Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

MANAJEMEN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN


AKTIVITAS FUNGSIONAL AKIBAT
CHRONIC KIDNEY DISEASE

OLEH :

HARMIATI
PO714241192003

i
BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (traktus urinarius)
yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme dari dalam
tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai ultrafiltrasi yaitu proses
ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit, pemeliharaan keseimbangan
asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam produksi eritrosit, regulasi kalsium
dan fosfor atau mengukur kalsium serum dan fosfor, regulasi tekanan darah, eksresi
sisa metabolik dan toksin.[ CITATION Sya07 \l 1057 ]
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang
terjadi secara akut ( kambuhan ) maupun kronis ( menahun ). Penyakit ginjal kronik (
chronic kidney disease ) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan
pada kedua ginjal bersifat ireversibel. Gagal ginjal kronik terjadi apabila laju filtrasi
glomeruler ( LFG ) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama tiga bulan atau lebih.
[ CITATION Mar09 \l 1057 ]
CKD disebabkan oleh berbagai penyakit, antara lain penyakit infeksi, penyakit
peradangan, penyakit hipertensi, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif.[ CITATION Mar09 \l
1057 ]
Pasien CKD memiliki kapasitas fisik dan kapasitas fungsional yang lebih rendah
karena mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit. Berdasarkan
data, diketahui bahwa pasien hemodialisis yang berusia 30 tahun memiliki lebih sedikit
aktifitas fisik sehari- harinya dibandingkan dengan individu sehat yang berusia 70
tahun.[ CITATION Iki06 \l 1057 ]
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai masalah medis dan fisik yang
membutuhkan penanganan fisioterapi. Secara medis, pasien dengan gagal ginjal kronik
akan ditangani dengan hemodialisis, dialisis peritoneal, atau dengan transplantasi
ginjal. Manajemen fisioterapi pada pasien dialisis dengan transplantasi ginjal berbeda
untuk tingkat agrevitas programnya. Memberikan program fisioterapi yang tepat bagi
pasien dengan gagal ginjal kronis sering menjadi tantangan karena beberapa komplikasi
yang muncul, seperti gagal jantung kongestif dan neuropati perifer. Fisioterapi adalah

1
bagian penting dari rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal kronik.[ CITATION Gra82 \l
1057 ]

Fisioterapi memiliki tanggung jawab profesional untuk menginterpretasikan hasil


laboratorium yang ada sebagai satu komponen dalam pemeriksaan dan evaluasi
fisioterapi bagi pasien, yaitu menyarankan dilakukannnya pemeriksaan laboratorium
bagi pasien jika diperlukan serta menggunakan hasil pemeriksaan laboratorium yang
ada sebagai pertimbangan dalam penentuan intervensi fisioterapi yang aman bagi
pasien.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

2
BAB II
KAJIAN TEORI

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Anatomi Ginjal

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi

kimia darah (dan lingkungan luar tubuh) dengan mengekskresikan zat terlarut dan

air secara selektif. Apabila kedua ginjal karena sesuatu hal gagal menjalankan

fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi vital

ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan

reabsorpsi sejumlah zat terlarut dalam dan air dalam jumlah yang sesuai

sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan keluar tubuh

dalam urin melalui sistem pengumpul urin.[ CITATION Wil06 \l 1057 ]

Dua ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, di luar rongga

peritoneum. Setiap ginjal orang dewasa beratnya kira-kira 150 gram dan kira-kira

seukuran kepalan tangan. Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan

yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai

saraf, dan ureter yang membawa urin disimpan hingga dikeluarkan. Ginjal

dilingkupi oleh kapsul fibrosa yang keras untuk melindungi struktur dalamnya

yang rapuh.[ CITATION Guy062 \l 1057 ]

Ginjal terdiri dari dua bagian yaitu kortek di bagian luar dan medula di bagian

dalam. Medula ginjal terbagi menjadi beberapa massa jaringan berbentuk kerucut

yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan

antara korteks dan medula serta berakhir di paila, yang menonjol ke dalam ruang

pelvis ginjal, yaitu sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk

corong. Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka

3
yang disebut kaliks mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kaliks

minor, yang mengumpulkan urin dari tubulus setiap papila. [ CITATION Guy062 \l

1057 ]

Gambar 1 : Anatomi Ginjal

Di dalam korteks ginjal terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di dalam

medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari

ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distalis, dan

duktus kolegentes.[ CITATION Pur091 \l 1057 ]

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang

langsung dari aorta abdominal, sedangkan darah vena di alirkan melalui vena

renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end

arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang

arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini,

berakibat timbulnya iskemia/nekrosis daerah yang dilayaninya.[ CITATION Pur091 \l

1057 ]

2. Fisiologi Ginjal

4
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan

ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini

dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsopsi dan sekresi tubulus. [ CITATION Wil06 \l

1057 ]

Secara singkat fungsi utama ginjal dibagi dua yaitu fungsi ekskresi dan fungsi

non ekskresi. Fungsi ginjal sebagai dalam fungsi ekskresi antara lain [ CITATION

Wil06 \l 1057 ] :

a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah-

ubah ekskresi air

b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah

ekskresi Na-.

c. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam

rentang normal.

d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H +

dan membentuk kembali HCO3-.

e. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama

urea, asam urat dan kreatinin).

f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

Fungsi ginjal sebagai fungsi nonekskresi yaitu mensintesi dan mengaktifkan

hormon[ CITATION Wil06 \l 1057 ] :

a. Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah

b. Eritropoetin : merangsang produksi sel darah merah oleh sum-sum tulang

c. 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang

paling kuat.

5
d. Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan

melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.

e. Degradasi hormon polipeptida.

f. Insulin, glukagon, parathormon, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon

gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif).

B. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

1. Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik adalah suatu

proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan

penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal

ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan

fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia

adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat

penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.[ CITATION Suw06 \l 1057 ]

Kriteria penyakit ginjal kronik antara lain sebagai berikut [ CITATION Suw06 \l

1057 ] :

a. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa

kelainan strukural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

- Kelainan patologis

- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah

atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.

