Anda di halaman 1dari 19

BAB III

KERANGKA DASAR AJARAN ISLAM : AQIDAH/TAUHID

Agama Islam telah memberikan ajaran yang dapat dijadikan pedoman dan petunjuk
dalam setiap aktifitas kehidupan manusia, baik di rumah, jalan, tempat kerja, sekolah,
masyarakat maupun aktifitas lainnya. Keseluruhan aktifitas kehidupan manusia diatur
dalam ajaran Islam, supaya kehidupannya terarah, teratur, sejahtera, dan selamat di
dunia dan akhirat. Ajaran Islam tersebut, tersusun secara sistematis menjadi bagian-
bagian tertentu, sehingga menjadi kerangka dasar ajaran Islam, supaya mudah dipelajari
dan diamalkan. Menurut para ulama, kerangka dasar ajaran Islam dibagi tiga, yaitu;
aqidah, syariah dan akhlak. Aqidah disebut juga tauhid, aqidah dan tauhid pada
hakekatnya artinya sama yakni mempercayai keberadaan Tuhan Allah sebagai Dzat
yang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Pada bagian ini akan diterangkan
tentang pemahaman tauhid, antara aqidah dan tauhid, fungsi tauhid, iman dan taqwa, dan
lainnya yang berhubungan dengan aqidah/kepercayaan kepada Allah.
Pemahaman Tauhid
Formulasi paling pendek dari konsep tauhid adalah kalimat thoyyibah: Laa
Illaaha ill Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) artinya suatu sikap yang memutlakkan
Allah sebagai pencipta (unity of God head) dan meyakini adanya kesatuan-kesatuan
peranan tauhid terhadap kehidupan manusia, yakni sebagai kesatuan penciptaan (unity of
Creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of
quidance), kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life). Konsep tauhid memandang
dunia sebagai satu kesatuan (unity of the whole universe) sehingga tidak ada
pertentangan antara manusia dan ciptaan Allah lainnya.
Ajaran tauhid menjelaskan bahwa seluruh fenomena alam seperti siang dan
malam, daratan dan lautan, matahari, bintang, planet, hewan, tumbuhan dan sebagainya
hanyalah tanda-tanda kekuasaan Allah, semua tunduk dan taat pada aturan-aturan Allah.
Begitu juga dalam kehidupan masyarakat, manusia tauhid akan menghindari perbuatan-
perbuatan yang dikatagorikan durhaka kepada Allah (syirik). Pada bab tentang konsep

28
tauhid akan dijelaskan tentang pemahaman tauhid, iman dan taqwa, macam-macam
tauhid, fungsi tauhid, potensi manusia untuk bertauhid kepada Allah.
Tauhid berasal dari bahasa Arab, asal dari kata wahada-yuwahidu-tauhidan,
artinya esa/satu, maksudnya percaya bahwa Allah adalah Esa/Satu, tidak ada Tuhan
yang pantas disembah kecuali Allah Yang Esa, begitulah ajaran ketuhanan menurut
Islam. Selanjutnya, tauhid dimaknai percaya bahwa Allah yang menciptakan manusia
dan alam semesta. Ajaran tauhid telah ada semenjak Allah menurunkan manusia yang
pertama, yakni Nabi Adam Alaihissalam, dan menjadi kepercayaan manusia pertama.
Tauhid menjadi risalah Allah yang diturunkan Nabi Adam untuk seluruh manusia.
Namun, ajaran risalah tauhid mengalami dinamika yang luar biasa, terkadang dianut
oleh manusia, terkadang juga diselewengkan oleh manusia.
Nabi Adam diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan tauhid pada manusia,
namun ketika Nabi Adam sudah meninggal dunia, dalam jangka waktu lama, umat Nabi
Adam mencari Tuhan yang lain. Lalu, muncullah kepercayaan animisme, dinamisme,
totenisme, politeisme, menyembah matahari, bulan, bintanng dan benda alam lain yang
dipercayai mempunyai kekuatan. Kemudian, Allah mengutus Nabi Idris dengan perintah
untuk mengajarkan risalah tauhid, namun ketika Nabi Idris meninggal dan dalam waktu
yang lama, umatnya menyeleweng lagi. Kemudian, Allah mengutus nabi selanjutnya,
yakni Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh dan seterusnya dengan perintah yang sama,
namun setelah Nabi-Nabi tersebut meninggal dunia dan dalam waktu yang sama,
umatnya menyeleweng lagi.
Coba kita tengok, Nabi Muhammad yang diturunkan oleh Allah di Mekkah
Mukarramah, Saudi Arabia. Pada saat itu daerah tersebut mengalami masa jahiliyah,
masa kebodohan dalam hal perbuatan dan kepercayaan, perbuatannya sudah melanggar
aturan, hukum, tata tertib di masyarakat, sedangkan kepercayaan tidak menyembah
Allah, namun berhala. Masyarakat tidak mengenal kemuliaan, kehormatan dan kasih
sayang, yang ada hanya perbuatan tanpa aturan, hubungan antar manusia saling
merugikan dan tidak perlindungan hak asasi manusia (homo homini lupus).
Pada masa itulah Nabi Muhammad diturunkan untuk memperbaiki perilaku dan
meluruskan kepercayaan untuk menyembah hanya kepada Allah. Perjuangan dan

