. Suparni
: 73 tahun
: Mertoyudan
: IRT

No. RM
Jenis Kelamin
Agama
Tanggal Periksa

: XXXXXX
:Perempuan
: Islam
: 23-8-2016

A. ANAMNESIS
Keluhan Utama
tidak bisa digerakkan.

: Kelopak mata kiri bengkak dan bola mata

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan mata kiri tidak bisa digerakkan seperti
biasanya. Awalnya pasien mengalami KLL sepeda motor tunggal pada
tanggal 1 September 2016, pasien tidak ingat secara pasti kejadiannya seperti
apa karena pasien mengaku sempat hilang kesadaran. Pasien baru kembali
sadar ketika sudah ditangani di IGD RSU Tidar. Setelah pasien merasa baikan
pasien kemudian dipulangkan kerumah.
Kemudian 4 hari berikutnya pasien datang ke Poli Bedah dan
dilakukan pemeriksaan, dari pemeriksaan yang dilakukan dikatakan pasien
untuk melakukan pemeriksaan CT-Scan dan diperiksa ulang di Poli Mata.
Sampai saat diperiksa di Poli Mata pasien mengeluh matanya masih terasa
pegal, nyrocos, pandangan juga terasa ganda dan kadang kepala pasien terasa
pusing.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat keluhan mata yang sama disangkal
- Pasien sebelumnya memakai kacamata dengan ukuran -1,00/-1,00
- Riwayat dirawat di RS disangkal
- Riwayat penyakit lainnya (Hipertensi, DM, dll) disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat penyakit serupa disangkal
- Riwayat penyakit lainnya disangkal
Riwayat Sosial:
Pasien merupakan guru yang sering beraktivitas membaca
Kadang pasien masih pergi menggunakan sepeda motor
ANAMNESIS REVIEW SISTEM
Kepala
: Pasien mengeluh OS nyeri dan kadang melihat
sesuatu jadi ganda
Kulit
: Pasien tidak merasakan adanya keluhan
Jantung
: Pasien tidak merasakan adanya keluhan
Paru
: Pasien tidak merasakan adanya keluhan
Perut
: Pasien tidak merasakan adanya keluhan
Anggota Gerak
: Pasien tidak merasakan adanya keluhan
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
a.

PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
OD

OS

6/21

6/24

Refraksi

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Koreksi

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Visus Dekat

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Proyeksi Sinar

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

PEMERIKSAAN
Visus Jauh

TIO

18

23

b. PEMERIKSAAN OBJEKTIF
PEMERIKSAAN

OD

OS

PENILAIAN

1. Sekitar mata
-

Alis

Kedudukan alis
baik, jaringan parut
(-), simetris

Silia

Trikiasis (-),
diskriasis (-),
madarosis (-)

2. Kelopak mata
- Pasangan

Ptosis

Simetris, ptosis (-)


Spasme (-)

- Gerakan

Tidak dapat

Gangguan gerak

digerakkan

membuka dan
menutup (+)
blefarospasme (-)

- Lebar rima

- Kulit

Edema
Hiperemis

Normal 9-14 mm
Hiperemi
edema
massa

- Tepi kelopak

Hiperemis

Trichiasis (-)
ektropion (-)
entropion (-)

- Margo
intermarginalis

Tanda

Tanda radang (-)

peradangan (+)

3. Apparatus Lakrimalis

- Sekitar glandula

Dakrioadenitis (-)

Dakriosistitis (-)

Tidak

Tidak

dilakukan

dilakukan

Tidak

Tidak

dilakukan

dilakukan

Tidak

Tidak

dilakukan

dilakukan

Tidak simetris

lakrimalis
- Sekitar sakus
lakrimalis
- Uji flurosensi

- Uji regurgitasi

- Tes Anel

4. Bola mata
- Pasangan

Simetris
(orthophoria)

- Gerakan

- Ukuran

Ada gangguan

gerak (syaraf dan

otot penggerak bola

mata normal) OS

Makroftalmos (-)
Mikroftalmos (-)

5. TIO

18

23

Palpasi keras (ada


peningkatan TIO)

6. Konjungtiva
- Palpebra superior

- Forniks

- Palpebra inferior

- Bulbi

7. Sclera
8.

Tidak ikterik

horizontal 12mm

Kornea

- Ukuran

vertikal 11mm
- Kecembungan

Lebih cembung
dari sclera

- Limbus

Arcus senilis (-)


Injeksi siliar (-)

- Permukaan

Licin, mengkilap,
edema (-)
corpal (-)
defek epitel (-)
ulkus(-)

- Medium

Jernih

Jernih

- Uji flurosensi

Tidak

Tidak

dilakukan

dilakukan

Tidak

Tidak

dilakukan

dilakukan

- Ukuran

dalam

dalam

Dalam

- Isi

jernih

jernih

Jernih, flare (-)

- Placido

9.

Jernih

Konsentris Reguler

Kamera Okuli anterior

hifema (-)
hipopion (-)
10.

Iris

- Warna
- Pasangan
- Gambaran

Coklat

Coklat

Simetris
Kripte baik
sinekia (-)

11.

Pupil

mm

- Ukuran

8 mm

Normal ( 3-6
mm) pada ruangan
dengan cahaya
cukup

- Bentuk

Bulat

Bulat

- Tempat

Tengah

Di tengah

- Tepi

Reguler

Reguler

- Refleks direct

- Refleks indrect

- Ada/tidak

Ada

Ada

- Kejernihan

Jernih

Jernih

Isokor
Di tengah
Reguler

Minimal sekali Positif


Positif

12. Lensa

- Letak

Ada
Jernih
Di tengah,
belakang iris

- Warna Kekeruhan

c.

KESIMPULAN PEMERIKSAAN
OD
-

Secara umum masih dalam batas

OS
-

Palpebra superior dan inferior

normal

pasien nampak edem disertai

Visus jauh pasien 6/21

dengan hiperemis

Tidak tampak ada peradangan

Visus jauh pasien 6/24

Bola mata pasien tidak dapat


mengikuti arah gerakkan yang
dipandu oleh jari

Bola mata pasien nampak lebih


condong ke arah luar dan bawah

DIAGNOSIS
Diagnosis Banding
- Parese Nervus 3
- Ptosis
- Strabismus
Diagnosis Kerja
- Parese Nervus 3

TERAPI
Timolol ED 2xgtt1 OS
Methyl Prednisolon 8 mg 2x1 (1-1-0)
Neurobion 1x1

EDUKASI
- Mengurangi aktivitas diluar ruang
- Jangan membawa kendaraan seorang diri
- Jika rasa menekan pada mata semakin terasa harus segera berobat
- Jika rasa pusing disertai mual muntah harus segera berobat
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis akan sulit mengembalikan kondisi otot dan saraf mata
seperti sediakala
MASALAH YANG DIKAJI
1. Apakah yang dimaksud parese nervus okulomotorius ?
2. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat ?

PARESE NERVUS OKULOMOTORIUS

NEUROANATOMI
Tiga saraf kranial yang mempersarafi otot-otot mata: nervus okulomotorius
(N III), nervus trokhlearis (N IV), dan nervus abdusens (N VI). Nuklei nervus
okulomotorius dan nervus trokhlearis terletak di tegmentum mesensefali, sedangkan
nukleus nervus abdusens terletak di bagian tegmentum pontis di bagian bawah dasar
ventrikel keempat.
Harus diingat bahwa pergerakan mata biasanya konjugat, yaitu keduanya
biasanya menuju arah yang sama (umumnya horizontal atau vertikal) pada kedua
mata pada saat yang bersamaan. Gerakan kojugat horizontal, khususnya, melibatkan
pergerakan simultan pada kedua mata dengan arah berlawanan dari garis tengah; satu
mata bergerak ke medial, sedangkan mata lainnya bergerak ke arah lateral. Dengan
demikian gerakan konjugat bergantung pada ketepatan koordinasi persarafan kedua
mata, dan pada nuklei otot yang mempersarafi gerakan mata pada kedua sisi.
Hubungan saraf sentral yang kompleks juga mempengaruhi terjadinya gerakan
tersebut. Saraf yang mempersarafi otot-otot mata juga berperan pada beberapa refleks
yaitu akomodasi, konvergensi, dan refleks cahaya pupil.

Nervus okulomotorius (N III)


Area

nuklear

nervus

okulomotorius

terletak

di

substansia

grisea

periakuaduktus mesensefali, ventral dari akuaduktus, setinggi kolikulus superior.


Area ini memiliki dua komponen utama:
1. Nukleus parasimpatis yang terletak di medial, disebut nukleus Edinger-Westphal,
yang mempersarafi otot-otot intraokular (M. sfingter pupil dan M. siliaris);
2. Kompleks yang lebih besar, disebut Kompleks nukleus okulomotorius, yang
terletak lebih lateral yang mempersarafi empat dari enam otot-otot ekstraokular
antara lain M. rektus superior, M. rektus inferior, M. rektus medialis, M. obliqus
inferior. Selain itu juga terdapat area nuklear kecil untuk M. levator palpebra. M.