6
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2. Etiologi

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara antara satu negara

dengan negara lain. Berikut beberapa penyebab utama terjadinya penyakit ginjal

kronik[ CITATION Suw06 \l 1057 ] :

a. Diabetes melitus

b. Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar

c. Glomerulonefritis

d. Nefritis interstitial

e. Kista dan penyakit bawaan lain

f. Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis)

g. Neoplasma

h. Obstruksi dan infeksi

i. Idiopatik

3. Klasifikasi

a. Derajat 1 : kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ (LFG ≥90

ml/mn/1,73m2)

b. Derajat 2 : kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan (LFG 60-89 ml/mn/1,73m2)

c. Derajat 3 : kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang (LFG 30-59

ml/mn/1,73m2)

d. Derajat 4 : kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat (LFG 15-29 ml/mn/1,73m2)

e. Derajat 5 : gagal ginjal (LFG < 15 ml/mn/1,73m2)

7
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG

sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal

kronik.[ CITATION Suw06 \l 1057 ]

4. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi

kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural

dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang

diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini

mengakibatkan hiperventilasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran

darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh

proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya

diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit

dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-

angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperventilasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis

renin-angiotansis-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti

transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan

terhadap terjadinya progresivitas penyakit ginjal kronik adalah interindividual,

hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat varibilitas interindividual untuk

terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. [ CITATION

Suw06 \l 1057 ]

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau

8
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan

fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan

kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan

keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pasien seperti

nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.

Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien meperlihatkan gejala dan tanda uremia

yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme

fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga

mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun

infeksi saluran pencernaan. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti

hiper atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium

dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang

lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal

replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini

pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.[ CITATION Suw06 \l 1057 ]

5. Pendekatan Diagnostik

a. Gambaran Klinis

- Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus infeksi

traktus urinarius, batu traktus urianrius, hipertensi, hiperurikemia, SLE, dan

sebagainya.

9
- Sindrom uremia, yang tediri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan, neuropat perifer, pruritus, uremic frost,

perikarditis, kejang-kejang, sampai koma.

- Gejala komplikasinya seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit.

b. Gambaran Laboratoris

- Sesuai dengan penyakit yang mendasari

- Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan penurunan LFG

penurunan kadar Hb, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,

hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,

asidosis metabolik

- Proteiuria, hematuria, leukosuria, cast, isotenuria.

c. Gambaran Radiologis

- Foto polos abdomen bisa tampak batu radiopak

- Pielografi

- USG ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

[ CITATION Suw06 \l 1057 ]

C. PERANAN FISIOTERAPI PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE

Perkembangan program latihan penentuan tingkat aktivitas pada pasien dengan

dialisis ditentukan oleh fisioterapi. Perkembangan pasien sangat bervariasi dan sangat

tergantung pada individu pasien itu sendiri. Fisioterapis harus memperhatikan tanda-

tanda vital pasien seperti denyut nadi, laju pernafasan, dan tekanan darah. [ CITATION

Gra82 \l 1057 ]

10
Pasien peritoneal dialisis (PD) atau hemodialisis (HD) yang lemah dan telah

lama menjalani bedrest harus dilihat setiap hari untuk penentuan program fisioterapi.

Secara klinis pasien mungkin saja mengalami kontraktur, distal edema, disuse

artrophy, dan dekubitus. Pasien PD atau HD sangat rentan terhadap berbagai faktor

resiko kardiovaskular seperti penyakit gagal jantung hipertensi, kalsifikasi vascular

perikarditis, dan serangan jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan elektrolit

dan uremic cardiomyopati.[ CITATION Gra82 \l 1057 ]

Program exercise pada pasien CKD tahap akhir memiliki banyak manfaat,

diantaranya adalah peningkatan kekuatan otot ekstremitas bawah, perbaikan fungsi

sitolik ventrikel kiri, dan fungsi psikososial. Hasil penelitian ini juga menunjukkan

bukti yang mendukung tentang hubungan antara lain dengan dengan penurunan

denyut nadi, peningkatan kapasitas aerobic, peningkatan kadar hemoglobin dan kadar

hematokrit serta peningkatan metabolisme lipid.[ CITATION Kun13 \l 1057 ]

Tujuan jangka pendek untuk pasien dialisis meliputi pencegahan terjadinya

kontraktur, disuse artrophy, dan dekubitus, meningkatkan kekuatan, mobilitas, dan

endurance, serta menurunkan edema. Tujuan jangka panjang bervariasi, tetapi salah

satu tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan mobilitas yang cukup untuk

memungkinkan pasien melakukan activities of daily living (ADL). Rencana

perawatan pasien harus mencakup bed positioning yang baik dan mobility exercise,

exercise untuk kondisi umum, ambulation exercise, dan ADL exercise. [ CITATION

Gra82 \l 1057 ]

Bed positioning yang tepat untuk pasien dengan uremia berat dapat mencegah

terjadinya dekubitus, kontraktur, dan menurunkan edema. Pasien harus melakukan

perubahan posisi setiap dua jam sekali : ke sisi kiri, sisi kanan, terlentang, dan

tengkurap jika dapat ditoleransi oleh pasien. Tumit harus dilindungi dari tekanan saat

11
pasien dalam posisi tidur terlentang. Fisioterapis dapat meletakkan bantal di bawah

lutut pasien atau di bagian belakang. Latuhan di tempat tidur dilakukan untuk

mencegah terjadinya kontraktur. Pasien harus diedukasikan tentang teknik transfer

yang baik.[ CITATION Gra82 \l 1057 ]

Pasien harus dimotivasi untuk bangun sendiri dari tempat tidur sesering

mungkin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien utnuk dapat

duduk secara bertahap. Kaki harus dielevasikan untuk mencegah edema saat pasien

duduk di kursi. Exercise umum lainnya dilakukan untuk mencegah disuse artrophy

dan meningkatkan kekuatan, mobilitas, dan daya tahan. Exercise tersebut bertujuan

mempersiapkan pasien untuk dapat transfer dan berjalan. Tingkat ambulasi pasien

dapat tercapai tergantung pada banyak faktor termasuk usia, kondisi medis, status

mental, dan kecacatan fisik. Beberapa pasien mungkin tidak dapat berjalan dan

membutuhkan bantuan kursi roda.[ CITATION Gra82 \l 1057 ]

Neuropati perifer pada pasien CKD biasanya bersifat bilateral. Pasien mungkin

akan mengalami gangguan motorik maupun sensorik. Gangguan sensorik dapat

berupa efek “kaos tangan dan kaos kaki”. Perasaan kaki seperti terbakar biasanya

menjadi keluhan umum pada pasien dengan dialisis dan uremic neuropathy.

