Anda di halaman 1dari 23

RESUME

KEPERAWATAN KRITIS
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu : Ns. Ainnur Rahmanti,M.Kep

Oleh :
ANNISA RAHMA DEVI
20101440120008
3B

PROGRAM STUDI DIII KEPERWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KESDAM IV/DIPONEGORO
2022
BAB I
PENDAULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pasien kritis yaitu pasien yang mengalami perubahan fisiologis yang cepat
memburuk dan terjadi perubahan fungsi sistem tubuh yang mempengaruhi organ
lainya dan bisa menyebabkan kematian (Romadoni, 2018). Pasien dengan kondisi
tersebut membutuhkan perawatan di Ruang ICU. Berdasarkan Depkes RI (2007)
pasien kritis dalam masa perawatan, hidupnya bergantung pada monitoring, terapi
dan alat yang berbeda dengan yang dirawat di ruang umum. Pasien yang ada di
dalam ruang ICU berbeda dengan pasien yang ada di ruang rawat biasa, karena
pasien yang ada di dalam ICU memiliki ketergantungan kepada perawat dan
dokter (Romadoni, 2018). Ruang perawatan intensif dianggap ruangan yang
menakutkan, mengancam atau bahkan tidak menyenangkan bagi pasien dan
anggota keluarganya (Triyanti & Haryanti, 2013).
Ruang ICU merupakan ruangan yang ada di rumah sakit yang memiliki
ketenagakerjaan dan peralatan yang khusus untuk merawat dan mengobati pasien
yang terancam jiwanya karena kegagalan atau disfungsi salah satu organ yang
masih reversible (Musliha, 2010).
BAB II
ISI
A. Konsep keperawatan kritis
a. Definisi
Kritis merupakan sebuah penilaian dan evaluasi yang dilakukan secara
cermat dan hai-hati terhadap suatu kondisi yang krusial untuk menemukan
solusi, penyelesaian atau jalan keluar. Keperawatan kritis merupakan
pemberian perawatan khusus untuk pasien kritis yaitu orang-orang yang
memiliki penyakit yang mengamcam jiwa atau cedera. Keperawatan kritis
dikhususkan dalam membantu pemenuhan kebutuhan pasien yang memiliki
kondisi akut dan membutuhkan perawatan intensif. Waktu dalam keperawatan
kritis itu adalah suatu vital. (Manaci, 2015)
Intensive care unit (ICU) adalah ruang rawat rmah sakit dengan staf dan
perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit,
trauma atau komplikasi dengan mengancam jiwa.

b. Tujuan pelayanan ICU


Tujun pelayanan keperawatan kritis/intensif sesuai standar pelayanan
keperawatan di intensif care unit (ICU) adalah:
1. Menyelamatkan nyawa,
2. Mencegah terjadinyaa kondisi memburuk dan komplikasi melaluui
observasi dan monitoring yang ketat, disertai kemampuan
menginterprestasikan setiap data yang didapat dan melakukan tindak lanjut,
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mempertahankan kehidupan,
4. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien,
5. Mengurangi angka kematian dan kecaccatan pasin kritis dan mempercepat
proses penyembuhan

c. Ruang lingkup pelayanan ICU


Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU adalah diagnosis dan
penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan
dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari,
memberikan bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus
melakukan pelaksanaan spesifik problema dasar, pemantauan fungsi vital
tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang ditimbulkan oleh
penyakit atau 7 iatrigenik, serta memeberikan bantuan psikologis pada pasien
yang kehidupannya sangat bergantung pada alat/mesin dan orang lain
(Kepmenkes, 2010).
Pelayanan yang diberikan ICU pun meliputi pengelolaan pasien,
administrasi unit, pendidikan, dan penelitian. Pengelolaan pasien dilakukan
langsung oleh dokter intensivis dengan melaksanakan pendekatan pengelolaan
total pada pasien sakit kritis, menjadi ketua tim dari berbabagi pendapat
konsultan atau dokter yang ikut merawat pasien. Tujuan dilakukan ini adalah
agar koordinasi kerja tidak terkotak-kotak dan dapat melakukan komunikasi
yang baik dan terkoordinir baik dengan pasien maupun keluarga pasien
(Kepmenkes no. 1778, 2010).
Koordinasi akan membuat sistem kerja menjadi lebih tertata. Sebelum
pasien masuk ke ICU, dokter yang merawat pasien di ICU harus mengevaluasi
keadaan pasien terlebih dahulu berdasarkan keilmuaannya. Seorang kepala
ICU akan memberikan evaluasi menyeluruh, membuat kesimpulan, serta
memberikan instruksi tertulis terhadap anggota tim dengan mempertimbangkan
usulan anggota tim lainnya. Kepala ICU akan berkonsultasi dengann konsultan
lain dengan mempertimbangkan usulan-usulan dari anggota tim lainnya.
Karena ICU memiiki keterbatasan tempat tidur, maka pentingnya melakukan
prioritas serta indikasi masuk ICU. Setiap dokter yang hendak pasiennya
dirawat di ICU harus memperhatikan indikasi masuk ICU dengan benar
sehingga tidak terjadi penempatan pasien yang salah (Kepmenkes no. 1778,
2010).

