Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Lansia
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini
akan terjadi suatu proses yang disebut aging process atau proses penuaan.
Menurut Keliat dalam Maryam (2011), usia lansia merupakan sebagai tahap akhir
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

2.2. Depresi Pada Lansia


Institut Kesehatan Nasional Amerika pada Consensus Development Panel yang dilakukan
tahun 1992, mendefinisikan depresi sebagai sekumpulan sindrom yang dimanifestasikan pada
perubahan afektif, kognitif dan somatik (Zauszniewski & Wykle, 2006). Menurut Stuart &
Laraia, 2005 depresi adalah perpanjangan kesedihan dan duka yang abnormal. Depresi
adalah gangguan suasana hati atau mood (Miller, 2004). Depresi merupakan perubahan
fungsi psikososial yang sering terjadi pada lansia. Para gerontologis telah mengembangkan
teori untuk menjelaskan fenomena depresi pada lansia, mereka menemukan terminologi
terbaru untuk depresi ini yakni depresi akhir kehidupan (late life depression) (Miller, 2004).
Jadi depresi merupakan gangguan suasana hati yang berkepanjangan yang mengakibatkan
perubahan baik pada kognitif, afektif maupun somatik pada individu.
Depresi yang sering dijumpai pada lansia adalah depresi mayor menurut kriteria standar
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) (American Psychiatric
Assosiation, 1994). Ketika lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua gejala inti (mood
yang tertekan dan kehilangan minat terhadap suatu hal atau kesenangan) bersama dengan
empat atau lebih gejala-gejala depresi selama minimal dua minggu, maka diagnosa depresi
mayor pada lansia dapat ditegakkan (Miller, 2004).

2.3. Tanda dan Gejala Depresi pada lansia


Ciri-ciri pokok untuk episode depresif mayor adalah suatu periode paling sedikit 2
minggu yang mana selama masa tersebut terdapat mood terdepresi atau kehilangan
ketertarikan atau kesenangan dalam hampir semua aktivitas. Individu dengan depresi juga
harus mengalami paling sedikit empat gejala tambahan yang ditarik dari suatu daftar yang
meliputi perubahan-perubahan dalam nafsu makan atau berat badan, tidur, dan aktivitas
psikomotorik; energi yang berkurang; perasaan tidak berharga atau bersalah; kesulitan dalam
berpikir, berkonsentrasi, atau membuat keputusan; atau pemikiran-pemikiran berulang
tentang kematian atau pemikiran, rencana- rencana, atau usaha untuk bunuh diri.
Gejala-gejala depresi lain pada lanjut usia:
1. kecemasan dan kekhawatiran
2. keputusasaan dan keadaan tidak berdaya
3. masalah-masalah somatik yang tidak dapat dijelaskan
4. iritabilitas
5. kepatuhan yang rendah terhadap terapi medis atau diet
6. psikosis
Manifestasi depresi pada lansia berbeda dengan depresi pada pasien yang lebih muda.
Gejala- gejala depresi sering berbaur dengan keluhan somatik. Keluhan somatik cenderung
lebih dominan dibandingkan dengan mood depresi. Gejala fisik yang dapat menyertai depresi
dapat bermacam-macam seperti sakit kepala, berdebar-debar, sakit pinggang, gangguan
gastrointestinal, dan sebagainya. Penyakit fisik yang diderita lansia sering mengacaukan
gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat badan. Inilah yang
menyebabkan depresi pada lansia sering tidak terdiagnosa maupun diterapi dengan baik.

2.4. Etiologi
Ada beberapa teori yang menjadi penyebab depresi, yaitu :
1. Teori Biologi
Teori biologi memeriksa hubungan antara penuaan, depresi, dan perubahan pada
otak, sistem syaraf, sistem neuroendokrin. Banyak teori yang ditujukan pada peran dari
neurotransmiter, dengan menekankan pada serotinin, dopamin, asetilkolin, norepinefrin
sebagai faktor yang berkontribusi. Hubungan sistem neuroendokrin dengan terjadinya
depresi adalah, Ketika peningkatan level kortisol plasma, perubahan sekresi hormon
pertumbuhan, perubahan hormon tiroid dalam berespon, peningkatan aktivitas
hipotalamus, pituitari, dan ginjal. Kesimpulan dari para peneliti tentang hubungan ini
masih belum jelas. Meskipun begitu, tidak ada bantahan terhadap bukti- bukti bahwa
“gangguan depresi yang lebih berat terlebih lagi terjadi karena dipengaruhi oleh
perubahan psikobiologi.”

2. Teori Psikologis
Teori psikoanalitik ini memberi kesan bahwa depresi berkaitan dengan adanya
permasalahan pada pengalaman masa kecil yang belum terselesaikan (Pastorino &
Portillo, 2006). Dan teori ini dinilai sebagai reaksi pada suatu kehilangan (Smith, et al,
2003). Teori ini masih memakai teori yang dikemukakan oleh Freud pada tahun 1917
bahwa inti dari depresi adalah kemarahan yang berbalik pada diri sendiri, membenci diri
dan
menyalahkan diri sendiri (Frisch & Frisch, 1998). Pengalaman masa kecil yang tidak
bahagia, di mana seorang anak kehilangan kasih sayang dari orang tua atau orang yang
semestinya mencintainya baik karena kegagalan peran orang tua dalam mendidik dan
memelihara anaknya ataupun karena kehilangan sosok orang tua (Santrock, 2005). Anak
itu akan merasa kecewa, dicampakkan, diabaikan dan kehilangan karena
tidak ada tempat bergantung dan persetujuan dalam memutuskan hal- hal yang terjadi
dalam kehidupan anak tersebut (Santrock). Dia akan marah, namun anak tidak dapat
mengeluarkan amarahnya secara terbuka pada orang yang seharusnya menyayangi
mereka (biasanya ibu, orang tua) yang menimbulkan konflik pada dirinya sendiri.
Akhirnya rasa
marah itu berbalik pada dirinya menjadikan dia marah, benci dan menyalahkan diri
sendiri dan berakhir pada depresi (Smith, et al, 2003). Ketika dia memasuki masa remaja
dan dewasa dan mulai membentuk hubungan baru dengan orang lain, perasaan
diabaikan dan dicampakkan akan muncul ketika mengalami kehilangan dan depresi akan
muncul lagi (Pastorino & Portillo, 2006).
Teori lain mengenai psikologis terkait kebiasaan adalah teori learned helplessness
yang dikemukakan oleh Martin Seligman. Teori ini menerangkan ketidakberdayaan
seseorang Ketika mengalami stres yang berkepanjangan di mana dia tidak bisa
lagi mengontrol keadaan tersebut. Pada situasi ini individu merasa pasrah (menyerah) dan
depresi (Santrock). Pada penelitian yang dilakukan oleh Nolen dan Hoeksema pada
tahun 1995 dan 2000 dalam Santrock tahun 2005 bahwa koping yang dimiliki oleh pada
sebagian individu yang depresi karena keadaan di atas dengan merenungkan depresi yang
dialami. Individu tersebut hanya berfokus tentang perasaan depresi itu
tanpa memikirkan jalan keluar untuk keluar dari keadaan depresi tersebut (Santrock). Hal
ini akan menjadikan mereka tetap berada dalam situasi depresi.

3. Teori Triase Kognitif


Teori triase kognitif merupakan jalan untuk menjelaskan depresi secara umum,
dan depresi pada lanjut usia secara khusus. Triase kognitif yang menjadi patokan untuk
menilai
diri seseorang adalah, dari gambaran dirinya, lingkungan atau pengalaman hidup mereka,
dan masa depan mereka (Miller, 2004). Jika salah satu dari tiga hal ini bernilai negatif,
maka bisa menjadi indikator terjadinya depresi. Orang yang depresi
memiliki cara berfikir negatif dan salah, dan mereka tidak menyadarinya (Pastorino
&Portillo, 2006). Misalnya, Ketika mengalami peristiwa yang sulit mereka merasa
mereka tidak berharga ataupun mereka memandang masa depan mereka tidak punya
harapan. Orang yang depresi ini percaya bahwa mereka tidak sanggup untuk mencegah
situasi negatif yang mereka alami dan mengubahnya (Smith, et al, 2003). Hal ini akan
menyebabkan mereka terus berada dalam keadaan depresi yang lebih parah lagi.

2.5. Faktor yang mempengaruhi Kesehatan jiwa Lansia


Beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempegaruhi kesehatan jiwa
mereka adalah sebagai berikut :
1. Penurunan kondisi fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi
fisik yang bersifat patofisiologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga
berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok dan tulang makin
rapuh.secara umum kondisi fisik sesesorang yang sudah memasuki masa lansia
mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan
gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
2. Penurunan fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti gangguan jantung, gangguan metabolisme
misalnya diabetes militus, vaginitis, baru selesai operasi.
3. Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan
Perubahan diawali ketika masa pensiun, meskipun tujuan ideal pension adalah
agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya karena pension sering diartikan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri.
4. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan dan gerak fisik
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia.Misalnya
badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang dan penglihatan kabur
sehingga sering menimbulkan keterasingan.
5. Perubahan tingkat depresi
Tingkat depresi adalah kemampuan lansia dalam menjalani hidup dengan tenang,
damai serta menikmati masa pensiun hidup dengan tenang, damai, serta menikmati
masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang.
6. Perubahan stabilitas emosi
Kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan atau konflik
akibat perubahan-perubahan fisik, mapun social psikologis yang dialaminya dan
kemampuan untuk mencapai keselerasan antara tuntutan dari dalam diri dengan
tuntunan dari lingkungan, yang sertai dengan kemampuan mengembangkan
mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dirinya tanpa menimbulkan masalah baru (Padilla, 2013)

2.6. Tingkat Depresi Pada Lansia


Menurut PPDGJ-III (Maslim, 1997) dalam (Aspiani, 2014)
1. Depresi ringan
a. Kehilangan minat dan kegembiraan
b. Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas
c. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
d. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
2. Depresi Sedang
a. Kehilangan minat dan kegembiraan
b. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas
c. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
d. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi Berat
a. Mood depresif
b. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas
c. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
d. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
f. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
g. Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h. Tidur terganggu
i. Disertai waham, halusinasi
j. Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

2.7. Pemeriksaan penunjang depresi pada lansia


Geriatric Depression Scale (GDS-30) Instrumen Geriatri Depression Scale (GDS)
adalah sebagai berikut :
1) Apakah bapak / ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya ?
2) Apakah bapak / ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan akhir-
akhir ini ?
3) Apakah bapak / ibu merasa hampa / kosong didalam hidup ini ?
4) Apakah bapak / ibu sering merasa bosan ?
5) Apakah bapak / ibu mempunyai harapant yang baik di masa depan ?
6) Apakah bapak / ibu punya pikiran jelek yang terus menerus mengganggu ?
7) Apakah bapak / ibu memiliki semangat yang baik setiap saat ?
8) Apakah bapak / ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda ?
9) Apakah bapak / ibu merasa bahagia sebagian besar waktu ?
10) Apakah bapak / ibu sering tidak mampu berbuat apa-apa ?
11) Apakah bapak / ibu sering merasa resah dan gelisah ?
12) Apakah bapak / ibu senang tinggal tinggal dirumah daripada keluar dan mengerjakan
sesuatu ?
13) Apakah bapak / ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14) Apakah bapak / ibu akhir-akhir ini sering pelupa ?
15) Apakah bapak / ibu pikir bahwa hidup bapak / ibu sekarang ini menyenangkan ?
16) Apakah bapak / ibu sering merasa sedih atau putus asa ?
17) Apakah bapak / ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini ?
18) Apakah bapak / ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu ?
19) Apakah bapak / ibu merasa hidup ini menggembirakan ?
20) Apakah sulit bagi bapak / ibu untuk memulai kegiatan yang baru ?
21) Apakah bapak / ibu merasa penuh semangat ?
22) Apakah bapak / ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada harapan ?
23) Apakah bapak / ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaanya daripada bapak /
ibu ?
24) Apakah bapak / ibu sering marah karena hal-hal yang sepele ?
25) Apakah bapak / ibu sering merasa ingin menangis ?
26) Apakah bapak / ibu sulit berkonsentrasi ?
27) Apakah bapak / ibu merasa senang waktu bangun tidur di pagi hari ?
28) Apakah bapak / ibu tidak suka berkumpul di pertemuan sosial ?
29) Apakah mudah bagi bapak / ibu membuat sesuatu keputusan
30) Apakah pikiran bapak / ibu masih tetap mudah dalam memikirkan sesuatu seperti
dulu?
Keterangan :
a) Skor 0-10 : Tidak ada depresi
b) Skor 11-20 : Depresi ringan
c) Skor 21-30 : Depresi berat
(Aspiani, 2014)

2.8. Pohon Masalah


Ketidakefektifan koping

Depresi

Stressor
Gambar 2.1 (Prabowo, 2014)

2.9. Masalah Keperawatan yang terjadi pada Lansia Depresi


a. Ketidakefektifan koping
b. Gangguan pola tidur
c. Gangguan proses piker
d. Perubahan persepsi sensori
e. Risiko mencederai diri

2.10. Konsep Asuhan Keperawatan Lansia Depresi dengan Masalah Keperawatan


Ketidakefektifan Koping

2.10.1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses
yang sistematis dalam pengumplan data dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Marfuah, 2014). Berikut ini adalah data fokus
depresi pada lansia diantaranya (Videbeck, 2012):

a. Identitas diri
Klien Hasil analisis lanjutan riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa ada
hubungan yang kuat antara masalah gangguan mental emosional dengan lansia,
khususnya pada usia 65 tahun ke atas.

b.Struktur keluarga : Genogram


Pada penelitian mengenai depresi dalam keluarga diperoleh bahwa generasi pertama
berpeluang lebih sering dua sampai sepuluh kali mengalami depresi berat.Penelitian
yang berhubungan dengan anak kembar mengemukakan bahwa kembar monozigot
berpeluang sebesar 50%, sedangkan kembar dizigot sebesar 10- 25%.

c. Riwayat penyakit klien


Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk adanya tanda dan gejala
karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang didiagnosis.
1) Kaji adanya depresi
2) Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat, seperti
geriatric depresion scale.
3) Anjurkan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan.
4) Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. (Videbeck, 2012)

d.Lakukan observasi langsung terhadap :


1) Perilaku
a) Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas
hidup sehari-hari?
b) Apakah klien menunjukan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial?
c) Apakah klien sering mengluyur dan mondar-mandir?
d) Apakah ia menunjukan sundown sindrom atau perserevation fenomena?
2) Afek
a) Apakah klien menunjukan ansietas?
b) Labilitas emosi?
c) Depresi atau apatis?
d) Iritabiltas?
e) Curiga?
f) Tidak berdaya?
g) Frustasi?
3) Respon kognitif
a) Bagaimana tingkat orientasi klien?
b) Apakah klien mengalami kehilangan ingatan tentang hal-hal yang baru saja
atau yang sudah lama sekali?
c) Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau meng-abstrakan?
d) Kurang mampu membuat penilaian?
e) Terbukti mengalami afasia, agnosia atau apraksia? (Videbeck, 2012)

e. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga


1) Identifikasi pemberi asuhan primer dan tentukan berapa lama ia sudah menjadi
pemberi asuhan dikeluarga tersebut.
2) Identifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan anggota
keluarga lain.
3) Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan sumber daya
komunitas (catat hal-hal yang perlu diajarkan)
4) Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga
5) Identifikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran pemberi asuhan
tentang dirinya sendiri (Videbeck, 2012)

f. Mengkaji Klien Lansia dengan Depresi


1) Membina hubungan saling percaya dengan klien lansia
Untuk melakukan pengkajian pada lansia dengan depresi, pertama-tama
saudaraharus membina hubungan saling percaya dengan pasien lansia. Untuk
dapat membina hubungan saling percaya, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Selalu mengucapkan salam kepada pasien seperti : selamat
pagi/siang/sore/malam atau sesuai dengan konteks agama pasien.
b) Perkenalkan nama saudara (nama panggilan) saudara, termasuk
menyampaikan bahwa saudara adalah perawat yang akan merawat pasien.
c) Tanyakan pula nama pasien dan nama panggilan kesukaannya.
d) Jelaskan tujuan saudara merawat pasien dan aktivitas yang akan dilakukan
e) Jelaskan pula kapan aktivitas akan dilaksanakan dan berapa lama aktivitas
tersebut
f) Bersikap empati dengan cara :
 Duduk bersama klien, melakukan kontak mata, beri sentuhan dan
menunjukkan perhatian
 Bicara lambat, sederhana dan beri waktu klien untuk berfikir dan
menjawab (Videbeck, 2012)

2.10.2. Diagnosa Keperawatan


1) Resiko mencederai diri berhubungan dengan depresi.
2) Gangguan alam perasaan: depresi berhubungan dengan koping maladaptif.
3) Ketidakberdayaan
4) Risiko bunuh diri
5) Gangguan pola tidur

2.10.3. Intervensi Keperawatan


a. Gangguan alam perasaan: depresi berhubungan dengan koping maladaptive
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam lansia merasa
tidak stres dan depresi.
Kriteria Hasil:
1) Klien dapat meningkatkan harga diri
2) Klien dapat menggunakan dukungan social
3) Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

No Intervensi Rasional
1 Bantu untuk memahami bahwa klien dapat Membangun motivasi
mengatasi keputusasaannya. pada lansia
2 Kaji dan kerahkan sumber-sumber internal Individu lebih percaya
individu diri
3 Bantu mengidentifikasi sumber-sumber Menumbuhkan
harapan (misal: hubungan antar sesama, semangat hidup lansia
keyakinan, hal-hal untuk diselesaikan). Klien dapat
menggunakan
dukungan sosial
4 Kaji dan manfaatkan sumber-sumber Lansia tidak merasa
ekstemal individu (orang-orang terdekat, tim sendiri
pelayanan kesehatan, kelompok pendukung,
agama yang dianut).
5 Kaji sistem pendukung keyakinan (nilai, Meningkatkan nilai
pengalaman masa lalu, aktivitas keagamaan, spiritual lansia
kepercayaan agama).
6 Lakukan rujukan sesuai indikasi (misal: Untuk menangani
konseling pemuka agama). klien secara cepat dan
tepat
7 Diskusikan tentang obat (nama, dosis, Klien dapat
frekuensi, efek dan efek samping minum menggunakan obat
obat). dengan benar dan tepat
Untuk memberi
pemahaman kepada
lansia tentang obat
8 Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 Prinsip 5 benar dapat
No Intervensi Rasional
benar (benar pasien, obat, dosis, cara, waktu). memaksimalkan fungsi
obat secara efektif
9 Anjurkan membicarakan efek dan efek Menambah
samping yang dirasakan. pengetahuan lansia
tentang efek-efek
samping obat.
10 Beri reinforcement positif bila menggunakan Lansia merasa dirinya
obat dengan benar. lebih berharga

b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan


yang tidak adekuat akibat penurunan nafsu makan
Tujuan: Tidak ada gangguan kebutuhan nutrisi pada klien
Kriteria hasil:
1) Nafsu makan meningkat
2) Tidak ada mual dan muntah
No Intervensi Rasional
1 Observasi porsi makanan yang telah di Mengkaji intake
habiskan. makanan yang telah di
habiskan.
2 Anjurkan makanan sedikit-sedikit tapi sering Menghindari mual dan
muntah
3 Berikan makanan selagi hangat Memberikan makanan
hangat dan lunak tidak
menyebabkan mual
dan muntah.
4 Hindari makanan pantangan bagi klien. Menghindari
komplikasi penyakit
5 Kolaborasi dengan dokter dengan pemberian Menghilangkan atau
terapi mengurangi keluhan
pasien

c. Resiko Bunuh Diri berhubungan dengan depresi


Tujuan:
1) Klien tidak membahayakan dirinya sendiri
2) Pasien mempunyai alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif.
Kriteria hasil:
1) Mampu mengungkapkan ide bunuh diri
2) Mengenali cara-cara untuk mencegah bunuh diri
3) Mendemonstrasikan cara menyelesaikan masalah yang konstruktif

No Intervensi Rasional
1.        Diskusikan dengan pasien tentang Menggali ide dalam pikiran klien tentang
         ide-ide bunuh diri bunuh diri
2 Buat kontrak dengan pasien untuk Meminimalkan resiko pasien bunuh diri
tidak melakukan bunuh diri
3 Bantu pasien mengenali perasaan Menggali perasaan pasien tentang
yang menjadi penyebab timbulnya penyebab bunuh diri
ide bunuh diri
4 Ajarkan beberapa alternatif cara Membantu pasien  dalam membentuk
penyelesaian masalah yang koping adaptif
konstruktif
5 Bantu pasien untuk memilih cara Meringankan masalah pasien
yang paling tepat untuk
menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
6 Beri pujian terhadap pilihan yang Pujian dapat menyenangkan perasaan
telah dibuat pasien dengan tepat. pasien
Tindakan pada Keluarga
Tujuannya agar keluarga mampu:
1) Mengidentifikasi tanda-tanda perilaku bunuh diri pasie
2) Menciptakan lingkungan yang aman untuk mencegah perilaku bunuh diri
3) Membantu pasien menggunakan cara penyelesaian masalah yang konstruktif
Tindakan:
1) Diskusikan dengan keluarga tentang tanda-tanda perilaku klien saat muncul ide
bunuh diri
2) Diskusikan tentang cara mencegah perilaku bunuh diri pada pasien:
a) Ciptakan lingkungan yang aman untuk pasien, singkirkan semua benda-
benda yang memiliki potensi untuk membahayakan klien (benda tajam, tali
pengikat, ikat pinggang, dan benda-benda lain yang terbuat dari kaca)
b) Antisipasi penyebab yang dapat membuat pasien bunuh diri
c) Lakukan pengawasan secara terus menerus
d) Anjurkan keluarga meluangkan waktu bersama klien
e) Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien
dalam menyelesaikan masalah
f) Anjurkan keluarga untuk membantu klien untuk menggunakan koping positif
dalam menyelesaikan masalah
g) Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap penggunaan koping
positif yang telah digunakan oleh klien.
d. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan kecemasan
Tujuan:
1) Klien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur
2) Klien mampu memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Kriteria Hasil:
1) Klien mampu memahami faktor penyebab gangguan pola tidur.
2) Klien mampu memahami rencana khusus untuk menangani atau mengoreksi
penyebab tidur tidak adekuat.
3) Klien mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan penurunan terhadap
pikiran yang melayang-layang (melamun).
4) Klien tampak atau melaporkan dapat beristirahat yang cukup.

No Intervensi Rasional
1 Bersama klien mengidentifikasi gangguan Untuk mengetahui apa
pola tidur saja penyebab
gangguan pola tidur
pada pasien
2 Diskusikan cara-cara utuk memenuhi Mempermudah pasien
kebutuhan tidur (Minum air hangat atau susu untuk memperoleh
hangat sebelum tidur, hindarkan minum yang kebutuhan tidur yang
mengandung kafein dan coca cola, baik
dengarkan musik yang lembut sebelum
tidur)
3 Anjurkan pasien untuk memilih cara yang Cara-cara yang sesuai
sesuai dengan kebutuhannya dapat mempermudah
pasien
4 Berikan lingkungan yang nyaman untuk Agar pasien dapat
meningkatkan tidur. kualitas tidur yang baik

Tindakan untuk Keluarga


Tujuan
1) Keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala gangguan pola tidur
2) Keluarga dapat membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan tidur
Tindakan
1) Diskusikan dengan keluarga tentang tanda dan gejala gangguan pola tidur pada pasien
2) Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi
agar pasien dapat tidur.

Anda mungkin juga menyukai