Anda di halaman 1dari 5

-Konferensi

Nasional Bahasa dan Sastra III-

PENGARUH BAHASA MADURA DAN BAHASA JAWA TERHADAP BAHASA


MASYARAKAT KABUPATEN JEMBER
Adenasry Avereus Rahman
Mahasiswa S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Adenarsy.Avereus@gmail.com

Abstract
This study aims to describe (1) the forms of language on shirts jember, and (2) the objectives and topics
in language jemberan. The method used in this research is descriptive qualitative. The data used is a
document in the form of a picture typical muddy shirt. Pengumpulandata done by using documentation.
Validity test is done by triangulation of data and techniques anasisis data using data reduction, data
presentation, and conclusion / veri ication. Results of the study (1) forms of speech in the muddy shirts
perlokusi and illocutionary and the code-mixing, code switching, (2) the aim to suggest something,
explaining something, and social topics. Generate dialects new is Pendalungan that language results
alkuturasi between the Java language and the language of Madura, in its use dialect jemberan
(pendhalungan) or Pendalungan is not only used in everyday communication, language jemberan has
been diverted by including the sofenir typical jember (shirt), so that the language used has the purpose
to suggest something, explaining something, and social topics.
Keywords: speech acts, language, pendhalungan

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) bentuk-bentuk tuturan bahasa pada kaus Jember,
dan (2) tujuan dan topik yang dalam bahasa Jemberan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah dokumen berupa gambar kaus khas
Jember. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Uji validitas dilakukan dengan
triangulasi data dan teknik anasisis data menggunakan reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/veri ikasi. Hasil penelitian (1) bentuk-bentuk tuturan pada kaus Jember: perlokusi,
ilokusi, serta adanya campur kode dan alih kode, (2) tujuannya menyarankan sesuatu, menjelaskan
sesuatu, dan topik sosial. Menghasilkan dialek baru, pendalungan, yaitu bahasa hasil akulturasi
antara bahasa Jawa dan bahasa Madura. Dalam penggunaanya dialek Jemberan (pendhalungan) ini
tidak hanya dipakai dalam komunikasi sehari-hari, bahasa jemberan ini sudah dialihkan dengan
mencantumkannya pada souvenir khas Jember (kaus), sehingga bahasa yang digunakan mempunyai
tujuan menyarankan sesuatu, menjelaskan sesuatu, dan topik sosial.
Kata kunci: tindak tutur, bahasa, pendhalungan

Pendahuluan
Jember adalah sebuah kabupaten yang ada di bagian selatan wilayah tapal kuda di Jawa
Timur bagian timur. Ada dua bahasa daerah yang hidup di sana, yaitu bahasa Jawa dan Madura.
Keduanya sama-sama banyak digunakan oleh masyarakat Jember. Secara kelompok besar,
penutur bahasa Madura banyak di daerah Jember Timur dan Utara. Hal ini dipengaruhi oleh
warga Kabupaten Bondowoso yang berbahasa Madura. Sementara itu, sebagian besar penutur
bahasa Jawa berada di kawasan Jember Selatan dan Jember Barat. Untuk Jember bagian tengah
kuantitas penutur bahasa Jawa dan bahasa Madura bisa dikatakan hampir sama. Dengan adanya
pemakaian dua bahasa ini, maka timbullah bahasa pendalungan.
Pendalungan di dalam praktiknya oleh masyarakat awam, seringkali dikatakan bahwa
ketika orang Jawa bercampur dan berinteraksi dengan orang Madura maka lahirlah Pendalungan.
Beberapa pakar sepertinya banyak yang menggunakan pemaknaan seperti itu. Ada de inisi
sederhana tentang Pendalungan, yakni: (1) sebuah percampuran antara budaya Jawa dan Madura
dan (b) masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jember dan beradaptasi dengan budaya Jawa.
Secara etimologis, konsep pandalungan berasal dari kata dalung yang berarti “dulang besar

555
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

terbuat dari logam” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1985). Arti simbolik pandalungan adalah
gambaran wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya
berbeda, yang kemudian melahirkan proses hibridisasi budaya. Istilah pandalungan berarti
‘berbicara/berkata dengan tiada tentu adabnya/sopan-santunnya’ (Prawiroatmodjo, 1981:53-
81). Dalam realitas kehidupan masyarakat dan kebudayaan di kawasan tapal kuda, de inisi itu
bisa berarti bahwa bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan adalah
bahasa yang cenderung kasar (ngoko) atau bahasa yang dipergunakan antarmasyarakat
struktur egaliter. Seringkali dalam mengungkapkan sesuatu mereka menggunakan bahasa
campuran, antara Jawa dan Madura. Sebuah budaya campuran tentu memerlukan suatu proses
yang cukup panjang, dan bahkan mungkin sampai saat ini masih terus berproses. Artinya, jika
konsep pandalungan diartikan sebagai sebuah identitas budaya, maka identitas tersebut masih
terus mencari bentuk.
Wilayah kebudayaan pandalungan (pandhalungan) merujuk kepada suatu kawasan
di wilayah pantai utara dan bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya
berlatar belakang budaya Madura. Pada umumnya orang-orang pandalungan bertempat tinggal
di daerah perkotaan yang secara historis sebagai melting pot (metafor untuk masyarakat
heterogen yang semakin homogen. Elemen yang berbeda “melebur menjadi satu” sebagai suatu
kesamaan budaya yang harmonis), pusat pertemuan berbagai budaya. Dalam pertumbuhan
sebuah kota, bagaikan sebuah “dulang besar” tempat bertemunya berbagai manusia dengan latar
belakang budaya yang berbeda, maka secara tidak langsung menjadi pusat interaksi berbagai
suku bangsa, yang memungkinkan terjadinya proses asimilasi melalui perkawinan campuran
antarmereka (intermarriage). Dalam konteks inilah konsep dalung (=dulang besar) menjadi
identik dengan konsep melting pot, sebagai pusat bertemunya berbagai etnis melalui proses
asimilasi (intermarriage), meskipun dalam proses selanjutnya tidak selalu demikian. Melalui
proses melting pot ini pula, dalam suatu wilayah kemungkinan besar terjadi bentuk-bentuk
multikuturalitas. Proses amalgamasi yang merupakan percampuran budaya sebagai salah satu
bentuk asimilasi mungkin juga bisa terjadi, meskipun amalgamasi tidak selalu tergantung pada
asimilasi, sebagaimana identitas tidak selalu terkait dengan lokalitas atau kelompok tertentu.
Demikian pula pandalungan sebagai sebuah identitas budaya, dalam perkembangannya juga
tidak selalu terkait dengan lokalitas tertentu.
Oleh karena itu, di Jember terjadi akulturasi budaya sehingga menimbulkan variasi bahasa.
Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturya
yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat
beragam. Dalam interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat pendalungan ini terkadang
terjadi fenomena bahasa seperti campur kode. Kridalaksana (2001:35) menerjemahkan campur
kode sebagai: (1) interferensi, (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa
yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Chaer dan Agustina (2010:114)
menyatakan bahwa campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan
dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam
peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces), tanpa fungsi atau keotonomian
sebagai sebuah kode. Penyebab terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
sikap (attitudinal type) yakni latar belakang sikap penutur, dan kebahasaan (linguistik type),
yakni latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identi ikasi peranan, identi ikasi
ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode
terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan
fungsi bahasa (Kitu, 2014:29). Salah satu peristiwa berbahasa yang menarik untuk dikaji secara
pragmatik khususnya dari segi tindak tutur adalah tuturan-tuturan yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari masyarakat jember. Maka dari itu makalah ini berjudul “Pengaruh
Bahasa Madura dan Bahasa Jawa terhadap Bahasa Masyarakat Kabupaten Jember”.

556
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

Kajian Teori
Bahasa madura adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana komunikasi sehari-
hari oleh masyarakat etnik Madura, baik yang bertempat tinggal di Pulau Madura, pulau-pulau
kecil sekitarnya, maupun di perantauan. Bahasa Madura menempati posisi keempat dari 13
bahasa daerah terbesar di Indonesia (Lauder, 2004). Berdasarkan sudut pandang linguistik,
bahasa Madura dikelompokkan ke dalam empat dialek utama, yakni (1) dialek Sumenep,
(2) dialek Bangkalan, (3) dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean, serta tambahan dialek
Pinggirpapas dan dialek Bawean.
Pramu (2013) menyatakan bahwa bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di
nusantara yang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagai suatu penghubung
dalam suatu komunikasi satu sama lain dalam pergaulan sehari-hari. Kedudukan bahasa Jawa
sebagai bahasa daerah dijamin keberadaannya dan kelestariannya seperti dijelaskan di dalam
Pasal 36 Bab XV UUD 1945. Bahasa daerah itu sendiri memiliki tugas sebagai (1) lambang
kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) sarana perhubungan di dalam keluarga
dan masyarakat daerah, dan (4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.
Sebagai bahasa ibu masyarakat suku Jawa, bahasa Jawa digunakan untuk berkomunikasi dengan
orang lain.
Saddhono (2014:74) menuturkan bahwa campur kode merupakan salah satu aspek dari
saling ketergantungan bahasa di dalam masyarakat multilingual. Yang dimaksud adalah bahwa
di dalam masyarakat mulitilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu
bahasa secara mutlak tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa lain.
Alwasilah (dalam Saddhono, 2014:77) menjelaskan, alih kode merupakan perpindahan
satu dialek ke dialek lainnya dalam satu bahasa disebut dialect switching atau code switching.
Saddhono (2014:76) menambahkan bahwa salah satu ciri alih kode adalah adanya aspek
ketergantungan bahasa di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di dalam masyarakat
mulitilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak
tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa lain.
Tuturan pada dasarnya dapat dibedakan atas dua jenis. Yang pertama adalah tuturan
yang bersifat performatif dan tuturan yang bersifat konstantif. Selanjutnya, dinyatakan bahwa
semua tuturan pada dasarnya bersifat performatif, yang berarti bahwa dua hal terjadi secara
bersamaan ketika orang mengucapkannya. Yang pertama adalah tindak (action), dan kedua
berupa ucapan yang dapat digolongkan kepada tiga kategori, yaitu ilokusi, lokusi, dan perlokusi
(lihat Austin dalam Saeed 2000). Ilokusi merupakan tuturan dengan sekaligus melakukan
sesuatu. Lokusi dimaksudkan sebagai pengucapan kalimat yang memiliki makna dan rujukan
tertentu; sedangkan perlokusi merujuk pada tuturan yang digunakan untuk memperoleh efek-
efek tertentu, seperti membuat orang merasa terhibur, lebih yakin, ataupun marah. Selanjutnya,
konsep performatif dapat meliputi bentuk tuturan yang eksplisit dan implisit. Jenis perfomatif
yang implisit ternyata jumlahnya lebih banyak daripada yang eksplisit.
Simpulannya adalah bahwa dengan adanya penggunaan dua bahasa di Kota Jember yaitu
bahasa Jawa dan Madura ini berpengaruh pada penggunaan bahasa keseharian masyarakatnya
sehingga terjadi alih kode dan campur kode. Alih kode merupakan pengalihan bahasa yang
dillakukan secara sengaja karena penutur dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan
tutur karena maksud tertentu, sedangkan campur kode dilakukan dengan tidak sengaja. Alih
kode dan campur kode itu terdapat pada tindak tutur masyarakat Jember.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada souvenir khas Jember. Subjek penelitian kaus khas Jember.
Metode penelitian yang digunakan kualittaif menggunakan pendekatan kualitaif deskriptif.

557
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

Sumber data yang dikumpulkan meliputi kaus Jember dengan tulisan bahasa Jember.
Pengumpulan data dilakukan dengan analisis dokumen. Uji validitas data menggunakan
triangulasi data dan metode. Teknik analisis menggunakan reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan/veri ikasi

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Data (1) diambil dari kaus dengan gambar seorang laki-laki (kachong) dengan dilengkapi
tulisan panggil aku Mad. Mad pada masyarakat Jember biasa digunakan sebagai sapaan akrab
kepada teman dan sahabat. Maka topik dalam tulisan yang terdapat pada kaus tersebut
mengangkat tentang pertemanan atau sosial dan memiliki tujuan untuk menyarankan suatu
hal.
Data (2) diambilkan dari sebuah kaus dengan tulisan sesuai dengan tulisan pada ikon
tersebut. Alon Cak adalah kata ambigu yang memiliki dua arti yaitu aloncak yang memiliki
makna melompat, dan alon cak dengan makna pelan-pelan Kak. Penggunaannya tentulah sangat
berbeda tergantung konteks dan waktu. Data (2) memiliki topik sosial karena tulisan pada
ikon tersebut merupakan hal yang berkenaan dengan kehidupan sosial masyarakat. Data ini
bertujuan untuk menjelaskan suatu hal.
Data (3) diambil dari sebuah kaus dengan tulisan Sih koh...!!!, Boh, Palang, mbois, nggilani,
polae, longor, cek enggek’e, creme, mak taker, gile, metao, sengak, marra, digegeri, beno ra,
huhkah, salbut, megeli, mbulet. Tulisan pada kaus tersebut bukanlah kalimat yang berfungsi
untuk bertanya, menyatakan, atau lain sebagainya, melainkan kumpulan kata jemberan, kata
Sih koh...!!! bermakna menggoda sama halnya dengan kata cie. boh merupakan partikel dalam
bahasa madura yang menunjukkan ekspresi kaget sedangkan kata palang bermakna bahaya
jadi bila satukan kata boh dan palang maka bermakna bahaya serta mengekspresikan sesuatu
yang tidak biasa. Kata mbois bermakna keren, gaul, kekinian, terbaru. Kata nggilani bermakna
menjijikkan. Kata polae memiliki makna ambigu, yaitu tingkah laku. Pemakaian dua kata yang
berbeda ini disesuaikan dengan konteks tuturan. Kata longor bermakna konyol. Kata cek
enggak sama dengan kata gak banget. Namun dalam ikon tersebut ditambah dengan kata raa
kah yang bermakna menyepelekan, menganggap remeh, atau menganggap tidak penting suatu
hal, biasanya digunakan pada saat marah atau sedang kecewa. Jadi, kalimat di dalam data (4)
bermakna pertemanan yang mengecewakan. Maka topik dalam tulisan yang terdapat pada kaus
tersebut mengangkat topik tentang pertemanan atau sosial dan bertujuan untuk menegaskan.

Simpulan dan Saran


Simpulan yang dapat dipetik dari pembahasan ini adalah penggunaan dua bahasa yang
dipakai oleh masyarakat Jember menghasilkan dialek baru yaitu pendalungan, yaitu bahasa
hasil alkuturasi antara bahasa Jawa dan Madura. Dalam penggunaannya, dialek Jemberan atau
pendalungan ini tidak hanya dipakai dalam komunikasi sehari-hari, bahasa Jemberan ini sudah
dialihkan dengan mencantumkannya pada souvenir khas Jember (kaus). Bahasa Jember dalam
pemakaiannya menggunakan dua bahasa sekaligus contoh ku-mlaku kata tersebut berarti
jalan-jalan, menjadi kata ku-mlaku ini mengadaptasi bahasa madura dalam menyebutkan jalan-
jalan len-jhelenan . Penyebutan setengah kata dari kata awalnya ini terpengaruh oleh pemakaian
bahasa Jawa dan Madura. Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk
melakukan penelitian serupa serta lebih mendalam dan luas cakupannya.

558
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

Daftar Pustaka

Akhmad Sofyan. 2010. Fonologi Bahasa Madura. Humaniora. Vol 22(01).


Hot, Hasibuan Namsyah. 2005. Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data
Bahasa Mandailing). Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Vol I (2).
Lauder, Multamia RMT. 2004. “Pelacakan Bahasa Minoritas dan Dinamika Multikultura” Makalah
Disampaikan dalam Simposium Kajian Bahasa Sastra, dan Budaya Autronesia III 19-20
Agustus 2004. Denpasar: Universitas Udayana.
Saddhono, Kundharu. 2014. Pengantar Sosiolinguistik Teori dan Konsep Dasar. Surakarta: LPP
UNS.
Tri, Kurniawan Pramu. 2013. “Analisis Fonologi dan Leksikologi Bahasa Jawa di Desa Pakem
Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo”. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa Dan
Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo. Vol 2(4).

559

Anda mungkin juga menyukai