Anda di halaman 1dari 3

Cerita Rakyat Jaka Poleng

Pada suatu pagi disebuah halaman dibelakang pendopo kabupaten Brebes terlihat Bi Ojah
sedang menyapu. Meskipun kondisi pada saat itu masih pagi sekali tetapi Bi Ojah sudah mulai
melakukan pekerjaannya, membersihkan halaman belakang pendopo kabupaten. Tak lama
kemudian setelah semua sampah terkumpul dan siap untuk dibakar, tiba-tiba muncul dari pintu
belakang pendopo kabupaten seorang pemuda gagah yang nampak tergesa-gesa berjalan dengan
masih mengenakan sarungnya menuju kadang kuda dipojok halaman.
Pagi Bi Ojah .. sapa pemuda gagah itu kepada Bi Ojah sembari tersenyum dan berjalan
menuju kadang kuda
Pemuda itu adalah Laksito, seorang anak pangon (anak gembala bayaran) kesayangan Kanjeng
Bupati. Pekerjaannya yang selalu rapi dan disiplin selepas subuh dalam merawat Kyai Genta
kuda kesayangan Kanjeng Bupati, membuat dia selalu disanjung oleh sinuwunnya yaitu Gusti
Kanjeng Bupati. Sesampainya didepan kandang kuda Laksito pun langsung melaksanakan
pekerjaanya. Dia membersihkan kotor-kotoran yang ada dikandang, memandikan Kyai Genta
dan juga memberinya makan.
Tak lama setelah semuanya mulai terlihat bersih dan rapi, Bi Ojah memanggil Laksito
Sini loh To kamu istirahat dulu, ini Bi Ojah sudah buatkan Teh poci dan Kue alu-alu buat
kamu. Karena pekerjaannya sudah selesai Leksito pun beristrahat sejenak sembari meminum
seduhan teh poci dan memakan kue alu-alu yang di buatkan oleh Bi Ojah. Tak lama setelah itu
karena rumput pakan Kyai Genta mulai habis Laksito beranjak dari tempat istirahatnya dan
bersiap-siap untuk segera pergi ke sawah mencari rumput segar.
Bi, aku pamit pergi kesawah dulu ya Bi. Ucap Laksito berpamitan kepada Bi Ojah sambil
menyangkutkan dua kerangjang bambu kosong ke pundak sebelah kanannya, serta meletakan
sabit tanpa sarung didalam nya.
Ya sudah kamu hati-hati ya To. Jawab Bi Ojah kepada Laksito. Tak lama kemudian sosok
Laksito mulai terlihat keluar dari balik pintu gerbang pendopo kabupaten.
Ditelusurilah pemantang sawah itu olehnya, hingga berhentilah kakinya itu pada sawah yang
terletak dikaki bukit wanasari. Disana terdapat rumput hijau yang lebat dan segar untuk dia
ambil sebagai pakan Kyai Genta. Laksito pun dengan segera menurunkan keranjang bambu
kosong yang dibawah olehnya, kemudian diambillah sabitnya itu dan tanpa ragu dia langsung
menyabit semua rumput gajah segar yang tumbu liar di kaki bukit.
Tak lama kemudian keranjang bambu yang dibawa Laksito kini telah terisi penuh oleh rumput
segar yang diambilnya, disaat itu juga tergambar raut wajah lelah Laksito. Laksito pun
beristirahat sejenak sebelum kembali ke pendopo. Ia duduk dibawah pohon rindang di kaki bukit
sembari mengkipas-kipas badannya dan meminum teguk demi teguk air yang dibawanya.
Semilir angin yang berhembus disekitarnya mengentikan cucuran keringat yang keluar dari
tubuhnya, rasa lelah kini berganti menjadi rasa kantuk. Namun disaat mata Laksito mulai
terlelap didalam tidurnya, Ia melihat seekor Ula Poleng (ular belang) besar bermahkota emas
melintas didepannya
Laksito mengkedip-kedipkan matanya beberapa kali bahkan menggosoknya dengan kedua
tangannya untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi. Setelah Laksito yakin bahwa itu
bukanlah mimpi, Ia mengikuti ular belang itu. Laksito mengendap-endap di belakang ular ajaib
itu dan mengikuti kemana arah ular itu pergi. Langkah berkelok-kelok ular itu berhenti pada
sebuah semak rimbun, dari jarak yang tidak jauh telihat sosok Laksito yang sedang

mengikutinya, namun kini Ia hanya dapat melihat ekor dari ular itu yang bergerak-gerak
kekanan kekiri dan sesekali memutar karena tertutup semak.
Pertanda apa ini sampai-sampai aku mengalami hal seperti ini? Apakah ini tafsir dari mimpi
ku semalam? Gumam Laksito dalam hati sembari memegang janggutnya.
Setelah beberapa saat kemudian Laksito yang bengong, tak sadar jika ular belang bermahkota
emas itu telah menghilang. Dia menghampiri semak itu dan mencari-cari kemana ular itu pergi,
namun Ia tidak menemukannya. Yang Ia temukan hanya selaput bening berkilauan yang tidak
lain adalah sisik milik ular itu, Laksito pun memungutnya dan memasukannya kedalam saku
celananya. Lalu setelah itu Ia bergegas pergi ketempatnya tadi, dan segera merampungkan
pekerjaannya.
Akhirnya selesai juga, ya sudahaku bereskan semuanya dan segera kembali kependopo. Ucap
Laksito yang terlihat senang karena pekerjaanya kini telah selesai dan dengan segera Ia pulang
kependopo.
Laksito pun pulang kependopo memikul kerajang bambu yang penuh dengan rumput hijau segar
melewati jalan yang tadi pagi dilewatinya, ditengah jalan untuk mengusir sepi dengan suaranya
yang terengah-engah Laksito mendendangkan lagu kesukaannya Gambang Suling.
Gambang suling, Kumandang swarane ... seperti itulah Laksito bernyanyi.
Sampailah kini Laksito dipendopo dan ditempatkannya langsung rumput itu digubug kecil
tempat menyimpan pakan kuda. Setelah itu Laksito bejalan menuju Bi Ojah yang sedang sibuk
didapur, sambil berjalan kedapur Laksito berfikir mengapa tadi di sepanjang jalan Ia pulang tak
ada seorangpun yang menjawab sapaanya.
Bi Ojah sedang masak apa? Aku lapar Bi. Ucap Laksito yang kini berada disamping Bi Ojah
dan langsung dengan cepat menyabar tempe mendoan yang sedang ditiriskan.
Bi Ojah pun terkaget mendengar suara itu hingga abu dari tungku yang sedang ditiupnya dengan
selonsong bambu berhamburan mengenai wajahnya, karena Ia melihat tak ada seorang pun
manusia diruangan itu kecuali dirinya.
Duh Gusti.. siapa itu? teriak Bi Ojah sembari mengusap wajahnya yang penuh abu.
Ini aku Bi Leksito, aku disamping Bibi. Jawab suara itu sambil memegang tangan Bi Ojah
yang menodongkan selongsong bambu.
Jangan berbohong kamu, kamu pasti setan. Tolong, tolong Gusti.. ada setan Bi Ojah berteriak
meronta-ronta mencoba melepaskan tangannya yang dipegang Laksito yang kasat mata.
Mendengar teriakan Bi Ojah Gusti Kanjeng Bupati bergegas keluar menuju dapur tempat Bi
Ojah berada.
Tenang Bi Ojah, ada masalah apa hingga Bibi berteriak? tanya Kanjeng Bupati sembari
menenangkan Bi Ojah yang berteriak meronta-ronta.
Mohon maaf Gusti, tadi ada suara namun tidak ada wujudnya mengaku sebagai Laksito Gusti.
Tapi saya tidak percaya, itu pasti jin Gusti yang mengaku sebagai Laksito. Jawab Bi Ojah
dengan suara tersendak-sendak ketakutan.
To, Laksito? Cah bagus.. apa benar sejatinya itu memang kamu? Ucap Gusti Bupati
menanyakan kepada suara itu dengan nada tenang dan berwibawa.
Iya, benar Gusti ini hamba. Hamba abdi kinasihmu Laksito. Jawab suara tanpa wujud itu.
Lalu jika memang benar itu kau, mengapa kau bisa seperti ini To? Apa yang terjadi
sebenarnya? Coba kamu ceritakan kepada ku? tanya Gusti Bupati seolah-olah berhadapan
dengan sosok Laksito yang kasat mata.
Hamba juga bingung Gusti, hanya tadi hamba mengabil sisik ular yang terlepas. Ucap

Laksito menjelaskan kepada sinuwunnya.


Bi Ojah dan pelayan lainnya yang melihat Gusti Bupati berbicara dengan suara itu hanya
clingak-clinguk saja karena bingung dan takut mendengar suara tanpa wujud itu.
Baik To. Begini saja, dimana kamu simpan sisik itu?Gusti Bupati melanjutkan pertayaanya
Dikantong hamba Gusti. Jawab Laksito.
sekarang kamu keluarkan sisik ular itu dan jauhkan dari tubuhmu, letakan disana. Saran
Gusti Bupati kepada Laksito sambil mengarahkan telunjuknya kesebuah meja makan bundar.
Benarlah ketika sisik ular itu dijauhkan dari tubuh Laksito, Laksito yang semula kasat mata kini
dapat terlihat kembali. Bi Ojah yang tadinya takut kini berteriak kegirangan melihat Laksito
yang ada dihadapannya.
To, Laksito.. ya ampun Nang suara tadi itu benar-benar suaramu. Sambut Bi Ojah sambil
menepuk-nepuk punggung Laksito.
Rasa senang dan bahagia para penghuni istana pada saat itu hanya bertahan sebentar, Gusti
Bupati yang melihat sisik yang dibawa Laksito itu bertuah menjadikan dia berhasrat untuk
memilikinya. Gusti Bupati memaksa Laksito untuk memberikan sisik itu kepadanya dengan
iming-iming menaikan jabatan Laksito menjadi sekretarisnya. Namun Laksito tetap bersih
kukuh terhadap pendiriannya menolak hal itu karena dia menganggap itu adalah amanat yang
diberikan Tuhan kepadanya. Laksito terpaksa melawan sinuwunnya itu, kini mereka saling adu
dorong memperebutkan sisik itu. Namun karena tubuh dan badan Laksito lebih besar akhirnya
didorongnya lah sinuwunnya itu hingga terjatuh kelantai. Secepat kilat tangan Laksito
mengambil sisik ular yang berada diatas meja dan kemudian dimasukkannya benda itu kedalam
mulutnya. Alih-alih bermaksud hanya untuk menyembunyikannya saja tapi tanpa sengaja sisik
ular itu tertelan. Perlahan-lahan sedikit demi sedikit tubuh Laksito hilang raib.
Leksito menyesal dan meminta maaf kepada Gustinya itu. Tapi hati Gustinya itu masih tertutup
oleh amarah yang menyelimutinya. Dilain sisi suara tangis pecah Bi Ojah mulai terdengar
mengiringi sosok seorang pemuda yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri mulai lenyap.
Akhirnya setelah beberapa saat kemudian Gusti Bupati mulai sadar bahwa semua itu adalah
kesalahannya. Justru kini Gusti Bupati lah yang meminta maaf kepada Laksito.
To, Bocah bagus. Sebenarnya akulah yang bersalah atas semua ini, aku menjadi gelap hati
oleh nafsu dan hasrat untuk memiliki sisik itu. Sisik itu milik mu to, aku menyesal telah
melakukan semua ini. Coba saja aku tidak melakukannya pastilah sekarang engkau masih
bersama kami. Ucap Kanjeng Bupati kepada Laksito yang sebentar lagi benar-benar lenyap.
Hamba memaafkan Gusti, mungkin ini sudah menjadi nasib hamba. Tapi izinkanlah hamba
untuk terus mengabdi disini selamanya gusti. Jawab Laksito yang suaranya mulai melirih.
Baiklah Laksito wujudmu sekarang sudah tidak ada, permintaan dan perintahku jika kamu
ingin mengabdi selamanya disini tolonglah jaga rakyatku yaitu rakyat Brebes dan karena
kamu masih perjaka dan menelan sisik ula poleng (Ular Belang) maka namamu aku ganti
menjadi Jaka Poleng
Sumber :
http://www.iseng-iseng.tk/
http://brebes-punya.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai