Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

FOLKLOR LISAN
Dosen Pengampu : Dr.Nina Queenina Putri, S.Pd.S.S.,M.Pd.

Disusun oleh :

Nurul Maghfirah 2205076050

Axela Putri Anandira 2205076052

Faikatul Jannah 2205076058

Dwi Sucahyanti Murti 2205076060

Putri Lutfi Agustin 2205076062

Miftakhul Jannah 2205076071

Fitri Nur Khasanah 2205076073

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan paper ini untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Folklor dengan judul
Folklor Lisan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.
Kami sangat berharap semoga paper ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar paper ini bisa pembaca praktikkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusun paper ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan paper ini.

Samarinda, 04 Januari 2024

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Folklore dan kearifan lokal memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Dimana folklore ialah
suatu kebudayaan yang bersifat kolektif, tersebar luas dan juga telah diwariskan secara turun temurun
dengan tradisional dalam bentuk yang berbeda-beda, baik melalui bentuk lisan, setengah lisan,
maupun bukan lisan. Sedangkan kearifan lokal merupakan struktur sosial budaya yang
berupa pengetahuan, norma, aturan, dan keterampilan masyarakat suatu daerah untuk memenuhi
kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun darigenerasi ke generasi. Kearifan
lokal merupakan modal sosial yang dikembangkan masyarakatuntuk menciptakan ketertiban dan
keseimbangan antara kehidupan sosial budaya masyarakat dengan kelestarian sumber daya alam
yang ada di sekitarnya.

Setiap daerah memiliki kebudayaan dan kearifan lokal masing-masing yang tentunya berbeda
dengan daerah lainnya. Kalimantan Timur sendiri memiliki begitu banyak seni dan budaya, mulai
dari makanan, tarian, dan pakaian. Kearifan daerah Kalimantan Timur tidak hanya terbatas pada seni
dan budaya saja, namun merupakan suatu sistem pengelolaan sosial yang khas. Berbagai masyarakat
Kalimantan Timur mempunyai struktur sosial dan adat istiadat yang berbeda berdasarkan sejarah dan
kondisi sosialnya. Hak-hak tersebut menunjukkan bagaimana kearifan lokal membentuk pola
interaksi dan nilai-nilai masyarakat Kalimantan Timur.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu pengertian folklor?
2. Bagaimana sejarah munculnya folklor?
3. Apa saja jenis-jenis folklor?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian folklor.
2. Mengetahui bagaimana sejarah dari folklor.
3. Mengetahui jeni-jenis folklor.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Folklor


Folklor merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang perlu diteliti dan dikembangkan agar
hasil budaya terdahulu tidak hilang. Folklor, secara etimologi berasal dari dua kata bahasa inggris,
yaitu folk dan lore. Kata folk artinya sekelompok orang atau kolektif, sedangkan kata lore artinya
tradisi atau turun-temurun. Menurut Danandjaja (2007), folklor yaitu suatu tradisi atau budaya dari
suatu kolektif yang telah diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun dengan alat
bantu pengingat(Jauhari, 2018). Sedangkan menurut Alan Dundes, kata folk yaitu suatu kolektif
yang memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit, rambut, pendidikan, mata pencaharian dan agama.
Kemudian kata lore yaitu tradisi atau warisan dari suatu kolektif (Danandjaja, 2002).
Sehingga bisa disimpulkan, folklor yaitu kebudayaan, tradisi dan kesamaan fisik yang
dimiliki sekelompok orang (kolektif) dan telah diwariskan secara turun temurun baik secara lisan
maupun alat bantu pengingat. Folklor tersebut bisa berupa lisan yaitu bahasa, kemudian sebagian
lisan yaitu kepercayaan, upacara tradisional dan terakhir bukan lisan yaitu arsitektur bangunan,
makanan khas dan lainnya.

2.2 Sejarah Folklor


Sejarah Folklor pertama kali diperkenalkan di dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
William John Thoms. Seorang ahli kebudayaan antik ( antiquarian) Inggris dalam artikelnya yang
dimuat pada majalah “The Athenaeum” No. 982 , 22 Agustus 1846 (dengan nama samaran
Ambrose Merton). Thoms menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul,
balada, dsb. Untuk masa lampau (yang sebelumnya disebut: antiques, Popular antiquities, atau
Popular Literature). Di indonesia, Folklor belum lama mendapatkan porsi khusus untuk
dikembangkan dalam ilmu pengetahuan. Namun, pada masa pemerintahan Belanda terdapat
lembaga Panitia Kesusastraan Rakyat yang bertugas untuk mengumpulkan dan menerbitkan hasil
kesusastraan tradisional yang terdapat di Indonesia. Pada perkembangan kesadaran sejarah di
Indonesia, folklor juga berjalan beriringan. Meskipun menurut beberapa ahli dan metode
penyusunan penulisan sejarah folklor bisa dibilang ahistoris, namun hasil folklor setidaknya dapat
memberikan imajinasi zaman atau peristiwa di masa lampau. Seperti terlihat pada hasil tradisi
besar hasil kesusastraan terdapat pada babad-babad, cerita rakyat, pepatah dan sebagainya.
Masyarakat di Indonesia lebih banyak untuk mewariskan kebudayaan secara lisan/tradisi lisan.
Tradisi lisan itu kemudian diwariskan secara turun temurun dengan zaman yang berbeda-beda.
Dengan sifat folklor terutama cerita rakyat yang cenderung belum bias diketahui kenyataannya
(khayal), namun dengan pewarisan kebudayaan menunjukkan bahwa masyarakat sudah dalam
memahami dan menjelaskan kondisi lingkungan zamannya.