29
pengorbanan Nabi sangat luar biasa, melalui sikap, perkataan dan perbuatan, bisa
mengajak kafir Quraish untuk menyembah Allah. Walaupun halangan dan tantangan
selalu dihadapi oleh Nabi dan para sahabatnya, namun Nabi bisa mendobrak adat
jahiliah menjadi masyarakat madani yang unggul di masa peradaban ke VIII M.
Generasi Nabi, yakni khulafaturrasyidin dan para sahabat yang setia menemani Nabi
berhasil menyebarkan ajaran agama Islam sampai keluar Jazirah Arab, masuk ke Asia,
India, Eropa, sampai ke Indonesia.
Setelah masa Nabi berlalu, apakah terjadi penyelewengan terhadap ajaran Islam?,
tentu saja masih ada. Penyelewengan manusia yang terjadi sebelum Nabi Muhammad
adalah penyelewengan pada kepercayaan terhadap Allah, mereka mencari Tuhan yang
lain, benda alam yang dipercaya mempunyai kekuatan dianggap sebagai Tuhan, seperti;
matahari, bulan, bintang, pohon besar, laut, dan sebagainya. Penyelewengan yang terjadi
setelah Nabi Muhammad sampai jaman sekarang, ada dua, yakni; penyelewengan
terhadap ajaran agama Islam dan penyelewengan tidak percaya kepada Tuhan Allah,
namun menyembah Tuhan yang lain. Pada jaman sekarang banyak dijumpai orang Islam
yang tidak shalat, tidak puasa, melanggar etika dan moral, itulah pelanggaran ajaran
Islam jaman sekarang. Apabila hal ini dibiarkan, maka ajaran agama Islam akan menjadi
tontonan, bukan tuntunan, agama hanya menjadi baju formalitas saja, tidak berperan
dalam kehidupan.
Agama Islam berasal dari Allah, dan akan dijaga terus oleh Allah, untuk
memperbaiki keadaan di atas, Allah menurunkan manusia yang bersifat amanah, ma’ruf
yang mampu mengajak manusia untuk kembali pada ajaran Islam yang baik dan benar.
Manusia tersebut disebut mujaddid, yaitu orang yang dianggap mampu melakukan
pembaharuan atau ajakan kepada umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist, misalnya; kyai, ulama, ustadz, dan ustadzah.
Mujaddid adalah orang yang tekun ibadahnya untuk mendekatkan diri kepada Allah,
berbudi pekertinya luhur, hidupnya sederhana, keikhlasannya berjuang dalam agama
Islam, kerelaannya bersadaqah untuk kemajuan dan kesejahteraan umat menyebabkan
dia dicintai, disegani dan dihormati.Hadist Nabi menjelaskan bahwa Allah akan
menurunkan mujaddid setiap seratus tahun, namun apabila diamati di masyarakat,

30
banyak fenomena yang menunjukkan bahwa setiap saat para ulama banyak bermunculan
untuk berusaha dan berupaya menyadarkan masyarakat supaya taat dan patuh pada
ajaran Islam.
Perjuangan keras para mujaddid untuk mengajak umat Islam kembali kepada
aturan seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist serta menyingkirkan
penyimpangan atau penyelewengan terhadap ajaran Islam disebut tajdid (gerakkan
pembaharuan Islam). Gerakan inilah yang mampu membawa misi Islam dalam kancah
kehidupan seiring dengan kemajuan jaman, sehingga berdiri panji-panji kejayaan Islam
menuju masa depan yang gemilang. Allah menurunkan para mujaddid sepanjang jaman
untuk menjaga agama Allah. Seperti sabda Nabi yang artinya : ”Bahwa setiap seratus
tahun akan timbul seorang mujaddid”(Abu Dawud dan Hakim). Hal ini menunjukkan
bahwa ajaran risalah tauhid akan abadi sepanjang masa.

Tauhid dan Aqidah


Tauhid sama dengan aqidah, aqidah berasal dari kata Al-‘Aqdu artinya ikatan, al-
Tautsiqu artinya kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-Ihkamu artinya
mengokohkan atau menetapkan, dan al-Rabthu bi Quwwah yang berarti mengikat
dengan kuat. Adapun aqidah menurut istilah adalah iman yang teguh dan pasti,
keyakinan yang tidak diragukan. Muslim yang beraqidah artinya beriman kepada Allah
seraya mengikatkan dirinya untuk tunduk dan taat kepada Allah dengan penuh
keikhlasan. Artinya mereka tidak berbuat yang berakibat dosa besar kepada Allah,
seperti; syirik, kafir, munafik, durhaka dan sebaginya. Semua ketaatannya tidak didasari
tujuan-tujuan tertentu kecuali ikhlas berbuat dan beramal karena Allah. Aqidah yang
diajarkan Islam (aqidah Islamiyah) yaitu keimanan yang teguh dan kuat kepada Allah
SWT, bertauhid dan taat kepadanya, beriman kepada Malaikat, Rasul-Rasulnya, Kitab-
kitabnya, hari akhir, taqdir baik dan buruk, termasuk percaya kepada surga, neraka, alam
ghaib, dan siksa kubur.
Allah menjanjikan kepada manusia yang percaya kepada Allah dan Rasul-nya,
untuk diberi anugerah ni’mat seperti yang diberikan Allah kepada para Nabi, para