d. Klasifikasi ICU
Pelayanan ICU di rumah sakit dibagi dalam tiga klasifikasi pelayanan, yaitu
(Kepmenkes no. 1778, 2010):
1) Pelayanan ICU primer (pada rumah sakit tipe C)
2) Pelayanan ICU sekunder (pada rumah sakit tipe B)
3) Pelayanan ICU tersier (pada rumah sakit tipe A)
Klasifikasi pelayanan diklasifikasikan berdasarkan ketenagaan, sarana dan
prasarana, dan kemampuan pelayanan dari rumah sakit tersebut. Tenaga
kesehatanyang berkerja di ICU diharapkan memiliki pengetahuan yang
memadai sertamemiliki keterampilan yang sesuai dan komitmen terhadap
waktu. MenteriKesehatan telah mengatur tentang kualifikasi ketenagaan dalam
klasifikasi pelayanan ICU, yaitu (Kepmenkes no. 1778, 2010)

e. Kualifikasi dan kompetensi perawat ICU


Untuk mencapai tujuan pelayanan keperawatan kritis, perawat di unit
perawatan intensif perlu bekal ilmu dan pengalaman cukup, sehingga kompetn
dala penanganan pasien kritis atau gawat darurat. Kompetensi teknikal perawat
merupakan kompetensi tidak terbatas pada kemampuaan melakukan tindakan
keperawatan namun lebih penting adalah keteampilan mendapatkan data yang
valid dan terpercaya serta keterapilan mendiagnostik masalah menjadi
diagnosis keperawatan, keterampilan memilih dan menentukan intervensi yang
tepat. Selain kemampuan melakukan asuhan keperawatan pada pasien kritis
atau gawat darurat, perawat unit prawatan intensif juga dituntut untuk mampu
menjaga mutu pelayanan di unit perawatan intensif, fungsi dan peran perawat
sangat besar.
Kompetensi yang harus dicapai oleh seorang erawat kritis sesuai Standar
Operasional Prosedur yang dilakukan di ICU Dewasa Menurut Depkes RI
(2006):
Adanced Life Suport (ALS), interprestasi hasil foro thorax,
mempersiapkan pemberian terapi melalui syringe pump dan infus
pump, melakukan evaluasi post sreptase dan memberikan
pendidikan kesehatan dalam pemberian streptase.
f. Standar minimum pelayanan ICU
Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut:
1) Resusitasi jantung paru
2) Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan
ventilator sederhana
3) Terapi oksigen
4) Pemantauan EKG, pulse oksimetri yang terus menerus
5) Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
6) Pemeriksaan laboratorium khusus dengan dengan cepat dan menyeluruh
7) Pelaksanaan terapi secara titrasi
8) Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien
9) Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat - alat portabel selama
transportasi pasien gawat
10) Kemampuan melakukan fisioterapi dada