Levator palpebrae dipersarafi secara bilateral; M. rektus medialis, M. rektus


inferior dan M. obliqus inferior dipersarafi secara ipsilateral; dan M. rektus
superior dipersarafi secara kontralateral dengan dekusasio serabut-serabut yang
terjadi pada ujung kaudal dari kompleks ini.
Serabut radikular motorik yang keluar dari area nuklear ini berjalan ke arah
ventral bersama dengan serabut parasimpatis. Beberapa di antara serabut-serabut
tersebut menyilang garis tengah dan sebagian lagi tidak menyilang (semua serabut
untuk M. rektus superior menyilang garis tengah). Kombinasi serabut motorik dan
parasimpatis melewati nukleus ruber dan akhirnya keluar dari batang otak di fosa
interpedunkularis.
Fasikulus nervus okulomotorius pertama-tama berjalan ke arah posterior
diantara a. serebelaris superior dan posterior, kemudian menembus duramater,
berjalan melewati sinus kavernosus, dan memasuki rongga orbita melalui fisura
orbitalis superior. Bagian parasimpatis saraf membentuk cabang di sini dan berjalan
ke gangglion siliare, tempat berakhirnya serabut praganglionik dan sel-sel ganglion
membentuk serabut postganglionik pendek untuk mempersarafi otot-otot intraokular.

Serabut motorik somatik nervus okulomotorius terbagi menjadi dua


cabang/divisi, cabang/divisi superior mempersarafi M. levator palpebra dan M. rektus

superior, dan cabang/divisi inferior mempersarafi M.rekti medialis dan inferior serta
M. obliqus inferior.

ASPEK MOTOTRIK OTOT-OTOT EKTRAOKULAR


Posisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam
otot ekstraokular. Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala dan
mata terletak sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakan mata ke arah
pandangan yang lain, otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot antagonis
melemas. Bidang kerja suatu otot adalah arah pandangan bagi otot itu untuk
mengeluarkan daya kontraksinya yang terkuat sebagai suatu agonis, misalnya M.
rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada waktu melakukan abduksi mata.

Tabel 1. Fungsi otot mata


Otot

Kerja primer

Kerja sekunder

Rektus lateralis

Abduksi

Tidak ada

Rektus medialis

Aduksi

Tidak ada

Rektus superior

Elevasi

Aduksi, intorsi

Rektus inferior

Depresi

Aduksi, ekstorsi

Obliqus superior

Intorsi

Depresi, abduksi

Obliqus inferior

Ekstorsi

Elevasi, abduksi

Otot rektus medialis dan lateralis masing-masing menyebabkan aduksi dan


abduksi mata, dengan efek ringan pada elevasi atau torsi. Otot rektus vertikalis dan
obliqus memiliki fungsi rotasi vertikal dan torsional. Secara umum, otot-otot rektus
vertikalis merupakan elevator dan depresor utama untuk mata, dan otot obliqus
terutama berperan dalam gerakan torsional. Efek vertikal otot rektus superior dan
inferior lebih besar apabila mata dalam keadaan abduksi. Efek vertikal otot obliqus
lebih besar apabila mata dalam keadaan aduksi.

Otot-otot sinergistik dan antagonistik (Hukum Sherrington)


Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang sama.
Dengan demikian untuk tatapan vertikal, otot rektus superior dan obliqus inferior
bersinergi menggerakan mata ke atas. Otot-otot yang sinergistik untuk suatu fungsi
mungkin antagonistik untuk fungsi lain. Misalnya, otot rektus superior dan obliqus
inferior adalah antagonis untuk torsi, karena rektus superior menyebabkan intorsi dan
obliqus inferior menyebabkan ekstorsi. Otot-otot ekstraokular, seperti otot rangka,
memperlihatkan persarafan timbal balik otot-otot antagonistik (Hukum Sherrington).
Dengan demikian, pada dekstroversi, otot rektus medialis kanan dan lateralis kiri
mengalami inhibisi sementara otot lateralis kanan dan rektus medialis kiri
terstimulasi.

Otot pasangan searah (Hukum Hering)


Agar gerakan kedua mata berada dalam arah yang sama, otot-otot agonis
harus menerima persarafan yang setara (Hukum Hering). Pasangan otot agonis
dengan kerja primer yang sama disebut pasangan searah. Otot rektus lateralis kanan
dan rektus medialis kiri adalah pasangan searah untuk menatap ke kanan. Otot rektus
inferior kanan dan obliqus superior kiri adalah pasangan searah untuk memandang ke
bawah dan ke kanan.

Tabel 2. Otot-otot pasangan searah dalam posisi menatap/melirik utama


Mata ke atas dan kanan

RSR dan LIO

Mata ke atas dan kiri

LSR dan RIO

Mata ke kanan

RLR dan LMR

Mata ke kiri

LLR dan RMR

Mata ke bawah dan kanan

RIR dan LSO

Mata ke bawah dan kiri

LIR dan RSO

10

M. levator palpebra
Fungsi M. levator palpebra adalah untuk mengangakat kelopak mata. Ptosis
biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra superior (otot
kelopak mata atas). Normalnya kelopak mata terbuka adalah 10 mm. Ratarata lebar
fisura palpebra/celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm,
panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi
1.5 mm kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah
seharusnya 4 mm diatas reflek cahaya pada kornea. Jika batas kelopak mata atas
menutupi kornea 1 atau 2 mm kebawah masih dapat dikatakan normal dan jika
menutupi kornea 4 mm termasuk ptosis berat.
Tipe-tipe ptosis:
1. Ptosis Kongenital
Jika kelopak mata menutupi mata sehingga menghalangi fungsi mata, ini
dapat dianggap sebagai keadaan oftalmik darurat relative karena tertundanya
elevasi dari kelopak mata dapat menyebabkan berkembangnya amblyopia.
Penyebab paling sering dari ptosis kongenital adalah distrofi dari otot levator
palpebra dan terkadang adanya riwayat keluarga dari kondisi ini. Kelainan ini
bersifat herediter dan autosomal dominan. Penyebab lainnya juga bisa karena
adanya aplasia dari inti nervus okulomotorius yang mempersarafi otot levator
palpebra.
2. Ptosis didapat (Acquired Ptosis)

Ptosis Aponeurotik
Ptosis aponeurotik biasanya disebabkan oleh proses penuaan atau
pengulangan episode dari adanya udem, walaupun ini dapat muncul
secara kongenital. Karakteristik pasien ini biasanya masih dapat
mempertahankan fungsi levator, akan tetapi biasanya didapatkan
banyak keriput dan kelopak mata atas yang tipis.

Ptosis Myogenik

11

Penyebab utama ptosis myogenik adalah kelainan dari otot, seperti


misalnya chronic progressive external ophtalmolplegia (CPEO). Ptosis
myastenik disebabkan oleh gangguan transmisi neuromuscular.

Ptosis Neurogenik
Ptosis neurogenik melibatkan kelainan saraf cranial III dan sindrom
Horner, dan keduanya memiliki etiologi yang berpotensi dapat
mengancam nyawa, seperti misalnya aneurisma interkranial, atau
neoplasma apikal paru. Pada parese nervus III terdapat abnormalitas
dari gerakan ocular dan pupil dapat berdilatasi. Pada sindrom Horner,
yang disebabkan oleh lesi pada saraf simpatis, didapatkan pupil yang
kecil dan hilangnya keringat dan kontrol vasomotor pada sisi yang
sama di wajah. Tipe yang khusus dari ptosis neurogenik muncul secara
kongenital disebabkan oleh koneksi batang otak yang abnormal.

Ptosis mekanik
Ptosis mekanik biasanya disebabkan oleh beratnya tumor kelopak
mata atas, misalnya neurofibroma

ETIOLOGI
Penyebab parese nervus okulomotorius antara lain:
Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot-otot ekstraokular dan kadang disertai
ptosis. Tidak terdapat internal oftalmoplegia.
Trauma, dapat berupa trauma saat kelahiran ataupun akibat kecelakaan. Namun,
terkenannya nervus okulomotorius lebih kecil kemungkinannya dibandingkan
nervus abdusens.
Aneurisma, biasanya mengenai a. komunikans posterior atau a. karotis interna pars
supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotorius dapat terjadi sebagian ataupun
total dan biasanya disertai dengan nyeri hebat di sekitar mata. Apabila aneurisma
terjadi pada a. karotis interna pars infraklinoid maka kelumpuhan nervus
okulomotorius biasanya didahului oleh kelumpuhan nervus abdusens.

12

Diabetes dan hipertensi, kelumpuhan nervus okulomotorius disebabkan oleh


arteriosklerosis.
Neoplasma, kerusakan pada nervus okulomotorius dapat terjadi akibat invasi
neoplasma pada nukleus nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di sepanjang
perjalanan N III mulai dari fasikulus nervus okulomotorius sampai ke terminalnya
di orbita (misalnya akibat tumor nasofaring, tumor kelenjar hipofisis,
meningioma).
Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa berbeda dengan
anak-anak. Berikut ini berbagai macam penyebab parese nervus okulomotorius pada
orang dewasa dan anak-anak.

Tabel 3. Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa


Rucker

Rucker

Green et al

(335 kasus)

(274 kasus)

(130 kasus)

No.

No.

No.

64

19

50

18

38

13

63

19

47

17

25

Trauma

51

15

34

13

14

Sifilis

12

Neoplasma

35

11

50

18

Lain-lain

95

28

55

20

33

12

21

38

12

Aneurisma
Penyakit
vaskuler *

Penyakit
misellanous

* Termasuk diabetes mellitus

13

Tabel 4. Penyebab parese nervus okulomotorius pada anak-anak


Miller

Harley

(30 kasus)

(32 kasus)

No.

No.

Kongenital

13 *

43

15

47

Aneurisma

Neoplasma

10
2@

Penyakit vaskuler
Trauma

20

13

Inflamasi

13

Misellanous

2#

10

* Termasuk trauma kelahiran


@

Migren oftalmoplegia, yaitu suatu sindroma yang jarang ditemukan dimana biasanya
onsetnya pada masa anak. Kelumpuhan saraf otak pada pasien dengan migren oftalmoplegia
biasanya berkembang sebagai fase meredanya nyeri kepala, meskipun hal itu mungkin
terjadinya kapan saja dalam hubungannya dengan fase-fase nyerinya. Onset dari ptosis pada
beberapa pasien ini merupakan sinyal bahwa nyeri kepalanya sedang akan menghilang.
Kelemahan otot ekstra okuler cenderung akan lebih lama pada tiap episodenya, dan pada
beberapa orang terjadi parese okulomotor yang permanen.

Informasi terbatas

GEJALA KLINIS
A. Parese okulomotor
Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja
sepanjang perjalanan saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius
mempengaruhi M. rekti medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. levator
palpebra, dan kedua M. rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan
pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral. Dari

14

fasikulus nervus okulomotorius di otak tengah ke terminalnya di orbita, semua


lesi lain menimbulkan lesi yang semata-mata ipsilateral.
Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus
(otak tengah) ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar karena
otot rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior yang
tidak terpengaruh. Mungkin dijumpai dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, dan
ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil tertutup. Mata
mungkin hanya dapat digerakan ke lateral.

Parese nervus okulomotorius dapat dibagi menjadi:


Kelumpuhan total nervus okulomotorius
Pada kelumpuhan total nervus okulomotorius, semua otot intraokular dan
semua otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius terkena,
disertai dengan hilangnya refleks akomodasi dan refleks cahaya pupil.
Kerusakan dari serabut parasimpatis pada N III menyebabkan pupil midriasis,
juga terdapat ptosis karena M. levator palpebra ikut mengalami kelumpuhan.
Akibat lumpuhnya otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus
okulomotorius dan karena fungsi dari M. rektus lateral dan M. obliqus
superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah. Deviasi
mata yang disebabkan oleh parese N III dapat digolongkan ke dalam
strabismus paralitik atau inkomitan. Pasien tidak mengalami diplopia karena
kelopak mata yang ptosis menutupi pupil.

15

Complete left ptosis (looking straight ahead).

Left inferior oblique paralysis

Left superior rectus paralysis

(looking up and right).

(looking up and left).

Left medial rectus paralysis

Normal left lateral rectus

(looking right).

(looking left).

Left superior oblique action

Left inferior rectus paralysis

is limited (because of inability

(looking down and left).

16

to adduct: looking down and


right).

