Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ASUHAN KESEHATAN JIWA PADA LANSIA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Jiwa

Pembimbing

Ibu Eko Arik Susmiatin,M.Kep.Sp.Kep.J

Oleh
Cindy Aprillyaning Tyas 202101102
Dony Maulana 202101103
Nurlita Irwanda P 202101111
Rahayu Fauzi Sri Lestari 202101119
Aliefa Nur Hayati 202101120

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG S1 KEPERAWATAN

STIKES KARYA HUSADA KEDIRI

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini yang
berjudul Asuhan Kesehatan Jiwa Pada Lansia.

Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Eko
Arik Susmiatin,M.Kep.Sp.Kep.J selaku dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan terimakasih
juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa mengubah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun.

Demikian saya ucapkan terima kasih atas waktu anda telah membaca makalah ini

Kediri, 11 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER..............................................................................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
BAB II RUMUSAN MASALAH....................................................................................................4
2.1 Rumusan Masalah..................................................................................................................4
2.2 Tujuan....................................................................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN................................................................................................................5
3.1 Definisi Lansia.......................................................................................................................5
3.2 Perubahan Psikososial pada Lansia........................................................................................6
3.3 Ciri Penyimpangan Psikososial pada Lansia.........................................................................7
3.4 Cara Mencegah Penyimpangan Psikososial Pada Lansia....................................................15
BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................18
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................................18
4.2 Saran.....................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut World Health Organization (WHO) sehat jiwa adalah keadaan
seseorang yang merasa sehat dan bahagia, serta mampu menghadapi tantangan hidup
dan menerima orang lain sebagaimana seharusnya dan juga mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Sedangkan menurut UU No 18 tahun 2014
kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang invidu mampu berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut dapat menyadari
kemampuan diri, mampu mengatasi tekanan, mampu bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Bukan hanya mencakup pada usia tertentu, kesehatan jiwa telah mencakup
setiap perkembangan individu sejak didalam kandungan hingga tahap terakhir
dikehidupannya dimulai dari usia bayi (0-18 bulan), usia Toddler (1,5-3 tahun), usia pra
sekolah (3-6 tahun), usia sekolah (6-12 tahun), usia remaja (12-18 tahun), usia dewasa
muda (18-35 tahun), usia dewasa tengah (35-65 tahun), hingga usia dewasa akhir (>65
tahun). (Wong, D.L, 2009) Salah satu cakupan dari kesehatan jiwa adalah lanjut usia.
Individu dikatakan lanjut usia pada saat individu tersebut mencapai usia 60 tahun. Pada
pencapaian usia lanjut ini, individu akan mengalami beberapa perubahan, seperti
perubahan fisik, psikologis, dan sosial (Maryam,2012).

Menurut World Health 2 Organization (WHO), individu dikatakan lanjut usia


(lansia) saat individu tersebut berusia 60 tahun ke atas. Jadi dapat disimpulkan lansia
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun dan juga telah
mengalami suatu penurunan bahkan kehilangan daya tahan dan kemunduran struktur
dan fungsi organ secara berangsur-angsur, yang dalam kemunduran tersebut
mempengaruhi kemandirian dan kesehatan dari lansia (Sanjeeve Sabharwal, 2015).

Data World Population Prespects: the 2015 Revision, pada tahun 2015
didapatkan hasil bahwa terdapat 901 juta jiwa orang yang berusia 60 tahun atau lebih,
yang terdiri dari 12% dari jumlah populasi global. Pada tahun 2030, jumlah orang yang

1
berusia 60 tahun keatas diproyeksikan akan tumbuh sekitar 56% dari 901 juta menjadi
1,4 milyar, dan pada tahun 2050 populasi lansia diproyeksikan lebih dari 2 kali lipat di
tahun 2015, yaitu mencapai 2.1 milyar (United Nations, 2015). Asia menjadi urutan
pertama dengan populasi lansia terbesar pada tahun 2015 berjumlah 508 juta populasi
lansia, menyumbang 56% dari total populasi lansia dunia (Kemenkes RI,2015).
Berdasarkan Undang-undang nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia
pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan
tua. Penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun 2025.
Pada tahun yang sama angka harapan hidup orang Indonesia diperkirakan mencapai
73,7 tahun. Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut
usia (aging structural population). Negara dikatakan berstruktur lanjut usia jika jumlah
lansia diatas 7% dari 3 populasi. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010,
jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu sekitar 18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk).
Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa
dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes
RI,2015).

