Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
terpisah, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam jiwa atau potensial
mengancam jiwa dengan prognosis dubia. ICU menyediakan kemampuan dan
sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital
dengan menggunakan ketrampilan staf medik, perawat dan staf lain yang
berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut.
Kematian pasien yang mengalami pembedahan terbanyak timbul pada
saat pasca bedah. Pada sekitar tahun 1860, Florence Nightingale
mengusulkan untuk melanjutkan pengawasan pasien yang ketat selama
intraoperatif oleh anestesis sampai ke masa pasca bedah. Dimulai sekitar
tahun 1942, Mayo Clinic membuat suatu ruangan khusus dimana pasien-
pasien pasca bedah dikumpulkan dan diawasi sampai sadar dan stabil fungsi-
fungsi vitalnya, serta bebas dari pengaruh sisa obat anestesi. Keberhasilan
unit pulih sadar merupakan awal dipandang perlunya untuk melanjutkan
pelayanan serupa tidak pada masa pulih sadar saja, namun juga pada masa
pasca bedah.
Evolusi ICU bermula dari timbulnya wabah poliomyelitis di Scandinavia
pada sekitar awal tahun 1950, dijumpai banyak kematian yang disebabkan
oleh kelumpuhan otot-otot pernapasan. Dokter-dokter anesthesia pada waktu
itu, melakukan intubasi dan memberikan bantuan napas secara manual mirip
yang dilakukan selama anestesi. Dengan bantuan para mahasiswa kedokteran
dan sekelompok sukarelawan nereka mempertahankan nyawa pasien
poliomyelitis bulbar dan bahkan menurunkan mortalitas menjadi sebanyak
40%, dibandingkan dengan cara sebelumnya yakni penggunaan iron lung
yang mortalitasnya sebesar 90%. Pada tahun 1852 Engstrom membuat
ventilator bertekanan positif yang ternyata sangat efektif untuk memberi
pernapasan jangka panjang. Sejak saat itulah ICU dengan perawatan

1
2

pernapasan mulai terbentuk dan tersebar luas. Pada tahun 1958, Dr. Peter
Safar, seorang anesthesiologis, membuka ICU pertama dengan anggota staf
terdiri dari dokter di Baltimore City Hospital Amerika.
Di Indonesia sejarah ICU dimulai tahun 1971 dibeberapa kota besar,
yaitu di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta oleh Prof.
Moch. Kelan dan Prof. Muhardi, di RS Dr. Soetomo Surabaya oleh Prof.
Karijadi Wirjoatmodjo, di RS Dr. Karijadi Semarang oleh Prof. Haditopo,
yang selanjutnya menyebar di banyak kota dan umumnya dimotori oleh para
dokter anestesi.
Pada saat ini ICU modern tidak terbatas menangani pasien pasca bedah
atau ventilasi mekanis saja, namun telah menjadi cabang ilmu sendiri yaitu
intensive care medicine. Ruang lingkup pelayanannya meliputi pemberian
dukungan fungsi organ-organ vital seperti pernapasan, kardiosirkulasi,
susunan saraf pusat, renal dan lain-lainnya, baik pada pasien dewasa atau
pasien anak.
Mengingat diperlukannya tenaga-tenaga khusus, dan terbatasnya sarana,
serta mahalnya peralatan, maka unit ICU perlu dikonsentrasikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari icu ?
2. Bagaimana palsafah pelayanan icu ?
3. Bagaimana standar minimum pelayanan intensive care unit (icu) ?
4. Bagaimana pelayanan icu?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari icu
2. Mengetahui palsafah pelayanan icu
3. Mengetahui standar minimum pelayanan intensive care unit (icu)
4. Mengetahui pelayanan icu
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Icu
1. Definisi Intensive Care Unit (ICU) Intensive Care Unit (ICU) atau Unit
Perawatan Intensif (UPI) adalah tempat atau unit tersendiri di dalam
rumah sakit yang menangani pasien-pasien gawat karena penyakit,
trauma atau komplikasi penyakit lain. Intensive Care Unit (ICU)
merupakan cabang ilmu kedokteran yang memfokuskan diri dalam
bidang life support atau organ support pada pasien-pasien sakit kritis
yang kerap membutuhkan monitoring intensif. Pasien yang
membutuhkan perawatan intensif sering memerlukan support terhadap
instabilitas hemodinamik (hipotensi), airway atau respiratory
compromise dan atau gagal ginjal, kadang ketiga-tiganya. Perawatan
intensif biasanya hanya disediakan untuk pasien-pasien dengan kondisi
yang potensial reversibel atau mereka yang memiliki peluang baik untuk
bertahan hidup.
2. Unit perawatan intensif atau intensive care unit (ICU) merupakan suatu
ruangan khusus dalam rumah sakit yang mempunyai staf dan peralatan
khusus, dengan tujuan merawat pasien trauma atau pasien dengan
komplikasi yang mengancam jiwa. Pasien-pasien yang dirawat di ICU
biasanya mengalami kegagalan dua organ atau lebih, meskipun beberapa
pasien hanya menderita gagal napas akut yang membutuhkan bantuan
mesin ventilator untuk beberapa jam atau beberapa hari. ICU
membutuhkan perawatan, peralatan laboratorium, dan peralatan
diagnostik lainnya dengan standar yang tertinggi.
3. ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang
dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan
mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang
mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi
organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat
menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan
perawatan intensif oleh karena memerlukan pencatatan medis yang
4

berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau


perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi
organ-organ tubuh lainnya (Rab,2007).
4. Ruang Perawatan Intensif (Intensive Care Unit=ICU) adalah bagian dari
bangunan rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi
bedah dan instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012). Pelayanan
kesehatan kritis diberikan kepada pasien yang sedang mengalami
keadaan penyakit yang kritis selama masa kedaruratan medis dan masa
krisis. Pelayanan intensif adalah pelayanan spesialis untuk pasien yang
sedang mengalami keadaan yang mengancam jiwanya dan membutuhkan
pelayanan yang komprehensif dan pemantauan terus-menerus. Pelayanan
kritis atau intensif biasanya dilakukan pada Intensive Care Unit atau
ICU, untuk anak-anak biasanya disebut Paediatric Intensive Care Unit
atau PICU (Murti 2009).

B. Falsafah Pelayanan Icu


Pelayanan Keperawatan Intensif disediakan dan diberikan kepada pasien
dalam keadaan kegawatan dan perlu diawasi secara ketat, terus menerus serta
tindakan segera , ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi.
Dalam Falsafah Keperawatan Intensif Tim Keperawatan Intensif
menyakini bahwa :
1. Setiap Pasien mempunyai kebutuhan individu dan berhak mendapatkan
pelayanan keperawatan terbaik.
2. Kepedulian dan perhatian tim keperawatan mendorong rasa percaya diri
pasien.
3. Kwalitas hidup pasien dapat dicapai bila dalam pelayanan keperawatan
didukung oleh lingkungan internal dan eksternal sehingga secara
psikologis dapat memberikan rasa aman dan nyaman.
4. Lingkungan kerja yang kondusif.
5. Modivikasi tenaga keperawatan di ICU dituntut memiliki sertivikat
khusus yang diakui secara profesional.
5

6. Pelayanan intensif diberikan melalui pendekatan multi disiplin yang


bertujuan memberikan pelayanan yang konfrehensif untuk menaggulangi
berbagai masalah pasien kritis secara cepat dan tepat sehingga
menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien.

Tujuan Keperawatan Intensif adalah :


1. Menyelamatkan kehidupan.
2. Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui
observasi dan monitoring yang ketat disertai kemampuan
menginterpretasikan setiap data yang didapat, dan melakukan tindak
lanjut.
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mempertahankan kehidupan.
4. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien.
5. Mengurangi angka kematian dan kecacatan pasien kritis dan
mempercepat proses penyembuhan pasien.

C. Standar Minimum Pelayanan Intensive Care Unit (Icu)


Tingkat pelayanan ICU harus diseuaikan dengan kelas rumah sakit.
Tingkat pelayanan ini ditentukan oleh jumlah staf, fasilitas, pelayanan
penunjang, jumlah dan macam pasien yang dirawat.
Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut :
1. Resusitasi jantung paru.
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat
kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal
guna mencegah kematian biologis.
Resusitasi jantung paru (RJP),j atau juga dikenal dengan cardio
pulmonier resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung
dan pernafasan buatan. Teknik ini diberikan pada korban yang
mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih hidup.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban
mengalami pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan
memperbanyak darah yang keluar sehingga kemungkinan korban
6

meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi RJP,
korban juga akan meninggal dunia.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah
terjadi henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel
otak dan lain-lain. Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar
maka posisikan dalm keadaan mantap agar jalan nafas tetap bebas dan
sekret dapat keluar dengan sendirinya.

Mati Klinik RJP Mati Biologik


( Reversibel ) 4-6 menit ( Ireversibel )

Keterangan:
a. Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat
reversibel, penderita punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk
dilakukan resusitasi tanpa kerusakan otak.
b. Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai
dengan kematian sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di
suhu yang ekstrim dingin, pernah dilaporkan melakukan resusitasi
selama 1 jam/ lebih dan berhasil).
Catatan:
Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan
batang otak tidak perlu dilakukan RJP.
a. Indikasi Melakukan RJP
1) Henti Napas (Apneu)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat
depresi pernapasan baik di sentral maupun perifer.
Berkurangnya oksigen di dalam tubuh akan memberikan suatu
keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih cepat
dari pada keadaan normal. Bila perlangsungannya lama akan
memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan
7

otot-otot napas akan mengakibatkan terjadinya penumpukan


sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2, kemudian mempengaruhi
SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang dikenal
sebagai henti nafas.
2) Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi
agar darah dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh.
Dengan berhentinya napas, maka oksigen akan tidak ada sama
sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak dapat berkontraksi
dan akibatnya henti jantung (cardiac arrest).
b. Langkah Sebelum Memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP)
1) Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )
Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban
menjawab, maka ABC dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada
respon, maka perlu ditindaki segera.
2) Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum
memanggil bantuan.
3) Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras
(lantai, long board). Bila dalam keadaan telungkup, korban
dibalikkan. Bila dalam keadaan trauma, pembalikan dilakukan
dengan ”Log Roll”
4) Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban .
5) Pemeriksaan Pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam
keadaan baik.
a) Tidak terlihat gerakan otot napas
b) Tidak ada aliran udara via hidung
8

Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengan


dan rasa, bila korban bernapas, korban tidak memerlukan
RJP.
6) Pemeriksaan Sirkulasi
a) Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis
b) Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis
c) Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
d) Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat
dihentikan. Tetapi bila ada pulsasi dan korban tidak
bernapas, napas buatan diteruskan. Dan bila tidak ada
pulsasi, dilakukan RJP.
c. Penatalaksanaan Henti Napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
1) Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi
(terutama hepatitis, HIV) karena itu harus memakai ”barrier
device” (alat perantara). Dengan cara ini akan dicapai
konsentrasi oksigen hanya 18 %.
a) Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara
memijitnya dengan jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan
penolong menarik dagu korban ke atas.
b) Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan
mulut penolong ke atas mulut korban sampai menutupi
seluruh mulut korban secara pelan-pelan sambil
memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat
dari tiupan napas penolong. Gerakan ini menunjukkan
bahwa udara yang ditiupkan oleh penolong itu masuk ke
dalam paru-paru korban.
c) Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari
penolong dari hidung korban. Hal ini memberikan
kesempatan pada dada korban kembali ke posisi semula.
9

2) Mouth to Stoma
Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang
kemudian dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat
melalui prosedur Krikotiroidektomi tadi.
3) Mouth to Mask ventilation
Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan
bantuan face mask.
4) Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada
katup. Untuk mendapatkan penutupan masker yang baik, maka
sebaiknya masker dipegang satu petugas sedangkan petugas
yang lain memompa.
5) Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara
otomatis akan memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow)
yang diinginkan.

Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya


mengevaluasi jalan napas korban apakah terdapat sumbatan atau
tidak. Jika terdapat sumbatan maka hendaknya dibebaskan terlebih
dahulu.
d. Penatalaksanaan Henti Jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang
penolong. Lokasi titik tumpu kompresi.
1) 1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus
2) Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus,
sedangkan jari telunjuk mengikuti
3) Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut
4) Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah
berada tepat di titik pijat jantung
5) Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh
menyinggung dada korban
10

e. Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)


1) Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum
2) Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm
a) Tekanan tidak terlalu kuat
b) Tidak menyentak
c) Tidak bergeser / berubah tempat
3) Kompresi ritmik 100 kali / menit 2 pijatan/detik)
4) Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)
5) Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan
napas)
6) Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi untuk
menyelamatkan nyawa sampai korban dapat dibawa atau
tunjangan hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini termasuk
langkah-langkah ABC dari RKP :
A (Airway) : Jalan nafas terbuka.
B(Breathing) :Pernapasan, pernapasan buatan RKP.
C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan.

Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena :


1) Henti napas.
2) Henti jantung, yang dapat terjadi karena :
a) Kolaps kardiovaskular
b) Fibrilasi ventrikel atau
c) Asistole ventrikel.
f. Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah dasar
pemapasan buatan.Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas
dan apnea
2. Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan
ventilator sederhana
Adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas
dengan tetap memperhatikan kontrol servikal. Tujuannya membebaskan
11

jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal
sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh.
3. Terapi oksigen
Terapi oksigen merupakan Salah satu dari terapi pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat adalah terapi oksigen
(O2).
Terapi oksigen merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan termasuk keperawatan terhadap adanya gangguan pemenuhan
oksigen pada klien. Pengetahuan perawat yang memadai terhadap proses
respirasi dan indikasi serta metode pemberian oksigen merupakan bekal
bagi perawat agar asuhan yang diberikan tepat guna dengan resiko
seminimal mungkin.
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen sebagai intervensi medis,
yang dapat untuk berbagai tujuan di kedua perawatan pasien kronis dan
akut.
Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan pada gilirannya,
oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi fisiologis normal.
Tujuannya adalah:
a. Untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa
Gas Darah.
b. Untuk menurunkan kerja nafas dan menurunkan kerja miokard.

Syarat-syarat pemberian oksigen


a. Dapat mengontrol konsentrasi oksigen udara inspirasi.
b. Tahanan jalan nafas yang rendah.
c. Tidak terjadi penumpukan CO2.
d. Efisien.
e. Nyaman untuk pasien.Pemantauan EKG, pulse oksimetri terus
menerus

Dalam pemberian terapi oksigen perlu diperhatikan


“Humidification”. Hal ini penting diperhatikan oleh karena udara yang
normal dihirup telah mengalami humidfikasi sedangkan oksigen yang
12

diperoleh dari sumber oksigen (tabung O2) merupakan udara kering yang
belum terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat mencegah
komplikasi pada pernafasan. Indikasi pemberian oksigen adalah:
a. Klien dengan kadar oksigen arteri rendah dari hasil analisa gas
darah.
b. Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon
terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan
dalamnya pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan
pernafasan.
c. Klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha
untuk mengatasi gangguan oksigen melalui peningkatan laju pompa
jantung yang adekuat.

Berdasarkan indikasi tersebut maka terapi pemberian oksigen


diindikasikan pada klien dengan gejala :
a. Klien dengan keadaan tidak sadar.
b. Sianosis.
c. Hipovolemia.
d. Perdarahan.
e. Anemia berat.
f. Keracunan gas karbondioksida.
g. Asidosis.
h. Selama dan sesudah pembedahan.
4. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
Nutrisi enteral adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral, formula nutrisi
diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube), nasogastrik tube
(NGT), atau jejunum dapat secara manual maupun dengan bantuan
pompa mesin (At Tock, 2007). Menurut Wiryana (2007), Nutrisi
enteraladalah faktor resiko independent pnemoni 13 nosokomial yang
berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian sedini mungkin
dan benar nutrisi enteral akan menurunkan kejadian pneumonia, sebab
13

bila nutrisi enteral yang diberikan secara dini akan membantu


memelihara epitel pencernaan, mencegah translokasi kuman, mencegah
peningkatan distensi gaster, kolonisasi kuman, dan regurgitasi. Posisi
pasien setengah duduk dapat mengurangi resiko regurgitasi aspirasi.
Diare sering terjadi pada pasien di Intensif Care Unit yang mendapat
nutrisi enteral, penyebabnya multifaktorial, termasuk therapy antibiotic,
infeksi clostridium difficile, impaksi feses, dan efek tidak spesifik akibat
penyakit kritis. Komplikasi metabolik yang paling sering berupa
abnormalitas elektrolit dan hiperglikemi (Wiryana, 2007).
Nutrisi parenteral adalah suatu bentuk pemberian nutrisi yang
diberikan langsung melalui pembuluh darah tanpa melalui saluran
pencernakan (Wiryana, 2007). Nutrisi parenteral diberikan apabila usus
tidak dipakai karena suatu hal misalnya: malformasi kongenital intestinal,
enterokolitis nekrotikans, dan distress respirasi berat. Nutrisi parsial
parenteral diberikan apabila usus dapat dipakai, tetapi tidak dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi untuk pemeliharaan dan pertumbuhan (
Setiati, 2000). Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan
enteral tidak dapat dipenuhi dengan baik. Terdapat kecenderungan untuk
14 memberikan nutrisi enteral walaupun parsial dan tidak adekuat dengan
suplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi parenteral pada setiap
pasien dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral
secepat mungkin. Pada pasien IRIN, kebutuhan dalam sehari diberikan
lewat infuse secara kontinyu dalam 24 jam. Monitoring terhadap faktor
biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat. Hal yang paling
ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN) melalui vena
sentral adalah infeksi (Ery Leksana, 2000).
Ada 3 macam metode pemberian nutrisi parenteral, yaitu:
a. Nutrisi parenteral parsial, pemberian sebagian kebutuhan nutrisi
melalui intravena. Sebagian kebutuhan nutrisi harian pasien masih
dapat di penuhi melalui enteral. Cairan yang biasanya digunakan
dalam bentuk dekstrosa atau cairan asam amino
14

b. Nutrisi parenteral total, pemberian nutrisi melalui jalur intravena


ketika kebutuhan nutrisi sepenuhnya harus dipenuhi melalui cairan
infus. Cairan yang dapat digunakan adalah cairan yang mengandung
karbohidrat seperti Triofusin E1000, cairan yang mengandung asam
amino seperti PanAmin G, dan cairan yang mengandung lemak
seperti Intralipid
c. Lokasi pemberian nutrisi secara parenteral melalui vena sentral dapat
melalui vena antikubital pada vena basilika sefalika, vena subklavia,
vena jugularis interna dan eksterna, dan vena femoralis. Nutrisi
parenteral melalui perifer dapat dilakukan pada sebagian vena di
daerah tangan dan kaki.
Indikasi Pemberian Nutrisi Enteral dan Parenteral adalah sebagai
berikut.
a. Indikasi Enteral
Pemberian nutrisi enteral diperlukan pada penderita yang
memerlukan asupan nutrien dengan saluran cerna yang masih
berfungsi seperti pada penyakit AIDS atau HIV (yang disertai
malnutsi), kakeksia pada penyakit jantung/ kanker, penurunan
kesadaran/ koma, disfagia/ obstruksi esophagus, anoreksia pada
infeksi yang berat/ kronis/ malnutrisi, pembedahan/ kanker pada
kepala/ leher dan gangguan psikologis seperti depresi berat/ anoreksi
nervosa. Keadaan hypermetabolisme (luka bakar, trauma, infeksi
HIV), asupan oral yang tidak mencukupi, inflamasi usus/ penyakit
kronik, intubasi/ ventilasi, upaya mempertahankan keutuhan usus,
seperti panda pancreatitis juga memerlukan nutrisi enteral. Bahkan
pada kasus-kasus berat sperti pembedahan dan trauma dengan resiko
sepsis diperlukan pemberian nutrisi enteral secara dini yang dapat
disertai suplementasi nutrient yang berperan dalam proses pergantian
sel-sel jonjot usus seperti glutamine. Selain itu juga diindikasikan
untuk gangguan seperti di bawah ini:
1) Gangguan menguyah dan menelan
2) Prematuritas
15

3) Kelainan bawaan saluran nafas, saluran cerna, dan jantung


4) Refluks gastroesofagus berat
5) Penyakit kronik dan keganasan
b. Indikasi Parenteral
1) Gangguan absorbs makanan seperti fistula enterokunateus,
atresia intestinal, colitis infeksiosa, obstruksi usus halus.
2) Kondisi dimana usus harus diistirahatkan sperti pada pankrestitis
berat, status preoperative dengan malnutrisi berat, angina
intertinal, diare berulang.
3) Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang
berkepanjangan.
4) Makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik,
hiperemesis gravidarum (Wiryana, 2007).
Kontraindikasi Pemberian Nutrisi Enteral dan Parenteral adalah
sebagai berikut.
a. Kontraindikasi Enteral
1) Kondisi yang mengakibatkan perubahan fungsi saluran cerna
(osbtruksi menyeluruh pada saluran cerna bagian distal,
perdarahan saluran cerna yang hebat, fistula enterokutan high-
output, intractable diarrhea, kelainan congenital pada saluran
cerna).
2) Gangguan perfusi saluran cerna (instabilitas hemodinamik, syok
septic)
b. Kontraindikasi Parenteral
1) Pasien-pasien kanker yang sedang menjalankan terapi radiasi
dan kemoterapi.
2) Pasien-pasien preoperatif yang bukan malnutrisi berat.
3) Pankreatitis akuta ringan.
4) Kolitis akuta.
5) AIDS.
6) Penyakit paru yang mengalami eksaserbasi.
7) Luka bakar.
16

8) Penyakit-penyakit berat stadium akhir (end-stage illness).


Manfaat Pemberian Nutrisi Enteral dan Nutrisi Parenteral adalah
sebagai berikut.
a. Manfaat dari pemberian nutrisi enteral antara lain:
1) Mempertahankan fungsi pertahanan dari usus
2) Mempertahankan integritas mukosa saluran cerna
3) Mempertahankan fungsi-fungsi imunologik mukosa saluran
cerna
4) Mengurangi proses katabolic
5) Menurunkan resiko komplikasi infeksi secara bermakna
6) Mempercepat penyembuhan luka
7) Lebih murah dibandingkan nutrisi parenteral
8) Lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih pendek
dibandingkan dengan Nutrisi Parenteral
b. Manfaat dari pemberian nutrisi parenteral antara lain:
1) Menyediakan nutrisi bagi tubuh melalui intravena, karena tidak
memungkinkannya saluran cerna untuk melakukan proses
pencernaan makanan
2) Mencegah lemak subcutan dan otot digunakan oleh tubuh untuk
melakukan katabolisme energi
3) Mempertahankan kebutuhan nutrisi
Status kesehatan yang optimal merupakan syarat untuk
menjalankan tugas dalam pembangunan. Menurut paradigma sehat,
diharapkan orang tetap sehat dan lebih sehat, sedangkan yang
berpenyakit lekas dapat di sembuhkan agar sehat. Untuk segera
dapat disembuhakn, perlu di tentukan penyakitnya dan pengobatan
yang tepat, serta prognosis atau ramalan yaitu ringan, berat, atau
fatal.
Dalam menentukan penyakit atau diagnosis, membantu
diagnosis, prognosis, mengendalikan penyakit dan memonitor
pengobatan atau memantau jalanya penyakit, dokter melakukan
pemeriksaan laboratorium atau tes laboratorium yaitu pemeriksaan
17

spesimen atau sampul yang diambil dari pasien. Banyak pemeriksaan


spesimen dilakukan di laboratorium klinik atau lengkapnya di
laboratorium patologi klinik.
5. Pemeriksaaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh
Pemeriksaan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur
pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan atau sampel dari
penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah, sputum (dahak), dan
sebagainya untuk menentukan diagnosis atau membantu menentukan
diagnosis penyakit bersama dengan tes penunjang lainya, anamnesis, dan
pemeriksaan lainya.
Sekumpulan pemeriksaan laboratorium yang dirancang, untuk tujuan
tetrtentu misalnya untuk mendeteksi penyakit, menentukan resiko,
memantau perkembangan penyakit, memantau perkembangan
pengobatan, dan lalin-lain. Mengetahui ada tidaknya kelainan atau
penyakit yang banyak di jumpai dan potensial membahayakan.
Pemeriksaan yang juga merupakan proses General medical check up
(GMC) meliputi : Hematologi Rutin, Urine Rutin, Faeces Rutin,
Bilirubin Total, Bilirubin Direk, GOT, GPT, Fotafase Alkali, Gamma
GT, Protein Elektroforesis, Glukosa Puasa, Urea N, Kreatinin, Asam
Urat, Cholesterol Total, Trigliserida, Cholesterol HDL, Cholesterol LDL-
Direk.
Tes atau pemeriksaan dapat secara kimia klinik, hematologi,
imunologi, serologi, mikrobiologi klinik, dan parasitologi klinik. Metode
pemeriksaan pemeriksaan terus berkembang dari kualitatif, semi
kuantitatif, dan dilaksanakan dengan cara manual, semiotomatik,
otomatik, sampai robotik. Hal ini berarti peralatanpun berkembang dari
yang sederhana sampai yang canggih dan mahal hingga biaya tespun
dapat meningkat. Oleh karena itu hasi suatu pemeriksaan laboratorium
sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau perjalanan
penyakit, serta menentukan prognosa dari suatu penyakit atau keluhan
pasien.
18

Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk berbagai tujuan:


a. Skrining/uji saring adanya penyakit subklinis
b. Konfirmasi pasti diagnosis
c. Menemukan kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan
gejala klinis
d. Membantu pemantauan pengobatan
e. Menyediakan informasi prognostic atau perjalan penyakit
f. Memantau perkembangan penyakit
g. Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai
dan potensial membahayakan
h. Memberi ketenangan baik pada pasien maupun klinisi karena tidak
didapati penyakit
Dalam pemeriksaan kesalahan pemeriksaan mungkin saja terjadi,
sehingga akan mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Terdapat
3 faktor utama yang dapat mengakibatkan kesalahan hasil laboratorium
yaitu:
a. Faktor Pra instrumentasi : sebelum dilakukan pemeriksaan
b. Faktor Instrumentasi : saat pemeriksaan (analisa) sample
c. Faktor Pasca Instrumentasi : saat penulisan hasil pemeriksaan

Jenis-jenis Pemeriksaan Laboratorium:


a. Mikrobiologi menerima usapan, tinja, air seni, darah, dahak, perlatan
medis, begitupun jaringan yang mungkin terinfeksi. Spesimen tadi
dikultur untuk memeriksa mikroba patogen
b. Parasitologi, untuk mengamati parasit
c. Hematologi, menerima keseluruhan darah dan plasma. Mereka
melakukan perhitungan darah dan selaput darah.
d. Kimia klinik, biasanya menerima serum, mereka menguji serum
untuk komponen-komponen yang berbeda.
e. Toksikologi, menguji obat farmasi, obat yang disalahgunakan, dan
toksin lain.
f. Imunologi, menguji antibodi.
19

g. Serologi, menerima sampel serum untuk mencari bukti penyakit


seperti Hepatitis atau HIV
h. Urinalisis, menguji air seni untuk sejumlah analit.
i. Patologi, bedah menguji organ, ekstremitas, tumor, pertumbuhan
janin, dan jaringan lain yang dibiopsi pada bedah seperti masektomi
payudara.
j. Sitologi, menguji usapan sel (seperti dari mulut rahim) untuk
membuktikan kanker dan lain-lain.
Idealnya pemeriksaan laboratorium harus teliti, tepat, sensitif,
spesifik cepat dan tidak mahal. Namun karena keterbatasan pengetahuan,
teknologi dan biaya, keadaan ideal tidak selalu terpenuhi. Adapun
penjelasaan syarat-syarat keadaan tersebut adalah :
a. Teliti berarti kemampuan untuk mendapatkan nilai yang hampir
sama pada pemeriksaan berulang-ulang dengan metode yang sama.
b. Akurat atau tapat berati kemampuan untuk mendapatkan nilai benar
yang di inginkan, tatapi untuk mencapai mungkin membutuhkan
waktu yang lama dan mahal.
c. Cepat berati tidak memerlukan waktu lama
d. Spesifik berarti kemampuan mendeteksi substansi yang ada pada
penyakit yang diperiksa dan tidak menentukan substansi yang lain.
e. Ketepatan pemanfaatan tes laboratorium untuk mendapatkan
diagnosis akurat dan cepat akan menghemat pembiayaan
Konsep paling mendasar dan praktis dalam kimia asam basa tidak
diragukan lagi adalah reaksi netralisasi. Netralisasi dapat didefinisikan
sebagai reaksi antara proton dan ion hidroksida membentuk air. Dalam
pembahasan netralisasi tentu kita akan mendapatkan istilah titrasi.
Titrasi merupakan suatu metode untuk menentukan kadar suatu zat
dengan menggunakan zat yang lain yang sudah diketahui konsentrasinya.
Titrasi biasanya dibedakan berdasarkan jenis reaksi asam basa maka
disebut sebagai titrasi asam basa, titrasi redox untuk titrasi yang
melibatkan reaksi reduksi oksidasi, titrasi kompleksometri untuk titrasi
yang melibatkan pembentukan reaksi kompleks dan lain sebagainya.
20

Titran ditambahkan titer sedikit demi sedikit sampai mencapai titik


ekuivalen. Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”. Untuk
memperoleh ketepatan hasil titrasi meka titik akhir titrasi dipilih sedikit
mungkin dengan titik ekuivalen, hal ini dapat dilakukan dengan memilih
indikator yang tepat dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan.
Keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan
warna indikator disebut sebagai “titik akhir titrasi”. Titik akhir titrasi
adalah keadaan dimana reaksi telah berjalan dengan sempurna yang
biasanya ditandai dengan pengamatan visual melalui perubahan warna
indikator
6. Pelaksanaan terapi secara titrasi
7. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien
8. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portabel selama
transportasi pasien gawat
9. Kemampuan melakukan fisioterapi dada
Salah satu komponen penting dalam fisioterapi dada adalah
postural drainase. Postural drainase adalah salah satu interverensi dari
berbagai segmen paru-paru dengan menggunakan pengaruh gaya
gravitasi .Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan dengan
melakukan drainase postural, calpping vibrating pada pasien dengan
gangguan system pernapasan misalnya penyakit paru-paru obstruksi
kronis, asma dan enfisema.
Tujuan Postural drainase adalah:
a. Mengembalikan dan memelihara fungsi otot-otot pernapasan
b. Membantu membersihkan secret dari bronkus
c. Mencegah penumpukan sekret
d. Memperbaiki pergerakan dan aliran sekret
e. Meningkatkan efesiensi pernapasan dan ekspansi paru
f. Pasien dapat bernafas dengen bebas dan tubuh mendapatkan oksigen
yang cukup.
Tindakan postural dilakukan sebelum tidur dan kira-kira 1jam
sebelum makan siang dan makan malam. Tindakan ini tidak boleh
21

dilakukan setelah makan karena latihan dan batuk dapat menyebabkan


pasien muntah. Latihan tarus selesai 30-45 menit sebelum makan
sehingga pasien akan memiliki kesempatan untuk istirahat dan makan.
Setiap sesi dilakukan setiap 20-30 menit.

Adapun pembagian stratifikasinya adalah sebagai berikut.


1. Klasifikasi atau stratifikasi pelayanan ICU
a. Pelayanan ICU primer (standar minimal)
Pelayanan ICU primer mampu memberikan pengelolan
resusitatif segera untuk pasien sakit gawat, tunjangan kardio-
respirasi jangka pendek, dan mempunyai peran penting dalam
pemantauan dan pencegahan penyulit pada pasien medik dan bedah
yang beresiko. Dalam ICU dilakukan ventilasi mekanik dan
pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam.
Kekhususan yang harus dimiliki :
1) Ruangan tersendiri ; letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang
darurat dan ruangan perawatan lain.
2) Memiliki kebijaksanaan/kriteria penderita yang masuk, keluar
serta rujukan.
3) Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala.
4) Ada dokter jaga 24 (dua puluh empat) jam dengan kemampuan
melakukan resusitasi jantung paru (A, B, C, D, E, F).
5) Konsulen yang membantu harus selalu dapat dihubungi dan
dipanggil setiap saat.
6) Memiliki jumlah perawat yang cukup dan sebagian besar
terlatih.
7) Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium
tertentu (Hb. Hematokrit, elektrolit, gula darah dan trombosit),
roentgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi.
b. Pelayanan ICU sekunder
Pelayanan ICU sekunder memberikan standar ICU umum yang
tinggi, yang mendukung peran rumah sakit yang lain yang telah
22

digariskan, misalnya kedokteran umum, bedah, pengelolaan trauma,


bedah saraf, bedah vaskuler dan lain-lainnya. ICU hendaknya
mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama
melakukan dukungan/bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu
kompleks.
Kekhususan yang harus dimiliki :
1) Ruangan tersendiri ; letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang
darurat dan ruangan perawatan lain.
2) Memiliki ketentuan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta
rujukan.
3) Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat
bila diperlukan.
4) Memiliki seorang kepala ICU, seorang dokter konsultan
intensive care, atau bila tidak tersedia oleh dokter spesialis
anestesiologi, yang bertanggung jawab secara keseluruhan dan
dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung
paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).
5) Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan
pasien : perawat sama dengan 1:1 untuk pasien dengan
ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untuk kasus-kasus
lainnya.
6) Memiliki lebih dari 50% perawat bersertifikat terlatih
perawatan/terapi intensif atau minimal berpengalaman kerja 3
(tiga) tahun di ICU.
7) Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis beberapa lama
dan dalam batas tertentu melakukan pemantauan invasif dan
usaha-usaha penunjang hidup.
8) Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, roentgen,
kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama 24 (dua puluh
empat) jam.
9) Memiliki ruangan isolasi atau mampu melakukan prosedur
isolasi.
23

c. Pelayanan ICU tersier (tertinggi)


Pelayanan ICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk ICU,
memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan / bantuan
hidup multi-sistim yang kompleks dalam jangka waktu yang
terbatas. ICU ini melakukan ventilasi mekanis pelayanan dukungan /
bantuan renal ekstrakorporal dan pemantuan kardiovaskuler invasif
dalam jangka waktu yang terbatas dan mempunyai dukungan
pelayanan penunjang medik. Semua pasien yang masuk ke dalam
unit harus dirujuk untuk dikelola oleh spesialis intensive care.
Kekhususan yang harus dimiliki :
1) Memiliki ruangan khusus tersendiri didalam rumah sakit.
2) Memiliki kriteria penderita masuk, keluar dan rujukan.
3) Memiliki dokter sepesialis yang dibutuhkan dan dapat
dihubungi, datang setiap saat diperlukan.
4) Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care
atau dokter ahli konsultan intensive care yang lain yang
bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang
minimal mampu resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar
dan bantuan hidup lanjut).
5) Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan
pasien : perawat sama dengan 1: 1 untuk pasien dengan
ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untuk kasus-kasus
lainnya.
6) Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat terlatih perawatan
/ terapi intensif atau minimal berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun
di ICU.
7) Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan /
terapi intensif baik non-invasif maupun invasif.
8) Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, roentgen,
kemudahan diagnostik dan fisioterapi selama 24 (dua puluh
empat) jam.
24

9) Memiliki paling sedikit seorang yang mampu dalam mendidik


tenaga medik dan paramedik agar dapat memberikan pelayanan
yang optimal pada pasien.
10) Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian.
(sampai disini).
11) Memiliki staf tambahan yang lain, misalnya tenaga administrasi,
tenaga rekam medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan
penelitian.
d. Prosedur pelayanan perawatan / terapi (ICU)
Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU:
1) Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut
yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian
dalam beberapa menit sampai beberapa hari.
2) Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh
sekaligus melakukan pelaksanaan spesifik problema dasar.
3) Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap
komplikasi yang ditimbulkan oleh :
a) Penyakit
b) Latrogenik
4) Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang nyawanya
pada saat itu bergantung pada fungsi alat / mesin dan orang lain.
e. Indikasi masuk dan keluar ICU
Suatu ICU mampu menggabungkan teknologi tinggi dan
keahlian khusus dalam bidang kedokteran dan keperawatan gawat
darurat yang dibutuhkan untuk merawat pasien sakit kritis. Keadaan
ini memaksa diperlukannya mekanisme untuk membuat prioritas
pada sarana yang terbatas ini apabila kebutuhan ternyata melebihi
jumlah tempat tidur yang tersedia di ICU.
Dokter yang merawat pasien mempunyai tugas untuk meminta
pasiennya dimasukkan ke ICU bila ada indikasi segera memindah ke
unit yang lebih rendah bila kondisi kesehatan pasien telah
memungkinkan. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian
25

indikasi perawatan pasien di ICU. Bila kebutuhan masuk ICU


melebihi tempat tidur yang tersedia, Kepala ICU menentukan
berdasarkan prioritas kondisi medik, pasien mana yang akan dirawat
di ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan
secara rinci untuk tiap ICU. Harus tersedia mekanisme untuk
mengkaji ulang secara retrospektif kasus-kasus dimana dokter yang
merawat tidak setuju dengan keputusan kepala ICU.
f. Kriteria masuk
ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang
canggih dan terapi yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat
tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas
satu-1) didahulukan rawat ICU dibandingkan pasien yang
memerlukan pemantauan intensif (prioritas dua-2) dan pasien sakit
kritis atau terminal dengan prognosis yang jelek untuk sembuh
(prioritas tiga-3). Penilaian obyektif atas beratnya penyakit dan
prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk
pasien.
1) Pasien prioritas 1 (satu)
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil
yang memerlukan terapi intensif seperti dukungan / bantuan
ventilasi, infus obat-obat vasoaktif kontinyu, dan lain-lainnya.
Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasca bedah
kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya
beberapa institusi membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU,
seperti derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan darah
tertentu. Pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai
batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya.
2) Pasien prioritas 2 (dua)
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari
ICU. Jenis pasien ini beresiko sehingga memerlukan terapi
intensif segera, karenanya pemantauan intensif menggunakan
metoda seperti pulmonary arterial catheter sangat menolong.
26

Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita


penyakit dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau
yang telah mengalami pembedahan major. Pasien prioritas 2
umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya,
mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah.
3) Pasien prioritas 3 (tiga)
Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil dimana status
kesehatannya sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau
penyakit akutnya, baik masing-masing atau kombinasinya,
sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan/atau
mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh-contoh pasien ini
antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit
infeksi, pericardial, temponade, atau sumbatan jalan napas, atau
pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai
komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 (tiga)
mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit
akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan
intubasi atau resusitasi kardiopulmoner.
4) Pengecualian
Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria
yang sesuai untuk masuk ICU, dan hanya dapat masuk dengan
pertimbangan seperti pada keadaan luar biasa, atas persetujuan
Kepala ICU. Lagi pula pasien-pasien tersebut bila perlu harus
dikeluarkan dari ICU agar fasilitas yang terbatas tersebut dapat
digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga).
a) Pasien yang telah dipastikan mengalami brain death.
Pasien-pasien seperti itu dapat dimasukkan ke ICU bila
mereka potensial donor organ, tetapi hanya untuk tujuan
menunjang fungsi-fungsi organ sementara menunggu donasi
organ.
b) Pasien-pasien yang kompeten tetapi menolak terapi
tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan
27

yang aman” saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan


perintah “DNR”. Sesungguhnya pasien-pasien ini mungkin
mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di
ICU untuk meningkatkan kemungkinan survival-nya.
c) Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
d) Pasien yang secara fisiologis stabil yang secara statistik
resikonya rendah untuk memerlukan terapi ICU. Contoh-
contoh pasien kelompok ini antara lain, pasien pasca bedah
vaskuler yang stabil, pasien diabetic ketoacidosis tanpa
komplikasi, keracunan obat tetapi sadar, concusion, atau
payah jantung kongestif ringan. Pasien-pasien semacam ini
lebih disukai dimasukkan ke suatu unit intermediet untuk
terapi definitif dan /atau observasi.
g. Kriteria keluar
1) Pasien prioritas 1 (satu)
Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari ICU bila
kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, atau bila
terapi telah gagal dan prognosis jangka pendek jelek dengan
kemungkinan kesembuhan atau manfaat dari terapi intensif
kontinyu kecil. Contoh-contoh hal terakhir adalah pasien dengan
tiga atau lebih gagal sistim organ yang tidak berespons terhadap
pengelolaan agresif.
2) Pasien prioritas 2 (dua)
Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan
untuk mendadak memerlukan terapi intensif telah berkurang.
3) Pasien prioritas 3 (tiga)
Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan dari ICU bila
kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, tetapi
mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan
kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinyu kecil.
Contoh dari hal terakhir antara lain adalah pasien dengan
penyakit lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung atau liver
28

terminal, karsinoma yang telah menyebar luas, dan lain-lainnya


yang telah tidak berespons terhadap terapi ICU untuk penyakit
akutnya, yang prognosis jangka pendeknya secara statistik
rendah, dan yang tidak ada terapi yang potensial untuk
memperbaiki prognosisnya.
Dengan mempertimbangkan perawatannya tetap berlanjut
dan sering merupakan perawatan khusus setara pasien ICU,
pengaturan untuk perawatan non-ICU yang sesuai harus
dilakukan sebelum pengeluaran dari ICU.
h. Pengkajian ulang kerja
Setiap ICU hendaknya membuat peraturan dan prosedur-
prosedur masuk dan keluar, standard perawatan pasien, dan kriteri
outcome yang spesifik. Kelengkapan-kelengkapan ini hendaknya
dibuat tim multidisipliner yang diwakili oleh dokter, perawat dan
administrator rumah sakit, dan hendaknya dikaji ulang dan
diperbaiki seperlunya berdasarkan keluaran pasien (outcome) dan
pengukuran kinerja yang lain. Kepatuhan terhadap ketentuan masuk
dan keluar harus dipantau oleh tim multidisipliner, dan
penyimpangan-penyimpangan dilaporkan pada badan perbaikan
kualitas rumah sakit untuk ditindak lanjuti.
2. Prasarana
a. Lokasi
Dianjurkan satu komplek dengan kamar bedah dan kamar pulih,
berdekatan atau mempunyai akses yang mudah ke Unit Gawat
Darurat, laboratorium dan radiologi.
b. Disain
Standar ICU yang memadai ditentukan disain yang baik dan
pengaturan ruang yang adekuat. Bangunan ICU merupakan :
1) Terisolasi
2) Mempunyai standar tertentu terhadap :
a) Bahaya api
b) Ventilasi
29

c) AC
d) Exhausts fan
e) Pipa air
f) Komunikasi
g) Bakteriologis
h) Kabel monitor
3) Lantai mudah dibersihkan, keras dan rata
a) Area pasien :
(1) Unit terbuka 12 – 16 m2 / tempat tidur
(2) Unit tertutup 16 – 20 m2 / tempat tidur
(3) Jarak antara tempat tidur : 2 m
(4) Unit terbuka mempunyai 1 tempat cuci tangan setiap 2
tempat tidur
(5) Unit tertutup 1 ruangan 1 tempat tidur cuci tangan
Harus ada sejumlah outlet yang cukup sesuai dengan
level ICU. ICU tersier paling sedikit 3 outlet udara-
tekan, dan 3 pompa hisap dan minimal 16 stop kontak
untuk tiap tempat tidur.
(6) Pencahayaan cukup dan adekuat untuk opservasi klinis
dengan lampu TL day light 10 watt/m2. Jendela dan
akses tempat tidur menjamin kenyamanan pasien dan
personil. Disain dari unit juga memperhatikan privasi
pasien.
b) Area kerja meliputi :
(1) Ruang yang cukup untuk staf dan dapat menjaga
kontak visual perawat dengan pasien.
(2) Ruang yang cukup untuk memonitor pasien, peralatan
resusitasi dan penyimpanan obat dan alat (termasuk
lemari pendingin).
(3) Ruang yang cukup untuk mesin X-Ray mobile dan
mempunyai negatif skop.
30

(4) Ruang untuk telpon dan sistem komunikasi lain,


komputer dan koleksi data, juga tempat untuk
penyimpanan alat tulis dan terdapat ruang yang cukup
resepsionis dan petugas administrasi.
c) Lingkungan
Mempunyai pendingin ruangan/AC yang dapat mengontrol
suhu dan kelembaban sesuai dengan luas ruangan. Suhu
220–250C kelembaban 50 – 70%.
d) Ruang Isolasi
Dilengkapi dengan tempat cuci tangan dan tempat ganti
pakaian sendiri.
e) Ruang penyimpanan peralatan dan barang bersih
Untuk menyimpan monitor, ventilator, pompa infus dan
pompa syringe, peralatan dialisis, alat-alat sekali pakai,
cairan, penggantung infus, troli, penghangat darah, alat
hisap, linen dan tempat penyimpanan barang dan alat
bersih.
f) Ruang tempat pembuangan alat / bahan kotor
Untuk menyimpan monitor, ventilator, pompa infus dan
pompa syringe, peralatan dialisis, alat-alat sekali pakai,
cairan, penggantung infus, troli, penghangat darah, alat
hisap, linen dan tempat penyimpanan barang dan alat
bersih.
g) Ruang perawat
Terdapat ruang terpisah yang dapat digunakan oleh perawat
yang bertugas dam pimpinannya.
h) Ruang staf Dokter
Tempat kegiatan organisasi dan administrasi termasuk
kantor Kepala bagian dan staf, dan kepustakaan.
i) Ruang Tunggu keluarga pasien
j) Laboratorium
31

Harus dipertimbangkan pada unit yang tidak mengandalkan


pelayanan terpusat.
3. Peralatan
a. Jumlah dan macam peralatan bervariasi tergantung tipe, ukuran dan
fungsi ICU dan harus sesuai dengan beban kerja ICU, diseuaikan
dengan standar yang berlaku.
b. Terdapat prosedur pemeriksaan berkala untuk keamanan alat.
c. Peralatan dasar meliputi :
1) Ventilator
2) Alat ventilasi manual dan alat penunjang jalan nafas
3) Alat Hisap
4) Peralatan akses vaskuler
5) Defibrilator dan alat pacu jantung
6) Alat pengatur suhu pasien.
7) Peralatan drain thorax.
8) Pompa infus dan pompa syringe
9) Peralatan portable untuk transportasi
10) Tempat tidur khusus.
11) Lampu untuk tindakan
12) Continous Renal Replacement Therapy
Peralatan lain (seperti peralatan hemodialisa dan lain-lain) untuk
prosedur diagnostik dan atau terapi khusus hendaknya tersedia bila
secara klinis ada indikasi dan untuk mendukung fungsi ICU.
Protokol dan pelatihan kerja untuk staf medik dan para medik perlu
tersedia untuk penggunaan alat-alat termasuk langkah-langkah untuk
mengatasi apabila terjadi malfungsi.
d. Monitoring Peralatan (Termasuk peralatan portable yang digunakan
untuk transportasi pasien).
1) Tanda bahaya kegagalan pasokan gas.
2) Tanda bahaya kegagalan pasokan oksigen.
32

Alat yang secara otomatis teraktifasi untuk memonitor


penurunan tekanan pasokan oksigen, yang selalu terpasang di
ventilator.
3) Pemantauan konsentrasi oksigen.
Diperlukan untuk mengukur konsentrasi oksigen yang
dikeluarkan oleh ventilator atau sistim pernafasan.
4) Tanda bahaya kegagalan ventilator atau diskonsentrasi sistim
pernafasan.Pada penggunaan ventilator otomatis, harus ada alat
yang dapat segera mendeteksi kegagalan sistim pernafasan atau
ventilator secara terus menerus.
5) Volume dan tekanan ventilator.
Volume yang keluar dari ventilator harus terpantau. Tekanan
jalan nafas dan tekanan sirkuit pernafasan harus terpantau terus
menerus dan dapat mendeteksi tekanan yang berlebihan.
6) Suhu alat pelembab (humidifier)
Ada tanda bahaya bila terjadi peningkatan suhu udara inspirasi.
7) Elektrokardiograf
Terpasang pada setiap pasien dan dipantau terus menerus.
8) Pulse oximeter.
Harus tersedia untuk setiap pasien di ICU.
9) Emboli udara
Apabila pasien sedang menjalani hemodialisis, plasmapheresis,
atau alat perfusi, harus ada pemantauan untuk emboli udara.
10) Bila ada indikasi klinis harus tersedia peralatan untuk Mengukur
variabel fisiologis lain seperti tekanan intra arterial dan tekanan
arteri pulmonalis, curah jantung, tekanan inspirasi dan aliran
jalan nafas, tekanan intrakranial, suhu, transmisi neuromuskular,
kadar CO2 ekspirasi
33

D. Pelayanan Intensive Care Unit (Icu)


1. Praktek kedokteran intensive care
Pelaksanaan pelayanan kedokteran intensive care adalah berbasis
rumah sakit, diperuntukkan dan ditentukan oleh kebutuhan pasien yang
sakit kritis. Tujuan dari pelayanan intensive care adalah memberikan
pelayanan medik tertitrasi dan berkelanjutan serta mencegah fragmentasi
pengelolaan.
Pasien sakit kritis meliputi :
a. Pasien-pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan
dokter, perawat, perawatan napas yang terkoordinasi dan
berkelanjutan, sehingga memerlukan perhatian yang teliti, agar dapat
dilakukan pengawasan yang konstan dan titrasi terapi.
b. Pasien-pasien yang dalam bahaya mengalami dekompensasi
fisiologis dan karena itu memerlukan pemantauan konstan dan
kemampuan tim intensive care untuk melakukan intervensi segera
untuk mencegah timbulnya penyulit yang merugikan.
c. Pasien sakit kritis membutuhkan pemantauan dan tunjangan hidup
khusus yang harus dilakukan oleh suatu tim, termasuk diantaranya
dokter yang mempunyai dasar pengetahuan, ketrampilan teknis,
komitmen waktu, dan secara fisik selalu berada ditempat untuk
melakukan perawatan titrasi dan berkelanjutan. Perawatan ini harus
berkelanjutan dan bersifat proaktif, yang menjamin pasien dikelola
dengan cara yang aman, manusiawi, dan efektif dengan
menggunakan sumber daya yang ada, sedemikian rupa sehingga
memberikan kualitas pelayanan yang tinggi dan hasil yang optimal.
2. Pelayanan intensive care
Pelayanan ICU harus dilakukan oleh intensivist, yang terlatih secara
formal dan mampu memberikan pelayanan tersebut, dan yang terbebas
dari tugas-tugas lain yang membebani, seperti kamar operasi, praktek
atau tugas-tugas kantor. Intensivis yang bekerja harus berpartisipasi
dalam suatu sistim yang menjamin kelangsungan pelayanan intensive
care 24 jam. Hubungan pelayanan ICU yang terorganisir dengan bagian-
34

bagian pelayanan lain di rumah sakit harus ada dalam organisasi rumah
sakit.
Bidang kerja pelayanan intensive care meliputi : (1) pengelolaan
pasien; (2) administrasi unit; (3) pendidikan; dan (4) penelitian.
Kebutuhan dari masing-masing bidang akan bergantung dari tingkat
pelayanan tiap unit.
a. Pengelolaan pasien langsung
Pengelolaan pasien langsung dilakukan secara primer oleh
intensivist dengan melaksanakan pendekatan pengelolaan total pada
pasien sakit kritis, menjadi ketua tim dari berbagai pendapat
konsultan atau dokter yang ikut merawat pasien. Cara kerja demikian
mencegah pengelolaan yang terkotak-kotak dan menghasilkan
pendekatan yang terkoordinasi pada pasien serta keluarganya.
b. Administrasi unit
Pelayanan ICU dimaksud untuk memastikan suatu lingkungan
yang menjamin pelayanan yang aman, tepat waktu dan efektif.
Untuk tercapainya tugas ini diperlukan partisipasi dari intensivist
pada aktivitas manajemen.
35

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang
dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati
pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai
intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya
sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap
pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena
memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta
dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari
penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab,2007).
Pelayanan icu harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut:
1. Resusitasi jantung paru
2. Pengelolaan jalan nafas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan
ventilator sederhana
3. Terapi oksigen
4. Pemantauan ekg, pulse oksimetri terus menerus
5. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
6. Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh
7. Pelaksanaan terapi secara titrasi
8. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien
9. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portabel selama
transportasi pasien gawat
10. Kemampuan melakukan fisioterapi dada
36

DAFTAR PUSTAKA
Aujesky, D. MD MSc, Mor, M. K. PhD, Geng, M. MS, Fine, M. J. MD MSc,
Renaud, B. MD, Ibrahim, S. A. MD MPH (2008). Hospital volume and
patient outcomes in pulmonary embolism. CMAJ 178: 27-33
Carrier, M. MD, Wells, P. S. MD MSc (2008). Should we regionalize the
management of pulmonary embolism?. CMAJ 178: 58-60
Kahn, J. M., Linde-Zwirble, W. T., Wunsch, H., Barnato, A. E., Iwashyna, T. J.,
Roberts, M. S., Lave, J. R., Angus, D. C. (2008). Potential Value of
Regionalized Intensive Care for Mechanically Ventilated Medical Patients.
Am. J. Respir. Crit. Care Med. 177: 285-291
Kramer, A. A., Zimmerman, J. E. (2008). Predicting Outcomes for Cardiac
Surgery Patients After Intensive Care Unit Admission. SEMIN
CARDIOTHORAC VASC ANESTH 12: 175-183 [Abstract]
Lecuyer, L., Chevret, S., Guidet, B., Aegerter, P., Martel, P., Schlemmer, B.,
Azoulay, E. (2008). Case volume and mortality in haematological patients
with acute respiratory failure. Eur Respir J 32: 748-754
Lin, H.-C., Xirasagar, S., Chen, C.-H., Hwang, Y.-T. (2008). Physician’s Case
Volume of Intensive Care Unit Pneumonia Admissions and In-Hospital
Mortality. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 177: 989-994
Perdici.org. Indonesian Society of Intensive Care Medicine. 2008
Williams, S. C., Koss, R. G., Morton, D. J., Schmaltz, S. P., Loeb, J. M. (2008).
Case volume and hospital compliance with evidence-based processes of
care. Int J Qual Health Care 20: 79-87

Anda mungkin juga menyukai