31
shadiqin, para syuhada dan orang-orang shaleh. Kepada mereka adalah surga (jannatun
na’im). Hal ini terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 69 yang berbunyi :

Artinya : ”Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat Allah,
yaitu : Nabi-Nabi, para shadiqin, para syuhada dan orang-orang shaleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.

Cara beraqidah
Sebagaimana diketahui bahwa esensi aqidah adalah percaya atau yakin terhadap
Allah termasuk ajaran-ajaran-Nya. Kepercayaan di sini haruslah disertai dengan
pengetahuan yang teliti dan pemahaman yang betul (Tahqiq). Bukan asal percaya saja
tanpa mengetahui yang sesungguhnya (Taqlid). Beraqidah atas dasar taqlid tidak
dibenarkan, karena akan merusak agama Islam sendiri. Sikap inilah yang sering
menjadikan Islam phobi di masyarakat, karena Islam tidak dipelajari secara menyeluruh
maka banyak terjadi kesalahpahaman dan disintegrasi sesama umat Islam. Al-Qur’an
tidak mengajarkan cara berfikir seperti ini, karena yang demikian biasa dijadikan orang-
orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Dalam surat Al- Baqarah ayat
170, Allah berfirman :

Artinya : “Jika dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang Allah turunkan”. Mereka
menjawab “Tidak”. Tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami
dapati dari pendahulu kami”.

Selain itu Allah melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan :

32
Artinya : “Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui”. (Al-Isra :
36).

Bahkan Allah menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai


binatang yang paling buruk :

Artinya : “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang
yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berfikir”. (Al-Anfal :
22).

Disamping itu terdapat Hadist Rasulullah yang menganjurkan umatnya agar


beragama atas dasar pengetahuan. Hadist tersebut artinya : “Jadilah kalian orang-orang
yang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan”. (Kitab an-Nihayah
Ibnu Katsir).
Dari penjelasan di atas dapat diambil hikmah bahwa pengetahuan agama menjadi
barometer terhadap kuatnya aqidah seseorang. Semakin berpengetahuan agama Islam,
maka semakin kuatlah iman dan taqwanya kepada Allah. Sebaliknya semakin kurang
berpengetahuan tentang ajaran agama Islam, maka semakin rapuh keyakinannya
terhadap Allah. Sehingga beranggapan bahwa semua agama adalah benar dan berpindah
agama adalah sesuatu yang lumrah.

Faktor Penyebab Penyimpangan Aqidah


Penyimpangan aqidah yang dialami seseorang akan berakibat fatal dalam seluruh
kehidupan , baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu mereka akan kehilangan
kekuatan dan pegangan hidup, hal ini berakibat pada keadaan jiwa yang selalu diselimuti
keraguan dan kecemasan serta langkah yang tanpa arah dan tujuan. Penyimpangan
aqidah ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Mereka tidak paham tentang aqidah Islam karena kurang pengertian dan perhatian.
Akibatnya mereka berpaling bahkan menentang.

33
b. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu mereka menolak aqidah
Islam. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 170, yang artinya :
“Jika dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang Allah turunkan”. Mereka
menjawab “Tidak”. Tetapi kami hanya mengikuti (melakukan) apa yang kami
dapati dari pendahulu kami”.Walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”.
c. Taklid buta kepada para tokoh yang dihormati.
d. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali serta orang shaleh
yang sudah meninggal dunia, bahkan menempatkan para leluhur mereka setara
dengan Tuhan.
e. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan karena silau
pada peradaban Barat yang materialistik.
f. Pendidikan rumah tangga yang tidak religius, menjadikan anak mengalami
pendangkalan aqidah yang selanjutnya mengenyampingkan ajaran Islam atau anak
tumbuh dengan tidak mengenal aqidah Islam. Dalam hal ini Nabi bersabda yang
artinya : “Setiap anak dilahirkan berdasarkan fitrahnya, maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nashrani atau Majusi”. (HR. Bukhari)

Kegunaan beraqidah Islamiyah


Kepercayaan kepada Allah merupakan dasar untuk melangkah dalam melakukan
aktifitas. Aqidah kepada Allah ini mutlak kebenarannya tanpa diragukan lagi. Maka dari
itu umat Islam harus yakin kebenarannya dan menggunakannya sebagai barometer
dalam bertingkah laku sehingga hidupnya akan sejahtera dan berfaedah atau bermanfaat
bagi masyarakat dan negara juga agama. Orang yang menguasai akidah Islamiyah akan
bermanfaat, yakni :
a. Membebaskan dirinya dari penghambaan selain Allah, baik dalam bentuk
kekuasaan, harta benda, jabatan maupun lainnya.
b. Membentuk pribadi yang seimbang untuk selalu taat kepada Allah baik dalam
keadaan suka maupun duka.

34
c. Akan merasa aman dari berbagai ketakutan dan kecemasan, karena jiwanya diliputi
rasa tawakkal kepada Allah.
d. Membentuk mentalitas keagamaan yang kuat sehingga tidak mudah putus asa dan
selalu siap mengahadapi tantangan.
e. Akan membentuk rasa persaudaraan (ukhuwah) dan persamaan, karena di mata
Allah yang membedakannya adalah dalam hal ketaqwaan, bukan kekayaan,
kepandaian, kekuasaan, ras, negara dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa manfaat beraqidah adalah dapat
menuntun manusia dalam menjalani hidup di dunia, supaya mudah bersikap dan berbuat
yang didasari atas keimanan kepada Allah. Kepercayaan kepada Allah akan menjadikan
kehidupan manusia damai dan tenang, tidak cemas dan tidak mudah putus asa menjalani
ujian dari Allah, namun memohon petunjuk Allah untuk menyelesaikan segala
permasalahan yang selalu ada ketika hidup di dunia.

Macam-Macam Tauhid
Tauhid merupakan sikap untuk percaya bahwa Allah itu ada, Allah yang
mencaptakan manusia dan alam semesta, tauhid ada tiga macam, yakni :
1. Tauhid Ubudiyah artinya percaya pada Allah hanya Allah sajalah yang disembah,
yang dimintai pertolongan, sebagai tempat untuk berkeluh kesah dan percaya bahwa
Allah selalu menunjukkan jalan kehidupan yang terbaik termasuk hikmah. Hal ini
bisa dipahami ketika kita membaca doa iftitah yang artinya “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah”, berarti kita beribadah
hanya untuk Allah.
2. Tauhid Rububiyah artinya percaya kepada Allah dan menganggap bahwa Allahlah
yang maha segala, seperti yang terdapat dalam nama-nama baik bagi Allah (asmaul
khusna) yang jumlahnya 99, seperti; Al-Rahman, Al-Rahiim, Al-Malik, Al-Qudus,
As-Salam, Al-Mukmin, dan seterusnya. Allah mempunyai nama baik, supaya sifat-
sifat Allah yang baik ditiru dalam kehidupan manusia. Manusia bisa mengamalkan
tauhid rububiyyah ketika berdzikir seraya mengucapkan asmau khusna.

35
3. Tauhid Uluhiyyah artinya percaya kepada Allah dan menjadikan Allah yang
terpenting dalam hidup, sehingga seluruh aktifitas diniatkan untuk mencari ridha
Allah. Pengamalan tauhid uluhiyyah bisa dilakukan ketika berbuat ikhlas hanya
mencari ridho Allah, cirinya perbuatan tersebut diawali dengan niat serta dahului
dan diakhiri dengan doa. Apabila setiap perbuatan dilakukan ikhlas mencari ridha
Allah, maka manfaatnya dapat menambah nilai lebih untuk berbuat baik kepada
Allah dan berbuat baik pada sesamanya. Dengan mengkaji konsep tauhid jiwa
tawakkal akan diraihnya.

Fungsi dan Misi Tauhid


Konsep tauhid harus dimengerti oleh setiap muslim karena mempunyai fungsi antara
lain :
1. Membebaskan manusia dari menyembah selain Allah, dengan
demikian mereka akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain,
karena dihadapan Allah manusia berstatus sama yang membedakannnya adalah
ketaqwaan kepada Allah. (Al-Hujurat;13).
2. Mendorong untuk selalu mencari kebenaran dan menanyakan
kebenaran akan kepercayaan yang telah mentradisi (Al-Baqarah ayat 170) serta
menguji apa yang sudah dianggap sebagai suatu kebenaran (Al-A’raf ayat 28-29)
agar tidak kecewa di akhir nanti (Al-Ahzab ayat 67).
3. Mengajarkan emansipasi manusia dari nilai-nilai palsu yang
bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan dan kesenangan sementara belaka. Dari
sini wacana tauhid harus dipersegar terus dan diluruskan melalui serangkaian
tindakan guna memperbaiki dan membina lingkungan sekitar agar sesuai dengan
kehendak Allah.

Fungsi dan misi tauhid harus berjalan dengan selaras, seperti; menegakkan
kebenaran dan keadilan, merealisasikan berbagai nilai utama, memberantas kerusakan di
muka bumi. Konsep realisasi tauhid ini diperuntukkan kepada seluruh manusia, sebagai
ciptaan Allah SWT. Misi tauhid bertujuan untuk membentuk manusia tauhid yang
menyadari bahwa perilakunya di dunia akan selalu diawasi oleh malaikat Allah. Hal ini

36
menjadikan manusia, ketika beraktifitas di dunia selalu dalam pengawasan dan pantauan
Allah, sehingga manusia tersebut hati-hati untuk selalu menjaga perbuatan baik dan
menolak berbuat jahat.
Seperti; Al-Qur’an tidak melarang manusia mengumpulkan harta benda, akan tetapi
penyalahgunaan kekayaan yang menyebabkan manusia buta terhadap nilai luhur
dikecam keras dalam Al-Qur’an (Al-Imran:14, Yunus:23, Ar-Ra’ad:36, Az-Zuhruf:35).
Al-Qur’an memegang prinsip kebijakan keadilan ekonomi (Al-Hasyr:7), dan keadilan
ekonomi bukan tujuan akhir, tetapi terselenggara demi mewujudkan nilai-nilai yang
diridhai Allah (At-Taubah:40). Islam memerintahkan umatnya untuk membentuk
masyarakat adil dan makmur, apabila ada permasalahan di dalamnya hendaknya
diselesaikan melalui musyawarah.

Potensi Manusia untuk bertauhid Kepada Allah


Manusia mempunyai potensi akal untuk percaya kepada Allah, dengan potensi akal
tersebut, manusia dapat berfikir dan memahami secara mendalam tentang keberadaan
alam semesta. Akal manusia mempunyai kekuatan rohani untuk memahami hakekat
yang tidak dapat diindera, potensi akal memiliki kemampuan paling tinggi untuk
mema’rifati adanya Allah dan makhluk-makhluk-Nya, baik yang kelihatan maupun yang
tidak kelihatan. Keberadaan akal manusia juga dapat digunakan untuk memahami dan
mengerti wahyu Allah baik dalam bentuk firman Allah yakni Al-Qur’an (Qouliyyah)
maupun dalam bentuk sunnatullah berupa hukum alam (Qouniyyah).
Sesungguhnya tentang keberadaan Allah, walaupun tidak dapat dilihat, tetapi
dapat dibuktikan melalui beberapa metode pendekatan seperti diterangkan dalam al-
Qur’an surat Al-Maidah ayat 190, yakni:
1. Ilmu yaqin artinya metode pendekatan untuk membuktikan adanya Allah
berdasarkan ilmu-ilmu yang diketahui dalam Al-Qur’an, misalnya; surga, neraka,
kehidupan manusia setelah mati, penciptaan manusia, dan lainnya.
2. Ainul Yaqin artinya metode pendekatan untuk membuktikan adanya Allah
berdasarkan kejadian alam semesta beserta hukum-hukum yang mengaturnya

37
(sunnatullah), misalnya; penciptaan langit, bumi, petir, hamparan daratan dan
lautan, bintang, langit, dan lainnya.
3. Haqqul Yaqin metode pendekatan untuk membuktikan adanya Allah berdasarkan
fakta, melalui pengalaman rohani (religius experience), misalnya; efek dari shalat
tahajud menjadikan jiwa manusia tenang dan percaya diri, efek shalat menjadikan
manusia taat dan patuh pada aturan, doa menjadikan hidup nyaman dan penuh
harapan kebaikan, puasa menjadikan kita sabar dan banyak bersyukur atas nikmat
Allah, dan lainnya. Manusia yang mengamalkan ajaran Islam dengan ikhlas akan
berdampak positif, sebaliknya yang tidak mengamalkan ajaran Islam akan
berdampak negatif terhadap kehidupan.
Setelah muslim percaya adanya Allah melalui bukti atau tanda yang meyakinkan
maka bersaksilah muslim tersebut dengan ikrar yang disebut Syahadat Tauhid dan
Syahadat Rasul.

Iman dan Taqwa


Islam merupakan agama wahyu yang berasal dari Allah SWT, ajaran-ajarannya
diperuntukkan manusia agar manusia tersebut mendapatkan landasan dan pedoman serta
pandangan hidup dalam berbuat sehingga berjalan sesuai dengan kaidah dan norma
kebaikan baik dari segi sosial kemasyarakatan maupun pembentukan kepribadian yang
luhur. Pembentukan kepribadian yang luhur dapat diwujudkan melalui ukuran
sejauhmana nilai ketaqwaannya kepada Allah, karena manusia sebagai makhluk religius
diwajibkan beriman kepada Allah. Dengan beriman berarti mereka telah mengikatkan
diri akan keberadaan Allah sebagai pencipta manusia dan alam sekitarnya, sehingga
muncullah komitmen rasa hormat, syukur, mengabdi, taat dan patuh serta berkemauan
keras untuk menjalankan kehendak-kehendak-Nya.
Percaya kepada Kemahaesaan Allah (tauhid) mengandung konsekuensi logis untuk
percaya kepada Dzat, sifat, perbuatan dan hukum Allah. Juga percaya kepada yang
melaksanakan dan menyampaikan kehendak Allah (malaikat), percaya kepada perbuatan
dan kehendak Allah yakni Kitab Suci Al-Qur’an, percaya kepada yang dipilih Allah
untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia (Rasul), percaya kepada hari