Kelumpuhan parsial nervus okulomotorius


Pada kelumpuhan parsial nervus okulomotorius, paralisis otot-otot intraokular
dan ekstraokular dapat terjadi secara terpisah.
- Eksternal oftalmoplegia
Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh
nervus okulomotorius. Mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah, dan
apabila ptosis tidak menutupi pupil maka pasien akan mengalami diplopia.
Untuk mengatasi diplopia, pasien akan mengatur posisi kepalanya agar
penglihatannya menjadi binokular, akibatnya akan terjadi postur abnormal
dari kepala pasien.
- Internal oftalmoplegia
Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot intraokular sehingga yang terjadi
adalah hilangnya refleks akomodasi akibat paralisis M. siliaris dan midriasis
akibat paralisis M. sfingter pupil. Pasien tidak mengalami diplopia karena
tidak terjadi strabismus.
Letak kelumpuhan vaskuler yang biasanya disebabkan oleh diabetes melitus,
migren, ataupun hipertensi sering terjadi di daerah sinus kavernosus, tempat
serat-serat pupil terletak perifer dan mendapat banyak makanan dari vasa
vasorum sehungga pada lesi-lesi iskemik biasanya pupil tidak mengalami
gangguan. Pada lesi-lesi kompresif, biasanya aneurisma, serat-serat pupil
terkena secara dini sehingga pupil mengalami dilatasi. Dengan demikian, lesi
iskemik dan lesi kompresif dapat dibedakan secara klinis, karena pada lesi
iskemik respon pupil umumnya normal, sedangkan lesi kompresif
menyebabkan pupil mengalami dilatasi dan fiksasi total. Kurang dari 5%
kelumpuhan nervus okulomotorius akibat lesi iskemik berkaitan dengan
kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan pupil parsial.

17

B. Sinkinesis okulomotor (Regenerasi aberan nervus okulomotorius)


Fenomena ini ditandai oleh:
Diskinesia kelopak mata pada saat menatap horizontal akibat M. levator
palpebra bekerja sewaktu M. rektus medialis bekerja;
Aduksi sewaktu berusaha melihat ke atas akibat M. rektus medialis bekerja
sewaktu M. rektus superior bekerja;
Retraksi sewaktu berusaha melihat ke atas karena kedua rektus, yang bersifat
retraktor, bekerja;
Pupil pseudo-Argyll Robertson, yaitu tidak ada respon cahaya, tidak ada respon
dekat pada posisi primer tetapi respon dekat pada aduksi atau aduksi-depresi
akibat persarafan pupil dari M. rektus inferior atau medialis;
Tanda pseudo-Graefe, dimana terjadi retraksi kelopak mata sewaktu menatap ke
bawah akibat persarafan kelopak dari M. rektus inferior; dan
Respon nistagmus optokonetik vertikal monokular akibat otot-otot yang
memfiksasi mata yang terkena bekerja bersama-sama sehingga hanya mata
normal yang berespon terhadap target yang bergerak.
Sinkinesis okulomotor ini mungkin terjadi tidak saja sebagai kombinasi
kesalahan arah akson yang sedang tumbuh ke selaput yang salah tetapi juga sebagai
akibat dari transmisi atau timbal balik antara akson-akson yang tidak memiliki
penutup selaput mielin.
Sinkinesis okulomotor dapat terjadi akibat trauma berat atau penekanan N III
oleh aneurisma a. komunikans posterior, atau secara primer disebabakan oleh
aneurisma a. karotis interna atau meningioma di sinus kavernosus. Apabila
penekanan berlangsung beberapa minggu, maka sering diperlukan bedah strabismus
untuk memperoleh penglihatan tunggal binokular.

C. Kelumpuhan okulomotor siklik


Kelumpuhan okulomotor siklik dapat menjadi penyulit kelumpuhan
kongenital nervus okulomotorius. Kelainan ini merupakan proses predominan
unilateral yang jarang terjadi berupa kelumpuhan N III yang memperlihatkan spasme

18

siklik setiap 10-30 detik. Selama selang waktu ini, ptosis membaik dan akomodasi
meningkat. Fenomena ini berlanjut terus seumur hidup tetapi berkurang sewaktu tidur
dan meningkat seiring dengan tingkat kewaspadaan. Kelainan ini mungkin terjadi
akibat lepas muatan periodik oleh neuron-neuron yang rusak di nukleus
okulomotorius yang menimbulkan rangsang subthreshold yang semakin bertambah
sampai timbul lepas muatan.

PEMERIKSAAN KLINIS
A. Anamnesis
Usia onset: ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang.
Semakin dini onsetnya, semakin buruk prognosis untuk fungsi penglihatan
binokularnya.
Jenis onset: awitan dapat perlahan, mendadak, atau intermiten.
Jenis deviasi: ketidaksesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih besar
di posisi-posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh atau dekat.
Diplopia: pasien dewasa dengan strabismus paralitik/inkomitan akan mengeluh
melihat dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi apabila strabismus
paralitik terjadi pada masa anak-anak keluhan melihat dobel tidak ada karena
terjadi supresi pada bayangan kedua yang dilihatnya dan biasanya terjadi
ambliopia.
Keluhan diplopia dapat membantu dalam menentukan otot ekstraokular mana
yang mengalami kelumpuhan. Pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan
mengenai arah bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila bayangan yang
dilihat terpisah secara horizontal maka kemungkinan otot yang mengalami
kelumpuhan adalah otot rektus lateralis atau medialis. Apabila bayangan yang
dilihat terpisah secara vertikal atau miring (torsi) maka kemungkinannya
terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus yang mengalami
kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang dilihat dalam posisi
menatap tertentu dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai otot

