Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEPERAWATAN GERONTIK

KONSEP DAN TEORI TENTANG LANSIA

DOSEN PEMBIMBING:
Mawar Eka Putri, S.Kep, Ns, M.Kep

DISUSUN OLEH:
Kelompok I
Andry Indrawan (202013028)
Farida (202013029)
Reza Umami (202013030)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
TANJUNGPINANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kcpada Tuhan Yang Maha Esa yang tclah melimpahkan rahmat-
Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Konsep Dan Teori Tentang Lansia”.
Kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini berkat bantuan dan
bimbingan dosen sehingga kendala-kendala dapat kami selesaikan. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mawar Eka Putri, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen
pembimbing Mata Kuliah Keperawatan Gerontik.
Kami berharap makalah ini dapat dinikmati oleh para pembaca. Kami juga menyadari bahwa
didalam makalah ini terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah kami ini dapat dipahami oleh para pembaca. Sekiranya makalah yang telah
disusun ini dapat berguna bagi kami maupun orang yang membacanya, sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan makalah ini.

Tanjungpinang, 28 Agustus 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian..................................................................................................... 2
D. Manfaat Penelitian................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................ 4
A. Konsep Teori Lansia................................................................................................ 4
B. Tempat Pelayanan Bagi Lansia.............................................................................. 10
C. Pelayanan Sosial Di Keluarga................................................................................. 13
D. Foster Care Servis.................................................................................................... 15
E. Pusat Santunan Keluarga........................................................................................ 16
F. Panti Sosial Lansia................................................................................................... 17
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 19
A. Kesimpulan............................................................................................................... 19
B. Saran.......................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penduduk Lansia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat
yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup.
Proporsi penduduk Lansia berdasarkan Infodatin Depkes RI tahun 2016di Indonesia tahun
2013 = 8,9%, tahun 2050 = 21,4% dan tahun 2100 = 41% dari total jumlah penduduk di
Indonesia. Sedangkan di Dunia tahun 2013 = 13,4%, tahun 2050 = 25,3% dan tahun 2100 =
35,1% dari total jumlah penduduk Dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Lansia
meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Usia harapan hidup penduduk Indonesia
berdasarkan Infodatin Depkes RI tahun 2016 pada tahun 2008 = 69,0 tahun, 2009 = 69,21
tahun, 2010 = 69,43 tahun, 2011 = 69,65 tahun, 2012 = 69,87 tahun, 2013 = 70,07 tahun dan
2015 = 70,8 tahun serta proyeksi tahun 2030 – 2035 = 72,2 tahun.
Salah satu indikator keberhasilan Pembangunan Kesehatan di Indonesia adalah
meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia dimana pada RPJMN
Kemkes tahun 2014 diharapkan terjadi peningkatan UHH dari 70,6 tahun pada 2010 menjadi
72 tahun pada 2014. Sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup maka akan terjadi
perubahan struktur usia penduduk.
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Indonesia saat ini termasuk lima besar negara
dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni, mencapai 18,1 juta jiwa pada
2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk. Menurut proyeksi Bappenas Jumlah penduduk
lansia 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 18.1 juta pada tahun 2010 menjadi dua kali
lipat ( 36 juta ) pada tahun 2025
Peningkatan jumlah penduduk Lansia akan membawa dampak terhadap sosial ekonomi
baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomis yang
penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam rasio ketergantungan
usia lanjut (old age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif akan menanggung
semakin banyak penduduk usia lanjut. Menurut data SKRT (Survey Kesehatan Rumah
Tangga) pada tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun 2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa
pada tahun 1995 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 7 orang usia lanjut
yang berumur 65 tahun ke atas sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk
produktif harus menyokong 9 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas.
Ketergantungan Lansia disebabkan kondisi orang Lansia banyak mengalami
kemunduran fisik maupun psikis, artinya mereka mengalami perkembangan dalam bentuk
perubahan-perubahan yang mengarah pada perubahan yang negatif. Secara umum kondisi
fisik seseorang yang telah memasuki masa Lansia mengalami penurunan. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa perubahan penampilan pada bagian wajah, tangan dan kulit, perubahan
bagian dalam tubuh seperti sistem saraf: otak, isi perut: limpa dan hati, perubahan panca
indra: penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan perubahan motorik antara lain
berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar keterampilan baru.

1
2

Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduran kesehatan


fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial
mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.
Masalah umum yang dialami Lansia yang berhubungan dengan kesehatan fisik yaitu:
rentannya terhadap berbagai penyakit karena berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi pengaruh dari luar, berkurangnya teman/ relasi akibat kurangnya aktifitas di
luar rumah, kurangnya aktifitas sehingga waktu luang bertambah banyak, meninggalnya
pasangan hidup, anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempuh pendidikan yang
lebih tinggi, anak-anak yang meninggalkan rumah untuk bekerja, anak-anak telah dewasa
dan membentuk keluarga sendiri. (Azizah, 2011)
Beberapa masalah tersebut akan menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang
Lansia. Dari segi inilah Lansia mengalami masalah psikologis, yang banyak mempengaruhi
kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang Lansia kurang mandiri. Kondisi kesehatan
mental Lansia pada umumnya Lansia tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, mereka
mengeluh mengalami gangguan tidur, mereka merasa tidak senang dan bahagia dalam masa
tuanya karena berbagai kebutuhan hidup dasar tidak terpenuhi dan merasa sangat sedih,
sangat kawatir terhadap keadaan lingkungannya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
beberapa kondisi kesehatan mental Lansia mempengaruhi berbagai kondisi Lansia yang lain
seperti kondisi ekonomi yang menyebabkan orang Lansia tidak dapat bekerja untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan kondisi sosial yang menyebabkan kurangnya hubungan
sosial antara Lansia dengan masyarakat. (Azizah, 2011)

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan-permasalahan Lansia tersebut maka rumusan masalah yang
penulis sajikan dalam makalah ini adalah:
1. Konsep teori Lansia.
2. Tempat pelayanan bagi Lansia.
3. Pelayanan sosial di keluarga.
4. Foster care servis.
5. Pusat santunan keluarga.
6. Panti sosial Lansia.

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui konsep teori tentang Lansia.
2. Mengetahui tempat pelayanan bagi Lansia.
3. Mengetahui pelayanan sosial di keluarga terhadap Lansia.
4. Mengetahui apa itu foster care servis bagi Lansia.
5. Mengetahui pusat santunan keluarga bagi Lansia.
6. Mengetahui panti sosial Lansia.

D. Manfaat Penelitian
3

1. Mengembangkan penelitian tentang Lansia.


2. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi Lansia untuk mengatasi persoalan-
persoalan hidup Lansia agar mereka dapat hidup mandiri.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi pra Lansia untuk mempersiapkan diri
sebelum masa Lansia tiba agar mereka bias mandiri di usia lanjut.
4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian Lansia berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Lansia


1. Definisi
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-
Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan
nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial
masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat, sehingga
jumlah Lansia makin bertambah. Banyak diantara Lansia yang masih produktif dan
mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial Lansia pada hakikatnya merupakan pelestarian
nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa (Kholifah, 2016). Menua atau menjadi tua
adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua
merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi
dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua
(Kholifah, 2016).
Usia lanjut adalah keadaan yang ditandai dengan kegagalan dari seseorang
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologik. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan
secara individual. Setiap orang yang berhubungan dengan Lansia adalah orang yang
berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari
nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupan sehari-hari (Muhith & Sandu Siyoto,
2016).
2. Batasan Lansia
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang
mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang
berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO, 1999), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut: usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua
(very old) ialah di atas 90 tahun.

4
5

c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu: pertama (fase
inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase
presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65
tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga
batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80
tahun). (Efendi, 2009)
3. Proses Penuaan
Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur seseorang.
Manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur tersebut. Semakin
bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ tubuh. Hal ini dapat kita lihat
dari perbandingan struktur dan fungsi organ antara manusia yang berumur 70 tahun
dengan mereka yang berumur 30 tahun, yaitu berat otak pada Lansia 56%, aliran darah
ke otak 80%, cardiac output 70%, jumlah glomerulus 56%, glomerular filtration rate
69%, vital capacity 56%, asupan O2 selama olahraga 40%, jumlah dari axon pada saraf
spinal 63%, kecepatan pengantar impuls saraf 90% dan berat badan 88%. Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi proses penuaan, sehingga muncullah teori-teori yang
menjelaskan faktor penyebab proses penuaan.
Faktor yang dapat mempengaruhi proses penuaan tersebut dapat dibagi atas dua
bagian. Pertama, faktor genetik , yang melibatkan perbaikan DNA, respons terhadap
stres, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua faktor lingkungan, yang meliputi
bahan-bahan kimia. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi aktivitas metabolisme
sel yang akan menyebabkan terjadinya stres oksidasi sehingga terjadi kerusakan pada
sel yang menyebabkan terjadinya proses penuaan (Sunaryo, 2016).
4. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Menurut (Kholifah, 2016) terdapat perubahan yang terjadi pada Lansia, yaitu:
a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra Sistem pendengaran: Prebiakusis (gangguan pada pendengaran)
oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak
jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
2) Sistem Intergumen: Pada Lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis
kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula
sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.
3) Sistem Muskuloskeletal: Jaringan penghubung (kolagen dan elastin), kartilago,
tulang, otot dan sendi.. Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon,
tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
bentangan yang tidak teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada persendian
menjadi lunak dan mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi
rata.
6

Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi


cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan
menjadi rentan terhadap gesekan. Tulang: berkurangnya kepadatan tulang
setelah diamati adalah bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan
mengakibatkan osteoporosis dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri,
deformitas dan fraktur. Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangat
bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan
penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
Sendi; pada Lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.
4) Sistem Kardiovaskuler: Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada Lansia
adalah massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan jaringan
ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin, klasifikasi SA
Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
5) Sistem Respirasi: Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru berkurang.
Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan gerakan
pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.
6) Pencernaan dan Metabolisme: Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan,
seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena
kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa
lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
7) Sistem Perkemihan: Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.
Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem Saraf: Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf Lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
9) Sistem Reproduksi: Perubahan sistem reproduksi Lansia ditandai dengan
menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis
masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur- angsur.
b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan).
2) IQ (Intellegent Quotient).
3) Kemampuan Belajar (Learning).
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension).
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving).
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making).
7

7) Kebijaksanaan (Wisdom).
8) Kinerja (Performance).
9) Motivasi.
c. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental:
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2) Kesehatan umum.
3) Tingkat pendidikan.
4) Keturunan (hereditas).
5) Lingkungan.
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri.
d. Perubahan spiritual Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam
kehidupannya. Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal
ini terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.
e. Perubahan Psikososial
1) Kesepian. Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal
terutama jika Lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita
penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement). Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau
bahkan hewan kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah
rapuh pada Lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
3) Depresi. Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode
depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas. Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan
cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif.
Gangguan-gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping
obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.

5) Parafrenia. Suatu bentuk skizofrenia pada Lansia, ditandai dengan waham


(curiga), Lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau
8

berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada Lansia yang terisolasi/ diisolasi


atau menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma Diogenes. Suatu kelainan dimana Lansia menunjukkan penampilan
perilaku sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena Lansia
bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan
tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang
kembali.
Menurut Nugroho (2000) dalam (Kholifah, 2016) Perubahan Fisik pada Lansia
adalah:
a. Sel Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan intra
seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak
menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel.
b. Sistem Persyarafan. Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan
menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga
mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya
syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitive terhadap suhu, ketahanan tubuh
terhadap dingin rendah, kurang sensitive terhadap sentuhan.
c. Sistem Penglihatan. Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa
lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya
membedakan warna menurun.
d. Sistem Pendengaran. Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada
bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50%
terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atrofi
menyebabkan otosklerosis.
e. Sistem Kardiovaskuler. Katup jantung menebal dan menjadi kaku karena
kemampuan jantung menurun 1% setiap tahun sesudah kita berumur 20 tahun,
sehingga pembuluh darah kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah.
Berkurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, misalnya
perubahan posisi dari tidur ke duduk atau duduk ke berdiri bisa menyebabkan
tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg dan tekanan darah meninggi, karena
meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer.
f. Sistem pengaturan temperatur tubuh. Pengaturan suhu hipotalamus yang dianggap
bekerja sebagai suatu thermostat (menetapkan suatu suhu tertentu). Kemunduran
terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi yang sering ditemukan adalah
temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi aktifitas otot rendah.

g. Sistem Respirasi. Paru-paru kehilangan elastisitas, sehingga kapasitas residu


meningkat, mengakibatkan menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan
maksimum menurun dan kedalaman nafas menurun pula. Selain itu, kemampuan
9

batuk menurun (menurunnya aktifitas silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg,


dan CO2 arteri tidak berganti.
h. Sistem Gastrointestinal. Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap
menurun, pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu
pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi, fungsi
absorbsi menurun.
i. Sistem urinaria. Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun
sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva,
selaput lendir mengering, elastisitas jaringan menurun dan disertai penurunan
frekuensi seksual intercrouse berefek pada seks sekunder.
j. Sistem Endokrin. Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH,
LH), penurunan sekresi hormon kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan
testoteron.
k. Sistem Kulit. Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses
keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat
penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar
keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
l. Sistem Muskuloskeletal. Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan
pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan
mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot
mudah kram dan tremor.
5. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Menua
Proses penuaan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Proses
penuaan primer merupakan proses yang berlansung secara wajar tanpa pengaruh dari
luar, sedangkan jalannya proses penuaan yang berlangsung akibat stres psikis dan sosial
serta kondisi lingkungan (proses penuaan sekunder). Penuaan ini sesuai dengan
kronologis usia yang dipengaruhioleh faktor endogen. Perubahan ini dimulai dari sel
jaringan organ sistem pada tubuh. Penuaan dapat terjadi secara fisiologis (fisiological
aging), diharapkan mereka dapat tuaa dalam keadaan sehat. Perubahan ini dimulai dari
sel jaringan organ sistem pada tubuh.
Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruh pada proses penuaan adalah faktor
eksogen, seperti, pertama, faktor organik, genetik, dan imunitas. Faktor organik
merupakan penurunan hormon pertumbuhan, penurunan hormon testosteron,
peningkatan prolaktin, penurunan melatonin, perubahan folicel stimulating hormon dan
luteinizing hormon. Kedua, faktor lingkungan dan gaya hidup.

Yang termasuk faktor lingkungan adalah pencemaran lingkungan akibat kendaraan


bermotor, pabrik, bahan kimia, bisin, kondisi lingkungan yang tidak bersih, kebiasaan
menggunkan obat dan jamu tanpa kontrol, radiasi sinar matahari, makanan berbahan
kimia, infeksi virus, bakteri, dan stres. Ketiga, faktor status kesehatan. Menurut
Wahyudi Nugroho (2008) dalam Asuhan Keperawatan Gerontik, faktor yang
10

mempengaruhi penuaan adalah hereditas (keturunan), nutrisi/ makanan, status


kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan dan stres.

B. Tempat Pelayanan Bagi Lansia


1. Pelayanan Sosial Di Keluarga Sendiri
Home care service merupakan bentuk pelayanan sosial bagi Lansia yang dilakukan
di rumah sendiri atau dalam lingkungan keluarga Lansia. Tujuan pelayanan yang
diberikan adalah membantu keluarga dalam mengatasi dan memecahkan masalah Lansia
sekaligus memberikan kesempatan kepada Lansia untuk tetap tinggal di lingkungan
keluarganya.
Pelayanan ini dapat diberikan oleh:
a. Perseorangan: perawat, pemberi asuhan.
b. Keluarga.
c. Kelompok.
d. Lembaga/ organisasi sosial.
e. Dunia usaha dan pemerintah.
Jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa bantuan makanan, bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari, bantuan kebersihan dan perawatan kesehatan, penyuluhan gizi.
Pelayanan diberikan secara kontinu setiap hari, minggu, bulan dan selama Lansia atau
keluarganya membutuhkan.
2. Pranti Wredha (Panti Jompo)
Apa yang kita ketahui tentang Panti Wreda (Panti Jompo)? Mungkin kita akan
langsung membayangkan sebuah fasilitas tempat tinggal untuk Lansia yang kurang
mendapat perhatian dari pemerintah. Akan tetapi dengan berjalannya waktu dan
perkembangan ilmu pengetahuan mengenai kelanjutusiaan serta meningkatnya minat
dari masyarakat (khususnya perkotaan) akan kebutuhan sebuah rumah tinggal bagi
Lansia, maka saat ini banyak sekali pilihan panti yang dapat mengakomodir kebutuhan
keluarga yang memiliki Lansia yang tidak dapat mengurus mereka secara rutin, dengan
fasilitas lengkap dan memadai, sehingga nyaman sebagai tempat tinggal sementara bagi
para Lansia.

Berikut beberapa kelebihan yang bisa diperoleh di panti wredha untuk keluarga
yang memiliki Lansia:
a. Memiliki pelayanan medis tingkat lanjut.
Salah satu kelebihan dari panti wredha adalah fasilitas perawatan Lansia,
termasuk perawatan medis tingkat lanjut. Umumnya, panti wredha memiliki
pelayanan medis yang mirip dengan yang ditawarkan di rumah sakit. Pelayanan
11

kesehatan di setiap panti wredha tentu akan bervariasi, tetapi biasanya meliputi
beberapa hal di bawah ini:
1) Menyediakan perawat Lansia yang terampil.
2) Perawatan ortopedi, seperti masalah otot, sendi, dan tulang.
3) Pengobatan untuk gangguan pernapasan.
4) Perawatan setelah operasi, seperti perawatan luka.
5) Terapi antibiotik dan intravena.
Tidak hanya memperhatikan kesehatan fisik, ada beberapa panti yang
menyediakan konseling gizi, pekerjaan sosial, dan kegiatan rekreasi. Hal ini
bertujuan agar Lansia merasa sehat dan nyaman menjalani hari-hari di panti tanpa
perlu mengkhawatirkan kondisi kesehatannya.
b. Memudahkan Lansia berinteraksi dengan orang lain
Selain memperoleh perawatan kesehatan tingkat lanjut, kelebihan lainnya dari
panti untuk Lansia ini adalah mereka dapat berinteraksi dengan orang lain.
Kebanyakan Lansia mungkin memilih untuk hidup terpisah dari anak dan cucunya
agar tidak merepotkan mereka. Namun, tidak sedikit dari mereka yang mungkin
kesepian karena tinggal seorang diri atau berdua dengan pasangan dan sesekali
dengan perawat.
Dengan berada di panti, para Lansia akan lebih sering bertemu dengan orang
yang seumuran dengan mereka. Selain itu panti juga sering mengadakan acara dan
kegiatan untuk Lansia yang memungkinkan penghuninya bersosialisasi satu sama
lain.
c. Menjalani aktivitas harian yang teratur.
Pada saat Lansia tinggal di rumah bersama anggota keluarganya atau justru
sendirian, mungkin mereka akan lebih cepat merasa bosan. Bagaimana tidak,
kondisi tubuh membuat Lansia tidak bisa banyak bergerak selayaknya saat masih
muda. Sementara itu, panti untuk Lansia menghadirkan aktivitas harian yang
teratur. Mulai dari bangun pagi, sarapan, senam Lansia bersama-sama, hingga
malam hari diatur oleh pengelola panti. Setiap orang memang akan merespons
keteraturan yang berbeda karena ada beberapa orang yang menyukainya dan ada
pula yang tidak.

Sayangnya, sebagian besar panti wreda di Indonesia belum menawarkan pelayanan


yang sama. Pastikan Anda melakukan peninjauan terlebih dulu mengenai pelayanan dan
fasilitas pada panti untuk Lansia. Selain berbagai kelebihan yang disediakan oleh Panti
Wreda, tentu ada juga dirasakan kekurangannya. Sebenarnya, panti wredha memberikan
penawaran yang beragam, namun, tidak sedikit yang merasa bahwa panti wredha bukan
tempat yang ideal sebagai tempat tinggal para Lansia.  Untuk beberapa Lansia, tinggal
pada tempat panti wreda justru dapat menyebabkan rasa tak nyaman. Bahkan, bisa jadi,
12