38
pembalasan sebagai tempat pertanggungjawaban atas perbuatan manusia selama hidup
di dunia (yaumul Qiyamah), serta percaya kepada Qadha dan Qadar yang berlaku dalam
hidup dan kehidupan manusia di dunia yang membawa akibat pada kehidupan akhirat
kelak.
Wujud muslim yang beriman diawali dengan mengakui keberadaan Allah
dilanjutkan mengucapkan syahadat melalui lesan serta melanjutkan dengan perbuatan-
perbuatan atas dasar kesadaran untuk mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan Allah. Misalnya menjaga dan menghindarkan diri dari kejahatan dan
sikap durhaka kepada Allah, tidak melakukan perbuatan yang merugikan dan menyakiti
orang lain, bertanggung jawab mengenai sikap dan tingkah laku yang telah diperbuatnya
serta melaksanakan kewajiban-kewajiban baik sebagai hamba Allah maupun sebagai
anggota masyarakat. Muslim yang demikian disebut muslim yang bertaqwa.
Ketaqwaaan inilah yang digunakan sebagai nilai ukuran untuk berada disisi Allah.
Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

Artinya : “…Sesunggahnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah
orang yang paling bertaqwa…”( Q.S. 49;13).

Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tidak memandang seseorang dari


kekayaan, pangkat dan jabatan, kebangsaan, warna kulit, kecantikan dan sebagainya,
tetapi Allah mengukur derajat ketaatan dan kedekatan melalui kualitas dan kuantitas
dalam bertaqwa kepada Allah. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 177, menjelaskan
tentang karakteristik orang yang bertaqwa, antara lain :
1. Memelihara fitrah keimanan termasuk rukun Iman, misalnya; berusaha
meningkatkan keimanan melalui lingkungan yang baik, selalu menghiasi
perbuatannya dengan berakhlakul karimah dalam arti luas.
2. Mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan dalam kesanggupan
mengorbankan harta, seperti; zakat, infaq, shadaqah, beramal shaleh.

39
3. Memelihara ibadah formal melalui berbuat baik kepada Allah seperti shalat, puasa,
zakat, haji apabila mampu, maupun berbuat baik dalam hubungan sosial
kemasyarakatan, seperti beramar ma’ruf nahi mungkar, beramal shaleh, nasehat
menasehati dalam kebaikan.
4. Memelihara kehormatan diri melalui pengendalian hawa nafsu dari tindakan tercela,
seperti; marah, bertindak sembrono, menfitnah, dengki, iri, mengadu domba dan
perbuatan negatif lainnya.
5. Memiliki sifat perjuangan lewat da’wah, jihad atau gerakan sosial keagamaan.

Taqwa merupakan kata kunci untuk memahami sistem nilai dalam Islam. Oleh
karena itu seharusnya dikenalkan pada masyarakat sejak dini, sejak manusia masih kecil
sampai dewasa. Memasyarakatkan taqwa, menurut Hasan Langgulung melalui beberapa
tahap, yakni :
1. Tahap sosialisasi yakni tahap untuk mengajak anak mengenali dan
belajar melaksanakan nilai-nilai ketaqwaan atau ajaran Islam seperti; belajar sholat,
belajar membaca al-Qur’an, belajar sopan santun, mengasihani orang lain, dan yang
lainnya.
2. Tahap identifikasi yakni mulai membentuk karakteristik ketaqwaan
kepada anak disertai menumbuhkan kesadaran untuk berakhlak dengan cara
mencontoh orang yang ada di dekatnya seperti orang tua dan guru. Kemudian anak
mengerjakan nilai-nilai taqwa tertentu yang disukai dan dikagumi.
3. Tahap pendalaman yakni tahap untuk mengembangkan Islam
melalui metode keilmuan sehingga terbentuk pemahaman secara menyeluruh pada
ajaran Islam. Seperti; kajian Islam, diskusi, penelitian dan kegiatan kemasyarakan.
Dari sini akan muncul pendewasaan pikiran, toleransi, ikhlas, sabar, tawakkal,
qona’ah, tawadhu’ dan bermacam sifat positif lainnya.
4. Tahap penghayatan yakni tahap di mana anak merasa nikmat dan
butuh melakukan perbuatan tersebut, juga anak merasa tentram dan tenang setelah
melaksanakan ajaran Islam. Seperti shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan

40
mengkar. Orang merasa butuh melaksanakan shalat untuk mengendalikan hawa
nafsunya, dan merasa tentram dan tenang setelah melaksanakannya.

