Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Jiwa Aceh
Banda Aceh
Oleh:
Chairini Fikry
1907101030113
Pembimbing:
dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Hubungan Adiksi Rokok dengan Gangguan Jiwa”. Shalawat beserta salam
penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia
ke masa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Rumah
Sakit Jiwa Aceh. Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ yang telah bersedia meluangkan
waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya
dan ilmu kedokteran jiwa khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk referat ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Dampak negatif merokok pada kesehatan telah ditulis dengan jelas di setiap
bungkus rokok, yaitu kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan
dan janin. Berbagai hasil penelitian secara longitudinal dan cohort, baik dalam setting
eksperimen, kuasi-eksperimen, maupun natural telah membuktikan hal tersebut.
Merokok mendorong terjadinya vasoconstriction dan atherosclerosis yang
menyebabkan subclinical myocardinal ischemia, serta karbon monoksida yang
memperbesar risiko terjadinya hypoxemia dan myopacardinal hypoxia. Selain
berdampak pada organ tubuh, kandungan zat dalam rokok khususnya nikotin juga
mempengaruhi kondisi psikologi, syaraf, serta aktivitas dan fungsi otak, baik pada
perokok aktif maupun pasif.4
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevelensi pada gangguan mental emosional
dengan gejala anxietas dan depresi usia≥15 tahun ke atas mencapai 14 juta orang (6%
dari jumlah penduduk Indonesia). Sedangkan pada prevelensi gangguan jiwa berat
seperti skizofrenia sebanyak 1,7per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Gangguan jiwa terbanyak berada di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali dan
Jawa Tengah.6
Penelitian pada Orang tua yang perokok atau lingkungan yang banyak perokok
juga didapatkan mempengaruhi kesehatan anak meskipun anak tidak merokok
karenan anak dalam hal ini adalah sebagai perokok pasif. Penelitian yang dilakukan di
Indonesia oleh Dwijo Tahun 2000-2004 menemukan dari 4015 siswa usia 6-13 tahun
di 10 SD Wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat menunjukkan prevalensi 26,2%
anak ADHD berdasarkan kriteria DSM IV (Manual Diagnostik dan Statistik
Gangguan Mental Edisi ke Empat). Dan pada data penelitian oleh Balitbang
Direktotar Pendidikan Luar Biasa menemukan penyebab 26,2% siswa SD tersebut
mengalami ADHD karena pola asuh orang tua dan guru sebanyak 33% dan 67%
sisanya dikarena pengaruh pencemaran lingkungan seperti asap rokok dan asap
kendaraan bermotor, perjalanan prenatal terhadap alkohol, dan malnutrisi berat pada
masa anak-anak.9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
Merokok mempunyai kaitan yang erat dengan aspek psikologis terutama efek
positif yaitu sejumlah 91,491% sedangkan efek negatif hanya sebesar 8,539%
(pusing, ngantuk, dan pahit). Paling menonjol dirasakan subjek adalah kenikmatan
(38,298%), kepuasan (15,957%), dan merasakan ketenangan (12,766%). Kepuasan
psikologis ini kemungkinan berhubungan erat dengan frekuensi merokok subjek.
Rata-rata subjek merokok 7 batang per hari.12
secara tegas menyebutkan berapa jumlah rokok yang dikonsumsi per hari yang dapat
memicu depresi. Akan tetapi berdasarkan penelitian, dinyatakan bahwa konsumsi
jumlah rokok lebih dari 20 batang per hari berdampak cepat dan berat terhadap
gangguan kesehatan.14
Secara keseluruhan, nikotin yang dihisap oleh tubuh akan berikatan dengan
reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian mengaktifasi reward system pathways
dan jalur adrenergik. Pada reward system pathways, perokok akan merasa nikmat dan
memicu sistem dopaminergik sehingga perokok akan merasa lebih tenang dan mood
terkontrol. Efek nikotin berlangsung sebentar saja, oleh karena itu perokok harus terus
merokok untuk mempertahankan efek sensasi dari nikotin dan untuk menghindari
gejala putus zat. Sementara pada jalur adrenergik, nikotin akan mengaktifkan sistem
adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan serotonin.
Meningkatnya serotonin menimbulkan rasa senang, nafsu makan dan tidur terkontrol.
Secara fisiologis tubuh akan memproduksi serotonin secara autoregulasi. Namun, pada
pengguna tetap nikotin menyebabkan disregulasi serotonin, dimana tubuh kesulitan
memproduksi serotonin jika kadar nikotin dalam tubuh tidak mencukupi. Hal ini
menyebabkan tubuh akan tergantung pada nikotin untuk memproduksi serotonin. 12
2.2.2 Etiologi
Penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling
mempengaruhi yaitu sebagai berikut: 18,19
1) Faktor Somatik (Somatogenik), yaitu akibat adanya gangguan pada
neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan dan
perkembangan organik serta faktor pranatal dan perinatal.
2) Faktor Psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan anak,
peranan ayah, persaingan antar saudara kandung, hubungan dalam keluarga,
pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi tingkat
9
perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga akan mempengaruhi
kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka
dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan bersalah yang
berlebihan. Tipe kepribadian tertutup juga merupakan penyebab terbanyak orang
mengalami gangguan jiwa. Mereka akan cenderung menyimpan segala
permasalah sendiri, sehingga masalah akan semakin menumpuk. Hal ini yang
akan membuat mereka bingung dengan permasalahannya dan dapat membuat
depresi.
3) Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh
anak, tingkat ekonomi (tidak bekerja bisa membuat orang kehilangan
kesempatan untuk mempunyai penghasilan dan membuat orang kehilangan
kesempatan untuk menunjukkan aktualisasi dirinya. Hal ini memungkinkan
orang mengalami harga diri rendah yang akan berdampak pada gangguan jiwa),
perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas
kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan
keagamaan.
berupa gerakan salah satu badan berulang-ulang atau tidak bertujuan dan melawan
atau menentang terhadap apa yang disuruh.
B. Gangguan kemauan.
Kemauan merupakan dimana proses keinginan dipertimbangkan lalu diputuskan
sampai dilaksanakan mencapai tujuan. Bentuk gangguan kemauan sebagai berikut:
a. Kemauan yang lemah (abulia) adalah keadaan ini aktivitas akibat ketidak
sangupan membuat keputusan memulai satu tingkah laku.
b. Kekuatan adalah ketidak mampuan keleluasaan dalam memutuskan dalam
mengubah tingkah laku.
c. Negativisme adalah ketidak sangupan bertindak dalam sugesti dan jarang
terjadi melaksanakan sugesti yang bertentangan.
d. Kompulasi merupakan dimana keadaan terasa terdorong agar melakukan suatu
tindakan yang tidak rasional
4. Berpikir
A. Gangguan pikiran atau proses pikiran (berfikir).
Pikiran merupakan hubungan antara berbagai bagian dari pengetahuan
seseorang. Berfikir ialah proses menghubungkan ide, membentuk ide baru, dan
membentuk pengertian untuk menarik kesimpulan. Proses pikir normal ialah
mengandung ide, simbol dan tujuan asosiasi terarah atau koheren.Gangguan
dalam bentuk atau proses berfikir adalah sebagai berikut :
a. Gangguan mental merupakan perilaku secara klinis yang disertai dengan
ketidakmampuan dan terbatasnya pada hubungan seseorang dan
masyarakat.
b. Psikosis ialah ketidak mampuan membedakan kenyataan dari fantasi,
gangguan dalam kemampuan menilai kenyataan.
c. Gangguan pikiran formal merupakan gangguan dalam bentuk masalah isi
pikiran dan proses berpikir.
5.Bicara
a. Tekanan bicara : bicara cepat, yaitu peningkatan jumlah dan kesulitan
memutuskan pembicaraan
b. Kesukaan bicara (logorrhea) : bicara banyak sekali, bertalian, dan logis
c. Kemiskinan bicara (poverty of speech) : terbatas dan jawabannya hanya satu
suku kata (monosyllabic)
d. Bicara tidak spontan : hanya jika ditanya atau dibicarakan langsung
e. Kemiskinan isi bicara : adekuat dalam jumlah tetapi sedikit informasi karena
ketidakjelasan, kekosongan atau frasa stereotipik.
6.Presepsi
A. Gangguan persepsi.
Persepsi merupakan kesadaran dalam suatu rangsangan yang dimengerti.
Sensasi yang didapat dari proses asosiasi dan interaksi macam-macam
rangsangan yang masuk. Yang termasuk pada persepsiseperti:
a. Halusinasi
Halusinasi merupakan seseorang memersepsikan sesuatu dan kenyataan
tersebut tidak ada atau tidak berwujud. Halusinasi terbagi dalam halusinasi
penglihatan, halusinasi pendengaran, halusinasi raba, halusinasi penciuman,
halusinasi sinestetik, halusinasi kinetic.
b. Ilusi adalah persepsi salah atau palsu (interprestasi) yang salah dengan suatu
benda.
c. Derealisasi yaitu perasaan yang aneh tentang lingkungan yang tidak sesuai
kenyataan.
d. Depersonalisasi merupakan perasaan yang aneh pada diri sendiri,
kepribadiannya terasa sudah tidak seperti biasanya dan tidak sesuai kenyataan.
13
berhenti merokok selama minimal 2 minggu dan dapat berkontribusi pada gejala
depresi setelah berpantang.7
meringankan gejala yang terkait dengan gangguan kecemasan, yang, pada gilirannya,
meningkatkan ketergantungan nikotin di antara pasien dengan gangguan kecemasan.24
Kesamaan antara gejala ADHD dan gejala penarikan nikotin dan potensi
keterlibatan sistem kolinergik dalam ADHD dapat menunjukkan bahwa individu
18
dengan ADHD mungkin merupakan kelompok berisiko untuk merokok; ini didukung
oleh data. Empat puluh dua persen pria dengan ADHD adalah perokok dan 38%
wanita dengan ADHD adalah perokok; ini dibandingkan dengan 28,1% dan 23,5%
perokok untuk pria dan wanita tanpa ADHD. Selain itu, penelitian yang sama
menemukan bahwa rasio berhenti secara substansial lebih rendah pada individu
dengan ADHD dibandingkan dengan sisa populasi yang tidak sakit, masing-masing
29% berbanding 48,5%. Temuan ini telah direplikasi oleh ilmuwan lain, misalnya,
menemukan ketergantungan tembakau seumur hidup adalah 40% pada individu
dengan ADHD dibandingkan dengan 19%. 24
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farhan Aditya (2013)
dengan judul Pengaruh Asap (rokok, kendaraan, dan pembakaran sampah) terhadap
timbulnya ADHD di Jakarta Barat. Dimana hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa Ho diterima atau Tidak ada hubungan yang signifikan antara Pengaruh Asap
(rokok, kendaraan, dan pembakaran sampah) terhadap timbulnya ADHD. Peneliti
meyakini bahwa rokok mempunyai efek yang dapat mengganggu perkembangan
mental anak meskipun masih ada penyebab-penyebab lain yang mempengaruhi
perkembangan mental seorang anak seperti shock karena kelahiran dan genetik.
Penyebab primer dari ADHD adalah “penyakit” keturunan atau genetik. Kira-kira
80% individu yang mengalami ADHD memiliki riwayat keluarga dengan kondisi
yang sama. Asap rokok adalah pemicu timbulnya ADHD dan bukanlah penybab
utama terjadinya ADHD. Tidak ada gen “khusus” penyebab ADHD, tetapi interaksi
dari berbagai gen dan factor lingkunganlah yang menyebabkan simptom-simptom
ADHD.9
19
Rokok adalah pemicu tersering terjadinya ADHD pada anak setelah paparan
timbal dan didukung adanya genetic atau keturunan. Asap rokok yang mengandung
gas CO atau Carbon Monoksida membuat seseorang yang menghirupnya mengalami
hipoksia pada jaringan otak akibat oksigen yang dialirkan darah ke otak terhambat
oleh sifat CO atau Carbon Monoksida yang mengikat oksigen. Hal ini membuat otak
mengalami kerusakan sedikit demi sedikit hingga dapat membuat jaringan otak
menjadi mati. Pada seorang balita kerusakan jaringan otak tersebut dapat berdampak
pada kontroling emosi dan pemusatan perhatian hingga mudah teralihkan karena
stimulus yang diberikan ke otak tidak terkirim dengan benar. Merokok di samping
balita (bayi di bawah lima tahun). Asap yang terhirup selama 1 jam setiap hari oleh
balita tersebut berisiko menimbulkan penyakit ADHD (attention deficit hyperactive
disorder) atau gangguan pemusatan perhatian saat ia tumbuh dewasa (tiga sampai dua
belas tahun) dan berangsur-angsur menghilang ketika dia berumur lebih dari 12
tahun.9
sebagai berhenti, dukungan, tindak lanjut atau kambuh dan Rujuk penelepon ke
layanan tatap muka.25
3. Intervensi Farmakologis
Pengguna tembakau yang mengalami kesulitan berhenti menggunakan
tembakau sendiri atau melalui intervensi singkat karena gejala penarikan dan
keinginan akan mendapat manfaat dari intervensi farmakologis untuk meningkatkan
keberhasilan penghentian mereka. Intervensi farmakologis meliputi:25,26
1)Terapi Penggantian Nikotin/Nicotine Replacement Therapies
Nicotine Replacement Therapies (NRT) menyediakan nikotin untuk
mengurangi gejala lekas marah, cemas, sulit berkonsentrasi, disforia, kelaparan,
penambahan berat badan, dan gangguan tidur, yang terjadi ketika perokok berhenti
merokok. Namun, NRT tidak meniru efek merokok yang menyenangkan, sebagian
karena nikotin diserap lebih lambat dan menghasilkan konsentrasi nikotin di darah
yang lebih rendah daripada rokok, sehingga mengurangi efek yang menyenangkan.
NRT juga dapat mengurangi kepuasan dari merokok sebatang rokok jika ada
selang.26Beberapa NRT yang tersedia meliputi:
a. Permen nikotin: Menghadirkan nikotin melalui lapisan mulut, kunyah sebentar
sampai mulut terasa gatal, lalu letakkan permen karet di dalam pipi sampai
kesemutan memudar. Ulangi mengunyah setiap kali kesemutan memudar. Buang
permen karet setelah 30 menit penggunaan. Gunakan 1 potong per jam (Maks: 24 /
hari).25,26
b. Inhaler nikotin: Menghadirkan nikotin melalui lapisan hidung, Buang ke mulut /
tenggorokan sampai mengidam mereda.Jangan menghirup paru-paru.Ganti kartrid
saat rasa nikotin hilang.Gunakan 1 kartrid setiap 1-2 jam (Maks: 16 / hari).
c. Tablet hisap nikotin: Menghadirkan nikotin melalui lapisan mulut, Tempatkan di
antara gusi dan pipi, biarkan meleleh perlahan. Gunakan 1 buah setiap 1-2 jam
(Maks: 20 / hari).
d. Semprotan nikotin: Menghadirkan nikotin melalui lapisan hidung, gunakan 1
semprotan untuk setiap lubang hidung. Gunakan semprotan setiap 1-2 jam. (Maks:
80 / hari).
e. Patch nikotin: Menghasilkan nikotin melalui kulit, Oleskan patch baru setiap pagi
untuk kulit kering. Dosis awal: 21 mg untuk pemakaian sebelumnya > 10 rokok per
hari.14 mg untuk pemakaian sebelumnya <10 rokok per hari. Setelah 6 minggu,
23
opsi untuk mengurangi dosis untuk 2-6 minggu. Gunakan maksimal 3bulan.Setelah
6 minggu, lanjutkan dosis asli atau dosis yang lebih rendah.25,26
B. Bupropion
Bupropion adalah obat pelepasan jangka panjang yang mengurangi penarikan
gejala dari nikotin. Kerjanya pada bahan kimia di otak yang berhubungan dengan
keinginan nikotin, tetapi tidak mengandung nikotin. Ini efektif untuk kedua jenis
kelamin dan telah terbukti membantu penghentian pada pasien depresi. Pengobatan
dengan bupropion dimulai saat pengguna masih menggunakan tembakau, satu minggu
sebelum tanggal berhenti.26
Tablet diminum setidaknya 7 minggu hingga 12 minggu. Interval minimal 8
jam antara dosis yang sama, disarankan upaya berhenti harus terjadi selama minggu
ke 2. Dosis diberikan 150 mg/tab secara berkelanjutan, 150 mg/ hari setiap pagi untuk
3 hari pertama dan dilanjutkan 300 mg / hari yang diberikan 150 mg dua kali sehari
(pagi dan sore). Bupropion disetujui untuk penggunaan 12 minggu, tetapi pengobatan
yang diperpanjang untuk 1 tahun mengurangi tingkat kekambuhan setelah
24
penghentian awal dalam 1 studi. Terapi kombinasi dengan bupropion dan patch
nikotin lebih efektif daripada bupropion saja atau NRT saja. Bupropion juga telah
dipelajari dalam kombinasi dengan varenicline, menunjukkan tingkat berhenti yang
meningkat secara signifikan pada 12 dan 26 minggu tetapi tidak pada 52 minggu.26
Uji coba terkontrol secara acak EAGLES (Evaluating Adverse Events in a
Global Smoking Cessation Study), yang mencakup lebih dari 8.000 perokok. Mereka
membandingkan varenicline, bupropion, nikotin, dan plasebo yang diberikan selama
12 minggu bersama dengan konseling singkat. Tingkat berhenti terus menerus dari
minggu ke 9 hingga 24 adalah: varenicline (21,8%); bupropion (16,2%); patch nikotin
(15,7%); dan plasebo (9,4%).26
2.3.5 Prognosis
Keberhasilan seseorang dalam usahanya untuk tidak merokok ditentukan oleh
sejauh mana niatnya untuk berhenti merokok. Niat yang kokoh untuk berhenti
merokok secara total akan menguatkan perokok untuk mengontrol perilakunya dalam
kondisi apapun pada saat akan melakukan aktivitas merokok. Lain halnya dengan
yang hanya berniat untuk mengurangi jumlah batang rokok yang dikonsumsi.
Seseorang sulit berhenti merokok adalah faktor nikotin, bila nikotin masih terkandung
dalam tubuh dan belum lepas secara total, maka kemungkinan merokok lagi sewaktu-
sewaktu bisa terjadi. Niat untuk berhenti merokok itu sendiri masih dipengaruhi oleh
faktor dukungan sosial untuk menghentikan perilaku merokok. Apabila lingkungan
sosialnya menolak dan tidak senang terhadap rokok maka individu akan merasa
mampu merealisasikan niatnya untuk berhenti merokok semakin kuat. Sebaliknya,
jika lingkungannya sesama perokok maka bagi perokok yang berencana berhenti
merokok supaya memberitahukan kepada lingkungan sosialnya, terutama orang
terdekat yaitu orang tua dan teman-teman, sehingga mereka nantinya akan
mendukung dan menghargai usaha perokok tersebut. 27
Oleh karena itu, langkah terbaik bagi perokok yang ingin menghentikan
kebiasaan merokoknya ialah memiliki niat berhenti merokok secara total, memilki
lingkungan social yang mendukung, serta dipandu tenaga kesehatan untuk tahap
berhenti merokok dan tatalaksana pemberian obat jika diperlukan. Dengan demikian,
pasien adiksi rokok dengan gangguan jiwa akan berhasil berhenti merokok.27
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
1. World lung foundation. The Tobacco Atlas, 5th ed. Atlanta. World Med Heal
Policy. 2015;
2. WHO. Global Youth Tobacco Survey (GYTS): Indonesia report 2014. Who-
Searo. 2015.
3. Suryantisa I. Tembakau di Indonesia. Situasi Umum Konsumsi Temabakau di
Indones. 2018;06–7.
4. Safitri E, Widodo D, Widiani E. Hubungan Antara Frekuensi Merokok Dengan
Tingkat Stres Pada Remaja Akhir. Nurs News (Meriden). 2019;4:118–23.
5. Kemenkes RI. Pentingnya Peran Keluarga, Institusi dan Masyarakat
Kendalikan Gangguan Kesehatan Jiwa. Kemenkes RI. 2016;
6. Kemenkes RI. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). J Phys A
Math Theor. 2018;44:1–200.
7. Causes P, Smokingnicotine IOF, Evidence E. Depression. In: Nicotine and
Other Tobacco Compounds in Neurodegenerative and Psychiatric Diseases.
London: Academic Press; 2018. p. 51–6.
8. Xia W, Phillips B, Wong ET, Ho J, Oviedo A, Hoeng J. Anxiety. In: Nicotine
and Other Tobacco Compounds in Neurodegenerative and Psychiatric
Diseases. London: Academic Press; 2018. p. 57–60.
9. Rusnoto, Kudus M. Hubungan pola asuh dan riwayat merokok dengan resiko
attention deficit hyperactivity disorder (adhd) pada anak pra sekolah di tk
kasian. 2016;7:1–7.
10. Heriyani R. Kumpulan Undang - Undang dan Peraturan Pemerintah Republik
indonesia Khusus Kesehatan. Sekr Negara Republik Indones. 2014;
11. Larasati A. Perpedaan Derajat Keasaman( pH ) Saliva pada Perokok Kretek
dan Non Kretek. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta; 2016.
12. Amalia P. Hubungan Perilaku Merokok Dan Vaping Terhadap Kejadian Gejala
Depresi Pada Pelajar Slta Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017. 2019;
13. Rochayati AS, Hidayat E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Merokok Remaja Di Sekolah Menengah Kejuruan Kabupaten Kuningan.
Jurnal Keperawatan Soedirman. 2015.
14. Liem A. Pengaruh Nikotin Terhadap Aktivitas Dan Fungsi Otak Serta
Hubungannya Dengan Gangguan Psikologis Pada Pecandu Rokok. Bul Psikol.
2016;18:37–50.
15. Setiawati A. Suatu Kajian Molekuler Ketergantungan Nikotin. Farm Sains dan
Komunitas. 2013;10:121–7.
16. Stuart GW. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. International
Journal of Social Psychiatry. 2016.
26
17. American Psychiatric Association. American Psychiatric Association:
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition. Arlington.
2013.
18. Rinawati F, Alimansur M. Analisa Faktor Faktor Penyebab Gangguan Jiwa
Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Stress Struart. Keperawatan. 2016;
19. Yusuf, A.H F, ,R & Nihayati H. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku
Ajar Keperawatan Kesehat Jiwa. 2015;
20. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. Wolters Kluwer, Philadelphia, Pa. 2015.
21. Yosep, H. I., dan Sutini T. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental
Health Nursing. Refika Aditama. 2016.
22. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ - III dan
DSM - 5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. Jakarta; 2013.
23. Xia W, Phillips B, Wong ET, Ho J, Oviedo A, Hoeng J. Schizophrenia. In:
Nicotine and Other Tobacco Compounds in Neurodegenerative and Psychiatric
Diseases. London: Academic Press; 2018. p. 1–6.
24. Kutlu MG, Parikh V, Gould TJ. Nicotine Addiction and Psychiatric Disorders.
In: International Review of Neurobiology [Internet]. 1st ed. Texas: Elsevier
Inc.; 2015. p. 171–208. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/bs.irn.2015.08.004
25. Agyemang K. Smoking Cessation Clinical Guidelines for Ghana. Ghana; 2017.
1–32 p.
26. Barua RS, Rigotti NA, Benowitz NL, Cummings KM, Jazayeri MA, Morris
PB, et al. 2018 ACC Expert Consensus Decision Pathway on Tobacco
Cessation Treatment: A Report of the American College of Cardiology Task
Force on Clinical Expert Consensus Documents. J Am Coll Cardiol.
2018;72:3332–65.
27. Rosita R, Suswardany DL, Abidin Z. Penentu Keberhasilan Berhenti Merokok
Pada Mahasiswa. Unnes - J Kesehat Masy. 2012;8:1–9.
27
1
1