Anda di halaman 1dari 4

A.

Perusahaan Dalam Islam

Dalam fungsinya sebagai produsen yaitu memproduksi barang-barang yang diperlukan oleh
masyarakat dan untuk memperoleh keuntungan yang maksimum. Setiap perusahaan pasti
memiliki tujuan untuk mengoptimalkan keuntungan bagi perusahaannya dengan cara
mengatur penggunaan faktor produksi dengan seefisien mungkin.

Teknik efisiensi terletak pada proses produksi barang. Dalam kriteria ekonomi, suatu sistem
produksi dikatakan lebih efisien bila memenuhi kriteria berikut[1]:

1. Meminimalkan biaya untuk memproduksi jumlah barang yang sama

2. Mengoptimalkan produksi dengan biaya yang sama

Dalam teori ekonomi konvensional profit maksimal merupakan tujuan dasar suatu
perusahaan. Perusahaan yang bertujuan selalu memaksimalkan keuntungan sering disebut
dengan perusahaan yang berperilaku rasional.

Menurut Al-Habshi profit normal diartikan sebagai tingkat keuntungan ketika biaya rata-rata
sama dengan pendapatan. Profit normal ini mencakup keuntungan pengusaha dalam faktor
produksi. Ketika suatu perusahaan memperoleh profit normal, maka semua faktor produksi
mencakup didalamnya proses produksi mendapatkan hak bagiannya sesuai dengn margin
yang didapat.

B. Tujuan Perusahan Perspektif Ekonomi Islam

Dalam hukum ekonomi klasik berlaku semboyan " mencari keuntungan sebesar- besarnya
dengan biaya sekecil- kecilnya".[1]Untuk memahami semboyan ini harus memiliki pemikiran
yang logis, sehingga tidak akan terjadi kesalahan yang fatal. Setiap perusahaan pasti memiliki
tujuan masing- masing.Tujuan yang paling utama adalah mendapatkan keuntungan/ profit.

Akan tetapi hal ini tidak sama dengan tujuan perusahaan menurut perspektif Islam. Islam
selalu mengajarkan agar segala sesuatu yang kita lakukan harus berkiblat kepada Al-Quran
dan Al-Hadist tak kecuali satu apaun, termasuk bidang bisnis ataupun perusahaan.

Tujuan perusahaan perspektif Islam tidak hanya berorientasi kepada keuntungan yang
setinggi- tingginya, meskipun mencari keuntungan juga tidak dilarang.Suatu perusahaan yang
berlaku sebagai produsen islami tidak dapat menjadi sebagai profit optimalizer.[2]

Optimalisasi fallah juga harus diutamakan atau menjadi tujuan suatu perusahaan. Menurut
Siddiqi (1972) dalam Muhammad (2016) mengungkapkan perlunya dalam memperoleh profit
maksimal, namun dia juga menyebutkan bahwa perlunya konsep "suka sama suka" di dalam
Islam mengarahkan pada keadilan masyarakat dan "memperhatikan kesejahteraan orang lain"
harus menjadi tujuan utama.

Al-Habshi juga mengungkapkan bahwa Islam tidak menginginkan adanya eksploitasi dalam
mencari keuntungan, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Islam menganjurkan pada umatnya
untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat.
Hal inilah yang menjadi dorongan bagi umat Islam untuk beraktifitas bekerja dalam mencari
rizqi Allah, terutama dalam hal perdagangan untuk mencari keuntungan sebagai karunia
Allah. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat Albaqoroh ayat 198:

"Tidak ada dosa bagimu untuk mecari karunia ( rezki hasil perniagaan) dari Tuhamu. Maka
apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan
berdzikirlah ( dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar- benar termasuk orang- orang yang sesat."(QS.
2:198)

Dari ayat diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwasanya Allah swt telah memerintahkan
kepada seluruh umatnya untuk bekerja, ( mencari karuniaNya). Bekerja yang sesuai dengan
syariat Islam, bekerja dengan pekerjaan yang halal.Allah juga tidak melarang umatnya untuk
mengambil keuntungan dari transaksi- transaksinya, dengan cara mengambil keuntungan
sesuai dengan batasan- batasannya tanpa adanya kedzoliman.

Faktanya, banyak sekali para pelaku ekonomi yang mencintai kenyamanan duniawi dengan
cara mencari keuntungan untuk menambahn materi. Bahkan tidak sedikit para pelaku bisnis
melakukan berbagai macam cara atau menghalalkan segala cara agar mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya.

Mungkin hal ini bisa terjadi diakibatkan adanya kesalah fahaman manusia dalam memaknai
kata- kata, semboyan dan suatu tujuan tentang mendapatkan keuntungan. Bagi si pelaku, jika
hal ini tercapai, subjek pelakunya akan merasa puas atas apa yang telah ia dapatkan,
walaupun nilai kepuasaan tersebut hanya sementara dan semu.

Di dalam Islam telah mengajarkan bagaiman seorang pengusaha harus berkiblat kepada syara'
yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist. Bila kita gali dua sumber ini maka setidaknya
pelaku perusahaan akan memperhatikan prinsip persamaan dan
toleran (tasamuh),keadilan ('adalah),serta tolong menolong(taawun)yang saling
menguntungkan.[3]

Maksud prinsip dari persamaan dan toleransi di sini adalah bahwa semua manusia atau semua
pihak yang memiliki ikatan dengan perusahaan mulai dari jabatan tertinggi hingga terendah
secara struktur organisasi, sampai kepada konsumen mereka memiliki kedudukan yang sama
dalam hukum Islam.

Untuk itu mereka harus selalu berhati- hati dalam bertindak agar tidak terjadi kesalahan
sehingga dapat terkena sanksi. Mereka juga harus saling menghargai fungsi satu sama lain
dalam mengerjakan kewajiban masing- masing, yang mana pekerjaan ini harus dikerjakan
sesuai dengan nilai dan norma yang ada.

Selanjutnya prinsip keadilan, yang dimaksud disini adalah, sebuah perusahaan harus adil
dalam memberikan upah atau penghargaan lainnya (kompensasi) kepada para karyawanya
secara adil dan proporsional.
Prinsip keadilan tidak hanya kepada sesame karyawan di dalam perusahaan, akan tetapi hal
ini juga harus diterapkan kepada para konsumen. Perusahaan harus menciptkan produk yang
berkualitas baik dan setandar dengan harga yang ditawarkan, sehingga konsumen tidak
merasa dirugikan, serta mendapatkan kepuasaan secara batini.

Sedangkan untuk prinsip saling tolong menolong (taawun)memiliki hubungan yang sangat
erat antara produsen dan konsumen. Pada hakikatnya produsen dan konsumen saling tolong
menolong, kedua pihak ini mendapatkan apa yang diinginkan.

Produsen mendapatkan keuntungan materi jika seorang konsumen membeli produk yang
sudah dikeluarkan oleh suatu perusahaan, begitu pula konsumen juga mendapatkan
keuntungan dengan membeli produk tersebeut,konsumen dapat memenuhi kebutuhanya
untuk dikonsumsi, sehingga mendapatkan kepuasaan.

Oleh karena itu, bertolak dari prinsip- prinsip ini produsen (perusahaan) bertanggung jawab
secara individual atas barang yang dihasilkan, termasuk resiko yang mungkin timbul,
(Partley, 1997:105) dalam (Djakfar Muhammad 2009).

Menurut falsafah Al-Quran, semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia patut dikerjakan
untuk mendapat falah.Jika falah ini dapat dicapai, manusia akan medapatkankebahagiaan
dunia dan akhirat. Seperti yang kita ketahui bahwa rancang bangun ekonomi Islam juga
mencapai falah.

Tujuan aktivitas ekonomi pertama-tama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan diri tanpa
berlebihan sebelum untuk memenuhi tuntutan (kewajiban) atas keluarga, baik jangka pendek
mapun jangka panjang.

Setelah kepentingan ini terpenuhi, barulah mengekspansi untuk kepentingan eksternal yakni
kebutuhan sosial.dalam hal ini, perusahaan dituntut untuk menyadari bahwasannya
keuntungan perusahaan yang diperoleh pada hakikatnya merupakan amanah dan milik Allah
swt.

Amanah yang dimaksud dalam hal ini adalah agar harta (maal)tersebut mempunyai fungsi
sosial sehingga wajib disampaikan kepada sasaran yang berhak (mustahiq)sesuai dengan
syariat Islam.

Dengan demikian, kekayaan tersebut tidak hanya terakumulasikan untuk kepentingan


individu, (kepemilikan harta ) akan tetapi perlu akan keseimbangan dengan kepentingan
sosial sehingga tidak terjadi kesenjangan. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran di surat
Al-Muzzzamil ayat 7

" ...dan orang- orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang- orang yang lain lagi berperang dijalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al-Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah
pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik...."(QS.73:20).

[1]M. Djakfar, Perusahaan dalam perspektif Islam"Jurnal Iqtisoduna 2009.


[2]Ibid

[3]Ibid hlm.9

[1] Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah, Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UPP
STIM YKPN, 2014), hlm.68

Kadang kala seseorang berhajat menyewa tenaga orang lain, satu ataupun lebih, atau
mempekerjakannya untuk suatu pekerjaan tertentu, baik karena memang ia membutuhkannya maupun
karena ia tidak mampu melakukan pekerjaan itu seorang diri. Pada kondisi itu, ia harus mengetahui
adab atau etika Islam dan bimbingan yang berkaitan dengan ijaarah (memperkerjakan orang). dalam
hal ini menyangkut juga pekerja, karyawan, bawahan, anak buah hingga pekerja rumah tangga.
Karena etika adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia bisnis. Etika bisnis menjadi perekat
setiap transaksi bisnis, menjadi aturan yang menjamin terlaksananya transaksi yang adil dan saling
menguntungkan.

Anda mungkin juga menyukai