g. Indikasi pasien keluar-masuk ICU


1) Kriteria masuk
a) Pasien prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventiasi dan
alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif
kontinyu, obat anti aritmia kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi,
dll. Contoh pasien gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
yang mengancam nyawa. Institusi setempat dapat membuat kriteria
spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi
dibawah tekanan darah tertentu. Terapi pada pasien prioritas 1
umumnya tidak memiliki batas.
b) Pasien prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab
sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya
pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter.
Contoh pasien seperti ini antara lain mereka yang menderita penyakit
dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau yang telah
mengalamu pembedahan major;. Terapi pada pasien prioritas 2 tidak
mempunyai batas, karena kondisi mediknya senantiasa berubah.
c) Pasien prioritas 3
Pasien golongan ini pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit
akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sambuh
dan/atau manfaat terapi di ICU pada golongan in sangat kecil. Contoh
pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai
penyulit infeksi, pericaldial tamponade, sumbatan jalan napas, atau
pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi
pnyakit akut berat.pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk
mengatasi kegawat akutannya saja., dan usaha terapi mungkin tidak
sampai melakukan intubasi dan resusitasi jantung paru.
d) Pengecualian
Dengan perkembangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU,
indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa di kualikan,
dengan catatan bahwa pasien-pasien dengan golongan demikian
sewaktu-waktu bisa di keluarkan dari ICU agar fasiliras ICU yang
terbatas tersebut dapat digunakan uuntuk pasien prioritas 1,2,3. Pasien
yanng tergolong demikian antara kain:
1) Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi
tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang
aman” saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah “DNR
(Do Not Resuscitate)”, sebenarnya papsien-pasien ini mungkin
mendapat mandfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di ICU
untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya.
2) Pasien dalam keaadaan vegetativ permanen
3) Pasien yang telah dipastikan mengalam mati batang otak, pasien-
pasien seperti ini itu dpat dimasukkan ke ICU untuk menunjang
fungsi organ hanya untuk kepentinan donor organ.
2) Kriteria keluar
Prioritas pasien di pindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis
oleh kepala ICU dan tim yang merawat pasien.

B. Pemantauan pasien kritis


a. Pemantauan fungsi pernapasan
Intubasi endotrakheal adalah suatu prosedur yang seringkali dilakukan di
ruang ICU ataupun tempat emergency. Procedur ini seringkali dilakukan untuk
mmberikan pertolongan dalam membebaskan jalan napas pada klien yang tidak
sadar atau kesulitan untuk bernapas spontan
b. Pemanauan fungsi kardiovaskuler
Pemantauan hemodinamik dpat dilakukan secara tidak langsung (non
invasif) dan secara langsung (invasif). Pemantauan secara tida langsung (non
invasif) dapat dilakukan melalui pemeriksaan kesadaran, tekanan darah
(metode palpasi, auskultasi, flush, osilotonometri, plrtismograf, tonometri
arteri, dan probe dopller), tekanan vena jugularis, capilarry refill time, suhu
tubuh produksi urin, rekaman EKG, oksimeter nado, gambaaran
echocardiography, gelombang nadi dopler esofagus, dan perubahan
biompedans elektrik dinding dada.
c. Pemantauan fungsi neurologis
Pada pemantauan neurologi yang pertama kita periksa adalah kesadaran.
Untuk mengurangi perbedaan penilaian terhadap derajat kesadaran ini dipakai
skala Glasgow Coma Scale atau lazim disebut GCS. Pada Glasgow Coma
Scale terdapat 3 skala penilaian yaitu :
 Membuka mata
 Bicara
 Motorik
Hendaknya diperhatikan, bahwa yang dicatat adalah prestasi pasien
terbaik. Bila seorang sadar baik, maka ia mendapat nilai 15. Setelah dipastikan
berapa GCS nya tentukan apakah penyebab koma oleh karena kelainan
metabolik atau kelainan struktural
d. Pemantauan Fungsi
Ginjal Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi untuk melakukan
beberapa fungsi penting dalam metabolisme tubuh. Pemeriksaan laboratorium
sangat membantu dalam mengidentifi kasi dan mengevaluasi fungsi ginjal.
Pada saat ini telah dikembangkan beberapa pemeriksaan laboratorium yang
bertujuan untuk menilai fungsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium tersebut
antara lain pemeriksaan kadar kreatinin, ureum, asam urat, Cystatin C, β2
microglobulin, inulin dan juga zat berlabel radioisotop. Pemeriksaan zat-zat di
atas bertujuan untuk menilai GFR ginjal. Penentuan GFR dapat memberikan
informasi mengenai fungsi ginjal pasien. Pemilihan pemeriksaan laboratorium
yang tepat dapat memberikan informasi yang akurat mengenai fungsi ginjal
pasien. Hal ini dapat membantu dokter klinisi dalam melakukan pencegahan
dan penatalaksanaan lebih awal untuk mencegah progresivitas gangguan ginjal
menjadi gagal ginjal.