Neuropati akan dirasakan semakin bertambah pada saat dialisis dan biasanya

menghilang setelah dilakukakan transplantasi, kecuali jika kerusakan permanen telah

terjadi.[ CITATION Gra82 \l 1057 ]

Selama penanganan, fisioterapis harus berhati-hati pada area dimana

dilakukannya HD (vascular access) pada pasien. Kontraindikasi bagi fisioterapi untuk

melakukan penekanan di area tersebut, termasuk saat membantu pasien berdiri atau

memberi resistive exercise.[ CITATION Gra82 \l 1057 ]

12
Kurangnya motivasi mungkin merupakan masalah utama yang ditemui dalam

rehabilitasi pasien dengan CKD. Hal ini tentu saja tidak terjadi pada semua pasien,

tetapi banyak pasiein menjadi tergantung dan menunjukkan tanda-tanda uremia

seperti penurunan konsentrasi mental, apatis, dan lesu. Pasien-pasien ini perlu

dimotivasi untuk keluar dari tempat tidur dan meningkatkan mobilitas mereka.

Adanya berbagai masalah medis termasuk diantaranya berkaitan dengan fisik pasien,

menunjukkan bahwa fisioterapis adalah bagian penting dari rehabilitasi pasien ini.

Fisioterapi harus menjadi bagian integral dari tim perawatan pasien CKD. [ CITATION

Gra82 \l 1057 ]

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Data Umum Pasien

Nama : Ny. S

TTL : 23-8-1985

Umur : 28 tahun, 7 bulan, 14 hari

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sudiang

Agama : Islam

Diagnosa Medis : CKD Stage V e.c nefritis lupus

Diagnosa Sekunder : Anemia renal, malaria tropicana


(11)
B. Assesment Fisioterapi

1. Chief of complain (Keluhan Utama) :

Gangguan gerak ektremitas superior dan inferior (pasien merasa lemah)

13
2. History (Riwayat penyakit) :

Pasien masuk 3 minggu yang lalu rujukan dari Timika. Saat masuk pasien

mengalami bengkak seluruh tubuh dan sesak nafas. Semenjak dirawat sesak

nafasnya masih biasa muncul. Pasien juga mengeluhkan sakit pinggang yang

kadang-kadang muncul sebelum tanggal pemeriksaan fisioterapi. Ada keluhan

mual (+), muntah (+), demam (+). Pasien memiliki riwayat penyakit malaria.

Riwayat DM tidak ada, tidak ada riwayat kencing batu, dirujuk dengan diagnose

gangguan ginjal. BAB lancar frekuensi 3 kali, BAK tidak lancar. Pasien melakukan

HD (hemodialisis) regular sebanyak 2 kali/minggu (senin-kamis). HD terakhir

pada tanggal 14 April 2014.

3. Assymetric Position (Observasi Asimetrik) :

a. Vital Sign :

- Tekanan Darah :130/70 mmHg

- Denyut Nadi : 98/menit

- Pernafasan : 24/menit

- Suhu : 37,3ᵒC

b. Inspeksi Statis

1) Ekspresi wajah pasien cemas dan lemas

2) Pasien berbaring di tepat tidur dengan kedua knee semifleksi

3) Terpasang double mann di bahu kanan dan pada lengan sebelah kiri

terpasang cymino

4) Kesadaran pasien baik dan kooperatif

c. Inspeksi Dinamis

1) Tampak pasien mampu menggerakkan kedua lengan dan tungkai

2) Pasien mampu duduk sendiri dari posisi baring tapi masih lemas

14
3) Pasien mampu miring ke kanan dan kiri

4) Pasien kadang membutuhkan bantuan dari keluarga/orang lain untuk makan

dan self care.

d. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


Tabel 1. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
Aktif Pasif
Sendi Gerakan
Sin Dx Sin Dx
Mampu Mampu Mampu Mampu
Fleksi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Ekstensi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Abduksi
(terbatas) (terbatas)
Shoulder
Mampu Mampu Mampu Mampu
Adduksi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Endorotasi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Eksorotasi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Fleksi
(terbatas) (terbatas)
Elbow Mampu Mampu Mampu Mampu
Ekstensi (terbatas) (terbatas)

Mampu Mampu Mampu Mampu


Fleksi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Ekstensi
(terbatas) (terbatas)
Wrist
Ulnar Mampu Mampu Mampu Mampu
deviasi (terbatas) (terbatas)
Radial Mampu Mampu Mampu Mampu
deviasi (terbatas) (terbatas)
Hip Mampu Mampu Mampu Mampu
Fleksi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Ekstensi
(terbatas) (terbatas)
Abduksi Mampu Mampu Mampu Mampu

15
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Adduksi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Endorotasi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Eksorotasi
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Fleksi
(terbatas) (terbatas)
Knee
Mampu Mampu Mampu Mampu
Ekstensi
(terbatas) (terbatas)
Dorsofleks Mampu Mampu Mampu Mampu
i (terbatas) (terbatas)
Plantar Mampu Mampu Mampu Mampu
fleksi (terbatas) (terbatas)
Ankle
Mampu Mampu Mampu Mampu
Inverse
(terbatas) (terbatas)
Mampu Mampu Mampu Mampu
Eversi
(terbatas) (terbatas)

e. Palpasi
1) Tonus : hipotonus pada ekstemitas bawah
2) Suhu : Normal
3) Kontur kulit: Normal
4) Nyeri tekan : Tidak ada
4. Restricted (Keterbatasan)
a. ROM : tidak ada limitasi (normal)
b. Limitas ADL : gangguan ADL (walking, toileting, eating, dan self care)
c. Pekerjaan : sejak sakit pasien tidak mampu lagi melakukan pekerjaannya
serta sosialisasi dengan lingkungan
d. Rekreasi : sejak sakit pasien tidak pernah lagi meluangkan waktu untuk
rekreasi
5. Tissue Impairment dan Psikogen Prediktif
Jaringan yang mengalami kerusakan adalah :
a. Viscerogenik : terdapat hidronefrosis bilateral
b. Musculotendinogen : kelemahan otot pada otot-otot ekstremitas superior dan
inferior

16
c. Psikogen : pasien mengalami depresi
6. Spessific Test
a. Pemeriksaan Hamilton
Tabel 2. Pemeriksaan Hamilton
N KRITERIA TINGKATAN SKOR
O
1. Keadaan perasaan sedih 0 = tidak ada 1
(sedih, putus asa, tak 1 = perasaan ini ada hanya bila ditanya
berdaya, tak berguna) 2 = perasaan ini dinyatakan secara verbal
spontan
3 = perasaan yang nyata tanpa komunikasi
verbal, misalnya ekspresi muka, bentuk,
suara, dan kecenderungan menangis
4 = pasien menyatakan perasaan yang
sesungguhnya ini dalam komunikasi baik
verbal maupun nonverbal secara spontan

