Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting

di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,


sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagain besar pasien
dengan batu emepedu tidak mempunyai keluhan. Resiko penyandang batu
empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian,
sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan kolik yang spesifik maka resiko
untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.
Di negara barat 10-15% pasien dengan batuu kandung empedu juga diserta
batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran emepdu dapat
terbentuk primer di saluran empedu intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan
kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada
pasien diwilayah asia dibandingkan di negara barat. Perjalanan batu saluran
empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat
dibandingkan batu kandung empedu asimptomatik.
Kolesistitis adalah inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering
karena obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus
kolesistitis melibatkan batu pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan
sebanyak 10% termasuk kolesistitis akalkulus.
Kira-kira 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan
sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis akut. Kolesistektomi untuk kolik
bilier rekuren atau kolesistitis akut adalah prosedur penatalaksanaan bedah utama
yang dilakukan oleh ahli bedah umum, dan kurang lebih 500.000 operasi
dilakukan per tahunnya.
Meskipun telah ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk kolesistitis
namun penyakit ini masih memiliki tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang
cukup tinggi terutama pada orang lanjut usia.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang kolesistitis dan kolelitiasis.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami tentang defenisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesis,

gambaran

klinis,

diagnosa,

dan

penatalaksanaan

kolelitiasis.
2. Mengetahui dan memahami tentang defenisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesis,

gambaran

klinis,

diagnosa,

dan

penatalaksanaan

kolesistitis.
1.3. Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumber media informasi mengenai kolesistitis dan kolelitiasis
2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang
kolesistitis dan kolelitiasis.
3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di
bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok tahun 2016.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi kandung empedu
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujungnya buntu dari kandung
empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah
bagian yang sempit dari kandung empedu.1
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk
dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus
hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus.1

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu


2.2 Fisiologi
Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya
antara 600-1200 ml/hari. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam
kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer
dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan

natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang
terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.1
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain : asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk
akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh selsel hati.1
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga
dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem
saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu
pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan
kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung
empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam
makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu
sekitar 1 jam. 1
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik
yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.1

2.3. Kolelitiasis
2.3.1. Defenisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
2.3.2. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan
tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu.1
2.3.3. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada

saluran

empedu

lainnya

dan

diklasifikasikan

berdasarkan

bahan

pembentuknya. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling


penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.1,2
Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol:
1. Hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu
2. Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol
3. Gangguan motilitas kandung empedu dan usus2
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garamgaram empedu dan lesitin dari empedu, dan terlalu banyak sekresi kolesterol
dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah
lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah
satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang

mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.3
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejala kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.1,2,4
2.3.4. Tipe Batu
a. Batu Kolesterol
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab
bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini
merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 %
kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen
empedu, senyawa organik dan inorganik lain. 4
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:

Supersaturasi empedu dengan kolesterol.


Pembentukan nidus.
Kristalisasi/presipitasi.
Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan
senyawa lain yang membentuk matriks batu.
b. Batu Kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, sering ditemukan
berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak. Umumnya batu
pigmen coklat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
Batu pigmen coklat biasanya ditemukan dengan ukuran diameter kurang dari
1 cm, berwarna coklat kekuningan, lembut dan sering dijumpai di daerah
Asia. Batu ini terbentuk akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu.
Stasis dapat disebabkan karena disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier,
dan parasit. Pada infeksi empedu, kelebihan aktivitas -glucuronidase bakteri
dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu
pigmen pada pasien di negara timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut
akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai

calcium bilirubinate. Enzim -glucuronidase bakteri berasal dari kuman E.


coli dan kuman lainnya di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh
glucarolactone yang konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet
rendah protein dan rendah lemak.2
c. Batu pigmen hitam
Batu pigmen hitam kaya akan residu hitam tak terekstraksi. Batu tipe ini
banyak dijumpai pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu
pigmen ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Patogenesis
terbentuknya batu pigmen ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. Batu empedu
jenis ini umumnya berukuran kecil, hitam dengan permukaan yang kasar.
Biasanya batu pigmen ini mengandung kurang dari 10% kolesterol.2
2.3.5. Diagnosis
1. Gejala Klinis
a. Batu Kandung Empedu (Kolelitiasis)
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien
dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu empedu simptomatik dan pasien
dengan

komplikasi

batu

empedu

(kolesistitis,

ikterus,

kolangitis,

dan

pankreatitis).2
Asimtomatik
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik
waktu diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit
dari 1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan
bahwa sebanyak 50% pasien asimptomatik.2
Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih
dari 30 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik
biliaris, nyeri post prandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh
makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk

sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan
serangan kolik biliaris.2,4
Pasien dengan komplikasi batu empedu
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang
paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya
diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari
kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam
infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut
kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun
didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post
prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan
dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat
disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat
berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda
toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy
sign (pasien berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa
yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus.5
b. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan
perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non
piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis
piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala
trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran
sampai koma.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan

adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui
ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya
batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.4
2. Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut dapat
terjadi leukositosis, biasanya akan diikuti kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali
terjadi serangan akut.4

b. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung empedu
berkalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos abdomen. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak dikuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, flexura
hepatica.

Gambar 2. Foto Rongent pada kolelitiasis

Ultrasonografi
Pemeriksaan

ini

merupakan

metode

noninvasif

yang

sangat

bermanfaat dan merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis


dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 95%.
Ultrasonografi dapat memberikan informasi yang cukup lengkap
mengenai :

Memastikan adanya batu empedu

Menunjukkan berapa batu empedu yang ada dan juga ukurannya.

Melihat lokasi dari batu empedu tesebut. Apakah di dalam kandung


empedu atau di dalam duktus.

Ada 2 jenis pemeriksaan menggunakan ultrasonografi, yaitu :


Ultrasonografi transabdominal
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, murah dan

10

tidak membahayakan pasien. Hampir sekitar 77 % batu empedu


dapat didiagnosis dengan ultrasonografi transabdominal secara
akurat.2
Ultrasonografi endoskopi
Ultrasonografi endoskopik dapat memberikan gambaran yang
lebih baik daripada ultrasonografi transabdominal. Karena
sifatnya yang lebih invasif dan juga dapat mendeteksi batu
empedu

yang

berlokasi

di

duktus

biliaris

lebih

baik.

Kekurangannya adalah mahal dari segi biaya dan banyak


menimbulkan risiko bagi pasien.4
Dalam studi ultrasonografi endoskopi juga lebih sensitif
dibandingkan dengan US dan CT dalam mendiagnosis batu
saluran

empedu

ultrasonografi

bila

saluran tidak

endoskopi

lebih

melebar. Selanjutnya

sensitif

dibandigkan

US

transabdominal atau Ct untuk batu dengan diameter kurang dari 1


cm.2
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus
distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara didalam usus. Dengan
ultrasonografi punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu
yang gangren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

11

Gambar 3. Hasil USG menunjukan adanya batu pada kandung empedu

Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum
diatas 2 mg/dl, obstruksi pylorus, dan hepatitis karena pada keaadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Penilaian kolesistografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 4. Hasil Kolesistografi

CT scan
Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.

12

Gambar 5. CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan
duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier
dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk
mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan
ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan
ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan
untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung
empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda
perforasi/ infeksi.4

Gambar 6. ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah


pendek) dan di duktus intrahepatik (panah panjang)

13

Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)


Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah
modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan
untuk mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat
mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi
duktus.4

Gambar 7. Hasil MRCP


2.3.6. Komplikasi
1. Kolesistitis Akut
Kurang dari 15% pasien dengan batu simptomatik mengalami kolesistitis akut.
Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dnegan kombinasi mual, muntah, dan
panas.2
Patogenesis kolesititis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu terjepit.
Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume kandung
empedu dan edema kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis
dan perforasi. Jadi pada mulanya terjadi peradangan steril dan baru pad atahap
kemudian terjadi superinfeksi bakteri. Kolesistitis akut juga dapat disebabkan
lumpur batu empedu (kolesistitis akalkulus).2
2. Kolangitis
Kolangitis akut dapat terrjadi pada pasien dengan batu empedu saluran empedu
karena adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis

14

akut yang klasik adalah trias charcot yang meliputi nyeri abdomen kuadran kanan
atas, ikterus, dan demam yang didapatkan pada 50% kasus. Kolangitis akut
supuratif adalah trias charcot yang disertai hipotensi, oliguria, dan ganguan
kesadaran.2

3. Pankreatitis
Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu empedu akut baru akan terjadi
bila ada obstruksi transien atau persisten di papila vater oleh suatu batu. Batu
empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis bilier atau menambah beratnya
pankreatitis.2
2.3.7. Penatalaksanaan
A. Batu Kandung Empedu
1.Konservatif
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan
dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan
umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam
ursodeoksikolat untuk melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu
pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi.
Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 %
dalam 5 tahun.1
2. Penanganan operatif
a). Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi,
meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan
mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989,
angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun

15

angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian
mencapai 0,5 %.
b). Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di
dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem
endokamera dan intrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan
menyentuh langsung kandung empedunya.2
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit
dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang.
Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat
mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.
Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus
sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering
dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan
teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua
otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
B. Batu Saluran Empedu
ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk
mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi. Teknik ini telah berkembang
pesat dan menjadi standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.2
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat
atau balon-ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen
duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui
mulut bersama skopnya.2
C. Batu Saluran Empedu Sulit
Yang dimaksud dengan batu saluran empedu sulit adalah batu besar, batu yang
terjepit disaluran empedu, atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang

16

sempit. Untuk mengeluarkannya, diperlukan beberapa prosedur endoskpi


tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi
mekanik, dan litotripsi laser. Bila gagal, dapat dilakukan pemasangan stent bilier
perendoskopik di sepanjang batu yang terjepit.2
D. Kolangitis dan Pankreatitis Batu
Penatalaksanaan kolangitis akut bertujuan untuk a) memperbaiki keadaan
umum pasien dengan pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi gangguan
elektrolit, b) terapi antibiotik parenteral, c) drainase empedu yang tersumbat.
Drainase empedu lebih baik dengan drainase endoskopik. ERCP merupakan terapi
pilihan pertama untuk dekompresi bilier mendesak pada kolangitis akut yang tidak
berespon terhadap terapi konservatif.2
Penatalaksanaan pankreatitis bilier akut atau pakreatitis batu empedu akut
adalah dengan sfingterotomi endoskopi yang merupakan tindakan yang aman
disertai dnegan angka kesakitan dan kematian yang rendah.2
2.4. Kolesistitis
2.4.1. Defenisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.6
2.4.2. Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung
empedu.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.6
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada
kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada
kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya
dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.6
17

2.4.3. Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus).6
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti
bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai
saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan
respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.7
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak
dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin
yang dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat

menyebabkan

hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya


menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.8

18

Gambar 8 : Patofisiologi kolesistitis akut


Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup
lama yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena
kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang
berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari
cairan empedu.6
2.4.4. Gambaran Klinis
A. Kolesistitis Akut
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh.
Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan
gangren atau perforasi kandung empedu.6
Tanda

peradangan

peritoneum seperti

peningkatan

nyeri

dengan

penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami


anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler.9
Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri
bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung
empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi
subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan
inspirasi terhenti (tanda Murphy).10
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0
mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatik.6