e. Pemantauan fungsi Gastrointestinal


Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem gastrointestinal yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Perdarahan gastrointestinal yang mengancam nyawa termasuk hipotensi,
angina, perdarahan yang masih berlangsung, atau dengan penyak
komorbid,
b. Gagal hati fulminant,
c. Pankreatitis berat,
d. Perforasi esophagus dengan atau tanpa mediastinitis
f. Pemantauan fungsi Hepatic
Pasien ICU sering kali mengalami disfungsi hepatic. Jika ALF terjadi,
maka nekrosis hepatosit yang menyebar secara meluas dapat menyebabkan
kerusakan hebat pada fungsi hepatic dan dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam nyawa. Pemantauan secara cermat pada fungsi hepatic dan
komplikasi ALF merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki
prognosis pasien.
g. Pemantauan fungsi Endokrin
Keto asidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan atau akut dari DM tipe
I, disebabkan oleh meningkatnya keasaman tubuh bendabenda keton akibat
kekurangan atau defisiensi insulin, di karakteristikan dengan hiperglikemia,
asidosis, dan keton akibat kurangnya insulin. Keto Asidosis Diabetik (KAD)
adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat
darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat
dan dapat sampai menyebabkan syok.
h. Status Nutrisi
Pemberian nutrisi enteral dan parenteral diberikan bukan untuk memenuhi
target kebutuhan, tetapi untuk mentoleransi keadaan yang direncanakan dari
tindakan atau pengelolaan medis lain. Rekomendasi pemberian nutrisi enteral
dini direkomendasikan sangat bermanfaat pada pasien sakit kritis, walaupun
pemberian nutrisi enteral sendiri dapat memungkinkan terjadinya kekurangan
nutrisi. Cara pemberian dan kebutuhan harus disesuaikan dengan kebutuhan
individu pasien, sehingga jika pemberian enteral kurang, sebaiknya
dikombinasikan dengan pemberian nutrisi melalui parenteral. Pemberian nutrisi
pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit seringkali tidak mendapat
proporsi yang seharusnya dibandingkan dengan terapi medikamentosa lainnya.
Nutrisi menjadi sangat penting pada pasien sakit berat dimana ancaman
terhadap defisiensi nutrisi kemungkinan besar terjadi. Pada keadaan inilah
nutrisi menjadi bagian dari suatu terapi medikal klinis