Pada kehidupan sekarang seringkali makna ketaqwaan tersingkirkan,


fenomena masyarakat muslim secara realita belum menyadari janji yang diucapkan
lewat shalat lima kali sehari, sehingga muncullah perbuatan dan sikap yang
membeda-bedakan antara manusia satu dengan lainnya berdasarkan pada aspek
lahiriah. Hal inilah yang menjadikan manusia mengalami kemerosotan tauhid,
maksudnya hilangnya nilai dan kandungan taqwa dan digantinya dengan perbuatan-
perbuatan yang menuruti keinginan hawa nafsunya tanpa memandang aspek
manusiawinya. Orang yang demikian telah diingatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an
surat Al-Furqon ayat 43-44 yang berbunyi :

Artinya : ”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya


sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya
Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Tidak lain mereka itu hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”

Pengemban Risal Tauhid

Ajaran tauhid dimulai sejak Nabi pertama yakni Nabi Adam a.s, Nabi inilah yang
diberi wahyu berupa misi kepercayaan kepada pencipta alam semesta yakni Allah, dzat
yang Maha Kuasa untuk disampaikan kepada umat manusia. Di samping itu Allah juga
mengutus Rasul yang berkewajiban menyampaikan risalah wahyu kepada manusia. Nabi
dan Rasul merupakan manusia pilihan yang diangkat Allah. Walaupun berstatus sebagai
manusia pada umumnya, namun ditaqdirkan memiliki kecerdasan lebih tinggi dan jiwa
yang lebih bersih, terjaga dari perbuatan dosa dan tercela (ma’sum) karena selalu
mendapatkan petunjuk dan bimbingan Allah berupa wahyu. Oleh karena itu Nabi dan

41
Rasul adalah manusia ideal, manusia yang selalu tunduk dan patuh pada perintah Allah,
sehingga bisa mengamalkan keseluruhan perintah Allah dalam kehidupan antara sesama
manusia.
Posisi Nabi dan Rasul adalah insanul kamil (manusia sempurna), kalaupun
memiliki kelemahan, maka kelemahan itu akan hilang karena lindungan Allah, pantaslah
apabila Nabi dan Rasul tersebut menjadi panutan atau uswatun hasanah.
Allah memberikan wahyu kepada Nabi/Rasul melalui empat cara, pertama : dengan cara
langsung seperti perintah sholat lima waktu kepada Nabi Muhammad dalam peristiwa
Isra’ Mi’raj. Kedua, melalui malaikat Jibril seperti turunnya Kitab Suci Al-Qur’an
kepada Nabi Muhammad SAW. Ketiga, dibelakang tirai seperti yang dialami oleh Nabi
Musa di atas bukit Tursina. Keempat, dengan cara melalui impian seperti yang dialami
Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Nabi Ismail kemudian tergantikan seekor
domba, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Hari Raya Qurban.
Nabi dan Rasul mempunyai tugas untuk menyampaikan wahyu Allah atau risalah
Allah berupa tauhid, mempertuhankan hanya kepada Allah serta mengabdi kepadanya.
Seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

Artinya : ”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan
kami wahyukan padanya;“Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(Q.S. 21:25)

Tugas manusia adalah mengikuti ajaran Nabi dan Rasul, taat pada ajaran dan
perintahnya, karena semua itu berasal dari Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa’ ayat 64 yang berbunyi :

Artinya : ”Dan Kami tidak mengutus Seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan
izin Allah.”

42
Al-Qur’an menjelaskan bahwa jumlah Nabi dan Rasul itu lebih dari 25, yang 25
sudah diceritakan dalam Al-Qur’an dan selebihnya tidak dikisahkan. Hal ini dijelaskan
dalam surat An-Nisa’ ayat 164. Dalam surat Yunus ayat 47 mengatakan bahwa Allah
akan mengirim utusan atau Rasul disetiap bangsa atau umat. Mengapa Allah mengutus
Nabi berkali-kali ?, karena Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad, diutus oleh Allah
hanya untuk tempat dan waktu tertentu, memenuhi kebutuhan manusia pada ajaran Allah
lewat Nabi dan Rasul tertentu, dan adanya penyimpangan ajaran Allah pada umat
manusia.
Kedudukan Nabi dan Rosul adalah estafet atau mata rantai ajaran Allah dari
manusia pertama (Nabi Adam) sampai manusia akhir jaman, Nabi dan Rasul adalah
pengemban risalah tauhid. Hubungan Nabi dan Rasul pada jaman pertama sampai jaman
Nabi Muhammad tentunya tidak bertentangan. Namun, mempunyai misi yang sama
untuk mentauhidkan Allah, mereka saling membenarkan, mempercayai, menguatkan,
menambah, mengoreksi/menyesuaikan dengan jaman, menyempurnakan dan
mempertahankan agama Islam yang berbasis tauhid kepada Allah.
Adapun tentang hukum-hukum Islam (syari’ah) status hubungan agamanya
memposisiskan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad berstatus sebagai
penyempurna dari ajaran Nabi dan Rasul terdahulu. Maka ajaran agamanya lebih
lengkap, hal ini telah dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3. Serta ajaran
Nabi Muhammad diperuntukkan untuk seluruh umat manusia, seperti yang dijelaskan
dalam firman Allah surat Saba’ ayat 38. Status Nabi Muhammad di antara Nabi dan
Rasul yang lain sebagai Nabi terakhir (Khatamun Nabiyyin). Setelah itu tidak ada Nabi
yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah kepada manusia. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 40 yang berbunyi :

