Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KONSEP JI’ALAH

DOSEN PENGAMPU : M.Elsa Tomisa,S.EI.,M.E.Sy

DISUSUN OLEH

ADRIANTO

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) SYARIAH

BENGKALIS

T.A 2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb 

Segala Puji bagi Allah SWT atas nikmat tak terhingga yang telah kita terima dari-Nya

Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga,

Sahabat, serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Tak lupa rasa terima kasih kami

sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya Makalah ini. Semoga

bantuan yang telah di berikan dapat bermanfaat dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah.

Amin.

Dengan menyusun makalah ini kami memperoleh banyak sekali pengetahuan baru

mengenai Ji’alah. Kami berharap semoga pengetahuan yang kami dapatkan bisa bermanfaat di

masa mendatang.

Kami juga berharap makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran yang

sifatnya membangun senantiasa di harapkan agar bisa lebih baik lagi untuk kedepannya.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………

1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………………….


1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………..
1.3. Tujuan Makalah …………………………………………………………………………..

BAB II TINJAUAN TEORITIS ………………………………………………………………………

2.1. Pengertian Ji’alah …… ……………………………………………………………………


2.2. Rukun dan Syarat Ji’alah …………. ……………………………………………………….
2.3. Landasan Hukum Ji’alah …………….……………………………………………………..
2.4. Struktur Ji’alah ……………………………………………………………………………..

BAB III SIMPULAN & SARAN ……………………………………………………………………….

3.1. Kesimpulan ……………………………………………………………………………… .

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………..

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Agama islam telah mengatur para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu

tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah

dijelaskan dalam ilmu fiqih muamalah. Dalam hal muamalah, kita pasti sudah mengetahui

bahwa ada salah satu akad yaitu ji’alah.

Akad ji’alah atau ji’alah yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat

diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau

upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk

dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Untuk lebih

jelasnya kami akan membahas mengenai ji’alah pada lembaran-lembaran berikutnya.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang akan di bahas dalam Makalah ini yaitu :

1. Apa yang di maksud dengan ji’alah?

2. Apa saja rukun dan syarat jua’alah?

3. Apa landasan hukum dari ji’alah?

4. Bagaimana Struktur Akad Ji’alah?

1.3. Tujuan Makalah

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :

 Menjelaskan secara singkat segala sesuatu yang berkaitan dengan akad ji’alah.

 Menambah pengetahuan penulis maupun pembaca mengenai akad ji’alah.

BAB II

4
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ji’alah (Ujr)

Manusia dalam kehidupannya selalu melaksanakan kegiatan sehari-hari, kegiatan

tersebut ada yang dilakukan orangnya sendiri dan ada juga yang dilaksanakan orang lain,

dengan kata lain menyuruh seseorang karena dia sendiri tidak bisa melaksanakan sendiri.

Kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan sendiri inilah kemudian menyuruh kepada orang lain

yang harus diberi imbalan dalam benttuk upah (ji’alah) atau pemberian.

Ji’alah (pemberian upah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang

karena sesuatu yang dikerjakannya. Jualah menurut Ibn Rusyd adalah pemberian upah

(hadiah) atas sesuatu manfaat yang diduga akan terwujud, seperti mempersyaratkan

kesembuhan dari seorang dokter, atau kemahiran dari seorang guru, atau pencari/yang

menemukan hamba yang lari.1

Menurut Abd Rahman al-Jaziri, yang dimaksud Ji’alah (pemberian upah) adalah

pemberian seseorang atau menyebutkan hadiah dalam jumlah tertentu kepada orang yang

mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Sebuah contoh, seseorang

berkata: “barangsiapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian”.

Maka orang yang membangun tembok untuknya berhak atas hadiah (upah) yang dia

sediakan, banyak atau sedikit.2

Secara terminologis, al-ju’lu berarti upah atau mengupah. Ja’altu lahu ju’lan artinya

aku membuat upah untuknya. Ji’alah juga dapat dibaca ja’alah. Ibnu Faris menyatakan

bahwa al-ja’lu, al-ja’alah artinya suatu pekerjaan yang ia lakukan.3 Secara syara’

1
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa al-hinayah al-muqtasid, Vol. 3 (Beirut: Dar al Jil, 1989, 101.
2
Abd. Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqhu ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, Vol. 3, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.), 326
3
Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar., hlm. 415.

5
sebagaimana dikemukan oleh Sayyid Sabiq : “Sebuah akad untuk mendapatkan materi

(upah) yang di duga kuat dapat diperoleh”.

Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah kepada orang yang telah melakukan

pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat (dhalalah),

mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, menjahit pakaian, dan setiap

pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ji’alah

adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan

suatu tugas atau pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak

pertama.4

2.2. Rukun dan Syarat Ji’alah

Diantara rukun dan syarat ji’alah (pemberian upah) adalah sebagai berikut:

1. Lafal. Lafal itu harus mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak

ditentukan waktunya. Jika mengerjakan Ji’alah (pemberian upah) tanpa seizin orang yang

menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang

itu ditemukan.

2. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dalam hal ini orang yang menjanjikan upah

itu boleh orang yang memberikan pekerjaan itu sendiri atau orang lain.

3. Pekerjaan yang akan dilaksanakan (mencari barang yang hilang). Pekerjaan ini tidak

bertentangan dengan syariat Islam.

4. Upah. Upah harus jelas, jumlah yang akan diterimakan kepada orang yang mencari sesuai

dengan transaksi yang telah ditentukan.5

2.3. Dasar Hukum Ji’alah

4
Mardabi, Fiqih Ekonomi Syariah; Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 314
5
Ismail nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 189.

6
1. Al-Quran

“Penyeru –penyeru itu berkata : “kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku

menjamin terhadapnya”(QS Yusuf [12] : 72)

2. Al-Hadis

Dalam hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah

dengan cara ji’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil

mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca Al-Fatihah. Ketika

mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal.

Rasulullah pun tetawa seraya berkata: “Tahukah Anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-

jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR. Jamaah,

mayoritas ahli hadis kecuali An-Nasa’i)

2.4. Struktur Ji’alah

1. Pelaksanaan Ji’alah

Teknik pelaksanaan ji’alah (pemberian upah) dapat dilakukan dengan dua.

Pertama, secara khusus ditentukan orang yang mencari barang yang hilang, sebuah

contoh Amin. Amin dengan sendirinya berusaha mencari barang yang hilang. Kedua,

secara umum artinya orang yang dibebani pekerjaan mencari barang yang hilang tidak

ditentukan seorang, tetapi untuk semua orang (berlaku umum). Sebuah contoh, seseorang

akan saya beri imbalan (hadiah) sekian“ atau “Barang siapa yang bisa menemukan STNK

motor saya bernomor polisi sekian, maka akan saya beri imbalan/upah sekian’.

7
Masalah lain yang perlu diperhatikan dalam ji’alah (pemberian upah) bahwa

pemberitahuan itu diisyaratkan datang dari orang yang kehilangan, melainkan juga bisa

dari orang lain yang mendengarnya. Sebuah contoh seseorang berkata: ‘siapa saja yang

bisa menyembuhkan penyakit anak saya, maka akan saya beri upah/imbalan sekian”. Di

kemudian hari ada seorang yang bisa menyembuhkan anaknya, baik pemberitahuan itu

diterima dari orang yang menyampaikan pemberitahuan langsung maupun pemberitahuan

itu diterima dari orang lain, maka orang yang menyembuhkan tersebut akan berhak

menerima upah. Hal tersebut bisa dibenarkan, karena dalam ji’alah (pemberian upah)

tidak disyaratkan kehadiran dua belah pihak yang bertransaksi, namun disyaratkan besar

jumlah upah yang diterimakan. Artinya ia harus tahu berapa jumlah yang akan ia terima

jika berhasil menyembuhkan anaknya, karena hal ini sama dengan sewa menyewa. Kalau

upah yang akan diberikan itu majhul (tidak jelas) maka hukumnya rusak.6 Bagaimana jika

orang yang menyembuhkan dari penyakitnya jumlahnya bukan seorang, maka upahnya

harus dibagi rata karena mereka sama-sama bekerja dan berusaha.

2. Pengupahan dalam Ji’alah

Dalam melaksanakan pekerjaan dan besarnya pengupahan, seseorang itu

ditentukan melalui standar kompetensi yang dimilikinya, yaitu sebagai berikut:

a. Kompetensi teknis, yaitu pekerjaan yang bersifat keterampilan teknis, contoh:

pekerjaan yang berkaitan dengan mekanik pembengkelan, pekerjaan diproyek-proyek

yang bersifat fisik, dan pekerjaan dibidang industry mekanik lainnya.

b. Kompetensi social, yaitu pekerjaan yang bersifat hubungan kemanusiaan, seperti

pemasaran, hubungan kemasyarakatn, dan sebagainya.

6
Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayahal-Ahyar, (Bandung: al-Ma’arif, t.tp), 705.

8
c. Kompetensi manajerial, yaitu pekerjaan yang bersifat penataan dan pengaturan usaha,

seperti manajer, sumber daya manusia, manajer produksi, manajer keuangan dan

sebagainya.

d. Kompetensi intelektual, yaitu tenaga dibidang perencanaan, konsuktan, dosen, guru,

dan sebagainya.

Dalam praktik pemberian upah, mengikuti system pengupahan pasar, system upah

progresif, system pengupahan melalui skala dan struktur upah, dan sebagainya. Hal

tersebut tergantung kepada jenis pekerjaan, beban kerja, waktu lainnya. Masalah

pekerjaan itu tergantung jenis, beban dan waktu pekerjaan.7

Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Sebab, tidak

ada adil yang mengharuskan untuk membatasinya. Ulama Hanafiyah tidak menetapkan

pekerjaan tentang awal waktu perjanjian, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkannya,

sebab kalau tidak dibatasi hal itu menyebabkan tidak diketahui oleh awal waktu yang

wajib dipenuhi.

Penjelasan tentang jenis pekerjaan adalah penting dan diperlukan ketika merekrut

tenaga kerja, sehingga tidak terjadi kesalahan dan pertentangan atau konflik. Tentang

batasan waktu sangat tergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam perjanjian.

Mengenai system pengupahan ada sebuah hadis yang memberikan penjelasan

sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: Barang siapa yang mempekerjakan pekerja

berikanlah upahnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dari Abu Hurairah dan

Said al-Khudri menerangkan keabsahan akad ijarah dibidang ketenagakerjaan dan

memberikan cara bagaimana kita melakukan sewa kontrak pekerjaan antara pemberi

kerja dan tenaga kerja, hal ini untuk mencegah terjadinya perselisihan atau konflik.
7
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012). 191.

9
Sabda Rasulullah Saw. Yang lain: Berilah upah sebelum keringatnya kering. (HR.

Ibnu Majah). Hadis ini merupakan dalil lain yang membolehkan akad ijarah. Menurut

Ibnu Hajar, kedudukan hadis ini adalah lemah. Hadis ini memerintahkan orang yang

memanfaatkan jasa kerja untuk memberikan upah sebelum keringatnya kering.8

Dalam hadis ini juga menunjukkan etika dalam melakukan akad dalam bidang

ketenagakerjaan dengan memberikan upah secepatnya. Relevansinya dalam kontrak kerja

pada saat sekarang ini adanya keharusan untuk melakukan pembayaran yang sesuai

dengan system pengupahan yang berlaku sesuai dengan standar kompetensinya.

3. Pembatalan Ji’alah

Pembatalan jualah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang

kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ji’alah atau orang yang diserahi mencari

barang sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barnag,

maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi jika yang

membatalkannya dari pihak yang menjajikan upah maka yang bekerja berhak menuntut

upah sejumlah pekerjaan yang dilakukan.

4. Hikmah Ji’alah

Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi

karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga.

Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau

membantu seseorang menghafal Al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik dengan ji’alah

adalah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling

menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan

8
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu Islami wa Adillatuhu, Vol 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 730.

10
bahu-membahu. Dengan jua’alah akan terbangun suatu semangat dalam melakukan

sesuatu bagi pekerja.9

BAB III
PENUTUP
9
Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 144.

11
3.1. Kesimpulan

Ji’alah (pemberian upah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang

karena sesuatu yang dikerjakannya. Ji’alah menurut Ibnu Rusyd adalah pemberian upah

(hadiah) atas sesuatu manfaatnyang diduga akan terwujud, seperti mempersyaratkan

kesembuhan dari seorang dokter, atau kemahiran dari seorang guru, atau pencari/yang

menemukan hamba yang lari.

Diantara rukun dan syarat jualah, yaitu : Lafal, Orang yang menjanjikan memberikan

upah, pekerjaan yang akan dilaksanakan dan upah yang diberikan. Teknis pelaksanaan ji’alah

dapat dilakukan dengan dua cara.pertama, secara khusus ditentukan orang yang mencari

barang yang hilang. Kedua, secara umum artinya orang yang dibebani pekerjaan mencari

barang yang hilang tidak ditentukan seseorang, tetapi untuk semua orang (berlaku umum).

Pembatalan jualah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak. Jika pembatalan datang

dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah

bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya dari pihak yang menjanjikan upah maka yang

bekerja berhak menuntut upah sejumlah pekerjaan yang telah dilakukan.

Hikmah yang dapat dipetik dari ji’alah yaitu dapat memperkuat persaudaraan dan

persahabatn, menananmkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sevuah komunitas

yang saling tolong menolong antar sesame manusia.

DAFTAR PUSTAKA

12
Al-Hadi, Abu Azam. 2017. Fiqih Muamalah Kontemporer. Depok: Rajawali Pers.

13

Anda mungkin juga menyukai