2.3 Jenis-Jenis Folklor


1. Folklor Lisan
Folklor lisan ialah folklor yang memiliki bentuk murni lisan, yakni yang diciptakan,
disebarluaskan, dan juga diwariskan secara lisan.
Bahasa Rakyat

Bahasa rakyat dalam bahasa Inggris dipadankan dengan folk speech dan dalam bahasa
Indonesia lebih tepatnya tuturan masyarakat atau tuturan sekelompok orang Berbicara tentang
kelompok orang sangat banyak kriterianya, bisa berdasarkan suku, wilayah, profesi, pekerjaan,
agama, dan lain-lain. Berdasarkan sukunya, setiap suku di Indonesia mempunyai bahasa dan budaya
masing-masing sehingga mereka mempunyai logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel
kebangsawanan masing- masing pula. Pada bahasa Sunda, ada logat yang khas yang tidak akan cocok
kalau digunakan pada bahasa lain, begitu juga bahasa Jawa, Batak, Sasak dan lain-lain. Umpamanya,
kalau orang Jawa dan Batak melafalkan bahasa Sunda akan kelihatan sekali ketidakcocokannya,
bahkan dapat menimbulkan salah pengertian dan salah komunikasi (misunderstanding,
miscommunicating) orang Jawa kalau mengucapkan kata yang diawali fonem & pasti adam-nya dan
kata yang diawali fonem d adan nya. Contoh, kata baso terlafalkan mbaso, desa terlafalkan ndeso,
dan seterusnya Selain itu, orang Jawa sangat kental dengan fonem o-nya sehingga banyak fonem a
dilafalkan o. Dengan demikian, meskipun bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi
atau formal, dan sekaligus sebagai bahasa pemersatu bangsa, apabila diucapakan oleh berbagai suku,
maka akan memunculkan berbagai logat bahasa Indonesia sehingga kita akan bisa menebak suku apa
orang yang sedang berbicara dengan bahasa Indonesia tersebut.

Hal tersebut terjadi karena pada bahasa Indonesia belum ada pembakuan lafal atau logat. Jadi,
logat selain sebagai ciri bahasa tertentu, juga sebagai ciri suku tertentu dan hal itu terjadi secara
turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga logat termasuk folklore. Meskipun satu bahasa
daerah, kalau digunakan di berbagai daerah akan mempunyai logat yang berbeda- beda. Contohnya
logat Sunda orang Bandung berbeda dengan logat Sunda orang Banten maupun tatar Priangan
lainnya seperti Ciamis, Tasik, Garut, dan lain-lain yang termasuk bahasa rakyat ialah julukan.
Hampir setiap suku atau folk di Indonsia mempunyai julukan yang biasa digunakan sebagai pembeda
seseorang dengan orang lainnya dalam sebuah kelompok masyarakat atau folk

Bahasa rakyat selain berkaitan dengan julukan juga terkait pangkat tradisional dan gelar
kehormatan. Pangkat dan gelar sangat berhubungan dengan status sosial dan kedudukan atau jabatan
dalam masyarakat. Status sosial yang mendapatkan gelar kehormatan yakni status sosial
berdasarakan kebangsawanan yang merupakan status sosial yang terjadi pada zaman dahulu

Masyarakat Sunda juga memiliki gelar kehormatan ngabihi, tubagus, raja, ratu, prabu,
tumenggung, raden, dan lain-lain. Tetapi, pada suku Sunda, gelar kehormatan tersebut tidak dibagi-
bagi lagi seperti pada masyarakat Jawa.

Bahasa rakyat berikutnya ialah bahasa bertingkat atau undak usuk bahasa. Seperti yang kita
ketahui, setiap bahasa mempunyi ragam. Ragam-ragam bahasa itulah yang dimaksud bahasa
bertingkat. Menggunakan ragam-ragam bahasa sesuai dengan situasi dan kondisinya berdasarkan
prinsip sosiolinguistik yaitu kalau akan bertutur harus mempertimbangkan who speak, what
language, to whom, where, when, and what ends (siapa kita yang berbicara, bahasa/ragam apa harus
digunakan, kepada siapa kita berbicara, di mana kita berbicara, kapan kita berbicara, dan apa yang
kita bicarakan) (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2010: 7). Prinsip bertutur yang dikemukan
Fishman sesuai dengan budaya bertutur bangsa kita, terutama bagi yang bahasanya mempunyai
undak usuk seperti bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.

Kana adalah salah satu jenis folklor lisan masyarakat suku Dayak. Karna tergolong ke dalam
cerita puisi rakyat, dan pada waktu dibawakan selau disertai dengan nyanyian. Kana dapat juga
digolongkan ke dalam nyanyian rakyat (folk liryc), yaitu nyanyian yang bersifat liris, yang
menceritakan kisah bersambung (narative folksongs). Kana mirip dengan cerita prosa. Perbedaannya
dengan cerita prosa hanya terletak pada pemakaian bahasa yang puitis. Ada beberapa nama yang
digunakan di setiap daerah khususnya pada masyarakat suku Dayak untuk penyebutan kana.
Masyarakat Dayak Desa, Dayak Kebahan, dan Dayak Ketungau menyebutnya kana. Masyarakat
Dayak U’ud Danum mengenalnya dengan sebutan kelimo, Dayak Suait menyebutnya bambay,
Dayak Kubin menyebutnya dengan engkana, dan lain-lain.
Ungkapan Tradisional