C. Tentang terapi oksigen (Ventilator)


a. Anatomi fisiologi pernapasan
1) Anatomi Sistem Respirasi Sistem Pernapasan pada Manusia terdiri atas:
a) Saluran Nafas Bagian Atas
1. Hidung
Hidung adalah saluran pernafasan yang pertama. Ketika proses
pernafasan berlangsung, udara yang diinspirasi melalui rongga
hidung akan menjalani tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi),
penghangatan, dan pelembaban.
2. Faring
Merupakan pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan
krikoid.
- Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius).
Nasofaring terletak tepat di belakang cavum nasi , di bawah
basis crania dan di depan vertebrae cervicalis I dan II.
Nasofaring membuka bagian depan ke dalam cavum nasi dan ke
bawah ke dalam orofaring. Tuba eusthacius membuka ke dalam
didnding lateralnya pada setiap sisi. Pharyngeal tonsil (tonsil
nasofaring) adalah bantalan jaringan limfe pada dinding
posteriosuperior nasofaring.
- Orofaring Merupakan pertemuan rongga mulut dengan
faring,terdapat pangkal lidah).
Orofaring adalah gabungan sistem respirasi dan pencernaan ,
makanan masuk dari mulut dan udara masuk dari nasofaring dan
paru.
- Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran
makanan)
Laringofaring merupakan bagian dari faring yang terletak tepat
di belakang laring, dan dengan ujung atas esofagus.
3. Laring (tenggorok) Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk
suara. Pada bagian pangkal ditutup oleh sebuanh empang tenggorok
yang disebut epiglottis, yang terdiri dari tulang-tulanng rawan yang
berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup laring. Terletak
pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula
tyroidea, dan beberapa otot kecila, dan di depan laringofaring dan
bagian atas esopagus.
b) Saluran Nafas Bagian Bawah
1. Trachea atau Batang tenggorok
Merupakan tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10
cm dengan lebar 2,5cm. Trachea berjalan dari cartilago cricoidea
kebawah pada bagian depan leher dan dibelakang manubrium
sterni, berakhir setinggi angulus sternalis atau sampai kira-kira
ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang
menjadi dua bronckus (bronchi).
Trachea tersusun atas 16-20 lingkaran yang tidak lengkap
yang berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan
fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea,
selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
2. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada
ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai
struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang
sama. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih
vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri
pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di
bawah arteri, disebut bronkus lobus bawah.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang
kanan, dan 3 berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn menjadi
beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah. Cabang
utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil,
sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran
udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara).
Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm.
Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi
dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah.
Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi
utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran
gas paru-paru yaitu alveolus.
2) Fisiologi Respirasi
 Proses pernafasan terdiri dari 2 bagian, yaitu sebagai berikut :
- Ventilasi pulmonal yaitu masuk dan keluarnya aliran udara antara
atmosfer dan alveoli paru yang terjadi melalui proses bernafas
(inspirasi dan ekspirasi) sehingga terjadi difusi gas (oksigen dan
karbondioksida) antara alveoli dan kapiler pulmonal serta transport
O2 & CO2 melalui darah ke dan dari sel jaringan.
- Mekanik pernafasan Masuk dan keluarnya udara dari atmosfer ke
dalam paru-paru dimungkinkan olen peristiwa mekanik pernafasan
yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi (inhalasi) adalah masuknya O2
dari atmosfer & CO2 ke dalam jalan nafas. Dalam inspirasi
pernafasan perut, otot diafragma akan berkontraksi dan kubah
diafragma turun ( posisi diafragma datar ), selanjutnya ruang otot
intercostalis externa menarik dinding dada agak keluar, sehingga
volume paru-paru membesar, tekanan dalam paru-paru akan
menurun dan lebih rendah dari lingkungan luar sehingga udara dari
luar akan masuk ke dalam paru-paru. Ekspirasi (exhalasi) adalah
keluarnya CO2 dari paru ke atmosfir melalui jalan nafas. Apabila
terjadi pernafasan perut, otot diafragma naik kembali ke posisi
semula ( melengkung ) dan muskulus intercotalis interna relaksasi.
Akibatnya tekanan dan ruang didalam dada mengecil sehingga
dinding dada masuk ke dalam udara keluar dari paru-paru karena
tekanan paru-paru meningkat.
 Transportasi gas pernafasan
a. Ventilasi
Selama inspirasi udara mengalir dari atmosfer ke alveoli. Selama
ekspirasi sebaliknya yaitu udara keluar dari paru-paru. Udara yg
masuk ke dalam alveoli mempunyai suhu dan kelembaban
atmosfer. Udara yg dihembuskan jenuh dengan uap air dan
mempunyai suhu sama dengan tubuh.
b. Difusi
Yaitu proses dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 pada
pertemuan udara dengan darah. Tempat difusi yg ideal yaitu di
membran alveolar-kapilar karena permukaannya luas dan tipis.
Pertukaran gas antara alveoli dan darah terjadi secara difusi.
Tekanan parsial O2 (PaO2) dalam alveolus lebih tinggi dari pada
dalam darah O2 dari alveolus ke dalam darah. Sebaliknya
(PaCO2) darah > (PaCO2) alveolus sehingga perpindahan gas
tergantung pada luas permukaan dan ketebalan dinding alveolus.
Transportasi gas dalam darah O2 perlu ditrasport dari paru-paru
ke jaringan dan CO2 harus ditransport kembali dari jaringan ke
paru-paru. Beberapa faktor yg mempengaruhi dari paru ke
jaringan, yaitu :
 Cardiac out put.
 Jumlah eritrosit.
 Exercise
 Hematokrit darah, akan meningkatkan vikositas darah
mengurangi transport O2 menurunkan CO.
 Pengukuran volume paru
Fungsi paru, yg mencerminkan mekanisme ventilasi disebut volume
paru dan 5 kapasitas paru. Volume paru dibagi menjadi :
a) Volume tidal (TV) yaitu volume udara yang dihirup dan
dihembuskan setiap kali bernafas.
b) Volume cadangan inspirasi (IRV) , yaitu volume udara maksimal
yang dapat dihirup setelah inhalasi normal.
c) Volume Cadangan Ekspirasi (ERV), volume udara maksimal yang
dapat dihembuskan dengan kuat setelah exhalasi normal.
d) Volume residual (RV) volume udara yg tersisa dalam paru-paru
setelah ekhalasi maksimal.
 Kapasitas Paru
a) Kapasitas vital (VC), volume udara maksimal dari poin inspirasi
maksimal.
b) Kapasitas inspirasi (IC) Volume udara maksimal yg dihirup setelah
ekspirasi normal.
c) Kapasitas residual fungsiunal (FRC), volume udara yang tersisa
dalam paru-paru setelah ekspirasi normal.
d) Kapasitas total paru (TLC) volume udara dalam paru setelah
inspirasi maksimal.
 Pengaturan pernafasan
Sistem kendali memiliki 2 mekanismne saraf yang terpisah yang
mengatur pernafasan. Satu system berperan mengatur pernafasan
volunter dan system yang lain berperan mengatur pernafasan otomatis.

b. Syarat-syarat terapi oksigen


1) Dapat mengontrol konseentrasi oksigen udara inspirasi
2) Tahan jalan napas yang rendah
3) Tidak terjadi penumpukan CO2
4) Efisien
5) Nyaman untuk pasien
c. Jenis terapi oksigen
1) Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek
Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di
antaranya pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan
eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskuler dan emboli
paru. Pada keadaan tersebut, oksigen (O2) harus segera diberikan dengan
adekuat di mana pemberian oksigen (O2) yang tidak adekuat akan dapat
menimbulkan terjadinya kecacatan tetap ataupun kematian. Pada kondisi
ini, oksigen (O2) diberikan dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) berkisar
antara 60-100% dalam jangka waktu yang pendek sampai kondisi klinik
membaik dan terapi yang spesifik diberikan.
2) Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang
Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Terapi oksigen (O2)
jangka panjang pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) selama empat sampai delapan minggu bisa menurunkan
hematokrit, memerbaiki toleransi latihan dan menurunkan tekanan
vaskuler pulmoner. Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) dan kor pulmonal, terapi oksigen (O2) jangka panjang dapat
meningkatkan angka harapan hidup sekitar enam sampai dengan tujuh
tahun. Selain itu, angka kematia bisa diturunkan dan dapat tercapai
manfaat survival yang lebih besar pada pasien dengan hipoksemia kronis
apabila terapi oksigen (O2) diberikan lebih dari dua belas jam dalam satu
hari dan berkesinambungan.
Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan
pemberian terapi oksigen (O2) jangka panjang, maka saat ini
direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau SaO2
< 88%), terapi oksigen (O2) diberikan secara terus menerus selama dua
puluh empat jam dalam satu hari. Pasien dengan PaO2 56 sampai dengan
59 mmHg atau SaO2 89%, kor pulmonal dan polisitemia juga memerlukan
terapi oksigen (O2) jangka panjang. Pada keadaan ini, awal pemberian
terapi oksigen (O2) harus dengan konsentrasi rendah (FiO2 24-28%) dan
dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisa gas
darah dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan
pH di bawah 7,26. Terapi oksigen (O2) dosis tinggi yang diberikan kepada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang sudah
mengalami gagal napas tipe II akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk
pemicu gerakan bernapas dan meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi dan
perfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan
asidosis respiratorik yang berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang harus
dievaluasi ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia
menetap atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen
(O2). Sekitar 40% pasien yang mendapat terapi oksigen (O2) akan
mengalami perbaikan setelah satu bulan dan tidak perlu lagi meneruskan
terapi oksigen (O2).