N KRITERIA TINGKATAN SKOR


O
2. Perasaan bersalah 0 = tidak ada 0
1 = menyalahkan diri sendiri dan merasa
sebagai penyebab penderitaan orang lain
2 = ada ide-ide bersalah atau renungan
tentang kesalahan-kesalahan masa lalu
3 = sakit ini sebagai hukuman, waham
bersalah dan berdosa
4 = ada suara-suara kejaran atau tuduhan dan
halusinasi penglihatan tentang hal-hal yang
mengancamnya
3. Bunuh diri 0 = tidak ada 0
1 = merasa hidup tidak ada gunanya
2 = mengharapkan kematian atau pikiran-
pikiran lain ke arah itu
3 = ada ide-ide bunuh diri atau langkah-
langkah ke arah itu

17
4. Gangguan pola tidur 0 = tidak ada 1
(initial insomnia) 1 = ada keluhan kadang-kadang sukar tidur,
misalnya lebih dari setengah jam baru tidur
2 = ada keluhan tiap malam sukar tidur
5. Gangguan pola tidur 0 = tidak ada 1
(middle insomnia) 1 = pasien mengeluh gelisah dan terganggu
sepanjang malam
2 = terjadi sepanjang malam (bangun dari
tempat tidur kecuali buang air kecil)
6. Gangguan pola tidur 0 = tidak ada 1
(late insomnia) 1 = bangun saat dini hari tetapi dapat tidur
lagi
2 = bangun saat dini hari tetapi tidak dapat
tidur lagi

N KRITERIA TINGKATAN SKOR


O
7. Kerja dan kegiatan- 0 = tidak ada 4
kegiatannya 1 = berpikir tidak mampu,
keletihan/kelemahan yang berhubungan
dengan kegiatan kerja atau hobi
2 = hilangnya minat terhadap pekerjaan/hobi
3 = berkurangnya waktu untuk aktivitas
sehari-hari atau produktivitas menurun
4 = tidak bekerja karena sakitnya
8. Kelambanan (lambat 0 = normal 0
dalam berpikir, berbicara 1 = sedikit lamban dalam wawancara
gagal berkonsentrasi, dan 2 = jelas lamban dalam wawancara
aktivitas motorik 3 = sukar di wawancarai, stupor (diam sama
menurun) sekali)
9. Kegelisahan 0 = tidak ada 1
1 = kegelisahan ringan
2 = memainkan tangan jari-jari, rambut dan
lain-lain

18
3 = bergerak terus tidak dapat duduk dengan
tenang
4 = meremas-remas tangan, menggigit-gigit
kuku, menarik-narik rambut, menggigit-gigit
bibir
10. Kecemasan (ansietas Sakit nyeri di otot-otot, kaku dan kedutan 1
somatik) otot; gigi gemerutuk; suara tidak stabil;
tinnitus (telinga berdenging); penglihatan
kabur; muka merah atau pucat, lemas;
perasaan ditusuk-tusuk.
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = sedang
3 = berat
4 = ketidakmampuan
N KRITERIA TINGKATAN SKOR
O
11. Kecemasan (ansietas 0 = tidak ada 0
psikis) 1 = ketegangan subyektif dan mudah
tersinggung
2 = mengkhawatirkan hal-hal kecil
3 = sikap kekhawatiran yang tercermin di
wajah atau pembicaraannya
4 = ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya
12. Gejala somatik 0 = tidak ada 1
(pencernaan) 1 = nafsu makan berkurang tetapi dapat
makan tanpa dorongan teman, merasa
perutnya penuh
2 = sukar makan tanpa dorongan teman,
membutuhkan pencahar untuk buang air
besar atau obat-obatan untuk saluran
pencernaan
13. Gejala somatik (umum) 0 = tidak ada 1
1 = anggota gerak, punggung atau kepala
terasa berat

19
2 = sakit punggung, kepala dan otot-otot,
hilangnya kekuatan dan kemampuan
14. Kotamil (genital) Sering buang air kecil terutama malam hari 1
di kala tidur; tidak haid, darah haid sedikit
sekali; tidak ada gairah seksual dingin
(firgid); ereksi hilang; impotensi
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = berat

N KRITERIA TINGKATAN SKOR


O
15. Hipokondriasis (keluhan 0 = tidak ada 1
somatik, fisik yang 1 = dihayati sendiri
berpindah-pindah) 2 = preokupasi (keterpakuan) mengenai
kesehatan sendiri
3 = sering mengeluh membutuhkan
pertolongan orang lain
4 = delusi hipokondriasi
16. Kehilangan berat badan 0 = tidak ada 2
(wawancara) 1 = berat badan berkurang berhubungan
dengan penyakitnya sekarang
2 = jelas penurunan berat badan
3 = tak terjelaskan lagi penurunan berat
badan
17. Insight (pemahaman diri) 0 = mengetahui dirinya sakit dan cemas 1
1 = mengetahui sakit tetapi berhubungan
dengan penyebab-penyebab iklim, makanan,
kerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan
lain-lain
2 = menyangkal bahwa ia sakit

20
18. Variasi harian Adakah perubahan atau keadaan yang 0
memburuk pada waktu malam atau pagi
0 = tidak ada
1 = buruk saat pagi
2 = buruk saat malam
19. Depersonalisasi 0 = tidak ada 1
(perasaan diri berubah) 1 = ringan
dan derealisasi (perasaan 2 = sedang
tidak nyata tidak 3 = berat
realistis) 4 = ketidakmampuan

N KRITERIA TINGKATAN SKOR


O
20. Gejala paranoid 0 = tidak ada 1
1 = kecurigaan
2 = pikiran dirinya menjadi pusat perhatian,
atau peristiwa kejadian diluar tertuju pada
dirinya (ideas refence)
3 = waham (delusi) di kejar/ diburu
21. Gejala-gejala obsesi dan 0 = tidak ada 0
kompulsi 1 = ringan
2 = berat
Total Skor 19
HAM-D Scoring Instructions:
Sum the scores from the first 17 items.
- 0-7 = Normal
- 8-13 = Mild Depression
- 14-18 = Moderate Depression
- 19-22 = Severe Depression
- > 23 = Very Severe Depression

b. Pemeriksaan Nyeri Pinggang


VAS (Visual Analogue Scale)

21
Kriteria penilaian (Rumus Bourjone):
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan
4-6 : nyeri sedang
7-9 : nyeri berat
10 : nyeri sangat berat
Hasil: 4,3
IP : Nyeri sedang
c. Zona Latihan:
DNI + (20% - 30%) x (DNM – Usia) – DNI)
86 + 20% (220-28) – 86)
86+ 20% (106)
86 + 21,2 = 107,2
Untuk batas bawah  107,2
86 + 30% (220-28) – 86)
86 + 30% (106)
86 + 31,8 = 117,8
Untuk batas atas  117,8
Batas denyut nadi latihan untuk pasien adalah 107,2 – 117,8

Ket:
DNI : Denyut nadi istirahat
DNM : Denyut nadi maksimal

d. Pemeriksaan Thoraks
1) Bentuk dada : normal
2) Ekspansi Thoraks
a) Upper : 82 – 83 cm (Normal: 2 -3 cm)
b) Middle : 83 – 84 cm (Normal: 4-3 cm)
c) Lower : 80 – 80 cm (Normal: 5 -7 cm)
Hasil : Pengembangan thoraks pasien tidak normal
IP : Adanya gangguan pengembangan thoraks
e. Tes Sensorik
a) Tes rasa nyeri (tajam, tumpul)
b) Tes rasa raba (halus, kasar)
c) Tes beda titik (1 titik atau 2 titik)

22
Hasil: Sensorik pasien normal
IP : tidak ada gangguan sensasi
f. MMT (Manual Muscle Testing):
1. Ekstremitas superior sinistra :4
2. Ekstremitas superior destra :4
3. Ekstremitas inferior sinistra : 3+
4. Ekstremitas inferior destra : 3+
g. Pemeriksaan Indeks Barthel
Kriteria Penilaian:
0–4 : Sangat cacat berat (Ketergantungan sangat berat)
5–9 : Cacat berat (Ketergantungan berat)
10 – 14 : Cacat sedang (Ketergantungan sedang)
15 – 19 : Cacat ringan (Ketergantungan ringan)
20 : Bebas dan fungsional penuh (Mandiri)
Tabel 3. Pemeriksaan Indeks Barthel
NO KEMAMPUAN PENILAIAN SKOR
1. Saya dapat mengendalikan 0 = tak pernah 2
defekasi (buang air besar) 1 = kadang-kadang
2 = selalu
2. Saya dapat mengendalikan 0 = tak pernah (dikateter dan tak dapat 0
kencing (kandung kencing) mengatur)
1 = kadang-kadang
2 = selalu
3. Mengenai pemeliharaan diri 0 = selalu 0
(muka, rambut, gigi, 1 = tak pernah
cukur), saya perlu bantuan
4. Menggunakan toilet, saya 0 = tergantung pada orang lain 0
1 = kalau perlu minta bantuan
2 = bebas
5. Mengenai makan, saya 0 = tergantung orang lain 2
1 = Kalau perlu minta bantuan
2 = bebas
6. Naik dan turun dari kursi 0 = tak mampu duduk dan tergantung pada 0
dan tempat tidur, saya orang lain untuk pindah
1 = mampu duduk tapi perlu banyak

23
bantuan
2 = perlu sedikit bantuan untuk pindah
3 = bebas
7. Mengenai jalan, saya 0 = tidak dapat, saya terbatas pada kursi 0
yang didorong orang lain
1 = tidak dapat meskipun saya di kursi
roda, saya dapat menjalankan sendiri
2 = dapat tetapi hanya dengan bantuan fisik
atau kata-kata dari orang lain
3 = bebas penuh dan tak perlu bantuan
orang lain
NO KEMAMPUAN PENILAIAN SKOR
8. Berpakaian, saya 0 = tergantung orang lain 1
1 = perlu bantuan
2 = bebas, saya dapat ,mengancing baju,
resleting, menalikan sepatu dll
9. Mengenai naik tangga, 0 = tak mampu 0
saya 1 = perlu bantuan
2 = bebas
10. Mandi, saya 0 = tergantung pada orang lain 0
1 = bebas, saya tak perlu bantuan, termasuk
masuk dan keluar dari kamar mandi
TOTAL SKOR 5
Hasil: Cacat berat (Ketergantungan berat)
h. Hasil Pemeriksaan Foto Thoraks
Tanggal pemeriksaan: 31 Maret 2014
Kesan: efusi pleura bilateral dan kardiomegali dengan aorta dilatasi dan
elongasi
i. Hasil Pemeriksaan USG Abdomen
Tanggal pemeriksaan: 28 Maret 2014
Kesan: PNC bilateral, ascites dan efusi pleura bilateral
j. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (26 Maret 2014)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
1 Hematologi

24
WBC 8.1 4.00 – 10.0 10^3/µl
RBC 2.88 4.00 – 6.00 10^6/µl
HGB 8.3 12.0 – 16.0 g/dL
HCT 24.6 37.0 – 48.0 %
MCV 86 80.0 – 97.0 µm3
MCH 28.9 26.5 – 33.5 Pg
MCHC 33.8 31.5 – 35.0 g/dL
RDW 15.1 11.0-16.0 %
PLT 175 150 – 400 10^3/mm3
PDW 10.5 10.0 – 18.0 %
MPV 6,9 6.50 – 11.0 µm3
PCT 0.121 0.15 – 0.50 %
NEUT 84.4 52.0 – 75.0 %
LYMPH 9.5 20.0 – 40.0 %
MONO 4.3 2.00 – 8.00 %
EO 1.3 1.00 – 3.00 %
BASO 0.5 0.00 – 0.10 %
Kesan
- Anemia
2 Hemostasis
PT 10.1 control 11.5 10-14 Detik
INR 0.79 - -
APTT 19.9 control 24.0 22-30 detik
3 Kimia Klinik
Glukosa darah
GDS 118 <200 mg/dL
Fungsi Ginjal:
Ureum 86 10- 50 mg/dL
Kreatinin 7.2 L(<1.3) P(<1.1) mg/dL
Fungsi Hati
Bilirubin Total 0.33 <1.1 mg/dL
Bilirubin direk 0.08 <0.30 mg/dL
AST (SGOT) 15 <38 U/L
ALT (SGPT) 22 <41 U/L
Protein Total 3.6 6.6-8.7 g/dL
Albumin 2.4 3.5-5.0 g/dL
Globulin 1.2 1.5-5.0 g/dL
Elektrolit:
Natrium 135 136 – 145 mmol/l
Kalium 2.7 3.5 – 5.1 mmol/l
Klorida 101 97 – 111 mmol/l
Kesan
- Hipokalemia
- Insufusiensi Ginjal
4 Urin Rutin

25
Kimia Urin
Warna Kuning Kuning muda --
pH 7.5 4.5 – 8.0 --
Berat jenis 1.010 1.005 – 1.035 --
Protein +++/300 Negatif mg/dL
Glukosa ++/250 Negatif mg/dL
Bilirubin Negatif Negatif --
Urobilinogen Normal Negatif mg/dL
Keton Negatif Negatif mg/dL
Nitrit Negatif Negatif mg/dL
Blood +/25 Negatif Sel/µ
Leukosit Negatif Negatif Sel/µ
Vitamin C -- Negatif
Mikroskopis
(Sedimen)
Leukosit 4 +5 /lpb
Eritrosit 11 +5 /lpb
Torak - /lpk
Kristal - /lpk
Epitel 4 /lpk

