TIM PENGUSUL
Ketua: Dr Sarah Handayani, SKM, M.Kes (NIDN 0307077107)
Anggota: Rizqiyani Khoiriyah (NIM 18091407024)
Fibra Milia (NIM 1809047007)
Menyetujui,
Dekan Direktur Sekolah Pascasarja Uhamka Ketua Lemlitbang UHAMKA
ABSTRAK
Hasil data Riset kesehatan dasar menunjukkan masalah gangguan kesehatan mental
emosional (depresi dan kecemasan) sebanyak 9,8%. Hal ini terlihat peningkatan jika
dibandingkan data Riskesdas tahun 2013 sebanyak 6%. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan penyakit kanker terhadap gangguan mental emosional. Penelitian
analitik dengan rancangan potong lintang atau Cross-sectional dan non-intervensi. Penelitian
ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2018. Responden penelitian ini merupakan
pada perempuan penderita kanker usia 15 tahun ke atas sebanyak 1051 orang. Indikator
penilaian seseorang gangguan mental emosional berdasarkan kuesioner Self Reporting
Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 pertanyaan, dinyatakan gangguan mental emosional
jika responden mempunyai minimal 6 dari 20 pertanyaan. Hasil univariat perempuan
penderita kanker yang mengalami gangguan mental emosional sebanyak 34%. Persentase
penderita kanker perempuan tertinggi adalah kategori dewasa tengah+lanjut (-65 tahun)
sebanyak 48,9%, dengan mayoritas berpendidikan rendah sebanyak 67%. Berdasarkan status
pekerjaan, perempuan yang menderita kanker tidak bekerja sebanyak 49,5% sedangkan
perempuan bekerja sebanyak 50,5%. Berdasarkan hasil bivariat terdapat hubungan yang
signifikan antara penderita kanker perempuan dengan kejadian kesehatan mental emosional
(OR=1,982; nilai p=0,0001). Berdasarkan usia (OR=0,846; nilai p=0,0001), tingkat
pendidikan (OR=1,483; nilai p=0,0001), status pekerjaan (OR=1,158; nilai p=0,0001) dan
tempat tinggal (OR=0,932; p value=0,0001) memiliki hubungan dengan gangguan
kesehatan mental emosional. Analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa
Perempuan berpendidikan rendah berisiko 1,442 kali mengalami gangguan mental daripada
perempuan berpendidikan tinggi.
DAFTAR ISI
Cover
Halaman Pengesahan
Surat Kontrak Penelitian
Abstrak ………………………………………………………………………..………….i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………ii
Daftar Gambar ……………………………………………………………………………ii
Daftar Tabel ………………………………………………………………………………ii
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………….4
BAB 3. METODE PENELITIAN ………………………………………………………..10
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………….12
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….18
BAB 6 LUARAN YANG DICAPAI ……………………………………………………..19
BAB 7 RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI………………..21
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Diagram alir penelitian
Tabel 4.1. Gambaran Karakteristik dan 20 pertanyaan mental emosional berdasarkan self
reporting questionaire
Tabel 4.2. Kesehatan Mental Emosional Berdasarkan 20 Pertanyaan:
Tabel 4.3. Analisis Faktor Risiko Kesehatan Mental Emosional terhadap Penderita Kanker
Tabel 4.4.Model Akhir
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Roadmap penelitian dosen
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Gambar 4.1. Gambaran Kesehatan Mental Emosional
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Artikel 1
Lampiran 2 Artikel 2
BAB I
PENDAHULUAN
mlitus, dan hipertensi. Prevalensi kanker naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%,
prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9%, dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi
3,8%. Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%; dan
hasil pengukuran tekanan darah, hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%.
Pada tahun 2020, WHO memprediksikan bahwa depresi akan menjadi beban penyakit
global pada peringkat kedua (WHO, 2013)7. Tercatat lebih dari delapan ratus ribu orang yang
meninggal dunia akibat bunuh diri setiap tahunnya. Sekitar 1,4% kematian didunia disebabkan
oleh bunuh diri , sehingga menempatkan bunuh diri pada posisi kelima sebagai kematian terbesar
(WHO, n.d). pada rentang usia lima belas sampai dua puluh tahun, bunuh diri berada pada posisi
kedua sebagai penyebab kematian terbesar (Artikel Kemenkes , 2016)8.
Berkaitan dengan berbagai data diatas peneliti berpendapat perlu melakukan penelitian
yang dapat membuktikan apakah penyakit kronis yaitu Diabetes Melitus memiliki pengaruh
kesehatan mental emosional.
1.2.1Urgensi Penelitian
Tingginya masalah Kesehatan mental emotional dari tahun 2013 sampai 2018 menunjukkan
peningkatan yang menghawatirkan sebanyak 6% menjadi 9,8% (Riskesdas, 2018). Banyaknya
faktor yang mempengaruhi kesehataan mental membuat peneliti ingin mengetahui apakah
Penyakit kronis menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan kesehatan mental
emotional seseorang. Penyakit kronis penyakit tidak menular yang berlangsung kronis (menahun)
karena kemunduran fungsi organ tubuh akibat proses penuaan. Setiap penyakit kronis yaitu yaitu
tuberculosis (TB) paru, hepatitis, jantung, diabetes, kanker, dan stroke menunjukkan gejala yang
hampir berbeda-beda (Handajani dkk, 2010). Beberapa faktor yang menunjukkan proses awal
terjadinya penyakit kronis, yaitu: Adanya hubungan antara transisi demografi, epidemiologi, dan
kesehatan. Penyakit stroke dan hipertensi di sebagian besar rumah sakit cenderung meningkat
dari tahun ke tahun dan selalu menempati urutan teratas (Dalam jangka panjang, prevalensi
penyakit jantung dan pembuluh darah diperkirakan akan semakin bertambah). Pergeseran dari
pola makan tradisional yang tinggi karbohidrat, tinggi serat, dan rendah lemak ke pola makan
modern yang tinggi lemak, tapi rendah serat dan karbohidrat. Kurangnya mengonsumsi buah-
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
buahan dan sayur-sayuran membuat tubuh kekurangan serat dan dapat berisiko meningkatkan
kadar kolesterol tubuh. Bila kondisi ini tidak segera diperbaiki dengan pola makan yang benar
dan baik, maka dapat berakibat timbulnya berbagai penyakit kronis. Sebagai seorang penderita
penyakir kronis perlu kesabaran untuk terus mengontrol diri tetap kondiri stabil, dimana dalam
proses ini perlu kesehatan mental emotional untuk melakukan pengobatan yang terus menerus.
3
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari
kesehatan fisik dan integritas organisme.
b. Memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia sebagai
pribadi yang bermoral, intelektual, religius, emosional dan sosial.
c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang
meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilak
d. Dalam pencapaian khususnya dalam memelihara kesehatan dan penyesuaian kesehatan
mental, memperluas tentang pengetahuan diri .
2. Prinsip yang didasari atas hubungan manusia dengan lingkungannya,
a. Tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya didalam kehidupan
keluarga.
b. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam
kepuasa kerja.
c. Memerlukan sikap yang realistik yaitu menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.
3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
a. Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas realitas
terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang
fundamental.
b. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara
manusia dengan Tuhannya.
5
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
b. Komunikasi sosial terputus dan adanya disorientasi sosial. Timbul delusi-delusi yang
menakutkan atau dihinggapi delusion of grandeur (merasa dirinya paling super). Selalu iri
hati dan curiga. Ada kalanya diinggapi delusion of persecution atau khayalan dikejar-kejar
sehingga menjadi sangat agresif, berusaha melakukan pengrusakan, atau melakukan
destruksi diri dan bunuh diri.
c. Ada gangguan intelektual dan gangguan emosional yang serius. Penderita mengalami ilusi,
halusinasi berat dan delusi. Selain itu, kurangnya pengendalian emosi dan selalu bereaksi
berlebihan. Selalu berusaha melarikan diri dari dalam dunia fantasi, yaitu dalam
masyarakat semu yang diciptakan dalam khayalan.
6
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar belakang
terjadinya resistensi insulin.
3) Diabetes gestasional
Melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin
yang tidak cukup. Jenis diabetes ini terjadi selama kehamilan dan bisa saja meningkat
atau lenyap.
4) Diabetes tipe spesifik lain
Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
b. Manifestasi Klinis
Berbagai gejala dapat ditemukan pada penderita diabetes melitus. Kecurigaan adanya
diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus atau
yang disebut dengan “TRIAS DM” (poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya), kadar glukosa darah pada waktu puasa ≥
126 mg/dl (puasa disini artinya selama 8 jam tidak ada masukan kalori), kadar glukosa
darah acak atau dua jam sesudah makan ≥ 200 mg/dl, serta AIC ≥ 6,5%.
7
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
8
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Roadmap Penelitian
dst.
9
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
11
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil penelitian
Hasil penelitian menunjukkan gambaran sosiodemografi perempuan penderita kanker
dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan usia, penduduk Indonesia usia 15 tahun keatas
perempuan yang menderita kanker tertinggi adalah kategori dewasa tengah+lanjut (≥40 tahun)
sebanyak 48,9%.
Diikuti dengan kategori pendidikan mayoritas penderita kanker perempuan usia 15 tahun
keatas adalah berpendidikan rendah sebanyak 67%. Berdasarkan status pekerjaan, perempuan
yang menderita kanker usia 15 tahun keatas memiliki persentase yang tidak terpaut jauh yaitu
perempuan tidak bekerja sebanyak 49,5% sedangkan perempuan bekerja 50,5%. Jika dilihat
berdasarkan tempat tinggal penderita kanker perempuan usia 1 5 tahun keatas yang mene tap di
perkotaan dan pedesaan memiliki sedikit selisih persentase sebanyak 50,3% dan 49.7%.
Kesehatan mental emosional pada penderita kanker perempuan di ukur berdasarkan 20
pertanyaan.
Persentase tertinggi ditunjukkan pada pertanyaan “sering menderita sakit kepala”
sebanyak 64,4%. Pada pertanyaan “sulit tidur” pada kenyataannya perempuan penderita kanker
mengalami sulit tidur sebanyak 50,8%. Persentase sama terlihat pada pertanyaan “ tidak nafsu
makan” dan pertanyaan ”merasa cemas atau kuatir” pada penderita kanker perempuan sebanyak
35,4% dan 35,5%. Pertanyaan “sulit menikmati kegiatan sehari” juga dirasakan oleh penderita
kanker perempuan sebanyak 20,7%. Penderita kanker perempuan perempuan 15 tahun keatas
mersakan mudah takut sebanyak 23,3% serta sering menangis 19,5%. Diketahui persentase
penderita kanker perempuan ingin mengakhiri kegidupan sebanyak 3,3%. Setelah melakukan
kategori pada 20 pertanyaan gangguan mental emosional, penderita kanker perempuan pada umur
15 tahun keatas mengalami gangguan kesehatan mental emosional sebanyak 34% sedangka
penderita kanker perempuan yang tidak mengalami gangguan mental emosional sebanyak 66%.
12
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Hasil analisis bivariat menemukan ada hubungan antara penderita kanker dengan
kesehatan mental emosional. seseorang yang menderita kanker memiliki risiko 1,9 kali
dibandingkan bukan penderita kanker. Berdasarkan tingkat pendidikan terlihat ada hubungan
antara tingkat pendidikan dengan gangguan kesehatan mental.Seseorang yang memiliki
pendidikan rendah memiliki risiko 1,4 kali untuk mengalami gangguan kesehatan mental
emosional.
Hasil menunjukkan terdapat hubungan antara faktor umur penderita kanker terhadap
gangguan mental emosional. Variabel pekerjaan menunjukan adanya hubungan antara pekerjaan
dengan terjadinya gangguan kesehatan mental. seseorang yang tidak memiliki pekerjaan
memiliki risiko 1,15 kali mengalami gangguan kesehenatan mental emosional. Berdasarkan
tempat tinggal juga memiliki hubungan dengan gangguan kesehatan mental emosional.
Seseorang yang tinggal di perkotaan memiliki risiko 0,9 kali mengalami gangguan kesehatan
mental sebanyak 2,5 persen.
13
Tabel 4.2. Kesehatan Mental Emosional Berdasarkan 20 Pertanyaan:
Pertanyaan
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis Ya
pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia Tidak
n % n %
Apakah anda sering menderita sakit kepala? 654 64.4 361 35.6
Apakah anda tidak nafsu makan? 359 35,4 656 64.6
Apakah anda sulit tidur? 516 50,8 499 49,2
Apakah anda mudah takut? 237 23,3 778 76,7
Apakah anda merasa tegang, cemas atau kuatir? 360 35,5 655 64,5
Apakah tangan anda gemetar 218 21,5 797 78,5
Apakah pencernaan anda terganggu/ buruk? 229 22,6 788 77,4
Apakah anda sulit untuk berpikir jernih? 188 16.5 627 81,5
Apakah anda merasa tidak bahagia? 184 16,1 831 81,9
Apakah anda menangis lebih sering? 198 19,5 817 80.5
Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan 210 20,7 805 79,3
sehari-hari?
Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan? 178 17,5 837 82,5
Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu? 182 17,9 833
Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang 103 10,1 912 89,9
bermanfaat dalam hidup
Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal? 144 14,2 871 85,8
Apakah anda merasa tidak berharga? 109 10,7 908 89,3
Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri 33 3,3 962 96,7
hidup?
Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu? 273 26,9 26,9 26,9
Apakah anda mengalami rasa tidak enak di perut? 299 29,5 716 70,5
Apakah anda mudah lelah? 498 49,1 517 50,9
Sumber: Data Riskesdas, 2018
14
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Tabel 4.3. Analisis Faktor Risiko Kesehatan Mental Emosional terhadap Penderita Kanker
Variabel Kesehatan Mental Emosional Total OR P
Gangguan Tidak gangguan value
mental mental
n % n % n %
Penderita Kanker
Ya 349 34.4 666 65,6 1015 100 1.982 0,001
Tidak 45159 20,9 170802 79,1 215961 100
Pendidikan
Rendah 34671 22,8 117160 77.2 151831 100 1,483 0,001
Tinggi 10837 16,6 54308 83.4 65145 100
Umur
Dewasa Awal 21204 19,6 73038 81,3 89832 100 0,846 0,001
Dewasa Tengah+Lanjut 24304 21,8 52326 78,2 66939 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 21862 22.3 76109 77.7 97971 100 1,158 0,001
Bekerja 23646 19,9 95359 80.1 119005 100
Tempat Tinggal
Desa 18492 20,3 72628 79.7 91120 100 0,932 0,001
Perkotaan 27016 21.5 98840 78.5 125856 100
Sumber: Data Riskesdas, 2018
Analisis multivariat dengan regresi logistik dilakukan dengan seleksi kandidat. Pada tahap
ini, semua variable independen masuk ke dalam model, karena nilai p kurang dari 0,25. Hasil
pemodelan menunjukkan hasil akhir pada table 3.Variabel yang paling dominan mempengaruhi
kondisi mental emosional penderita kanker adalah variable pendidikan. Perempuan
berpendidikan rendah berisiko 1,442 kali mengalami gangguan mental daripada yang
berpendidikan tinggi.
4.2. Pembahasan
Telah dilakukan analisa data pada penderita kanker pada perempuan di inonesia sebanyak
1015 orang (Riskesdas, 2018). Kanker merupakan penyakit fisik yang menjadi salah satu
15
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
manifestasi klinis terkemukaka dimana menimbulkan gangguan psikososial, mental yang alami.
Berdasarkan data Riskesdas (2013) prevalensi penderita kanker sebanyak 2,2%, sedangakan data
Riskesdas (2018) sebanyak 2,85% terliha adanya peningkatan persentase dalam 5 terakhir (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Tingginya persentase penyakit kanker diiringi
dengan tingginya persentase penduduk 15 tahun keatas yang memiliki gangguan kesehatan
mental emosional.
Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat hubungan penderita kanker dengan gangguan
mental emosional sebanyak 34,4%. Seorang perempuan lebih banyak memiliki peluang untuk
menderita kanker dibandingkan laki-laki. Setiap perempuan berpotensi menderita kanker
payudara dengan risiko 1,148 kali. Kebiasaan aktifitas fisik/olahraga <4 jam/minggu mempunyai
risiko 1,222 untuk terkena kanker payudara (Yulianti et al., 2016).
Ketika seseorang terdiagnosis menderita kanker akan mengalami tekanan besar yang dapat
mengakibatkan stress dan depresi. Status stadium kanker semakin lanjut kecemasan dan depresi
yang dialami dapat mengganggu aktifitas hidup (Varcarolis, E. M., Halter, 2010). Berdasarkan
penelitian İzci dkk (2016), prevalensi gangguan psikologis pada pasien kanker sekitar 29%
hingga 47%, diantaranya memiliki gangguan kejiwaan cenderung terlihat stress, dan gangguan
depresi (Izci et al., 2016). Dalam penelitian Widoyono (2018), kategori depresi mendominasi
adalah depresi tingkat ringan sebanyak 45%, diikuti depresi berat 28% (Widoyono S. et al.,
2018).
Berdasarkan WHO (2012), perasaan cemah dan depresi sering mulai pada usia muda dan
sering berulang (WHO, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian ini dimana umur memiliki
hubungan dengan gangguan kesehatan mental emosional. Seseorang yang sedang mengalami
cemas dan depresi bisa terjadi pada usia berapa saja, umumnya semakin tua usia, gangguan
psikologis semakin meningkat. Terlihat dari penderita kanker yang memiliki gangguan
kesehatan mental mayoritas adalah pada usia lansia akhir sebanyak 26,6%. Lansia yang
memiliki satu penyakit kronis serta lebih dari satu penyakit kronis memiliki tingat kecemasan
yang berbeda. Kemasan pada lansia dengan penyakit kronis disebabkan tidak adanya kepastian
akan kesembuhan penyakit. Penderita cenderung hidup dengan penyakit yang diderita (Bestari &
Wati, 2016).
16
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
17
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesehatan mental emosional merupakan salah satu indikator seseorang disebut sehat.
Prevalensi gangguan mental emosional pada perempuan yang menderita kanker sebanyak 34%.
Gangguan mental emosional pada penderita kanker dipengaruhi beberapa hal, seperti: faktor
usia, pekerjaan, riwayat penyakit, penyakit yang diderita, lingkungan. Penderita penyakit kanker
terkhusus pada perempuan dapat mempengaruhi kesehatan mental emosional mereka disebagai
seorang yang menjadi istri atau ibu dalam suatu rumah tangga. Terlihat dalam data riskesdas
prevalensi perempuan yang menderita kanker sebanyak 74%.
Kesehatan mental emosional pada penderita kanker dapat didukungan dari berbagai pihak.
Keluarga menjadi suatu sumber kekuatan yang akan memberikan ketenangan dan kekuatan dalam
penyembuhan.
5.2. Saran
Peran fasilitas kesehatan dapat mengarahkan penderita kanker pada aktifitas individu dan
komunitas. Dukungan tenaga kesehatan/ perawat juga perlu dilakukan asuhan keperawatan mulai
dari pengkajian hingga melakukan evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang dilakukan
untuk mencegah rasa cemas semakin memburuk. Serta peran pemerintah untuk tetap melakukan
sosialisasi pentingnya melakukan deteksi dini terhadap penyakit-penyakit tidak menular
terkhusus pada penyakit kanker.
18
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB VI
LUARAN YANG DICAPAI
Luaran yang dicapai berisi Identitas luaran penelitian yang dicapai oleh peneliti sesuai dengan
skema penelitian yang dipilih.
Jurnal
IDENTITAS JURNAL
1 Nama Jurnal Jurnal Kesehatan Masyarakat Maritim
Jurnal
IDENTITAS JURNAL
1 Nama Jurnal Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
19
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
20
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
BAB VII
RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI
Rencana tindak lanjut dan proyeksi hilirisasi adalah sebagai berikut
Hasil Penelitian Hasil analisis lanjut data riskesdas 2018 menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara karakteristik responden dengan
kesehatan mental emosional pada perempuan penderita kanker.
Analisis lanjut lainnya juga menunjukkan bahwa makan/minuman
berisiko sserta perilaku tidak sehat pada lansia berhubungan erat
dengan diabetes tipe 2 pada lansia. Hasil penelitian ini menegaskan
bahwa secara permanen perilaku hidup sehat perlu dibentuk pada
masyarakat dengan intervensi yang sesuai dengan target audiens
masing-masing.
Rencana Tindak Rencana tindak lanjut adalah dengan melakukan penelitian dengan
Lanjut literasi kesehatan dan pengembangan aplikasi hidup sehat berbasis
komunikasi perubahan perilaku.
21
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim R. 2003.Buku saku diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas dari PPDGJ. 3rd ed.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC;
2. Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang. Kemenkes
RI
3. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang. Kemenkes
RI
4. Widakdo.G. dan Besral. 2013. Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental
Emosional. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 7, Februari
2013.
5. Revenson T.A., and Hoyt M.A., 2016. Chronic Illness and Mental Health. In: Howard S.
Friedman (Editor in Chief), Encyclopedia of Mental Health, 2nd edition, Vol 1, Waltham,
MA: Academic Press, 2016, pp. 284-292.
6. Profil Kesehatan Sulawesi Tengah. 2017. Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah.
7. WHO. 2013. Mental Health Action Plan 2013-2020. Geneva: World Health Organization.
8. Artikel Kemenkes. 2016. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa
Masyarakat. http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatan-jiwa-masyarakat.html.
9. Yuniarti, K. W., Dewi, C., Ningrum, R. P., Widiastuti, M., & Asril,
N. M. (2013). Llness Perception, Stress, Religiosity, Depression, Social Support, and Self
Management of Diabetes in Indonesia. International Journal of Research Studies in
PsychologyVolume 2, Number 1, 25-41
10. Kumar, R. 2013. Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Tangerang
Selatan:Binarupa Aksar
11. Bukhori. B. 2012. Hubungan Kebermaknaan Hidup Dan Dukungan
Sosial Keluarga Dengan Kesehatan Mental Narapidana. (Studi Kasus Nara Pidana Kota
Semarang). Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni.
12. World Health Organization,UNICEF. 2003. Global strategy for
infant and young child feeding. Geneva: World Health Organization;
13. World Health Organization (2017). Mental disorders fact sheets.
World Health Organization. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs396/en/
14. Notosoedirjo, M. & Latipun. (2017). Kesehatan Mental. Malang:
cetakan kedua. UMM Press
15. Wade. Carole dan Carol Tavris. 2008. Psikologi Jilid 1, Edisi 9.
Jakarta: Erlangga
16. Nur Indah, I.,S. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Depresi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di GRHA Diabetika Surakarta. Skripsi.
Publikasi Ilmiah.
17. IDF. 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International
Diabetes Federation 2013.http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf.
22
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
23
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Lampiran 1
Jurnal 1
Jurnal Kesehatan Maritim
ABSTRAK
Hasil data Riset kesehatan dasar menunjukkan masalah gangguan kesehatan mental
emosional (depresi dan kecemasan) sebanyak 9,8%. Hal ini terlihat peningkatan jika
dibandingkan data Riskesdas tahun 2013 sebanyak 6%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan penyakit kanker terhadap gangguan mental emosional. Penelitian analitik dengan
rancangan potong lintang atau Cross-sectional dan non-intervensi. Penelitian ini menggunakan
data sekunder hasil Riskesdas 2018. Responden penelitian ini merupakan pada perempuan
penderita kanker usia 15 tahun ke atas sebanyak 1051 orang. Indikator penilaian seseorang
gangguan mental emosional berdasarkan kuesioner Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang
terdiri dari 20 pertanyaan, dinyatakan gangguan mental emosional jika responden mempunyai
minimal 6 dari 20 pertanyaan. Hasil univariat perempuan penderita kanker yang mengalami
gangguan mental emosional sebanyak 34%. Persentase penderita kanker perempuan tertinggi
adalah kategori dewasa tengah+lanjut (-65 tahun) sebanyak 48,9%, dengan mayoritas
berpendidikan rendah sebanyak 67%. Berdasarkan status pekerjaan, perempuan yang menderita
kanker tidak bekerja sebanyak 49,5% sedangkan perempuan bekerja sebanyak 50,5%.
Berdasarkan hasil bivariat terdapat hubungan yang signifikan antara penderita kanker perempuan
dengan kejadian kesehatan mental emosional (OR=1,982; nilai p=0,0001). Berdasarkan usia
(OR=0,846; nilai p=0,0001), tingkat pendidikan (OR=1,483; nilai p=0,0001), status pekerjaan
(OR=1,158; nilai p=0,0001) dan tempat tinggal (OR=0,932; p value=0,0001) memiliki hubungan
dengan gangguan kesehatan mental emosional. Analisis multivariat dengan regresi logistik
menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan rendah berisiko 1,442 kali mengalami gangguan
mental daripada perempuan berpendidikan tinggi.
24
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Karakteristik n %
3
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Pertanyaan Ya Tidak
n % n %
Apakah anda sering menderita sakit kepala? 654 64.4 361 35.6
Apakah anda tidak nafsu makan? 359 35,4 656 64.6
Apakah anda sulit tidur? 516 50,8 499 49,2
Apakah anda mudah takut? 237 23,3 778 76,7
Apakah anda merasa tegang, cemas atau kuatir? 360 35,5 655 64,5
Apakah tangan anda gemetar 218 21,5 797 78,5
Apakah pencernaan anda terganggu/ buruk? 229 22,6 788 77,4
Apakah anda sulit untuk berpikir jernih? 188 16.5 627 81,5
Apakah anda merasa tidak bahagia? 184 16,1 831 81,9
Apakah anda menangis lebih sering? 198 19,5 817 80.5
Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan 210 20,7 805 79,3
sehari-hari?
Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan? 178 17,5 837 82,5
Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu? 182 17,9 833
Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang 103 10,1 912 89,9
bermanfaat dalam hidup
Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal? 144 14,2 871 85,8
Apakah anda merasa tidak berharga? 109 10,7 908 89,3
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Riskesdas (2018) sebanyak 2,85% terliha umur memiliki hubungan dengan gangguan
adanya peningkatan persentase dalam 5 kesehatan mental emosional. Seseorang yang
terakhir (Badan Penelitian dan sedang mengalami cemas dan depresi bisa
Pengembangan Kesehatan, 2013). Tingginya terjadi pada usia berapa saja, umumnya
persentase penyakit kanker diiringi dengan semakin tua usia, gangguan psikologis
tingginya persentase penduduk 15 tahun semakin meningkat. Terlihat dari penderita
keatas yang memiliki gangguan kesehatan kanker yang memiliki gangguan kesehatan
mental emosional. mental mayoritas adalah pada usia lansia
Berdasarkan hasil penelitian ini akhir sebanyak 26,6%. Lansia yang memiliki
terdapat hubungan penderita kanker dengan satu penyakit kronis serta lebih dari satu
gangguan mental emosional sebanyak penyakit kronis memiliki tingat kecemasan
34,4%. Seorang perempuan lebih banyak yang berbeda. Kemasan pada lansia dengan
memiliki peluang untuk menderita kanker penyakit kronis disebabkan tidak adanya
dibandingkan laki-laki. Setiap perempuan kepastian akan kesembuhan penyakit.
berpotensi menderita kanker payudara Penderita cenderung hidup dengan penyakit
dengan risiko 1,148 kali. Kebiasaan aktifitas yang diderita (Bestari & Wati, 2016).
fisik/olahraga <4 jam/minggu mempunyai Pengetahuan seseorang dipengaruhi
risiko 1,222 untuk terkena kanker payudara oleh tingkat pendidikan yang dipunyai.
(Yulianti et al., 2016). Penderita kanker yang memiliki pendidikan
Ketika seseorang terdiagnosis rendah cenderung memiliki gangguan mental
menderita kanker akan mengalami tekanan sebanyak 22,8%. Penelitian yang sama oleh
besar yang dapat mengakibatkan stress dan Suwistianisa dkk, 2015, menunjukkan bahwa
depresi. Status stadium kanker semakin pendidikan rendah memiliki tinggal depresi
lanjut kecemasan dan depresi yang dialami lebih tinggi sebanyak 73% (Rizki
dapat mengganggu aktifitas hidup Suwistianisa,Nurul Huda, 2015).
(Varcarolis, E. M., Halter, 2010). Sesorang menderita penyakit kanker
Berdasarkan penelitian İzci dkk (2016), menyebabkan keterbatasan dalam hal gaya
prevalensi gangguan psikologis pada pasien hidup serta pekerjaan (Turner & Kelly,
kanker sekitar 29% hingga 47%, diantaranya 2000). Penderita kanker perempuan yang
memiliki gangguan kejiwaan cenderung tidak bekerja dan bekerja tergambar
terlihat stress, dan gangguan depresi (Izci et memiliki perbedaan persentasi yang tidak
al., 2016). Dalam penelitian Widoyono terlalu signifikan .
(2018), kategori depresi mendominasi Ditinjau dari tempat tinggal,
adalah depresi tingkat ringan sebanyak 45%, seseorang yang tinggal di perkotaan lebih
diikuti depresi berat 28% (Widoyono S. et banyak mengalami gangguan mental
al., 2018). emosional. Hal ini terkait dengan tekanan
Berdasarkan WHO (2012), perasaan hidup di perkotaan lebih besar dibandingkan
cemah dan depresi sering mulai pada usia di perdesaan (Dharmayanti, Tjandrarini, Sari
muda dan sering berulang (WHO, 2012). Hal Hidayangsih, 2018).
ini sejalan dengan penelitian ini dimana
2
Rizqiyani Khoiriyah: Hubungan Penyakit Kronis pada Wanita terhadap Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Tabel 2. Analisis Faktor Risiko Kesehatan Mental Emosional terhadap Penderita Kanker
Variabel Kesehatan Mental Emosional Total OR P
value
Gangguan Tidak gangguan
mental mental
n % n % n %
Penderita Kanker
Ya 349 34.4 666 65,6 1015 100 1.982 0,001
Tidak 45159 20,9 170802 79,1 215961 100
Pendidikan
Rendah 34671 22,8 117160 77.2 151831 100 1,483 0,001
Tinggi 10837 16,6 54308 83.4 65145 100
Umur
Dewasa Awal 21204 19,6 73038 81,3 89832 100 0,846 0,001
Dewasa Tengah+Lanjut 24304 21,8 52326 78,2 66939 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 21862 22.3 76109 77.7 97971 100 1,158 0,001
Bekerja 23646 19,9 95359 80.1 119005 100
Tempat Tinggal
Desa 18492 20,3 72628 79.7 91120 100 0,932 0,001
Perkotaan 27016 21.5 98840 78.5 125856 100
Sumber: Data Riskesdas, 2018
Tabe; 3. Model Akhir
Uraian B SE OR Nilai p Wald df
2
Kesehatan mental emosional merupakan salah satu indikator seseorang disebut sehat.
Prevalensi gangguan mental emosional pada perempuan yang menderita kanker sebanyak 34%.
Gangguan mental emosional pada penderita kanker dipengaruhi beberapa hal, seperti: faktor
usia, pekerjaan, riwayat penyakit, penyakit yang diderita, lingkungan. Penderita penyakit kanker
terkhusus pada perempuan dapat mempengaruhi kesehatan mental emosional mereka disebagai
seorang yang menjadi istri atau ibu dalam suatu rumah tangga. Terlihat dalam data riskesdas
prevalensi perempuan yang menderita kanker sebanyak 74%.
Kesehatan mental emosional pada penderita kanker dapat didukungan dari berbagai pihak.
Keluarga menjadi suatu sumber kekuatan yang akan memberikan ketenangan dan kekuatan dalam
penyembuhan. Peran fasilitas kesehatan dapat mengarahkan penderita kanker pada aktifitas
individu dan komunitas. Dukungan tenaga kesehatan/ perawat juga perlu dilakukan asuhan
keperawatan mulai dari pengkajian hingga melakukan evaluasi terhadap intervensi keperawatan
yang dilakukan untuk mencegah rasa cemas semakin memburuk. Serta peran pemerintah untuk
tetap melakukan sosialisasi pentingnya melakukan deteksi dini terhadap penyakit-penyakit tidak
menular terkhusus pada penyakit kanker.
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningtyas, D., Misnaniarti, M., & Rayhani, M. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental
Pada Masyarakat Di Indonesia Dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 9(1), 1–10. https://doi.org/10.26553/jikm.2018.9.1.1-10
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Laporan Nasional 2013. https://doi.org/1 Desember 2013
Bestari, B. K., & Wati, D. N. K. (2016). Penyakit Kronis Lebih dari Satu Menimbulkan
Peningkatan Perasaan Cemas pada Lansia Di Kecamatan Cibinong. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 19(1), 49–54. https://doi.org/10.7454/jki.v19i1.433
Dharmayanti, Tjandrarini, Sari Hidayangsih, N. (2018). Pengaruh Kondisi KESEHATAN
Lingkungan Dan Sosial Ekonomi Terhadap Kesehatan Mental Di Indonesia. Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 17 No(September 2018), 64–67.
Dinuriah, S. (2016). Gambaran Gangguan Mental Emosional Pada Penderita Kanker dalam
Masa Kemoterapi di RSU Kabupaten Tangerang.
Izci, F., Ilgun, A. S., Findikli, E., & Ozmen, V. (2016). Psychiatric Symptoms and Psychosocial
Problems in Patients with Breast Cancer. Journal of Breast Health.
https://doi.org/10.5152/tjbh.2016.3041
Kemenkes. (2015). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015. In Profil Kesehatan
Indonesia 2014.
Riskesdas. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 1–100. https://doi.org/1 Desember 2013
Rizki Suwistianisa,Nurul Huda, J. E. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat depresi
pada Pasien Kanker yang dirawat di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. JOM Vol 2 No 2,.
https://media.neliti.com/media/publications/188107-ID-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-
tingkat.pdf
Turner, J., & Kelly, B. (2000). Emosional dimensions of chronic disease. Western Journal of
Medicine. https://doi.org/10.1136/ewjm.172.2.124
Varcarolis, E. M., Halter, M. J. (2010). Foundations of Psychoterapy Mental Health Nursing: A
Clinical Approach 6th Edition. New York. Elsevier Inc.
WHO. (2012). Depression, a global public health concern.
WHO. (2013). Global action plan for the prevention and control of noncommunicable diseases
2013-2020. World Health Organization. https://doi.org/978 92 4 1506236
WHO. (2018). Globocan 2018 - Home. In Globocan 2018.
Widakdo, G., & Besral, B. (2013). Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental Emosional.
Kesmas: National Public Health Journal. https://doi.org/10.21109/kesmas.v7i7.29
Widoyono S., Setiyarni, S., & Effendy, C. (2018). Tingkat Depresi pada Pasien Kanker di RSUP
Dr. Sardjito, Yogyakarta, dan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto: Pilot Study.
Indonesian Journal of Cancer. https://doi.org/10.33371/IJOC.V11I4.535
Yulianti, I., Santoso, H., & Sutinigsih, D. (2016). FAKTOR-FAKTOR RISIKO KANKER
PAYUDARA (Studi Kasus Pada Rumah Sakit Ken Saras Semarang). Jurnal Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro.
Lampiran 2
Jurnal MKK
ABSTRAK
Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan ciri khas hiperglikemi yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. Diabetes tipe 2 merupakan 90%
dari seluruh kategori diabetes mellitus. Populasi lansia diprediksi terus mengalami peningkatan.
Lansia secara alami juga akan menghadapi masalah yaitu penurunan kesehatan. Salah satu
penyakit yang menyertai lansia adalah Diabetes Mellitus. Tujuan dari penelitian ini mengetahui
faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Penelitian ini bersifat analitik dengan disain studi cross sectional. Penelitian ini merupakan
analisis data sekunder dengan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar 2018. Hasil uji statistik
menunjukan variabel-variabel yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di
Indonesia antara lain karakteristik responden yang terdiri dari pendidikan (OR = 0,403, nilai p =
0,000) dan pekerjaan (OR = 3,010, nilai p = 0,000) kemudian aktivitas fisik (OR = 1,466, nilai p
= 0,000), kebiasaan merokok (OR = 0,764, nilai p = 0,000), konsumsi buah dan sayur (OR =
0,797, nilai p = 0,000) obesitas (OR = 1,896, nilai p= 0,000) dan riwayat hipertensi (OR = 1,960,
nilai p = 0,000). Sedangkan untuk variabel makanan/minuman yang berisiko yang berhubungan
dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia antara lain makanan manis (OR = 0,374,
nilai p = 0,000), minuman manis (OR = 0,217, nilai p = 0,000), makanan asin (OR = 0,744, nilai
p = 0,000), makanan berlemak (OR = 0,909, nilai p = 0,013), bumbu penyedap (OR = 0,744, nilai
p = 0,000), soft drink (OR = 0,804, nilai p = 0,021), minuman berenergi (OR = 0,728, nilai
p=0,004) dan mie instant (OR = 0,686, nilai p = 0,000)
.
Keywords: Diabetes mellitus, the elderly, high risk food and drink, healthy lifestyle
Pendahuluan
Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan ciri khas hiperglikemi
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. (1) Diabetes
mellitus adalah masalah kesehatan yang penting karena termasuk salah satu dari empat
penyakit tidak menular yang menjadi target tindak lanjut oleh para pemipin negara. Jumlah
kasus dan dan prevelansi dibetes mellitus terus meningkat sampai beberapa tahun yang akan
datang.(2)
Jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia semakin bertambah setiap tahunnya, hal ini
disebabkan peningkatan jumlah populasi, usia, prevalensi obesitas dan penurunan aktivitas
fisik.(3) Diperkirakan 422 juta penduduk dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014
dibandingkan 108 juta pada tahun 1980 dan pada tahun 2040 jumlahnya akan meningkat
menjadi 642 juta.(4) Prevalensi diabetes di dunia meningkat hampir dua kali lipat. Hal ini
menandakan peningkatan faktor risiko seperti kelebihan berat badan atau obesitas. Selama
dekade terakhir, prevalensi diabetes meningkat cepat di negara berpenghasilan rendah dan
menengah dibandingan negara berpenghasilan tinggi.(5)
WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.(2) Menurut
International Diabetes Federation (IDF) diperkirakan adanya peningkatan jumlah penderita DM
di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Laporan Riset
Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukan bahwa prevalensi DM di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun adalah 2%. Hal ini menunjukkan
bahwa ada peningkatan prevalensi DM di Indonesia dibandingkan hasil Riskesdas 2013 yaitu
1,5%. Berdasarkan kategori usia, penderita DM terbanyak berada pada rentang usia 55-64 tahun
dan 65-74 tahun.
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.(6) Populasi lansia
diprediksi terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah lansia dapat berdampak positif,
jika lansia indonesia berada dalam keadaan mandiri, sehat, dan produktif. Sedangkan dampak
negatif dari peningkatan jumlah lansia adalah meningkatnya beban penduduk usia produktif
terhadap penduduk usia nonproduktif, khususnya lansia.(7) Lansia secara alami juga akan
menghadapi masalah yaitu penurunan kesehatan. Salah satu penyakit yang menyertai lansia
adalah Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus merupakan silent killer disease, karena banyak tidak disadari oleh
penderitanya dan saat sudah diketahui sudah terjadi komplikasi. Terdapat dua kategori diabetes
mellitus antara lain diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Pada penelitian ini kategori yang akan
dibahas adalah diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 adalah disebut juga non-insulin dependent yang
disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif. Diabetes tipe 2 merupakan 90% dari
seluruh kategori diabetes mellitus. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain gangguan sistem
kardiovaskular seperti atherosklerosis, retinopati, gangguan fungsi ginjal dan kerusakan saraf.
Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia
sebesar 6,7%.
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia perlu dicegah. Salah satu cara
untuk mencegahnya adalah dengan mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya diabetes mellitus dimasyarakat. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu bahwa
faktor perilaku, sosiodemografi dan gaya hidup serta keadaan klinis atau mental dapat
mempengaruhi kejadian diabetes mellitus. Faktor sosiodemografi antara lain, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Faktor-faktor perilaku antara lain
konsumsi sayur dan buah, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan aktivitas fisik.
Lansia yang menderita DM yang cukup lama pada umumnya memiliki kualitas hidup yang
kurang baik karena memiliki pengaruh negatif terhadap fisik dan psikologis para penderita.
Penderita DM ini biasanya sudah tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan tidak dapat
beraktifitas sosial.(8)
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin meneliti tentang Kejadian Diabetes
Mellitus Tipe II Pada Lansia di Indonesia.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dengan menggunakan data Riset Kesehatan
Dasar 2018 (Riskesdas/RKD18). Riskesdas 2018 adalah sebuah survei yang dilakukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Riskesdas 2018 adalah survey yang dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penduduk lanjut usia (≥60 tahun) di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sampel pada penelitian ini adalah penduduk lanjut usia (≥ 60 tahun) yang tercatat pada data
Riskesdas 2018 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
(1) Kriteria inklusi yaitu mereka yang berada yang usia nya > 60 tahun dan dilibatkan dalam
wawancara langsung;
(2) Kriteria eksklusi yaitu mereka yang memiliki data hasil kuesioner dan wawancara yang tidak
lengkap pada semua variabel penelitian.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status
pekerjaan, riwayat hipertensi, makanan/minuman berisiko, konsumsi buah dan sayur, kebiasaan
merokok, aktifitas fisik, kebiasaan minum alkohol dan status gizi. Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2.
Hasil
Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik responden.
Karakteristik Frekuen Persenta
Responden si (n) se (%)
Umur
a. Usia Lanjut 38695 67
Berisiko Tinggi (≥
65 tahun) 19098 33
b. Usia Lanjut Dini
(60-64 tahun)
Jenis Kelamin
a. Laki-Laki 25795 44,6
b. Perempuan 31998 55,4
Pendidikan
Tertinggi 48824 84,5
a. Rendah (tamat SD
– SMP) 8969 15,5
b. Tinggi (tamat
SMA–Perguruan
tinggi)
Jenis Pekerjaan
a. Ringan - Sedang 37554 65
b. Berat 20239 35
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden pada penelitian ini, berusia di atas 65
tahun (usia lanjut berisiko tinggi) yaitu sebanyak 67%. Adapun untuk jenis kelamin mayoritas
responden adalah perempuan (55,4%). Berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi, sebagian besar
responden adalah lulusan SD hingga SMP (pendidikan rendah) yaitu sebanyak 84,5%. Sedangkan
jika dilihat dari jenis pekerjaan, mayoritas responden yaitu sebanyak 65% memiliki pekerjaan
dengan derajat ringan-sedang. Jenis-jenis pekerjaan dengan derajat ringan antara lain tidak
bekerja, ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, pegawai BUMN dan swasta. Jenis pekerjaan
dengan derajat sedang antara lain TNI, Polri, wiraswasta, pedagang dan pelayanan jasa.
Gambaran Riwayat Hipertensi
Tabel 3 menggambarkan tentang perilaku responden tentang konsumsi makan buah dan sayur,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, status gizi dan aktivitas fisiknya. Mayoritas responden
sebanyak 86,8% kurang mengkonsumsi buah dan sayur setiap harinya, yaitu hanya mampu
mengkonsumsi buah dan sayur < 5 porsi per hari. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 65,8%
memiliki kebiasaan merokok atau riwayat merokok.
Responden pada penelitian ini hanya sebagian kecil yang memiliki kebiasaan minum alkohol
yaitu sebanyak 2%. Berdasarkan status gizi, hanya 27,8% responden yang mengalami kelebihan
berat badan, sedangkan 72,2% responden tidak mengalami kelebihan berat badan.
Tabel 3. Distribusi perilaku hidup sehat
Konsumsi Buah dan Frekuensi (n) Persentase
Sayur (%)
a. Kurang (< 5 porsi 50185 86,8
perhari)
b. Cukup (≥ 5 porsi 7608 13,2
perhari)
Kebiasaan Merokok
a. Tidak Pernah 19756 34,2
Merokok
b. Pernah Merokok 38037 65,8
Alkohol
a. Ya 1154 2
b. Tidak 56639 98
Status Gizi
a. Kelebihan BB 16039 27,8
b. Tidak Kelebihan BB 41754 72,2
Aktivitas Fisik
a. Kurang (< 150 menit 43535 75,3
per minggu)
b. Cukup (≥ 150 menit 14258 24,7
per minggu)
Total 57793 100
Hasil analisis bivariat pada tabel 4 menunjukkan bahwa dari responden yang berumur 60-64
tahun, 8% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari responden yang berumur ≥ 65 tahun, 6,2%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan 0,000 (p>0,05). Hal tersebut
menunjukkan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada
lansia di Indonesia.
Tabel 4. Menunjukkan bahwa dari 25795 responden yang berjenis kelamin laki-laki, 6,2%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 31998 responden yang berjenis kelamin perempuan,
7,4% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p>0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia. Dari 48824 responden yang tergolong tergolong
pendidikan rendah, 5,7% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 8969 responden yang
tergolong pendidikan tinggi, 13% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p sebesar 0,000 (p<
0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Toal responden dengan jenis pekerjaan ringan-sedang, 8,8% diantaranya mengalami DM tipe
2. Sedangkan dari responden dengan jenis
pekerjaan berat hanya 3,1% yang mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai 0,000
(p<0,05). Artinya bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe
2 pada lansia di Indonesia. Responden dengan pekerjaan ringan-sedang memiliki peluang tiga
kali untuk terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan responden dengan derajat pekerjaan berat
(OR=3,010, 95% CI:2,759-3,283)
Tabel 4 menunjukkan dari 18262 responden yang memiliki riwayat hipertensi, 10%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Selanjutnya dari 39531 responden yang tidak memiliki
riwayat hipertensi, 5,4% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p sebesar 0,000 (p<0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa riwayat hipertensi memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Responden dengan riwayat hipertensi memiliki peluang hampir dua kali untuk terkena DM
tipe 2 dibandingkan dengan responden dengan derajat pekerjaan berat (OR=1,960, 95%
CI:1,837-2,092).
Tabel 4. Hubungan karakteristik responden dan riwayat hipertensi dengan kejadian DM tipe 2
Kejadian DMT2
OR
Nilai p
Variabel Ya Tidak (95%
n (%) n (%) CI)
Umur
a. ≥ 65 tahun (usia 2420 36275 0,000 0,764
lanjut berisiko (6,3) (93,7)
tinggi)
b. 60-64 tahun (usia 1533 17565
lanjut dini) (8) (92)
Jenis Kelamin 0,000 0,831
a. Laki-Laki 1598 24197
(6,2) (93,8)
b. Perempuan 2355 29643
(7,4) (92,6)
Pendidikan
a. Rendah (tidak 2783 46041 0,000 0,403
sekolah, tamat SD (5,7) (94,3)
– SMP)
b. Tinggi (tamat 1170 7799
SMA–Perguruan (13) (87)
tinggi)
Pekerjaan
a. Ringan-Sedang 3321 34233 0,000 3,010
(8,8) (91,2)
b. Berat 632 19607
(3,1) (96,9)
Riw.Hipertensi
a. Ya 1829 16433 0,000 1,960
(10) (90)
b. Tidak 2124 37407
(5,4) (94,6)
Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis makanan/minuman yang berisiko yang memiliki hubungan
yang signifikan terhadap kejadian DM tipe 2 antara lain makanan manis, minuman manis,
makanan asin, makanan lemak, bumbu penyedap, soft drink, minuman berenergi dan mie instant.
Sedangkan jenis makanan bakar dan makanan pengawet tidak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap kejadian DM tipe 2.
Tabel 5. Hubungan makanan berisiko dengan kejadian DM tipe 2
Kejadian OR
DMT2 (95%
Makanan/Minuman Nilai
Ya CI)
Berisiko Tidak p
n
n (%)
(%)
Makanan Manis 0,000 0,374
a. ≥ 1 kali/hari atau 2402 43356
1-6 kali/minggu (5,2) (94,8)
b. ≤ 3 kali/bulan 1551 10484
atau tidak pernah (12,9) (87,1)
Minuman Manis 0,000 0,217
a. ≥ 1 kali/hari atau 2377 47056
1-6 kali/minggu (4,8) (95,2)
b. ≤ 3 kali/bulan 1576 6784
atau tidak pernah (18,9) (81,1)
Makanan Asin 0,000 0,744
a. ≥ 1 kali/hari atau 2069 32103
1-6 kali/minggu (6,1) (93,9)
b. ≤ 3 kali/bulan 1884 21737
atau tidak pernah (8) (92)
Makanan Lemak 0,013 0,909
a. ≥ 1 kali/hari atau 2986 41598
1-6 kali/minggu (6,7) (93,3)
b. ≤ 3 kali/bulan 967 12242
atau tidak pernah (7,3) (92,7)
Makanan Bakar 0,522 1,023
a. ≥ 1 kali/hari atau 1355 18179
1-6 kali/minggu (6,9) (93,1)
b. ≤ 3 kali/bulan 2598 35661
atau tidak pernah (6,8) (93,2)
Makanan Pengawet
a. ≥ 1 kali/hari atau 473 6612 0,577 0,971
1-6 kali/minggu (6,7) (93,3)
b. ≤ 3 kali/bulan 3480 47228
atau tidak pernah (6,9) (93,1)
Bumbu Penyedap
a. ≥ 1 kali/hari atau 2978 43298 0,000 0,744
1-6 kali/minggu (6,4) (93,6)
b. ≤ 3 kali/bulan 975 10542
atau tidak pernah (8,5) (91,5)
Drink
a. ≥ 1 kali/hari atau 126 2118 0,021 0,804
1-6 kali/minggu (5,6) (94,4)
b. ≤ 3 kali/bulan 3827 51722
atau tidak pernah (6,9) (93,1)
Min.Berenergi
a. ≥ 1 kali/hari atau 91 1687 0,004 0,728
1-6 kali/minggu (5,1) (94,9)
b. ≤ 3 kali/bulan 3862 52153
atau tidak (6,9) (93,1)
pernah
Mie Instant 0,000 0,686
a. ≥ 1 kali/hari atau 1193 20818
1-6 kali/minggu (5,4) (94,6)
b. ≤ 3 kali/bulan 2760 33022
atau tidak (7,7) (92,3)
pernah
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa dari 50185 responden yang mengkonsumsi buah dan
sayur sebanyak < 5 porsi per hari (kurang), 6,6% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 7608
responden yang mengkonsumsi buah dan sayur sebanyak ≥ 5 porsi per hari (cukup), 8,2%
diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p sebesar 0,000 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan
bahwa konsumsi buah dan sayur memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2
pada lansia di Indonesia.
Total responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok, 5,7% diantaranya mengalami DM
tipe 2. Dari 38037 responden yang memiliki kebiasaan merokok, 7,4% diantaranya mengalami
DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
kebiasaan merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di
Indonesia.
Berdasarkan tabel 6 . diketahui bahwa dari 43535 responden yang memiliki aktivitas fisik
kurang yaitu < 150 menit per minggu, 7,4% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 14258
responden yang memiliki aktivitas fisik cukup yaitu ≥ 150 menit per minggu, 5,2% di antaranya
mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p<0,05). Hal tersebut
menunjukkan bahwa aktifitas fisik memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe
2 pada lansia di Indonesia. Responden dengan aktifitas fisik kurang memiliki peluang hampir 1,4
kali untuk terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan responden dengan aktifitas fisik cukup
(OR=1,466, 95% CI:1,350-1,592).
Berdasarkan tabel 6. diketahui bahwa dari 1154 responden yang memiliki kebiasaan minum
alkohol, 3,6% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 56639 responden yang tidak memiliki
kebiasaan minum alkohol, 6,9% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai
sebesar 0,000 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan minum alkohol memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Tabel 6 Hubungan perilaku dengan kejadian DM tipe 2
Kejadian DMT2 OR
Variabel Ya Tidak (95% Sig.
n (%) n (%) CI)
Konsumsi
sayur dan buah
a. Kurang (< 5 3330 46855 0,797 0,000
porsi per hari) (6,6) (93,4)
b. Cukup (≥ 5 623 6985
porsi per hari) (8,2) (91,8)
Riw. Merokok
a. Merokok / 1137 18619 0,764 0,000
pernah (5,8) (94,2)
merokok
b. Tidak 2816 35221
pernah (7,4) (92,6)
merokok
Aktifitas Fisik
a. Kurang 3217 40318 1,466 0,000
(7,4) (92,6)
b. Cukup 736 13522
(5,2) (94,8)
Konsumsi
Alkohol
a. Ya 41 1113 0,497 0,000
(3,6) (96,4)
b. Tidak 3912 52727
(6,9) (93,1)
Status Gizi
a. Kelebihan
BB 1619 14420
(10,1) (89,9) 1,896 0,000
b. Tidak
kelebihan 2334 39420
BB (5,6) (94,4)
Berdasarkan tabel 6. diketahui bahwa dari 16309 responden yang tidak mengalami kelebihan
berat badan, 10,1% diantaranya mengalami DM tipe 2. Dari 41754 responden yang mengalami
kelebihan berat badan, 5,6% diantaranya mengalami DM tipe 2. Nilai p menunjukkan nilai
sebesar 0,000 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kelebihan berat badan memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia.
Pembahasan
Manusia mengalami perubahan secara fisiologis secara drastis menurun setelah mencapai usia
40 tahun. Diabetes mellitus sering muncul setelah seseorang memasuki rentang usia tersebut. Hasil
penelitian menyatakan dari 3953 responden yang menderita DM tipe 2 didapatkan rentang usia 60-
64 tahun sebesar 1533 responden (8%) sedangkan rentang usia ≥ 65 tahun sebesar 2420 responden
(6,3%). Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2014), umur lansia awal
memiliki risiko sebesar 2,28 kali lebih besar terkena DM tipe 2 dibandingkan umur manula. Hasil
uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara umur dan kejadian DM tipe 2 (p value
= 0,000).(9)
Berdasarkan hasil penelitian penderita DM tipe 2 pada lansia laki-laki sebesar 1598 responden
dan pada perempuan sebesar 2355 responden. Dari hasil uji statistik didapatkan p value = 0,000
artinya ada hubungan signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian DM tipe 2. Hal ini sejalan
dengan penelitian Allolerung (2018) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian DM tipe 2 dengan nilai p=0,044 dan OR= 2,777 hal ini menunjukkan bahwa
responden dengan jenis kelamin perempuan memiliki risiko untuk terkena DM tipe 2 2,777 kali
lebih besar dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki.
Tingginya kejadian diabetes melitus pada perempuan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan
komposisi tubuh dan perbedaan kadar hormon seksual antara perempuan dan laki-laki dewasa.
Perempuan memiliki jaringan adiposa lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat diketahui
dari perbedaan kadar lemak normal antara laki-laki dan perempuan dewasa, dimana pada laki-laki
berkisar antara 15–20% sedangkan pada perempuan berkisar antara 20–25% dari berat badan.
Penurunan konsentrasi hormon estrogen pada perempuan menopause menyebabkan peningkatan
cadangan lemak tubuh terutama di daerah abdomen yang akan meningkatkan pengeluaran asam
lemak bebas Kedua kondisi ini menyebabkan resistensi insulin.
Berdasarkan hasil peneltian, lansia yang berpendidikan rendah sebesar 2783 responden dan
yang berpendidikan tinggi sebesar 1170 responden. Dari hasil uji statistik didapatkan p value
0,000 artinya ada hubungan signifikan antara pendidikan dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia di
Indonesia, dengan nilai OR sebesar 0,403. Artinya bahwa responden yang memiliki tingkat
pendidikan hingga tinggi memiliki risiko 0,403 kali lipat mengalami DM tipe 2 lebih besar
dibandingkan dengan pendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Ramadhan (2017) yaitu
ada hubungan signifikan antara tingkat pendidikan terhadap kejadian DM tipe 2 pada lansia di
indonesia dengan nilai p value 0,003.(10)
Pendidikan berkaitan dengan kesadaran khususnya dalam masalah kesehatan. Semakin
rendahnya tingkat pendidikan maka cenderung tidak mengetahui gejala-gejala terkait penyakit
diabetes melitus tipe 2 .(11)
Berdasarkan hasil penelitian, DM tipe 2 yang respondennya di kategorikan menjadi 2 yaitu,
ringan – sedang sebesar 3321 responden dan 632 responden dengan status pekerjaan berat. Data
dari hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0,000 yang artinya pada hubungan signifikan
antara status pekerjaan dan kejadian DM tipe 2 pada lansia di Indonesia dengan nilai OR sebesar
3,010. Artinya bahwa responden yang memiliki pekerjaan ringan hingga sedang memiliki risiko
3,010 kali lipat lebih besar mengalami DM tipe 2 dibandingkan responden yang memiliki
pekerjaan berat. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2018) yaitu
tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian DM (p value = 0,558).(12)
Hasil analisis hubungan aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia diperoleh bahwa
responden dengan aktifitas fisik kurang yang mengalami DM tipe 2 sebesar 7,4% sedangkan
responden dengan aktifitas fisik cukup yang mengalami DM tipe 2 sebesar 5,2%. Hasil uji bivariat
menunjukan bahwa ada hubungan aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe 2 pada lansia dimana
nilai p=0,000 dengan nilai OR= 1,466 (95% CI : 1,350-1.592). Artinya lansia dengan aktifitas fisik
kurang memiliki peluang 1,466 kali mengalami DM tipe 2 dibandingkan dengan lansia dengan
aktifitas fisik cukup. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sembiring (2018) yaitu ada
hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe 2. (13)
Pada waktu melakukan aktivitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa daripada
waktu tidak melakukan aktivitas fisik, dengan demikian konsentrasi glukosa darah akan menurun.
Melalui aktivitas fisik, insulin akan bekerja lebih baik sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel
untuk dibakar menjadi tenaga.
Hubungan antara obesitas dengan kejadian DM tipe 2 lansia di Indonesia memiliki hubungan
yang bermakna (p=0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian Maharani dkk (2018) yaitu ada
hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian DM tipe 2 (nilai p= 0,001).(14) Semakin
banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan semakin resisten terhadap kerja insulin
(insulin resistance), terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul di daerah
sentral atau perut (central obesity). Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak
dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah. Tubuh yang cenderung gemuk
lebih banyak menyimpan lemak tubuh dan lemak tidak terbakar, terjadi kekurangan hormon
insulin untuk pembakaran karbohidrat, sehingga lebih berpeluang besar terjadinya DM tipe 2.
Ucapan Terimakasih
Terima kasih atas bantuan Lembaga Pengembangan dan Penelitian Universitas
Muhammadiyah Prof Dr HAMKA atas dukungan pendanaan untuk penelitian dan Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia atas ijin penggunaan data untuk
penulisan manuskrip ini.
Daftar Pustaka
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia
2015. 2015.
2. World Health Organization. Global Report on Diabetes. Isbn [Internet]. 2016;978:88.
Available from:
http://www.who.int/about/licensing/%5Cnhttp://apps.who.int/iris/bitstream/10665/204871/
1/9789241565257_eng.pdf
3. Artanti P, Masdar H, Rosdiana D. Microsoft Word - Angka Kejadian Diabetes Melitus
Tidak Terdiagnosis pada Masyarakat Kota Pekanbaru.doc. Jom FK Vol 2 No 2 Oktober
2015. 2015;
4. IDF. IDF Diabetes Atlas 2015. Int Diabetes Fed. 2015;
5. Kementerian Kesehatan RI. Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018. Pus Data dan Inf
Kementrian Kesehat RI. 2018;1–8.
6. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG
KESEJAHTERAAN LANJUT USIA. 2013;
7. Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2018. 2018;286.
8. Anis C, Sekeon SA., D.Kandou G. Hubungan Antara Diabetes Melitus (Hiperglikemia)
Dengan Kualitas Hidup Pada Lansia Di Kelurahan Kolongan. 2017;(June 2017):1–8.
9. Amalia RF. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Pada Lansia di Puskesmas
Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan Tahun 2014. Naskah Publ Univ Indones
[Internet]. 2014;2:1–9. Available from: lib.ui.ac.id
10. Ramadhan M. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diabetes Mellitus Di RSUP
dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makasar Tahun 2017. 2017;1–
113.
11. Brown, K.W. & Ryan RM. Mindful Attention Awereness Scale. J Pers Soc Psychol. 2003;
12. Isnaini N, Ratnasari R. Faktor risiko mempengaruhi kejadian Diabetes mellitus tipe dua. J
Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah. 2018;14(1):59–68.
13. Nindya AS. Hubungan Faktor yang Dapat Dimodifikasi dan Tidak Dapat Dimodifikasi
dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II pada Wanita Lanjut Usia di Puskesmas Sering
Kecamatan Tembung Medan Tahun 2017. Univ Sumatera Utara. 2018;(X):1–5.
14. Ardiyanto NEMSBF. Hubungan obesitas dan aktivitas fisik dengan kejadian Diabetes
Mellitus tipe 2 di Puskesmas Wonogiri 1. J Manaj Inf dan Adm Kesehat. 2018;1(1):40–8.