d. Pengertian ventilator, mode dan penatalaksanaan pasien


Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan positif
atau negatif yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien
sehingga mampu mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam
jangka waktu lama (Purnawan & Saryono, 2010).
Mode Ventilator Menurut West (2003), pola ventilasi dibagi menjadi:
1) Intermittent Posiive Pressure Ventilation (IPPV)
Intermittent Posiive Pressure Ventilation (IPPV) terkadang disebut
pernapasan tekanan positif intermiten (Intermitten Positive Pressure
Breathing/IPPB) dan merupakan pola umum berupa pengembangan paru
oleh penerapan tekanan positif ke jalan napas dan dapat mengempis secara
pasif pada Functional Residual Capacity (FRC). Dengan ventilator
modern, variabel utama yang dapat dikendalikan meliputi volume tidal,
frekuensi napas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran
inspirasi, dan konsentrasi oksigen inspirasi. Pada pasien dengan obstrksi
jalan napas, perpanjangan waktu ekspirasi memiliki keuntungan karena
daerah paru dengan konstan waktu yang lama akan memiliki waktu untuk
mengosongkan diri. Di sisi lain, tekanan jalan napas positif yang lama
dapat mengganggu aliran balik vena ke toraks. Umumnya, dipilih
frekuensi yang relatif rendah dan waktu ekspirasi yang lebih besar dari
inspirasi, tetapi setiap pasien memerlukan perhatian yang berbeda-beda.18
2) Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
Pada pasien Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
perbaikan PO2 arterial yang besar sering kali dapat dicapai dengan
mempertahankan tekanan jalan napas positif yang kecil pada akhir
ekspirasi. Nilai sekecil 5 cm H2O sering kali bermanfaat. Akan tetapi,
tekanan setinggi 20 cm H2O atau lebih kadang kala digunakan. Katup
khusus tersedia untuk memberi tekanan. Keuntungan PEEP adalah alat ini
memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan sehingga
mengurangi risiko toksisitas oksigen. Beberapa mekanisme mungkin
berperan pada peningkatan PO2 arterial yang dihasilkan dari PEEP.
Tekanan positif meningkatkan FRC, yang tipikalnya kecil pada pasien ini
karena pengikatan rekoil elastic paru. Volume paru yang kecil
menyebabkan penutupan jalan napas dan ventilasi intermiten (atau tidak
ada ventilasi sama sekali) di beberapa daerah, terutama di daerah
dependen, dan absorpsi atelektasis. PEEP cenderung membalikkan
perubahan ini. Pasien dengan edema jalan napasnya juga mendapat
keuntungan, mungkin karena cairan bregeser ke dalam jalan napas perifer
kecil atau alveoli, memungkinkan beberapa daerah paru diventilasi ulang.
Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar menurunkan PO2 arteri,
bukan meningkatkannya. Mekanisme yang mungkin meliputi: 1) curah
jantung sangat menurun, yang menurunkan PO2 dalam darah vena
campuran dan PO2; 2) penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena
peningkatan ruang mati dan ventilasi ke daerah berperfusi buruk); 3)
peningkatan aliran darah dari daerah berventilasi ke tidak berventilasi oleh
peningkatan tekanan jalan napas. Akan tetapi, efek PEEP membahayakan
ini pada PO2 ini jarang terjadi.
PEEP cenderung menurunkan curah jantung dengan menghambat
aliran balik vena ke toraks, terutama jika volume darah yang bersirkulasi
menurun karena perdarahan atau syok. Oleh karena itu, nilainya tidak
boleh diukur dari efeknya pada PO2 arteri saja, tetapi bersamaan dengan
jumlah total oksigen yang dikirim ke jaringan. Hasil dari konsentrasi
oksigen arterial dan curah jantung merupakan indeks yang berguna karena
perubahan padanya akan mengubah PO2 darah vena campuran dan
kemudian PO2 banyak jaringan. Beberapa dokter menggunakan kadar PO2
dalam darah vena campuran sebagai panduan untuk tingkat optimal PEEP.
Dalam keadaan tertentu, pemasangan PEEP menyebabkan penurunan
seluruh konsumsi oksigen pasien.
Konsumsi oksigen menurun karena perfusi di beberapa jaringan
sangat marginal sehingga jika aliran darahnya menurun lagi, jaringan tidak
dapat mengambil oksigen dan mungkin mati perlahan. Bahaya PEEP
tingkat tinggi yang lain adalah kerusakan pada kapiler paru akibat
regangan tinggi pada dinding alveolar. 19 Dinding alveolar dapat dianggap
sebagai benang kapiler. Tegangan tingkat tinggi meningkatkan stres pada
dinding kapiler yang menyebabkan robekan pada epitel alveolar, endotel
kapiler, atau semua lapisan dinding.
3) Continious Positive Airway Pressure (CPAP)
Beberapa pasien yang sedang disapih dari ventilator bernapas
spontan, tetapi masih diintubasi. Pasien demikian mendapat keuntungan
dari tekanan positif yang diberikan kontinu ke jalan napas melalui sistem
katup pada ventilator. Perbaikan oksigenasi dihasilkan dari mekanisme
yang sama seperti PEEP. Suatu bentuk CPAP telah digunakan secara
sukses dalam ARDS. CPAP bentuk lain berguna untuk menangani
gangguan pernapasan saat tidur yang disebabkan oleh obstruksi jalan
napas atas. Di sini, peningkatan tekanan diberikan melalui masker wajah
yang dipakai sepanjang malam.
4) Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
IMV merupakan modifikasi IPPV, yaitu pemberian volume tidal
besar pada interval yang relatif jarang kepada pasien diintubasi yang
bernapas spontan. IMV sering dikombinasi dengan PEEP atau CPAP. Pola
ini berguna untuk menyapih ventilator dari pasien, dan mencegah oklusi
jalan napas atas pada apnea tidur obstruktif dengan menggunakan CPAP
nasal pada malam hari.20 20 5) Ventilasi Frekuensi Tinggi Gas darah
dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan positif berfrekuensi
tinggi (sekitar 20 siklus/detik) dengan volume sekuncup yang rendah (50-
100 ml). Paru digetarkan bukan dikembangkan seperti cara konvensional,
dan transpor gas terjadi melalui kombinasi difusi dan konveksi. Salah satu
pemakaiannya adalah pada pasien yang mengalami kebocoran gas dari
paru melalui fistula bronkopleura.