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (15 April 2014)


No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
1 Hematologi
WBC 11.92 4.00 – 10.0 10^3/µl
RBC 2.88 4.00 – 6.00 10^6/µl
HGB 7.6 12.0 – 16.0 g/dL
HCT 23.3 37.0 – 48.0 %
MCV 80.9 80.0 – 97.0 µm3
MCH 26.4 26.5 – 33.5 Pg
MCHC 32.6 31.5 – 35.0 g/dL
RDW-SD 50.4 37.0 – 54.0 fL
RDW-CV 18.4 10.0 – 15.0 %
PLT 338 150 – 400 10^3/mm3
PDW 9.3 10.0 – 18.0 %
MPV 8.8 6.50 – 11.0 µm3
PCT 0.30 0.15 – 0.50 %
NEUT 8.47 52.0 – 75.0 %
LYMPH 2.01 20.0 – 40.0 %
MONO 0.95 2.00 – 8.00 %
EO 0.43 1.00 – 3.00 %
BASO 0.06 0.00 – 0.10 %
Kesan
- Anemia Normositik Normokrom
2 Hemostasis
PT 10.1 control 11.5 10-14 Detik

26
INR 0.79 - -
APTT 19.9 control 24.0 22-30 Detik
3 Kimia Klinik
(11 April 2014)
Fungsi Ginjal
Ureum 58 10- 50 mg/dL
Kreatinin 5.73 L(<1.3) P(<1.1) mg/dL
Elektrolit
Natrium 136 136 – 145 mmol/l
Kalium 3.4 3.5 – 5.1 mmol/l
Klorida 107 97 – 111 mmol/l
Kesan
- Hipokalemia
- Insufusiensi Ginjal
5 Parasit
Malaria Negatif Negatif -
Mikroskopi
(DDR)

C. Diagnosa Fisioterapi
Gangguan aktivitas fungsional akibat Chronic Kidney Disease (CKD) Grade V sejak 6
bulan yang lalu.
D. Problem Fisioterapi
1. Problem Primer
Gangguan gerak (pasien merasa lemah)
2. Problem Sekunder
a. Gangguan pengembangan thoraks
b. Nyeri pada pinggang
c. Potensi komplikasi bed rest, seperti dekubitus, pneumonia berbaring, kontraktur
otot, stiffness joint, dan keterbatasan range of motion (ROM).
3. Problem Kompleks
Gangguan ADL (walking, toileting, eating, dan self care)

E. Intervensi Fisioterapi
Intervensi fisioterapi dengan zona latihan opimal yang diberikan ada pasien
Ny.S adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Intervensi fisioterapi

27
Problem FT Modalitas FT Dosis
Penurunan rasa Komunikasi Terapeutik F : 2x sehari
percaya diri/cemas I : pasien focus
T : wawancara
T : 3 menit
Gangguan ekspansi Breathing exercise F : 3x sehari
thoraks I : 2x8 hitungan
T : BE + mobilisasi thoraks
difragma breathing, abdominal
breathing
T : 3 menit
Problem FT Modalitas FT Dosis
Kelemahan otot dan Exercise F : setiap hari
memelihara ROM I : 3x8 hitungan
sendi T : AROMEX, PROMEX,
stretching exc
T: 24 dtk
Nyeri pinggang Muscle Setting Exercise F : 3x sehari
(meningkatkan I : 3x8 hitungan
sirkulasi dan relaksasi T : bugnet exercise supine lying
otot) dan side lying
T : 24 dtk
Mencegah komplikasi Positioning F : setiap hari
bed rest (dekubitus, I : 1x2 jam
pneumonia berbaring) T : half lying, mika miki dan
supine lying
T : setiap 2 jam
Gangguan ADL Exercise F : setiap hari
(walking, toileting, I : 3x8 hitungan
eating, dan self care) T : mobilisasi mika miki, walking,
toileting, eating dan self care
T : 2 menit

28
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium awal pada tanggal 26 Maret 2014, pada

pemeriksaan darah rutin didapatkan terjadi penurunan pada kadar eritrosit(2.88 x

10^6/µL), hemoglobin (7.6 g/dL), dan hematokrit (23.3 %) , peningkatan kadar neutrofil

(8.47 x 10^3/ µL) dan penurunan kadar limfosit (2.01 10^3/ µL). Pada pemeriksaan kimia

klinik darah, didapatkan terjadi peningkatan pada kadar ureum (86 mg/dL) dan kreatinin

(7.20 mg/dL), penurunan kadar protein total (3.6 g/dL), albumin (2.4 g/dL) , dan globulin

(1.2 g/dL), serta penurunan kadar natrium(135 mmol/L) dan kalium(2.7 mmol/L).

Hasil pemeriksaan akhir terhadap darah rutin tanggal 15 April 2014, didapatkan

terjadi peningkatan leukosit (11.9 ribu/µL), penurunan kadar eritrosit (2.88 juta/µL),

hemoglobin (7.6 g/dL), dan hematokrit (23 %). Pada hitung jenis leukosit, terjadi

peningkatan neutrofil (71 %), penurunan limfosit (16,9%), dan peningkatan eosinofil (3.6

%). Pada pemeriksaan kimia klinik terakhir tanggal 11 April 2014 didapatkan peningkatan

kadar ureum (58 mg/dL) dan kreatinin (5.73 mg/dL). Pada pemeriksaan elektrolit terjadi

penurunan kadar kalium (3.4 mmol/L).

B. Pembahasan

1. Pertimbangan Hematologi terhadap Exercise

Perubahan jumlah leukosit (WBC) menunjukkan adanya infeksi atau inflamasi yang

dapat meningkatkan kebutuhan oksigen tubuh sehingga mempengaruhi toleransi pasien

terhadap jenis exercise yang diberikan oleh fisioterapis (pasien mudah lelah atau lemas).

Prinsip FT pada pasien berdasarkan nilai WBC nya adalah:[ CITATION Pet11 \l 1057 ]

1. < 5000 dan disertai demam : tidak boleh diberikan exercise (tunda)

30
2. > 5000 : exercise ringan atau resisted, sesuai kemampuan

pasien

3. > 11000 : exercise diberikan dengan memperhatikan vital

sign pasien

Nilai eritrosit (RBC) adalah jumlah sel darah merah yang ditemukan dalam darah.

Nilai ini menunjukkan kapasitas darah dalam melakukan transport oksigen dan nutrisi ke

seluruh tubuh dan mendiagnosa anemia (RBC berkurang) memiliki daya tahan kapasitas

aerobic yang menurun. Gejala lain adalah kelemahan, mudah lelah, ngantuk, sesak saat

aktivitas berat dan palpitasi. Fisioterapis harus berkoordinasi dengan dokter atau petugas

kesehatan lainnya sebelum memberikan exercise terkait dengan pemberian transfusi darah

pada pasien. Aktivitas ringan di tempat tidur dibolehkan. Pasien dengan polisitemia (RBC

meningkat) rawan terkena stroke dan thrombosis. Gejalanya antara lain, sakit kepala,

ngantuk, pandangan kabur, stasus mental menurun, atau rasa sensasi menurun pada

tangan dan kaki.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Nilai hemoglobin (Hgb) menunjukkan kemampuan darah dalam mengangkut

oksigen. Ketika kadar hemoglobin darah rendah, jantung harus bekerja keras untuk

memastikan kebutuhan oksigen tubuh tercukupi. Prinsip exercise pada pasien berdasarkan

kadar Hgb nya:[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

1. < 8 g/dL : tidak boleh diberikan exercise (tunda)

2. 8-10 g/dL : exercise ringan, dengan memperhatikan vital sign

3. > 10 g/dL : resistive exercise

Hematocrit (Hct) mengukur jumlah sel darah merah dalam darah dan mendiagnosa

anemia. Gejala yang menunjukkan rendahnya kadar hemoglobin dan hematocrit (H&H)

antara lain, kelemahan, lelah, takikardi, sesak saat beraktivitas, palpitasi, dan menurunnya

toleransi pasien terhadap exercise, sehingga perlu diperhatikan vital sign pasien dan

31
istirahat disela-sela exercise. Prinsip exercise berdasarkan nilai Hct, yaitu:[ CITATION Pet11

\l 1057 ]

1. < 20% : dapat menyebabkan gagal jantung bahkan kematian

2. < 25% : tidak boleh dilakukan exercise (tunda)

3. 25-30% : ADL dan exercise ringan, sesuai kemampuan pasien

4. 30% : dapat ditambahkan dengan resistive exercise

5. > 60% : rawan terjadi pembekuan darah spontan

Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien Ny.S menunjukkan anemia normostik

normokrom. Anemia adalah penurunan jumalah massa eritrosit (sel darah merah), mulai

dari hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit itu sendiri. Anemia akan menyebabkan

penurunan kualitas hidup pasien, mengurangi motivasi, dan keinginannya untuk

berpartisipasi dalam exercise.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Hasil pemeriksaan laboratorium menjadi faktor pertimbangan yang sangat penting

dalam penentuan pemberian exercise pada pasien. Pemberian exercise pada pasien

dengan anemia akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen pada tubuh dan

menyebabkan denyut jantung meningkat. Peningkatan denyut jantung dapat

menyebabkan takikardi disertai kelelahan, general weakness, kehilangan stamina dan

sesak nafas. Takikardi dapat menyebabkan distrimia, yang jarang tapi dapat menyebabkan

serangan jantung mendadak.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

2. Pertimbangan Kimia dalam Pemberian Exercise pada Pasien CKD

Pada pasien Ny.S didapatkan nilai GDS normal. Pemeriksaan GDS diperlukan

untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan kadar glukosa dalam darah. Pasien dengan

CKD bisa disertai dengan komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Pemberian exercise pada

pasien dengan kadar gula darah >300 mg/dL harus dihindari. Gejala hipoglikemia antar

lain sakit kepala, kelemahan, menggigil, gangguan kontrol otot, pandangan kabur, dan

32
kesulitan mengikuti instruksi. Exercise yang berat pada pasien dengan kadar gula rendah

dapat memicu munculnya hipoglikemia.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Pertimbangan elektrolit pada pasien juga akan sangat mempengaruhi pemberian

dosis exercise, terutama pada psien CKD yang mengalami gangguan keseimbangan

elektrolit. Natrium merupakan determinan penting dari volume cairan dalam tubuh.

Natrium memfasilitasi konduksi saraf dan fungsi neuromuskular. Gejala hipernatremia

(kadar natrium berlebih) antara lain penurunan status mental, kebingungan, gelisah,

hiperrefleks, ataksia, hipertensi, takikardi, pengeluaran urin menurun, haus, edema paru,

dyspnea atau respiratory arrest, sedangkan gejala hiponatremia (kadar natrium kurang)

antar lain mual, muntah, kram perut, otot berkudit, kelemahan, hipotensin atau koma.

Dalam keadaan seperti ini, kadar natrium dalam tubuh perlu dikoreksi sebelum diberikan

exercise.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Elektrolit lain yang tidak kalah penting adalah kalium yang bekerja pada fungsi

neuromuskular, kontraksi dan konduktivitas otot jantung. Nilai normal kalium adalah 3.5-

5.1 mmol/l, dengan kadar kalium yang normal dan fungsi ginjal yang baik maka kalium

dalam jumlah banyak akan dibuang melalui urin. Hiperkalemia (> 5.1 mmol/l di dalam

darah) terjadi akibat penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal, kelebihan vitamin D,

penyakit tulang (healing fracture), dan penyakit Addison’s.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Kadar kalium memberikan informasi mengenai keseimbangan asam basa, serta

system renal dan adrenal. Otot jantung sangat peka terhadap ketidakseimbangan kalium

dan hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia dan cardiac arrest. Pemberian exercise

dapat memperparah hiperkalemia, sehingga kadar kalium perlu dikoreksi sebelum

diberikan exercise.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Elektrolit lainnya adalah klorida yang penting dalam proses hidrasi dan

keseimbangan asam basa, serta memfasilitasi pertukaran oksigen dan karbondioksida

33
dalam darah. Gejala hiperkloremia antara lain kelemahan, lesu, dan pernafasan menjadi

dangkal. Pemberian exercise perlu memperhatikan vital sign pasien.[ CITATION Gha13 \l

1057 ]

Fungsi pemeriksaan eletrolit pada fisioterapi juga terkait dengan pemberian

modalitas heating. Pengaruh rangsangan panas yang dibawa di ujung-ujung saraf sensoris

dapat mengaktifkan kelenjar keringat. Pengeluaran keringat dapat mengganggu

keseimbangan elektrolit tubuh. Apabila pemberian heating diberikan pada pasien yang

keseimbangan elektrolitnya sudah mengalami gangguan, maka akan semakin diperparah

oleh pemberian heating.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Hasil pemeriksaan kimia darah yang berhubungan dengan fungsi hati juga penting

untuk diperhatikan. Kadar ureum menunjukkan fungsi ginjal dan hati. Pasien dengan

kadar ureum meningkat bisa terkena penyakit ginjal dan membutuhkan hemodialisis

(HD). Pasien biasanya akan sangat kelelahan setelah melakukan HD, jadi sebaiknya

exercise dijadwalkan sebelum pasien melakukan HD atau diberikan sebatas toleransi

pasien. Kadar kreatinin menunjukkan adanya penyakit ginjal dan biasa dilakukan

hemodialisis dan prinsip exercise seperti yang telah disebutkan.[ CITATION Gha13 \l 1057 ]

Pada hasil pemeriksaan laboratorium Ny.S menunjukkan nilai elektrolit (natrium

dan klorida) yang cenderung normal walaupun hasil kalium masih didapatkan rendah.