19

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan


dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.9
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta
kemungkinan peninggian serum transaminase, fosfat alkali/ gamma GT dan
bilirubin serum mencurigakan adanya obstruksi saluran empedu. 11Apabila keluhan
nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat,
kemungkinan

terjadi

empiema

dan

perforasi

kandung

empedu

perlu

dipertimbangkan.6
B. Kolesititis Kronik
Gejala kolesistitis kronik sangat minimal dan tidak menonjol seperti
dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan
makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa.
Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal
di daerah kandung empedu disertai tanda murphy positif, dapat menyokong
menegakkan diagnosis.6
2.4.5. Diagnosis
A. Kolesistitis Akut
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas
dan pemeriksaan fisis. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000
sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung
jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 mol/L (5mg/dl)] pada
45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase
serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase
biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim
amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis,
namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. 9

20

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis


akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.6
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin
dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 95%.6
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99n
Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik
ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran duktus koledukus tanpa adanya gambaran
kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut.6
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak
terlihat pada pemeriksaan USG.6
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis
adalah:

Gejala dan tanda lokal


o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil
USG atau skintigrafi yang mendukung.12
B. Kolesistitis Kronik
Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat
memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic retrograde
choledocho pancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan
adanya batu di kandung empedu dan duktus koledukus.6
21

2.4.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard.6
2.4.7. Penatalaksanaan
A. Kolesistitis Akut
Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa
nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan
septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai
untuk mematikan kuman kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut
seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan
pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan
pemberian antibiotik kombinasi.6
Pilihan terapi yang dapat diberikan:

Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem.


Pada

kasus

berat

yang

mengancam

nyawa

direkomendasikan

imipenem/cilastatin.
Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah

dengan metronidazol.
Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin
intravena.
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat

jalan dengan syarat:


1.
2.
3.
4.

Tidak demam dan tanda vital stabil


Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.

22

5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.


6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas
medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:
1. Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.
2. Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk mengkontrol
mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
3. Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 %
kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih
sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.6
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons
terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi
menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani
kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi
bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.6
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di
Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat pusat
bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari

23

seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut


Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam
mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan
dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan
ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut
kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif
mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan
angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di
rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien.6
B. Kolesistitis Kronik
Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu
kandung empedu yang simptomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan
untuk kolesistektomi agak sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai
penyakit lain yang mepertinggi resiko operasi.6
2.4.8. Komplikasi
a. Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi
empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman kuman pembentuk pus.
Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga
menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam
tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan
umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis
gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai. 11
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam
keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami
peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang
dihasilkan oleh sel sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba
massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan
atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap
24

asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.
Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi
atau gangren. 11
b. Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis
jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi
berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi
yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi
perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis
kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses.11
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri
pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.
Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien
yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses. 11
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian
sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri
kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami
dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata.11
c. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung
empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula
dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika
kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula
enterik biliaris bisu/tenang yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi
kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani
kolesistektomi. 11
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan
temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan
kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin

25

memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah


menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada
pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus
koledokus dan penutupan saluran fistula. 11
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu
tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada
tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada
katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.
Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris
sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi. 11
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung
empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos
abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris
dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal
atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal).
Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang
lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya. 11
d. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu
dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan
opasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi
polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis
biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau
sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu
porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu
yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos
abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu

26

porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan
perkembangan karsinoma kandung empedu. 11
2.4.9. Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang
kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi
lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang kadang kolesistitis
akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 15% kasus. Bila hal ini
terjadi, angka kematian dapat mencapai 50 60%. Hal ini dapat dicegah dengan
pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis
akut akalkulus memiliki angka mortalitas sebesar 10 50%. Tindakan bedah pada
pasien tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan
banyak timbul komplikasi pasca bedah.6

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama

: Nn. CH

Umur

: 21 tahun

No. RM

: 200116

27

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Pegawai Swalayan

Alamat

: Air Mati

Tanggal Masuk

: 20 Januari 2016

3.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri perut kanan atas sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap sampai pasien berada di RS
dengan intensitas berat seperti rasa ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan
menjalar ke punggung dan bahu kanan. Saat nyeri muncul, pasien
sampai berkeringat dingin menahan rasa nyeri dan tidak dapat
melakukan aktivitas apapun. Nyeri tidak menghilang dengan
perubahan posisi tubuh ataupun dengan istirahat. Nyeri juga dirasakan
bertambah apabila pasien batuk, menarik napas dalam, dan setelah
mengkonsumsi makanan berminyak. Nyeri perut seperti ini terakhir
kali dirasakan pasien ketika di rawat di RSUD Solok 8 bulan yang
lalu. Setelah dirawat pasien tidak pernah lagi mengeluhkan sakit pada

perut hingga sakit yang saat ini muncul.


Mual dan muntah sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit, frekuensi
sebanyak 5 kali, muntah berisi apa saja yang dimakan, setiap kali

muntah banyaknya setengah gelas.


Nafsu makan biasa sebelum nyeri muncul, namun setelah nyeri
muncul pasien mengaku nafsu makan tidak ada, karena nyeri

bertambah apabila pasien makan, terutama makanan berminyak.


Demam (+), sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit, demam
diawali dengan perasaan tidak enak badan, dan kemudian demam

dirasakan terus menerus, tidak menggigil dan tidak berkeringat.


BAK warna kuning jernih, frekuensi 2-3 kali/hari

28

BAB warna kuning, padat, frekuensi 1 kali/hari. Riwayat BAB


mencret/berlendir sebelumnya (-)

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah dirawat di RSUD Solok sebanyak 5 kali sejak tahun


2014, terahir kali dirawat 8 bulan yang lalu. Pasien dirawat dengan
keluhan yang sama seperti saat ini, menurut dokter yang merawat
pasien menderita batu kandung empedu. Pasien sudah dianjurkan
untuk operasi pengangkatan batu empedu tetapi pasien menolak.

Pasien tidak pernah berobat ke dokter (poliklinik).


Riwayat maagh disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat keganasan disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada di keluarga pasien yang mengalami keluhan ataupun

penyakit yang sama dengan pasien.


Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat keganasan disangkal

5. Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien bekerja sebagai seorang pegawai swalayan.


Sehari-hari pasien tidak pernah mengatur pola makannya. Pasien suka

makanan seperti goreng-gorengan dan makanan bersantan.


Pasien jarang berolahraga
Kebiasaan minum alkohol dan merokok disangkal

3.3. Pemeriksaan Fisik


3.3.1. Pemeriksaan Fisik di IGD 20 Januari 2015
1. Keadaan umum

: Sedang

2. Kesadaran

: Composmentis Cooperatif

29

3. Vital Sign

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 66 x/menit

Frekuensi napas

: 20 x/menit

Suhu

:-

4. Mata

Konjungtiva Anemis : (-/-)


Sklera ikterik
5. Thorak

: (-/-)
:

Jantung

: Bunyi jantung reguler, bising (-)

Paru-paru

: Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

6. Abdomen

: Nyeri tekan epigastrium (+), tympani,


Bising usus (+) normal.

7. Ekstremitas

: Akral hangat, CRT <2

3.3.2. Pemeriksaan Fisik di bangsal Interne Wanita 21 Januari 2015


1. Keadaan Umum

: Sedang

2. Kesadaran

: Composmentis Cooperatif

3. Vital Sign

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Frekuensi nadi

: 63 x/menit

Frekuensi napas

: 20 x/menit

Suhu

: 37,7oC

4. Status Gizi

Berat Badan

: 75 kg

Tinggi Badan

: 155 cm

IMT

: 31,25 Kelebihan berat badan tingkat berat


Obesitas kelas 1

5. Status Generalisata

a. Kulit

: Ikterik (-), sianosis (-)

b. Kepala

Bentuk

: Normocephal

30

Rambut
: Hitam, mudah rontok (-), mudah dicabut (-)
Wajah
: Edema (-)
Mata
:
Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga: Simetris kanan dan kiri
Hidung
: Deformitas (-), napas cuping hidung (-)
Mulut
: Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)

c. Leher

Tidak tampak deviasi trakea


Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah

bening submandibula dan sepanjang M.Sternocleidomastoideus.