tinggal di panti ini membuat Lansia merasa depresi. Hal ini bisa terjadi karena Lansia
tidak bebas berada di fasilitas ini.
Sebagai contoh, Lansia tidak bisa bebas memilih menu makanan harian atau
kegiatan yang mereka sukai. Selain itu, ada kemungkinan bahwa panti tersebut memiliki
pelayanan yang tidak berkualitas jika dibandingkan ketika berada di rumah sendiri.
Akibatnya, orang yang sudah memasuki usia senja ini bukan lebih sehat, tetapi lebih
sering jatuh sakit.
Panti wredha mungkin akan terlihat menakutkan atau tidak menyenangkan untuk
para Lansia. Belum lagi perasaan dikhianati atau merasa ditelantarkan oleh keluarga
ketika berada di sana. Oleh karena itu, saat ingin menitipkan Lansia ke panti, pastikan
bahwa Lansia tidak merasa keberatan. Selain itu, pastikan pula bahwa panti yang dipilih
adalah yang terbaik untuk membantu Lansia sehat dan bahagia menjalani hari-harinya.
3. Posyandu Lansia
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lansia adalah suatu wadah pelayanan kesehatan
bersumber daya masyarakat (UKBM) untuk melayani penduduk Lansia, yang proses
pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga
swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta,
organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitikberatkan pelayanan kesehatan pada upaya
promotif dan preventif. Di samping pelayanan kesehatan, Posyandu Lansia juga
memberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, keterampilan, olah raga, seni budaya,
dan pelayanan lain yang dibutuhkan para Lansia dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan kesejahteraan. Selain itu Posyandu
Lansia membantu memacu Lansia agar dapat beraktifitas dan mengembangkan potensi
diri.
4. Puskesmas Santun Lansia
Yang dimaksud Puskesmas Santun Lansia adalah Puskesmas yang menyediakan
ruang khusus untuk melakukan pelayanan bagi kelompok usia lanjut yang meliputi
pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabiIitatif. Ciri-ciri Puskesmas
Santun Lansia yaitu pelayanannya secara pro-aktif, baik, berkualitas, sopan,
memberikan kemudahan dalam pelayanan kesehatan kepada Lansia, memberikan
keringanan/penghapusan biaya pelayanan bagi Lansia yang tak mampu, memberikan
berbagai dukungan dan bimbingan kepada Lansia dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatan melalui kerjasama dengan lintas program dan lintas sektor.
C. Pelayanan Sosial Di Keluarga
Pelayanan sosial adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan
dengan lingkungan sosialnya. Pelayanan sosial disebut juga sebagai pelayanan kesejahteraan
sosial. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi
pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan,
tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga
pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada
13

golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin,
cacat, tuna sosial dan sebagainya.
Pengertian pelayanan sosial Lansia secara khusus dapat ditemukan dalam Peraturan
Menteri Sosial Nomor. 19 tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lansia, pada pasal
1 dijelaskan bahwa pelayanan sosial Lansia adalah upaya yang ditujukan untuk membantu
Lansia dalam memulihkan dan mengembangkan fungsi sosialnya. Arah kebijakan pelayanan
dan perlindungan Lansia pada saat ini mengacu pada skema penyediaan layanan long term
care (LTC). Layanan LTC melibatkan tiga komponen, yaitu pemerintah melalui pelayanan
sosial Lansia berbasis institusi (institutional based), masyarakat melalui pelayanan sosial
Lansia berbasis komunitas (Community based), dan layanan berbasis rumah tangga (Home-
Based) (Tristanto, 2020).
Pelayanan sosial Lansia berbasis institusi di Indonesia dilaksanakan dalam bentuk Balai
Rehabilitasi Sosial Lansia (BRSLU) ataupun Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Merujuk
pada Peraturan Menteri Sosial No. 19 tahun 2012 pasal 7 menjelaskan bahwa pelayanan
dalam panti dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan, dan
terpenuhinya kebutuhan dasar Lansia. Pelayanan sosial berbasis institusi umumnya melayani
Lansia yang mengalami tingkat kerentanan sangat tinggi yaitu: Lansia yang masih mandiri
dan mengalami keterlantaran dijalanan dan Lansia yang sudah tidak memiliki kemandirian
yang tidak mungkin dilayani melalui pelayanan sosial berbasis rumah tangga dan berbasis
komunitas.
Adapun jenis pelayanan yang diberikan dalam panti, meliputi:
1. Pemberian tempat tinggal yang layak.
2. Jaminan hidup berupa makan, pakaian, pemeliharaan kesehatan.
3. Pengisian waktu luang termasuk rekreasi.
4. Bimbingan mental, sosial, keterampilan, agama.
5. Pengurusan pemakaman atau sebutan lain.
Pelayanan sosial Lansia berbasis komunitas, dapat berupa Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS). Hal tersebut tercantum dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, pasal 38 ayat 2 yang berbunyi penyelenggaraan kesejahteraan sosial
dari unsur masyarakat diantaranya adalah melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial atau
Organisasi Sosial.

Sedangkan, menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 19 Tahun


2013 tentang asistensi sosial melalui lembaga kesejahteraan sosial Lansia, pasal 1 ayat 5
menjelaskan bahwa lembaga kesejahteraan sosial Lansia yang selanjutnya disingkat LKS
LU adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial Lansia baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
LKS LU berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial.
LKS LU hadir dan diperlukan karena bertambahnya jumlah Lansia yang membutuhkan
pelayanan. Adapun peran LKS antara lain: LKS merupakan lingkungan terdekat bagi Lansia
14

dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis, LKS yang memiliki kesadaran bersama akan
melindungi Lansia dari kerentanan dan diskriminasi, LKS (termasuk PUSAKA) menjadi
penggerak utama bagi keluarga dan komunitas untuk melakukan perawatan sosial bagi
Lansia. Dan Komunitas adalah yang terdekat dengan keluarga Lansia, sehingga harus
dikuatkan melalui LKS agar lebih sensitif dan responsif dalam mencegah dan menyelesaikan
permasalahan yang dialami Lansia.
Kehadiran LKS dalam memberikan pelayanan kepada Lansia, sejatinya lebih diarahkan
pada model pelayanan berbentuk program day care services atau Program Pelayanan Harian
Lansia (PHLU). Pelayanan tersebut merupakan suatu model pelayanan sosial dimana Lansia
datang ke LKS LU sesuai dengan waktu yang ditentukan. PHLU ini diharapkan sebagai
alternatif pelayanan yang tepat dalam mempertahankan dan mengembangkan keberfungsian
sosial Lansia, serta merespon kebutuhan dan permasalahan guna mewujudkan kesejahteraan
sosial Lansia. Di samping itu, PHLU juga diharapkan dapat membantu pemenuhan
kebutuhan Lansia yang tidak dapat diberikan oleh keluarganya seperti perawatan jiwa dan
dukungan psikososial Lansia.
Perawatan Lansia di LKS LU dilakukan melalui pendampingan oleh seorang
pendamping sosial. Menurut Direktorat Bantuan Sosial (2007) pendampingan adalah suatu
proses pemberian kemudahan (fasilitas) yang diberikan pendamping kepada klien dalam
mengidentifikasi kebutuhan dan memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif
dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kemandirian klien secara berkelanjutan
dapat diwujudkan. Pendampingan Lansia di LKS LU dapat dilakukan oleh pendamping
sosial yang berlatar belakang pekerja sosial, atau pramu sosial, pengasuh, dan relawan sosial
dengan syarat mempunyai kompetensi terkait bimbingan dan perawatan Lansia.
Pelayanan sosial Lansia berbasis komunitas akan lebih optimal apabila ada peran serta
dari keluarga Lansia. Hal tersebut disebabkan karena LKS hanya sebagai bagian dari sistem
dukungan dalam melakukan pelayanan Lansia. Sedangkan pelayanan utama berasal dari
rumah tangga (home-based) yaitu keluarga Lansia karena keluarga memiliki peran antara
lain sebagai berikut:
1. Keluarga menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikis Lansia.
2. Keluarga tempat berlindung yang utama Lansia.
3. Keluarga tempat Lansia untuk menjalankan peran dan mengaktualisasikan dirinya di
usia lanjut.
4. Keluarga yang baik, harmonis dan bahagia dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan
sosial Lansia melalui perawatan. Keluarga yang tidak peduli, tidak harmonis, dan penuh
konflik beresiko bagi kesehatan fisik dan psikis Lansia.
5. Keluarga tempat terbaik bagi Lansia.
Oleh sebab itu dukungan keluarga kepada Lansia harus diperkuat, agar terwujudnya
pemenuhan hak dan kebutuhannya. Hal tersebut karena pranata sosial pertama dan utama
dalam mewujudkan Lansia sejahtera adalah keluarga.
Menurut Chan (2005) keluarga yang merupakan dukungan informal menjadi pihak yang
paling penting dan diandalkan ketika dukungan formal yaitu negara kesulitan bahkan tidak
15

dapat menjamin dengan baik kehidupan Lansia. Hal senada juga dikemukakan oleh Harris
dalam Baroroh dan Irafayani (2015) bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang secara
spontan akan mengambil bagian menjadi caregiver, ketika keluarga yang dicintainya
membutuhkannya. Layanan Lansia berbasis rumah tangga adalah bentuk pelayanan
pendampingan dan perawatan Lansia di rumah yang dilakukan oleh keluarga inti. Pelayanan
Lansia di rumah dapat dilakukan dalam bentuk membantu Lansia yang mempunyai
hambatan fisik, mental dan sosial, termasuk memberikan dukungan dan pelayanan untuk
Lansia hidup mandiri.
Pendampingan dan perawatan sosial Lansia berbasis rumah tangga sebenarnya bukan
hal baru di Indonesia. Program ini telah diperkenalkan sejak tahun 1974 oleh almarhum Ibu
Jenderal A.H. Nasution yang ketika itu lebih berfokus pada pemberian makanan bergizi
kepada Lansia. Setelah itu, pendampingan dan perawatan sosial Lansia di rumah mulai
berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat Indonesia (Tristanto, 2020).

D. Foster Care Servis


Pelayanan sosial Lansia melalui keluarga pengganti adalah pelayanan sosial yang
diberikan kepada Lansia di luar keluarga sendiri dan di luar lembaga. Lansia tinggal bersama
keluarga lain karena keluarganya tidak dapat memberi pelayanan yang dibutuhkannya atau
berada dalm kondisi terlantar. Tujuan pelayanan ini adalah membantu memenuhi kebutuhan
dan mengatasi masalah yang dihadapi Lansia dan keluarganya. Sasaran pelayanannya adalah
Lansia terlantar, tidak dapat dilayani oleh keluarganya sendiri. (Kholifah, 2016)
Jenis-jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa:
1. Bantuan makanan, misalnya menyiapkan dan memberikan makanan.
2. Peningkatan gizi.
3. Bantuan aktivitas.
4. Bantuan kebersihan dan perawatan kesehatan.
5. Pendampingan rekreasi.
6. Olahraga.

Adapun Program Kementerian Kesehatan dalam upaya untuk meningkatkan status


kesehatan para Lansia adalah peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan para Lansia di
pelayanan kesehatan dasar, khususnya Puskesmas dan kelompok Lansia melalui konsep
Puskesmas Santun Lansia. Saat ini data yang masuk di Kementerian Kesehatan baru terdapat
437 Puskesmas Santun Lansia, Peningkatan upaya rujukan kesehatan bagi Lansia melalui
pengembangan Poliklinik Geriatri di Rumah Sakit, Peningkatan penyuluhan dan
penyebarluasan informasi kesehatan dan gizi bagi Lansia dan sudah disosialisasikan
Program Kesehatan Lansia ini ke semua provinsi, pemberdayaan masyarakat melalui
pengembangan dan pembinaan Kelompok Lansia/ Posyandu Lansia di masyarakat. Hal ini
dapat dilakukan sebagai salah satu bagian dari kegiatan di desa siaga. Saat ini sudah ada
lebih kurang 69.500 Posyandu Lansia yang tersebar di beberapa kabupaten/ kota di
Indonesia, dan peningkatan mutu perawatan kesehatan bagi Lansia dalam keluarga (Home
16

Care). Home care dilaksanakan secara terintegrasi dengan program Perawatan Kesehatan
Masyarakat di Puskesmas maupun di RS.

E. Pusat Santunan Keluarga


Pusat santunan keluarga, pelayanan terhadap Lansia kurang mampu/ terlantar dengan
memberikan pelayanan pemakan siap saji/ siap santap dan pembimbing rohani serta sosial
guna pemenuhan kebutuhan hidupnya secara layak (Glosarium).
1. Tujuan Pelayanan Pusat Santunan Keluarga
a. Berbagi rasa kebahagiaan dan kasih sayang kepada para Lansia agar budaya
menghormati kepada sesama khususnya orang tua sebagai tempat untuk mengadu,
meminta nasihat, doa restu dan sebagainya dapat dipertahankan.
b. Memberikan motivasi kepada para Lansia bahwa mereka tidak mesti harus diam
dirumah, tetapi masih bisa berkarya dan memiliki daya guna untuk mengisi hari-
hari tuanya dengan memanfaaftkan bakat yang mereka miliki hingga mendatangkan
manfaat bagi orang lain.
c. Dengan memberikan pembinaan mental spritual, akan menambah keimanan mereka
sebagai bekal dimasa akhir sisa hidup mereka.
d. Pemberian makan kepada Lansia diharapkan untuk meningkatkan gizi dan pola
makan yang baik sesuai dengan kondisi dan usia para Lansia agar kesehatan mereka
tetap terjaga sehingga tidak mudah sakit.
e. Pembinaan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin yang diharapkan
dapat meningkatkan dan memantau kondisi kesehatan para Lansia.
f. Dengan pembinaan seperti diatas, diharapkan para Lansia merasa diperhatikan dan
dimanusiakan sebagai orang yang berdaya guna.

2. Sasaran Pusat Santunan Keluarga


Dengan adanya Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA), kita mempunyai sasaran
yang dapat dijadikan sarana untuk pengembangan dan peningkatan pelayanan yang
lebih baik kepada para Lansia yang kurang mampu secara ekonomi dan dapat
melakukan pelayanan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan Lansia-Lansia yang
tinggal dalam lingkungan sendiri atau keluarga pengganti.
3. Lingkup Kegiatan
Pelayanan kepada Lansia ini diberikan ditempat yang tidak jauh dari tempat tinggal
Lansia.

F. Panti Sosial Lansia


Panti sosial adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Depsos yang memberikan
pelayanan kesejahteraan sosial (Pasal 1 Kep. Mensos no.22/1995). Tugasnya adalah
17

memberikan pelayanan kesejahteraan sosial dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses
pelayanan Lansia dalam panti adalah proses bantuan pertolongan, perlindungan, bimbingan,
santunan dan perawatan yang dilakukan secara sistematis, terarah, dan terencana dalam panti
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Lansia.
Adapun peran dan fungsi dari Panti Sosial itu sendiri adalah memberikan pelayanan dan
perlindungan sosial dalam upaya memenuhi hak dan kewajiban terhadap Lansia
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Sosial Usia Lanjut.
Beberapa peran dan fungsi panti sosial lainnya juga dikemukakan dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1974 Pasal 3 ayat 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kesejahteraan sosial menjelaskan tugas-tugas pemerintah ialah:
1. Menentukan garis kebijkan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan
meningkatkan usaha kesejahteraan sosial.
2. Memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran serta rasa tanggung
jawab sosial masyarakat.
3. Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Demikian pula dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia, dalam Bab V Ps 12 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi Lansia tidak
potensial di antaranya:
1. Pelayanan keagamaan dan mental spritual.
2. Pelayanan kesehatan.
3. Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan
prasarana umum.
4. Pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum.
5. Perlindungan sosial.
Selain itu Panti Sosial merupakan lembaga utama yang merupakan tempat pelaksanaan
tugas pekerja sosial yang menggunakan metode pekerja sosial sebagai metode pokok dalam
melakasanakan fungsinya. Fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis
yang sama berdasarkan sifat atau pelaksanaannya. Panti sosial merupakan lembaga
pelayanan kesejahteraan sosial yang berfungsi melaksanakan kegiatan bimbingan sosial,
pemulihan sosial, penyantunan sosial, dan pemberian bantuan sosial.
Menurut Friedleander sebagaimana yang dikutip Setyabudi, bahwa: Panti harus
merupakan tempat dimana penerima pelayanan dapat mempeoleh cara hidup yang baru
dalam kehidupan bersama rekanrekannya memperoleh pengalaman diri hidup berkelompok,
memperoleh pemeliharaan kesehatan yang baik, memperoleh tambahan makan yang bergizi,
memperoleh suasana persahabatan, memperoleh pendidikan pelatihan, yang kesemuanya itu
diberikan.
Selain itu panti sosial merupakan lembaga yang memang bergerak dibidang usaha
kesejahteraan sosial yang menggunakan profesi pekerja sosial dalam memberikan pelayanan
18

baik bersifat preventif, akuratif maupun promotif kepada klieannya secara khusus serta
masyarakat pada umumnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketergantungan Lansia disebabkan kondisi orang Lansia banyak mengalami
kemunduran fisik maupun psikis, artinya mereka mengalami perkembangan dalam bentuk
perubahan-perubahan yang mengarah pada perubahan yang negatif. Secara umum kondisi
fisik seseorang yang telah memasuki masa Lansia mengalami penurunan. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa perubahan penampilan pada bagian wajah, tangan dan kulit, perubahan
bagian dalam tubuh seperti sistem saraf: otak, isi perut: limpa dan hati, perubahan panca
indra: penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan perubahan motorik antara lain
berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar keterampilan baru.
Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduran kesehatan
fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial
mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.
Masalah umum yang dialami Lansia yang berhubungan dengan kesehatan fisik yaitu:
rentannya terhadap berbagai penyakit karena berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi pengaruh dari luar, berkurangnya teman/ relasi akibat kurangnya aktifitas di
luar rumah, kurangnya aktifitas sehingga waktu luang bertambah banyak, meninggalnya
pasangan hidup, anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempuh pendidikan yang
lebih tinggi, anak-anak yang meninggalkan rumah untuk bekerja, anak-anak telah dewasa
dan membentuk keluarga sendiri. (Azizah, 2011)

B. Saran
Dalam Keperawatan Gerontik, seorang perawat hendaklah mengetahui Asuhan
Keperawatan yang akan diberikan terhadap klien yaitu para Lansia sehingga Lansia merasa
tercukupi kebutuhannya secara lebih efektif. Bagi keluarga klien juga hendaklah mengetahui
tentang cara-cara asuhan pada Lansia sehingga Lansia dapat menjalani masa tuanya dengan
lebih baik dan nyaman.

19
DAFTAR PUSTAKA

Baroroh, D. B., & Irafayani, N. (2015). “Peran Keluarga Sebagai Care Giver Terhadap
Pengelolaan Aktifitas Pada Lansia Dengan Pendekatan Nic (Nursing Intervention
Classification) Dan Noc (Nursing Outcome Classification)”. Jurnal Keperawatan, 3(2).
Chan, Angelique. (2005). “Aging in Southeast and East Asia: Issues and Policy Directions”. J
Cross Cult Gerontol (2005), Volume 20, pp. 269–284.
Departemen Sosial RI. (2007). “Pedoman Pendamping Pada Rumah Perlindungan dan Trauma
Center”. Jakarta: Direktorat Bantuan Sosial.
https://golantang.bkkbn.go.id/mengenal-panti-wredha-panti-untuk-Lansia. Diunduh tanggal 28
Agustus 2022.
https://lui.kemsos.go.id/warta/detail/110/pusat-santunan-keluarga-pusaka-menjadi-garda-
terdepan-dalam-penanganan-lanjut-usia. Diunduh tanggal 28 Agustus 2022.
InfoDRTin. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kementrian Sosial RI. (2014). “Pedoman Asistensi Sosial Lansia Melalui Lembaga
Kesejahteraan Sosial (LKS)”. Jakarta: Direktorat Pelayanan Sosial Lansia.
Kementrian Sosial RI. (2012). “Pedoman Pelayanan Sosial Lansia”. Peraturan Mentri Sosial No.
19 tahun 2012.
Muhidin, S. (1992). “Pengantar Kesejahteraan Sosial”. Bandung: STKS press.
Tristanto, A. (2020). “Dukungan Kesehatan Jiwa Dan Psikososial (Dkjps) Dalam Pelayanan
Sosial Lansia Pada Masa Pandemi Covid-19”. Sosio Informa, 6(2), 205-222.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

20

Anda mungkin juga menyukai