Pengertian ungkapan tradisional atau peribahasa masih diperdebatkan oleh para pakar bahasa dan
folklor sehingga sampai sekarang belum memiliki kepastian. Untuk sementara, ada beberapa orang
yang mengemukakan pendapatnya seperti Cervantes bahwa ungkapan tradisional adalah, "kalimat
pendek yang disarikan dari kalimat yang panjang" dan Bertrand Russel mendefinisi kan,
"kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seseorang" (dalam Dundes, 1968). Hal
tersebut karena ungkapan tradisional sukar sekali untuk didefinisikan.
Folklor merupakan ungkapan tradisional yang meskipun hanya seseorang yang biasa
menggunakan- nya, tetapi tetap milik bersama atau folknya. Pewaris folklor ungkapan tradisional
dibagi dua, yakni pewaris aktif dan pewaris pasif. Pewaris aktif adalah orang yang mempunyai
ungkapan tradisional selain untuk dipakai sendiri juga mempunyai keinginan menyebarkannya
kepada orang lain. Pewaris ungkapan tradisional pasif adalah orang yang mempunyai ungkapan
tersebut tetapi hanya digunakan sendiri dengan tidak mempunyai keinginan untuk menyebarkannya
atau menurunkannya kepada orang lain.
Ungkapan tradisional meskipun sukardidefinisikan, tetapi mempunyai karakteristik tersendiri.
Karakteristik ungkapan tradisional sebagai berikut: (1) peribahasa harus merupakan satu kalimat
ungkapan, tidak hanya satu kata tradisional saja; (2) peribahasa harus ada dalam bentuk yang sudah
standar; dan (3) peribahasa harus mempunyai penutur asli (vitalitas) (Brunvand dalam Danandjaja,
2007: 28). Selanjutnya, Brunvand berpendapat bahwa ungkapan tradisional secara garis besar terbagi
atas empat jenis, yakni peribahasa yang sesungguhnya, peribahasa yang tidak lengkap kalimatnya,
pribahasa perumpamaan, dan ungkapan-ungkapan yang mirip dengan peribahasa. Keempat jenis
peribahasa tersebut akan dibahas satu per satu di bawah ini.
1. Peribahasa Sesungguhnya
Peribahasa sesungguhnya merupakan kiasan (metafora) atau ibarat. Suatu peristiwa atau benda
dikiaskan pada peristiwa atau benda lainnya. Maknanya dapat diperkirakan, tidak seperti idiom.
Selain itu, peribahasa sebenarnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) kalimatnya lengkap, (2)
jarang mengalami perubahan bentuk, dan (3) mengandung kebenaran atau falsafah. Contohnya, pada
suku Sunda ada peribahasa sebagai berikut. "halodo sataun lantis ku hujan sapoe (kemarau setahun
basah oleh hujan sehari)" yang artinya kebaikan yang sudah lama dibangun rusak oleh perbuatan
jelek sekejap; dan "ngawur uyah ka sagara (menabur garam ke laut)" sama halnya dengan
"mamatahan ngojay ka meri (mengajari berenang kepada bebek) yang artinya melakukan pekerjaan
yang sia-sia.
2. Peribahasa yang tidak lengkap kalimatnya
Mempunyai sifat-sifat khas. seperti: (1) kalimatnya tidak lengkap. (2) bentuknya sering berubah.
(3) jarang mengungkapkan kebijaksanaan. (4) biasanya bersifat kiasan. Contoh pe- ribahasa
semacam ini yang tidak mempunyai subyek antara lain: "Terajuk kecewa, tersaukkan ikan suka,
tersaukkan batang masam", yang mengibarat- kan orang yang mau untung saja. Contoh peribahasa
semacam ini yang tidak mempunyai kata kerja adalah: "Dari Sabang sampai Merauke", yang
mengiba- ratkan kesatuan wilayah Indonesia.
3. Peribahasa Perumpamaan
Peribahasa perumpamaan adalah ungkapan tradisional yang mempunyai rumus tetap. Setiap
kalimat peribahasa perumpamaan selalu diawali kata-kata: seperti, bagaikan, umpama, dan bak.
Contohnya "seperti kera makan terasi"; "bagaikan telur di ujung tanduk"; dan "bak cacing
kepanasan".
Peribahasa atau ungkapan tradisional bukan sekadar alat hiburan, tetapi juga mempunyai
beberapa fungsi. Peribahasa perumpamaan adalah ungkapan tradisional yang mempunyai rumus
tetap (social control) (Danandjaja, 2007: 32). Menurut Dundes (1968:8), hal tersebut sebagai, "the
impersonalization of authority." Penulis memahaminya sebagai pembebas seseorang terhadap suatu
pernyataannya.
Dengan melihat fungsi-fungsi ungkapan tradisional atau peribahasa di atas, peribahasa dapat
dijadikan bahan penelitian folklor yang sangat menarik dan tidak akan terlalu sulit untuk
mendapatkan datanya. Indonesia sebagai negara besar dengan penduduknya yang multietnis,
multirasial, multilingual, dan multikultural akan mempunyai peribahasa yang sangat banyak. Setiap
folk mempunyai ungkapan tradisional yang berbeda-beda dan sudah pasti mempunyai fungsi yang
berbeda-beda pula. Maka dari itulah, tugas kita sebagai sastrawan untuk mengetahui fungsi masing-
masing ungkapan tradisional dari setiap folk dengan melakukan penelitian.
4. Ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa
Ungkapan-ungkapan yang dipergunakan untuk penghinaan (insult); nyeletuk (retort); atau suatu
jawaban pendek, tajam. lucu, dan merupakan peringatan yang dapat menyakitkan hati (wisecracks).
Contoh untuk yang pertama adalah penghinaan dari Jawa Timur. yang dipergunakan untuk orang
yang bermuka burik, dengan ungkapan yang berbunyi "Kebo dicancang, sapi ditarik." Korban yang
burik mukanya akan marah, karena akronim dari kalimat itu adalah borik. yang mirip sekali dengan
kata burik. Kata borik berasal dari suku kata kedua dari kata kebo, yakni bo, dan suku kata ketiga
dari kata ditarik, yakni rik.
Peribahasa suku Dayak Benuaq yang digunakan oleh masyarakat di desa Intu Lingau Kecamatan
Nyuatan Kabupaten Kutai Barat. Penyebutan peribahasa dari bahasa suku Dayak Benuaq ialah
Pajaaq. Pajaaq atau peribahasa merupakan salah satu sastra lisan yang sudah menjadi bagian budaya
dan adat-istiadat pada suku Dayak Benuaq di desa Intu Lingau yang masih digunakan hingga saat
ini. Pada saat berlangsungnya upacara adat setempat seperti kematian, pernikahan, ritual adat
tahunan (Nalint Taunt), dan lainnya akan ada tetua adat yang menyampaikan nasihat atau petuah
menggunakan pajaaq. Setelah mendengarkan pajaaq yang disampaikan tetua adat setempat, sebagian
masyarakatnya pun segera memahami maknanya. Hal ini terjadi karena masyarakat mengetahui
makna-makna pajaaq dari penuturan lisan orang tuanya atau kakek neneknya. Oleh karena itu, bentuk
pajaaq bersifat turun temurun yang dituturkan langsung secara lisan dan hingga kini masih digunakan
oleh suku Dayak Benuaq di desa Intu Lingau
Data Peribahasa (Pajaaq)
a. Peribahasa yang berbentuk Ungkapan
1) Pelanuk serupa buluq
Makna kiasnya adalah menunjukan atau mengejek seseorang karena mengaku sesuatu benda
atau barang adalah milikinya tetapi bukanlahmiliknya namun hanya mirip warna atau bentuknya.
Misalnya seoranganak kecil mengira sebuah bolpoin adalah miliknya namun ternyata milik
temannya, hanya saja berwarna sama yaitu biru.
2) Akant gawangk
3) Akant kelilingk unuk
4) Apeh bangkei, dll
b. Peribahasa berbentuk Pepatah
1) Peturi munin, peasant sakant, pelayuq siwo ureq
Makna kiasanya adalah membiarkan sesuatu yang tidak benar dengan standar norma dan
moral yang berlaku dalam konteks pernikahan. Biasanya bentuk ungkapan ini ditunjukkan
kepada orang tua sebagai sindiran yang membiarkan anak-anaknya tidak melakukan norma dan
moral adat setempat contohnya adalah tidur atau tinggal bersama dalam satu rumah namun belum
terikat dalam pernikahan secara resmi.
2) Bitik mate sua gula, waniq mate sua dawengk
Makna kiasnya adalah memberikan nasihat kepada seseorang agar tidak terlena dalam
keadaan nyaman yang berlebihan karena dari keadaan nyaman yang berlebihan itu bisa saja ada
malapetaka atau hal buruk akan yang terjadi. Layaknya semut yang mendapatkan makanan yang
banyak namun terjebak di dalamnya sehingga akhirnya pun mati di atas tumpukan makanan yang
semut itu dapat.
3) Kedik buah solai danum, nyuru nyolai umeq
Makna kiasnya adalah sifat manusia yang dengan sengaja memperbesar atau membuat rumit
sesuatu hal yang sepele.
4) Boteq pulek incuk, pulek ilos, dll
Makna kiasnya adalah nasihat agar jangan menjadi orang yang mudah marah atau
tersinggung.
c. Peribahasa yang berbentuk Perumpamaan
1) Aseekng kiaq kerwilik
2) Baret touq, oreekng mamih ompaakng dobet
3) Kiaaq bulant beau ngahan genereweh, kiaq tasik tenimaaq beau ngahan kenemeang
4) Koleh kiaq bogaaq, dll
d. Peribahasa berbentuk Pameo, tidak ada.

a. Peribahasa Berfungsi Sebagai Nasihat


1) Bitiq mate sua gula, wanik mate sua dawengk
2) Uwat beraaq, malant menselingkui, tuet bekerinikng toiikng
3) Langit senempitai tana tenuet
4) Adet genisiq aturan tenurut
5) Ajunt koka deooq, ajunt nangih kalong
b. Peribahasa berfungsi sebagai Sindiran
1) Peturui munin, pesaant sakant, pelayuq siwo ureq
2) Kedik buah solai danum, nyuru nyolai
3) Pesaung manuk jani, petulungk kokoq bonger
4) Aji mengaku datu, ape mengaku dara
5) Pokungk ruba kojat, posa ruba kelap, tomongk ruba maa

c. Peribahasa berfungsi sebagai Ejekan


1) Pelanuk serupa buluq
2) Benteleq bungen bulo
3) Ongau kiaq beheq apeh batakng

d. Peribahasa berfungsi sebagai penyampai informasi


1) Apeeh bangkei
2) Aseekng daat poruuq ponu

Pertanyaan Tradisional

Pertanyaan tradisional yang lebih dikenal dengan istilah teka-teki atau dalam bahasa Sunda
tatarucingan sudah ada sejak zaman dahulu, dan pewarisannya ecara leluri sehingga pertanyaan
tradisional tergolong pada folklor. Permainan ini berfungsi untuk menguji kecerdasan dan
pengetahuan lawannya. Hal itu karena untuk menjawab pertanyaan teka-teki, diperlukan proses
berpikir dengan memaknai metafor-metafor yang ada dalam pertanyaan, menggunakan pengetahuan
sesuai apa yang ditanyakannya, dan ada yang sudah tahu dari orang-orang sebelumnya secara turun-
temurun.
Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes teka-teki adalah "Ungkapan lisan tradisional yang
mengandung satu atau lebih unsur pelukisan (descriptive). sepasang daripadanya dapat saling
bertentangan dan jawabnya (referent) harus diterka" (Georges & Dundes, 1963: 113).
Selanjutnya menurut kedua sarjana itu teka-teki dapat digolongkan ke dalam dua kategori umum,
yakni: (1) teka-teki yang tidak bertentangan (nonoppositional riddles), dan (2) teka-teki yang
bertentangan (oppositional rid- dles). Pembagian itu berdasarkan ada atau tidak adanya pertentangan
di antara unsur-unsur pelukisan. Teka-teki yang tidak bertentangan unsur-unsur pelu- kisannya dapat
bersifat harfiah, yakni seperti apa yang tertulis (literal), atau kiasan (metaphorical).
Pertanyaan tradisional dalam bahasa Sunda disebut tatarucingan. Hal tersebut karena orang
Sunda kalau akan melontarkan pertanyaan yang harus dijawab oleh lawannya biasa diawali dengan
kata “cing tarucing...?" Kata cing tarucing hanya sebagai kata pengantar, atau dalam bahasa Sunda
disebut kecap panganter. Sebagai kata tanya, dalam kalimat tanya tersebut terdapat kata “naon” yang
artinya “apa". Contohnya: Cing tarucing buah naon nu panggedena? (mangga apa yang paling
besar?). Jawabannya: Buah geudong (mangga gedong), karena geudong pada suku Sunda artinya
rumah yang mewah dan megah yang terbuat dari tembok.
Ada beberapa teori tentang teka-teki atau pertanyaan tradisional. Pertama, yang dikemukan oleh
Taylor bahwa teka-teki terbagi menjadi dua jenis: pertama teki-teki yang sesungguhnya, dan kedua
teka-teki yang tergolong bentuk lainnya. Perbedaan keduanya terletak pada hubungan antara jawaban
dan pertanyaan, sehingga masih bisa dipecahkan dengan logika. Hal tersebut untuk teka-teki yang
sesungguhnya dan tidak berlaku untuk teka-teki bentuk lain. Kedua, yang dikemukakan oleh George
dan Dundes bahwa teka-teki secara umum terbagi menjadi dua kategori. Pertama, teka- teki yang
bertentangan, dan kedua, teka-teki yang tidak bertentangan. Teka-teki yan tidak bertentangan, unsur-
unsur pelukisannya dapat bersifat harfiah, yakni seperti apa yang tertulis, atau kiasan. Teka-teki
bertentangan bercirikan pertentangan antara pasangan unsur pelukisannya. Menurut George dan
Dundes, ada tiga pertentangan: pertama kontradiksi yang berlawanan, kedua kontradiksi yang
mengurangi, dan ketiga kontradiksi yang menyebabkan.
Salah satu tradisi lisan masyarakat Banjar yang masih berlangsung sampai sekarang adalah
tradisi lisan berbentuk susurungan (teka-teki). Tradisi atau sastra lisan susurungan ini
disampaikan dalam bahasa Banjar Hulu yang dituturkan dari mulut ke mulut. Kata sasurungan
dan susurungan dibentuk dari bentuk dasar surungan yang mengalami pengulangan sebagian. Hanya
saja, pengulangan sebagian yang berkembang pada masyarakat Banjar Kuala mengalami
perubahan bunyi menjadi sa sehingga terbentuklah kata sasurungan, sedang pada masyarakat
Banjar Hulu adalah su sehingga menjadi susurungan. Selain susurungan, masyarakat Banjar sering
pula menyebut teka-teki lisan tradisional ini dengan cacapatian, cucupatian, dan tatangguhan.
Susurungan menjadi pedoman kehidupan masyarakat Banjar Hulu karena mengandung nilai-
nilai luhur. Sastra lisan susurungan ini disampaikan dalam bahasa Banjar Hulu fungsi tradisi
lisan susurungan bagi masyarakat Banjar Hulu hanya ditemukan tiga fungsi, yaitu: (1) untuk
menguji kepandaian seseorang, (2) untuk mengisi waktu pada saat bergadang menjaga jenazah,
dan (3) untuk dapat melebihi orang lain.

Puisi Rakyat

Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya
terjadi dari beberapa deret kalimat. ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang
pendek suku kata, lemah tekanan suara. atau hanya berdasarkan irama.Puisi rakyat dapat berbentuk
macam-macam, antara lain dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa). pertanyaan
tradisional (teka-teki), cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat yang berupa mantra-mantra.Mengapa
mantra termasuk puisi lama? Mengacu pada salah satu pendapat yang disampaikan dalam KBI
(2008), mantra adalah susunan kata yang berunsur puisi karena berirama, berima, dan mengandung
kekuatan gaib. Karena itulah mantra digolongkan pada puisi lama selain karena kehadirannya dan
penciptaannya sudah tidak diketahui lagi. Puisi-puisi yang mementingkan rima dan irama sebagai
daya estetikanya hanya puisi lama. Sementara itu, puisi-puisi modern seperti zaman sekarang tidak
mementingkan rima dan irama, tetapi lebih menitikberatkan pada makna atau isi. Selain berirama
dan berima, mantra kalau kita kaji, sama seperti puisi pada umumnya, yakni menyampaikan pesan-
pesan sebagai isi yang kandungannya dan cara penulisannya pun berdasarkan larik dan bait seperti
halnya puisi tidak bernarasi.
Salah seorang pakar folklor Indonesia, Yus Rusyana menyebut bahwa mantra ialah puisi magis
(dalam Wibisana, 2000: 171). Maksudnya, puisi yang mempunyai kekuatan gaib, sama halnya
dengan yang dikemukakan dalam KBI (2008). Puisi magis ada pada tataran keyakinan dan
kepercayaan orang bahwa dengan cara tersebut, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib dapat
dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang dikehendakinya dengan cara mengucapkan
mantra dan segala sesuatunya.
Persamaan mantra dan doa, seperti dikatakan di atas, yaitu kata mantra berasal dari bahasa India,
kata mejik berasal dari bahasa Inggris (magic), dan kata doa berasal dari bahasa Arab. Baik mantra
maupun doa sama-sama sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan yang gaib.Doa
berasal dari bahasa Arab yang identik dengan agama Islam meskipun tidak semua yang berbahasa
Arab otomatis beragama Islam. Islam sangat memercayai Tuhan yang Mahakuasa itu adalah Allah
Subhanahu Wata'ala, dan Tuhan itu gaib. Untuk berhubungan dengan Allah dalam kerangka
memohon pertolongan. umat Islam menggunakan media komunikasi doa. Kita boleh memanjatkan
segala doa, asal jangan mengenai hal-hal kemusyrikan. Segala sesuatu yang biasa dikerjakan manusia
ada doanya. Umat Islam memercayai setiap pekerjaan yang dimulai dengan doa pasti berkah dan
mendapatkan pahala. Seperti doa bangun tidur, akan tidur, makan, dan lain-lain.
Kekuatan doa atau mantra secara lahiriah dapat memengaruhi jiwa orang yang memercayainya.
Hal tersebut dapat diketahui apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak diawali dengan
membaca doa atau mantra. Akibatnya, mereka tidak merasa tenang jiwanya, tidak yakin akan
keberhasilan perbuatannya, dan mengira akan terkena marabahaya atau terkena kutukan. Dengan
demikian, banyak orang pergi kemana-mana hanya untuk mendapatkan doa atau mantra. Orang-
orang pemegang mantra biasanya para dukun, kepala suku, ketua adat, tokoh kampung, dan para juru
kunci (kuncen).
Besoyong atau melafalkan soyong adalah mengucapkan mantra yang merupakan percakapan
dengan makhluk gaib yang berisi doa kebaikan dan keselamatan. Soyong biasanya dilakukan dalam
upacara penyembuhan,upacara mengolah ponta atau makanan ketan langsung setelah panen. Selain
itu, soyong juga dilakukan dalam perjalananan agar selamat sampai tujuan.
Soyong adalah mantra yang diucapkan masyarakat Paser kepada Tuhan dengan perantara
arwah leluhur yang bertujuan mendapatkan penjagaan dan pertolongan bagi kehidupan mereka. Oleh
sebab itu, tidaklah mengherankan bahwa masyarakat Paser sangat lekat dengan mantra-mantra dalam
setiap gerak kehidupan mereka.Tujuan mengucapkan mantra soyong tergantung dari
penggunaannya. Soyong perjalanan melalui perantara arwah leluhur penunggu wilayah yang
mendiami suatu daerah. Soyong jenis ini merupakan suatu mantra yang dibaca pada saat mereka
akan melakukan perjalanan. Soyong yang dibacakan dalam upacara nampa ponta dibacakan pada
waktu panen padi ketan atau padi ponta. Mantra jenis ini merupakan tanda syukur atas hasil bumi
yang mereka dapatkan dalam pesta panen mereka. Baik soyong perjalanan maupun upacara nampa
ponta kesemuanya merupakan doa, yaitu dia keselamatan agar terhindar dari hal-hal negatif juga doa
harapan agar selalu dilindungi dan mendapat berkah dalam usaha mereka.
Berikut ini adalah matra Soyong Perjalanan dari daerah Muara Komam, Kabupaten Paser.
Masyarakat Paser yang akan melakukan perjalanan terlebih dahulu melakukan soyong atau membaca
mantra dengan harapan mereka akan mendapat keselamatan selama dalam perjalanan.

Mantranya:
Nyolis-nyolang iko potong mea rinanluyan,
iko dayang luing te pandai batu tau,
te pandai tau kesah,
te pandai tau tusen.
Jiang pengugu pengabo,a
aku endo kakan ju,
tindu murek,
sampe utok, tindu mandor,
sampe olong,
koket tampa mura rejeki,
tindu nang kendulu utok
beleleng wae,
seleloi buwen bulan terang nerang
nanyap lekum malam
Artinya:
Nyolis-nyolang kamu memotong rinanluyan merah,
kamu pengikut ratu yang pintar segalanya,
yang pintar bicara,
yang pintar.
dengan penunggu bisa bicara
aku ini mau ada tujuan,
minta ke muara,
sampai kepala, minta dijaga agar,
tidak ada permasalahan,
agar murah rejeki,
minta jangan sakit kepala
pusing muka/wajah,
berjalan baik bulan yang terang benderang
sore tembus malam

Cerita Rakyat
Mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang
empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia
lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Sedangkan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu
dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Sebaliknya, dongeng adalah prosa
rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat
oleh waktu maupun tempat (Bas-com, 1965b: 3-20).
Sebaliknya, dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang
empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Bas-com, 1965b: 3-20).
Di dalam mitologi bangsa-bangsa di dunia, tanah liat adalah bahan yang paling umum digunakan
Sang Pencipta. Yang menganut hal ini antara lain para pemeluk agama Islam, Kristen, Jahudi, dan
Hindu, serta bangsa Yunani. Irlandia, Siberia, Cina, Polinesia, Indonesia, Australia, Eskimo, Indian
Amerika Utara dan Amerika Selatan, termasuk juga orang Aztec.
Teori Grimm mengatakan bahwa dongeng yang telah mereka kumpulkan di Jerman sebenarnya
adalah mite yang sudah rusak (broken-down myths), yang berasal dari rumpun Indo-Eropa kuno.
Kelemahan teori Grimm itu adalah bahwa istilah Indo-Eropa sendiri adalah nama suatu bahasa, yang
mash bersifat patokan duga (hipotesis), sehingga eksistensi kolektif dan kebudayaannya yang
mempergunakan nama itu mash harus dibuktikan (Brun-vand, 1968: 83-84):
Teori lain yang juga tergolong pada monogenesis adalah teori mitologi matahari (solar
mythology) Max Muller. Max Muller adalah seorang ahli filsafat yang menjadi guru besar di
Universitas Oxford di Inggris. Teorinya dibuat berdasarkan bukti dari hasil penelitian ilmu linguistik
perbandingan. Teori mitologi matahari bersifat monogenesis karena para penganutnya menganggap
bahwa semua mite di dunia berasal dari India. Pendapat bahwa semua mite di permukaan bumi ini
berasal dari India segera mengingatkan kita pada teori yang disebut Indianist theory, yang
mengembalikan semua dongeng Eropa ke negara asanya, India. Pemimpin dan penggerak aliran ini
adalah Theodore Benfey.

Mengenai penggolongan legenda sampai kini belum ada kesatuan pendapat


(2) legenda alam gaib (supernatural legends). (3) legenda perseorangan (personal legends). dan
(4)legenda setempat (local legends).
1. Legenda keagamaan: Yang termasuk dalam golongan ini antra lain adalah legenda orang-orang
suci (saints) Nasrani. Legenda demikian itu jika relah diakui dan disahkan oleh Gereja Katolik Roma
akan menjadi bagian kesusastraan agama yang disebut hagiography (legends of the saints), yang
berarti tulisan, karangan, atau buku mengenai penghidupan orang-orang saleh. Walaupun hagiografi
sudah ditulis, namun ia mash tetap merupakan folklor. legenda orang-orang saleh.Di Jawa legenda
orang saleh adalah mengenai para wali agama islam, yakni para penyebar agama (proselytizers)
Islam pada masa awal perkembangan agama Islam di Jawa. Para wali yang paling penting di Jawa
adalah yang disebut wali sanga, atau semblan orang Wali. Mengenai siapa saja yang tergolong
sebagai kesembilan wali itu ada bermacam-macam versi. Salah satu versi adalah yang telah
diterbitkan oleh Salam Solihin, di dalam karangan kecilnya yang berjudul Sekitar Wali Sanga (1963).
2. Lexenda alam gaib: Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-
benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini terang adalah untuk
meneguhkan kebenaran "takhyul" atau kepercayaan rakyat. Berhubung legenda alam gaib ini
merupakan pengalaman pribadi seseorang. maka oleh ahli folklor Swedia terkenal C.W. von Sydow
diberi nama khusus, yaitu memorat (Brunvand. 1968:89).Walaupun merupakan pengalaman pribadi
sescorang. namun isi "pengalaman" itu mengandung banyak motif cerita tradisional yang khas ada
pada kolektifnya. Di Jawa Timur misalnya, orang-orang yang pernah melihat hantu selalu
menggambarkannya dengan bentuk-bentuk yang sudah ada dalam gambaran kepercavaan
kolektifnya.
3. Legenda perscorangan: adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu, yangdianggap oleh yang
empunya cerita benar-benar pernah terjadi.Di Indonesia legenda semacam ini banyak sekali. Di Jawa
Timur yang paling terkenal adalah legenda tokoh Panji. Legenda ini pernah diteliti
R.M.Ng.Poerbatjaraka dan diterbitkan dalam karangannya yang berjudul Tjerita Pandji dalam
Perbandingan (1968). Panji adalah seorang putra raja Kerajaan Kuripan(Singasari) di Jawa Timur,
yang senantiasa kehilangan istrinya. Akibatnya timbullah banyak sekali cerita Panji. yang temanya
selalu perihal ia mencari istrinya yang telah menyaru atau menjelma menjadi wanita lain.
4. Legenda setempat. Yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita yang
berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topograti. yakni bentuk permukaan suatu
daerah, apakah berbukit-bukit. berjurang dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan erat
dengan nama suatu tempat adalah legenda Kuningan. Seperti diketahui. Kuningan adalah nama suatu
kota kecil yang terletak dilereng Gunung Ceremai, di sebelah selatan Kota Cirebon Jawa Barat.
Cerita prosa rakyat juga ada mitos yang dinggap suct dan benar-benar terjadi yang ditokohi dewa
dan setengah dewa dengan peristiva yang terjadi di dunia lain atau bukan di alam nyata. Mitos
biasanya mengisahkan terjadinya alam semesta, manusia pertama, binatang, gejala alam, dan lain-
ajh. Selain itu, mitos, juga mengisahkan petualangan para dewa dan peperangangya.
Jika legenda adalah sejarah kolektif (folk history). maka dongeng adalah cegita-pendek kolektif
kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar
terjadi. Dongeng dicerita-kan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebe-
naran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Seperti halnya mite dan legenda. dongeng
juga mempunyai unsur-unsur cerita vang terdapat di daerah-daerah lain vang ictaknya berjauhan.
schingga dapar diadikan bahan penelitian perbandingan. Pada mulanya telah diusaha-kan oleh ahli-
ahli folklor Eropa untuk menggolengkan dongeng berdasarkan iudul-judul kesaruan cerita yang
terkenal dari dongeng-dongeng, seperti Cin-derella. Pus in Boors (Kucing Bersepatu) Setiweli, Lack
the Grant Killer (ack Pembunuh Raksasa). dan Rumplestilshen.
1) Mitos

Mitos burung enggang dari Kalimantan Timur. Ada dua unsur yang tidak bisa dipisahkan
dari mitos burung enggang yang dimiliki oleh suku Dayak Kenyah. Pertama, unsur alam yang
konkret, yaitu burung enggang. Kedua, unsur alam mitis nonkonkret, yaitu leluhur yang datang dari
dunia dewa-dewa di atas langit. Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimana pun sucinya sosok
leluhur mereka yang berasal dari lagit, ia tetap hadir dalam bentuk (menyerupai) burung
enggang. Salah satu nilai atau pesan yang bisa diambil dari mitos tersebut iyalah perlindungan
terhadap burung enggang. Kedatangan leluhur mereka yang dalam bentuk burung enggang adalah
dasar untuk memunculkan pandangan yang berbeda.
Terhadap burung enggang. karena leluhur meminjam sosok burung enggang itu berarti
burng engganga atau rangkong ini adalah mahluk yang harus dilindungi. Faktor lain adalah, burung
enggang memang dianggap memiliki sifat-sifat yang baik yang cukup kompleks dan itu yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin di kalangan Dayak Kenyah. Narasumber lain menyebutkan bahwa
burung enggang adalah burung yang cantik. Hal ini menyiratkan bahwa sosok manusia (Dayak
Kenya yang baik) pada dasarnya adalah mahluk yang suci (berasal dari langit), sosok yang
penampilannya cantik (seperti burung enggang), ini bisa berarti dalamtindakan, dan yang terakhir
adalah bisa menjadi pemimpin, minimal untuk dirinya sendiri, dan harus memiliki sifat-sifat seperti
burung enggang. Penafsiran penulis ini didasarkan pada hasil temuan bahwa orang Dayak
Kenyah percaya bahwa manusia berasal dari langit, bentuknya seperti burungenggang, dan
burung enggang adalah mahluk denga segala macam sifat baiknya.

2) Dongeng

Dongeng Aji dan Kilip Bersaudara adalah cerita rakyat yang lahir dan berkembang di
masyarakat Dayak Tunjung Kalimantan Timur. Diceritakan bahwa kaum lelaki Dayak Tunjung yang
berburu di dalam hutan dan di usik mahkluk
gaib yang bernama Wok Lemo Bawo. Makhluk gaib tersebut tewas lalu tumbuhlah padi dan
palawija.

3) Legenda

Legenda Pesut Mahakam bercerita tentang kehidupan keluarga dengan dua anak (laki-laki dan
perempuan) yang tinggal di suatu desa di Mahakam. Keluarga itu hidup rukun dan bahagia hingga
Sang Ibu sakit parah dan pada akhirnya meninggal. Sang Ayah menjadi pendiam dan kedua anaknya
kebingungan seperti kehilangan pegangan. Suatu hari saat diadakan pesta adat panen, Sang Ayah
terpikat dengan seorang gadis yang sedang melakukan pertunjukan ketangkasan. Selanjutnya dengan
persetujuan tetua desa, Sang Ayah pun menikahi gadis itu dan kembali membangun rumah tangga
untuk membesarkan kedua anaknya.
Seiring berjalannya waktu, ternyata ibu tiri tersebut menampilkan watak aslinya yang jahat
terutama kepada kedua anaknya. Kedua anak hanya diberi makanan sisa hingga akhirnya Ibu Tiri
berkuasa sepenuhnya dalam keluarga itu. Suatu ketika Ibu Tiri punya recana jahat meminta kedua
anak mencari kayu di hutan. Saat perjalanan mencari kayu, kedua kakak beradik itu sempat ditolong
oleh seorang kakek yang memberi petunjuk menemukan kebun buah sebagai sumber makanan saat
lapar. Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak
berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak
bergantungan di pohonnya.
Saat kedua kakak beradik itu kembali ke rumah ternyata ayah dan ibunya telah pergi
meninggalkan dan mentelantarkan mereka. Betapa sedih hati mereka, namun tetap bertekad untuk
mencari dan menemukan kedua orang tuanya. Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu
bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari,
berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka. Singkat cerita, kedua anak itu berhasil
menemukan rumah baru orang tuanya dengan bantuan seorang kakek yang meminjamkan sebuah
perahu.
Sesampainya di pondokan, orang tuanya sedang tidak di rumah, namun di dapur masih ada periuk
yang diletakkan di atas api yang masih menyala. Di dalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi
bubur. Karena lapar, Si Kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-
puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan
kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian,
ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya. Karena bubur yang dimakan
tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Saat kepanasan
keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di
kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut
menjadi layu. Orang tua kedua anak itu heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok
mereka menjadi layu dan hangus. Mereka bergegas turun ke sungai mencari tahu apa yang terjadi.
Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah dua makhluk yang bergerak kesana kemari di dalam air
sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada kedua anaknya. Ia
terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara
gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak
perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.
Nasi sudah menjadi bubur, kedua kakak beradik itu berubah menjadi dua ekor ikan yang
kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari di tengah sungai sambil
sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada
di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat
menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya. Oleh masyarakat Kutai, ikan yang
menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan pasut atau pesut. Sementara masyarakat di
pedalaman Mahakam menamakannya ikan bawoi. Itulah cerita mengenai asal-usul pesut Mahakam.
Sebuah cerita rakyat Kalimat Timur yang melegenda.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya kami dapat menarik kesimpulan bahwa penting
bagi kita untuk mengembangkan dan memanfaatkan hasil budaya, warisan atau tradisi yang telah
diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita. Setiap daerah tentunya memiliki
kebudayaan masing-masing yang tentunya berbeda dengan daerah lainnya. Kalimantan Timur
sendiri memiliki begitu banyak seni dan budaya, mulai dari bahasa, cerita rakyat, makanan, tarian,
dan pakaian.

3.2 Saran
Dengan adanya paper ini kami berharap dapat memberikan pengetahuan dan wawasan
yang luas kepada pembaca. Kami juga berharap agar kebudayaan yang berkembang di Kalimantan
Timur tetap terjaga dan selalu diikutsertakan dengan pengetahuan, agar generasi- generasi
selanjutnya mengetahui beragam kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Kalimantan Timur.
Kami menyadari paper ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun lebih baik lagi di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA

Ardee. (2022). Ulap Doyo, Kearifan Lokal dalam Tenun Warisan Dayak Benuaq. Indonesia
Kaya. https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/ulap-doyo-nilai-kearifan-lokal-
dalam-tenun-warisan-dayak-benuaq/
Danandjaja, J. (2002). FOLKLOR INDONESIA: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.
PustakaUtama Grafiti.
Dapobas. (2019). Tradisis Lisan Kana. Badan Pengembangan Dan Pembinan Bahasa.
https://dapobas.kemdikbud.go.id/home?show=isidata&id=944
Fitriani, N., Arifin, S., & Sulistyowati, E. D. (2022). Analisis Peribahasa (Pajaaq) Suku Dayak
Benuaq Di Desa Intu Lingau Kecamatan Nyuatan Kabupaten Kutai Barat. Adjektiva:
Educational Languages and Literature Studies, 5(2), 57–72.
https://doi.org/10.30872/adjektiva.v5i2.1617
Hanum, I., & Dahlan, D. (2018). Makna Mitos Cerita Burung Enggang di Kalimantan Timur.
4(1), 31–48.
Hestiyana. (2015). Fungsi Tradisi Lisan Susurungan Bagi Masyarakat Banjar Hulu
(THEFUNCTION OF ORAL TRADITION SUSURUNGAN). 1, 88–99.
Jauhari, H. (2018). FOLKLOR Bahan Kajian Ilmu Budaya, Sastra dan Sejarah.
YRAMAWIDYA.
Mustikawati, A. (2019). MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL MANTRA SOYONG
MASYRAKAT PASER REVEALING LOCAL WI...... (A. Santoso (ed.)). Kantor
Bahasa
Kalimantan Timur.
Purbasari, M., & Rahardja, A. (2018). Warna Tenun Doyo Sebagai Expresi Masyarakatnya
(Tanjung Isuy - Kutai Barat). Jurnal Dimensi Seni Rupa Dan Desain, 14(2), 1–18.
https://doi.org/10.25105/dim.v14i2.2864
Sosial, S. dan. (2023). 6 Kearifan Lokal Kalimantan Timur yang Unik. Kumparan.
https://m.kumparan.com/amp/sejarah-dan-sosial/6-kearifan-lokal-kalimantan-timur-
yang- unik-21HDlhAAzlE
Suwardi, & Achmat, H. (1993). Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional
DaerahKalimantan Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai