Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH ASKEP PSIOLOGIS BERDUKA PADA LANSIA

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Gerontik


Dosen Pembimbing : Ernawati, M.Kep

Disusun Oleh :
ANDI LISTIANI / A12019013

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, dengan petunjuk dan rahmat-Nya sehingga kami
dapat membuat makalah dan dapat terselesaikan. Kami membuat makalah tentang “Askep
Psikologis Berduka pada Lansia” bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Gerontik.
Kami sadar bahwa ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan
penulis. Dengan demikian, kritik maupun saran sangat dibutuhkan demi kemajuan kami.

Penyelesaian naskah ini tidak lepas dari motivasi dan jasa dari beberapa pihak. Oleh sebab itu
kami ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak yang meluangkan waktunya untuk
membimbing kami dalam menyelesaikannya. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi
kami khususnya dan para pembaca pada umumnya dan dapat menambah wawasan tentang
keperawatan gerontik khususnya. Amiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Gombong, 5 Oktober 2021

Andi Listiani

2
DAFTAR ISI

COVER JUDUL.....................................................................................................1

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................4

A. Latar Belakang...........................................................................................4

BAB II TINJAUAN KASUS.................................................................................6

A. Konsep Lansia............................................................................................6
B. Permasalahan Kesehatan
Lansia.........................................................................................................6
C. Permasalahan Psikologis
Lansia.........................................................................................................8
D. Konsep Berduka.........................................................................................8
E. Pengkajian Masalah Psikologis pada Lansia.............................................9

BAB III PENUTUP...............................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

LAMPIRAN ASKEP.............................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas dan telah
mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial (Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2013). Proses penuaan berdampak tidak hanya pada perubahan fisik, tetapi juga
kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Kholifah, 2016). Perubahan yang di alami lansia ini yang
menyebabkan lansia dengan persentase tertinggi dapat mengalami kesulitan mengurus diri
sendiri dengan tingkat kesulitan sedikit maupun parah (BPS, 2017). Meningkatnya jumlah
penduduk lanjut usia akan menimbulkan berbagai permasalahan dan mempengaruhi angka
beban ketergantungan. Untuk mengurangi beban ketergantungan ini, lanjut usia harus bisa
hidup mandiri dan tetap hidup produktif di masa tua mereka (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

Populasi lanjut usia terus meningkat. Pada tahun 2012 Indonesia termasuk negara Asia ketiga
dengan jumlah absolut populasi di atas 60 tahun terbesar. Indonesia akan mencapai 100 juta
lanjut usia (lansia) pada tahun 2050. Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun
2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi jumlah
penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan
tahun 2035 (48,19 juta) (BPS, 2016).

Hasil penelitian (Rohmah et al., 2012) menunjukkan bahwa faktor fisik, faktor psikologis,
faktor sosial, dan faktor lingkungan juga berpengaruh pada kualitas hidup lansia. Faktor
psikologis menjadi faktor yang paling dominan dan merupakan penyebab terbanyak pada
perubahan pada kehidupan lansia sehingga lansia perlu beradaptasi untuk menanggulanginya.
Apabila lansia tidak berhasil beradaptasi maka timbul gangguan seperti kecemasan (Phan et al.,
2019). Gangguan psikologis yang dapat muncul pada lansia meliputi demensia, kecemasan,
gangguan tidur dan depresi.

4
Gangguan kesehatan yang paling sering muncul adalah kecemasan (Bagus, Hendra, & Ardani,
2018). Lansia dengan kecemasan merupakan konsumen yang banyak menggunakan fasilitas
pelayanan kesehatan karena berbagai gejala seperti nyeri dada, jantung berdebar, pusing dan
sesak nafas. (Stuart, 2016). Berdasarkan data dari (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013)
gangguan emosional pada lansia di Indonesia terjadi 10% pada rentang umur 65-74 tahun dan
13% terjadi pada lansia umur lebih dari 75 tahun.

Berdasarkan penelitian epidemiologi, gangguan kecemasan pada lansia lebih banyak terjadi
mendahului terjadinya depresi (Ramos & Stanley, 2017) karena kecemasan merupakan faktor
yang menyebabkan orang lanjut usia mengalami keterbatasan dalam beraktivitas (Norton et al.,
2012). Lansia yang mengalami kecemasan cenderung mengalami penurunan dalam
kemandiriannya (Lestari, 2016). Selain itu, kecemasan pada lansia dapat mempengaruhi
kualitas hidup lansia selanjutnya (Feki et al., 2017).

Gangguan kecemasan mempunyai angka kejadiannya tinggi pada lanjut usia (Vink, Aartsen, &
Schoevers, 2008). Diperkirakan angka kejadian kecemasan pada lanjut usia di Amerika Serikat
sekitar 11.6% dan angka kejadian sepanjang kehidupan sekitar 15.1%. Angka kejadian di
negara lain berkisar antara 4.4% sampai dengan 14.2%. Prevalensi kecemasan pada usia
dewasa dan lansia di dunia berkisar antara 15% sampai dengan 52.3% (Bryant,et.all, 2011) dan
di negara berkembang berkisar 50% (Supriyanto, 2013) dan di Indonesia sendiri angka
kejadian kecemasan sekitar 39 juta jiwa dari 238 juta jiwa penduduk (Heningsih, dkk, 2014).
Berdasarkan data dari (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013) gangguan emosional pada lansia di
Indonesia terjadi 10% pada rentang umur 65-74 tahun dan 13% terjadi pada lansia umur lebih
dari 75 tahun.

Berdasarkan fenomena masalah psikologis pada lansia diatas, penulis tertarik untuk membahas
seputar lansia dan permasalahannya.

5
BAB II

TINJAUAN KASUS

a. Konsep Lansia

Lanjut usia (Lansia) membutuhkan dukungan perawatan agar mampu mencapai masa tua yang
bahagia dan sejahtera. Konsep lansia terdiri dari definisi lansia, batasan lansia, ciri-ciri lansia,
perkembangan lansia, permasalahan lansia di Indonesia, tujuan pelayanan kesehatan pada
lansia, pendekatan perawatan dan etika dalam pelayanan kesehatan lansia.

1. Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No
13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang
bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan
usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak
diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian
nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang
terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi
tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu
anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).

2. Batasan Lansia
a. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,
2) Usia tua (old) :75-90 tahun, dan

6
3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.
b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori, yaitu:
1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,
2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas
dengan masalah kesehatan

3. Ciri-ciri Lansia
Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis.
Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia
yang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan
mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki
motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.


Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia
dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang
mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi
ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.

c. Menua membutuhkan perubahan peran.


Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran
dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar
keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia
menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat
tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.


Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung mengembangkan
konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk.

7
Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk
pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk
pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan
memiliki harga diri yang rendah.

4. Perkembangan Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia.
Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap
akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua (tahap seseorang
mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga
tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan).
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan
sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan
dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan
jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan
terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.
Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan teori, namun para
ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik.

5. Tujuan Pelayanan Kesehatan Pada Lansia

Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam memudahkan petugas


kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial, kesehatan, perawatan dan meningkatkan
mutu pelayanan bagi lansia. Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia terdiri dari :
a. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi-tingginya,
sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
b. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental
c. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita suatu
penyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian yang
optimal.
d. Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia yang berada

8
dalam fase terminal sehingga lansia dapat mengadapi kematian dengan tenang dan
bermartabat.
Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat pelayanan sosial lansia, pusat
informasi pelayanan sosial lansia, dan pusat pengembangan pelayanan sosial lansia
dan pusat pemberdayaan lansia.

6. Pendekatan Perawatan pada Lansia

a. Pendekatan Fisik

Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan pendekatan fisik melalui
perhatian terhadap kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia semasa
hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih dapat dicapai
dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau progresifitas penyakitnya.
Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi 2 bagian:
1) Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga dalam kebutuhannya sehari-hari ia
masih mampu melakukannya sendiri.
2) Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat
harus mengetahui dasar perawatan klien lansia ini, terutama yang berkaitan dengan
kebersihan perseorangan untuk mempertahankan kesehatan.
b. Pendekatan Psikologis
Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada
klien lansia. Perawat dapat berperan sebagai pendukung terhadap segala sesuatu yang
asing, penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki
kesabaran dan ketelitian dalam memberi kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk
menerima berbagai bentuk keluhan agar lansia merasa puas. Perawat harus selalu memegang
prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan service. Bila ingin mengubah tingkah laku dan
pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan dan
bertahap.

c. Pendekatan Sosial
Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita merupakan salah satu upaya perawat

9
dalam melakukan pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama
dengan sesama klien lansia berarti menciptakan sosialisasi. Pendekatan sosial ini merupakan
pegangan bagi perawat bahwa lansia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.
Dalam pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial, baik antar lania maupun
lansia dengan perawat. Perawat memberi kesempatan seluas-luasnya kepada lansia untuk
mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi. Lansia perlu dimotivasi untuk membaca
surat kabar dan majalah

7. Prinsip Etika pada Pelayanan Kesehatan Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada lansia adalah
(Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

a. Empati: istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar pengertian yang
dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus memandang seorang lansia yang
sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami
oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak
berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over protective dan belas-kasihan. Oleh
karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik
dari penderita lansia.

b. Non maleficence dan beneficence. Pelayanan pada lansia selalu didasarkan pada
keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus menghindari tindakan yang
menambah penderitaan (harm). Sebagai contoh, upaya pemberian posisi baring yang
tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat
morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal
yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.

c. Otonomi yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada
keadaan, apakah lansia dapat membuat keputusan secara mandiri dan bebas. Dalam
etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh

10
pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedangkan non-maleficence dan
beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal
aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi
wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (misalnya seorang ayah
membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).

8. Permasalahan Lansia di Indonesia

Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih dari 80 juta jiwa di tahun 2050.
Tahun 2050, satu dari empat penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah
menemukan penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita. Sedangkan sebaran penduduk
lansia pada tahun 2010, Lansia yang tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang
tinggal di perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Terdapat perbedaan yang cukup besar antara
lansia yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan. Perkiraan tahun 2020 jumlah lansia tetap
mengalami kenaikan yaitu sebesar 28.822.879 (11,34%), dengan sebaran lansia yang tinggal di
perkotaan lebih besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20%) dibandingkan dengan yang tinggal
di perdesaan yaitu sebesar 13.107.927 (11,51%). Kecenderungan meningkatnya lansia yang
tinggal di perkotaan ini
dapat disebabkan bahwa tidak banyak perbedaan antara rural dan urban.
Kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan lansia menurut UU Kesejahteraan Lanjut Usia
(UU No 13/1998) pasa 1 ayat 1: Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan
pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik baiknya bagi diri, keluarga, serta
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai dengan
Pancasila.
Pada ayat 2 disebutkan, Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun keatas. Dan mereka dibagi kepada dua kategori yaitu lanjut usia potential (ayat 3)
dan lanjut usia tidak potensial (ayat 4). Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa.
11
Sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Bagi Lanjut Usia Tidak potensial (ayat 7) pemerintah dan masyarakat mengupayakan
perlindungan sosial sebagai kemudahan pelayanan agar lansia dapat mewujudkan dan
menikmati taraf hidup yang wajar. Selanjutnya pada ayat 9 disebutkan bahwa pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus-
menerus agar lanjut usia dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar.
Lanjut usia mengalami masalah kesehatan.
Masalah ini berawal dari kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh
menurun serta faktor resiko terhadap penyakit pun meningkat. Masalah kesehatan yang sering
dialami lanjut usia adalah malnutrisi, gangguan keseimbangan, kebingungan mendadak, dan
lain-lain. Selain itu, beberapa penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia antara lain
hipertensi, gangguan pendengaran dan penglihatan, demensia, osteoporosis, dsb.
Data Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka kesakitan pada lansia tahun 2012
di perkotaan adalah 24,77% artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah perkotaan 24
orang mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100 orang lansia di
pedesaan, 28 orang mengalami sakit. Masalah kesehatan jiwa yang sering timbul pada lansia
meliputi kecemasan, depresi, insomnia, paranoid, dan demensia (Maryam, Ekasari, Rosidawati,
Jubaedi, & Batubara, 2008)

9. Konsep Berduka

Berduka adalah kondisi subyektif yang mengikuti proses kehilangan yang merupakan salah
satu keadaan emosional yang paling kuat dan mempengaruhi semua aspek kehidupan
seseorang. Respon berduka yang paling sering adalah respon terhadap kehilangan orang yang
dicintai karena kematian atau perpisahan, tetapi juga dapat mengikuti kehilangan yang
berwujud atau tidak berwujud yang sangat disayangi. Setiap individu mempunyai respon
kehilangan (berduka) yang berbeda dengan jangka waktu yang berbeda pula pada tiap individu.

Berduka adalah respons adaptif terhadap proses perpisahan yang sehat, yang mencoba untuk
mengatasi stress akibat kehilangan. Berduka atau berkabung, bukan proses patologis melainkan
respon adaptif terhadap stressor yang nyata. Tidak adanya berduka saat menghadapi kehilangan

12
menunjukkan respon maladaptif. Berduka melibatkan stess, kepedihan, penderitaan, dan
gangguan fungsi yang berlangsung selama berhari- hari,berminggu-minggu atau berbulan-
bulan (Stuart,2013).

Menangis, memanggil nama orang yang sudah meninggal secara terus-menerus, marah, sedih
dan kecewa merupakan beberapa respon yang tampak saat seseorang mengalami peristiwa
kehilangan, terutama akibat kematian orang yang dicintai. Keadaan seperti inilah yang menurut
Puri, et al (2011) disebut sebagai proses berduka, yang merupakan suatu proses psikologis dan
emosional yang dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah kehilangan
Menuru Stuart (2013), kemampuan untuk mengalami berduka secara bertahap terbentuk dalam
proses perkembangan normal dan berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengembangkan
hubungan yang bermakna. Respon berduka mungkin adaptif maupun maladaptif.

Berduka yang rumit adalah respon yang adaptif. Tahap ini berjalan secara konsisten dengan
cepat karena dimodifikasi oleh kesulitan dari kehilangan, persiapan seseorang pada kejadian,
dan pentingnya objek yang hilang. Berduka rumit adalah proses keterbatasan diri dari realitas,
sebuah fakta nyata dari kehilangan.

Reaksi berduka yang tertunda adalah maladaptif. Sesuatu menghalangi proses berduka
berjalan normal. Ketiadaan emosi adalah sinyal penundaan proses berduka. Penundaan
mungkin terjadi pada awal proses berkabung, memperlambat proses setelah proses dimulai,
atau keduanya. Penundaan dan penolakan berduka mungkin berlangsung selama bertahun-
tahun.

Kematian dan kehilangan juga dapat ditemukan pada respon maladaptif depresi. Hal ini adalah
perluasan kesedihan dan berduka yang abnormal (Kendler, et al. 2008). Emosi yang
berhubungan dengan kehilangan mungkin dipicu oleh sebuah kenangan dari keadaan
kehilangan hal-hal disekitarnya atau kejadian spontan dalam hidup klien. Sebagai conth klasik
dari hal itu adalah reaksi peringatan, dimana orang mengalami berduka yang tidak terselesikan
atau tidak normal pada saat kehilangan, respon kehilangan terulang kembali ketika berulang
pada peringatan kehilangan

Teori perilau klasik Kubler-Ross (1969) dalam Potter & Perry (2009) menggambarkan lima
tahap kematian. Namun tahap-tahap tersebut ditulis dalam suatu kondisi, individu yang
berduka tidak akan mengalaminya dalam kondisi-kondisi tertentu atau untuk waktu yang
panjang dan sering berpindah kembali dan seterusnya dari satu tahap ke tahap lainnya. Pada
13
tahap penyangkalan (denial), individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan menolak
menerima kenyataan adanya rasa kehilangan. Individu menunjukkan seolah-olah tidak
memahami apa yang telah terjadi. Ketika mengalami tahap kemarahan (anger) terhadap rasa
kehilangan, individu mengungkapkan pertahanan dan terkadang merasakan kemarahan yang
hebat terhadap Tuhan, individu lain, atau situasi. Tawar-menawar (bargaining) melindungi
dan menunda kesadaran akan rasa kehilangan dengan mencoba untuk mencegahnya untuk
terjadi. Individu yang berduka atau sekarat membuat janji dengan dirinya sendiri, Tuhan, atau
orang yang dicintai bahwa mereka akan hidup atau mempercayai secara berbeda jika mereka
dapat dihindarkan dari kehilangan yang menakutkan itu. Karena seseorang menyadari secara
keseluruhan akibat dari rasa kehilangan, terjadilah depresi (depression). Beberapa individu
merasa sedih, putus asa, dan kesendirian yang berlebihan. Karena mengalami hal yang buruk,
mereka terkadang menarik diri dari hubungan dan kehidupan. Dalam tahap penerimaan
(acceptance), individu memasukkan rasa kehilangan ke dalam kehidupan dan menemukan cara
untuk bergerak maju

10. Permasalahan Psikologis Lansia

Pemahaman kesehatan pada lansia umumnya bergantung pada persepsi pribadi atas
kemampuan fungsi tubuhnya. Lansia yang memiliki kegiatan harian atau rutin biasanya
menganggap dirinya sehat, sedangkan lansia yang memiliki gangguan fisik, emosi, atau
sosial yang menghambat kegiatan akan menganggap dirinya sakit. Perubahan fisiologis
pada lansia bebrapa diantaranya, kulit kering, penipisan rambut, penurunan pendengaran,
penurunan refleks batuk, pengeluaran lender, penurunan curah jantung dan sebagainya.
Perubahan tersebut tidak bersifat patologis, tetapi dapat membuat lansia lebih rentan
terhadap beberapa penyakit. Perubahan tubuh terus menerus terjadi seiring bertambahnya
usia dan dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:


- Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
- Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi
dan budaya.
- Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
- Pasangan hidup telah meninggal.

14
11. Panatalaksanaan

Dalam menyikapi permasalahan pada lansia ermasuk masalah psikologis, digunakan


penatalaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK). Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
merupakan terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang
mempunyai masalah keperawatan yang sama. Sekumpulan individu yang mempunyai relasi
hubungan satu sama lain, saling terikat dan mengikuti norma yang sama. Aktivitas digunakan
sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Didalam kelompok terjadi
dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium
tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang
maladaptif. Terapi aktifitas kelompok adalah suatu upaya untuk memfasilitasi psikoloterapis
terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan
interpersonal antar anggota.

Jenis-jenis TAK :

1. TAK Sosisalisasi (untuk klien dengan menarik diri yang sudah sampai pada tahap
mampu berinteraksi dalam kelompok kecil dan sehat secara fisik)
2. TAK Stimulasi Sensori (untuk klien yang mengalami gangguan sensori)
3. TAK Realita (untuk klien halusinasi yang telah dapat mengontrol halusinasinya, klien
paham yang telah dapat berorientasi kepada realita dan sehat secara fisik)
4. TAK Persepsi (untuk klien dengan halusinasi)
5. TAK Peningkatan Harga Diri (untuk klien dengan harga diri rendah)
6. TAK Energy (untuk klien perilaku kekerasan yang telah dapat menekspresikan
marahnya secara bertahap dan sehat secara fisik)
Manfaat TAK :

1. Manfaat Umum
- Meningkatkan kemampuan uji realitas melalui komunikasi dan umpan balik dengan
atau dari orang lain
- Melakukan sosialisasi
- Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif
2. Manfaat Khusus
- Meningkatkan identitas diri
15
- Menalurkan emosi secara konstrukstif
- Meningkatkan keterampilann hubungan interpersonal atau sosial
3. Manfaat Rehabilitasi
- Meningkatkan ketrampilan ekspresi diri
- Meningkatkan ketrampilan sosial
- Meningkatkan kemampuan empati
- Meningkatkan kemampuan atau penegtahuan pemecahan masalah
Tahap-tahap TAK

1. Pre kelompok (menentukan tujuan, merencanakan, dan membagi bagian peran, kapan
waktu pelaksanaan, proses evaluasi, menjelaskan sumber yang diperlukan seperti alat-
alat)
2. Fase awal
- Orientasi
- Konflik
- Kebersamaan
3. Fase kerja
4. Fase terminasi

12. Pengkajian Psiologis Lansia

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawtaan dan merupakan suatu proses yang
sistematis dalam pengumplan data dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Marfuah, 2014).
Berikut ini adalah data fokus depresi pada lansia diantaranya (Videbeck, 2012):
a. Identitas diri Klien

Hasil analisis lanjutan riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat
antara masalah gangguan mental emosional dengan lansia, khususnya pada usia 65 tahun ke
atas. Cor problem

b. Struktur keluarga : Genogram

16
Pada penelitian mengenai depresi dalam keluarga diperoleh bahwa generasi pertama
berpeluang lebih sering dua sampai sepuluh kali mengalami depresi. berat.Penelitian yang
berhubungan dengan anak kembar mengemukakan bahwa kembar monozigot berpeluang
sebesar 50%, sedangkan kembar dizigot sebesar 10-25%.

c. Riwayat penyakit klien


Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk adanya tanda dan gejala karakteristik
yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang didiagnosis.
1) Kaji adanya depresi

2) Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat, seperti geriatric
depresion scale.

3) Anjurkan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan.

4) Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga.


(Videbeck, 2012)

d. Lakukan observasi langsung terhadap :


1) Perilaku
1) Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas hidup sehari-
hari?

2) Apakah klien menunjukan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial?

3) Apakah klien sering mengluyur dan mondar-mandir?

4) Apakah ia menunjukan sundown sindrom atau perserevation fenomena?


2) Afek

a) Apakah klien menunjukan ansietas?

b) Labilitas emosi?

c) Depresi atau apatis?

d) Iritabiltas?
e) Curiga?

f) Tidak berdaya?
17
g) Frustasi?

3) Respon kognitif

a) Bagaimana tingkat orientasi klien?

b) Apakah klien mengalami kehilangan ingatan tentang hal-hal yang baru saja atau yang sudah
lama sekali?

c) Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau meng-abstrakan?

d) Kurang mampu membuat penilaian?

e) Terbukti mengalami afasia, agnosia atau apraksia?


(Videbeck, 2012)
e. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga
1) Identifikasi pemberi asuhan primer dan tentukan berapa lama ia sudah menjadi pemberi
asuhan dikeluarga tersebut.

2) Identifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan anggota keluarga lain.

3) Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan sumber daya komunitas (catat
hal-hal yang perlu diajarkan)

4) Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga

5) Identifikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran pemberi asuhan tentang
dirinya sendiri
(Videbeck, 2012)

f. Mengkaji Klien Lansia dengan Depresi


1) Membina hubungan saling percaya dengan klien lansia
Untuk melakukan pengkajian pada lansia dengan depresi, pertama-tama saudaraharus membina
hubungan saling percaya dengan pasien lansia.
Untuk dapat membina hubungan saling percaya, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Selalu mengucapkan salam kepada pasien seperti : selamat pagi/siang/sore/malam atau
sesuai dengan konteks agama pasien.

18
b) Perkenalkan nama saudara (nama panggilan) saudara, termasuk menyampaikan bahwa
saudara adalah perawat yang akan merawat pasien.

c) Tanyakan pula nama pasien dan nama panggilan kesukaannya.

d) Jelaskan tujuan saudara merawat pasien dan aktivitas yang akan dilakukan.

e) Jelaskan pula kapan aktivitas akan dilaksanakan dan berapa lama aktivitas tersebut

f) Bersikap empati dengan cara :


(1) Duduk bersama klien, melakukan kontak mata, beri sentuhan dan menunjukkan perhatian

(2) Bicara lambat, sederhana dan beri waktu klien untuk berfikir dan menjawab
(Videbeck, 2012) Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan Koping(Wilkinson, 2016)

a. Definisi
Ketidakefektifan koping adalah ketidakmampuan untuk melakukan penilaian yang valid
terhadap stressor, ketidakadekuatan pilihan respons yang dipraktikkan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan sumber yang tersedia.

b. Batasan karakteristik
1) Subyektif
a) Perubahan pada pola komunikasi yang biasa

b) Kelelahan

c) Mengungkapkan ketidakmampuan untuk mengatasi atau untuk meminta bantuan

2) Objektif
a) Penurunan penggunaan dukungan sosial

b) Perilaku merusak terhadap diri sendiri dan orang lain

c) Kesulitan dalam mengorganisir informasi,

d) Angka kesakitan tinggi,

e) Ketidakmampuan untuk mengikuti informasi,

f) Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar


19
g) Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan peran

h) Ketidakadekuatan penyelesaian masalah

i) Kurang perilaku ke arah tujuan

j) Kekurangan resolusi masalah

k) Konsentrasi buruk

l) Mengambil risiko

m) Gangguan tidur

n) Penyalahgunaan zat

o) Penggunaan bentuk koping yang menganggu perilaku adaptif

c. Faktor yang berhubungan

1) Gangguan pada pola penilaian ancaman,

2) Gangguan pada pola pelepasan ketegangan,

3) Perbedaan jenis kelamin pada strategi koping

4) Tingkat ancaman tinggi

5) Ketidakmampuan untuk menyimpan energi adaptif

6) Ketidakadekuatan tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan untuk koping

7) Ketidakadekuatan tingkat persepsi kendali

8) Ketidakadekuatan kesempatan untuk mempersiapkan stresor

9) Ketidakadekuatan ketersediaan sumber

10) Ketidakadekuatan dukungan sosial yang dihasilkan dari karakteristik hubungan

11) Krisis situasional atau maturasional


2.3.3Perencanaan keperawatan pada klien ketidakefektifan koping

20
a.Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan lansia diharapkan dapat menunjukkan
koping efektif
b. Kriteria hasil NOC :
1) Menunjukkan ketertarikan dalam aktvitas yang beragam

2) Memulai percakapan

3) Berpartisipasi dalam AKS

4) Menggunakan ekspresi verbal dan nonverbal yang dapat diterapkan dalam situasi

5) Menggunakan perilaku untuk mengurangi sres

6) Melaporkan pengurangan perasaan negatif


c. Intervensi NIC :
1) Bimbingan Antisipasi

2) Peningkatan Koping

3) Konseling

4) Dukungan untuk mengambil keputusan

5) Bantuan emosi

6) Panduan sistem kesehatan

7) Latihan pengendalian impuls

8) Peningkatan peran

9) Peningkatan harga-diri

10) Pencegahan

penggunaan zat
Intervensi menurut Wilkinson(2016) :
1) Aktivitas Keperawatan Pengkajian

a) Kaji konsep diri dan harga diri pasien

21
b) Identifikasi penyebab koping tidak efektif (mis, kurangnya dukungan, krisis kehidupan,
keterampilan menyelesaikan masalah yang tidak efektif)

c) Pantau perilaku agresif

d) Identifikasi pandangan pasien terhadap kondisinya dan kesesuaiannya dengan pandangan


penyedia layanan kesehatan

e) Peningkatan koping (NIC)

2) Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a) Berikan informasi faktual yang terkait dengan diagnosis, terapi, dan prognosis

b) Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, jika perlu

c) Berikan pelatihan keterampilan sosial yang sesuai

d) Ajarkan strategi penyelesaian masalah

e) Berikan informasi mengenai sumber-sumber di komunitas

3) Aktivitas Kolaboratif

a) Awali diskusi tentang perawatan pasien untuk meninjau mekanisme koping pasien dan untuk
menyusun rencana perawatan

b) Libatkan sumber-sumber di rumah sakit dlaam memberikan dukungan emosional untuk


pasien dan keluarga

c) Berperan sebagai penghubung antara pasien, penyedia layanan kesehatan lain, dan sumber
komunitas (misalnya, kelompok pendukung)

4) Aktivitas Lain

a) Bantu pasien dalam mengembangkan rencana untuk menerima atau mengubah situasi

b) Bantu pasien dalam mengidentifikasi kekuatan personal dan menetapkan tujuan yang
realistik

c) Berperan sebagai penghubung antara pasien, penyedia layanan kesehatan lain, dan sumber
komunitas (misalnya, kelompok pendukung)

22
d) Dukung pasien untuk terlibat dalam perencanaan aktivitas perawatan, memulai percakapan
dengan orang lain, berpartisipasi dalam aktivitas

e) Minta keluarga untuk mengunjungi klien bila memungkinkan

f) Dorong untuk melakukan latihan fisik, sesuai kemampuan klien

g) Dorong pasien untuk mengidentifikasi penjelasan yang realistis akan perubahan dalam peran

h) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan

i) Turunkan rangsangan lingkungan yang dapat disalahartikan sebagai suatu ancaman

j) Ciptakan suasana penerimaan

k) Hindari pengambilan keputusan pada saat pasien berada dalam stress berat

l) Bantu penyaluran kemarahan dan rasa bermusuhan secara konstruktif

m) Gali alasan pasien terhadap kritik diri

n) Atur situasi yang mendukung otonomi pasien

o) Bantu pasien dalam mengudentifikasi respons positif dari orang lain

p) Dukung penggunaan mekanisme pertahanan yangs sesuai

q) Dukung pengungkapan secara verbal tentang perasaan, persepsi, dan ketakutan


Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah membandingkan efek atau hasil suatu tindakan keperawatan dengan norma
atau kriteria tujuan yang sudah dibuat (Gordon, 1994 dalam Potter dan Pery, 1997) dalam
(Marfuah, 2014). Dibuktikan dengan menunjukkan koping efektif dan menunjukkan penurunan
depresi (Wilkinson, 2016).

23
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Pemahaman kesehatan pada lansia umumnya bergantung pada persepsi pribadi atas
kemampuan fungsi tubuhnya. Lansia yang memiliki kegiatan harian atau rutin biasanya
menganggap dirinya sehat, sedangkan lansia yang memiliki gangguan fisik, emosi, atau sosial
yang menghambat kegiatan akan menganggap dirinya sakit. Perubahan fisiologis pada lansia
bebrapa diantaranya, kulit kering, penipisan rambut, penurunan pendengaran, penurunan
refleks batuk, pengeluaran lender, penurunan curah jantung dan sebagainya. Perubahan tersebut
tidak bersifat patologis, tetapi dapat membuat lansia lebih rentan terhadap beberapa penyakit.
Perubahan tubuh terus menerus terjadi seiring bertambahnya usia dan dipengaruhi kondisi
kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan.

Berduka merupakan respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan Yang


dimanifestasikan dengan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, Susah tidur, dan
lain-lain. Secara umum pengertian berduka merupakan reaksi Terhadap suatu kehilangan atau
kematian. Menurut Totok Wisyasaputra (2003:24-25) bahwa berduka selalu berkaitan secara
langsung dengan kehilangan sesuatu Atau seseorang yang dianggap berharga atau bernilai.
Berduka merupakan reaksi Manusiawi untuk mempertahankan diri ketika sedang mengalami
peristiwa Kehilangan. Sebenarnya berduka bukan hanya merupakan tanggapan seseorang
Secara kognitif (pikiran, logika) dan emotif (perasaan) terhadap kehilangan , tetapi Juga
merupakan tanggapan seseorang secara holistik terhadap kehilangan atas Sesuatu yang
dianggap bernilai, berharga ,atau penting. Berduka merupakan Tanggapan holistik karena
seseorang mengerahkan seluruh aspek keberadaannya (fisik, mental kognitif, mental spiritual
dan sosial) sebagai satu kesatuan yang utuh Untuk menghadapi peristiwa kehilangan yang
dialami.

24
DAFTAR PUSTAKA

menkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN 2442-7659.

Departemen Kesehatan. (2000). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas
Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2000

Kemenkes RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Jendela :
Jakarta.

Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans Info Media.

25
LAMPIRAN ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS

Studi yang dilakukan oleh L Joshep (2017) menyimpulkan bahwa, lansia yang
tinggal sendirian dan merasa kesepian memiliki perubahan signifikan dalam status
biofisiologis, depresi, kualitas tidur dan kualitas hidup. Lansia yang menerima terapi
Tai Chi mengalami penurunan status biologis seperti tekanan darah sistolik dan
tekanan darah diastolik. Penurunan yang sangat signifikan dalam skor nyeri dan
depresi juga terjadi pada orang tua yang menerima terapi Tai Chi. Kualitas tidur dan
kualitas hidup meningkat secara signifikan di antara orang tua yang menerima terapi
Tai Chi. Terapi Tai Chi adalah terapi yang efektif dalam menjaga kesejahteraan fisik
dan psikologis lansia. Penelitian juga menunjukan bahwa latihan Taichi efektif dalam
mengurangi depresi di kalangan lansia. Namun tidak ada hubungan yang signifikan
antara tingkat depresi dan usia, jenis kelamin, status pendidikan, pekerjaan
sebelumnya, status perkawinan, jumlah anak, lama tinggal di rumah tua dan sumber
pendapatan.

S.J Liao (2018) menyatakan bahwa Tai Chi mengurangi gejala depresi di antara
orang tua yang tinggal di komunitas. Ini mungkin merupakan solusi yang layak secara
ekonomi untuk manajemen depresi di negara-negara berkembang yang berpenduduk
padat. Efek sinergis potensial dari olahraga dan musik serta efek jangka panjang dari
intervensi perlu dieksplorasi dalam studi masa depan.

Penelitian Chin-chin (2018)memberikan bukti bahwa program latihan gerak


Tai-Chi dua kali seminggu selama 6 bulan menghasilkan beberapa manfaat kognitif
dan fisik pada lansia. Terutama untuk merelaksasi tingkat pikiran negatif lansia yang
mengalami kesedihan atau depresi, gerakan-gerakan olahraga Tai-Chi yang dilakukan
teratur dapat menetralisir fungsi kognitif pada lansia.
Analisis Data

No. Data Penunjang Etiologi Masalah

26
1 DS : Kehilangan cucu Kesiapan
meningkatkan
 Klien  koping
mengatakan
selalu terfikir Sedih
masalah yang
sedang 
dihadapi
cucunya Depresi

 Klien

mengatakan
sering
Sering berdoa dan
berzikir

27
menangis 
setiap hari
Kesiapan meningkatkan
 Klien
koping
mengatakan
ketika klien
sedih klien
selalu berzikir
dan berbaring
di tempat tidur

 Klien
mengatakan
ingin
meningkatkan
strategi
manajemen
koping

DO :

 Klien tampak
memperlihatka
n ekspresi
wajah sedih

 Dilakukan
pengkajian
beck’s
depression
28
Scale

29
didapatkan
hasil 10 yang
berarti masuk
dalam kategori
depresi sedang

2 DS : Usia lanjut Insomnia

 Klien 
mengatakan
pola tidurnya Stress
terganggu
sehari hanya 
tidur 3-4 jam
dan merupakan Sering terbangun pada
kebiasaan yang malam hari
berulang

 Klien
mengatakan Gangguan pusat
apabila pengaturan tidur
terbangun

di malam
hari klien
Hormone katekolamin
tidak dapat
meningkat
melanjutkan
tidurnya 

Insomnia

30
DO :

 Klien terlihat

31
pucat

 Skala
pengkajian
menggunakan
kuisioner PSQI
(Pittsburg
Sleep Quality
Indeks)
didapatkan
skor akhir 14
dengan
interpretasi
gangguan tidur
berat tingkat
awal
3. DS : Kesedihan Risiko sindrom
lansia lemah
 Klien 
mengatakan
merasa pusing, Insomnia
nyeri pinggang
dan lutut 
karena
hipertensi dan Tekanan darah
asam uratnya meningkat
sehingga

mengalami
32
keterbatasan
Keletihan

33
dalam 
melakukan
aktivitas Resiko Sindrom Lansia
Lemah
 Klien
mengatakan
tidak bisa
melakukan
aktifitas sekuat
dahulu

 Klien
mengatakan
merasa pegal-
pegal dan
keletihan di
seluruh tubuh

DO :

 Usia klien 85
tahun

 TD : 190/90

mmHG

 N : 87 x/menit

 RR : 20

34
x/menit

 Asam urat : 7,2

35
mg/dL (N:2,4-
6,0 mg/dL)

3.1 Diagnosa Keperawatan

a. Kesiapan meningkatkan koping d.d Klien mengatakan ketika klien sedih klien
selalu berzikir dan berbaring di tempat tidur dan ingin meningkatkan manajemen
koping lainnya

b. Insomnia b.d depresi dan stressor d.d Klien mengatakan tidurnya hanya 3-4 jam
dalam sehari, dan apabila terbangun di malam hari klien tidak dapat melanjutkan
tidurnya

c. Risiko sindrom lansia lemah b.d perubahan fisiologis klien d.d Klien mengatakan
merasa pusing, nyeri pinggang dan lutut karena hipertensi dan asam uratnya
sehingga mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas

36
3.2 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Paraf


1 Kesiapan Setelah dilakukan asuhan NIC : peningkatan Koping (5230)
meningkatkan keperawatan selama 1 x 24 jam
1. Bantu klien untuk menyelesaikan masalah
koping d.d Klien diharapkan
dengan cara yang konstrukif
mengatakan ketika koping (NOC : 1302) klien
2. Dukung hubungan klien dengan orang
klien sedih klien dapat ditingkatkan dan
(keluarga) yang memiliki ketertarikan dan
selalu berzikir dan dipertahakan dengan kriteria
tujuan yang sama
berbaring di tempat hasil :
3. Berikan suasana penerimaan
tidur dan ingin a. Mengidentifikasi pola kopn
4. Dukung aktivitas-aktivitas sosial dan
meningkatkan yang efektif
komunitas
manajemen koping b. Melaporkan pengurangan
5. Dukung kemampuan mengatasi situasi
lainnya stress
secara bengangsur-angsur
c. Menyatakan penerimaan
6. Instruksikan klien untuk menggunakan
teehadap situasi
teknik relaksasi sesuai dengan kebutuhan
d. Modifikasi gaya hidup
7. Dukung keterlibatan keluarga dengan cara
untuk mengurangi stress
yang tepat
e. Menggunakan strategi

koping yang efektif

37
2 Insomnia b.d depresi Setelah dilakukan asuhan NIC : Peningkatan Tidur (1850)
dan stressor d.d keperawatan selama 1 x 24 jam
1. Perkirakan tidur atau bangun klien di dalam
Klien mengatakan diharapkan tingkat Depresi
perencanaan perawatan
tidurnya hanya 3-4 (NOC : 1208) dapat
2. Monitor atau catat pola tidur klien dan
jam dalam sehari, dipertahankan pada skala 4
jumlah jam tidur
dan apabila ditingkatkan menjadi skala 5
3. Dorong pasien untuk meningkatkan
terbangun di malam dengan kriteria hasil :
rutinitas tidur untuk memfasilitasi
hari klien tidak a. Insomnia
perpindahan dari terjaga menuju tidur
dapat melanjutkan
b. Kesedihan 4. Bantu untuk menghilangkan situasi stress
tidurnya
sebelum tidur
c. Kesendirian
5. Ajarkan pasien dan orang terdkat mengenai
d. Peningkatan nafsu makan
factor yang berkontribusi terjadinya
e. Lamanya sesenggukan gangguan pola tidur
6. Diskusikan dengan klien dan keluarga
teknik untuk meningkatkan tidur
7. Anjurkan tidur disiang hari, jika

diindikasikan untuk memenuhi


3 Risiko sindrom Setelah dilakukan asuhan NIC : Peningkatan Latihan (0200)

lansia lemah b.d keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Hargai keyakinan individu terkait latihan

38
perubahan diharapnya Kelelahan, efek fisik
fisiologis klien yang mengganggu (NOC :
2. Gali mengenai pengalaman dan
0008) risiko sindrom lansia
hambatan individu sebelunya
lemah dapat dipertahankan
mengenai latihan
ataupun dirubah dengan kriteria
3. Dukung dan motivasi individu
hasil :
untuk memulai atau
2.3.3.1 Gangguan dengan
melanjutkan latihan
aktivitas sehari – hari naik
4. Damping individu dalam
dari skala 3 menjadi skala 4
mengembangkan program
2.3.3.2 Pesimis tentang status
latihan dari mulai manfaat,
kesehatan di masa depan
tujuan jangka panjang dan
naik dari skala 4 menjadi
pendek, jadwal, dan jenis
skala 5
latihan
5. Lakukan latihan bersama
individu libatkan keluarga dan
orang terdekat
6. Monitor respon dan
kepatuhan individu

dalam melaksanakan latihan

3.3 Implementasi Keperawatan


39
No. Diagnosa Tanggal/Jam Tindakan Paraf
1 Kesiapan meningkatkan 1 Mei 2019 Membantu klien untuk menyelesaikan masalah
koping d.d Klien dengan cara yang konstrukif
16. 00
mengatakan ketika klien

40
sedih klien selalu berzikir 16.15 Mendukung aktivitas-aktivitas sosial dan komunitas
dan berbaring di tempat
tidur dan ingin
meningkatkan manajemen
koping lainnya
2 Insomnia b.d depresi dan 1 Mei 2019 Mendorong pasien untuk meningkatkan rutinitas
stressor d.d Klien tidur untuk memfasilitasi perpindahan dari terjaga
16. 30
mengatakan tidurnya menuju tidur
hanya 3-4 jam dalam
sehari, dan apabila Membantu untuk menghilangkan situasi stress
16.45
terbangun di malam hari sebelum tidur
klien tidak dapat
melanjutkan tidurnya
3 Risiko sindrom lansia 1 Mei 2019 Mendampingi individu dalam mengembangkan
lemah b.d perubahan program latihan dari mulai manfaat, tujuan jangka
17. 00
fisiologis klien panjang dan pendek, jadwal, dan jenis latihan

Melakukan latihan bersama individu libatkan


keluarga dan orang terdekat
17.15

41
3.4 Evaluasi Keperawatan

No. Dig Evaluasi Pa


nos ra
a
1 Kesiapan meningkatkan S : klien mengatakan sudah mengerti cara meningkatkan koping
koping d.d Klien O: klien terlihat lebih tenang A: masalah teratasi
mengatakan ketika klien sebagian
sedih klien selalu berzikir P : lanjutkan intervensi secara individu
dan berbaring di tempat
tidur dan ingin
meningkatkan manajemen
koping lainnya
2 Insomnia b.d depresi dan S : klien mengatakan telah mengerti cara meningkatan
stressor d.d Klien kualitas tidur
mengatakan tidurnya hanya O: klien mengikuti intruksi dengan baik A: masalah belum
3-4 jam dalam sehari, dan teratasi
apabila terbangun di malam P : lanjutkan intervensi secara individu
hari klien tidak dapat
melanjutkan tidurnya
3 Risiko sindrom lansia lemah S : klien mengatakan akan mulai melakukan jadwal aktivitas
42
b.d perubahan fisiologis klien yang telah dibuat
O: klien terlihat mengerti

A: masalah teratasi sebagian

P : lanjutkan intervensi secara individu

Anda mungkin juga menyukai