Selain itu, didapatkan peningkatan pada kadar ureum dan kreatinin.

Berdasarkan hal tersebut di atas, intensitas exercise yang diberikan pada pasien

CKD adalah exercise dengan intensitas ringan sampai sedang, dengan tetap

memperhatikan vital sign pasien. Jadwal pemberian exercise juga harus disesuaikan

dengan waktu HD pasien.

3. Pemberian Modalitas Fisioterapi Lainnya

34
Apabila dengan melihat pertimbangan hematologi seorang pasien dengan Chronic

Kidney Disease absolut kontraindikasi untuk pemberian exercise, misalnya pada

pemeriksaan darah rutin selalu didapatkan salah satu nilai pemeriksaan yang abnormal,

maka seorang fisioterapis dapat mempertimbangkan untuk pemberian modalitas lainnya

sebagai bentuk pencegahan terhadap timbulnya komplikasi yang mungkin terjadi.

Salah satu bentuk modalitas tersebut adalah dengan melakukan breathing exercise

(BE) yaitu latihan pernafasan. BE bertujuan untuk memperbaiki gangguan pada

pengembangan thoraks, memperbaiki ventilasi paru dan pola nafas, memperbaiki

kapasitas fungsional paru, serta bentuk edukasi pada pasien bagaimana saat menghadapi

serangan sesak nafas.(13)

Selain itu juga dapat diberikan Pasif ROM exercise, yaitu latihan dengan dimana

setiap sendi pasien digerakkan secara pasif oleh fisioterapis baik pada ekstremitas atas

maupun ekstremitas bawah yang bertujuan untuk menjaga fleksibilitas sendi dan

mencegah terjadinya kontraktur pada otot sebagai bentuk komplikasi bed rest yang lama.

Pasien juga dapat diberikan edukasi tentang bagaimana melakukan positioning yang

benar yaitu bagaimana pasien secara mandiri melakukan perubahan posisi dari tidur

terlentang ke posisi miring kiri maupun miring kanan tanpa memerlukan bantuan orang

lain dengan cara yang mudah dan tidak mengeluarkan energi berlebih serta teknik transfer

yang baik yaitu teknik melakukan perubahan posisi dari baring ke duduk, duduk ke

berdiri, berdiri ke tempat duduk, dan berdiri ke berjalan yang dilakukan secara mandiri.

Dalam pemberian penatalaksanaan fisioterapi pada pasien dengan Chronic Kidney

Disease, untuk meningkatkan motivasi dan kenyamanan bagi pasien, maka seorang

fisioterapis bisa mempertimbangkan untuk melakukan sebuah modifikasi dengan rekreasi

di luar ruangan (outdor) apabila pasien merasa bosan berada di dalam ruangan dengan

modalitas AFPR (Aktivitas Fungsional, Pemeliharaan diri, dan Rekreasi).

35
Aktivitas rekreasi dapat dilakukan di dalam maupun di luar ruangan. Pemberian

aktivitas rekreasi dapat disesuaikan dengan hobi pasien, dimana bertujuan untuk

membantu meningkatkan aktivitas fungsional dengan aktivitas rekreasi tersebut,

disamping itu juga dapat mempengaruhi kondisi psikis pasien yang sebelumnya harus

terbaring di rumah sakit. Dengan aktivitas rekreasi (misalnya dengan membawa pasien

berjalan santai menikmati udara segar atau di pantai) pasien mungkin saja akan merasa

nyaman dan rileks sehingga hal itu bisa berpengaruh terhadap sistem hormon dalam

tubuh. Adanya perubahan sistem hormon pada tubuh juga dapat berpengaruh pada sistem

saraf autonom yang secara fungsional mengatur kerja dari organ-organ visceral, salah

satunya adalah ginjal. Dengan demikian, aktivitas rekreasi secara tidak langsung

mempunyai peran dalam proses penyembuhan pasien dengan CKD walaupun hanya

memberikan kontribusi yang sangat sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsi A, Hadibroto I. Gagal Ginjal Vitaheart Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2007.

36
2. Mari B. Klien Gangguan Ginjal Jakarta: EGC; 2009.
3. Ikizler TA, Himmerfarb J. Muscle Wasting in Kidney Disease : Let's Get Physical.
Journal of the AMerican Society Of Nephrology. 2006.
4. Gray PJ. Management of Patient With Chronic Renal Failure: Role of Physical Therapy.
Journal of the American Physical Therapy Association. 1982 February; 62(2).
5. Ghazinouri R, Deshmukh S, Gorman S, Hauber A, Kroohs M, Moritz E, et al. Lab Values
Interpretation Resources: Acute Care Section-APTA; 2013.
6. Price SA, Wilson LM. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN. 11th ed. Hartanto H,
Wulansari P, Susi N, Mahanani DA, editors. Jakarta: EGC; 2006.
7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN. 11th ed. Jakarta: EGC;
2006.
8. Purnomo BB. Dasar-dasar UROLOGI Jakarta: CV. Sagung Seto; 2009.
9. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. IlMU PENYAKIT DALAM. Jakarta: FKUI; 2006. p. 570-573.
10. Kuntner NG. International Encyclopedia of Rehabilitation. [Online].; 2013 [cited 2014
April 15. Available from: HYPERLINK
"http://cirrie.buffalo.edu/encyclopedia/en/article/284/"
http://cirrie.buffalo.edu/encyclopedia/en/article/284/ .
11. Aras D. Buku Ajar Mata Kuliah Proses dan Pengukuran Fisioterapi Makassar:
Universitas Hasanuddin; 2013.
12. Peters K, Tice J. Safety of Physical therapy Using Symptomatic Blood Value Guidelines
in Children Being Treated for Cancer: Doctor of Physical Therapy Research Papers;
2011.
13. Rusli M, Muthiah St, & Hasbiah. Fisioterapi Respirasi. Makassar: Politeknik Kesehatan.
p.21, 38, 42-4.

37
38

Anda mungkin juga menyukai