19

ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Misalnya, diplopia akan


terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke kanan dan bayangan tersebut terpisah
secara horizontal maka otot ekstraokular yang mungkin terkena adalah otot
rektus lateralis kanan atau rektus medialis kiri. Hal ini sebaiknya dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan pergerakan bola mata.
Ketajaman penglihatan: baik atau menurun
Riwayat penyakit: diabetes melitus, hipertensi, aneurisma, neoplasia, atau
trauma (trauma saat kelahiran ataupun trauma kepala akibat kecelakaan).
Riwayat penyakit ini penting dalam hal mencari faktor yang mendasari atau
faktor penyebab paresenya nervus okulomotorius.

B. Pemeriksaan fisik
Inspeksi: inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi
konstan atau intermiten, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau
konstan. Adanya posisi kepala yang abnormal dan ptosis juga dapat diketahui.
Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak mata atas dapat unilateral, sedangkan
pada ptosis miogenik biasanya bilateral. Karakteristik dari ptosis unilateral
adalah pasien berusaha untuk meningkatkan fisura palpebra dengan cara
merengut atau mengernyitkan dahi (kontraksi dari otot frontalis). Ptosis
kongenital biasanya mengenai satu mata saja.
Pupil: ukuran, isokor/anisokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung.
Hirschberg reflction test: memeriksa reflek cahaya pada kedua permukaan
kornea. Dengan tes ini adanya strabismus dapat dideteksi, setiap 1 mm
penyimpangan sama dengan 15 dioptri prisma (70).
Ortofori bila masing-masing refleks cahaya pada kornea berada di tengahtengah pupil.
Heterofori bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di tengahtengah pupil.
Pergerakan mata: memeriksa pergerakan mata pasien dengan meminta pasien
mengikuti pergerakan jari pemeriksa ke sembilan arah yaitu lurus ke depan, 6

20

posisi kardinal (kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas, kiri bawah), ke
atas, dan ke bawah. Pada saat mata melakukan pergerakan ke 6 posisi kardinal
hanya satu otot saja yang bekerja, sedangkan saat mata melihat ke atas atau ke
bawah beberapa otot bekerja bersamaan sehingga sulit mengevaluasi kerja
masing-masing otot. Oleh karena itu dalam menilai kelumpuhan otot-otot
ekstraokular, pergerakan mata ke 6 posisi kardinal lebih bernilai diagnostik.
Selain itu penting juga untuk menilai kecepatan dari gerakan sakadik mata baik
secara horizontal ataupun vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf
yang mempersarafi otot-otot ekstraokuler ataupun pada tingkat yang lebih
tinggi lagi, dapat terlihat pergerakan mata jauh lebih lambat dibandingkan mata
normal.
Ketajaman penglihatan: masing-masing mata harus dievaluasi secara tersendiri.
Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau pada anak dapat
dinilai dengan menggunakan E jungkir balik (Snellen) atau gambar Allen.
Cover-uncover test: tes ini bertujuan untuk menentukan sudut deviasi/sudut
strabismus. Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata yang lain
ditaruh penutup untuk menghalangi pandangannya, kemudian amati mata yang
tidak ditutup apakah mata tersebut bergerak untuk melakukan fiksasi atau tidak.
Setelah itu buka penutup yang telah dipasang dan perhatikan apakah mata yang
telah dibuka penutupnya melakukan fiksasi kembali atau tidak. Jika mata
tersebut melakukan fiksasi maka mata tersebut normal dan mata yang
mengalami deviasi adalah mata sebelahnya.
Hess screen: tes ini bertujuan untuk mengukur sudut deviasi/sudut strabismus.
Untuk tes ini di depan salah satu mata pasien dipakaikan kaca berwarna merah
dan kaca berwarna hijau pada mata lainnya. Kemudian pasien diminta untuk
memegang tongkat dengan lampu hijau dan diminta untuk menunjuk cahaya
merah yang terlihat pada layar dengan tongkat tersebut. Dengan tes ini masingmasing mata dapat dinilai sehingga dapat diukur arah dan sudut deviasinya.
Penilaian dan pengukuran deviasi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah
penting, tidak hanya untuk mendiagnosa otot ekstraokular mana yang terkena

21

tapi juga sebagai patokan awal terhadap derajat kelumpuhan otot sehingga
kemajuan pasien dapat dievaluasi dengan baik.
Pemeriksaan sensorik: pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai status
pengihatan binokular. Pemeriksaan tersebut adalah untuk stereopsis, supresi,
dan potensi fusi. Semua memerlukan dua sasaran terpisah untuk masing-masing
mata.

C. Pemeriksaan penunjang
Beberapa kasus yang berkaitan dengan strabismus paralitik/inkomitan
mengarah pada gangguan neurologis yang serius, seperti pada parese N III yang
disertai rasa nyeri, yang dicurigai akibat aneurisma pada Sirkulus Willisi. Pada
kasus-kasus seperti ini pasien sebaiknya segera dirujuk pada ahli neurologi, tapi
pada kasus-kasus yang tidak membutuhkan penganganan dengan segera dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang yang mungkin dapat membantu dalam
mencari penyebab dan menegakan diagnosa, antara lain:
Gula darah
Foto kranium
Foto sinus paranasal dan orbita, bila diperlukan CT scan sinus paranasal dan
orbita
Tes fungsi tiroid dan autoantibodi
Tensilon (edrophonium) test, untuk menegakan diagnosa miastenia gravis
CT brain / MRI / angiografi karotis pada kasus-kasus neurologis

TERAPI
A. Terapi untuk strabismus
Pada dasarnya terapi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah dengan mengatasi
faktor penyebab timbulnya parese nervus okulomotorius.
Terapi medis
Terapi ambliopia

22

Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup
untuk merangsag mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium terapi
ambliopia, yaitu:
- Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus menerus. Bila
ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu muda maka diterapkan
penutupan paruh waktu. Terapi oklusi dilanjtukan selama ketajaman
penglihatan membaik (kadang-kadang sampai setahun). Penutupan sebaiknya
tidak terus-menerus lebih dari 4 bulan apabila tidak terdapat kemajuan.
- Stadium pemeliharaan, terdiri dari penutupan paruh waktu yang dilanjutkan
setelah fase perbaikan untuk mempertahankan penglihatan terbaik melewati
usia dimana ambliopianya kemungkinan besar kambuh (sekitar usia 8 tahun).
Prisma
Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis.
Unsur-unsur retina dibuat segaris untuk menghilangkan diplopia. Apabila
digunakan sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang akan
timbul setelah tindakan bedah. Prisma dapat digunakan dengan beberapa cara.
Bentuk yang cukup nyaman adalah prisma plastik press-on Fresnel. Alat optik
ini bermanfaat diagnostik dan terapetik temporer.

Terapi bedah
Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam lapangan
pandang yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Terapi bedah
dapat ditunda selambat-lambatnya sampai satu tahun dengan maksud memberi
kesempatan untuk pemulihan dengan sendirinya. Terapi bedah biasanya dilakukan
bila penglihatan binokular tidak kunjung membaik setelah otot-otot ekstraokular
pulih, selambat-lambatnya sampai 6 bulan.
Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual,
tindakan ini merupakan tindakan paling sederhana. Sebuah otot diperkuat dengan
suatu tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, diregangkan lebih
panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke mata, biasanya di tempat

23

insersi semula. Resesi adalah tindakan perlemahan standar. Otot dilepas dari mata,
dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut
dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya semula.

B. Terapi untuk ptosis


Ptosis kongenital : pada ptosis kongenital yang menghalangi penglihatan mata,
terapi aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah
perkembangan ptosis menjadi ambliopia. Selain itu, perkembangan visual dapat
di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada usia prasekolah, saat
jaringannya masih berkembang sangat baik. Tindakan operasi yang dilakukan
berupa bedah retraksi dari kelopak mata atas, yang sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin saat ditemukan adanya resiko berkembangnya gangguan
penglihatan akibat ptosis. Resiko dari keratopati terpapar harus di jelaskan
kepada pasien dan kemungkinan kelopak mata dapat jatuh atau turun lagi jika
masalah keratopati terpaparnya cukup serius harus juga dijelaskan kepada
pasien. Antibiotik dan lubrikan diberikan saat pasca operasi sampai permukaan
ocular menjadi terbiasa dengan tinggi kelopak mata yang baru.

24

Anda mungkin juga menyukai