PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kesehatan sebagaimana disebutkan oleh World Health Organization (WHO)
bahwa sehat adalah keadaan sempurna fisik, mental dan sosial serta tidak hanya
terbebas dari penyakit dan kelemahan. Merujuk pada pernyataan tersebut kesehatan
mental merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari definisi sehat. Individu yang
tidakmampu memenuhi kriteria kesehatan jiwa sebagaimana disebutkan di atas dapat
dikategorikan sebagai penderita gangguan jiwa (Abdad, 2021).
Gangguan jiwa menjadi masalah kesehatan yang semakin serius dan
memprihatinkan. Berbagai gejala yang timbul dalam masalah kesehatan mental seperti
pikiran, perilaku, dan gangguan emosi yang dapat terjadi pada siapa saja. Penderita
gangguan jiwa seringkali dianggap sebagai individu yang bodoh, aneh dan berbahaya .
Meningkatnya jumlah penyakit jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas
menjadi masalah. Dalam hidup mengalami kegagalan, hilanganya sosok yang dicinta,
keruntuhan bermasyarakat, masalah perkawinan, tekanan tempat kerja, krisis keuangan, dan
banyak hal lainnya dapat menyebabkan stres dan kedaan yang meningkatkan risiko
seseorang mengalami gangguan penyakit mental. Menurut WHO (2019), terdapat lebih dari
200 juta orang di seluruh dunia menderita kesehatan jiwa. Sementara itu, ada 322 juta orang
di seluruh dunia yang menderita depresi, lebih dari 55 juta orang terkena Bipolar, Skizofrenia
parah dan kronis mempengaruhi 20 juta orang di seluruh dunia. Berdasarkan data, terdapat
prevalensi yang mengalami Skizofrenia di Indonesia yaitu, sebanyak 6,7 per1000 rumah
tangga. Artinya, dari 1000 rumah tangga terdapat 6,7 anggota rumah tangga (ART) terkena
skizofrenia.
Pasien psikiatri sering mengalami kecemasan dan agitasi yang berpotensi merugikan
diri sendiri dan orang lain, berbagai alasan atau pemicu dapat menyebabkan seseorang
bergulat dengan perasaan cemas atau agitasi, yang mengarah pada pengalaman disregulasi
emosional, yaitu ketidak mampuan untuk mengatur emosi. Kemampuan mengelola emosi
seseorang merupakan proses kompleks yang mencakup banyak faktor, seperti lingkungan,
genetika, dan perkembangan otak, ini memainkan peran dalam bagaimana seseorang
merespon kecemasan, kemarahan, frustrasi, dan agitasi. Disregulasi emosional dapat
menyebabkan respons perilaku menjadi sangat intens dan maladaptif, yang mengakibatkan
gangguan kejiwaan. Kecemasan yang terjadi pada pasien skizofrenia diperkirakan berupa
gangguan parathimi dimana perasaan senang dan gembira yang seharusnya terjadi, namun
yang muncul rasa cemas, kesedihan, dan kemarahan pasien hingga mengarah pada perilaku
kekerasan. Seorang yang mengalami perilaku kekerasan sering menunjukan perubahan
perilaku seperti mengancam, gaduh, tidak bisa diam, mondar-mandir, gelisah, intonasi suara
keras, ekspresi tegang, bicara dengan semangat, agresif, nada suara tinggi. Perilaku kekersaan
ini memerlukan penanganan segera, karna kondisi dapat membahayakan pasien, orang lain,
dan lingkungan. Mangatasi perilaku kekerasan dapat juga dilakukan dengan cara restrain.
Salah satu diagnosa gangguan jiwa, yaitu perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan atau
agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis. (Muhith, 2015).Penanganan kekerasan atau keadaan gaduh gelisah
tersebut dapat dilakukan dengan cara restrain. Restrain, yaitu kekuatan fisik untuk
membatasi kebebasan gerak dari individu tersebut, kekuatan fisik tersebut menggunakan
alat medis, dan tenaga manusia (Narindrianisa, 2019).
Penggunaan restrain tidak lepas dari efek yang dapat ditimbulkan. Menurut penelitian
Kandar dan Pambudi (2018),36,7% atau sebanyak 11 kali tindakan restrain yang dilakukan
memberikan efek samping kepada pasien. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 11
kali prosedur restrain, sebesar 68,7% pasien mengalami cedera secara fisik dan 31,5% pasien
mengalami cedera secara psikologis. Sebanyak 63,3% atau sebanyak 19 kali tindakan restrain
yang dilakukan tidak menimbulkan efek samping. Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan merupakan rumah sakit jiwa tipe A dan satu-satunya rumah sakit jiwa
rujukan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera
Selatan memberikan pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) selama 24 jam, Rawat Jalan,
Rawat Inap, Penanganan Korban NAPZA, Laboratorium, Farmasi, Elektromedik, Rehabilitasi
Mental, Kesehatan Jiwa Masyarakat, PKRS, Gizi, Diklat dan Litbang (RS Ernaldi Bahar, 2022).
Tindakan pengekangan secara fisik atau restraint merupakan salah satu cara yang
diterapkan di rumah sakit untuk menangani pasien dengan perilaku kekerasan (amuk)
sehingga pasien tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tindakan restraint tidak
hanya menangani pasien dengan perilaku amuk tetapi ada beberapa indikasi yang lainnya,
yaitu untuk menangani perilaku agitasi yangtidak dapat dikendalikan dengan pengobatan,
ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan penolakan klien untuk istirahat,
makan, dan minum, serta adanya permintaan dari klien untuk pengendalian perilaku
eksternal. Tindakan pengekangan atau restraint mempunyai beberapa jenis diantaranya
adalah jaket pengekang, manset untuk pergelangan tangan dan kaki, serta dapat
menggunakan sprei (Muhith, 2015). Dalam pelaksanaannya restrain harus dilakukan
pengkajian ulang dan penghentian pemakaiannya dengan segera jika memungkinkan.
Perintah pengekangan perlu diperbarui secara berkala, yakni biasanya 4 jam untuk dewasa
(Patricia, et al., 2013). Sedangkan menurut Haimowits, et al. dalam Saputra (2017) restrain
dan seklusi yang dilakukan pada pasien harus dicek setiap satu jam sekali.
Berdasarkan Laporan Bulanan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan,
diketahui bahwa jumlah pasien dengan perilaku kekerasan mulai dari bulan Januari 2022
sampai dengan Maret 2022 sebanyak 28 pasien (RS Ernaldi Bahar, 2022).
Berdasarkan keterangan yang diberikan Kepala IGD Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan, diketahui bahwa penanganan restrain pada pasien perilaku kekerasan
menggunakan Standar Pelayanan Operasional (SOP) rumah sakit. Terdapat dua tindakan yang
sering dilakukan kepada pasien perilaku kekerasan, yaitu restrain dan isolasi. Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
hubungan karakteristik perawat dengan restrain pasien gaduh gelisah di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan.
B. Rumusan masalah
penggunaan teknik restrain (baju anti amuk) pada pasien ODGJ (amuk) di RSUD
gunung jati cirebon?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan proposal KTI ini adalah untuk memenuhi
2. Tujuan Khusus
a. Agar mahasiswa/mahasiswi memahami yang dimaksud dengan Restrain.
b. Agar mahasiswa/mahasiswi mampu mengaplikasikan restrain sesuaidengan
indikasi pasien.
c. Agar mahasiswa/mahasiswi mengerti apa tujuan dari pemasangan restrain ini.
d. Agar mahasiswa/mahasiswi mengetahui atas indikasi apa pasien dipasangkan
restrain.
e. Agar mahasiswa/mahasiswi mengerti dan mampu melakukan pemasangan
restrain sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).