Peningkatan jumlah lansia ini tentunya harus diiringi dengan peningkatan


kesehatan karena orang yang berusia lanjut akan menjadi sangat rentan terhadap
gangguan kesehatan. Lansia memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita beberapa
gangguan kesehatan karena mengalami penurunan fungsi fisik dan mental seperti
kesepian, gangguan aktivitas seksual, gangguan tidur, dan gangguan metabolisme
kronis adalah beberapa penyebab yang dapat menyebabkan gangguan emosional pada
lansia. Dan masalah-masalah ini dapat menurunkan kualitas hidup lansia (Bishak,
2014). Guna mencapai kualitas hidup yang optimal maka diperlukan kemampuan lansia
dalam beradaptasi terhadap kondisi fisik, psikologis, tingkat kemandirian dan hubungan
dengan lingkungan (Reno, 2010). Pada masa lanjut usia permasalahan yang seringkali
terjadi adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap
perubahan yang terjadi pada dirinya.

Penurunan kemampuan dalam beradaptasi ini seringkali menyebabkan gangguan


psikososial pada lansia. Pada masa lanjut usia, seseorang akan mengalami perubahan

2
dalam segi fisik, kognitif, maupun dalam kehidupan psikososialnya (Papalia, et al 2001;
Purwaningsih, 2014). Mengingat hal tersebut 4 lansia membutuhkan dukungan untuk
menyesuaikan diri beradaptasi dengan perkembangan dalam hidupnya untuk mencapai
integritas diri yang utuh. Menurut Keliat (2016) tercapainya integritas diri yang utuh
merupakan salah satu pencapaian perkembangan psikososial pada lansia. pentingnya
kesehatan jiwa pada lansia dikarenakan apabila tidak tercapai integritas diri maka lansia
akan merasa putus asa dan menyesali masa lalu yang tidak bermakna. Integritas diri
yang tercapai oleh lansia akan meningkatkan kualitas hidup lansia yang membutuhkan
perawatan dari orang lain. Faktor pendukung lainnya seperti kehilangan pasangan,
teman dan dukungan sosial lain yang akan meningkatkan resiko lansia untuk mengalami
distress psikologis, meliputi kecemasan, depresi, dan demensia (WHO, 2016).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perawat sebagai dukungan
pemenuhan tugas perkembangan lansia dimasyarakat adalah pelayanan kesehatan jiwa
komunitas atau dikenal dengan Community Mental Health Nursing (CMHN).
Pelayanan kesehatan komunitas, khususnya perawat Community Mental Health Nursing
(CMHN) memiliki tanggung jawab dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa
komunitas kepada kelompok keluarga sehat jiwa, kelompok keluarga yang beresiko
mengalami gangguan jiwa, dan kelompok keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa (Keliat, Panjaitan, Riasmini, 2010). Tujuan dari
Community Mental Health Nursing (CMHN) yaitu memberikan pelayanan, konsultasi
beserta edukasi, informasi mengenai prinsip- 5 prinsip kesehatan jiwa kepada agen
komunitas, menurunkan angka resiko masyarakat mengalami gangguan jiwa, serta
meningkatkan penerimaan komunitas terhadap praktek kesehatan jiwa melalui edukasi.
Pendekatan ini memiliki empat pilar utama yaitu pilar pertama adalah manajemen
pelayanan kesehatan jiwa, pilar kedua yaitu pemberdayaan masyarakat, pilar tiga yaitu
kemitraan lintas sektor dan lintas program, dan pilar yang terakhir yaitu manajemen
kasus . Tujuan akhir dari CMHN (Community Mental Health Nursing) adalah
terciptanya desa atau kelurahan peduli sehat jiwa (Keliat, 2011). Salah satu pilar
CMHN (Community Mental Health Nursing ) yang dapat diterapkan yaitu pada pilar
keempat mengenai manajemen kasus asuhan keperawatan jiwa komunitas pada

3
kelompok sehat dengan memberikan pendidikan kesehatan mengenai terapi senam otak
sebagai upaya pencegahan demensia pada lansia.

BAB II

RUMUSAN MASALAH

2.1 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari lansia?
2. Apa saja perubahan psikososial yang dialami oleh lansia?
3. Apa saja perubahan yang terjadi pada lanjut usia terkait sistem psikososial?
4. Bagaimanana cara mencegah penyimpangan psikososial yang terjadi pada lansia?

2.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian lansia.
2. Untuk mengetahui perubahan psikososial yang dialami oleh lansia.
3. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada lanjut usia terkait sistem psikososial.
4. Untuk mengetahui cara pencegahan penyimpangan psikososial yang terjadi pada lansia.

4
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi Lansia


Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik,
yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di
ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi
dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas
dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi
manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam
setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya
(Darmojo, 2004).

Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU no 4 tahun 1965 adalah seseorang yang
mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan
hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000) sedangkan
menurut UU no.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia (lanjut usia) adalah
seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Usia lanjut adalah
sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan
itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea,
2005).

5
Lansia merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.( UU No. 13
Tahun 1998). Lansia merupakan keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan
secara individual.( Efendi, 2009). Setiap orang menua dengan cara yang berbeda-beda,
berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya. Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu
perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia
lainnya.( Potter & Perry, 2009)

Menurut Hurlock (Hurlock, 1980, h.380) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu :

1. Usia lanjut merupakan periode kemunduran.

Periode selama usia lanjut ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan
bertahap dan pada waktu kompensasi terhadap penurunan ini dapat dilakukan , dikenal
sebagai ‘’senescence’’yaitu masa proses menjadi tua.

2. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas.

Status kelompok orang minoritas ini terjadi sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak
menyenangkan terhadap orang usia lanjutdan diperkuat oleh klise yang tidak
menyenangkan tentang mereka.

3. Menua membutuhkan perubahan peran.

Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegitan yang dapat dilakukan oleh orang usia
lanjut, dank arena nya perlu mengubah berbagai peran yang masih dilakukan atas dasar
keinginan seseorang, jadi bukan atas dasar tekanan yang datang dari kelompok sosial.
Tetapi pada kenyataan nya pengurangan dan perubahan peran ini banyak terjadi karena
tekanan sosial.

4. Penyesuaian yang buruk pada lansia.

6
Orang usia lanjut secara tidak proporsional menjadi subjek bagi masalah emosional dan
mental yang berat. Insiden psikopatologi timbul seiring dengan bertambahnya usia.

3.2 Perubahan Psikososial pada Lansia


Menurut Nugroho (2008) perubahan psikososial pada lansia yang dapat terjadi
berupa ketika seseorang lansia mengalami pensiun (purna tugas), maka yang dirasakan
adalah pendapatan berkurang (kehilangan finansial), kehilangan status (dulu
mempunyai jabatan/ posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan semua fasilitas),
kehilangan relasi, kehilangan kegiatan, memiliki kebebasan, kenyamanan batin,
mandiri, dan memiliki harga diri tersendiri bagi lansia.

Menurut Kusumiati (2012), masalahmasalah yang dapat timbul ketika lansia tinggal
sendiri di rumah adalah kurang dukungan keluarga, kesepian, perubahan perasaan,
perubahan perilaku, masalah kesehatan, ketakutan menjadi korban kejahatan, masalah
penghasilan, dan masalah seksual

Menurut Potter & Perry (2009) Perubahan psikososial selama proses penuaan akan
melibatkan proses transisi kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang usia seseorang,
maka akan semakin banyak pula transisi dan kehilangan yang harus dihadapi. Transisi
hidup, yang mayoritas disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan
perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan, perubahan kesehatan,
kemampuan fungsional dan perubahan jaringan sosial.

Menurut Ratnawati (2017) perubahan psikososial erat kaitannya dengan


keterbatasan produktivitas kerjanya. Oleh karena itu, lansia yang memasuki masa-masa
pensiun akan mengalami kehilangan-kehilangan sebagai berikut:

a) Kehilangan finansial (pedapatan berkurang).


b) Kehilangan status (jabatan/posisi, fasilitas).
c) Kehilangan teman/kenalan atau relasi
d) Kehilangan pekerjaan/kegiatan.

Kehilangan ini erat kaitannya dengan beberapa hal sebagai berikut:

7
(1) Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan bahan cara hidup (memasuki rumah
perawatan, pergerakan lebih sempit).
(2) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya hidup meningkat
padahal penghasilan yang sulit, biaya pengobatan bertambah.
(3) Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan fisik
(4) Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.
(5) Adanya gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan kesulitan.
(6) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
(7) Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga.
(8) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap gambaran diri, perubahan
konsep diri)

3.3 Ciri Penyimpangan Psikososial pada Lansia


a) Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia Terkait Sistem Psikososial :
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif)
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan
aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa
perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima tipe kepribadian lansia sebagai
berikut:
1. Tipe kepribadian konstruktif (construction personality), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe kepribadian mandiri (independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang, dapat inernberikan otonomi pada dirinya.
3. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada

8
masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe kepribadian bermusuhan (hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia
tetap merasa tidak puns dengan kchiclupannya, banyak keingimin ywig kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya meniadi morat-
marit.
5. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality), pada lansia tipe ini umumnya terlihat
sengsarv, karena perilakunya sendiri sulit dibantu ormig lain atau cenderung membuat susah
dirinya.

Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila:


1. Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain).
2. Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai
sebab, diantaranya setelah menjalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan
lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
 
b) Masalah Yang Sering Muncul
1. Depresi
a. Pengertian
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen psikologis seperti
rasa sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal, putus asa dan penyesalan atau berbentuk
penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda Wahywlingsih dan Sukamto).
b. Penyebab depresi pada lansia:
1) Penyakit fisik
2) Penuaan
3) Kurangnya perhatian dari pihak keluarga
4) Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular)
5) Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup banyak lansia
yang mengalami peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau cukup berat.
6) Serotonin dan norepinephrine

9
7) Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang. Neurotransmitter
sendiri adalah zat kimia yang membantu komunikasi antar sel-sel otak.
c. Factor pencetus depresi pada lansia:
1) Faktor biologic, misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor risiko
vaskular, kelemahan fisik.
2) Faktor psikologik yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal, peristiwa kehidupan
seperti berduka, kehilangan orang dicintai, kesulitan ekonomi dan perubahan situasi,
stres kronis dan penggunaan obat-obatan tertentu.
d. Gejala depresi pada lansia:
1) Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada,
proyek, hobi, atau rekreasi tidak rnemberikan kesenangan.
2) Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
a) Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang
cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika. kondisinya telah
parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.
b) Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
c) Merasa putus asa dan tidak berarti. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai
hidup yang tidak berguna, tidak efektif. orang itu tidak mempunyai rasa percaya
diri. Pemikiran seperti, “saya menyia-nyiakan hidup saya” atau “saya tidak bisa
rncncapai banyak kemajuan”, seringkali terjadi.
d) Berat badan berubah drastic
e) Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor
penentu, sebagian orang mengalami depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak
banyak orang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
f) Sulit berkonsentrasi. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih dan
untuk mernecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi
merasa kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk
jangka waktu tertentu. Keluhan umum yang sering terjadi adalah, “saya tidak
bisa berkonsentrasi”.
g) Keluarnya keringat yang berlebihan
h) Sesak napas

10
i) Kejang usus atau kolik
j) Muntah
k) Diare
l) Berdebar-debar
m) Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi
mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap
usaha untuk mengkomunikasikan idenya. Dilain pihak, seseorang lainnya yang
mengalami depresi mungkin akan gampang letih dan lemah.
n) Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan
atau merasa, “saya selalu merasah lelah” atau “saya capai”.

3) Secara biologik dipacu dengan perubahan neurotransmitter, penyakit sistemik dan


penyakit degeneratif.
4) Secara psikologik geplanya:
a) Kelilhuigan harga diri/ martabat
b) Kehilangan secara fisik prang dan benda yang disayangi
c) Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya: penyalahgunaan alkohol/
narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya, makan berlebihan, terutama kalau
seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk,
diabetes, hypoglycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu
jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
d) Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri
5) Gejala social ditandai oleh kesulitan ekonomi seperti tak punya tempat tinggal.

2. Demensia
Demensia adalah gangguan progresif kronik yang dicirikan dengan kerusakan berat pada
proses kognitif dan disfungsi kepribadian serta perilaku (Isaac, 2004).
a. Pengertian
Demensia ialah kemunduran fungi mental umum, terutama intelegensi, disebabkan oleh
kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi (irreversible) (Maramis, 1995).
b. Jenis demensia:

11
1) Demensia jenis alzheimer
Patofisiologi:
a) Otopsi menunjukkan adanya plak amiloid (plak senil atau neuritik) di jaringan otak
atau adanya kekusutan neurofibriler (akumulasi simpul filamen saran pada neuron.
b) Adanya plak dan kekusutan tersebut berkaitan dengan sel saraf, hilangnya sambungan
antar neuron dan akhimya atrofi serebral.
Genetika:
Adanya gen abnormal saja tidak cukup untuk memprediksi demensia jenis alzheimer.
a) Penyakit alzheimer familial memiliki awitan sangat dini (usia 30-40 th) dan
bertanggung jawab atas 20% dari semua kasus demensia jenis ini. Penyakit ini
berkaitan denga gengen abnormal dikromosom 1, 14 dan 21
b) Adanya apolipoprotein E 4 (apo, E 4) dikromosom 19 terjadi 2 kali lebih banyak pada
penderita demensia jenis alzheimer dibanding populasi umum.
Modal toksin:
Sebagian peneliti meyakini bahwa akumulasi alumunium pada otak akibat pajanan alat-alat
dan produk alumunium dapat menyebabkan demensia jenis alzheimer. Bukti untuk teori ini
masih sedikit.
Abnormalitas neurotransmiter atau reseptor :
Kehilangan asetil kolin (neurotransmiter kolinergik mayor) berkaitan dengan gejala-gejala
gangguan kognitif (demensia). (peningkatan kadar asetin kolin merupakan dasar untuk
terapi obat yang disetujui FDA untuk demensia).

Perubahan
Tahap Perilaku Afek
Kognitif
Ringan Sulit menyelesaikan Cemas Kehilangan ingatan
tugas Depresi tentang
Penurunan aktivitas Frustasi peristiwa yang baru
yang mengarah pada Curiga saja terjadi (lupa akan
tujuan Ketakutan janji
Kurang temu dan percakapan)
memperhatikan Disorientasi waktu
penampilan pribadi Berkurangnya
dan kemampuan
aktivitas sehari-hari konsentrasi

12
Menarik diri dari Sulit mengambil
aktivitas social yang keputusan
biasa Kemampuan penilaian
Sering mencari benda- buruk
benda
karena lupa
meletakannya;
dapat menuduh orang
lain telah mencurinya

Sedang Perilakunya tidak Mood labil Datar Kehilangan ingatan


pantas secara sosial Apatis tentang hal-hal yang
Kurang perawatan diri Agitasi baru atau lama
(misal mandi, Katas tropi Paranoia (amnesia)
toileting, berpakaian, Konfabulasi
berdandan) Disprientasi waktu,
Berkeluyuran atau tempat dan orang
mondar-mandir Sedikit agnosia,
Senang menimbun apraksia dan afasia
barang-barang
Hiperoralitas
Mengalami
gangguan siklus tidur-
bangun

Berat Penurunan Datar, apatis Reaksi Semua perubahan


kemampuan ambulasi Katastropik occasional kognitif berlanjut
dan aktivitas motorik dapat berlanjut sejalan dengan
lainnya meningkatnya
Penurunan amnesia, agnosia,
kemampuan menelan aprasia dan afasia
Sama sekali tidak bisa
mengurus diri
(misalnya
membutuhkan
perawatan yang
konstan)
Tidak mengenali
lagi keberadaan

13
pemberi asuhan
 
2) Demensia vaskular (multi-infark) ditandai dengan gejala-gejala demensia pada tahun
pertama terjadinya gejala neurologik fokal. Klien diketahui mengalami faktor resiko
penyakit vaskuler (misalnya hipertensi, fibrilasi atrium, diabetes).
3) Jenis demensia yang lain berkaitan dengan kondisi medis umum, seperti penyakit
parkinson, penyakit pick, koreahuntingtown dan penyakit Creutzfeldt-jakob. Demensia
yang disebabkan kondisi-kondisi tersebut dicatat sesuai penyakitnya yang spesifik.
c. Gejala demensia:
1) Afasia: kehilangan kemampuan berbahasa; kemampuan berbicara memburuk dan
klien sulit “menemukan” kata-kata.
2) Apraksia: rusaknya kemampuan melakukan aktivitas motorik sekalipun fungsi
sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
3) Agnosia: kegagalan mengenali atau mengidentifikasi objek atau benda urnurn
walaupun fungsi sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
4) Konfabulasi: mengisi celah-celah ingatannya dengan fantasi yang diyakini oleh
individu yang terkena.
5) Sundown sindrom: memburuknya disorientasi di malam hari.
6) Reaksi katastrofik: respon takut atau panik dengan potensi kuat inenyakiti diri sendiri
atau orang lain.
7) Perseveration phenomenon: perilaku berulang, meliputi mengulangi kata-kata orang
lain.
8) Hiperoralitas: kebutuhan untuk mencicipi dan mengunyah benda-benda yang cukup
kecil untuk dimasukkan ke mulut.
9) Kehilangan memori: awalnya hanya kehilangan memori tentang hal-hal yang baru
terjadi, dan akhirnya gangguan ingatan masa lalu.
10) Disorientasi waktu, tempat dan orang.
11) Berkurangnya kemampuan berkonsentrasi atau mempelajari materi baru.
12) Sulit mengambil keputusan.
13) Penilaian buruk: individu ini mungkin tidak mempunyai kewaspadaan lingkungan
tentang keamanan dan keselamatan.

14
d. Epidemiologi demensia:
Dimensia jenis a1zheimer menyebabkan 50%-75% kasus demensia yang
didiagnosis. Demensia jenis ini merupakan penyebab, kematian tertinggi keempat pada
individu berusia lebih dari 65 tahun. Insidensinya sebagai berikut:
1) 65-75 tahun 5%-8%
2) 75-85 tahun 15%-20%
3) 85 tahun atau lebih 25%-55%
e. Etiologi demensia:
Faktor-faktor yang berkaitan dengan demensia adalah:
1) Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat disembuhkan. Bila kondisi akut yang
menyebabkan delirium tidak atau tidak dapat diobati, terdapat kemungkinan bahwa
kondisi ini akan menjadi kronik dan karenanya dapat dianggap sebagai demensia.
2) Penyakit vaskuler, seperti hipertensi, arteriosklerosis, dan aterosklerosis dapat
menyebabkan stroke.
3) Penyakit parkinson: demensia menyerang 40% dari pasien-pasien ini.
4) Gangguan genetika: koreahuntington atau penyakit pick.
5) Penyakit prior (protein yang terdapat dalam proses infeksi penyakit Creutzfeldt-
jakob).
6) lnfeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dapat menyerang Sistem saraf pusat
(SSP), menyebabkan ensefalopati HIV atau kompleks demensia AIDS.
7) Gangguan struktur jaringan otak, seperti tekanan normal, hidrocephalus dan cidera
akibat trauma kepala.

