Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENGANTAR STUDI HUKUM ISLAM

Tentang

“Produk Fiqih : Fatwa, Qadha, dan Taqnin

Disusun Oleh Kelompok 11 :

Yuliana (2014090036)

Selpia Anggraini (2014090040)

Dosen Pengampu :

Rudi Hartono. I,S. HI,MA

JURUSAN TADRIS IPS B

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1442H/2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatu, alhamdulillahirabil’alamin puji syukur


pemakalah ucapkan kepada Allah S.W.T. atas rahmat dan karunia-Nya sehingga makalh yang
membahas “Produk Fiqih : Fatwa, Qadha, dan Taqnin dapat diselesaikan pada tepat
waktunya. Serta shalawat beriringkan salam senantiasa selalu terlimpah kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah mengajarkan dan mengarahkan kita kepada hal hal baik dan.

Pemakalah juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Rudi Hartono. I,S. HI,MA
sebagai dosen mata kuliah Pengantar Studi Hukum Islam yang telah membimbing kami
dalam perkuliahan ini dan memberikan bekal ilmu yang sangat berguna bagi kami
dikemudian hari nantinya.

Pemakalah menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat
kekurangannya. Oleh karena itu, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca untuk penulisan makalah yang lebih baik di masa yang
akan datang. Pemakalah juga berharap semoga apapun yang kami sampaikan di dalam
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, Aamiin yaa Robbal Alamiin.

Terimakasih,

Padang , 1 Maret 2021

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTA
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan dan Batasan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
1. Produk Pemikiran Fikih
A. Pengertian produk fiqih
a. Pengertian Fatwa
b. Pengertian Qadha
c. Pengertian Taqnin Al-Ahkam
B. Fatwa Ulama sebagai Produk Pemikiran Hukum Islam dan Produk Fiqih

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, yang
kemudian berkembang menjadi sebuah produk pemikiran hukum. Produk pemikiran hukum
tersebut menghasilkan materi-materi hukum berdasarkan kebutuhan masyarakat. Kemudian
dibentuk dan diformasi dalam sebuah konsep untuk dilaksanakan dan ditaati sebagai hasil
dari produk pemikiran hukum. Dalam teori hukum Islam biasa disebut Islamic legal theory,
mengenal berbagai sumber tetapi sumber utamanya adalah al-Qur’an dan hadis sebagai
sumber primer. Sedangkan sumber yang lain merupakan sumber sekunder yang berasal dari
ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus biasa disebut ijma’. Konsensus ini
merupakan suatu pencapaian kesepakatan yang telah dianggap mewakili kepastian hukum
dan atau untuk mewakili mayoritas komunitas masyarakat Islam. Dalam sejarah sosial hukum
Islam, tercatat dan tertulis pertama kali diterapkan pada abad pertama Hijriah di Madinah
oleh Nabi Muhammad saw. dengan dasar konstitusi Piagam Madinah. Mukaddimah piagam
tersebut tertulis, bahwa Piagam Madinah berlaku di kalangan orang-orang yang beriman dan
memeluk agama Islam yang berasal dari suku Quraisy dan Yasrib. Selain orang Islam juga
berlaku bagi orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri, dan berjuang bersama
mereka. Inti dari piagam tersebut adalah perjanjian/kesepakatan antara kaum muslim dengan
kaum nasrani dan yahudi (masyarakat non- muslim) yang dijadikan sebagai aturan
perundang-undangan. Nabi Muhammad saw. memberi jaminan hidup terhadap mereka (non-
muslim), hak milik, dan agama, serta mempunyai kebebasan penuh untuk mengamalkan
ajaran agama masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa Hukum Islam diterapkan bukan
untuk memaksa dan menindas kaum yang lain, melainkan untuk dijadikan sebagai aturan
yang melindungi seluruh bangsanya dalam kehidupan bermasyarakat.

Aturan-aturan yang merupakan hasil dari produk pemikiran hukum Islam, apabila
ditinjau dari sejarah sosial hukum Islam, maka tumbuh dan berkembang sejak zaman Nabi
Muhammad saw. sampai sekarang, hingga kini berlaku di Indonesia. Akan tetapi sejarah
sosial hukum Islam ini muncul di dunia Barat pada akhir abad ke-20, ketika hukum Islam
(fikih) itu dibukukan dalam berbagai literatur dan menampilkan potretnya yang utuh. Adanya
pembukuan hukum Islam tersebut, umat Islam dapat mengetahui sejarah pertumbuhan dan

1
perkembangan hukum Islam mulai dari zaman Nabi Muhammad saw. sampai zaman modern
ini termasuk zaman reformasi di Indonesia. Hukum Islam tumbuh dan berkembang di
Indonesia yang diformulasi dalam empat produk pemikiran hukum, yakni fikih, fatwa ulama,
keputusan pengadilan (yurisprudensi), dan undang-undang. Keempat produk pemikiran
hukum tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi umat Islam dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat di Indonesia. Tetapi di makalah ini kita hanya akan fokus
membahas produk fiqih, yakni: fatwa, qadha, dan taqnin.

B. Rumusan dan Batasan Maslah

1. Bagaimana Penjelasan Produk Pemikiran Fiqih?


2. Apa Pengertian Produk Fiqih (Fatwa, Qadha, dan Taqnin)?
3. Bagaimana Fatwa Sebagai Produk Fiqih?
4. Bagaimana Qadha Sebagai Produk Fiqih?
5. Bagaimana Taqnin Sebagai Produk Fiqih?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Penjelasan Produk Pemikiran Islam


2. Untuk Mengetahui Pengertian dari Produk Fiqih (Fatwa, Qadha, dan Taqnin)
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Fatwa Sebagai Produk Fiqih
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Qadha Sebagai Produk Fiqih
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Taqnin Sebagai Produk Fiqih

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Produk Pemikiran Fikih

Sejarah sosial hukum Islam merupakan suatu ilmu yang mempelajari sejarah kehidupan
suatu masyarakat yang ada hubungannya dengan proses lahirnya dan berkembangnya hukum
Islam. Adanya sejarah sosial hukum Islam sebagai sebuah ilmu, maka dapat memberi suatu
arah dan tujuan sehingga dapat melahirkan produk-produk pemikiran hukum Islam di
Indonesia, seperti fikih. Fikih sangat erat hubungannya dengan hukum Islam, sehingga
terkadang fikih disamakan dengan hukum Islam. Kata fikih/fiqh (‫( فقه‬dalam Kamus Al-
Munawwir, fiqh (‫( فقه‬berarti mengerti, memahami, dan secara sederhana menurut bahasa,
fikih bermakna tahu dan paham. Menurut istilah fikih diartikan sama dengan agama yang
disyari’atkan Allah untuk para hamba yang melengkapi hukum-hukum agama yang berpautan
dengan perkataan, perbuatan, perikatan, dan lain-lain. Sedangkan menurut jumhur fuqaha,
fikih diartikan sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari
dalil-dalil yang tafshili yakni dalil-dalil tentang hukum-hukum yang khusus yang diambil dari
padanya dengan jalan ijtihad.6 Pada sumber lain, fikih menurut pengertian istilah kebanyakan
fuqaha ialah “segala hukum syara’ yang diambil dari Kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah
saw. dengan jalan mendalamkan faham dan penilikan, yakni dengan jalan ijtihad dan istinbat.
Fikih merupakan ilmu dasar untuk memahami ajaran Islam termasuk hukum Islam yang
dipahami dan diberlakukan di Indonesia. Dengan mengetahui fikih berarti mengurangi
perdebatan tentang masalah khilafiah, artinya toleransi dalam khilafiah dijunjung tinggi.

Menurut H. Amir Syarifuddin, kata fikih (‫( فقه‬berarti paham yang mendalam. Bila paham
dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fikih berarti paham yang
menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Fikih tentang sesuatu berarti mengetahui
batinnya sampai kedalamannya sesuatu itu. Orang yang mengetahui fikih berarti
melaksanakan hukum Islam dengan keyakinan yang mendalam. Sehingga dalam berbuat dan
bermuamalah termasuk dalam beribadah tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh di
sekitarnya. Pengetahuan yang dihasilkan dari fikih dapat menuntun manusia untuk berbuat
dalam tataran hukum Islam yang diberlakukan. Maksud dari istilah hukum Islam adalah
hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumber dan ajaran Islam, yaitu hukum
amali berupa interaksi sesama manusia, selain jinayat (pidana Islam). Namun demikian, tidak

1
menutup kemungkinan untuk digunakan dalam pidana Islam, yang juga akan diterapkan
dalam kehidupan masyarakat Islam, baik secara daerah atau lokal maupun secara nasional,
seperti kekerasan dalam rumah tangga (KdRT), dan sekarang dalam tahap rancangan untuk
dialihkan menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Segala ketentuan yang berhubungan dengan ibadah murni (mahdah) tidak termasuk
dalam pengertian hukum Islam pada pembahasan ini. Yang termasuk adalah hukum perdata
Islam tertentu yang menjadi hukum positif bagi umat Islam, sekaligus merupakan hukum
terapan bagi Peradilan Agama. Pada Kamus Hukum dijelaskan, bahwa hukum Islam
(Indonesia) atau hukum syara’ ialah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang
berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-Qur’an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa hukum Islam ialah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Artinya, hukum Islam merupakan produk fikih
Indonesia.

Pengertian hukum Islam atau hukum syara’ menurut istilah ulama usul, adalah doktrin
(khitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah
atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
hukum Islam adalah bagian dari ilmu fikih. Karena ilmu fikih merupakan suatu kumpulan
ilmu yang sangat luas pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum
Islam dalam mengatur kehidupan untuk keperluan seseorang, golongan, dan masyarakat
secara umum. Kemudian dalam Ensiklopedi Hukum Islam, ulama ushul fikih
mendefenisikannya dengan tuntutan Allah Swt. yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat,
penghalang, sah, batal, rukhsah (keringanan) atau ‘azîmah (perbuatan). Hukum Islam
dimaksudkan sebagai peraturan yang berpautan dengan kehidupan orang dewasa dalam
melaksanakan perintah dan atau meninggalkan larangan berdasarkan petunjuk al-Qur’an atau
hadis. Hukum Islam di Indonesia merupakan hasil dari ijtihad ulama yang melahirkan kitab
fikih yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, sehingga dipedomani oleh para peneliti dan
penulis tentang hukum Islam di Indonesia. Hasil dari produk-produk pemikiran hukum Islam
tersebut, diformulasikan dalam satu kitab atau buku yang menjadi rujukan dalam mengambil
keputusan atau kebijakan dalam lembaga-lembaga peradilan dan instansi lainnya.

Produk pemikiran fikih adalah hasil dari produk hukum yang pertama dari formulasi
hukum Islam melalui kitab fikih. Kitab fikih pada awalnya hasil atau kumpulan dari ceramah

2
yang kemudian dihimpun dalam satu buku atau beberapa buku. Isi dari kumpulan ceramah
tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia yang secara khusus bagi kehidupan umat
Islam. Kitab fikih yang dimaksudkan adalah:

Buku yang membahas berbagai persoalan hukum Islam seperti ibadah, muamalah, pidana,
peradilan, jihad, perang, dan damai berdasarkan hasil ijtihad ulama fikih dalam memahami
al-Qur’an dan hadis yang dikaitkan dengan realitas yang ada dengan menggunakan berbagai
metode ijtihad.

Penyusunan kitab fikih mulanya mengalami permasalahan karena persoalan dalam


masyarakat belum banyak dipertanyakan sehingga tidak sistematis. Pembukuan kitab fikih
dimulai sekitar awal abad ke-2 Hijriah yang disebut zaman klasik. Penulisan kitab fikih terus
berkembang, mulai dari zaman klasik sampai sekarang zaman modern. Kalau dilihat dari
produk pemikiran fikih, maka isi kitab fikih paling tidak ada tiga macam yaitu: kitab fikih
lengkap, kitab fikih tematis, dan kitab fikih berbentuk fatwa. Kitab fikih lengkap yaitu
membahas seluruh persoalan fikih, mencakup masalah ibadah, muamalah, perkawinan,
kewarisan, perwakafan, pidana, peradilan dengan perangkat-perangkatnya, politik, jihad,
perang, dan damai. Kitab fikih lengkap biasanya diproduk dan disusun dari mazhab tertentu,
dan adakalanya disusun dari berbagai mazhab dengan membandingkan pendapat-pendapat
mazhab lain, misalnya “Fikih Islam Lengkap” yang ditulis oleh H. Moh. Rifa’i. Kitab fikih
tematis yaitu kitab yang hanya membahas topik tertentu, seperti masalah pemerintahan,
masalah peradilan, masalah perdata, dan masalah pidana. Misalnya buku “Peradilan Agama
di Indonesia” yang ditulis oleh Cik Hasan Bisri. Di zaman klasik, kitab fikih tematis belum
banyak diterbitkan. Tetapi di zaman modern ini telah banyak diterbitkan karena ilmuwan
telah banyak dan semakin meluas pembidangan ilmu.

Kitab fikih berbentuk kumpulan fatwa yaitu kitab yang disusun berdasarkan hasil fatwa
ulama atau sekelompok ulama tertentu. Misalnya buku “Fatwa-fatwa Seputar Ibadah
Mahdah” yang ditulis oleh M. Quraish Shihab. Setiap mazhab fikih mempunyai kitab fikih
standar yang menjadi sumber rujukan, baik berupa kitab fikih lengkap, kitab fikih tematis,
maupun kitab fikih berupa kumpulan fatwa.

A.Pengertian produk fiqih

3
a. Pengertian Fatwa

Kata fatwa berasal dari bahasa arab yang berarti petuah, nasihat, jawaban atas
pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid atau
faqihsebagai jawaban atas peminta fatwa-pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi,
lembaga, maupun kelompok masyarakat dalam kasus yang bersifat tidak mengikat. Fatwa
yang dikemukakan mujtahid atau faqih tersebut tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta
fatwa dan pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqih dan ushul fiqih disebut mufti,
sedangkan orang yang meminta fatwa disebut al-mustafti. Dalam menghadapi persoalan
hukum seorang mufti harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan,
mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai
dari fatwa tersebut. Ulama ushul fiqih mengemukankan persyaratan yang harus dipenuhi
seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan adalah sebagai berikut:

 Adil
 Baligh, berakal, dan merdeka.
 Memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk
memberi fatwa.

Adapun hal yang berkaitan dengan masalah fatwa yaitu tentang permasalahan bolehkah
memberikan fatwa dengan cara taklid (ikut) pendapat orang lain tanpa mengetahui alasannya.
Dalam hal ini ibnu al-qayyim berpendapat:

 Seseorang tidak boleh memberi fatwa dengan cara taklid karena ia dianggap bukan
orang yang berilmu, sedangkan berfatwa tanpa ilmu dianggap haram.
 Apabila tidak ada orang yang mampu berijtihad dengan pendapat yang paling benar,
memberi fatwa dengan cara taklid diperbolehkan ketika sangat dibutuhkan.

Abu Husain al-Basri mengatakan, tidak boleh mengambil pendapat atau hasil ijtihad dari
mujtahid yang masih hidup atas pertanyaan yang diajukan padanya. Mayoritas ulama ushul
fiqih membolehkan memberi fatwa dengan pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan
syarat mengetahui landasan hukum dan jalan pikiran digunakan mujtahid tersebut.
Sedangkasn Fahrurrazi mengatakan bahwa seseorang yang mufti boleh memberikan jawaban
atas pertanyaan yang diajukan padanya dengan mengambil pendapat mujtahid yang masih
hidup.

4
b. Pengertian Qadha

Secara etimologi qadha berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti, diantaranya
adalah hukum, al-farq min syai ( menyelesaikan sesuatu ), qat al-munaza’at ( memutuskan
perselisihan), dan al-amr ( perintah ).

Dalam literatur fiqh Islam qadha artinya menyelesaikan seperti firman Allah:

F‫ضى َز ْي ٌد ِم ْنهَا َوطَ ًرا‬


َ َ‫فَلَ َّما ق‬

“Manakala Zaid telah menyelesaikan keperluannya dari Zainab”. (Q.S. al-Ahzab:37)

Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah:

ِ ْ‫صاَل ةُ فَا ْنت َِشرُوا فِي اأْل َر‬


‫ض‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فَإِ َذا ق‬
ِ َ‫ضي‬

“Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah ke pelosok bumi” (QS. Al-Jumu’ah:10).

Qadha baina al-khusmain, yaqdhi wa qadha’an wa qadhiyyatan, artinya dia menetapkan


dan memutuskan masalah diantara dua orang yang berseteru. Qadha as-syai’a qadha’an,
artinya dia memutuskan sesuatu dengan bijak. Qadha al-amra alaihi, artinya dia menetapkan
perkara dan mewajibkan kepadanya. Qadha as-sulthanu fulanan, artinya sultan menjadikan
seseorang sebagai hakim. Ustuqdhiya fulan, artinya fulan dijadikan hakim. Rajul qadhiy,
artinya orang yang cepat keputusannya. Qadhahu ila al-hakim, artinya dia melaporkannya
kepada hakim. Taqadha al qadhi taqadhiyan, artinya kedua orang saling melaporkan kepada
hakim. Lafadz qadhi adalah isim fail (subyek), artinya hakim syar’i. Sebab dia adalah yang
memutuskan gugatan antara orang-orang yang berseteru dan menjelaskan yang benar dari
yang batil. Jamaknya adalah qudhat, sedangkan qadhi al-qudhat adalah kepala para hakim.
Adapun qadhiyah adalah mashdar dan isim dari qadha yang artinya permasalahan.

Kenyataannya semua makna qadha dalam bahasa adalah kembali kepada hukum dan
pemutusan perkara. Kemudian secara terminologi, qadha adalah menyelesaikan pertengkaran
untuk melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-
hukum syara’ yang dipetik dari al qur’an dan Sunnah. Menurut ‘Ukbary yang dimaksud
dengan qadha adalah peraturan yang harus diikutii, yang terbit dari penguasa, yang
mempunyai kekuasaan hukum.Seseorang yang memutuskan suatu perkara disebut hakim.
Hakim adalah orang yang membuat hukum dan mempunyai daya paksa, dan qadha adalah

5
hasil putusan yang mengikat yang bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan
memutus persengketaan.

Qadha menurut istilah ahli fiqih adalah berarti:

 Lembaga hukum (tempat di mana seseorang mengajukan mohon keadilan)


 Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang mempunyai wilayah
umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.

Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti
menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena
hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau
hendak dibedakan dengan hukum umum, di mana hukum Islam itu (syari’at), telah ada
sebelum manusia ada. Fuqaha mendefinisikan bahwa qadha adalah pendapat yang
mewajibkan yang keluar dari kekuasaan umum, atau pemberitaan tentang hukum syar’i
dengan jalan pengharusan. Ibnu Khaldun mengatakan dalam Mukaddimahnya ketika
menjelaskan garis-garis agama yang berkaitan khusus dengan khilafah, “Adapun peradilan
maka merupakan tugas yang masuk di bawah khilafah, karena dia merupakan jabatan
pemutusan di antara manusia dalam perselisihan untuk memastikan terhadap tuduhan dan
memutuskan perselisihan.

Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan qadha dengan suatu putusan yang mengikat yang
bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutus persengketaan. Ulama mazhab
Maliki mendefinisikan qadha dengan pemberitaan tentang hukum syara melalui carayang
mengikat dan pasti. Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali merndefinisikan qadha dengan
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah. Kemudian ada
juga pendapat lain mengatakan qadha adalah memutuskan hukum antara manusia dengan
benar dan memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Allah.

 Dasar hukum qadha

Dasar hukum qadha dalam firman Allah sebagai berikut:

ِّ ‫اس بِ ْال َح‬


‫ق‬ ِ ْ‫د إِنَّا َج َع ْلنَاكَ خَ لِيفَةً فِي اأْل َر‬Fُ ‫يَا دَا ُوو‬
ِ َّ‫ض فَاحْ ُك ْم بَ ْينَ الن‬
Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khailfah (penguasa) di muka bumi, berilah
keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil. QS.Shad (38): (26)

6
Juga firman-Nya:

‫َوأَ ِن احْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َءهُ ْم‬

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang dfikaruniakan
Allah. QS.al-Maidah (5):(49)

َ َ‫ فِي أَ ْنفُ ِس ِه ْم َح َرجًا ِم َّما ق‬F‫ك فِي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِجدُوا‬
َ‫ضيْت‬ َ ‫ِّك اَل ي ُْؤ ِمنُونَ َحتَّى ي َُح ِّك ُمو‬
Fَ ‫فَاَل َو َرب‬

"Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (An-Nisa: 65)

‫خَصي ًما‬
ِ َ‫ك هَّللا ُ َواَل تَ ُك ْن لِ ْلخَائِنِين‬
َ ‫اس بِ َما أَ َرا‬ ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫إِنَّا أَ ْن َز ْلنَا إِلَ ْي‬

“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.” (An-Nisa: 105)

Atas dasar tersebut ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa mengadakan dan menjalankan
lembaga qadha itu hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif).

 Persamaan dan perbedaan fatwa dan qadha

Dalam literatur-literatur tidak ditemukan secara khusus pembahasan tentang persamaan dan
perbedaan antara fatwa dan qadha. Hal ini perlu dikomparasikan antara fatwa dan qadha
berdasarkan uraian di atas sehingga mendapat kesimpulan yang berkaitan dengan persamaan
dan perbedaan keduanya.

Adapun persamaan yang paling mendasar antara fatwa dan qadha adalah:

1) Sama-sama hasil ijtihad yang berlandaskan Al-quran dan al-hadis.


2) Sama-sama dalam bentuk ketetapan hukum.
3) Keputusan yang ditetapkan berdasarkan badan resmi.
4) Sama-sama menghasilkan suatu produk hukum.

Adapun perbedaan yang mendasar adalah sebagai berikut.

7
1) Fatwa adalah produk pribadi (bersifat tidak mengikat) atau bisa nama atas lembaga,
sedangkan qadha produknya atas nama negara (bersifat mengikat).
2) Yang membuat qadha (yakni hakim) diangkat oleh negara, sedangkan yang membuat
fatwa adalah mufti (tidak diangkat oleh negara) dan berdasar atas pengakuan
masyarakat.
3) Mufti boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya sedangkan qadha (yakni
pengadilan) tidak boleh menolak sekalipun undang-undang untuk masalah tersebut
belum ada.
4) Qadha (putusan pengadilan) boleh dibatalkan perdailan yang lebih tinggi, sedangkan
fatwa tidak ada yang bisa membatalkanny, sekalipun ulama yang lebih populer.
5) Fatwa dasarnya adalah ilmu, sedangkan qadha dasarnya adalah fakta.

 Unsur-unsur Qadha

Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, diperlukan
adanya enam unsur, yakni:

1) Qadhi atau hakim


Yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang perdata, oleh karena
penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. Dan sudah jelas bahwa
Nabi sendiri menunjuk beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.
2) Hukum
Yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Hukum ini
adakalanya ilzam, yaitu seperti hakim berkata: “saya menghukum engkau dengan
membayar sejumlah uang”. Putusan yang seperti ini dinamakan qadha ilzam atau
qadha isthiqaq.
3) Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa qadha ilzam ini, ialah menetapkan
sesuatu dengan dasar yang meyakinkan, seperti berhaknya seseorang anggota serikat
untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha isthiqaq ialah menetapkan sesuatu
dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti halnya seseorang tetangga
mengajukan hak syuf'’ah.
4) Terkadang qadha ilzam atau qadha isthiqaq diwujudkan dengan perbuatan, seperti
tindakan hakim mengadakan pembagian secara paksa, dan adakalanya dengan

8
menolak gugatan, yaitu apabila si penggugat tidak sanggup memberi bukti dan telah
pula disumpah pihak tergugat, maka gugatan itu menjadi gugur, dan qadha itu
dinamakan qadha-ut tarki.
5) Mahkum bih
Di dalam qadha ilzam dan qadha isthiqaq, ialah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi
supaya si tergugat memenuhinya, dan didalam qadha-ut tarki ialah menolak gugatan.
Ringkasnya mahkum bih adalah suatu hak.
6) Mahkum alaih (si terhukum)
Yakni orang yang dijatuhkan hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’
adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya.
Baik tergugat ataupun bukan, seorang ataupun banyak.
7) Mahkum lahu
yaitu orang yang menggugat suatu hak, baik hak itu yang murni baginya atau terdapat
dua hak tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini haruslah ia mengajukan gugatan,
meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan
perantaraan wakilnya. Dan di dalam memutuskan perkara, boleh dia sendiri yang
menghadiri sidang pengadilan ataupun wakilnya.
8) Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan).
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu
kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan
mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima, oleh karena itu pula sesuatu
yang bukan merupakan satu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk ke
dalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.

Dalam hal pengangkatan hakim, dalam literatur-literatur fikih, para ahli memberikan
syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi hakim, walau ada perbedaan dalam
syarat-syarat yang mereka berikan, namun ada pula yang disepakati. Syarat yang
dimaksudkan (syarat yang diperlukan seorang hakim) ada 6 (enam), yaitu:

1) Laki-laki yang merdeka


Anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim, menurut Malik, Syafi’i dan Ahmad.
Sedang tentang hakim wanita, Hanafiah tidak membolehkan wanita menjadi hakim
dalam masalah pidana dan qishash. Alasannya karena dalam kedua hal tersebut
kesaksiannya tidak dapat diterima. Di dalam kitab Al-Hidayah , Fathul Qadir daan Al
‘Inayah (ketiga-tiganya dalam madzhab Hanafi) diterangkan bahwa wanita boleh

9
menjadi hakim dalam segala perkara, terkecuali perkara pidana dan qishash. Menurut
mereka, hukum menjadi qadhi sama dengan hukum menjadi saksi. Maka dalam
perkara-perkara wanita dapat menjadi saksi dan dapat pula menjadi hakim. Dengan
tegas Al Kasyani menerangkan bahwa laki-laki bukanlah syarat yang diperlukan
untuk diangkat menjadi hakim, hanya saja hakim wanita itu tidak boleh memutuskan
perkara dalam bidang pidana dan qishash saja. Ibnu Jarir Ath Thabari membolehkan
wanita menjadi hakim dalam segala rupa perkara. Wanita dapat menjadi mufti dalam
segala rupa masalah, karena itu dapat pula menjadi hakim dalam segala rupa masalah.
2) Berakal (mempunyai kecerdasan)
Syarat ini disepakati seluruh ulama. Hakim haruslah orang cerdas, bijaksana, mampu
memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang musykil.
3) Beragama Islam
Adapun alasan kenapa keislaman seseorang menjadi syarat seorang hakim adalah
karena keislaman merupakan syarat untuk menjadi saksi atas seorang muslim,
demikian Jumhur Ulama, karenanya hakim yang bukan seorang muslim tidak boleh
memutus perkara orang muslim. Dalam hal ini Hanafi berpendapat lebih rinci, yakni
membolehkan mengangkat hakim yang bukan muslim untuk memutus perkara orang
yang bukan muslim, karena orang yang dipandang cakap untuk menjadi saksi harus
pula cakap menjadi hakim, tetapi tidak boleh seorang kafir zimi memutus perkara
orang muslim, karena kafir zimi tidak boleh menjadi saksi orang muslim. Banyak pula
yang membolehkan hanya dalam hal safar dan wasiat. Golongan Hanbaliyah, Syuraih,
An-Nakhdiy, Al-Auzai, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, golongan Zhahiriyah dan Imamiyah
menerima saksi orang yang bukan muslim terhadap wasiat si muslim di dalam safar.
Abdullah ibn Ahmad Ibnu Hanbal membolehkan orang yang tidak muslim menjadi
saksi atas muslim dalam masalah pusaka. Imam Malik membolehkan dokter-dokter
yang bukan beragama Islam menjadi saksi bagi orang Islam di waktu tidak diperoleh
orang Islam sendiri. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa: pendapat Imam Ahmad
dalam menerima saksi yang bukan muslim di dalam safar, memberi pengertian bahwa
kita boleh menerima kesaksian orang yang bukan muslim bila darurat, baik di dalam
safar ataupun bukan. Bahkan tidak ada salahnya kita menerima pensaksian orang yang
bukan muslim dengan disumpah dalam segala perkara yang tidak dapat dicari saksi
yang muslim. Ulama Muta’akhirin banyak berpendapat seorang saksi tidaklah harus
seorang muslim tetapi diperlukan orang-orang yang kebaikannya lebih banyak dari
keburukannya.

10
4) Adil
Hakim haruslah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya
kejujurannya, baik di waktu marah atau di waktu tenang dan perkataannya harus
benar.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Hanafi dan Syafi’i, golongan Hanafi
berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah asal sesuai dengan syara’
dan undang-undang, sedang As-Syafi’i tidak membolehkan mengangkat orang fasik
menjadi hakim, alasannya karena seorang fasik tidak diterima sebagai saksi.
5) Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya
Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar dia
memperoleh jalan mengetahui hukum-hukum yang harus diberikan bagi perkara yang
diajukan kepadanya. Dalam hal ini, Hanafi membolehkan muqallid menjadi hakim
sesuai pendapat al-Ghazali, karena mencari orang adil dan ahli ijtihad sangat sulit,
yang penting dingkat oleh penguasa.
6) Mendengar, melihat, dan tidak bisu
Orang bisu tidak boleh diangkat menjadi hakim karena orang bisu tidak bisa
menyebut putusan yang dijatuhkannya. Demikian pula orang tuli tidak dapat
mendengar keterangan para pihak, sedang orang buta tidak dapat melihat orang-orang
yang berperkara. Syafi’i membolehkan orang buta, tetapi mengakui lebih utama orang
yang tegap dan sehat.

c. Pengertian Taqnin Al-Ahkam

Secara etimologis, kata taqnîn (‫( تقنين‬merupakan bentuk masdar dari qannana (َ‫)ن َّن َق‬,
(yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan
dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa
Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (‫( ْنو ُان َق‬yang berarti ukuran segala sesuatu,
dan juga berarti jalan atau cara (thariqah). Qanun al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum
dan kaidah penetapan hukum (tasyri`) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial,
menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang
tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara
berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan

11
oleh pemerintah, sehingga wajib bagi para penegak hukum menerapkannya di tengah
masyarakat.

Menurut Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi
bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berarti alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah
kanun atau canon dipakai untuk menunjuk hukum gereja yang disebut pula canonik, seperti
corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII tahun 1580, kemudian codex
iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun 1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil,
fatwa-fatwa dari pemimpin gereja, keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan
perintah dari paus. Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah kanun digunakan untuk
menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yang ditulis oleh Ibnu Sina
dalam bidang kedokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb, Qanun al-Mas’udi yakni himpunan
pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah)
yang ditulis oleh al-Biruni.

Menurut para orientalis barat seperti Goldziher, Von Kremer, dan Scheldon Amos,
bahwasannya syari’at yang dibawa Muhammad saw adalah seperti halnya hukum-hukum
(Canonic) Romawi yang diadopsi kepada hukum-hukum Arab. Ia mengajukan argumen
bahwa pada saat itu sebelum Muhammad menjadi Rasul ia telah mengetahui tentang hukum-
hukum Romawi yang terdapat di negeri-negeri yang menjadi kekuasaan imperium
Romawi.Akan tetapi para Sarjana Muslim menolak secara tegas pendapat yang dikemukakan
oleh para orientalis tersebut dengan mengajukan argumen bahwa Muhammad dilahirkan di
Mekah yang notabene bukan daerah kekuasaan Romawi dan Muhammad tidak pernah keluar
dari mekah sebelum menjadi Rasul melainkan hanya dua kali saja yaitu ketika rasul masih
berusia 12 tahun bahkan ada yang berpendapat masih berusia 7 tahun ketika beliau ikut
bersama pamanya Abu Thalib ke Syam. Adapun yang kedua adalah ketika beliau berumur 25
tahun untuk berniaga menjalankan bisnis Khadijah bersama pengawalnya yakni Maisarah dan
telah diketahui bahwa sang Rasul tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis.
Selain berdasarkan pada sejarah para sarjana muslim juga mengajukan argumen bahwa
mustahil bercampurnya syari’at Islam dengan Qanun Romawi karena syari’at Islam
berdasarkan kepada wahyu.

B. Fatwa Ulama sebagai Produk Pemikiran Hukum Islam dan Produk Fiqih

12
Setelah produk pemikiran fikih, maka produk pemikiran hukum yang kedua adalah pemikiran
fatwa ulama yang merupakan hasil dari konfigurasi formulasi hukum Islam. Fatwa menurut
bahasa berarti jawaban, keputusan, pendapat yang diberikan oleh mufti tentang suatu
masalah; nasihat orang alim, pelajaran baik. Menurut ulama usul fikih, fatwa berarti pendapat
yang dikemukakan oleh seoramg mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta
fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Fatwa ini bersifat sanksi moral yang
tidak mengikat seseorang untuk berfatwa atau meminta fatwa, dan atau untuk menerima/taat
pada fatwa. Fatwa tersebut merupakan hasil dari ijtihad seorang mufti yang bertalian dengan
persoalan atau masalah yang diperhadapkan kepadanya. Fatwa ulama biasanya merupakan
himbauan dari sekelompok ulama dan terkadang merupakan seruan ulama tertentu kepada
masyarakat luas atau masyarakat tertentu. Oleh karena itu, produk pemikiran fikih tidak dapat
dipisahkan begitu saja dengan produk pemikiran fatwa ulama, karena fikih merupakan
produk hasil ijtihad ulama, dan ulama merupakan orang yang ahli dalam ilmu fikih. Hasil
ijtihad ulama yang disebut fatwa terkadang dituangkan dalam bentuk buku fikih untuk
dipedomani bagi umat Islam di Indonesia. Hasil fatwa ulama di Indnesia, secara nasional
dituangkan dalam bentuk fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Selain itu, ada dua fatwa
ulama yang bersumber dari organisasi Islam yaitu Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
Kedua organisasi Islam ini, selalu mewarnai fatwa MUI di Indonesia. Hal ini dipengaruhi
oleh kekuatan politik dan sistem pemerintahan/penguasa di Indonesia.

Jika ada masyarakat yang mengatasnamakan kelompok masyarakat luas berkata bahwa
orientasi kepada hukum-hukum agama hendaknya dikurangi. Alasannya karena hal tersebut
menimbulkan kejenuhan masyarakat terhadap hal-hal yang menimbulkan kesenjangan, maka
yang dilakukan itu tidak terlalu meleset dari kebenaran. Memang harus diakui bahwa
pelanggaran-pelanggaran dan pertentangan-pertentangan atas hukum agama itu terjadi
perbedaan yang sulit untuk disatukan. Sebagai contoh umat Islam di Indonesia selalu dua kali
melaksanakan hari lebaran, baik idul fitri maupun idul adha. Mestinya persoalan semacam ini
yang menyelesaikan adalah para ulama dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
mengeluarkan fatwa. Bahkan ulil amri atau organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Perbedaan-perbedaan semacam ini diakibatkan dalam penggunaan akal dan pikiran yang
beraneka ragam, dan belum diadakan undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut.

Bagi para ulama perlu sekali mengetahui hubungan akal dan pikiran di dalam memahami
agama, sehingga masing-masing mendapatkan proporsi yang sebenarnya. Jika dipahami
urusan agama khususnya hukum Islam, karena agama itu wahyu dari Allah, maka akal dan

13
pikiran itu ditempatkan sebagai alat pelengkap dalam memahami hukum Islam. Sehingga
dengan demikian kesenjangan hukum Islam dapat diselesaikan dengan tidak membawa
dampak negatif dalam masyarakat yang mempunyai komunitas heterogen Berbeda halnya
apabila masyarakatnya mempunyai komunitas yang heterogen, misalnya dalam lingkungan
kampus khususnya pesantren, mereka mendengar dan mematuhi fatwa ulama. Apa kata
ulama maka itulah yang mereka laksanakan. Untuk mencapai keberhasilan suatu fatwa, maka
dikembangkan kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma, asumsi-asumsi dasar, tradisi-tradisi
dan kebiasaan-kebiasaan unik dari suatu masyarakat. Pendekatan semacam ini disebut quchi
sebagai teori Z yang memiliki tiga kunci pokok, yaitu:

1) Adanya saling percaya (trust).


2) Adanya hubungan timbal balik (sublety).
3) Adanya keakraban (intimacy).

Apabila ketiga kunci pokok tersebut dilaksanakan dengan baik, maka segala fatwa dari
seorang mufti akan didengar dan diterima oleh lapisan masyarakatnya, apalagi kalau
bersumber dari fatwa ulama. Karena demikian halnya, maka fatwa ulama dapat dijadikan
sumber pemikiran hukum Islam. Karenanya ulama harus mempunyai ilmu yang luas, sebab
masyarakat banyak menghadapi problem. Ulama salaf sangat benci terhadap orang yang
menganggap remeh batas-batas atau kriteria-kriteria fatwa dan orang tidak spesialis dalam
berfatwa. Seseorang yang mengakui kemuftian orang sesudah itu mengetahui kebodohan dan
kekeliruannya, ia adalah orang yang termasuk berkepentingan, dan orang tersebut ikut
berdosa. Para ulama telah memberikan fatwa:

Barang siapa memberikan fatwa tapi bukan ahlinya, maka orang itu seorang durhaka, dan
barang siapa yang mengikutinya dia adalah orang yang durhaka pula. Ulama usul
memberikan syarat-syarat untuk dijadikan dasar untuk menjadi mufti, yaitu:

1) Mengetahui tentang hadis yang berkaitan dengan hukum.


2) Mengetahui tentang tempat perkiraan hadis, baik syarah maupun matannya.
3) Jeli terhadap kriteria dan pendapat-pendapat.
4) Mengetahui tentang ta’adil dan tarjihnya.
5) Mampu menelaah jika membutuhkan untuk berfatwa.
6) Kalau ternyata ia memiliki kemampuan menghafal lebih baik dan lebih sempurna.

Kriteria untuk menjadi seorang mufti (yang mengeluarkan fatwa) sangat berat, apalagi
jika menyangkut persoalan ibadah yang tidak mempunyai sumber, baik al-Qur'an maupun

14
dari hadis. Terlebih-lebih lagi jika berkaitan dengan hukum Islam yang dijadikan sebagai
produk pemikiran hukum Islam di Indonesia yang dikenal dengan hukum nasional. Hukum
nasional di Indonesia merupakan kumpulan norma-norma hukum yang hidup dalam
masyarakat yang berasal dari unsur-unsur hukum Islam, hukum adat, dan hukum modern
(hukum Barat). Hukum Islam di Indonesia merupakan peraturan-peraturan yang diambil dari
al-Qur'an dan hadis, diformulasikan ke dalam empat produk pemikiran hukum, yaitu fikih,
fatwa ulama, keputusan pengadilan, dan undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan
bagi umat Islam di Indonesia. Fatwa ulama merupakan salah satu unsur pembentukan hukum
Islam di Indonesia. Secara umum telah diketahui mengapa hukum Islam tidak diberlakukan
secara keseluruhan. Pada hal secara normatif, corak hukum Islam telah hidup dan
berkembang di Indonesia. Hazairin dalam pidatonya tahun 1951, ia mempersoalkan
mendirikan mazhab sendiri di Indonesia, yang disebut sebagai mazhab nasional/mazhab
Indonesia yang langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan. Bukan berarti
menyimpang dari imam-imam mazhab, karena kebutuhan dan perkembangan zaman yang
selalu berubah-ubah. Penegasan itu mengandung beberapa hal yang fundamental bagi
pembaharuan hukum Islam di Indonesia, yaitu:

1) Perlunya pemberian corak kenasionalan bagi perkembangan hukum Islam di


Indonesia, dengan merangkumnya dalam suatu mazhab nasional yang menonjolkan
hal-hal yang sifatnya spesifik.
2) Dalam rangka pemberian identitas nasional terhadap hukum Islam Indonesia,
diadakan pembedaan dalam dua bidang; pertama, hukum Islam yang berkenaan
dengan masalah ibadah yang sifatnya tidak langsung bersangkut paut dengan
persoalan kemasyarakatan; kedua, hukum Islam langsung berkenaan dengan
kemasyarakatan.
3) Mazhab Syafi’i masih hidup dan dipertahankan untuk bidang hukum Islam yang
berkenaan dengan ibadah. Sedangkan bidang yang berkenaan dengan soal
kemasyarakatan kita dirikan mazhab nasional/mazhab Indonesia dan melepaskan diri
dari mazhab syafi’i dalam artian mengembangkan, mengubah dan memperbaiki
mazhab itu.
4) Untuk pembentukan mazhab nasional diperlukan lahirnya mujtahid baru yang
bercorak nasional untuk melakukan ijtihad/penerapan hukum Islam sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.

15
5) Pembaharuan dan pengembangan hukum Islam di Indonesia perlu disalurkan dalam
suatu ikatan mazhab bukan ijtihad pribadi. Fatwa Hazairin tersebut merupakan salah
satu fatwa ulama yang merupakan produk pemikiran hukum Islam di Indonesia.
Dengan demikian, nyatalah bahwa fatwa ulama merupakan produk pemikiran hukum
Islam di Indonesia. Sebagai bukti lain adalah dengan maraknya konsep pemberlakuan
syariat Islam di berbagai provinsi di Indonesia, yang merupakan hasil dari pembaruan
hukum Islam.

1. Peranan Fatwa Ulama Sebagai Produk Pemikiran Hukum Islam dan Produk Fiqih

a) Klasifikasi Ulama

Imam al-Gazali membagi ulama ke dalam dua kategori yaitu ulama dunia dan ulama akhirat.
Ulama dunia ialah orang-orang yang dengan ilmunya bertujuan semata-mata untuk mencapai
kesenangan, kedudukan dan kehormatan di dunia saja. Sedangkan ulama akhirat adalah
kebalikannya, yaitu orang-orang yang menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan dan
mencapai kebahagian akhirat. Ulama dunia digambarkan oleh Allah dalam Q.S. Ali Imran
(3): 187

Terjemahnya:

Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):
“hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan
mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.

Ulama akhirat digambarkan oleh Allah dalam Q.S. Ali Imran (3): 199

Terjemahnya:

Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak
menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.

Ulama akhirat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

16
1) Tidak menggunakan ilmu pengetahuannya untuk mencapai keuntungan dunia.
2) Konsekuen terhadap perbuatannya.
3) Mengutamakan ilmu akhirat.
4) Sederhana dan zuhud.
5) Menjauhkan diri dari penguasa.
6) Tidak tergesa-gesa membenarkan fatwa.
7) Mementingkan ilmu batin dan memperhatikan gerak gerik hati yaitu berjuang
8) melawan hawa nafsu sehingga dapat memancarkan sumber-sumber hikmah.
9) Memperkuat keyakinan.
10) Tunduk sebagai bukti takutnya kepada Allah dalam hal ihwal, pada pakaian yang
dipakai, tingkah laku dan ucapannya.
11) Mementingkan ilmu yang dapat diamalkan.
12) Berperang pada mata hatinya sendiri.
13) Sangat berhati-hati dalam menghadapi hal-hal yang baru.

Dengan demikian ciri-ciri ulama dunia adalah kebalikannya yang menghendaki dan
mempergunakan ilmunya untuk mendapatkan kepuasan dunia dan kebahagiaan dunia saja.
Oleh karenanya ulama semacam inilah yang selalu mempergunakan kesempatan dalam
kesempitan, bahkan memutar balikkan fakta yang sebenarnya. Ulama yang dikehendaki
adalah mereka yang betul-betul menguasai ilmu keislaman dan ilmu kealaman lainnya.
Dengan demikian mereka akan menguasai dan mampu memecahkan persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam pemikiran hukum Islam di Indonesia.
Mereka mampu menghadapi berbagai macam tantangan yang dihadapi oleh umat dewasa ini,
terutama hal ihwal yang tidak mempunyai nas secara jelas.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Uraian tentang jenis-jenis produk pemikiran hukum Islam dan produk fiqih di Indonesia,
dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Produk pemikiran fikih merupakan jenis produk pemikiran hukum Islam di Indonesia
yang melahirkan berbagai jenis buku yang dipedomani dalam menemukan hukum,
sekaligus dijadikan sebagai sumber hukum seperti buku Kompilasi Hukum Islam (KHI)
di Indonesia.
2) Kata fatwa berasal dari bahasa arab yang berarti petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan
yang berkaitan dengan hukum. Pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid atau
faqihsebagai jawaban atas peminta fatwa-pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi,
lembaga, maupun kelompok masyarakat dalam kasus yang bersifat tidak mengikat.
Produk pemikiran fatwa ulama merupakan jenis produk pemikiran hukum Islam di
Indonesia yang berasal dari pemikiran ulama secara kolektif, kemudian dituangkan dalam
bentuk fatwa untuk menetapkan hukum, seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
3) Secara etimologi qadha berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti,
diantaranya adalah hukum, al-farq min syai ( menyelesaikan sesuatu ), qat al-munaza’at
( memutuskan perselisihan), dan al-amr ( perintah ).
4) Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan qadha dengan suatu putusan yang mengikat yang
bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutus persengketaan. Ulama
mazhab Maliki mendefinisikan qadha dengan pemberitaan tentang hukum syara melalui

18
carayang mengikat dan pasti. Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali merndefinisikan qadha
dengan penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah.
5) Persamaan yang paling mendasar antara fatwa dan qadha adalah: sama-sama hasil ijtihad
yang berlandaskan Al-quran dan al-hadis, sama-sama dalam bentuk ketetapan hukum,
keputusanm yang ditetapkan berdasarkan badan resmi, dan sama-sama menghasilkan
suatu produk hukum.
6) Adapun perbedaan yang mendasar adalah: 1) fatwa adalah produk pribadi (bersifat tidak
mengikat) atau bisa nama atas lembaga, sedangkan qadha produknya atas nama negara
(bersifat mengikat). 2) Yang membuat qadha (yakni hakim) diangkat oleh negara,
sedangkan yang membuat fatwa adalah mufti (tidak diangkat oleh negara) dan berdasar
atas pengakuan masyarakat. 3) Mufti boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya
sedangkan qadha (yakni pengadilan) tidak boleh menolak sekalipun undang-undang
untuk masalh tersebut belum ada. 4) Qadha (putusan pengadilan) boleh dibatalkan
perdailan yang lebih tinggi, sedangkan fatwa tidak ada yang bisa membatalkanny,
sekalipun ulama yang lebih populer. 5) Fatwa dasarnya adalah ilmu, sedangkan qadha
dasarnya adalah fakta.

B. Saran

Jenis-jenis produk pemikiran hukum Islam di Indonesia, yang meliputi: produk pemikiran
fikih, produk pemikiran fatwa ulama, produk pemikiran keputusan pengadilan
(yurisprudensi), dan produk pemikiran undang-undang, kiranya dapat diberlakukan dan
ditegakkan secara jujur dan adil. Produk Fiqih disini mencakup tiga aspek, yaitu Fatwa,
Qadha, dan Taqnin. Untuk dapat merealisasikan kejujuran dan keadilan dalam penerapan
peraturan perundang-undangan dan hukum Islam lainnya di Indonesia, tergantung aparat
penegak hukumnya. Namun di balik itu, masyarakat secara luas pun hendaknya mematuhi
segala hukum perundang-undangan yang berlaku, agar tujuan negara dapat tercapai yakni
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah
ini jauh dari sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan adanya kritik saran yang
membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah ini agar penulis dapat terus belajar ke
arah yang lebih baik. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat dan mendapat rida Allah swt.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. III; Jakarta: CV


Akademika Pressindo, 2001.
Ahmad, Amrullah. dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasiona.l(Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhammad saw.: Konstitusi Negara Tertulis
yang Pertama di Dunia. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai. Cet. I; Malang: Kalimasahada Press, 1993.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid Syari'ah Menurut al-Syatibi. Cet. I; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996.
Dahlan, Abdul Azis et al. Ensilopedi Hukum Islam. Cet. V; Jakarta: Ichtiar Baru van
Houve, 2001.
Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1989.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cet I;
Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Cet. XX; Jakarta: PT
Gramedia, 1992.
Gassing, H. A. Qadir. “Merokok dalam Kajian Islam”, materi pada diskusi bulanan ke-
6 tahun VI DPP IMMIM yang bekerja sama dengan Yayasan Jantung Indonesia

20
Cabang Utama Sulawesi Selatan tanggal 24 Juni 2006. Makassar: DPP IMMIM, 2006.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam. Cet. III; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Ibrahim, Mahyuddin. Nasehat 25 Ulama Besar. Cet. I; Jakarta: Darul Ulum, 1987.
Iqbal, Mashuri Sirojuddin dan Ii Sufyana M. Bakri. Mencari Cahaya dari Ilmu Ulama.
Cet. I; Bandung: Sinar Baru, 1994.
Aliyah, Samir. 2004. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat dalam Islam. Jakarta: Khalifa
Al-jauziyah, Ibnu al-Qayyim. 2000. Panduan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Azzam
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra
Dahlan , Abdul Aziz. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve
Djalil, Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Djalil, Basiq. 2012. Peradilan Islam. Jakarta: Amzah
Koto, Alaidin . 2011. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Rajawali Press

21

Anda mungkin juga menyukai