Anda di halaman 1dari 65

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUTAN PSIKOSOSIAL PADA

PENYINTAS YANG MENGALAMI KDRT, MASALAH FISIK DAN


PENYALAHGUNAAN NAPZA

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1

Febriyanti 196070300111006
Devanda Faiqh Albyn 196070300111008
Amin Aji Budiman 196070300111020
Ratna Wulandari 196070300111024

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Salam sejahtera bagi kita semua.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena
hanya dengan taufiq dan hidayahNya kami dapat mengikuti materi kuliah Ilmu
Keperawatan Kesehatan Jiwa dengan sebaik-baiknya. Untuk meningkatkan
pemahaman kami mengenai materi penerapan teori dan model konseptual dalam
keperawatan jiwa lanjutan pada masalah psikososial pada penyintas yang
mengalami KDRT, masalah fisik dan penyalahgunaan NAPZA, Semoga tugas ini
membawa manfaat bagi kita semua.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu kami,
yaitu:.
- Dr. Heni Dwi Windarwati., M.Kep, Sp. Kep. J yang telah memberikan
bimbingan sehingga kami dapat menyusun tugas dengan sebaik mungkin
- Teman-teman kelompok dan PSMK peminatan jiwa yang telah
memberikan dukungan dan semangat kepada kami.
Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Demikian kata
pengantar ini, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada tulisan atau kalimat
yang salah dalam tugas ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, 25 Februari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................5
1.1 Latar belakang............................................................................................5
1.2 Tujuan.........................................................................................................6
1.3 Manfaat.......................................................................................................6
BAB II ISI...........................................................................................................7
2.1 Domestic Violence......................................................................................7
2.2 Pengkajian Domestic Violence...................................................................8
2.3 Efek KDRT...............................................................................................10
2.4 Intervensi..................................................................................................10
2.5 Klasifikasi.................................................................................................12
2.6 Implementasi.............................................................................................17
2.7 Masalah fisik.............................................................................................20
2.8 Perawatan psikososial dan kesehatan jiwa...............................................24
2.9 Menejemen gejala dan perawatan paliatif................................................25
2.10 Mempersiapkan kematian.......................................................................25
2.11 NAPZA...................................................................................................25
2.12 Pemeriksaan NAPZA..............................................................................29
2.13 Faktor presdiposisi..................................................................................31
2.14 Factor presipitasi.....................................................................................34
2.15 Penilaian terhadap stressor.....................................................................35
2.16 Sumber koping........................................................................................35
2.17 Mekanisme koping..................................................................................36
2.18 Intervensi Keperawatan..........................................................................36
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................42
3.1 Analisa Data dan diagnosa Keperawatan.................................................45

3
3.2 Intervensi Keperawatan Spesialis.............................................................45
3.3 Prinsip Etik dan Hukum yang harus diperhatikan dalam memberikan
terapi...............................................................................................................54
BAB IV PENUTUP...........................................................................................58
4.1 Kesimpulan...............................................................................................58
4.2 Saran.........................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................60

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Gangguan jiwa adalah suatu penyimpangan proses pikir, alam perasaan,
dan prilaku seseorang, yang disebabkan oleh gangguan pada fungsi sosial,
psikologis, genetik, fisik/kimiawi, atau biologis. (Indrawati, Sulistiowati, &
Nurhesti, 2019) tren gangguan kesehatan jiwa saat ini banyak dilatar belakangi
oleh penyalahgunaan alkohol, zat adiktif, dan beberapa kondisi penyakit seperti
penyakit kronis maupun penyakit infeksi salah satunya adalah HIV/AIDS.
(Pitaloka Priasmoro, 2016) berdasarkan data dari (National Alliance on Mental
Illness (NAMI), 2019) Sekitar 1 dari 5 orang dewasa di AS 43,8 juta, atau 18,5%
mengalami penyakit mental pada tahun tertentu. Sekitar 1 dari 25 orang dewasa di
AS 9,8 juta, atau 4,0% mengalami penyakit mental serius pada tahun tertentu
yang secara substansial mengganggu atau membatasi satu atau lebih aktivitas
kehidupan utama. Sekitar 1 dari 5 remaja berusia 13-18 (21,4%) mengalami
gangguan mental yang parah di beberapa titik selama hidup mereka. Untuk anak
usia 8-15 tahun, perkiraannya adalah 13%.Sekitar 20% anak-anak dan remaja AS
dipengaruhi oleh gangguan kesehatan mental selama masa hidup mereka.
Seringkali, gejala gangguan kecemasan muncul pada usia 6, gangguan perilaku
pada usia 11, gangguan suasana hati pada usia 13, dan gangguan penggunaan zat
pada usia 15. 15% siswa sekolah menengah telah secara serius
mempertimbangkan untuk bunuh diri, dan 7% telah berusaha untuk mengambil
kehidupan mereka sendiri. Gangguan kesehatan mental di antara anak-anak dan
remaja dapat menyebabkan kegagalan sekolah, alkohol atau penyalahgunaan obat-
obatan lainnya dimana obat yang disalahgunakan dapat mengubah pemikiran dan
penilaian seseorang, yang mengarah pada risiko kesehatan, termasuk kecanduan,
mengemudi dalam keadaan mabuk dan penyakit menular(National Institute on
Drug Abuse, 2018), pertikaian keluarga, kekerasan, dan bunuh diri. 1,1% orang
dewasa di AS hidup dengan skizofrenia. 2,6% orang dewasa di AS hidup dengan

5
gangguan bipolar. 6,9% orang dewasa di AS 16 juta memiliki setidaknya satu
episode depresi besar dalam setahun terakhir. 18,1% orang dewasa di A.S.
mengalami gangguan kecemasan seperti gangguan stres pascatrauma, gangguan
obsesif-kompulsif, dan fobia spesifik. Di antara 20,2 juta orang dewasa di AS
yang mengalami gangguan penggunaan narkoba, 50,5% . 10,2 juta orang dewasa
memiliki penyakit mental yang terjadi bersamaan. Hampir 15% wanita yang baru
melahirkan melaporkan gejala depresi pascapersalinan dan Lebih dari 10 juta
rumah tangga di AS setiap tahun, Satu perempuan meninggal setiap bulan di
Indonesia di tangan suami mereka. 11,4% dari 24.000.000 wanita mengalami
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang saat ini dianggap sebagai masalah
kesehatan masyarakat yang serius dan luas yang terjadi di lebih dari 10 juta rumah
tangga di AS setiap tahun. Kekerasan dalam rumah tangga digambarkan sebagai
pola kompleks dari pelecehan fisik, seksual, emosional, psikologis, dan / atau
ekonomi (Walker & Conte, 2018). Sedangkan pada lansia Penyakit Alzheimer
adalah di antara 10 penyebab utama kematian di Amerika Serikat. Ini adalah
penyebab kematian nomor 6 di antara orang dewasa Amerika dan penyebab
kematian nomor 5 untuk orang dewasa yang berusia 65 tahun ke atas. Dan Di
antara penghuni panti jompo, 18,7% orang berusia 65 hingga 74 tahun, dan 23,5%
orang berusia 85 tahun ke atas telah melaporkan penyakit mental. Berdasarkan
data – data diatas bisa dipahami jika pasien dengan penyakit fisik dan mental
mengalami kompleksitas masalah kesehatan yang lebih besar.(Avery, Schreier, &
Swanson, 2020)
https://www.healthypeople.gov/2020/leading-health-indicators/2020-lhi-topics/
Mental-Health/determinants

1.2 Tujuan
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami penatalaksanaan
asuhan keperawatan keperawatan jiwa lanjutan pada masalah
psikososial KDRT, masalah fisik dan NAPZA
2. Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi jenis terapi spesialis
yang dapat diterapkan pada dengan masalah psikososial KDRT,
masalah fisik dan NAPZA

6
1.3 Manfaat
1. Hasil penulisan tugas ini dapat menjadi kajian terori bagi mahasiswa
dalam melakukan penatalaksanaan asuhan keperawatan keperawatan jiwa
lanjutan pada masalah psikososial KDRT, masalah fisik dan NAPZA

BAB II
ISI

2.1 Domestic Violence


Kekerasan dalam Domestic Violence (DV) atau kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) berdampak pada kesehatan mental (Mengo et al., 2020). Lebih dari 10
juta rumah tangga di AS setiap tahun, Satu perempuan meninggal setiap bulan di
Indonesia di tangan suami mereka. 11,4% dari 24.000.000 wanita mengalami
kekerasan dalam rumah tangga. 90% dari 54.425 serangan terhadap perempuan
pada 2008 adalah kekerasan dalam rumah tangga. 40 - 70% kematian akibat
pembunuhan di kalangan wanita disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga
oleh mantan pasangannya. 15 situs di sepuluh negara: bangladesh, brazil, ethiopia,
jepang, nambia, peru, samoa, serbia, montenegro, thailand dan taznia: 15% - 71%
wanita melaporkan kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan. itu didukung oleh
meningkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga di Eropa, ada tiga jenis
KDRT : penyalahgunaan pasangan intim, penganiayaan anak, dan pelecehan
orang tua (Yosep, 2016) Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga
adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan
seksual, maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan, baik
penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak korban menjadi sangat
trauma atau mengalami penderitaan secara psikis (Yusuf, Fitryasari, & Nihayati,
2015). Kekerasan dalam rumah tangga digambarkan sebagai pola kompleks dari
pelecehan fisik, seksual, emosional, psikologis, dan / atau ekonomi yang
dimaksudkan untuk mendapatkan kekuasaan dan kontrol terhadap pasangan intim
saat ini atau mantan. Hal Ini melintasi semua batas sosiodemografi dan
mempengaruhi individu dari berbagai usia, ras, etnis, latar belakang budaya,
orientasi seksual, afiliasi agama, dan status sosial ekonomi. Banyak literatur yang

7
mengatakan bahwa laki-laki adalah pelaku utama dan perempuan adalah korban
utama. Bahkan, penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat viktimisasi
kekerasan dalam rumah tangga hampir lima kali lebih tinggi untuk wanita. Tidak
hanya perempuan lebih mungkin menjadi korban, tetapi mereka juga lebih
mungkin mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga, terluka
parah dan membutuhkan perhatian medis, dan menderita konsekuensi jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih besar sebagai akibatnya. Konsekuensi
buruk dari kekerasan dalam rumah tangga tidak terbatas pada individu yang
dilecehkan tetapi meluas ke seluruh rumah tangga. Sebagian besar perempuan
yang dilecehkan memiliki anak-anak kecil dan lebih dari 15 juta anak-anak
terpapar dengan kekerasan dalam rumah tangga setiap tahun. Setengah dari anak-
anak ini tinggal di rumah tangga yang ditandai dengan kekerasan dalam rumah
tangga yang parah dan kronis. Masyarakat juga menderita dari beban ekonomi
kekerasan dalam rumah tangga yang diperkirakan menelan biaya miliaran dolar
dalam layanan kesehatan dan kehilangan produktivitas setiap tahun (Walker &
Conte, 2018). Kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar masih tersembunyi
karena konteks intim di mana itu terjadi. Meskipun upaya pemberantasan
kekerasan dalam rumah tangga terus berlanjut yang menyebabkan kerusakan fisik,
psikologis, sosial, dan ekonomi yang meluas pada individu, keluarga, komunitas,
dan masyarakat secara keseluruhan, Ada juga yang menyebabkan dampak pada
kesehatan mental yang kronis, parah, dan seringkali jangka panjang bagi para
korban. (Howard, Trevillion, & Agnew-Davies, 2010)

2.2 Pengkajian Domestic Violence


Faktor Predisposisi
Biologis
a. Latar belakang genetik : keturunan psikotik, riwayat kembar mozygot,
kelainan kromosom 6,4,8,5 dan 22
b. Stastus nutrisi : riwayat gangguan nutrisi (KEP.malnutrisi,obesitas)
c. Kondisi kesehatan secara umum : tidak memiliki gangguan kesehatan
d. Sensitivitas biologi : kadar dopamin seimbang dengan serotonin, GABA,
asetikolin di SSP (substantia Nigra, midbrain, hipotalamus-pituitari)

8
e. Paparan terhadap racun : tidak terpapar mercury, insektisida, tidak terjadi
keracunan dan penyalahgunaan zat
Psikologis
a. Intelegensi : IQ normal 90-100
b. Keterampilan komunikasi : mampu berkomunikasi verbal dan non verbal
dengan baik
c. Moral : bertindak berdasarkan hati nurani berdasarkan prinsip – prinsip
etika dan moral lingkungan
d. Kepribadian : struktur ego seimbang, ego memiliki kekuatan untuk
mengontrol insting dari id dan untuk menahan hukuman super ego
e. Pengalaman masa lalu : tidak ada riwayat penganiayaan, penyalahgunaan
obat/alkohol
f. Konsep diri : konsep diri positif
g. Motivasi : motivasi hidup tinggi

Faktor Presipitasi
Nature
a. faktor – faktor biologis
- status nutrisi, kesehatan umum, sensitivitas biologi, paparan terhadap
racun
b. faktor – faktor psikologis
- Intelegensi, Keterampilan komunikasi, Moral, Kepribadian, Pengalaman
masa lalu, Konsep diri, Motivasi, pertahanan psikologi (kebiasaan koping
positif), dan solf kontrol (mampu menaha diri terhadap dorongan yang
kurang positif, melakukan hal – hal positif
c. Faktor – faktor sosiobudaya
- Usia : riwayat kekerasan, traumatic, pola asuh sepanjang rentang usia
- Pendidikan : mempunyai latar belakang pendidikan formal maupun non
formal yang adekuat untuk dirinya
- Pendapatan : mempunyai pendapat (produktif secara ekonomi) yang cukup
sesuai dengan standart dirinya dan tidak bergantung pada orang lain atau
pasangan

9
- Pekerjaan : puas dan percaya diri dengan pekerjaan yang dimiliki
- Status sosial : ikut serta dalam kegiatan bermasyarakat
- Latar belakang Budaya : tidak memiliki nilai budaya yang bertentangan
dengan nilai kesehatan
- Agama dan keyakinan : memiliki keyakinan dalam hidupnya, menjalankan
ibadah sesuai agamanya
- Keikutsertaan dalam politik : berpatisipasi dalam kegiatan politik secara
sehat dan sportif
- Pengalaman sosial : berpatisipasi dalam kegiatan kemasyarakat
- Peran sosial : memperhatikan dan menyayangi seluruh anggota keluarga.

2.3 Efek KDRT


a. efek pada kekerasan fisik
pola karakteristik cedera, tertuma di kepala, leher, wajah, tenggorokan, dan organ
seksual, dapat dilihat ketika srangan fisik, penyekapan, atau pelecehan seksual
yang telah dilakukan. Luka fisik dapat terlihat de beberapa tempat dan dalam
berbagai tahapan penyembuhan. Wanita dengan KDRT kemungkina besar
mengalami rersiko kelahiran bayi prematur dan BBLR .
b. efek psikologis
trauma akibat penganiayaan dapat menyebabka gejal psikotik. Resiliensi, pola
kaping yang berhasil mengatasi masalah meskipun keadaan menantang atau
mengancam, bisa dapat mencegah seseorang dari efek psikologis yang serius.
c.Efek pada perilaku Kesehatan
Seorang wanita yang menjadi korban dari pasangannya akan cenderung sulit
untuk pergi meninggalkanpasangannya, dikarenaan adanya ancaman diintai
bahkan sampai dibunuh sehingga hidupnya tidak tenang dan terancam. Terlebih
jika pasangan ini mempunyai anak, kebanyakan mereka yanng berpisah sementara
akan tetapi tidak lama kemudian kembali berkumpul dikarenakan alasan seorang
anak (Gail W. Stuart, Budi Anna Keliat, 2016)

2.4 Intervensi
Tindakan keperawatan pencegahan

10
Pencegahan melalui pendidikan kesehatan pada masyarakat, mengidentifikasi
faktor risiko kekerasan, dan mendeteksi kejadian aktual dari KDRT
1. Pencegahan primer : memperkuat individu, keluarga, dan komunitas
sehingga mereka dapat menyalurkan stress dengan efektif dan
menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Selain itu masyarakat harus
mengembangkan program dan peraturan untuk mendukung keluarga dan
mengurangi stress dan ketidakadilan.
2. Pencegahan sekunder : yakni berusaha melibatkan keluarga dalam
indentifikasi resiko kekerasan, pengabaian, atau pemerasan, serta
pendeteksian bagi mereka yang mengalami pelecahan dan mulai mengarah
kekrasan. Indikator awal dari keluarga beresiko KDRT berasal dari salah
satu pihak, masalah komunikasi, dan stres keluarga yang berlebihan,
seperti kehamilan yang tidak terencana, pengangguran, atau sumber
keluarga yang tidak adekuat.
3. Pencegahan tersier : terdiri dari kegiatan keperawatan yang menyediakan
kebutuhan secara cepat dan dalam jangka panjang bagi orang yang selamat
saat masa pemulihan dari kejadian yang pernah mereka alami. Suber
hukum untuk melawan pelaku, jadi seorang perawat harus mengatahui
peraturan hukum di negaranya karena tindakan yang dilakukan pelaku
melanggar hukum. (Gail W. Stuart, Budi Anna Keliat, 2016)
4. Pendidik Institusi pendidikan dari jenjang SD sampai dengan SMA
memiliki andil yang penting dalam usaha pencegahan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
5. Penegak hukum dan keamanan Pemerintah bersama penegak hukum juga
memiliki peran yang lebih kuat melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, BAB II Pasal 2 yang menyatakan, “Anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangan secara wajar”. Selain itu,
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi siapapun untuk boleh
melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

11
6. Media massa Media massa sebaiknya menampilkan berita kekerasan yang
diimbangi dengan artikel pencegahan dan penanggulangan dampak
kekerasan yang diterima korban jangka panjang atau pendek, sehingga
masyarakat tidak menjadikan berita kekerasan sebagai inspirasi untuk
melakukan kekerasan

2.5 Klasifikasi
Terdapat beberapa tipe kekerasan dalam rumah tangga yaitu:

1. Kontrol. Mengontrol perilaku adalah cara bagi penganiaya untuk


mempertahankan dominasi atas korban. Pelaku umumnya memiliki
keyakinan bahwa tindakan pengontrolan yang dilakukannya adalah benar.
Beberapa perilaku yang termasuk ke dalam kategori ini adalah:
a. Memeriksa jarak tempuh pada odometer setelah korban menggunakan
mobil. Melakukan pemantauan panggilan telepon dengan
menggunakan ID pemanggil atau perangkat pemantauan nomor
lainnya, tidak mengizinkan korban untuk melakukan atau menerima
panggilan telepon.
b. Tidak mengizinkan korban beas memilih dalam hal gaya pakaian atau
gaya rambut. Hal ini mungkin termasuk memaksa korban untuk
berpakaian dengan cara tertentu seperti lebih menggoda atau lebih
konservatif dan tidak memperhatikan kenyamanan korban.
c. Menelepon atau pulang ke rumah secara tiba-tiba untuk memeriksa
korban. Kegiatan ini awalnya mungkin dimulai sebagai perilaku yang
menunjukkan kasih sayang, tetapi hal ini dapat menjadi tanda
kecemburuan atau posesif.
d. Menyerang privasi korban dengan tidak memberikan waktu dan ruang
sendiri.
e. Memaksa atau mendorong sikap ketergantungan korban pada pelaku
dengan membuat korban percaya bahwa mereka tidak mampu bertahan
atau melakukan tugas-tugas sederhana sendirian.
f. Menggunakan anak-anak untuk mengendalikan orang tua korban
dengan menggunakan anak-anak sebagai mata-mata, mengancam akan

12
membunuh, melukai atau menculik anak-anak, pelecehan fisik dan /
atau seksual anak-anak, dan ancaman untuk memanggil Departemen
Keselamatan Anak (DCS) jika orang tua korban memutuskan
hubungan.
2. Penganiayaan Fisik. Penganiayaan fisik adalah perilaku agresif secara
fisik, menahan kebutuhan fisik, melakukan perilaku yang membahayakan
fisik secara tidak langsung, atau ancaman penganiayaan fisik. Beberapa
perilaku yang termasuk ke dalam kategori ini adalah:
a. Memukul, menendang, menggigit, menampar, mengguncang,
mendorong, menarik, meninju, mencekik, memukul, menggaruk,
mencubit, mencabut rambut, menusuk, menembak, menenggelamkan,
membakar, memukul dengan benda, mengancam dengan senjata, atau
mengancam akan melakukan serangan fisik.
b. Menahan kebutuhan fisik termasuk memberikan gangguan saat korban
tidur atau makan, menolak memberikan uang, makanan, transportasi,
atau membantu jika korban sakit atau terluka, mengunci korban di
dalam atau di luar rumah, menolak untuk memberi kebutuhan.
c. Menyalahgunakan, melukai, atau mengancam akan melukai orang lain
seperti anak-anak, hewan peliharaan, atau properti khusus.
d. Pengekangan fisik secara paksa terhadap kehendak korban, seperti
menjebak korban di sebuah ruangan atau memblokir pintu keluar.
e. Pelaku memukul atau menendang dinding, pintu, atau benda mati
lainnya selama pertengkaran, melemparkan benda-benda saat marah,
merusa harta benda.
f. Menyandera korban.
3. Pelecehan Seksual: Pelecehan seksual menggunakan seks secara
eksploitatif atau memaksa seks pada orang lain. Setelah menyetujui
aktivitas seksual di masa lalu tidak menunjukkan persetujuan saat ini.
Pelecehan seksual dapat melibatkan perilaku verbal dan fisik. Ini mungkin
termasuk, tetapi tidak terbatas pada:
a. Menggunakan kekerasan, paksaan, rasa bersalah, atau manipulasi atau
tidak mempertimbangkan keinginan korban untuk berhubungan seks.

13
Hal ini mungkin termasuk membuat korban berhubungan seks dengan
orang lain, memiliki pengalaman seksual yang tidak diinginkan, atau
membuat korban terlibat dalam pelacuran tanpa persetujuan korban.
b. Mengeksploitasi korban yang tidak dapat membuat keputusan tentang
keterlibatan dalam aktivitas seksual karena tertidur, mabuk, dibius,
cacat, terlalu muda, terlalu tua, atau bergantung pada pelaku atau takut
pada pelaku.
c. Tertawa atau mengolok-olok seksualitas korban atau tubuh korban,
membuat pernyataan ofensif, menghina, atau memanggil sebutan
tertentu yang berhubungan dengan preferensi / perilaku seksual
korban.
d. Melakukan kontak dengan korban dengan cara non-konsensual,
termasuk penetrasi yang tidak diinginkan (oral, anal atau vagina) atau
menyentuh (membelai, mencium, menjilat, mengisap atau
menggunakan benda-benda) pada bagian tubuh korban.
e. Memperlihatkan kecemburuan berlebihan dan melakukan tuduhan
palsu kepada korban bahwa korban melakukan perselingkuhan dan
mengendalikan perilaku untuk membatasi kontak korban dengan dunia
luar.
f. Berselingkuh dengan orang lain dan menggunakan informasi itu untuk
mengejek korban.
g. Menolak permintaan melakukan hubungan intim dari korban sebagai
salah satu mekanisme kontrol.
4. Pelecehan Emosional & Intimidasi. Pelecehan emosional adalah setiap
perilaku yang mengeksploitasi kerentanan, rasa tidak aman, atau karakter.
Perilaku seperti itu meliputi degradasi terus-menerus, intimidasi,
manipulasi, cuci otak, atau mengontrol korban. Beberapa perilaku yang
termasuk ke dalam kategori ini adalah:
a. Menghina atau mengkritik untuk melemahkan kepercayaan diri
korban. Hal ini termasuk melakukan penghinaan di ruang publik.
b. Mengancam atau menuduh, baik secara langsung atau tidak langsung,
dengan maksud untuk menyebabkan kerugian emosional atau kerugian

14
fisik. Misalnya, mengancam akan membunuh korban atau melakukan
bunuh diri atau keduanya.
c. Menggunakan pernyataan atau perilaku yang memutarbalikkan realitas
sehingga menciptakan kebingungan dan rasa tidak aman pada korban
seperti mengatakan satu hal namun melakukan hal lain, menyatakan
fakta yang tidak benar sebagai kebenaran, dan mengabaikan untuk
menindaklanjuti niat yang dinyatakan. Hal ini dapat mencakup
menyangkal pelecehan yang terjadi dan / atau memberi tahu korban
bahwa mereka mengarang pelecehan tersebut. Hal tersebut mungkin
juga termasuk membuat perilaku aneh seperti menyembunyikan kunci
rumah korban dan memarahi korban karena telah kehilangan kuncinya.
d. Mengabaikan permintaan dan kebutuhan korban secara konsisten.
e. Menggunakan tindakan, pernyataan atau gerak tubuh yang menyerang
harga diri korban dengan maksud untuk mempermalukan korban.
f. Memberitahu korban bahwa dia memiliki masalah mental atau tidak
kompeten.
g. Memaksa korban untuk mengonsumsi narkoba atau alkohol.
h. Tidak membiarkan korban mempraktikkan keyakinan agama mereka,
mengisolasi korban dari komunitas agama, atau menggunakan agama
sebagai alasan untuk pelecehan.
i. Menggunakan segala bentuk paksaan atau manipulasi untuk
melemahkan korban.
5. Isolasi. Isolasi adalah bentuk pelecehan yang umumnya bertujuan untuk
mengontrol perilaku korban. Pelaku melarang korban menemui siapa yang
ingin mereka temui, melakukan apa yang ingin mereka lakukan,
menetapkan dan memenuhi tujuan, dan mengendalikan bagaimana korban
berpikir dan merasakan. Pelaku akan menyisihkan korban dari sumber
daya (pribadi dan publik) yang dapat membantu korban meninggalkan
hubungan dengan pelaku. Dengan menjaga agar korban terisolasi secara
sosial, pelaku menjaga korban dari kontak dengan dunia luar yang
mungkin tidak akan memperkuat persepsi dan kepercayaan pelaku bahwa
tindakannya adalah benar. Isolasi sering dimulai sebagai ekspresi cintanya

15
kepada korban dengan pernyataan seperti "jika Anda benar-benar
mencintaiku, Anda ingin menghabiskan waktu bersama saya, bukan
keluarga Anda". Seiiring berjalannya waktu, perilaku isolasi meluas,
membatasi atau mengecualikan kontak korban dengan siapa pun kecuali
pelaku. Akhirnya, korban dibiarkan sendirian dan tanpa sumber daya
internal dan eksternal untuk mengubah hidup mereka. Beberapa korban
mengisolasi diri dari sumber daya yang ada dan sistem pendukung karena
malu terhadap memar atau cedera lainnya, perilaku pelaku di depan
umum, atau perlakuan buruk teman atau keluarga pelaku. Mengasingkan
diri juga dapat terjadi karena korban takut terhadap penghinaan di depan
umum atau karena takut membahayakan dirinya sendiri atau orang lain.
Korban juga mungkin merasa bersalah atas perilaku pelaku, kondisi
hubungan, atau berbagai alasan lainnya dimana hal ini tergantung pada
pesan yang diterima dari pelaku.
6. Pelecehan Verbal. Pelecehan verbal adalah bahasa kasar yang digunakan
untuk merendahkan, mempermalukan atau mengancam korban. Beberapa
perilaku yang termasuk ke dalam kategori ini adalah:
a. Mengancam akan melukai atau membunuh korban atau anak-anak
mereka, keluarga, binatang peliharaan, properti atau reputasi.
b. Memanggil korban dengan panggilan yang buruk seperti 'jelek',
'jalang', 'pelacur', atau 'bodoh')
c. Memberitahu korban bahwa mereka tidak menarik atau tidak
diinginkan.
d. Berteriak, menjerit, mengamuk, meneror atau menolak berbicara.
7. Menggunakan Keistimewaan Pria (Male Privilage). Selama budaya
menerima prinsip dan hak istimewa dominasi pria, pria akan terus bersikap
kasar. Empat kondisi budaya yang memungkinkan dan mendorong pria
untuk melecehkan wanita adalah:
a. Objektifikasi perempuan dan keyakinan bahwa perempuan ada untuk
'kepuasan kebutuhan pribadi, seksual, emosional dan fisik pria'.
b. Hak otoritas laki-laki yaitu hak dan kewajiban untuk mengendalikan,
memaksa, dan / atau menghukum kemerdekaan perempuan.

16
c. Bahwa penggunaan kekuatan fisik dapat diterima, tepat, dan efektif.
d. Dukungan masyarakat untuk dominasinya, mengendalikan, dan
perilaku menyerang. Dengan gagal melakukan intervensi agresif
terhadap pelecehan, budaya memaafkan kekerasan.
8. Ekonomi Abuse. Abuse keuangan adalah cara untuk mengendalikan
korban melalui manipulasi sumber daya ekonomi. Beberapa perilaku yang
termasuk ke dalam kategori ini adalah:
a. Mengontrol pendapatan keluarga dan tidak membiarkan korban
mengakses uang atau membatasi akses korban ke dana keluarga.
Pengontrolan juga dapat berupa menyimpan uang secara rahasia atau
memiliki rekening tersembunyi, memberikan korban uang secara
terbatas atau tidak mengizinkan korban menyatakan pendapat
mengenai bagaimana uang dibelanjakan, atau membuat korban
menyerahkan gajinya kepada pelaku. Pelaku dapat membuat korban
kehilangan pekerjaan atau mencegah mereka mendapatkan pekerjaan.
Pelaku dapat membuat korban kehilangan pekerjaan dengan membuat
mereka terlambat untuk bekerja, menolak untuk menyediakan
transportasi ke tempat kerja, atau dengan menelepon atau melecehkan
korban di tempat kerja.
b. Menghabiskan uang untuk keperluan (makanan, sewa, keperluan
umum) untuk barang-barang yang tidak penting (narkoba, alkohol,
hobi.)

2.6 Implementasi
Peran perawat dalam merubah KDRT denagn cara menerapkan teori : Planned
Behaviour theory, fase – fase KDRT dimulai dari build = up phase, menuju stand
over phase, Exploitasion phase, Remorse phase, persuit phase, honey moon phase.
Secara umum, teori ini terbukti didukung oleh bukti empiris. Niat untuk
melakukan perilaku dari berbagai jenis dapat diprediksi dengan akurasi tinggi dari
sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan;
dan niat ini, bersama dengan persepsi kontrol perilaku, menjelaskan perbedaan
yang signifikan dalam perilaku aktual. (Rizzo & Columna, 2020)

17
THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR (TPB) MODEL (Ajen Maden, 1986);
(Walker 1989)

1. Build-up yang biasanya mengarah pada pembentukan dan pembangunan


hubungan yang normal antara pasangan meskipun terjadi peningkatan
ketegangan dan pebedaan pendapat secara adanya insiden verbal.
2. Stand over phase, masing – masing individu berupaya untuk menjaga
keutuhan keluarga. Dan ketegangan buasanya dipicu ofaktor ekonmi,
kehadiran orang ketiga miss komunikasi.
3. Explosion phase tahap ini merupakan ledakan KDRT yang biasanya
menandai punyak gangguan dalam berhubungan. Tahap ini biasanya
ditandai dengan sersngan ktiminal, teror, ancaman serius dan kerusakan
properti.
4. Remorse phase, fase ini merupakan fase penyesalan dimana mereka
merasa malu telah melakukan KDRT dan takut konsekuensi yang mungkin
terjadi.

18
5. Persuit phase, tahap dimana individu melanjutkan hubungan untuk menata
kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat mendorong perubahan kepriadian
yang ramatis dari pelaku.
6. Honey moon phase, fase ini disebut fase bulan madu dari siklus kekerasan,
terjadi penyangkalan tentang bagaimana buruknya pelecehan atau
kekerasan yang sudah terjadi. Kedua pasangan tidak ingin hubungan
meraka berahir. Keduanya merasa senang dan mengabaikan kemungkinan
bahwa kekerasan bisa terjadi lagi.

(Taylor, Bury, & Campling, 2006), http://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/MPH-


Modules/SB/BehavioralChangeTheories/BehavioralChangeTheories3.html

Theory of Planned Behavior (TPB) dimulai sebagai Theory of Reasoned Action


pada tahun 1980 untuk memprediksi niat individu untuk terlibat dalam perilaku
pada waktu dan tempat tertentu. Teori ini dimaksudkan untuk menjelaskan semua
perilaku di mana orang memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol diri.
Komponen kunci untuk model ini adalah niat perilaku; niat perilaku dipengaruhi
oleh sikap tentang kemungkinan bahwa perilaku akan memiliki hasil yang
diharapkan dan evaluasi subyektif dari risiko dan manfaat dari hasil itu.

TPB telah digunakan dengan sukses untuk memprediksi dan menjelaskan


berbagai perilaku dan niat kesehatan termasuk merokok, minum, pemanfaatan
layanan kesehatan, menyusui, dan penggunaan narkoba. TPB menyatakan bahwa
pencapaian perilaku tergantung pada motivasi (niat) dan kemampuan (kontrol

19
perilaku). Ini membedakan antara tiga jenis keyakinan - perilaku, normatif, dan
kontrol. TPB terdiri dari enam konstruksi yang secara kolektif mewakili kontrol
aktual seseorang atas perilaku tersebut.

 Atittude - Ini mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki evaluasi


yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku yang
menarik. Ini memerlukan pertimbangan hasil dari melakukan perilaku.
 Behavioral intention - Ini merujuk pada faktor-faktor motivasi yang
memengaruhi perilaku yang diberikan di mana semakin kuat niat
melakukan perilaku, semakin besar kemungkinan perilaku itu akan
dilakukan.
 Subjective norms - Ini mengacu pada kepercayaan tentang apakah
kebanyakan orang menyetujui atau tidak menyetujui perilaku tersebut. Ini
terkait dengan keyakinan seseorang tentang apakah teman sebaya dan
orang-orang penting bagi orang itu berpikir dia harus terlibat dalam
perilaku tersebut.
 Social norms - Ini mengacu pada kode perilaku adat dalam kelompok atau
orang atau konteks budaya yang lebih besar. Norma sosial dianggap
normatif, atau standar, dalam sekelompok orang.
 Perceived power - Ini merujuk pada adanya faktor yang dirasakan yang
dapat memfasilitasi atau menghambat kinerja suatu perilaku. Persepsi
kekuatan berkontribusi terhadap persepsi kontrol perilaku seseorang atas
masing-masing faktor tersebut.
 Perceived behavioral control - Ini mengacu pada persepsi seseorang
tentang kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku yang menarik.
Kontrol perilaku yang dipersepsikan bervariasi di berbagai situasi dan
tindakan, yang menghasilkan seseorang yang memiliki berbagai persepsi
tentang kontrol perilaku tergantung pada situasinya. Konstruk teori ini
ditambahkan kemudian, dan menciptakan pergeseran dari Teori Aksi
Beralasan ke Teori Perilaku yang Direncanakan.

20
2.7 Masalah fisik
Pasien yang mengalami sakit secara biologis seperti sakit yang tidak kunjung
sembuh terkadang mengalami ansietas yang berlebih, The Hospital Anxiety and
Depression Scale (HADS) digunakan untuk memantau gejala-gejala cemas dan
depresi. Komunikasi telepon antara CL-psikiater dan dokter meningkatkan
konkordansi dokter dengan rekomendasi psikiatris. Intervensi yang mudah
diimplementasikan ini memakan waktu sekitar 10 menit tetapi mencegah
hilangnya informasi. Ini dapat meningkatkan kualitas perawatan kesehatan mental
dan mengarah pada hasil yang lebih baik (Burian, Franke, & Diefenbacher, 2016)
Pasien dengan cacat permanen sehingga pasien merasa dirinya tidak berguna dan
tidak dihargai sehingga menyebabkan stress dan mengkibatkan penyimpangan
perilaku akibat dari harga diri rendah bahkan jika berlarut lama akan
menyebabkan harga diri rendah kronik. Baik faktor predisposisi maupun
presipitasi memengaruhi seseorang dalam berfikir, bersikap, maupun bertindak,
maka dianggap, akan memengaruhi, terhadap koping individu tersebut sehingga
menjadi tidak efektif (mekanisme individu tidak efektif). Bila kondisi klien tidak
dilakukan intervensi lanjut dapat menyebabkan klien tidak mau bergaul dengan
orang lain (isolasi sosial : menarik diri), yang menyebabkan klien asik dengan
dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul perilaku kekerasan (Yosep,
2016) (Windarwati, 2019) Isolasi sosial yang berkepanjangan menginduksi
perubahan perilaku, transkripsi dan ultrastruktural dalam oligodendrosit dari
korteks prefrontal (PFC) dan gangguan mielinisasi dewasa (Liu et al., 2012),
Isolasi sosial kronis menyebabkan efek psikologis yang parah pada manusia, 2
minggu (tetapi tidak 24 jam) dari stres isolasi sosial (SIS) menyebabkan beberapa
perubahan perilaku, dan terjadi efek mendalam dari isolasi sosial yang
berkepanjangan pada kimia dan fungsi otak (Zelikowsky et al., 2018) dikutip dari
jurnal Dorsal Raphe Dopamine Neurons Represent the Experience of Social
Isolation 24 jam isolasi sosial menghasilkan tumpul potensiasi jangka panjang
(LTP) (Matthews et al., 2016). Dalam jurnal The Neuroendocrinology of Social
Isolation, menunjukkan bahwa persepsi isolasi sosial (kesepian) adalah faktor
risiko morbiditas dan mortalitas yang terlepas dari isolasi sosial objektif dan
perilaku kesehatan. Investigasi manusia dan hewan terhadap mekanisme stres

21
neuroendokrin yang mungkin terlibat menunjukkan bahwa (a) isolasi sosial kronis
meningkatkan aktivasi poros adrenokortikal hipofisis hipotalamus, dan (b) efek ini
lebih tergantung pada gangguan ikatan sosial antara pasangan yang signifikan.
dari isolasi objektif per se. Faktor-faktor relasional dan mekanisme
neuroendokrin, neurobiologis, dan genetik yang dapat berkontribusi pada
hubungan antara persepsi isolasi dan mortalitas ditinjau (Cacioppo, Cacioppo,
Capitanio, & Cole, 2015).

Berikut daftar penyakit yang mwngancam nyawa :

 Acqued immunodeficiency syndrome (AIDS)


 Amyotropic lateral sclerosis (ALS, lou Gehring disease)
 Penyakit Alzheimer
 Kanker
 Penyakit cerebrovascular (CVA/stroke)
 Penyakit anomali kongenital pada bayi atau infan
 Penyakit cronic obstruksi paru (COPD)
 Komplikasi diabete militus
 Gagal jantung kongestif/ CHV
 Tahap akhir cardiomiopati
 Penyakit hati kronik
 Gagal ginjal kronic
 Hepatitis C
 Multiple sclerosis
 Penyakit parkinson
 Persistent vegetative state
 Skleroderma
 Asma berat
 Luka bakar atau trauma berat

22
Dimana kestabilan psikis seseorang yang mengalami sakit fisik atau biologis yang
mereka alami akan rentan mengalami gangguan pada psikisnya yang nantinya
akan mempengaruhi juga ke neurilogi dan imunologi orang tersebut, Saat ini
juga ada disiplin ilmu yang membahas tentang Psikoneuroimunologi.

Pada umumnya pasien di rumah sakit pasti mengalami stres yang cukup berat
karena sakit yang dia alami tidak kunjung sembuh, jika stres pasien tidak diobati,
dapat menyebabkan berbagai penyakit terkait stres termasuk hipertensi, penyakit
jantung, kecemasan, depresi, gangguan daya ingat dan sindrom kelelahan kronis,
Mekanisme adaptogen tampaknya melibatkan sumbu adrenal hipofisis
hipotalamus dengan penurunan yang dihasilkan atau normalisasi oksida nitrat dan
kortisol, yang meningkat selama masa stres. (Provino, 2010). Stres memiliki basis
neurobiologis melibatkan berbagai organ dan hormon; sistem stres. Sistem stres
sangat penting untuk kelangsungan hidup, dan deregulasinya dapat menyebabkan
kondisi patologis dan perkembangan penyakit yang mempengaruhi sistem
endokrin, metabolisme, kekebalan tubuh dan pencernaan (Liakopoulou, Varvogli,
& Darviri, 2020) Psychoneuroimmunology (PNI) adalah studi tentang
bagaimana psikologis, saraf, dan proses imunologis berinteraksi dan memengaruhi
kesehatan dan perilaku manusia. PNI berfokus pada struktur dan fungsi sistem

23
kekebalan tubuh manusia, berfokus terutama pada peradangan. Kedua,
menggambarkan jalur saraf dan fisiologis yang menghubungkan otak dan sistem
kekebalan tubuh, yang memberi proses neurokognitif kemampuan untuk mengatur
sistem kekebalan tubuh dan proses imunologis kemampuan untuk mempengaruhi
saraf, hasil kognitif-emosional, dan perilaku. Ketiga, pengaruh stres dan
peradangan, dan peradangan dan kesehatan mental (Slavich & Slavich, 2020) dan
Pengembangan keilmuan PNI ini akan tertampung dalam jurnal Brain, Behavior
& Immunity (BBI). Dimana di BBI ini smua penelitian yang Didedikasikan untuk
studi yang berhubungan dengan perilaku, saraf, endokrin, dan interaksi sistem
kekebalan pada manusia dan hewan, BBI adalah jurnal interdisipliner
internasional yang ditujukan untuk mempromosikan penelitian asli di Indonesia
ilmu saraf, imunologi, fisiologi integratif, biologi perilaku, psikiatri, psikologi,
dan kedokteran klinis, dan termasuk penelitian di tingkat molekuler, seluler,
sosial, dan seluruh organisme (Cattaneo, Haroon, Su, & Pariante, 2020).
Dalam hal ini Perawat harus mengetahui keluhan dan menanggapi pasien dengan
kesabaran dan tanpa pembelaan. Berikut beberapa respon yang dilakukan perawat
terhadap pasien dan keluarga :
- Dengarkan tanpa menginterupsi atau membela diri
- Sediakan apa yang diminta jika memungkinkan
- Jelsksn proses bagaimana anda membagikan obat – obatan
- Ekspresikan penyesalan yang tukus terhadao situasi yang nyata
- Gunakan obat prn (pre re nata) sesuai pesana medis
- Luangkan waktu hanya untuk dengan klien dan anggota keluarga

2.8 Perawatan psikososial dan kesehatan jiwa


Klien yang dirawat karena penyakit yang mengancam kehidupan sering
mengalami kecemasan, depresi, ata marah. Perawat harus mengkaji respon
tersebut dan mencari pertolongan dan konseling bagi pasien. Disini peran seorang
perawat penghubung konsultasi kejiwaan (CLMHN) dapat menbatu kebutuhan
kejiwaan dari pasien. Consultation liaison mental health nursing adalah perawat
spesialis keperawatan jiwa yang mempraktikan keperawatan kesehatan jiwa dalam
tatanan keperawatan umum, memberikan konsultasi,dan edukasi kepada klien,

24
keluarga, tim kesehatan, dan masyarakat. Selai itu CLMHN juga memberikan
penilaian, rekomendasi, dan terapi supportit untuk klien yang mengalami
kesulitan koping, CLMHN memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas
perawatan dan hasil keseluruhan untuk orang dengan masalah kesehatan mental
dan fisik (House et al., 2018),

2.9 Menejemen gejala dan perawatan paliatif


Perawat memiliki kesempatan dan kewajiban untuk klien dan keluarga mereka
membantu memastikan kebebasan dari penderitaan yang tidak perlu. Perawata
paliatif adalah pelayanan medis dan keperawatan yang memberikan kenyamanan
dan melegakan terhadap penderitaan tanpa memperpanjang proses kematian.

2.10 Mempersiapkan kematian


- Berduka antisipasif, respon emosional yang terjadi sebelum adanya
kehilangan yang nyata. Berduka antisipatif merupakan respon adaptif
untuk memperkirakan terjadinya kehilangan dan membantu kliendan
keluarga untuk mempersiapkan kematian.
- Proses menuju kematian, ketika mendekati kematian mereka akan
memperhatikan peubahan fisiologis seperti menurunya sistem tubuh.
Tanda pasien telah mendekati kematian akan membayangkan mereka
melihat atau mendengar orang yang dicintai yang meninggal sebelum
mereka, sulit bangkit, sulit beristirahat, dan gangguan pola nafas dengan
periode henti nafas. Perawat hospice menyediakan konseling konseling
tentang menejemen situasi yang menakutkan kepada pengasuh dirumah
atau fasilitas perawatan jangka panjang.

2.11 NAPZA
Gangguan terkait zat terdiri dari dua kelompok yaitu gangguan penggunaan
zat (kecanduan) dan gangguan yang diinduksi zat seperti keracunan,
withdrawal, delirium, gangguan neurokognitif, psikosis, gangguan bipolar,
gangguan depresi, gangguan kompulsif-obsesif, gangguan kecemasan,

25
disfungsi seksual, dan gangguan tidur (Townsend, 2018). Kecanduan
(addiction) merujuk pada perilaku psikososial yang terkait dengan
ketergantungan zat dimana istilah ketergantungan dan kecanduan sering
digunakan secara bergantian (Stuart, 2013). Keracunan zat didefinisikan
sebagai pengembangan gejala sindrom reversibel setelah penggunaan zat yang
berlebihan. Sementara withdrawal adalah penyesuaian psikologis dan mental
yang menyertai penghentian zat adiktif. Gejala penarikan dihasilkan dari
kebutuhan biologis yang berkembang ketika tubuh menjadi terbiasa memiliki
obat dalam sistem. Gejala karakteristik terjadi ketika tingkat zat dalam sistem
menurun (Stuart, 2013). Penyalahgunaan zat (substance abuse) mengacu pada
penggunaan berkelanjutan meskipun ada masalah yang muncul akibat
pengunaan zat tersebut. Ketergantungan zat (substance dependence)
menunjukkan kondisi parah, biasanya dianggap sebagai penyakit dimana
mungkin ada masalah fisik dan gangguan serius dalam pekerjaan, keluarga,
dan kehidupan sosial orang tersebut. Meskipun ada kontinum dari penggunaan
narkoba sesekali ke penggunaan narkoba yang sering ke penyalahgunaan dan
ketergantungan, tidak semua orang yang menggunakan narkoba menjadi
abuser, tidak juga setiap penyalahguna menjadi tergantung. Berikut adalah
rentang respon yang dimediasi secara kimia (chemically mediated):

26
Pada beberapa orang, penggunaan simultan atau berurutan lebih dari satu zat
merupakan hal yang umum. Orang melakukan ini untuk meningkatkan,
mengurangi, atau mengubah tingkat keracunan mereka atau untuk meringankan
gejala withdrawal. Penggunaan alkohol dengan kokain atau penggunaan alkohol
dengan heroin yang juga dikenal sebagai speed balling merupakan hal yang sangat
umum. Pengguna heroin sering menggabungkan alkohol, ganja, dan
benzodiazepin dengan heroin. Penggunaan banyak obat sangat berbahaya jika
obat yang digunakan merupakan obat sinergis, seperti barbiturat dan alkohol.
Penggunaan berbagai obat juga akan mempersulit penilaian penggunaan obat dan
intervensi karena pasien mungkin menunjukkan efek atau withdrawal dari
beberapa obat pada saat yang sama. Diagnosis ganda adalah ko-eksistensi
penyalahgunaan zat dan satu atau lebih gangguan kejiwaan pada orang yang sama.

Pada populasi orang yang kecanduan, prevalensi penyakit kejiwaan tidak


lebih besar daripada populasi umum. Namun, terdapat hingga 50% orang dengan
penyakit mental serius juga tergantung atau kecanduan alkohol atau obat-obatan
terlarang. Hal ini disebut dengan diagnosis ganda (dual diagnosis). Misalnya,
orang dengan skizofrenia empat kali lebih mungkin untuk memiliki gangguan
penggunaan narkoba selama hidup mereka, dan mereka dengan gangguan bipolar
lima kali lebih mungkin untuk memiliki diagnosis seperti orang di populasi
umum. Selain itu, terdapat banyak individu yang pernah mengalami trauma dan

27
didiagnosis dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD) juga mengalami
gangguan penggunaan narkoba. Diperkirakan bahwa hampir 60% laki-laki dan
70% perempuan penyalahguna alkohol diduga memiliki setidaknya satu gangguan
kejiwaan lainnya. Situasi ini merupakan hal yang menantang bagi dokter karena
pasien-pasien ini dapat lebih sulit untuk didiagnosis dan seringkali resisten
terhadap pengobatan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Kegagalan untuk
mendeteksi gangguan penyalahgunaan zat mengakibatkan kesalahan diagnosis
gangguan kejiwaan dan kegagalan untuk memberikan pengobatan dan rujukan
yang tepat. Ketidakdeteksian bisa disebabkan oleh hal berikut:

1. Kurangnya kesadaran dokter akan gejala atau tingginya tingkat gangguan


penyalahgunaan zat pada populasi psikiatris.
2. Kesulitan dalam membedakan penyalahgunaan zat dengan kelainan
psikiatris.
3. Penolakan, minimisasi, dan keengganan pasien untuk membicarakan
masalah terkait zat mereka.
4. Kognitif pasien, psikotik, dan gangguan lain yang terkait dengan penyakit
kejiwaan mereka

Sehingga pengkajian yang akurat tentang pola penggunaan narkoba dan


alkohol pada pasien menjadi hal yang sangat penting, meskipun terkadang hal ini
sulit untuk dilakukan. Orang dengan kecanduan alkohol dan obat-obatan dapat
menggunakan banyak mekanisme pertahanan ketika mendiskusikan penggunaan
obat-obatan atau alkoholnya. Pasien mungkin menyangkal mengenai berapa
banyak yang mereka gunakan dan hubungan alkohol dan obat-obatan dengan
masalah dalam kehidupan mereka. Pasien sering merasionalisasi penggunaan
narkoba mereka. Namun meskipun begitu, pasien tidak boleh dikritik karena
mekanisme tidak sadar ini. Mereka sering tidak menyadari tingkat atau efek dari
penggunaan alkohol dan obat-obatan. Selain itu, terdapat beberapa pasien yang
dengan sengaja mendistorsi kebenaran tentang penggunaan narkoba untuk
menghindari konsekuensi yang ditakuti. Perawat harus menyadari perilaku ini dan
mempertimbangkannya. Perawat juga harus menyadari bahwa hanya sekitar 1 dari
10 orang yang minum alkohol mengembangkan ketergantungan obat-obatan

28
dalam hidup mereka. Perawat juga tidak boleh mengambil kesimpulan bahwa
pasien dalam tahap penyangkalan (denial) jika dia mengaku tidak memiliki
masalah terkait alkohol.

Perawat harus menanyakan pertanyaan yang tepat dengan cara yang benar
kepada pasien sehingga perawat dapat melakukan pengkajian secara efektif.
Pasien yang minum alkohol, pasien yang menggunakan narkoba, atau melakukan
keduanya cenderung berada di komunitas yang minum alkohol dan menggunakan
narkoba. Perawat perlu menyadari bahwa pasien yang menyangkal masalah
narkoba dan alkohol cenderung menjawab pertanyaan tertentu dengan jujur.
Pertanyaan-pertanyaan ini termasuk dalam alat skrining, yang merupakan
penilaian tingkat pertama untuk ketergantungan alkohol dan narkoba.

2.12 Pemeriksaan NAPZA


Terdapat beberapa alat skrining sederhana yang berguna dalam
mengidentifikasi pasien yang mungkin memiliki masalah dengan penggunaan
narkoba. Karena alat skrining hanya sugestif, hasil skrining harus diikuti oleh
penilaian diagnostik lengkap. Berikut adalah beberapa alat skrining yang dapat
digunakan oleh perawat:

1. AUDIT-C. Tes Identifikasi Gangguan Penggunaan Alkohol-C (AUDIT-C)


adalah alat skrining 3-item yang digunakan untuk mengidentifikasi
individu peminum alkohol hingga level berbahaya atau memiliki gangguan
penggunaan alkohol aktif (active alcohol use disorders)
2. B-DAST. Tes Skrining Penyalahgunaan Narkoba Singkat (B-DAST)
adalah alat skrining penyalahgunaan narkoba tercepat. Setiap item
memiliki nilai 1 poin. Skor 6 atau lebih menunjukkan masalah
penyalahgunaan narkoba yang signifikan. Pasien yang mendapat skor di
atas skor cutoff yang ditetapkan dianggap kecanduan.
3. SBIRT. Screen, Brief Intervention, Refer to Treatment (SBIRT) adalah
pendekatan kesehatan masyarakat untuk memberikan intervensi dini
kepada siapa saja yang menggunakan alkohol atau obat-obatan dengan
cara yang tidak sehat (Madras et al, 2009; Robinson, 2010; Kazemi et al,
2011). Tujuan SBIRT adalah untuk meningkatkan identifikasi awal orang-

29
orang yang terlalu banyak menggunakan, menyalahgunakan, atau
bergantung pada alkohol atau zat. Rujukan ke spesialis kecanduan atau
fasilitas perawatan diindikasikan untuk pasien yang diidentifikasi beresiko
memiliki ketergantungan alkohol atau obat-obatan atau ketika
menggunakan alkohol atau obat-obatan dapat menimbulkan risiko bahaya
bagi pasien atau orang lain. Perawat harus memiliki keterampilan
menggunakan SBRIT.
4. Breathalyzer. Penggunaan breathalyzer dapat menjadi alat pengukuran
biologis yang paling sederhana untuk memperoleh kadar alkohol dalam
darah (BAC). Alkohol dalam jumlah berapa pun memiliki efek pada
sistem saraf pusat (SSP). Kadar alkohol yang lebih besar dari 0,10% tanpa
gejala perilaku yang terkait menunjukkan adanya toleransi. Toleransi
merupakan situasi dimana dengan penggunaan berkelanjutan, dibutuhkan
lebih banyak zat untuk menghasilkan efek yang sama. Semakin tinggi
level tanpa gejala, semakin parah toleransi. Toleransi tinggi biasanya
merupakan tanda ketergantungan fisik.
5. Pemeriksaan Darah dan Urin. Darah dan urin adalah cairan tubuh yang
paling sering diuji kandungan obatnya, meskipun metode analisis
menggunakan air liur, rambut, napas, dan keringat telah dikembangkan.
Identifikasi dan pengukuran kadar obat dalam darah berguna untuk
mengobati overdosis atau komplikasi di ruang gawat darurat dan
pengaturan medis lainnya. Bila tidak dibutuhkan, skrining obat urin adalah
metode yang lebih diutakan karena tidak bersifat invasif. Skrining obat
pada urin digunakan untuk menguji calon karyawan dan atlet untuk bukti
ada tidaknya penggunaan narkoba. Petugas kesehatan juga
menggunakannya untuk menentukan apakah pasien telah menggunakan
obat saat saat dalam perawatan. Skrining obat melalui urin sering
digunakan di pengadilan untuk memvalidasi penggunaan narkoba
seseorang terkait dengan kegiatan kriminal. Individu yang dites mungkin
mencoba mengubah sampel untuk menyembunyikan penggunaan
narkobanya. Cara paling umum untuk melakukan ini adalah mengencerkan
spesimen dengan air dari toilet atau mengganti spesimen "bersih" yang

30
disumbangkan oleh seorang teman dengan spesimen "kotor". Untuk
membantu mencegah praktik-praktik ini, spesimen sering dikumpulkan
pada hari-hari acak di bawah pengamatan langsung dari anggota staf
berjenis kelamin sama. Cara lainnya adalah membuat orang tersebut
meninggalkan jaket, sweater, dompet, dan barang-barang lain di luar
tempat pengujian dan memberikan pewarna dalam air toilet untuk
mengubah warnanya serta menguji specimen urin untuk mengetahui
suhunya. Urin yang segar dan murni akan terasa hangat bila dimasukkan
kedalam cangkir dan harus memiliki suhu sekitar 98,6 ° F (37 ° C).
Lamanya waktu obat dapat ditemukan dalam darah dan urin bervariasi
sesuai dengan dosis dan sifat metabolisme obat. Terdapat obat dimana
jejak obatnya dapat hilang dalam 24 jam dan terdapat obat yang mungkin
masih dapat dideteksi jejaknya hingga beberapa minggu kemudian setelah
penggunaan.

2.13 Faktor presdiposisi


yang perlu dikaji oleh perawat terbagi menjadi tiga komponen yaitu
biologis, psikologis dan sosiokultural (Stuart, 2013).

1. Faktor biologis utama adalah kecenderungan penyalahgunaan zat


dalam keluarga. Lebih dari setengah peminum alkohol memiliki
riwayat alkoholisme dalam keluarga. Saat ini sebagian besar penelitian
genetika berfokus pada alkoholisme, sedangkan genetika mengenai
obat-obatan lainnya masih dalam tahap penelitian. Banyak bukti dari
studi adopsi, kembar, dan hewan menunjukkan bahwa faktor keturunan
sangat penting dalam perkembangan penggunaan alkohol. Penelitian
terhadap the A1 allele of the dopamine D2 receptor (DRD2)
menunjukkan probabilitas adanya hubungan antara alkoholisme dan
gangguan penyalahgunaan zat lainnya. Hal ini kemudian
memunculkan banyak penelitian genetik. Teori penelitian ini adalah
bahwa kelainan genetik dapat menghalangi perasaan kesejahteraan
(well-being) sehingga akan menghasilkan kecenderungan untuk
mengembangkan kecemasan, kemarahan, harga diri rendah, dan

31
perasaan negatif lainnya, serta keinginan untuk menggunakan suatu zat
yang dapat melawan perasaan buruk yang dirasakannya. Individu
dengan kelainan seperti itu membutuhkan alkohol atau obat psikoaktif
lain hanya untuk merasa normal. Namun, temuan genetik ini masih
tahap awal dan merupakan satu dari banyak faktor predisposisi untuk
penyalahgunaan zat (Dong et al, 2011).
2. Factor lingkungan dan gen, yang sepertinya berperan lebih besar masih
belum teridentifikasi. Perbedaan biologis dalam respons terhadap
konsumsi alkohol juga dapat memengaruhi kerentanan. Misalnya,
beberapa orang Asia mengalami respons fisiologis terhadap alkohol,
termasuk flushing, takikardia, dan perasaan tidak nyaman yang intens.
Hal ini tampaknya berhubungan dengan kecenderungan orang Asia
untuk memiliki bentuk enzim aldehyde dehydrogenase yang secara
genetik tidak aktif. Hal ini menyebabkan penumpukan zat toksik
asetaldehida, metabolit alkohol, yang menyebabkan gejala tersebut.
3. Factor psikologis, terdapat banyak teori psikologis yang berusaha
menjelaskan faktor-faktor yang membuat seseorang cenderung
mengalami penyalahgunaan zat. Teori perilaku atau pembelajaran
memandang perilaku adiktif sebagai kebiasaan belajar berlebihan yang
maladaptif yang dapat diperiksa dan diubah dengan cara yang sama
seperti kebiasaan lainnya. Teori kognitif menyatakan bahwa
kecanduan didasarkan pada cara berpikir yang menyimpang tentang
penggunaan narkoba. Teori sistem keluarga menekankan pola
hubungan antar anggota keluarga dari generasi ke generasi sebagai
penjelasan untuk penyalahgunaan zat. Dokter telah mengamati
hubungan antara penyalahgunaan zat dan beberapa sifat psikologis,
seperti depresi, kecemasan, kepribadian antisosial, dan kepribadian
dependen. Namun hanya sedikit bukti yang ditemukan yang
menunjukkan bahwa masalah psikologis ini telah ada sebelum atau
menyebabkan penyalahgunaan zat. Sangat mungkin bahwa masalah
psikologis tersebut dihasilkan dari penggunaan dan ketergantungan
narkoba dan alkohol. Studi menunjukkan berbagai jenis kepribadian di

32
antara orang dengan alkoholisme. Teori lain penyalahgunaan zat
berfokus pada kecenderungan manusia untuk mencari kesenangan dan
menghindari rasa sakit atau stres. Obat-obatan menciptakan
kesenangan dan mengurangi rasa sakit fisik atau psikologis. Karena
rasa sakit kembali ketika efek obat habis, orang tersebut sangat tertarik
untuk menggunakan narkoba berulang kali. Penelitian menunjukkan
bahwa beberpa orang lebih sensitif terhadap efek euforia obat-obatan
dan lebih cenderung mengulangi penggunaannya. Penggunaan narkoba
yang berulang ini menyebabkan lebih banyak masalah dan memicu
ketergantungan pada penggunaan narkoba. Beberapa orang yang
menggunakan narkoba memiliki masalah psikologis terkait dengan
pengalaman masa kanak-kanak yang buruk dan penyalahgunaan
alkohol yang dilakukan oleh orangtua mereka. Selain itu, sebagian
pasien memiliki riwayat pelecehan fisik atau seksual masa kanak-
kanak. Pengguna alkohol dan narkoba memiliki harga diri yang rendah
dan kesulitan mengekspresikan emosi. Masalah-masalah inilah yang
mungkin telah mempengaruhi penggunaan awal obat-obatan dan
memicu terjadinya ketergantungan.
4. Sosiokultural, Beberapa faktor sosial budaya mempengaruhi pilihan
seseorang untuk menggunakan narkoba, obat mana yang akan
digunakan, dan berapa banyak obat yang digunakan. Sikap, nilai,
norma, dan sanksi berbeda sesuai dengan kebangsaan, agama, jenis
kelamin, latar belakang keluarga, dan lingkungan sosial. Kombinasi
faktor-faktor ini dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap
penyalahgunaan narkoba dan mengganggu pemulihan.
5. Kebangsaan dan etnis, mempengaruhi pola penggunaan alkohol.
Sebagai contoh orang Eropa utara memiliki tingkat alkoholisme lebih
tinggi daripada orang Eropa selatan. Nilai-nilai dapat memengaruhi
cara kecanduan dilihat dalam norma sosial. Beberapa daerah percaya
bahwa kecanduan terjadi karena kelemahan moral atau kurangnya
kemauan. Sayangnya, pendekatan moralistik dapat menyebabkan
orang tersebut merasa bersalah, sehingga hal ini umumnya

33
mengakibatkan individu yang bersangkutan untuk minum alkohol
kembali untuk mengurangi rasa bersalah.
6. Keyakinan agama dan budaya, dapat memengaruhi perilaku minum.
Anggota agama yang menolak penggunaan alkohol memiliki tingkat
penggunaan alkohol dan alkoholisme yang jauh lebih rendah daripada
anggota yang menerima atau mendorong penggunaannya. Selain itu
faktor budaya dapat membentuk perilaku penggunaan zat.
Alkoholisme pada wanita jauh kurang diterima oleh masyarakat, yang
merupakan salah satu alasan masalah ini sering disembunyikan,
meskipun pada kenyataannya jumlah kasus ini telah meningkat.
Wanita cenderung menyangkal memiliki masalah alkohol dalam
jangka waktu lebih lama daripada pria. Di Amerika Serikat, terdapat
lebih banyak wanita daripada pria yang menyalahgunakan obat resep,
seperti benzodiazepin. Hal ini lebih dapat diterima secara sosial dan
kadang-kadang bahkan didorong untuk melakukannya. Sebaliknya,
penggunaan obat anti ansietas dipandang sebagai perilaku lemah dan
tidak maskulin pada pria, sedangkan kemampuan untuk minum
alkohol dalam jumlah besar dianggap jantan. Faktor sosial budaya juga
mempengaruhi penggunaan narkoba, penyalahgunaan, dan perawatan.
Stres dan trauma kronis dapat mempengaruhi atau membuka
kerentanan terhadap gangguan penggunaan narkoba, gangguan
kejiwaan, atau keduanya. Berbagai krisis sosial dapat berkontribusi
pada risiko penyalahgunaan narkoba di lingkungan miskin. Perumahan
dan tempat tinggal yang terjangkau dan layak sulit ditemukan. Peluang
kerja terbatas, dan banyak pekerjaan bergaji rendah. Angka putus
sekolah di sekolah-sekolah dalam kota yang tinggi, dan pendidikan
lanjut yang sulit diperoleh. Tinggal di lingkungan yang didominasi
oleh masalah-masalah ini bersama dengan buruknya akses perawatan
kesehatan, kejahatan, dan kekerasan dapat menciptakan kerentanan
terhadap penggunaan narkoba dan alkohol sebagai salah satu bentuk
pelarian. Namun, penting untuk diketahui bahwa sebagian besar orang
yang hidup dalam keadaan ini tidak kecanduan narkoba. Hal ini

34
mendukung keyakinan bahwa bukan hanya lingkungan sosial, namun
banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan pola penggunaan
narkoba.

2.14 Factor presipitasi.


Pada faktor presipitasi, terdapat empat komponen yang perlu dikaji yaitu
nature, origin, timing dan number. Pada komponen nature, hal pertama yang
perlu dikaji adalah faktor biologis seperti trauma pada kepala. Hal kedua adalah
psikologis seperti keterampilan verbal dan kepribadian. Hal ketiga adalah social
budaya seperti usia, gender dan pendidikan.

- origin, hal yang perlu dikaji mencakup internal seperti persepsi individu
saat terjadi perubahan atau stressor dan eksternal seperti kurangnya
dukungan keluarga.
- timing, perawat perlu mengkaji ada tidaknya stressor yang muncul dengan
jarak waktu yang dekat atau berulang.
- number perawat perlu mengkaji apakah seberapa banyak dan tinggi
kualitas stressor yang terjadi.

2.15 Penilaian terhadap stressor.


1. Kognitif : seperti perasaan kesepian, merasa ditolak, merasa tidak
dimengerti, merasa tidak berguna, merasa putus asa, merasa tidak
memiliki tujuan hidup, merasa tidak aman berada diantara orang lain,
menghindar dari orang lain dan lingkungan, tidak mampu kosentrasi
dan tidak mampu membuat keputusan.
2. Afektif : seperti perasaan sedih dan tertekan, depresi, merasa kesepian,
tidak mempedulikan orang lain, malu dengan orang lain, dan
kegagalan individu pada tugas perkembangan.
3. Fisiologis : seperti perubahan tekanan darah, perubahan denyut nadi
dan kecepatan pernafasan, perubahan pola tidur dan lain sebagainya.
4. Perilaku : seperti menjauh dari masalah, tidak komunikasi, tidak ada
kontak mata dan menolak berhubungan dengan orang lain.
5. Social : seperti ketidakmampuan berkomunikasi, acuh dengan
lingkungan, paranoid atau sulit berinteraksi.

35
2.16 Sumber koping
Empat komponen yaitu personal ability, social support, material asset dan
positive belief.

1. Personal ability, perawat perlu mengkaji kemampuan klien


memecahkan masalah, pengetahuan dan kemampuan klien
berinteraksi.
2. Social support, perawat perlu mengkaji hubungan klien dengan
individu lain, keluarga, kelompok dan masyarakat.
3. Material asset, perawat perlu mengkaji kemampuan ekonomi klien
serta layanan kesehatan yang berada di lingkungan klien.
4. Positive belief, perawat perlu mengkaji ada tidaknya distress spiritual
atau motivasi.

2.17 Mekanisme koping


Meskipun pasien mungkin telah menggunakan zat sebagai respons
terhadap stresor tertentu, penggunaan zat tersebut mungkin telah meningkat ke
titik di mana hal tersebut berubah menjadi stresor tambahan. Pasien yang
menggunakan mekanisme koping yang berfokus pada masalah akan bertanggung
jawab atas masalah penggunaan narkoba dan menemukan cara untuk mengubah
atau mencari bantuan untuk melakukannya. Ini adalah mekanisme penanganan
yang konstruktif. Namun pasien juga dapat menggunakan mekanisme koping
destruktif, seperti ketika mereka mengubah makna masalah penyalahgunaan zat
sehingga menjadi masalah, mengatakan bahwa tidak ada masalah atau
mendevaluasi objek yang diinginkan. Pasien juga dapat mencoba mengurangi
stres emosional dengan beberapa cara:

1. Meminimalkan tingkat penggunaan ("Saya hanya minum beberapa gelas


bir.") Atau konsekuensi dari penggunaan ("Kami tidak terlalu sering
bertengkar tentang hal itu.")
2. Penolakan ("Saya tidak punya masalah. Saya bisa berhenti kapan saja saya
mau.")

36
3. Proyeksi ("Tom yang tidak bisa berurusan dengan keluarganya”)
4. Rasionalisasi ("Jika Anda punya masalah yang saya miliki, Anda akan
minum juga. ")

Merupakan hal yang tidak mungkin dalam pengkajian awal untuk memilah
fakta dari distorsi yang disebabkan oleh mekanisme koping ini. Inilah salah satu
alasan mengapa pengkajian adalah proses yang berkelanjutan. Informasi dari
sumber-sumber tambahan dan pengamatan terhadap perilaku secara terus menerus
sangat penting.

2.18 Intervensi Keperawatan


Terapip Individu, keluarga, kelompok, komplementer dan psikodinamika
- Psikoreligius, Ada 14 jurnal tentang religion dengan suicide yang diambil
mulai tahun 2015 sampai dengan 2018, Terdapat 4 tema yang ditemukan
dalam telaah pada literatur ini, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan ide
bunuh diri diantaranya pengalaman bunuh diri dari orang terdekat,
dukungan ahli agama terhadap resiko perilaku bunuh diri, serta intervensi
psiko-religius. Masalah kesehatan mental seperti depresi dapat dicegah
dengan melibatkan peran agama didalamnya. Peran perawat dalam hal ini
sangat penting dalam mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan ide
bunuh diri muncul serta membantu memberikan intervensi pencegahan
resiko perilaku bunuh diri dengan mendorong aspek keagamaannya
(Litaqia & Permana, 2019).Tingkat religiusitas seseorang berpotensi dapat
berfungsi sebagai faktor pelindung terhadap perilaku bunuh diri. (Gearing
& Lizardi, 2009) Pendekatan spiritualitas sangat mempengaruhi kondisi
kejiwaan pasien dengan gangguan mental karena pentekatan yang
dilakukan secara kerohanian atau kebatinan mampu membuat kondisi
kejiwaan klien serta akalnya berada dalam kondisi yang proporsional
dengan cara berdoa, agar pasien senantiasa merasa dekat dengan Tuhannya
(Munandar, Irawati, & Prianto, 2020) selain itu dimensi spiritual berupaya
untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar,
seperti mengurangi rasa kecemasan, depresi, kestabilan emosi dan rasa
ketakutan, bahkan pasien bisa mendapatkan kekuatan ketika sedang

37
menghadapi stres emosional (Alifudin, Rochmawati, & Purnomo, 2015)
(Laela Dewi Saputri, Dwi Heppy, 2015).
- Muraqaba as a Mindfulness-Based Therapy in Islamic Psychotherapy,
teknik yang digunakan dalam muraqaba dapat diadaptasi dan digunakan
sebagai pengurangan stres berbasis kesadaran, terapi kognitif berbasis
kesadaran, meditasi, meditasi transendental, teknik pikiran-tubuh
(meditasi, relaksasi), dan teknik tubuh-pikiran. untuk mengobati
kecemasan, depresi, dan rasa sakit simptomatik (Isgandarova, 2019)
- Mindfulness, ibertujuan untuk menumbuhkan perhatian yang lebih besar
dan kesadaran akan pengalaman saat ini (Creswell, 2017) mindfulness bisa
dilakukan di tempat kerja, sekolah,militer) bisa digunakan untuk
meregulasi emosi, kelelahan emosional, dan kepuasan kerja (Hülsheger,
Alberts, Feinholdt, & Lang, 2013)
- Beberapa bentuk intervensi spesialis yang dapat diberikan pada individu
adalah cognitive therapy, CBT dan psikodinamik. Intervensi pada keluarga
dapat berupa terapi family psychoeducation. Terapi kognitif adalah salah
satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada konsep proses patologi jiwa,
di mana fokus dari tindakannya didasarkan pada modifikasi kognitif dan
perlindungan maladpatif (Townsend, 2018). Nevid, Rathus, dan Greene
(2006) mengungkapkan tujuan dari terapi kognitif sebagai monitor pikiran
otomatis negatif, memahami hubungan antara pikiran, perasaan dan
perilaku, mengubah hukuman yang salah menjadi hukuman yang logis,
dan membantu pasien meningkatkan dan mengubah keyakinan yang salah
sebagai akibat negatif internal pasien. Pemberian terapi kognitif
diharapkan dapat mengubah pikiran otomatis negatif klien menjadi pikiran
positif. Pemberian terapi kognitif ini diharapkan klien dapat merubah
pikiran-pikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif sesuai
dengan kondisi kesehatannya dengan meningkatkan kepercayaan dirinya.
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 1 mengidentifikasi pikiran otomatis
negatif dan penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negatif yang
pertama. Sesi 2 yaitu penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negatif yang kedua. Sesi 3 yaitu penggunaan tanggapan rasional

38
terhadap pikiran otomatis negatif yang ketiga. Sesi 4 yaitu manfaat
tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif (ungkapan hasil
dalam mengikuti terapi kognitif). Sesi 5 yaitu support system.
- CBT, merupakan terapi yang berfokus kepada ekplorasi hubungan antara
pikiran, perasaan dan perilaku klien oleh terapis (British Association for
Behavioural & Cognitive Psychoterapies, 2020). Sementara CT
merupakan terapi yang berfokus kepada pikiran negative otomatis yang
dimiliki oleh klien (Hyland & Boduszek, 2012). Sehingga CT merupakan
lingkup terapi yang lebih kecil dibandingkan dengan CBT karena murni
berfokus kepada kognitif klien (Lorenzo-Luaces, Keefe, & DeRubeis,
2016). Komponen kognitif dalam psikoterapi CBT mengacu pada
bagaimana klien berpikir dan memaknai situasi, gejala, dan peristiwa
dalam kehidupan mereka dan mengembangkan keyakinan mengenai diri
mereka sendiri, orang lain, dan dunia (Fenn, K., & Byrne, M. (2013).
Terapi kognitif membantu klien menjadi lebih sadar tentang bagaimana
mereka beralasan, pikiran otomatis yang muncul dan memaknai berbagai
hal dalam hidupnya.. Intervensi kognitif menggunakan pertanyaan untuk
menyelidiki makna yang dimiliki klien dan menggunakannya untuk
merangsang sudut pandang atau gagasan alternatif. Teknik ini disebut
‘guided discovery’ yang menggunakan eksplorasi dan refleksi pada gaya
penalaran dan pemikiran, dan kemungkinan untuk berpikir secara berbeda
dan lebih bermanfaat. Komponen perilaku dalam psikoterapi CBT
mengacu pada cara klien merespons ketika tertekan. Respons seperti
penghindaran, aktivitas yang berkurang, dan perilaku yang tidak
membantu dapat membuat masalah tetap ada atau memperburuk perasaan
klien. Praktisi CBT bertujuan membantu klien merasa cukup aman untuk
secara bertahap menguji asumsi dan ketakutan mereka dan mengubah
perilaku mereka (Fenn & Byrne, 2013). Misalnya, membantu klien untuk
secara bertahap menghadapi situasi yang ditakuti atau dihindari sebagai
cara untuk mengurangi kecemasan dan mempelajari keterampilan perilaku
baru untuk mengatasi masalah.

39
- Psikodinamic thraphy, Bentuk terapi individu lain yang dapat diberikan
oleh perawat adalah terapi psikodinamik. Pada pasien pengguna NAPZA
dimana salah satu alasan penggunaanya adalah trauma, serta pada korban
kekerasan dalam rumah tangga, terapi Psikodinamik dapat diberikan.
Terapi psikodinamik merupakan jenis psikoterapi yang
memfasilitasi penggambaran ulang riwayat hidup pasien, gambaran
dirinya baik di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, untuk
membahas pengalaman individu (Delgado, 2008). Terapi psikodinamik
berasal dari teori psikoanalitik Freud dan teori turunannya seperti teori
milik Erik Erikson, Carl Jung dan Sullivan. Model terapi psikodinamik
terdiri dari lima komponen yaitu aliansi terapeutik, masalah psikodinamik
inti, formulasi psikodinamik, strategi untuk memfasilitasi perubahan dan
terminasi. Komponen aliansi terapeutik memiliki 3 sub komponen berupa
tujuan, tugas dan hubungan (bond). Tujuan mengacu pada penyelarasan
tujuan antara terapis dan pasien (Summers, & Barber, 2015). Tugas
mengacu pada pekerjaan yang harus dilakukan oleh masing-masing
anggota pasangan terapi (Summers, & Barber, 2015). Pada pasien resiko
bunuh diri, trauma merupakan salah satu faktor presdiposisi terjadinya
halusinasi (Videback, 2020).
- Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program
perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan
edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi
merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart, 2013).
Setelah diberikan terapi family psychoeducation, keluarga diharapkan
mampu memahami masalah yang dialami oleh anggota keluarga,
mengatasi masalah pada diri sendiri yang muncul karena merawat anggota
keluarga, mampu mengatasi beban pada keluarga yang muncul karena
adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan dan memanfaatkan
sarana di komunitas untuk membantu keluarga.
- Terapi guided imagery merupakan hal penting karena guided imagery
adalah salah satu terpai modalitas yang dianjurkan untuk digunakan dalam
membantu mengubah perilaku pasien gangguan jiwa yang maladptif

40
menajdi adaptif, Penelitian ini merupakan penelitian qualitatif dengan
menggunakan metode narrative inquiry. Penelitian ini dilakukan di Rumah
Sakit Jiwa Surakarta selama 2 bulan. Total sampel berjumlah 16 pasien
gangguan jiwa yang belum pernah mendapatkan terapi guided imagery
dan sample diambil menggunakan teknik non-probability sampling. Data
diambil menggunakan wawancara mendalam dan observasi tehadap
responden. Analisis tematik adalah jenis analisis yang digunakan untuk
menganalisa data tersebut. Hasil dari identifikasi tema ditemukan 2 tema
utama berkaitan dengan pengalaman pasien gangguan jiwa ketika
diberikan terapi guided imagery. Tema tersebut ialah resiko kekerasan
terhadap orang lain dan yang kedua ialah perasaan nyaman (Andriyani,
Pratiwi, & Mutya, 2019)
- Intervensi mindfulness dengan pendekatan spiritual yang diberikan pada
pasien berupa calming technique dan prosedur memfasilitasi memaafkan,
klien dapat melakukan tehnik menenagkan diri secara mandiri dan
selanjutnya klien mampu mengontrol marah setelah pemberian intervensi
mindfulness dan calming tehnique (Sari & Dwidiyanti, 2014) Mindfulness
Spiritual Islam, untuk menngkatkan selft efficacy keluarga (Dwidiyanti,
Sari, Studi, Keperawatan, & Diponegoro, 2019)
- Program Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkoba (P4GN) perlu dilakukan dengan berfokus pada kegiatan
pencegahan sebagai upaya menjadikan para tenaga kerja memiliki pola
pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba (Sholihah, 2015).

41
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus:
Di sebuah sekolah dilakukan deteksi dini masalah kesehatan jiwa. Hasilnya dari
sekitar 52 siswa ditemukan 17 diantaraya yang memiliki ide bunuh diri dan 3
diantaranya pernah melakukan percobaan bunuh diri hasil wawancara didapatkan
data bahwa anak – anak merasa takut karena sering menjadi korban kekerasan
karena orang tuanya akibat nilai yang tidak optimal.
Pertanyaan.
1. Berdasarkan kasus diatas analisis sesuai dengan konsep asuhan
keperawatan jiwa lanjut pada penyintas yang mengalami kekerasan dalam
rumah tangga, masalah fisik dan penggunaan napza !
2. Identifikasi jenis terapi psikoterapi individu, keluarga, dan kelompok,
terapi komplementer, interpersonal theraphy serta psycodynamic
theraphy yang tepat untuk pasien tersebut

42
3. Jelaskan alasan pemilihan terapi tersebut
4. Jelaskan prinsip etik dan hukum yang harus diperhatikan dalam pemberian
terapi yang dipilih
3.1 Analisis konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada DV, masalah fisik, dan
NAPZA
“Uraian Kasus : berdasarkan kasus diatas ditemukan bahwa 32,7 % nya
memiliki ide bunuh diri, dan 5, 7 % nya pernah melakukan percobaan bunuh
diri selainitu meraka menjadi korbam KDRT jenis child abuse dari oang
tuanya”

Pengkajian :

a. Keluhan Utama

anak – anak memiliki ide bunuh diri dan pernah melakukan percobaan bunuh diri
karena merasa takut karena sering menjadi korban kekerasan karena orang tuanya
akibat nilai yang tidak optimal.

43
b. Faktor Presdiposisi
Faktor presdiposisi terdiri dari tiga komponen yaitu biologis,
psikologis, dan sosial budaya. Pada komponen pertama yaitu sensitivitas
biologis, perawat perlu mengkaji riwayat keluarga dan genetic, kondisi
kesehatan secara umum, status gizi dan paparan terhadap racun. Pada
komponen psikologis, perawat dapat mengkaji intelegensi, kepribadian,
pengalaman tidak menyenangkan, moral, keterampilan komunikasi, konsep
diri, motivasi.

Faktor Presipitasi

Pada komponen presipitasi hal yang perlu dikaji yaitu nature, origin,
timing dan number. Pada komponen nature, hal yang perlu dikaji adalah faktor
biologis, psikologis, dan sosial budaya. Pada komponen origin, hal yang perlu
dikaji mencakup internal seperti persepsi individu saat terjadi perubahan
konsep diri dan eksternal seperti keluarga dan masyarakat yang menganggap
kline mengalami perubahan konsep diri. Pada komponen timing, perawat perlu
mengkaji ada tidaknya stressor yang muncul dengan jarak waktu yang dekat
atau berulang. Pada komponen number perawat perlu mengkaji apakah
seberapa banyak dan tinggi kualitas stressor yang terjadi. Berdasarkan Kasus
stress berasal dari ketakutan anak anak menghadapi ujian 3 bulan mendatang.

44
c. Penilaian Stressor
Hal pertama yang perlu dikaji adalah kognitif seperti perasaan kesepian,
merasa ditolak, merasa tidak dimengerti, merasa tidak berguna, merasa putus
asa, merasa tidak memilikitujuan hidup, merasa tidak aman berada diantara
orang lain, menghindar dari orang lain dan lingkungan, tidak mampu kosentrasi
dan tidak mampu membuat keputusan, berdasarkan kasus pasien berfikir untuk
persiapan ujian terkait dnegan materi dan kemungkinan soal yang sulit untuk
diselesaikan, muncul keinginana untuk bunuh diri. Hal kedua adalah afektif
seperti perasaan sedih dan tertekan, depresi, merasa kesepian, tidak
mempedulikan orang lain, malu dengan orang lain, dan kegagalan individu
pada tugas perkembangan, berdasarkan kasus klien merasa takut menghadapi
ujian. Hal ketiga adalah fisiologis seperti muka murung, sulit tidur, merasa
lelah dan kurang bergairah kemungkinann siswa merasa pusing dan mudah
lelah. Hal keempat adalah perilaku seperti menjauh dari masalah, tidak
komunikasi, tidak ada kontak mata dan menolak berhubungan dengan orang
lain berdasarkan kasus ada siswa yang pernah melakukan percobaan bunuh
diri. Hal kelima adalah social seperti ketidakmampuan berkomunikasi, acuh
dengan lingkungan, paranoid atau sulit berinteraksi.

a. Sumber Koping
Terdapat empat komponen sumber koping yaitu personal ability, social
support, material asset dan positive belief. Pada komponen personal ability,
perawat perlu mengkaji kemampuan klien memecahkan masalah, pengetahuan
dan kemampuan klien berinteraksi.Pada komponen social support, perawat
perlu mengkaji hubungan klien dengan individu lain, keluarga, kelompok dan
masyarakat. Pada komponen material asset, perawat perlu mengkaji
kemampuan ekonomi klien.Pada komponen positive belief, perawat perlu
mengkaji ada tidaknya distress spiritual atau motivasi. Berdasarkan Kasus
sumberkoping yang dapat diperoleh siswa dari teman sebaya, guru di sekolah
dan orang tua dirumah.

b. Mekanisme Koping

45
Mekanisme koping yang terkait dengan perilaku merusak diri sendiri,
termasuk penolakan, rasionalisasi, regresi, dan pemikiran magis (Stuart, 2013).
Mekanisme koping yang digunakan remaja ini yaitu merusak dirinya sendiri
dengan memiliki ide bunuh diri dan percobaan bunuh diri

3.1 Analisa Data dan diagnosa Keperawatan


Data Diagnosa Keperawatan
DS: Menyatakan ide bunuh diri Resiko Bunuh Diri
DO: Melakukan percobaan bunuh diri
3.2 Intervensi Keperawatan Spesialis
a. Cognitive Therapy
Terapi kognitif adalah salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan
pada konsep proses patologi jiwa, di mana fokus dari tindakannya didasarkan
pada modifikasi kognitif dan perlindungan maladpatif (Townsend, 2018).
Nevid, Rathus, dan Greene (2006) mengungkapkan tujuan dari terapi kognitif
sebagai monitor pikiran otomatis negatif, memahami hubungan antara
pikiran, perasaan dan perilaku, mengubah hukuman yang salah menjadi
hukuman yang logis, dan membantu pasien meningkatkan dan mengubah
keyakinan yang salah sebagai akibat negatif internal pasien. Pemberian terapi
kognitif diharapkan dapat mengubah pikiran otomatis negatif klien menjadi
pikiran positif. Pemberian terapi kognitif ini diharapkan klien dapat merubah
pikiran-pikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif sesuai dengan
kondisi kesehatannya dengan meningkatkan kepercayaan dirinya. Kegiatan
yang dilakukan pada sesi 1 mengidentifikasi pikiran otomatis negatif dan
penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negatif yang pertama. Sesi 2
yaitu penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif yang
kedua. Sesi 3 yaitu penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
negatif yang ketiga. Sesi 4 yaitu manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif). Sesi 5
yaitu support system.
Jenis-jenis pikiran negatif atau distorsi kognitif yang sering ditemukan
pada klien depresi dan ansietas menurut Varcarolis dan Halter (2010) ada
sepuluh, yakni: 1) All or nothing thinking, yaitu seseorang memikirkan segala

46
sesuatu seperti warna hitam dan putih, tidak berupaya untuk menggapai hal
yang tinggi karena pada jenis distorsi ini seseorang cenderung menghindari
hal yang rumit dalam kehidupannya. 2) Overgeneralization, memikirkan
bahwa segala sesuatu yang dilakukan tidak akan menghasilkan yang baik,
mereka cenderung menggunakan pemikiran sesuatu yang dihasilkan akan
berakibat buruk atau kurang bagus. 3) Labeling, bentuk overgeneralization
dimana karakteristik atau kejadian dijadikan sebagai pedoman atau standar
bagi diri sendiri atau orang lain. Sebagai contoh : “karena saya telah gagal
dalam ujian statistik, saya akan mengalami kegagalan dalam hal lain, saya
lebih baik mundur” 4) Mental filter, fokus pada kejadian negatif atau kejadian
buruk dan membiarkan pikiran tersebut mencemari atau mempengaruhi hal
yang lain. 5) Disqualifying the positive, mempertahankan pandangan negatif
dengan mengulang informasi yang mendukung pandangan positif menjadi
sesuatu yang tidak relevan, tidak akurat atau sesuatu yang tidak
dipertimbangkan. 6) Jumping to conclusions, membuat interpretasi negatif
tanpa adanya fakta yang mendukung. Jenis distorsi ini terbagi atas dua yaitu
mind reading yang ditandai dengan menyimpulkan pikiran negatif, respon
dan motif dari orang lain; fortune-teeling terror, mengasumsi hasil negatif
sebagai sesuatu tidak dapat dielakkan lagi 7) Magnification or minimization,
yaitu melebih-lebihkan sesuatu (seperti kegagalan atau kesuksesan orang
lain), tapi tidak mengakui hal tersebut. terdiri dari catastrophizing, yang
sebagai suatu bentuk yang ekstrim dari magnification dimana kesalahan
sebagai diasumsikan sebagai sesuatu hasil yang akan terjadi 8) Emotional
reasoning, menggambarkan kesimpulan berdasarkan atas pernyataan
emosional 9) Should and must statements, memberanikan diri mengarahkan
diri sendiri untuk memegang kontrol dari hal-hal yang tidak realistik dari
kejadian eksternal 10) Personalization, yaitu merasa bertanggung jawab atas
kejadian eksternal atau situasi yang terjadi diluar kontrol personal.

b. Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Terapi kognitif pada CBT membantu klien menjadi lebih sadar
tentang bagaimana mereka beralasan, pikiran otomatis yang muncul dan
memaknai berbagai hal dalam hidupnya. Intervensi kognitif menggunakan

47
pertanyaan untuk menyelidiki makna yang dimiliki klien dan
menggunakannya untuk merangsang sudut pandang atau gagasan alternatif.
Teknik ini disebut ‘guided discovery’ yang menggunakan eksplorasi dan
refleksi pada gaya penalaran dan pemikiran, dan kemungkinan untuk berpikir
secara berbeda dan lebih bermanfaat. Komponen perilaku dalam psikoterapi
CBT mengacu pada cara klien merespons ketika tertekan. Respons seperti
penghindaran, aktivitas yang berkurang, dan perilaku yang tidak membantu
dapat membuat masalah tetap ada atau memperburuk perasaan klien. Praktisi
CBT bertujuan membantu klien merasa cukup aman untuk secara bertahap
menguji asumsi dan ketakutan mereka dan mengubah perilaku mereka (Fenn
& Byrne, 2013).Misalnya, membantu klien untuk secara bertahap
menghadapi situasi yang ditakuti atau dihindari sebagai cara untuk
mengurangi kecemasan dan mempelajari keterampilan perilaku baru untuk
mengatasi masalah. Pasien dengan perilaku merusak diri, umumnya memiliki
depresi dan harga diri rendah (Videback, 2020). Penelitian menunjukkan
bahwa CBT merupakan salah satu terapi yang efektif dalam mengatasi
permasalahan harga diri rendah (Morton, Roach, Reid, & Stewart, 2012;
Waite, McManus, & Shafran, 2012).  Penelitian Lopez dan Basco (2015)
pada individu dengan depresi mayor menunjukkan bahwa individu yang
menerima CBT menunjukkan peningkatan yang lebih besar dalam gejala
depresi daripada mereka yang berada di kelompok pembanding yang hanya
menggunakan farmakologi. Mewton dan Andrews (2016) pada studi
systematic reviewnya menyatakan bahwa CBT yang berfokus pada kognisi
dan perilaku bunuh diri terbukti efektif pada individu berusia lebih dari 18
tahun.

c. Terapi Psikodinamik
Model terapi psikodinamik terdiri dari lima komponen yaitu aliansi
terapeutik, masalah psikodinamik inti, formulasi psikodinamik, strategi untuk
memfasilitasi perubahan dan terminasi. Komponen aliansi terapeutik
memiliki 3 sub komponen berupa tujuan, tugas dan hubungan (bond). Tujuan
mengacu pada penyelarasan tujuan antara terapis dan pasien (Summers, &
Barber, 2015). Tugas mengacu pada pekerjaan yang harus dilakukan oleh

48
masing-masing anggota pasangan terapi (Summers, & Barber, 2015). Pada
pasien resiko bunuh diri, trauma merupakan salah satu faktor presdiposisi
terjadinya halusinasi (Videback, 2020). Trauma adalah peristiwa luar biasa
yang mengancam kesehatan, keselamatan, atau keamanan pasien, dan sangat
menjengkelkan sehingga tidak dapat diproses secara emosional dan kognitif
secara efektif. Respons terhadap trauma mencakup pelepasan dari kenyataan,
disosiasi, dan pengembangan perpecahan dalam kepribadian. Pikiran
merespons trauma dengan cara menutupinya, tetapi karena pikiran, perasaan,
dan fantasi yang terkait dengan trauma secara terpisah dipertahankan dalam
jaringan asosiasi dan ingatan, mereka pasti bocor kembali ke kesadaran ketika
pasien menemukan sesuatu yang secara emosional terkait dengan trauma.
Pengalaman-pengalaman yang memicu ini akan membangkitkan berbagai
pengalaman menghidupkan kembali yang merupakan ciri khas trauma seperti
distorsi persepsi, mimpi, dan kilas balik. Pengalaman traumatis akan
menghancurkan perasaan aman individu sehingga sering kali individu
kehilangan kepercayaan. Perfeksionisme, penghindaran, pengulangan situasi
traumatis, dan disosiasi adalah adaptasi khas terhadap trauma. Reaksi
counterphobic juga dapat terjadi, dan korban trauma menjadi sangat agresif
dan tidak takut. Adaptasi lainnya termasuk keputusasaan dan kepasifan.
Tujuan pengobatan untuk pasien trauma adalah pemberdayaan dan
peningkatan rasa aman yang sehat. Orang yang trauma mungkin mengalami
kesulitan dalam menetapkan dan mempertahankan batasan yang sehat. Hal ini
terutama terjadi ketika trauma melibatkan kekerasan atau pelecehan seksual.
Klien perlu belajar bagaimana membedakan antara hubungan yang dapat
dipercaya dan berbahaya sehingga dapat meningkatkan rasa kepercayaan
yang sehat dan kemampuan yang lebih besar untuk merasa dekat dan aman.
Pengembangan aliansi terapeutik dengan pasien trauma adalah proses yang
berkelanjutan karena masalah bahaya dan ketidakpercayaan akan muncul
dengan sendirinya pada sesi terapi. Butuh waktu cukup lama bagi pasien
untuk mengembangkan kepercayaan pada terapis dan keyakinan bahwa
terapis akan secara aman dan efektif melaksanakan tugas-tugas yang relevan
dan memiliki tujuan yang sesuai. Pasien yang trauma sering kali peduli

49
dengan apa yang sebenarnya terapis pikirkan atau rasakan, atau alasan respon
terapis pada situasi tertentu. Bond mengacu pada hubungan emosional antara
pasien dan terapis (Summers, & Barber, 2015).
Komponen kedua terapi psikodinamik adalah mendiagnosis masalah
psikodinamik inti (Summers & Barber, 2010). Secara umum terdapat enam
masalah psikodinamik inti yaitu depresi, obsesifitas, rasa takut ditinggalkan,
harga diri rendah, kecemasan panik, dan trauma yang mencapai sekitar 80-
90% kasus yang dirawat dengan psikoterapi psikodinamik. Masalah inti
diekspresikan dalam bahasa sederhana dan karena itu mudah dikenali oleh
terapis dan pasien. Pada praktiknya, masalah-masalah ini dapat hadir secara
individu atau dalam kombinasi, dan masalah tertentu dapat mendominasi
kehidupan pasien (dan terapi) pada satu waktu dan dapat digantikan oleh yang
lain di kemudian hari.
Formulasi psikodinamik adalah ringkasan singkat dari gejala spesifik
pasien, pengalaman penting, hubungan sentral, dan peristiwa kehidupan yang
diorganisir menjadi konseptualisasi yang fokus dan jelas. Riwayat hidup
pasien adalah detail, rumit, bertekstur kaya, dan sangat individual, sedangkan
masalah inti psikodinamiknya abstrak dan mencerminkan pemahaman global.
Formulasi tersebut mewakili tingkat menengah dari inferensi antara
generalitas masalah inti dan keunikan hidup dan pengalaman pasien.
Formulasi membantu mengantisipasi terbukanya hubungan antara terapis dan
pasien, dan memungkinkan terapis untuk berpikir lebih spesifik tentang
tujuan apa yang mungkin tepat. Formulasi psikodinamik memiliki empat
bagian yaitu pertama merupakan tahap meringkas pernyataan yang mencakup
identifikasi klien, kejadian presipitasi, faktor presdiposisi yang paling
menonjol, kualitas hubungan interpersonal, aspek neurobiology dan perilaku.
Bagian kedua yaitu deskripsi faktor nondynamic seperti diagnosis sindrom
saat ini, riwayat gangguan jiwa pada keluarga, psikopatologi masa kanak-
kanak, pengalaman psikofarmakologi, penyakit medis, keterbelakangan
mental, obat / faktor fisik yang memengaruhi otak dan pengalaman traumatis.
Bagian ketiga yaitu penjelasan psikodinamik pusat konflik mencakup
masalah psikodinamik inti, menelusuri masalah inti dan konflik terkait

50
melalui riwayat pribadi, penjelasan upaya pasien untuk menyelesaikan
masalah ini yang telah maladaptif dan adaptif, keinginan, motif, perilaku,
pertahanan yang sadar dan tidak disadari oleh klien. Bagian keempat yaitu
memprediksi respon klien terhadap situasi terapeutik yang mencakup
prognosis, dengan fokus pada pengalaman klien dalam perawatan,
manifestasi transference dan resistensi yang mungkin terjadi dan kekuatan
kepribadian klien yang mungkin digunakan selama terapi.
Setelah terapis selesai dengan formulasi, komponen keempat dalam
terapi psikodinamik adalah memfasilitasi perubahan. Terdapat tiga strategi
yang dapat digunakan yaitu membimbing eksplorasi emosional, di mana
terapis membantu pasien mengungkapkan perasaan dan pikiran dan
mengidentifikasi skenario berulang yang mendasari masalah saat ini; mencari
persepsi baru, di mana klien didorong untuk membandingkan dan
membedakan pengalaman menyakitkan lama dengan pandangan alternatif
dari situasi saat ini yang serupa dan mengembangkan persepsi baru dan lebih
realistis tentang diri dan orang lain; dan mendorong respons perilaku baru, di
mana terapis mendukung pengembangan dan pengujian respons perilaku
baru.
Ketika terapis selesai dengan tahap perubahan, maka terapis akan
memasuki komponen kelima yaitu terminasi dimana klien dan terapis telah
sepakat bahwa tujuan telah tercapai dan masalah selesai.

d. Family Psychoeducation (FPE)


Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap
sesi dilakukan selama 45-60 menit. Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga
bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga karena
memiliki klien gangguan jiwa. Terapi ini mengikutsertakan seluruh anggota
keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama
caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi
keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung, dan
pasangan. Pengkajian dibuat terpisah antara masalah yang dirasakan oleh
caregiver dan anggota keluarga yang lain. Pengkajian berfokus pada masalah
dalam merawat klien sakit dan masalah yang muncul pada diri karena

51
merawat klien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada saat mengkaji
masalah ini adalah sebagai berikut (Saunders, 1997 dalam Stuart, 2009)
seperti pada situasi seperti apakah yang membuat stress pada keluarga anda?;
bagaimana perasaan anda mengenai ketergantungan, interaksi sosial atau
respon terhadap tindakan pada anggota keluarga yang sakit?; seberapa besar
dukungan yang anda dapatkan dari profesional kesehatan mental, komunitas
atau keluarga besar anda?. Tujuan sesi pertama yaitu peserta dapat
menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga; peserta mengetahui
tujuan program psikoedukasi keluarga; peserta mendapat kesempatan untuk
menyampaikan pengalamannya dalam merawat klien dengan gangguan jiwa
(masalah dalam merawat dan masalah pribadi yang dirasakan karena
merawat); peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama
mengikuti program psikoedukasi keluarga.
Sesi kedua berfokus pada edukasi mengenai masalah yang dialami
oleh klien. Edukasi yang diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa
medis dan diagnosa keperawatan yang dialami klien. Edukasi pada sesi II ini
disesuaikan dengan SAK keluarga yang telah dikembangkan pada untuk
intervensi generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini didasarkan
dengan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien. Bellack dan Mueser
(1993 dalam Fortinash & Worret, 2004) menyatakan bahwa intervensi dengan
memberikan edukasi pada keluarga dapat membantu keluarga menghadapi
stressor karena klien sakit, yang berefek positif pada kondisi klien. Townsend
(2018) menyatakan dampak positif program psikoedukasional secara tidak
langsung pada klien yaitu bahwa dengan memberikan informasi mengenai
penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran mengenai koping yang
baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan menurunkan
kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga
yang lain. Tujuan sesi II yaitu keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa
yang dialami oleh klien; keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala,
etiologi, prognosis, intervensi dan terapi yang dapat diberikan kepada klien
gangguan jiwa; keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan

52
jiwa di rumah dan keluarga mampu memperagakan cara merawat klien
dengan gangguan jiwa di rumah.
Sesi III yaitu manajemen stress keluarga. Stress adalah kondisi
ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu
dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk
menghadapi keinginan-keinginan tersebut (Townsend, 2018). Stressor adalah
keinginan dari lingkungan internal atau eksternal individu yang meningkatkan
respon fisiologis dan/atau psikologis seseorang. Kondisi klien dengan
gangguan jiwa dapat menjadi stressor tersendiri bagi keluarga. Setiap
stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan koping yang baik,
dimana untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan
manajemen stress yang tepat. Manajemen stress adalah berbagai metode yang
digunakan oleh seseorang untuk mengurangi tekanan dan respon maladaptif
lain terhadap stress dalam hidup; termasuk latihan relaksasi, latihan fisik,
musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang berhasil pada individu
tersebut. Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah
masing-masing individu keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress
akan terjadi terutama pada caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan
klien. Pada sesi III ini, terapis mengajarkan cara-cara memanajemen stress
pada seluruh anggota keluarga, terutama caregiver. Tujuan sesi III yaitu
keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang
stres yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa
dalam keluarga, keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres
yang dialami akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam
keluarga, keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stress dan
keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stress.
Sesi IV yaitu manajemen beban keluarga. Pada sesi IV ini terapis
bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai
masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah
bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh anggota
keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga. Family
psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala umum penyakit dan

53
mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga. Pengaruh dari
adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering disebut dengan
beban keluarga (Stuart, 2009). Sebuah survey mengenai caregiver di keluarga
menunjukkan bahwa beban yang paling besar dirasakan adalah
mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya konsentrasi, terganggunya
rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang dilakukan tidak
cukup baik, merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih karena
perubahan pada anggota keluarga (Rose et al., 2006 dalam Stuart, 2009).
Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan
perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan
dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif
adalah perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual
dan tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif. Pengkajian
beban keluarga dapat memberikan jalan bagi perawat untuk bekerjasama
dengan keluarga untuk mengidentifikasi dalam hal mana keluarga
memerlukan bantuan (Stuart, 2009). Tujuan Sesi IV yaitu keluarga mengenal
beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga akibat adanya anggota
keluarga yang menderita gangguan jiwa, keluarga mengetahui cara mengatasi
beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan
jiwa, keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah
diajarkan oleh terapis dan semua anggota keluarga menyepakati cara
mengatasi beban keluarga dan perannya masing-masing dalam mengatasi
beban keluarga.
Sesi V yaitu pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga.
Pada sesi V akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar
keluarga, yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga
dengan klien gangguan jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan gangguan
jiwa seringkali merasa malu, merasa dikucilkan dan merasa sendiri dalam
merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya ada dapat hilang atau
terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota keluarga dengan gangguan
jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota keluarga yang sakit
menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua aspek dari

54
beban subjektif dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial.
Keluarga seperti ini memerlukan bantuan untuk membangun kembali
dukungan sosialnya (Stuart, 2009). Komunitas memiliki pengaruh yang besar
dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan gangguan jiwa. Pemberi
layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran pemimpin dalam
mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan
dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas
dari layanan kesehatan mental. Tujuan Sesi V yaitu keluarga dapat
mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di rumah,
keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga
kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi dan
keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang
sistem rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan
untuk pembentukan Self Help Group.

3.3 Prinsip Etik dan Hukum yang harus diperhatikan dalam memberikan terapi
Standar praktik klinik keperawatan jiwa menguraikan tingkat kompetensi
dan kinerja perawat yang terlibat di tiap tatanan praktik keperawatan kesehatan
jiwa. Standar ini ditujukan kepada perawat yang memenuhi persyaratan
pendidikan dan pengalaman praktik baik pada tingkat dasar atau tingkat lanjut
keperawatan kesehatan jiwa (Stuart, 2016). Tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan perawat berkaitan dengan proses keperawatan jiwa yaitu: pengkajian,
penegakan diagnosis keperawatan, mengidentifikasi hasil, melakukan
perencanaan asuhan keperawatan, mengimplementasikan intervensi yang telah
disusun, Melakukan konseling, terapi lingkungan, Aktivitas asuhan mandiri,
Intervensi psikologis, penyuluhan kesehatan, manajemen kasus, pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan, psikoterapi, preskripsi agen farmakologis, konsltasi, dan
evaluasi (Yusuf, 2015).
Penegak hukum dan keamanan Pemerintah bersama penegak hukum juga
memiliki peran yang lebih kuat melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, BAB II Pasal 2 yang menyatakan, “Anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangan secara wajar”. Selain itu, pemerintah

55
mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi hak dan
kewajiban korban kekerasan dalam rumah tangga, di antaranya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahpusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Kasmanita, 2019),
undang-undang terkait narkoba no 35 tahun 2009 khususnya bagi pecandu
narkoba perlu diimplementasikan sesuai amanat konstitusi, Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan kewenangan yang dapat dilakukan
penyidik BNN dan penyidik Polri. Kerjasama yang dilakukan BNN dan Polri
dalam penanganan tindak pidana narkotika yaitu dengan dibentuknya Tim
Asesment Terpadu (TAT). Tim Asesment Terpadu terdiri dari BNN, Polri,
Kejaksaan, Dokter dan Psikolog sebagai tim medis(Sari Wulan Rohmah, 2019)
dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.(Haqiqi, 2015) (Siagian, 2015).
Perawat merupakan tenaga kesehtaan yang memiliki standart etik yang
harus dipatuhi selama menjalankan profesinya (Wuryaningsih dkk, 2018).
Penerapan aspek etik dalam keperawatan jiwa sangat terkait dengan pemberian
diagnosis, perlakuan atau cara merawat, hak pasien, stigma masyarakat, serta
peraturan atau hukum yang berlaku (Yusuf, 2015). Aspek legal dan etik dalam
perawatan sangat penting untuk melindungi hak-hak pasien dan mempengaruhi
standart perawatan pasien. Berikut beberapa kebijakan terkait degan praktik
pelayanan kesehatan/keperawatan jiwa:
a. UU No. 36 Th 2009 Tentang Kesehatan
b. UU No. 19 Th 2011 Konvensi Mengeai Hak-hak Penyandang Disabilitas
c. UU No. 38 Th 2014 Keperawatan
d. UU No. 36 Th 2014 Tenaga Kesehatan
e. UU No. 23 Th 2014 Pemerintah Daerah Pasal 12 (1) Pemerintah wajib
memberikan pelayanan dasar (b) kesehatan
f. PKM No. 5 Th 2014 Panduan praktik klinis bagi dokter di Faskes Primer
g. PKM No. 75 Th 2014 Puskesmas

56
h. PKM No. 39 Th 2016 Pedoman penyelenggaraan program Indonesia Sehat
dengan pendekatan keluarga pasal 3: Penderita Gangguan jiwa mendapatkan
pengobatan dan tidak diterlantarkan.
i. PKM No. 43 Th 2016 tentang standart pelayanan minimal untuk gangguan
jiwa puskesmas
j. PKM No. 54 Th 2017 tentang penanggulangan pemasungan di Indonesia.
k. UU No. 18 Th 2014 Kesehatan Jiwa, “Pelayanan keperawatan jiwa di
Indonesia meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative”
l. UU No. 10 tahun 2015 pasal 2 tenatang standart pelayanan keperawatan jiwa
di rumah sakit umum.
Etika keperawatan adalah pedoman bagi perawat di dalam memberikan
asuhan keperawatan agar segala tindakan yang diambilnya tetap memperhatikan
kebaikan klien. Dimensi etika keperawatan yang dijadikan pedoman perawat
meliputi (Potter, 2010):
1) Autonomy (menghormati otonomi klien)
Klien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan terhadapnya
setelah mendapatkan informasi yang memadai. Klien berhak untuk dihormati
dan didengarkan pendapatnya, untuk itu perlu adanya persetujuan tindak
medis (informed consent). Perawat tidak boleh memaksakan suatu tindakan
atau pengobatan dan tidak diperbolehkan melakukan suatu tindakan tanpa
adanya persetujuan dari keluarga ataupun pasien.
2) Non-maleficence (tidak merugikan)
Tindakan dan pengobatan harus berpedoman pada prinsip Primum Non
Nocere (yang paling utama, dan jangan merugikan). Risiko fisik, psikologis,
maupun sosial akibat tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan
hendaknya seminimal mungkin.

3) Beneficence (bermanfaat)
Semua tindakan dan pengobatan harus bermanfaat untuk menolong klien.
Perawat harus menyadari bahwa tindakan atau pengobatan yang akan
dilakukan benar-benar bermanfaat bagi kesehatan dan kesembuhan klien.

57
Kesehatan klien senantiasa harus diutamakan oleh perawat. Risiko yang
mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin dan memaksimalkan
manfaat bagi klien.
4) Justice (keadilan)
Perawat harus berlaku adil dan tidak berat sebelah. Adil dalam pemberian
pelayanan kesehatan tanpa memandang berbedaan.
5) Veracity (kejujuran)
Perawat hendaknya mengatakan secara jujur dan jelas apa yang akan
dilakukan, serta akibat yang dapat terjadi. Informasi yang diberikan
hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan klien.
6) Fidelity (menepati janji)
Perawat harus menghormati privasi (privacy) dan kerahasiaan klien,
meskipun klien telah meninggal perawat tetap menjaga kerahasiaan.
7) Accountability (akuntabilitas)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
Perawat memiliki tanggungjawab dalam setiap tindakan yang dilakukannya
8) Confidentiality (kerahasiaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privesi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
kliuen hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.

58
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Masalah psikososial pada KDRT, masalah fisik dan NAPZA merupakan
masalah yang sangat serius. Karena masalah tersebut merupakan masalah yang
terkait dengan hukum seperti halnya KDRT dan penyalah gunaan obat atau
NAPZA undang-undang terkait narkoba no 35 tahun 2009 khususnya bagi
pecandu narkoba perlu diimplementasikan sesuai amanat konstitusi, Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan kewenangan yang
dapat dilakukan penyidik BNN dan penyidik Polri. Kerjasama yang dilakukan
BNN dan Polri dalam penanganan tindak pidana narkotika yaitu dengan
dibentuknya Tim Asesment Terpadu (TAT). Tim Asesment Terpadu terdiri dari
BNN, Polri, Kejaksaan, Dokter dan Psikolog sebagai tim medis(Sari Wulan
Rohmah, 2019) dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997
tentang Psikotropika.(Haqiqi, 2015) (Siagian, 2015). Untuk KDRT sendiri pelaku
akan mendapatkan tindakan tegas dari para Penegak hukum dan keamanan
Pemerintah bersama penegak hukum juga memiliki peran yang lebih kuat melalui
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, BAB II Pasal 2 yang
menyatakan, “Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan secara wajar”.
Selain itu, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk
melindungi hak dan kewajiban korban kekerasan dalam rumah tangga, di
antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahpusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Kasmanita, 2019),
berdasarkan peraturan – peraturan inilah semua tim medis termasuk perawat
berhak memberikan perlindungan pada korban KDRT dan memberikan tindakan
pelaporan terhadap para pengguna NAPZA, sedangkan pada klien dengan
masalah fisik disini kita bisa mempelajari suatu keilmuan baru yakni
Psikoneuroimunologi (PMI) keilmuan yang berfokus pada kesehatan psikiatri
dimana ketika kejiwaan seseorag itu sehat akan berdampak sehat pula pada sistem

59
neurologi dan sistem imunologinya, disiniah seorang perawat tidak hanya
memberikan tindakan keperawatan yang secara fisik akan tetapi disertai dengan
Therapeutic touch (Krieger, 1981) dimana kita bisa membantu pasien sehat secara
holistic meliputi bio,psiko,sosio,dan spiritual (Muzaenah & Makiyah, 2018)

4.2 Saran
2 Bagi mahasiswa keperawatan dan perawat sebaiknya lebih memperdalam
mengenai masalah gangguan jiwa psikososial khususnya pada KDRT,
masalah fisik dan NAPZA sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan
yang profesional secara holistic pada pasien yang mengidap penyakit fisik,
perawat bisa mengambil sikap melindungi penyanding KDRT dan bersifat
tegas pada para pengguna NAPZA yang professional kepada klien dengan
berbagai macam terapi yang dapat disesuaikan dengan kondisi klien dan
keluarga serta dapat menerapkan terapi tersebut dengan memperhatikan
prinsip etik dan hukum keperawatan yang berlaku sehingga terhindar dari
kesalahan atau hal-hal yang tidak diinginkan.

60
DAFTAR PUSTAKA
Alifudin, A., Rochmawati, D. H., & Purnomo. (2015). Pengaruh Mendengarkan
Asmaul Husna Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Resiko Perilaku
Kekerasan Di Rsjd Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Karya
Ilmiah.
Andriyani, S. H., Pratiwi, A., & Mutya, E. (2019). PENGALAMAN PASIEN
GANGGUAN JIWA KETIKA DIBERIKAN TERAPI GUIDED
IMAGERY. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa.
https://doi.org/10.32584/jikj.v2i2.311
Avery, J., Schreier, A., & Swanson, M. (2020). A complex population: Nurse’s
professional preparedness to care for medical-surgical patients with mental
illness. Applied Nursing Research, (May 2019), 151232.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2020.151232
Burian, R., Franke, M., & Diefenbacher, A. (2016). Crossing the bridge - A
prospective comparative study of the effect of communication between a
hospital based consultation-liaison service and primary care on general
practitioners’ concordance with consultation-liaison psychiatrists’
recommendations. Journal of Psychosomatic Research, 86, 53–59.
https://doi.org/10.1016/j.jpsychores.2016.05.002
Cacioppo, J. T., Cacioppo, S., Capitanio, J. P., & Cole, S. W. (2015). The
Neuroendocrinology of Social Isolation. Annual Review of Psychology.
https://doi.org/10.1146/annurev-psych-010814-015240
Cattaneo, A., Haroon, E., Su, K.-P., & Pariante, C. M. (2020). Why we do need a
new gold open access journal called “Brain, behavior and immunity -
Health.” Brain, Behavior, & Immunity - Health, 1(November 2019), 100001.
https://doi.org/10.1016/j.bbih.2019.100001
Creswell, J. D. (2017). Mindfulness Interventions. Annual Review of Psychology.
https://doi.org/10.1146/annurev-psych-042716-051139
Dwidiyanti, M., Sari, S. P., Studi, P., Keperawatan, M., & Diponegoro, U. (2019).
Nursing Intervention of Family Self Efficacy Skizofrenia Patients. Jurnal
Keperawatan Jiwa.
Gail W. Stuart, Budi Anna Keliat, J. P. (2016). Prinsip dan Praktik
KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA STUART BUKU 1 (1st ed.; J. P. Gail

61
W. Stuart, Budi Anna Keliat, Ed.). Singapore: ELSEVIER.
Gearing, R. E., & Lizardi, D. (2009). Religion and suicide. Journal of Religion
and Health. https://doi.org/10.1007/s10943-008-9181-2
Haqiqi, A. L. F. (2015). Tinjauan Yuridis Terhadap Pemidanaan Pengguna
Narkoba di Kalangan Remaja Dari Perspektif Teori Hukum dan Praktik
Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Krisnadwipayana.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
House, A., Guthrie, E., Walker, A., Hewsion, J., Trigwell, P., Brennan, C., …
Tubeuf, S. (2018). A programme theory for liaison mental health services in
England. BMC Health Services Research, 18(1), 1–11.
https://doi.org/10.1186/s12913-018-3539-2
Howard, L. M., Trevillion, K., & Agnew-Davies, R. (2010). Domestic violence
and mental health. International Review of Psychiatry.
https://doi.org/10.3109/09540261.2010.512283
Hülsheger, U. R., Alberts, H. J. E. M., Feinholdt, A., & Lang, J. W. B. (2013).
Benefits of mindfulness at work: The role of mindfulness in emotion
regulation, emotional exhaustion, and job satisfaction. Journal of Applied
Psychology. https://doi.org/10.1037/a0031313
Indrawati, P. A., Sulistiowati, N. M. D., & Nurhesti, P. O. Y. (2019).
PENGARUH PELATIHAN KADER KESEHATAN JIWA TERHADAP
PERSEPSI KADER DALAM MERAWAT ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA. Jurnal Keperawatan Jiwa.
https://doi.org/10.26714/jkj.6.2.2018.71-75
Isgandarova, N. (2019). Muraqaba as a Mindfulness-Based Therapy in Islamic
Psychotherapy. Journal of Religion and Health.
https://doi.org/10.1007/s10943-018-0695-y
Kasmanita, K. (2019). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Jurisprudentie : Jurusan Ilmu
Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum.
https://doi.org/10.24252/jurisprudentie.v6i2.10302
Krieger, D. (1981). Therapeutic touch. Supervisor Nurse.

62
https://doi.org/10.12968/bjch.1996.1.4.13005
Laela Dewi Saputri, Dwi Heppy, S.-. (2015). PENGARUH TERAPI SPIRITUAL
MENDENGARKAN AYAT SUCI AL-QURAN TERHADAP
KEMAMPUAN MENGONTROL EMOSI PADA PASIEN RESIKO
PERILAKU KEKERASAN DI RSJ DR. AMINO GONDOHUTOMO.
Karya Ilmiah STIKES Telogorejo.
Liakopoulou, D., Varvogli, L., & Darviri, C. (2020). Stress management and
health promotion intervention program for police forces.
https://doi.org/10.1177/1461355719898202
Litaqia, W., & Permana, I. (2019). Peran Spiritualitas dalam Mempengaruhi
Resiko Perilaku Bunuh Diri: A Literature Review. Jurnal Keperawatan
Respati Yogyakarta. https://doi.org/10.35842/jkry.v6i2.305
Liu, J., Dietz, K., Deloyht, J. M., Pedre, X., Kelkar, D., Kaur, J., … Casaccia, P.
(2012). Impaired adult myelination in the prefrontal cortex of socially
isolated mice. Nature Neuroscience. https://doi.org/10.1038/nn.3263
Matthews, G. A., Nieh, E. H., Vander Weele, C. M., Halbert, S. A., Pradhan, R.
V., Yosafat, A. S., … Tye, K. M. (2016). Dorsal Raphe Dopamine Neurons
Represent the Experience of Social Isolation. Cell, 164(4), 617–631.
https://doi.org/10.1016/j.cell.2015.12.040
Mengo, C., Beaujolais, B., Kulow, E., Ramirez, R., Brown, A., & Nemeth, J.
(2020). Knowledge and Perspectives of Domestic Violence Service
Providers about Survivors with Mental Health Disability. Journal of Family
Violence, 35(2), 181–190. https://doi.org/10.1007/s10896-019-00053-3
Munandar, A., Irawati, K., & Prianto, Y. (2020). Terapi Psikoreligius Dzikir
Menggunakan Jari Tangan Kanan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa Di
Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta. DINAMIKA
KESEHATAN JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN.
https://doi.org/10.33859/dksm.v10i1.451
Muzaenah, T., & Makiyah, S. N. N. (2018). PENTINGNYA ASPEK SPIRITUAL
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISA: A
LITERATURE REVIEW. Herb-Medicine Journal.
https://doi.org/10.30595/hmj.v1i2.3004

63
National Alliance on Mental Illness. (2019). Mental Health By the Numbers |
NAMI: National Alliance on Mental Illness.
National Institute on Drug Abuse. (2018). Commonly Abused Drugs Charts |
National Institute on Drug Abuse (NIDA).
Pitaloka Priasmoro, D. (2016). LITERATUR REVIEW:APLIKASI MODEL
SOSIAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN JIWA PADA IBU
HAMIL DENGAN HIV/AIDS. Jurnal Ilmu Keperawatan (Journal of
Nursing Science). https://doi.org/10.21776/ub.jik.2016.004.01.2
Provino, R. (2010). The role of adaptogens in stress management. Australian
Journal of Medical Herbalism.
Rizzo, T. L., & Columna, L. (2020). Theory of planned behavior. In Routledge
Handbook of Adapted Physical Education.
https://doi.org/10.4324/9780429052675-25
Sari, S. P., & Dwidiyanti, M. (2014). Mindfullnes dengan pendekatan spiritual
pada pasien skizoprenia dengn resiko perilku kekerasan. Jurnaal Kesehatan.
Sari Wulan Rohmah. (2019). Sinergitas Kerjasama Antara Bnn Dan Polri Dalam
Proses Penyidikan Tindak Pidana Narkotika. Faculty of Law.
Sholihah, Q. (2015). EFEKTIVITAS PROGRAM P4GN TERHADAP
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NAPZA. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. https://doi.org/10.15294/kemas.v10i2.3376
Siagian, A. (2015). PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORBAN
PECANDU NARKOBA DI INDONESIA. SALAM: Jurnal Sosial Dan
Budaya Syar-I. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v2i2.2380
Slavich, G. M., & Slavich, G. M. (2020). Psychoneuroimmunology of Stress and
Mental Health. In The Oxford Handbook of Stress and Mental Health.
https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780190681777.013.24
Taylor, D., Bury, M., & Campling, N. (2006). A Review of the use of the Health
Belief Model (HBM), the Theory of Reasoned Action (TRA), the Theory of
Planned Behaviour (TPB) and the Trans-Theoretical. London, UK: National
…, (June), 1–215. Retrieved from
http://nice.org.uk/nicemedia/pdf/Behaviour_Change-Taylor_et_al-
models_review_tables_appendices.pdf

64
Walker, L. E. A., & Conte, C. B. (2018). Domestic violence. In Handbook of
Behavioral Criminology. https://doi.org/10.1007/978-3-319-61625-4_23
Windarwati, H. D. (2019). BUKU AJAR KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA 1
(1st ed.; Fatkhur Rokhim, Ed.). JEMBER: UPT Percetakan & Penerbitan
Universitas Jember.
Yosep, I. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN JIWA (1st ed.; dandan wilani,
Ed.). Bandung: PT Refika Aditama.
Yusuf, Fitryasari, R., & Nihayati, H. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa. In
Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Zelikowsky, M., Hui, M., Karigo, T., Choe, A., Yang, B., Blanco, M. R., …
Anderson, D. J. (2018). The Neuropeptide Tac2 Controls a Distributed Brain
State Induced by Chronic Social Isolation Stress. Cell.
https://doi.org/10.1016/j.cell.2018.03.037

65

Anda mungkin juga menyukai