3.4 Cara Mencegah Penyimpangan Psikososial Pada Lansia


Sekalipun angka kejadian bunuh diri pada lansia tidak sebanyak pada dewasa muda,
kita tetap harus waspada karena setiap penderita depresi umumnya memiliki kecenderungan
untuk bunuh diri. Selain itu, depresi pada lansia juga dapat memperparah perjalanan penyakit
kronis yang lain. Oleh karena itu, depresi pada lansia tidak boleh dianggap remeh. Apabila
kita menemui orang tua dengan gejala-gejala di atas, apalagi pada orang tua yang telah lama
menderita penyakit kronis, ada baiknya kita juga menyarankan mereka untuk memeriksakan

15
kesehatan jiwanya. Jika benar bahwa mereka menderita depresi, mereka bisa diberikan terapi
yang sesuai seperti psikoterapi, menghadiri kelompok dukungan, atau diberikan pengobatan
yang sesuai. Kendati demikian, kejadian depresi pada lansia bukannya tidak dapat dicegah.
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan berolahraga ringan setiap hari, mengonsumsi
makanan-makanan bergizi, serta menjaga aktivitas sosial dapat melindungi lansia dari resiko
depresi. Tidak hanya itu, dukungan emosional dari keluarga juga merupakan faktor
pelindung yang sangat penting untuk mencegah depresi pada lansia.

Apabila kita memiliki orang tua atau kakek-nenek, terutama yang hidup sendiri, tidak
ada salahnya jika kita sering-sering bertanya kabar atau mengunjungi mereka. Suasana
kekeluargaan, bahkan sedikit perhatian, akan memberi secercah kebahagiaan pada hati para
lansia dan menghindarkan mereka dari depresi.

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya
penyimpangan pada usia lansia

1. Pendekatan psikologis
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa bentuk-bentuk pendekatan
psikologis yang diberikan dari pihak panti griyasehat bahagia kepada lansia berupa
intensitas komunikasi perawat dengan lansia dan self talk. Di panti griya sehatbahagia
perawat dan dokter menciptakan kedekatan dengan pasien dengan tujuan membina
hubungan saling percaya kepada pasien agar merasakankenyamanan tinggal di panti yang
mampu menimbulkan rasa penerimaan diri lansia dalam menjalani hidup di masa
senjanya serta membantu lansia untuk mengarah atau mengeksplorasi pada alternatif
penyelesaian masalah yang sesuai dengan kondisi pribadi dan lingkungan.
2. Pendekatan medis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan yang merujuk pada pendekatan
medis yang berupa pemberian obat penenang juga diterapkan oleh pihak panti.
Pendekatan secara medis merupakan suatu pendekatan yang dilakukan untuk
menurunkan tingkat depresi dengan bantuan beberapa jenis obat antidepresan.
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati kondisi serius yang
dikarenakan depresi (Yuniastuti, 2013). Obat antidepresan dapat membantu penderita

16
depresi dalam mencegah kumat dan kambuh saat digunakan dalam jangka panjang
(Sydney&South Western Sydney LHD mental Health Service, 2009).
3. Pendekatan spiritual

Pendekatan spiritual yang diterapkan melalui pendekatan kepada Tuhan. Hal


tersebut memiliki tujuan salah satunya adalah untuk menunjang perkembangan dan
kesembuhan pasien karena menurut Razak, Mokhtar & Sulaiman(2013) peranan
penanganan spiritual juga mampu menyembuhkan gangguan psikologis yang dilakukan
secara sistematis dengan berdasarkan pada keimanan dan kedekatan kepada Allah SWT.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparmi(dalam Rohman, 2009) mengungkapkan
bahwa pasien depresi yang berada di beberapa rumah sakit di kota Jakarta belum cukup
mendapatkan perhatian dalam aspek spiritual. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Anandarajah (2001) yang mengungkapkan bahwa di Negara
Amerika Serikat 94% pasien dengan gangguan jiwa meyakini kesehatan spiritual
membawa dampak baik bagi kesehatan jiwa.

4. Pendekatan Fisik

Jenis penanganan yang diterapkan oleh pihak panti yang tergolong dalam
pendekatan fisik adalah fisioterapi. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang
ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan
mekanis), pelatihan fungsi, dan komunikasi (Depkes RI, 2007). Hal ini sependapat
dengan pendapat Samudro (2013) yang mengungkapkan bahwa pada fisioterapi terdapat
pergerakan-pergerakan berupa gerakan lengan, tangan dan kepala. Hal berbeda dengan
yang diungkapkan oleh Yulinda (2009) bahwa terapi yang dalam pelaksanaannya terapi
dengan menggunakan gerakan-gerakan aktif maupun pasif lebih disebut sebagai terapi
latihan.

17
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Seiring dengan peningkatan jumlah lansia ini tentunya harus diiringi dengan
peningkatan kesehatan karena orang yang berusia lanjut akan menjadi sangat rentan
terhadap gangguan kesehatan. Lansia memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita
beberapa gangguan kesehatan karena mengalami penurunan fungsi fisik dan mental
seperti kesepian, gangguan aktivitas seksual, gangguan tidur, dan gangguan metabolisme
kronis adalah beberapa penyebab yang dapat menyebabkan gangguan emosional pada
lansia. Dan masalah-masalah ini dapat menurunkan kualitas hidup lansia (Bishak, 2014).
Guna mencapai kualitas hidup yang optimal maka diperlukan kemampuan lansia dalam
beradaptasi terhadap kondisi fisik, psikologis, tingkat kemandirian dan hubungan dengan
lingkungan (Reno, 2010).

18
4.2 Saran

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perawat sebagai dukungan
pemenuhan tugas perkembangan lansia dimasyarakat adalah pelayanan kesehatan jiwa
komunitas atau dikenal dengan Community Mental Health Nursing (CMHN). Pelayanan
kesehatan komunitas, khususnya perawat Community Mental Health Nursing (CMHN)
memiliki tanggung jawab dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa komunitas kepada
kelompok keluarga sehat jiwa, kelompok keluarga yang beresiko mengalami gangguan
jiwa, dan kelompok keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa (Keliat, Panjaitan, Riasmini, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Masyarakat, U. F. K., Jakarta, A., & Persada, R. (2014). DAFTAR PUSTAKA


Achmadi,U.F. 2013. 2013–2015.

Olansyah, muhammad panji. (2019). Daftar Pustaka Daftar Pustaka. Pemikiran


Islam Di Malaysia: Sejarah Dan Aliran, 20(5), 40–43. https://books.google.co.id/books?
id=D9_YDwAAQBAJ&pg=PA369&lpg=PA369&dq=Prawirohardjo,+Sarwono.
+2010.+Buku+Acuan+Nasional+Pelayanan+Kesehatan++Maternal+dan+Neonatal.
+Jakarta+:
+PT+Bina+Pustaka+Sarwono+Prawirohardjo.&source=bl&ots=riWNmMFyEq&sig=ACfU
3U0HyN3I

Potter, & Perry. (2005). Fundamentals of Nursing (3rd ed.). jakarta EGC.
https://www.elsevier.com/books/fundamental-keperawatan-3-vol-set/potter/978-981-272-
534-9

19
https://www.dosenpendidikan.co.id/lansia-adalah/

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANJUT USIA (LANSIA) DENGAN


MASALAH PSIKOSOSIAL/ Oktober 31, 2010/Trinoval/https://
trinoval.wordpress.com/2010/10/31/asuhan-keperawatan-pada-lanjut-usia-lansia-dengan-
masalah-psikososial/

Bromet, R. C. (2013). The epidemiology of depression across cultures. Annual


Review of Public Health, 34, 119–138
Fiske, A., Wetherell, J. L., & Gatz, M. (2009). Depression in Older Adults. Annual
Review of Clinical Psychology,
Hurley, K. (n.d.). Depression in the Elderly.

Maryam Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.


Jakarta :Salemba Medika
Nugroho, Wahjudi . “Keperawatan Gerontik” Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2000.

Nugroho, Wahjudi. 1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta:EGC

Triningtyas Diana Ariswanti & Siti Muhayati. (2018). Mengenal Lebih Dekat
Tentang Usia Lanjut. Jawa Timur : CV. AE Media Grafika

Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika
Ratnawati, Emmelia 2017. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press
Subekti, Imam. 2017. JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA.
VOLUME 3, NO 1 (Hal. 23-24). (Online)
https://ojs.poltekkes-malang.ac.id/index.php/JIKI/article/download/40/23

20
21

Anda mungkin juga menyukai