Artinya : ”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki


diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

43
Jadi setelah Nabi Muhammad wafat, Allah tidak mengirim atau mengutus Nabi
lagi. Apabila di kemudian hari ada umat yang ingkar kepada Nabi, maka untuk
menegakkan risalah Islam pada umatnya, Allah telah menurunkan manusia pilihan yang
diberi kemampuan untuk meluruskan penyelewengan dari ajaran Islam. Manusia pilihan
itu disebut Mujaddid dan gerakan pembaharuan guna meluruskan dan mengembalikan
ajaran Islam dari penyelewengan disebut gerakan tajdid.
Kesimpulan
Manusia diberi agama Islam oleh Allah, karena manusia dipandang mampu
melaksanakan ajaran Islam tersebut. Untuk melaksanakannya harus diawali dengan
keyakinan akan kebenaran agama Islam dan kepercayaan terhadap eksistensi Allah
beserta yang diciptakan-Nya yaitu manusia dan alam semesta. Apabila seorang muslim
sudah beriman dan bertaqwa kepada Allah, insya Allah akan terhindar dari hawa nafsu
syetan yang selalu mengajak manusia untuk berbuat kemungkaran.
Allah memberi potensi manusia berupa akal, jasmani dan rohani serta hati nurani
mempunyai maksud supaya berma’rifat kepada Allah sehingga hidupnya bermakna
untuk mengabdi kepada Allah dan tidak sia-sia. Dengan berbekal percaya kepada Allah,
maka semangat hidup dan kontrol perilaku akan terjaga, karena perbuatannya dan
seluruh aktifitasnya didasari untuk mencari ridha Allah.
Latihan
1. Jelaskan pemahaman tauhid dan konsekuensinya !
2. Tulis dan jelaskan dalil tentang tauhid !
3. Apakah relasi antara agama tauhid dan agama Islam ?, jelaskan dengan
menyertakan sejarah tauhid dari awal kehidupan manusia 1
4. Keberadaan Allah dapat dibuktikan dengan beberapa metode pendekatan, sebut
dan jelaskan beserta contohnya !
5. Apakah persamaan dan dan perbedaan antara iman dan taqwa, serta uraikan
tahap-tahap taqwa !.
6. Terangkan pemahaman manusia tauhid dan hubungkan dengan fungsi tauhid
dalam kehidupan individu dan sosial

44
7. Tulis dalil Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 177 dan jelaskan maksudnya!.
8. Jelaskan faktor-faktor adanya penyelewengan aqidah, dan bagaimana usaha anda
supaya tidak menyeleweng terhadap aqidah ?,
9. Menurut sejarahnya, Allah menurunkan Nabi dan Rosul berkali-kali karena
adanya penyelewengan aqidah/tauhid, jelaskan macam-macam penyelewengan
yang terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW dan setelah jaman Nabi
Muhammad SAW !.
10. Penyelewengan aqidah/tauhid harus diluruskan kepercayaannya supaya menjadi
orang Islam yang baik dan benar, untuk meluruskannya, apakah Allah
menurunkan Nabi dan Rosul setelah Nabi Muhammad SAW ?, jawab dan
jelaskan alasannya !.

45
REFERENSI

Ali, Muh Daud, 2000, Pendidikan Agama Islam, Grafindo, Jakarta.


-----------, 2000, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial Politik, Depag RI,
Jakarta.
Azra, Azyumardi dkk., 2003, Buku Tulis Pendidikan Agama Islam, Dipertais
Jakarta, Depag RI.
Ahmed, Akbar S., 1997, Living Islam, Mizan, Bandung.
Bastaman, Hanna Djumhana, 1995, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Depag RI, 1976, Al-Quran dan Terjemahan, PT. Toha Putra, Semarang.
Djamil, Fatkhurrahman, 1997, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu,
Jakarta.
Dipertais dan PPIM, 1998, Suplemen Buku Daras Pendidikan Agama Islam
Pada Perguruan Tinggi Umum, Depag RI, Jakarta.
Fazlurrahman, 1994, Islam, Pustaka, Bandung.
Mursato,Riyo, 1993, Realitas Sosial Agama Menurut Peter L. Berger dalam
Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Pres
Jakarta.
Nasr, Sayyid Husen, 1981, Islam dalam Cita dan Fakta, , Lapemas, Jakarta.
Noer Ahmad Manshur, 1985, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran
Hukum, Dirjen Bimbaga DEPAG RI, Jakarta.
Rowi, Muhammad Roem, 1997, Al-Quran, Manusia dan Moralitas, Makalah.
Rosyidi, Ikhwan dkk, 1997, Pendidikan Agama Islam (BPKM), Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang
Rais, Amin, 1987, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung.
Syari’ati, Ali, 1979, On The Sociology of Islam, Mizan Press, Bandung.
Schuon, Frithjof, 1997, Hakekat Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

46

Anda mungkin juga menyukai