TINJAUAN PUSTAKA
1
metabolisme, metabolisme karbohidrat, lemak serta protein
terganggu, perubahan nafsu makan serta peristaltik usus yang
berkurang merupakan gangguan gastrointestinal.
b) Perubahan sistem respirasi
Komplikasi pada sistem pernafasan merupakan akibat dari
kurangnya pergerakkan atau immobilisasi oleh pasien.
Komplikasi yang paling umum terjadi yaitu pneumonia
hipostatik dan atelektasis. Hal ini menyebabkan penurunan
kemampuan batuk efektif sehingga sekret pada bronkus
meningkat terutama saat pasien dalam posisi terentang,
telungkup atau lateral. Terkumpulnya sekret dijalan nafas akan
menjadikan media berkembangnya bakteri.
c) Perubahan sistem kardiovaskuler
Immobilisasi menyebabkan perubahan terhadap sistem
kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, meningkatnya beban
kerja jantung dan pembentukkan trombus. Hipotensi ortostatik
merupakan menurunnya tekanan darah sistolik sebanyak
15mmHg atau meningkatnya denyut jantung lebih dari 15%
pada saat pasien merubah posisi dari telentang ke posisi berdiri.
Jantung akan bekerja lebih keras pada pasien yang mengalami
immobilisasi karena terjadi penurunan sirkulasi volume cairan,
darah terkumpul pada ekstremitas bawah serta menurunnya
respon otonom merupakan faktor yang akan mengakibatkan
penurunan aliran balik vena, kemudian diikuti oleh penurunan
curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah.
Karena beban jantung meningkat maka konsumsi oksigen juga
meningkat.
d) Perubahan sistem muskuloskeletal
Dampak dari keterbatasan mobilisasi yaitu berupa
gangguang metabolisme kalsium, gangguan persendian,
kelemahan otot serta atrofi angguran. Akibat dari immobilisasi
yang lain adalah menurunnya keseimbangan, serta kehilangan
2
daya tahan tubuh. Hilangnya daya tahan, penurunan massa &
kekuatan otot serta penurunan stabilitas sendi dapat
menyebabkan pasien beresiko mengalami terjadinya cidera. Hal
ini terjadi setelah beberapa hari pasien menjalani bedrest, pada
pasien kritis terpasang ventilator menunjukkan kelemehan atau
kehilangan otot perifer sebanyak 25% dalam waktu 4 hari dan
kehilangan 18% berat badan. Untuk kehilangan massa otot
rangka sangat tinggi dalam waktu 2-3 minggu pertama bedrest
selama perawatan yang intens.
e) Perubahan sistem integumen
Perubahan sistem integumen akibat immobilisasi dapat
mengakibatkan resiko besar terhadap luka tekan. Hal ini terjadi
karena disertai oleh perubahan metabolisme sehingga
meningkatkan efek tekana terhadap kulit pasien. Tekanan dapat
berpengaruh pada metabolisme seluler karena menurunkan
sirkulasi jaringan. Metabolisme jaringan bergantung terhadap
suplai O2 serat nutrisi dan eliminasi sampah dari metabolisme
dan darah.
f) Perubahan eliminasi urine
Jika pada pasien yang tidak menjalani bedrest maka posisi
pasien tegak dan pasien dapat mengeluarkan urine melalui pelvis
renal menuju ureter dan kandung kemih dengan gaya gravitasi.
Apabila pasien dalam keadaan berbaring dan datar, maka ginjal
dan ureter bergerak maju menuju sisi yang kebih datar. Urine
yang dihasilkan oleh ginjal harus menuju kandung kemih
dibantu oleh gaya gravitasi. Karena kontraksi peristaltik ureter
tidak dapat menimbulkan gaya gravitasi, pelvis ginjal terisi
sebelum urine memasuki ureter, hal ini dapat disebut dengan
statis urine dan akan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih
serta batu ginjal. Penggunaan kateter indwelling merupakan
penyebab infeksi saluran kemih yang lain akibat immobilisasi.
3
a. Klasifikasi Pasien Kritis
Pelayanan di ruang perawatan intensif atau Intensive Care Unit
digunakan untuk pasien kritis yang memerlukan perawatan intens.
Adapaun tujuan dari pelayanan yaitu untuk memberikan pelayanan
medis yang mendalam dan berkelanjutan serta untuk mencegah
fragmentasi perawatan pasien. Pasien sakit kritis dapat dibagi menjasi
2 yaitu (KEMENKES RI, 2010) :
a) Pasien yang memerlukan perawatan dari dokter, perawat serta
profesi yang lain secara intens dan berkelanjutan dan secara
fisiologis tidak stabil. Sehingga memerlukan pengawasan terus
menerus serta mendapat terapi titrasi yang diresepkan oleh
dokter.
b) Pasien yang mengalami kegagalan fungsi suatu organ tubuh sehingga
diperlukan perawatan atau pemantauan yang ketat dan dilakukan
tindakan segera untuk mencegah timbulnya penyakit yang lain
a. Pengertian
Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang
diperlukan setiap individu untuk memulai kegiatan sehari-hari seperti
pergerakan otot atau sendi-sendi tubuh, gaya berjalan, latihan ataupun
kapasitas suatu aktivitas (Potter, & Perry, 2011). Mobilisasi Progesif
adalah suatu mobilisasi yang dilakukan secara bertahap dan berurutan
pada pasien kritis untuk mengurangi dampak negatif akibat bedrest saat
dirawat di ruang ICU. Berdasarkan American Association of Critical
Care Nurses (AACN) tindakan mobilisasi progresif meliputi beberapa
tahapan, yaitu Head of Bed (HOB), latihan Range of Motion (ROM)
pasif dan aktif, terapi lanjutan rotasi lateral, posisi tengkurap, gerakan
melawan arah gravitasi, posisi duduk, posisi kaki menggantung, berdiri
serta berjalan (Hartoyo & Rachmilia, 2017).
4
Menurut Hartoyo (2017) Mobilisasi mempunyai beberapa manfaat
pada tiap sistem. Seperti pada sitem respirasi, mobilisasi memiliki
fungsi untuk meningkatkan pengembangan diafragma, menurunkan
kerja pernafasan, meningkatkan aliran udara alveolar, meningkatkan
kedalaman dan frekuensi pada pernafasan meningkatkan frekuensi dan
kedalaman pernafasan. Untuk tindakan mobilisasi progresif
dilaksanakan pada 2 jam sekali dan memiliki waktu jeda atau istirahat
untuk merubah ke posisi lainnya selama kurang lebih 5-10 menit.
5
secara psikologis dalam mempertahankan homeoastasis
cardiovascular. Sistem cardiovascular dapat mengatur dalam 2
cara yaitu dengan mengganti volume plasma atau dengan
mempengaruhi telinga bagian dalam sebagai respon
vestibular yang mempengaruhi sistem cardiovascular selama
perubahan posisi. Umumnya pasien kritis mempunyai irama
jantung yang lemah, tidak stabilnya pernapasan atau
rendahnya pendapatan cardiovascular. (Vollman, KM, 2010).
2) ROM (Range Of Motion)
Saat otot menghadapi imobilisasi maka terjadi defisit
massa otot dan akan mengalami kelemahan. Sehingga latihan
gerak ROM diharapkan dapat menjaga massa otot dan
kekuatan otot pada pasien.
3) Continous Lateraly Rotation Therapy (CLRT)
CLRT merupakan salah satu bagian dari mobilisasi
progresif, perubahan posisi ke arah lateral atau miring
mempengaruhi aliran balik darah menuju ke jantung dan
berdampak pada status hemodinamik (Cicolini et al, 2010).
Lateral position merupakan posisi miring kanan maupun
miring kiri dengan kepala menggunakan bantal, posisi
bahu bawah fleksi kedepan bantal dibawah lengan atas.
Punggung bagian belakang berbaring pada bantal atau guling,
lalu untuk paha dan kaki atas diberi tumpuan bantal sehingga
alat gerak kaki bertumpu secara sejajar pada permukaan tempat
tidur dan memantapkan posisi pasien (Aries et al, 2011).
4) Posisi Prone
Latihan selanjutnya yaitu memberi posisi pasien pronasi atau
terlungkup, kepala dan dada menghadap ke bawah. Bantal
yang digunakan harus kecil atau minim untuk mencegah fleksi
servikal atau ekstensi dan menjaga kesejajaran lumbal.
Setelah itu tempatkan bantal di bawah tungkai agar
memungkinkan dorsofleksi pergelangan kaki dan saat fleksi
6
lutut yang mendukung relaksasi, jika bantal tidak tersedia,
pergelangan kaki perlu didorsofleksikan pada ujung bed.
Walaupun posisi terlungkup jarang diberikan, namun untuk
mempertimbankan posisi ini dapat mendukung pasien agar dapat
tidur dengan posisi pronasi(Vollman KM,2010).
5) Posisi Duduk
Cara melatih pasien yang dirawat di ruang intensif dapat diawali
dengan membiasakan pasien untuk duduk bertumpu pada bed,
kemudian dengan memberikan latihan duduk dengan posisi
pada kursi duduk pantai dengan kaki menggantung melawan
arah gaya tarik bumi. Apabila pasien dapat mempertahankan hal
tersebut maka pasien dapat mencapai mobilisasi progresif level
II. Pada level II pasien dapat dilatih dengan posisi duduk
sebanyak dua kali sehari. Apabila pasien telah dilatih duduk
maka akan mempunyai kriteria hemodinamik stabil, tidak
terdapat perdarahan, nadi : 60-120x/menit, MAP >60, SpO2
>90%, pernafasan >30x/menit, PaO2 >60mmHg, pasien tidak
terlihat kelelahan, nyeri dan tidak nyaman (Vollman KM,2010).
6) Posisi Berdiri
Pada saat posisi berdiri dapat diawali dengan pasien berdiri di
samping bed. Saat pasien dapat mempertahankan posisi tersebut
maka bisa dilanjutkan dengan berdiri tanpa bantuan dan
melangkah. Jika pasien dapat melakukan posisi pada tahap ini
maka pasien berada di level IV dalam tahapan mobilisasi
progresif. Ditahap ini umumnya pasien dapat membaik dan
bersiap untuk dialihkan ke ruang perawatan biasaVollman KM,
2010)
7) Posisi Berjalan
Untuk pasien yang menggunakan ventilator portable dapat
diberikan posisi berjalan. Proses tersebut dapat diawali dengan
memakai alat bantu jalan atau walker. Saat proses ini pasien
berada di level V pada tahapan mobilisasi progresif. Tindakan
7
awal sebelum latihan berjalan adalah dengan berlatih duduk,
kemudian berdiri dan dilanjutkan melangkah. Untuk latihan
posisi berjalan dapat dipraktekan sebanyak 2 sampai 3 kali
dalam satu hari (Vollman KM, 2010).
c. Tahapan Mobilisasi Progresif
Tindakan mobilisasi progresif terdapat 5 tahapan atau level
dalam pelaksanaannya yang disebut Richmond Agitation Sedation
Scale (RASS) yang meliputi:
8
<10, suhu <380C.. MAP >55 <140, tekanan sistolik
berkisar >90 <180 mmHg,
Tingkat kesadaran, pasien perlahan sadar dengan
respon mata baik dengan nilai RASS -5 sampai -3.
Saat level I tindakan diawali dengan meninggikan
posisi pasien atau bed pasien >300 kemudian diberikan
ROM pasif selama dua kali dalam sehari
5. Kemudian dilanjutkan continous lateraly
rotation therapy (CLRT). Latihan ini berupa memberikan
posisi miring kanan dan miring kiri disesuaikan dengan
kemampuan pasien dan dapat dilakukan setiap 2 jam
sekali.
1. Jika status hemodinamik pasien stabil serta tingkat
kesadaran meningkat maka pasien dapat membuka mata
namun kontak belum baik nilai RASS -3.
2. Mobilisasi progresif level II diawali dengan tindakan
Level II ROM pasif sebanyak 3 kali per hari dan mulai
merencankan ROM aktif. Kemudian meninggikan posisi
atau bed pasien hingga 450-650 yang dilakukan setiap 15
menit lalu melanjutkan dengan melatih pasien untuk
posisi duduk selama 20 menit.
9
Mobilisasi pada level IV diawali dengan duduk seperti
duduk di kursi pantai dengan waktu 20 menit sebanyak 3
kali sehari kemudian dilanjutkan dengan duduk di tepi
Level IV bed pasien dengan mandiri. Lalu berpindah duduk ke
tempat tidur atau kursi khusus.
2.Kesadaran pasien pada level ini sudah penuh dan dalam
kondisi tenang dengan nilai RASS -0
1.Mobilisaisi progresif level V memiliki tujuan yaitu
untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam berpindah
maupun bergerak.
2. Pasien dalam kondisi kooperatif dan sadar penuh
Level V dengan nilai RASS -0.
3. Tindakan mobilisasi pada level ini dilakukan dengan
duduk di kursi khusus kemudiaan dilanjutkan berdiri lalu
berpindah tempat. Tindakan ini dilakukan sebanyak 2-3
kali dalam sehari.
10
jantung menuju pembuluh darah sehingga pembuluh darah dapat
kembali ke ukuran normalnya. (Suyanti et al., 2019)
Pada posisi head of bed, daya tahan vena dan tekanan serambi kanan
jantung tidak terlalu tinggi, sebagai akibatnya volume darah yang
masuk atau menuju (venous return) ke serambi kanan cukup baik dan
tekanan pengisian bilik kanan jantung (preload) meningkat, dapat
mengarah pada peningkatan. Maka dari itu posisi memperlihatkan
aliran balik darah dari bagian inferior menuju ke serambi kanan jantung
yang cukup baik (Suyanti et al., 2019)
11
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah
Menurut Hartoyo & Rachmilia (2017) faktor yang mempengaruhi
tekanan darah ada 3 yaitu :
1. Cardiac Output
Yaitu jumlah darah yang dipompa dari ventrikel kiri jantung
dalam waktu satu menit.
2. Preload
Merupakan tekanan ketika pengisian serambi kanan jantung saat
fase diastole yang memperlihatkan distribusi volume dari aliran balik
jantung.
3. Resistensi perifer
Merupakan resistensi terhadap aliran darah yang ditentukan oleh
tonus otot pembuluh darah dan diameternya. Semakin kecil ukuran
lumen pembuluh darah pembuluh darah perifer, maka semakin besar
resistensinya terhadap aliran darah. Dengan menigkatnya resistensi,
maka tekanan darah arteri meningkat.
2.1.4 Saturasi Oksigen
a. Pengertian
Saturasi oksigen adalah nilai presentase hemoglobin mengoksigen
saat dilakukan pengukuran. Jika frekuensi pernafasan tinggi maka
saturasi oksigen juga akan baik. Apabila terjadi penurunan saturasi
oksigen, hal tersebut merupakan indikasi hipoksia. (Nopitasari &
Sulistyowati, 2017). Kadar saturasi oksigen yang normal yaitu antara
95-100%. Saturasi oksigen adalah suatu indikator dari status oksigenasi
saat pasien di beri posisi head of bed gravitasi menarik diafragma ke
bawah sehingga memungkinkan ekspansi paru yang lebih baik saat
pasien diposisikan head of bed (Hartoyo & Rachmilia, 2017).
Kadar saturasi oksigen yang baik mengindikasikan bahwa perfusi
jaringan dalam keadaan yang baik juga. Perfusi yang normal akan
ditandai dengan waktu pengisian kapiler atau capillary refill time
(CRT) dan saturasi oksigen (SpO2) yang normal (Kusuma & Surakarta,
2020).
12
Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan pulse
oksimetri. Pulse oksimetri merupakan suatu alat pengukuran non
invasive untuk memantau kadar saturasi oksigen (SpO2). Alat ini dapat
dipasang pada pada ujung jari, ibu jari, hidung, daun telinga atau dahi
(Wijayati et al., 2019). Pulse oksimetri ini dapat mendeteksi jika
terdapat hipoksemia pada pasien.
b. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi saturasi oksigen
Faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen ada beberapa
macam yaitu : (Wijayati et al., 2019)
1. Perubahan kadar hemoglobin
Penurunan kadar hemoglobin memiliki perubahan
yang sama terhadap PO2 cairan intertisial seperti terhadap
penurunan aliran darah. PO2 adalah faktor yang sangat
menentukan nilai saturasi oksigen, apabila PO2 tinggi maka
hemoglobin akan mengangkut lebih banyak O2, lalu apabila
PaO2 rendah maka hemoglobin mengangkut oksigen yang
sedikit (Kusuma & Surakarta, 2020)
2. Sirkulasi yang buruk
3. Aktivitas
Pasien kritis dengan penurunan kesadaran yang
disebabkan oleh suatu penyakit dan dirawat di ruang intensif,
tidak dapat merasakan dan berkomunikasi terhadap nyeri
yang dialaminya. Pasien yang terlalu banyak bergerak akan
menyebakan ketidakuratan dalam pengukuran saturasi
oksigen. Pergerakan yang berlebihan mengakibatkan
pembacaan SpO2 yang lebih rendah dari seharusnya.
4. Ukuran jari
Ukuran jari yang terlalu kecil atau terlalu besar
menyebabkan alat oksimeter tidak sesuai jika dipasang pada
jari pasien.
13
5. Cat kuku berwarna
Warna gelap pada kuku mempengaruhi pengukuran
saturasi oksigen, biasanya menyebabkan hasilnya lebih
rendah
6. Akral dingin
7. Denyut nadi
2.1.5 Hubungan Pasien Kritis dengan Tekanan darah dan Saturasi Oksigen
Pasien kritis yang dirawat dengan waktu yang lama akan
mengakibatkan dampak komplikasi jangka panjang yaitu immobilisasi.
Pada pasien kritis yang mengalami penurunan kesadaran, nilai saturasi
oksigen akan mempengaruhi tekanan darah menjadi tidak stabil. Hal ini
dikarenakan terjadinya penurunan kemampuan aktif dalam sirkulasi darah
dan kerja jantung. Adanya perubahan tekanan darah pada kondisi sadar
maupun kritis sangat dipengaruhi oleh stimulus. Jika pasien terlalu lama
bedrest maka akan berpengaruh terhadap tekanan darah dan (Suyanti et al.,
2019).
Ketika pasien mengalami masa kritis, maka akibat terbesar dari
bedrest tersebut adalah sistem pernafasan mengalami pengembangan
kompresi atelektasis dari pembentukan edema pada pasien yang terlentang
atau supinasi, kelemahan fungsi pada paru yang akan berdampak pada status
oksigenasi pasien. Saturasi oksigen merupakan salah satu indikator status
oksignasi (Hartoyo & Rachmilia, 2017)
14
2.1.6 Penatalaksanaan
a. Farmakologis
Pada umumnya, pasien yang sakit kritis mendapatkan terapi
sedasi atau analgesik untuk mengatasi rasa nyeri dan kecemasan
yang bertujuan untuk meningkatkan toleransi terhadap lingkungan
ICU(Reade C, Finfer Simon, 2014). Kemudian terapi farmokologi yang
biasa diberikan pada pasien di ruang ICU untuk mengatur tekanan darah
yaitu Antihipertensi (Angelina et al., 2018).
1) Sedasi dengan Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat jenis sedatif yang popular di
ruang ICU. Dari 13 obat benzodiazepin, terdapat 3 jenis obat
yang diberikan secara intravena yaitu midazolam,
lorazepam, dan diazepam. Pemberian dosisi benzodiazepin
yang berlebih dapat menyebabkan hipotensi, depresi
pernapasan dan sedasi yang dalam.
2) Sedasi dengan propofol
Propofol adalah salah satu obat anestesi yang paling sering
digunakan di ruang ICU yang memiliki sifat mula kerjanya
yang cepat, efektif, dapat dititrasi dan lama kerja yang singkat.
Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan
propofol berhubungan dengan pengurangan waktu
penggunaan ventilasi mekanik dibandingkan dengan sedasi
menggunakan benzodiazepin.
3) Sedasi dengan haloperidol
Haloperidol adalah suatu obat sedatif pilihan untuk pasien
ICU karena tidak menimbulkan depresi kardiorespirasi. Obat
ini efektif untuk menenangkan pasien dengan kondisi
delirium. Haloperidol menghasilkan sedasi dan antipsikosis
dengan memblok reseptor dopamin di sistem saraf pusat.
Setelah pemberian dosis intravena, sedasi dapat timbul dalam
10-20 menit dan lama kerja beberapa jam.
4) Analgesik opoid
15
Opoid adalah obat yang sering digunakan dalam mengatasi nyeri
dan sedasi ringan di ICU, tanpa memiliki efek amnesia.
Opoid yang paling banyak digunakan adalah morfin, fentanyl,
dan hydromorfon.
5) Antihipertensi golongan vasodilator
Jenis golongan obat ini berupa hidralazin, nitrogliserin,
nitroprusid natrium.
6) Antihipertensi golongan CCB (klevidipin, nikardipin)
Nicardipine merupakan jenis golongan obat antagonis kalsium
yang dapat mengatur tekanan darah pasien. Obat ini memiliki
karakteristik vasoselektif yakni selektifitasnya 30.000x lebih
banyak bekerja pada sel sel otot polos pembuluh darah
dibandingkan otot miokard, kemudian tidak mendepresi kerja
otot miokard dan tidak bersifat inotropik negative.
7) Antihipertensi golongan beta bloker
Jenis golongan ini yaitu esmolol, labetalol, metoprolol
8) Antihipertensi golongan angiotensin converting enzyme
inhibitor/ACEI (enalaprilat) (Angelina et al., 2018).
b. Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat diberikan kepada
pasien kritis dapat berupa tindakan mobilisasi.
1) Pengertian Mobilisasi
Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang
diperlukan setiap individu untuk memulai kegiatan sehari-hari
seperti pergerakan otot atau sendi-sendi tubuh, gaya berjalan,
latihan ataupun kapasitas suatu aktivitas (Potter & Perry, 2011).
Mobilisasi terdapat bermacam-macam tahap, dalam hal ini perawat
dapat merencanakan sesuai dengan kebutuhan pasien.
2) Pengaruh Mobilisasi Progresif terhadap tekanan darah dan saturasi
oksigen
Mobilisasi mempunyai manfaat yang berbeda di tiap sistemnya.
Pada sistem pernafasan mobilisasi memiliki fungsi untuk
16
meningkatkan kedalaman pernafasan serta frekuensi pernafasan,
meningkatkan ventilasi alveolar, meningkatkan pengembangan
diafragma, serta menurunkan beban kerja pernafasan. Maka dari itu
mobilisasi diharapkan dapat meningkatkan transport oksigen
menuju seluruh tubuh (Hartoyo & Rachmilia, 2017).
Selain itu, mobilisasi progresif juga dapat bermanfaat untuk
merangsang jantung agar meningkatkan aktivitas simpatik
sehingga tekanan darah menjadi meningkat ditunjukkan sebagai
respon fisiologis terhadap kebutugan energi pada tubuh. Lalu
pembuluh darah juga dapat merespon dengan cara melebarkan
pembuluh darah atau vasodilatasi sehingga tekanan darah tidak
mengalami perubahan yang signifikan pada saat perubahaan posisi
(Amalia et al., 2019).
17
Tahap Kegiatan Waktu
Persiapan 1. Mencuci tangan 5 menit
2. Menjelaskan prosedur
dan tujuan tindakan
kepada klien dan
keluarganya
3. Peneliti meminta izin
persetujuan (informed
consent) kepada
keluarga pasien
4. Menempatkan klien
pada posisi sesuai
dengan gerakan yang
akan dilakukan
5. Menutup tirai untuk
menjaga privasi klien
18
2. Mendokumentasi dan
mencatat nilai tekanan
darah dan saturasi
oksigen setelah
dilakukan mobilisasi
progesif level II
19
paru dan pertukaran gas akan lebih optimal dan memperbaiki kadar saturasi
oksigen (Suyanti et al., 2019).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rachmilia (2017)
menunjukkan bahwa ada pengaruh mobilisasi progresif level I terhadap
tekanan darah pada pasien kritis dengan penurunan kesadaran. Hal ini
ditunjukkan dengan data jumlah sampel adalah 15 responden dengan nilai
signifikan pada tekanan darah sistole p = 0,024 dan pada tekanan darah
diastolik p = 0,002. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yurida (2015) yang berjudul Pengaruh Mobilisasi Progresif
Level I terhadap Nilai Hemodinamik Non Invasif pada pasien cerebral
injury terdapat pengaruh pada parameter tekanan darah (p value = 0,02).
Penelitian tersebut melakukan mobilisasi progresif dengan tindakan head of
bed, ROM pasif dan rotasi lateral pada pasien cerebral injury (Hartoyo &
Rachmilia, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian Rachmilia (2017) pada parameter
saturasi oksigen didapatkan ada pengaruh sebelum dan setelah pemberian
mobilisasi progresif dengan nilai signifikan p value = 0,000. Penelitian ini
sejalan dengan yang dilakukan oleh Zakiyyah (2016) setelah dilakukan
mobilisasi progresif level I pada pasien kritis terpasang ventilator di ruang
ICU RSUD dr. Moewardi Surakarta terdapat peningkatan pada parameter
saturasi oksigen secara signifikan (p=0,000) (Hartoyo & Rachmilia, 2017).
20
A. Kerangka Teori
1. Perubahan
21
B. Kerangka Konsep
Tekanan Darah
Mobilisasi Progresif
Level II
Kadar Saturasi
Oksigen
Keterangan :
HIPOTESIS PENELITIAN
22