Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini kemajuan teknologi mempengaruhi perubahan sosial
pada setiap individu dengan sangat cepat. Perubahan juga terjadi di bidang
kesehatan khususnya pada kesehatan jiwa. Gangguan jiwa secara langsung tidak
dapat menyebabkan kematian, akan tetapi menyebabkan penderita tidak produktif
dan menimbulkan beban bagi keluarga dan masyarakat disekitarnya. Permasalahan
utama yang sering terjadi pada pasien gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan harus segera ditangani karena dapat membahayakan diri pasien,
orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis.
Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara fisik dan verbal. Penanganan perilaku
kekerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara
isolasidan atau restarin (menurut kebijakan institusi) (Purwanto, 2015).
Restrain adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu tersebut, tanpa
ijin individu tersebut, untuk membatasi kebebasan gerak dari individu. Kekuatan
fisik ini menggunakan alat medis, tenaga manusia ataupun kombinasi keduanya.
Pengekangan fisik menggunakan pengekangan mekanik, seperti manset pada
pegelangan tangan dan kaki, serta sprey untuk pengekangan. Restrain tenaga
manusia dilakukan ketika anggota staf secara fisik mengendalikan pasien dan
memindahkan pasien ke ruangan (Sulistyowati, 2014). Tindakan restrain jika
dilakukan dengan tidak benar akan menyebabkan cedera fisiologis dan psikologis.
Pasien dengan kondisi restrain seharusnya dilakukan observasi setiap 15 menit
untuk dilakukan pemantauan hygiene, sirkulasi, respiratory, aktivitas, satatus
mental dan tanda-tanda vital. Pasien restrain setiap 2 jam seharusnya dilakukan
latihan latihan gerak pada extremitasnya dengan ROM (Kandar, 2013). Fenomena
menunjukkan bahwa pada beberapa pasien tidak direstrain dengan benar, hal ini
menyebabkan pasien mengalami cedera fisiologis dan psikologis.
1.2 Rumusan Masalah
1 Apa definisi dari restrain?
2 Apa saja tujuan dan manfaat restrain ?
3 Apa indikasi dari restrain?
4 Apa saja kontraindikasi dalam penggunaan restrain?
5 Bagaimana kriteria pemilihan jenis restrain?
6 Apa saja hal hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain?
7 Apa resiko yang terjadi dalam penggunaan restrain?
8 Bagaimana dampak yang terjadi dalam penggunaan restrain?
9 Apa saja macam macam dari restrain?
10 Bagaimana standart operasional prosedur penggunaan restrain?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui definisi dari restrain
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat restrain
3. Untuk mengetahui indikasi dari restrain
4. Untuk mengetahui kontraindikasi dalam penggunaan restrain
5. Untuk mengetahui kriteria pemilihan jenis restrain
6. Untuk mengetahui hal hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain
7. Untuk mengetahui resiko yang terjadi dalam penggunaan restrain
8. Untuk mengetahui dampak yang terjadi dalam penggunaan restrain
9. Untuk mengetahui macam macam dari restrain
10. Untuk mengetahui standart operasional prosedur penggunaan restrain

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Pengekangan Fisik atau Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu
pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi
gerakan ekstremitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan
memberikan keamanan fisik dan psikologis individu. Pengertian dasar restraint :
‘membatasi gerak’ atau ‘membatasi kebebasan’. Pengertian secara internasional:
restraint adalah suatu metode / cara pembatasan / restriksi yang disengaja terhadap
gerakan / perilaku seseorang.
Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan
intervensi verbal, chemical restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan
bagian dari restraint fisik yaitu dengan menempatkan klien di sebuah ruangan
tersendiri untuk membatasi ruang gerak dengan tujuan meningkatkan keamanan
dan kenyamanan klien.

2.2 Tujuan dan Manfaat Restraint


1. Memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan pasien dan/atau
lingkungan terhadap cidera/kecelakaan.
2. Memberikan keamanan fisik dan psikologis individu.
3. Memudahkan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan dalam prosedur
tindakan.
4. Memfasilitasi klien menerima terapi

2.3 Indikasi Restraint


1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri
dan/atau orang lain.
2. Tahanan pemerintah (yang legal/sah secara hukum) yang dirawat di rumah
sakit.
3. Pasien yang membutuhkan tatalaksana emergensi/segera yang berhubungan
dengan life saving bagi pasien, terutama pelaksanaan prosedur terapeutik
dan/atau diagnostik.
4. Pasien yang memerlukan pengawasan dan penjagaan ketat di ruangan yang
aman.
5. Restrain digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak
berhasil/tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dari
ancaman bahaya-bahaya.
Indikasi restrain ini dapat diaplikasikan untuk:
a. Semua lokasi di dalam rumah sakit: semua jenis perawatan, termasuk ruang
rawat inap, unit rawat jalan, unit bedah/medis, ICU, IGD, ruang rawat anak
dan sebagainya.
b. Semua pasien di rumah sakit, tanpa melihat usia, yang memenuhi indikasi.

2.4 Kontraindikasi Restraint


1. Tidak mendapatkan izin tertulis dari keluarga pasien untuk melaksanakan
prosedur.
2. Pasien kooperatif.
3. Pasien memiliki komplikasi kondisi fisik atau mental.

2.5 Kriteria Pemilihan Jenis Restraint


Apabila dalam asesmen terdapat suatu kondisi medis yang mengindikasikan
perlunya intervensi untuk melindungi pasien dari ancaman bahaya, sebaiknya
menggunakan metode yang paling tidak restriksif tetapi efektif dan harus tetap
menjamin keselamatan pasien, staf, dan orang lain dari ancaman bahaya.
Dalam memilih jenis restrain perlu memenuhi 5 kriteria sebagai berikut:
1. Membatasi gerak klien sesedikit mungkin.
2. Paling masuk akal/bisa diterima oleh klien dan keluarga.
3. Tidak mempengaruhi proses perawatan klien.
4. Mudah dilepas/diganti.
5. Aman untuk klien.
2.6 Hal-hal yang Harus Diperhatikan Dalam Penggunaan Restraint menurut Snyder,
(1997) dalam Wong (2009):
1. Pasang dan lepaskan kembali restrein secara periodic
2. Lakukan tindakan untuk member rasa nyaman.
3. Tinggikan kepala tempat tidur 30 derajat kecuali ada kontraindikasi
4. Lakukan gerakan rentang gerak dengan cepat
5. Tawarkan makanan, minuman dan bantuan eliminasi
6. Diskusikan kriteia pelepasan restrein
7. Berikan analgesic dan sedative
8. Hindari kemarahan psikolgik kepada pasien
9. Berikan distraksi
10. Lakukan pengkajian keperawatan yang kontinu.
11. Dokumetansi

2.7 Resiko Penggunaan Restraint Pada Klien


Terdapat beberapa laporan ilmiah mengenai kematian pasien pasien yang
disebabkan oleh penggunaan tekhnik pngendalian fisik ( restraint). Hubungn
kematian pasien dengan gangguan psikologi yang disebabkan oleh pnggunaan
adalah dimana ketika pengendalian fisik dilakukan, pasien mengalami reaksi
psikologi yang tidak normal, yatu seperti meningkatnya suhu tubuh, cardiac
arrhythmia yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya positional asphyxia
yang dapat menyebabkan kematian.

2.8 Dampak Penggunaan Restraint


1. Dampak fisik:
a. Atropi otot.
b. Hilangnya/berkurangnya detensi tulang.
c. Ulkus decubitus.
d. Infeksi nosokomial.
e. Strangulasi.
f. Penurunan fungsional tubuh.
g. Stress kardiak.
h. Inkontinensia.
2. Dampak psikologis:
a. Depresi.
b. Penurunan fungsi kognitif.
c. Isolasi emosional.
d. Kebingungan (confusion) dan agitasi.

2.9 Macam-macam Restraint


Untuk di lapangan biasanya pengekangan fisik dibagi menjadi dua yaitu tanpa

alat dan dengan alat, berikut uraiannya :

a. Alat bantu
1. Sheet and ties
Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya
tidak bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh tubuh
pasien dan menahan selimutnya dengan perekat atau mengikatnya
dengan tali.
2. Restraint Jaket
Restraint jaket digunakan pada pasien dengan tali diikat
dibelakang tempat tidur sehingga pasien tidak dapat membukanya. Pita
panjang diikatkan ke bagian bawah tempat tidur, menjaga pasien tetap
di dalam tempat tidur. Restrain jaket berguna sebagai alat
mempertahankan pasien pada posisi horizontal yang diinginkan.