Penatalaksanaan pasien Terapi oksigen dapat dilakukan dengan


menggunakan selang yang ditempatkan di depan hidung, sungkup yang
menutupi hidup dan mulut, atau selang yang dipang secara khusus melalui
trakeaostomi, yaitu prosedur operasi di tenggorokan. Selang tersebut dapat
dihubungkan ke sumber oksigen sesuai kebutuhan, misalnya tabung oksigen,
CPAP, atau ventilator. Terapi ini umunya dilakukan bila kadar oksigen dalam
darah berada di bawah batas normal. Kadar oksigen darah yang normal
berkisar antara 95-100%. Apabila kadarnya di bawah 09% dalam waktu lama,
hal ini bisa menganggu fungsi tubuh dan menimbulkan kerusakan organ.

D. Pasien yang mendapatkan perawatan ICU


Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang
masih diharapkan reversible (pulih kembali seperti semula) mengingat ICU adalah
tempat perawatan yang memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan
tenaga (yang khusus). Indikasi pasien yang layak dirawat di ICU adalah:
a. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh Tim intensive care
b. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi system organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan terus menerus dan metode terapi titrasi
c. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera
untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasien kritis yaitu pasien yang mengalami perubahan fisiologis yang cepat
memburuk dan terjadi perubahan fungsi sistem tubuh yang mempengaruhi organ
lainya dan bisa menyebabkan kematian (Romadoni, 2018).
Intensive care unit (ICU) adalah ruang rawat rmah sakit dengan staf dan
perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit, trauma
atau komplikasi dengan mengancam jiwa.

B. Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan ajar dalam melengkapi
kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan di bidang keperawatan kritis
mengenai perawatan pasien di Intensive Care Unit (ICU). Dan diharapkan dapat
bermanfaat bagi rumah sakit khususnya di ruang Intensive Care Unit (ICU) dalam
proses peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Badi’ah, Atik. 2022. Keperawatan Kegawatdaruratan Dan Keperawatan Kritis.
Bandung : Media Sains Indonesia

Indonesia. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.1778/MENKES/SK/XIII/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Intensive Care Unit(ICU) Di Rumah Sakit. Jakarta
Widiyanto B, Yasmin LS. Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi Oksigen
melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut (IM-A).
Prosiding Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah. 2014; 1(1): 138-43

Romli, Leo Yosdimyati, Ucik Indrawati. 2018. Modul Pembelajaran Keperawatan


Kritis. Progran Studi DIII Keperawatan Stikes Insan Cendekia
Medika:Jombang,.

Zuliani.,dkk. 2022. Keperawatan Kritis. Yayasan Kita Menulis. Cetakan 1, 256


hlm.

Anda mungkin juga menyukai