JVP 5-2 cmH2O

d. Paru-paru

Inspeksi
:
- Bentuk dada simetris, diameter transversal : anteroposterior 2:1
- Dinding dada kanan dan kiri terlihat simetris dalam keadaan
statis dan dinamis dan tidak terlihat pergerakan dinding dada

kanan maupun kiri tertinggal pada waktu pernapasan.


Tipe pernapasan : torako-abdominal, dengan frekuensi napas

20 x/menit
Tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot pernapasan

tambahan
Pada permukaan dada: massa (-), sikatrik (-), jejas (-), spider

naevi (-)
Palpasi
:
Vocal fremitus dinding dada kiri dan kanan teraba normal dan

simetris.
Perkusi
Auskultasi
e. Jantung
Inspeksi
Palpasi

: Sonor dikedua lapangan paru


: Suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
:
: Ictus cordis tidak terlihat
: Ictus cordis teraba di linea mid clavicularis sinistra

RIC V
Perkusi
: Batas jantung :
o Kanan : Linea sternalis dextra RIC IV
o Kiri : Linea mid clavicularis sinistra RIC V
o Pinggang : Linea parasternalis sinistra RIC III

31

Auskultasi

: S1 dan S2 reguler, bunyi jantung tambahan (-),

bising (-)
f. Abdomen

Inspeksi

: Sikatrik (-), pelebaran pembuluh darah (-), massa

(-)
Auskultasi
Palpasi
Superfisial

: Bising usus (+) frekuensi 10 x/menit


:
: Nyeri tekan (+) di epigastrium dan hipokondrium

dekstra. Nyeri lepas (-)


Profunda
:
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Murphy sign (+)

Perkusi
:
Timpani diseluruh lapangan abdomen
Nyeri ketok CVA (-)

g. Ekstremitas atas dan bawah

Akral hangat
+
+

+
+

Sianosis

Edema

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan darah rutin tanggal 20 Januari 2015
Hb

: 12,1 g/dl

Hematokrit : 38,0 %
Leukosit

: 12.100/uL

Trombosit : 450.000/uL

32

Pemeriksaan USG tanggal 13 mei 2015

33

Hasil:
Hepar

:Ukuran

kesan

baik,

ekostruktur

parenkim

relatif

homogen. Tidak tampak dilatasi duktus bilier intrahepatik


Kandung empedu

:Dinding tidak menebal, tampak lesi hiperekoik dengan


posterior acoustic shadow dengan ukuran 1,4 cm. Tidak
tampak dilatasi duktus bilier ekstrahepatik.

Pankreas

:Tidak tervisualisasi maksimal

Limpa

:Ukuran dan bentuk kesan baik, tidak tampak lesi

Ginjal

:Ukuran kedua ginjal masih relatif baik, diferensiasi korteks


dan medulla baik, sistem pelviokalises bilateral tidak
tampak melebar. Tak tampak jelas batu/kista

Buli

: Dinding tidak menebal

Kesan :
Cholelithiasis, ssat ini tidak tampak dilatasi duktus bilier intra-ekstrahepatik
secara sonografi
3.5. Diagnosa Kerja
Kolesistitis akut e.c Kolelitiasis
3.6. Diagnosa Banding
- Pankreatitis akut
- Abses hati
3.7. Penatalaksanaan
1. Nonfarmakologi

Bed rest

34

Puasakan sampai nyeri hilang Diet rendah lemak II

2. Farmakologi

IVFD RL 8 jam/kolf
Estazor tablet 3 x 250 mg
Cefotaxime injeksi 2 x 1 g
Pronalges supp 2 x 1 (bila nyeri)
Domperidon tablet 3 x 10 mg
Ranitidin injeksi 2 x 1 ampul
Paracetamol tablet 3 x 500 mg

3. Monitoring

Keadaan umum
Vital Sign
Keluhan pasien

3.8. Anjuran Pemeriksaan

USG abdomen
Bilirubin total, bilirubin direct, bilirubin indirect
SGOT, SGPT
Alkali fosfatase
Elektrolit
Amilase dan lipase

3.9. Follow Up
22 Januari 2016
Subject :
-

Nyeri perut kanan atas (+) berkurang, apabila ditekan dan bernafas dalam
Mual (-), muntah (-)
Demam (+) tidak terlalu tinggi

Object :
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran

: Composmentis Cooperatif

Vital Sign

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Frekuensi nadi

: 66 x/menit
35

Frekuensi napas

: 20 x/menit

Suhu

: 37,5oC

Abdomen

Palpasi

: Nyeri tekan (+) hipokondrium dekstra dan


Epigastrium. Nyeri lepas (-).
Murphy sign (+)

Assesment:
Kolesistitis akut ec kolelitiasis
Plan:

Bed rest
Diet Rendah lemak II
IVFD RL 8 jam/kolf
Estazor tablet 3 x 250 mg
Cefotaxime injeksi 2 x 1 g
Paracetamol tablet 3 x 500mg
Domperidon tablet 3 x 10 mg
Ranitidin tablet 2 x 150 mg

23 Januari 2016
Subject :
-

Nyeri perut kanan atas (+) berkurang, apabila ditekan dan bernafas dalam
Demam (+), tidak terlalu tinggi
Mual (-), muntah (-)

Object :
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran

: Composmentis Cooperatif

Vital Sign

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Frekuensi nadi

: 68 x/menit

Frekuensi napas

: 20 x/menit

Suhu

: 37,4oC

Abdomen
Palpasi

:
: Nyeri tekan (+) hipokondrium dekstra dan
36

Epigastrium. Nyeri lepas (-).


Murphy sign (+)
Assesment:
Kolesistitis akut ec kolelitiasis
Plan:

Bed rest
Diet rendah lemak II
IVFD RL 8 jam/kolf
Estazor tablet 3 x 250 mg
Cefotaxime injeksi 2 x 1 g
Paracetamol tablet 3 x 500mg
Domperidon tablet 3 x 10 mg
Ranitidin tablet 2 x 150 mg

24 Januari 2015
Subject :
-

Nyeri perut kanan atas (+) hanya bila ditekan.


Mual (-), muntah (-)
Demam (-)

Object :
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran

: Composmentis Cooperatif

Vital Sign

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Frekuensi nadi

: 70 x/menit

Frekuensi napas

: 20 x/menit

Suhu

: 36,6oC

Abdomen
Palpasi

:
: Nyeri tekan (+) hipokondrium dekstra dan
Epigastrium. Nyeri lepas (-).
Murphy sign (+)

Assesment:
Kolesistitis akut ec kolelitiasis

37

Plan:

Pasien diperbolehkan pulang anjuran kontrol ke poliklinik penyakit dalam.


Estazor tablet 3 x 250 mg
Cefixim tablet 2 x 100 mg
Paracetamol tablet 3 x 500mg
Domperidon tablet 3 x 10 mg
Ranitidin tablet 2 x 150 mg

BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang pasien perempuan usia 21 tahun datang ke IGD RSUD solok pada
tanggal 20 Januari 2016 dengan keluhan Nyeri perut kanan atas sejak 5 jam
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap dengan

38

intensitas berat seperti rasa ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan di perut kanan atas dan
ulu hati, nyeri dirasakan menjalar ke punggung dan bahu kanan. Nyeri ini
dirasakan terus menerus. Saat nyeri muncul, pasien sampai berkeringat dingin
menahan rasa nyeri dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Nyeri tidak
menghilang dengan perubahan posisi tubuh ataupun dengan istirahat. Nyeri juga
dirasakan bertambah apabila pasien batuk, menarik napas dalam, dan setelah
mengkonsumsi makanan. Mual dan muntah sejak 2 jam sebelum masuk rumah
sakit, frekuensi sebanyak 5 kali, muntah berisi apa saja yang dimakan, setiap
kali muntah banyaknya setengah gelas. Muntah berisi darah disangkal. Nafsu
makan biasa sebelum nyeri muncul, namun setelah nyeri muncul pasien mengaku
nafsu makan menurun karena apabila makan perut dirasakan bertambah nyeri.
Demam (+). BAK warna kuning jernih, frekuensi 2-3 kali/hari. BAB warna
kuning, padat, frekuensi 1 kali/hari. Pasien pernah dirawat di RSUD Solok
sebanyak 5 kali sejak tahun 2014, terahir kali dirawat 8 bulan yang lalu. Pasien
dirawat dengan keluhan yang sama seperti saat ini, menurut dokter yang merawat
pasien menderita batu kandung empedu. Pasien sudah dianjurkan untuk operasi
pengangkatan batu empedu tetapi pasien menolak. Pasien tidak berobat ke dokter
(poliklinik) secara rutin dan hanya berobat ketika ada keluhan saja, pasien tidak
ingat nama obat yang diberikan dokter saat ia berobat. Riwayat diabetes melitus
disangkal. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat maagh disangkal. Riwayat
penyakit jantung disangkal. Riwayat keganasan disangkal. Tidak ada di keluarga
pasien yang mengalami keluhan ataupun penyakit yang sama dengan pasien.
Pasien bekerja sebagai seorang pegawai swalayan. Sehari-hari pasien tidak pernah
mengatur pola makannya. Pasien suka makanan seperti goreng-gorengan dan
makanan bersantan. Pasien jarang berolahraga. Kebiasaan minum alkohol dan
merokok disangkal. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan : Keadaan umum :
Sedang, kesadaran : composmentis cooperatif, tekanan darah: 110/70 mmHg,
frekuensi nadi : 66 x/menit, frekuensi napas: 20 x/menit, suhu : 37,7oC,
konjungtiva Anemis : (-/-), sklera ikterik : (-/-), pada paru-paru suara napas
vesikuler, jantung irama reguler, pemeriksaan abdomen inspeksi : sikatrik (-),
pelebaran pembuluh darah (-), massa (-), auskultasi : bising usus (+) frekuensi 10
x/menit, palpasi superfisial : nyeri tekan (+) di epigastrium, hipokondrium dekstra

39

Nyeri lepas (-), palpasi profunda: hepar tidak teraba, lien: tidak teraba, ginjal :
bimanual (-), ballotement (-), kandung empedu teraba, Murphy sign (+). Perkusi:
timpani diseluruh lapangan abdomen, Nyeri ketok CVA (-). Ekstremitas hangat,
sianosis tidak ada, edema tidak ada. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
Hb: 12,1 g/dl, hematokrit: 38,0 %, leukosit: 12.100/uL, trombosit: 450.000. Pasien
didiagnosa kerja dengan : Kolesistitis akut ec Kolelitiasis. Dengan anjuran
pemeriksaan USG abdomen, bilirubin total, bilirubin direct, bilirubin indirect,
alkali fosfatase, elektrolit, dan pemeriksaan amilase dan lipase.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
2. Lesmana L. Batu Empedu. dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi
IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.479 - 481
40

3. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles


of Surgery. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
4. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
5. Wilkison, Judit M, buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta :
EGC,2006
6. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi
keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
7. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.
Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
8. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.
9. Isselbacher, Kurt.dkk, 2000. Harrisons Principles of internal Medicines
edisi 13 vol.4. Penyakit Kandung Empedu Dan Duktus Bilaris. Hal 16881699. Jakarta: EGC.MC-Graw Hill.
10. Sulaiman, Ali.dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Batu empedu. Hal
161-178. Jakarta: Jaya Abadi
11. Sudoyo, W. Aru.dkk. 2009. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Kolesistitis. Hal 718-720.
Jakarta: InternaPublishing
12. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26);

2008

41

Anda mungkin juga menyukai