3. Papoose board
Papoose board merupakan alat yang biasa digunakan untuk menahan
gerak pasien saat melakukan perawatan gigi. Cara penggunaannya
adalah pasien ditidurkan dalam posisi terlentang di atas papan datar dan
bagian atas tubuh, tengah tubuh dan kaki pasien diikat dengan
menggunakan tali kain yang besar.
Pengendalian dengan menggunakan papoose board dapat
diaplikasikan dengan cepat untuk mencegah pasien berontak dan
menolak perawatan. Tujuan utama dari penggunaan alat ini adalah
untuk menjaga supaya pasien pasien tidak terluka saat mendapatkan
perawatan.
4. Restraint Mumi atau Bedong
Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu
ujungnya dilipat ke tengah. Pasien diletakkan di atas selimut tersebut
dengan bahu berada di lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan.
Lengan kanan pasien lurus kebawah rapat dengan tubuh, sisi
kanan selimut ditarik ke tengah melintasi bahu kanan pasien dan dada
diselipkan dibawah sisi tubuh bagian kiri. Lengan kiri pasien diletakkan
lurus rapat dengan tubuh pasien, dan sisi kiri selimut dikencangkan
melintang bahu dan dada dikunci dibawah tubuh pasien bagian kanan.
Sudut bagian bawah dilipat dan ditarik kearah tubuh dan diselipkan atau
dikencangkan dengan pinpengaman.
5. Restraint Lengan dan Kaki
Restraint pada lengan dan kaki kadang-kadang digunakan untuk
mengimobilisasi satu atau lebih ekstremitas guna pengobatan atau
prosedur, atau untuk memfasilitasi penyembuhan. Beberapa alat
restraint yang da di pasaran atau yang tersedia, termasuk restraint
pergelangan tangan atau kaki sekali pakai, atau dapat dibuat dari pita
kasa, kain muslin, atau tali stockinette tipis. Jika restraint jenis ini di
gunakan, ukurannya harus sesuai dengan tubuh pasien. Harus dilapisi
bantalan untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya, konstriksi,
atau cidera jaringan. Pengamatan ekstremitas harus sering dilakukan
untuk memeriksa adanya tanda-tanda iritasi dan atau gangguan
sirkulasi. Ujung restraint tidak boleh diikat ke penghalang tempat tidur,
karena jika penghalang tersebut diturunkan akan mengganggu
ekstremitas yang sering disertai sentakan tiba-tiba yang dapat
menciderai pasien.
6. Restraint siku
Adalah tindakan mencegah pasien menekuk siku atau meraih
kepala atau wajah. Kadang-kadang penting dilakukan pada pasien
setelah bedah bibir atau agar pasien tidak menggaruk pada kulit yang
terganggu. Bentuk restraint siku paling banyak digunakan, terdiri dari
seutas kain muslin yang cukup panjang untuk mengikat tepat dari bawah
aksila sampai ke pergelangan tangan dengan sejumlah kantong vertikal
tempat dimasukkannya depresor lidah. Restraint di lingkarkan di
seputar lengan dan direkatkan dengan plester atau pin.
7. Pedi-wrap
Pedi-wrap merupakan sejenis perban kain yang dilingkarkan
pada leher sampai pergelangan kaki pasien pasien untuk menstabilkan
tubuh pasien serta menahan gerakan tubuh pasien. Pedi-wrap
mempunyai berbagai variasi ukuran sesuai dengan kebutuhan. Alat
bantu untuk menahan gerakan mulut dan rahang pasien
8. Molt Mouth Prop
Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting
dalam melakukan perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan dalam
anestesi umum untuk mencegah supaya mulut tidak tertutup saat
perawatan dilakukan. Alat ini juga sangat cocok dalam penanganan
pasien yang tidak bisa membuka mulut dalam jangka waktu lama karena
suatu keterbatasan. Penggunaan molt mouth prop harus memperhatikan
posisi rahang pasien saat pasien membuka mulutnya, supaya tidak
terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai tambahan, dokter gigi
harus memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien setiap sepuluh
hingga lima belas menit agar rahang dan mulut pasien dapat beristirahat.
9. Molt Mouth Gags
Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang dapat
digunakan untuk menahan mulut pasienn
10. Tongue Blades
Tongue blades merupakan alat bantu yang digunakan untuk menahan
lidah pasien supaya tidak mengganggu proses perawatan
b. Pengendalian fisik (physical restraint) tanpa bantuan alat
Pengendalian fisik tanpa bantuan alat merupakan bentuk pengendalian fisik
tanpa menggunakan bantuan alat, pengendalian bentuk ini merupakan bentuk
pengendalian yang menggunakan bantuan perawat maupun bantuan orang tua
atau pihak keluarga pasien. Pengendalian fisik dengan bantuan tenaga
kesehatan pengendalian fisik dengan menggunakan bantuan tenaga kesehatan
merupakan bentuk pengendalian fisik dimana diperlukan tenaga kesehatan,
misalnya perawat untuk menahan gerakan pasien pasien dengan cara
memegang kepala, lengan, tangan ataupun kaki pasien pasien. Pengendalian
fisik dengan bantuan orang tua pasien pengendalian fisik dengan bantuan orang
tua sebenarnya sama dengan pengendalian fisik dengan bantuan tim medis
(tenaga kesehatan). Hanya saja peran perawat digantikan oleh orang tua pasien
pasien. Cara pengendalian dengan menggunakan bantuan orang tua lebih
disukai pasien apabila dibandingkan dengan menggunakan bantuan tim medis,
sebab pasien lebih merasa aman apabila dekat dengan orang tuanya.

2.10 Prosedur Penggunaan Restraint


A. Persiapan Alat
1. Restrain yang cocok sesuai kebutuhan
2. Bantalan pelindung kulit/ tulang
3. Tali/kain/kassa gulung
4. Obat obat medikasi (bila perlu)

B. persiapan pasien
Kaji keadaan pasien untuk menentukan jenis restrain sesuai keperluan

C. Prosedur
Preinteraksi
1. Baca catatan keperawatan dan catatan medis klien instruksi restrain/
terapi psikofarmakoterapi
2. Siapkan tim
3. Siapkan alat
4. Siapkan lingkungan yang aman
5. Mengeksplorasi perasaan,fantasi dan ketakutan diri
6. Siapkan medikasi bila perlu sesuai advise dokter
- Diazepam injeksi 1 ampul (IM/IV)
- CPZ injeksi 1 ampul (IM)
- Tab CPZ 100 mg
- Tab Zofredal (Risperidone) 2 mg
Orientasi
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
2. Jelaskan dan lakukan kontrak (Prosedur,tujuan, lamanya di restrain
kepada klien dan keluarga bila perlu kontrak sepihak)
Tahap Kerja
1. Berbicara secara meyakinkan kepada pasien untuk menghentikan
perilakunya
2. Ulangi penjelasan jika tidak menghentikan perilakunya
3. Tawarkan untuk menggunakan medikasi daripada dilakukan pengikatan
(jangan tawar menawar dengan pasien)
4. Jangan membiarkan pasien berpikir tentang keraguan kita untuk
melakukan pengikatan
5. Staf yang akan melakukan pengikatan harus sudah berada di tempat
(susunan tim 5-6 orang) :
- Empat orang menahan masing masing anggota gerak
- Satu orang yang mengawasi kepala
- Satu orang melakukan prosedur pengikatan
- Tiap anggota gerak 1 ikatan
- Ikatan pada posisi sedemikian rupa sehingga tidak menganggu aliran
IV
- Posisi kepala lebih tinggi untuk menghindari aspirasi
6. Monitor tanda tanda vital tiap 60 menit
7. Tempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat staf
8. Observasi gejala ekstra pyramidal syndrome (EPS) dalam 24 jam
pertama, bila EPS terapi diphenhydramine 50mg(IM/IV)
Terminasi
1. Evaluasi perasaan klien
2. Pastikan pasien nyaman dan ikatannya baik
3. Lakukan kontrak untuk bisa dilepaskan ikatannya
(restrain akan dilepas apabila, mis:pasien berjanji tidak memukul orang
lagi)
Dokumentasi
Catat hasil kegiatan dan respon pasien dalam catatan keperawatan

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan jiwa secara langsung tidak dapat menyebabkan kematian, akan tetapi
menyebabkan penderita tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga
dan masyarakat disekitarnya. Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien
gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan. Penanganan perilaku kekerasan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara isolasidan atau restarin
(menurut kebijakan institusi). Restrain adalah aplikasi langsung kekuatan fisik
pada individu tersebut, tanpa ijin individu tersebut, untuk membatasi kebebasan
gerak dari individu. Tindakan restrain jika dilakukan dengan tidak benar akan
menyebabkan cedera fisiologis dan psikologis.

3.2 Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar
dapat menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga
sedikit banyak bisa menambah pengetahuan pembaca. Di samping itu saya juga
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sehingga kami bisa berorientasi
lebih baik pada makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anna, D. B., 2009. Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.


Hartono, Y., 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, I., 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai