Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ANALISIS BAGAIMANA PENERAPAN AKAD JUALAH TERHADAP PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ekonomi syariah

Dibawah bimbingan :

Tuti Rastuti, S.H., MH

Disusun oleh :

Rd.Ramdan Arya Wiguna (191000348)

Kelas : G

Alamat : Btn Griya Nugratama C1 No 1 , Cianjur Jawa Barat

Kontak & Email : 081320636447 , ramdanarya25@gmail.com

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN

1
ABSTRAK

Jualah adalah sejenis sebuah ungkapan janji yang diucapkan oleh seseorang yang kehilangan
sesuatu barangnya yang hilang dengan memberikan sejenis hadiah kepada orang yang
menemukannya,denganmemberi batasan-batasan tetentu. Hal biasanya dilakukan untuk hal-
hal yang dianggap sangat penting. Masalah Konsep ju’alah yang kebanyakan orang pahami
hampir sama dengan konsep ijarah sehingga dalam memahami suatu perbuatan mu’amalah
kadang berbeda paham. Nah untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan ju’alah?
jualah atau jialah, berasal dari bahasa arab: ja’ala-yaj’alu-ja’lan. Ja’ala secara harfiah
bermakna mengadakan atau menjadikan, sedangkan Ju’alah bermakna upah, harga atau gaji.
Dalam kehidupan sehari –hari sering kita jumpai ada seseorang yang kehilangan anaknya,
karena anak tersebut amat sangat penting bagi orang tuanya sehingga orang tua yang
kehilangan tersebut mengadakan sebuah sayembara, barang siapa yang dapat
menemukannya maka akan di berihadiah dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh. Dalam
hal ini penulis akan mencoba membahas pembiyaan akad ju’alah pengertian secara etimologi
berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan
atau melaksanakansuatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizaam
(tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela
terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum
pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.(Afriani, 2018)
Jualah is a kind of a promise expressed by someone who lost something of his lost item by
giving some kind of reward to the one who found it, with certain limitations. Things are usually
done for things that are considered very important. Ju'alah concept that most people understand
almost the same as the concept of ijarah so that in understanding an act mu'amalah
sometimes differentunderstand. Well for more details what is meant by ju'alah? Jualah or
jialah, derived from Arabic: ja'ala-yaj'alu-ja'lan. Ja'ala is literally meaningful to make or
make, while Ju'alah means wage, price or salary. Everyday life we often encounter someone
wholost his son, because the child is very very important for his parents so that the lost parents
are holding a contest, who can find it will be given a gift with the conditions set by. In this case
the author. Will try to discuss the justification agreement meaning etymology means wages or
rewards given to someone because the person is doing or performing a particular job. The
terminology of fiqih means "an Iltizaam (responsibility) in the form of a promise to give a
certain voluntary wage reward against a person who successfully performs an act or provides an
uncertain service can be executed or produced as expected. (Afriani, 2018)

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna(syumul ).

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga

aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan

kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain Kesempurnaan Islam itu

tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di

antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology

it’s a complete civilization.”Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia

adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi

cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini

menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat

yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan

masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282

dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52

hukum/malasah ekonomi).(Afriani, 2018)

Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang

karena sesuatu yang dikerjakannya, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut syariah,

Al-Jazairi (2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah

tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak

diketahui. Misalnya, seseorang bisa berkata,” Barangsiapa membangun tembok ini

untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang membangun

3
tembok untuknya berhak atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak atau sedikit.

Istilah lain dalam pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua istilah ini sesuai dengan

teks dan konteksnya. Ju’alah adalah meminta agar mengembalikan barang yang hilang

dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya, seseorang kehilangan kuda, dia

berkata,”Barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku

bayar sekian”.2Al-ju’l ialah pemberian upah (hadiah) atas suatu manfaat yangdiduga

bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau

kepandaian dari seorang guru, atau pencari/ penemu hamba yang lari. Kata jialah

secara bahasa artinya mengupah. Secara syara’ sebagaimanadikemukakan oleh Sayyid

Sabiq: “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat

diperoleh”.Istilah jualah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fukaha

yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang

atau mengobati orang yang sakitatau menggali sumur sampai memancarkan air atau

seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, jialah bukan hanya terbatas pada

barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan

seseorang. Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam ji'alahberarti upah atau hadiah yang

diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan

suatu pekerjaan atau perbuatan tertentu.Meskipun ji'alah berbentuk upah atau hadiah

sebagaimana ditegaskanoleh Ibnu Qudamah, ulama Mazhab Hanbali, ia dapat

dibedakan dengan Ijarah dari lima segi.

Pertama, pada ji'alah upah atau hadiah yang dijanjikan hanya boleh diterima oleh

orang yang menyatakan sanggup untuk mewujudkan apa yang menjadi objek

pekerjaan atau perbuatan tersebut, jika pekerjaan atau perbuatan tersebut telah

4
mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang

melaksanakan pekerjaan tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau

kadar prestasi yang telah diberikannya meskipun pekerjaan itu belum

sempurna dilaksanakannya.

Kedua, pada ji'alah terdapat unsur gharar (penipuan, spekulasi, untunguntungan)

karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian

pekerjaan ataupun cara dan bentuk penyelesaian pekerjaannya. Sedangkan

dalam ijarah, batas waktu penyelesaian, bentuk pekerjaan, dan cara kerjanya

disebutkan secara tegas dalam perjanjian, sehingga orang yang melaksanakan

pekerjaan dalam ijarah harus mengerjakan pekerjaan yang dijadikan objek perjanjian

sesuai dengan batas waktu dan bentuk pekerjaan yang disebutkan dalam transaksi.

Dengan kata lain, yang dipentingkan dalam ju'alah adalah keberhasilan pekerjaan, bukan

batas waktu penyelesaian ataupun bentuk atau cara mengerjakannya.

Ketiga, pada ji'alah tidak dibenarkan adanya pemberian imbalan upah atau hadiah

sebelum pekerjaan dilaksanakan. Sedangkan dalam ijarah, pemberian upah

terlebih dahulu dibenarkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian, baik sebelum

pekerjaan dilaksanakan maupun ketika pekerjaan sedang berlangsung.

Keempat, tindakan hukum yang dilakukan dalam ji’alah bersifat sukarela. Sehingga

apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan (fasakh) selama pekerjaan belum dimulai

tanpa menimbulkan akibat hukum, sedangkan ijarah merupakan transaksi yang

bersifat mengikat semua pihakyang melakukan perjanjian kerja. Dengan demikian, jika

perjanjian tersebut dibatalkan, maka tindakan itu menimbulkan akibat hukum bagi pihak

bersangkutan, salah satu pihak yang melakukan perjanjian ijarah dapat mengajukan

5
tuntutan ganti rugi kepada pihak yang lain jika perjanjian ijarah tersebut dibatalkan.

Kelima, dari segi ruang lingkupnya, Mazhab Maliki menetapkan kaidah bahwa

semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ji'alah boleh menjadi

objek dalam transaksi ijarah, tetapi tidak semua yangdibenarkan menjadi objek

dalam transaksi ijarah dibenarkan pula menjadi objek dalam transaksi ji'alah. dengan

kata lain, ruang lingkup ijarah lebih luas dari pada ruang lingkup ji'alah.

Berdasarkan kaidah tersebut maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan

air, atau menjadi pembantu rumah tangga selama sebulan misalnya, dapat menjadi

objek dalam transaksi ijarah., tetapi tidak menjadi objek dalam transaksi ji'alah.

Kedua contoh perbuatan tersebut tidak sah menjadi objek transaksi ji'alah karena

pihak yang menjanjikan upah pekerjaan tersebut telah mendapatkan manfaat dari

kedua pekerjaan tersebut meskipun sumur yang digali tidak sampai menemukan air,

atau meskipun pembantu rumah tangga itu belum cukup sebulan bekerja, padahal

pihak yang melakukan pekerjaan tersebut tidak berhak menerima hadiah atau upah

sebelum pekerjaan tersebut dilaksanakannya dengan sempurna.(Afriani, 2018)

Dasar Hukum al Ju’alah Menurut al Qur’an.

Di dalam al Qur‟an, Alloh SWT menerangkan model aplikasi al Ju’alah pada kisah Nabi

Yusuf alaihissalam beserta saudara-saudaranya. Tepatnya di dalam surat Yusuf ayat ke-

72. “Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan gelas piala Raja, dan siapa yang

dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan

aku menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf [12]: 72) penjelasan tersebut menunjukkan

bahwa al Ju’alah merupakan muamalah yang dibolehkan. (Haryono,2017)

6
Landasan Hukum Akad Ji’alah Menurut ulama Hanafiah

akad ji’alah tidak dibolehkan karena di dalamnya terdapat unsur penipuan ( gharar ),

yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah

(sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan

waktunya. Akan tetapi, mereka hanya membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan

hadiah kepada orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak

perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat

puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan Jika dia mengembalikan budak itu

kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan

tersebut sesuai sedikit dan banyaknya perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan

budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila

mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah

sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau

menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar

pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan

budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara

bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya.

Berdasarkan pemaparan landasan hukum tentang ji’alah diatas dapat di ambil beberapa

poin penting, yaitu:

1. Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak diperbolehkan

membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak

mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan, maka

pekerja brhak mendapatkan upah atas pekerjaan.

7
2. Dalam ji’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata,

“Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan hadiah satu dinar,

“maka orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia

menemukannya setelah sebulan atau setahun.

3. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata antara

mereka.

4. Ji’alah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata,

“Barangsiapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan

ja’alah (hadiah) sekian.”

5. Barangsiapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau menerjakan suatu

pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ji’alah

(hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer

tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal. Jadi ia tidak

berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang

melarikan diri dari tuanya maka ia diberi ji’alah sebagai balas budi atas perbuatannya

tersebut.

6. Jika seseorang berkata, “Barangsiapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia

berhak atas ji’alah (hadiah), “maka ji’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia

berkata, “Barangsiapa makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia

berhak atas ji’alah ,” maka ji’alah tidak sah.

7. Jika pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji’alah , maka

ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah dengan disuruh bersumpah. Jika kedua

8
berbeda pendapat tentang pokok ji’alah , maka ucapan yang diterima ialah ucapan

pekerja dengan disuruh bersumpah.

Rukun dan Syarat Ju,alah

Rukun pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:

1.Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak

ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh (punya

barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.

Ada 2 orang yang berakad dalam jialah yaitu :

a. Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang

mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas

b. 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-

orang tertentu (bebas).

2. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan

barang atau orang lain.

3. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara

tersebut).

4. Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum

melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).

Syarat Jialah

1. Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-

tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah

tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.

9
2. upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya

tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti,

barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan

baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman

keras.

3. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram

dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk

mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap

asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah (Ahmad

Saepuddin,2018)

Konsep Perbankan dalam Islam

Konsep perbankan syariah lahir dari sistem ekonomi syariah. Untuk itu perlu dikaji

pengertian dan prinsip hukum ekonomi syariah. Pengertian Hukum Ekonomi Syariah

atau Hukum Ekonomi Islam dikemukakan oleh beberapa pakar. Muhammad Abdullah

Al-Arabi mengemukakan bahwa Hukum Ekonomi Islam adalah sekumpulan dasar-dasar

umum ekonomi yang disimpulkan dari Al Qur’an dan As Sunah dan merupakan

bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai

dengan tiap lingkungan dan masa. Menurut Muhammad Syauqi Al Fanjari ekonomi

syariah adalah ilmu yang mengarahkan kegiatan ekonomi dan mengaturnya sesuai

dengan dasar-dasar dan siasat ekonomi Islam. Selain Muhammad Abdullah Al-Arabi dan

Muhammad Syauqi Al Fanjari, M. Metwally mengemukakan bahwa Ekonomi Islam

sebagai ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat

10
Islam yang mengikuti Al Qur’an, hadist Nabi (Muhammad), Ijma dan Qiyas.(Imaniyati,

2011)

Sertifikat Wadiah Bank Indonesia

Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah surat berharga yang berbentuk

sertifikat. SWBI ini dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana oleh

perbankan syariah yang bersifat jangka pendek. Perjanjian SWBI ini dilakukan oleh

pihak Bank Indonesia dengan perbankan syariah serta tidak dapat diperjualbelikan

kepada pihak lain. Jangka waktu jatuh tempo penitipan SWBI berdasarkan Peraturan

Bank Indonesia Nomor : 6/7/PBI/2004 adalah 7 hari, 14 hari atau 28 hari (jangka

pendek). Dana yang dititipkan minimal bernilai Rp 500.000.000,00 dan diatas nilai

tersebut dapat dititipkan dalam kelipatan Rp 50.000.000,00 Kepemilikan SWBI berarti

perbankan syariah telah menitipkan dananya kepada Bank Indonesia atau dengan kata

lain Bank Indonesia memiliki utang kepada perbankan syariah tersebut. Dana yang telah

dititipkan kepada Bank Indonesia dalam bentuk sertifikat tersebut akan disalurkan oleh

Bank Indonesia kepada pihak yang membutuhkan dana. Tujuannya agar dana yang

dititipkan tersebut dapat bermanfaat serta menghindari terjadinya dana menganggur (idle

cash). nitipan dana yang dilakukan oleh perbankan syariah tidak dapat diambil kembali

sebelum tanggal jatuh tempo. Keuntungan yang didapat oleh perbankan dari SWBI

adalah bonus. Pemberian bonus ini dilakukan pada saat tanggal jatuh tempo, dimana

besarnya bonus tersebut berdasarkan kewenangan Bank Indonesia. Jumlah bonus yang

diberikan disesuaikan dengan kebijakan dan anggaran yang dimiliki oleh Bank Indonesia.

Apabila besarnya anggaran atas SWBI yang telah dianggarkan oleh Bank Indonesia

11
tinggi, maka bonus yang diterima oleh perbankan syariah akan tinggi pula dan

sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa bonus yang diterima oleh perbankan syariah

jumlahnya fluktuatif, sehingga kemungkinan untuk mendapat return yang rendah ada.

Selain itu, pemberian bonus juga dilatarbelakangi oleh kinerja perbankan syariah.

Apabila kinerja perbankan syariah tersebut meningkat, maka ia akan mendapat bonus

yang tinggi pula.

Sertifikat Bank Indonesia Syariah

Sejak dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008, maka Sertifikat

Wadiah Bank Indonesia resmi diubah menjadi Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

dengan menggunakan akad ju’alah. Karakteristik SBIS berbeda dengan SWBI. Jangka

waktu SBIS adalah paling kurang 1 bulan dan paling lama 12 bulan (1 tahun) dengan

satuan unit sebesar Rp 1.000.000,00. SBIS diterbitkan tanpa warkat (scripless), dapat

dijadikan agunan kepada Bank Indonesia pada saat perbankan syariah ingin meminjam

dana kepada Bank Indonesia. Sama halnya dengan SWBI, SBIS tidak dapat

diperdagangkan di pasar sekunder (masyarakat). SBIS hanya dapat diperdagangkan antar

perbankan syariah dengan Bank Indonesia.

APLIKASI JIALAH DI PERBANKAN SYARIAH

Aplikasinya ialah pada SBIS (sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah

(SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip

Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank

Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia

menggunakan akad Ju’alah (Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk

12
memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang

ditentukan dari suatu pekerjaan). Sesuai dengan FATWA DEWAN SYARI’AH

NASIONAL NO: 64/DSN-MUI/ XII/2007 tentang SERTIFIKAT BANK INDONESIA

SYARIAH JU’ALAH ( SBIS JU’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat Bank Indonesia

Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ju’alah, dengan

memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad

Ju’alah. Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi

pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ullah (penerima pekerjaan); dan

objek/underlying Ju’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk

membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan

likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan

jangka waktu tertentu

Pembatalan Ju’alah

Ju’alah adalah perbuatan hukum yang bersifat suka rela, para ulama sepakat bahwa

dibolehkannya pembatalan akad Ju’alah. Namun yang menjadi perbedaan adalah waktu

kapan dibolehkannya pembatalan akad tersebut. Dengan demikian, pihak pertama yang

menjanjikan upah atau hadiah, dan pihak kedua yang melaksanakan pekerjaan dapat

melakukan pembatalan. Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa ju’alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama

sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua. Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat,

bahwa pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama

13
pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan, karena pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar

suka rela. Namun, apabila pihak pertama membatalkannya, sedangkan pihak kedua

belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang

pantas sesuai dengan volume perbuatan yang dilaksanakannya. Kendatipun pekerjaan itu

dilaksanakan atas dasar suka rela, kebijaksanaan perlu diperhatikan.

Ketentuan Pelaksanaan Ju’alah

Diantara hukum-hukum ju’alah adalah sebagai berikut

1. Ju’alah adalah akad yang diperbolehkan

2. Dalam ju’alah, masa pekerjaan tidak disyaratkan diketahui.

3. Ju’alah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan

4. Jika pekerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagikan secara adil, menurut

tanggung jawab yang diperankan.

5. Jika seseorang berkata. “barangsiapa makan atau minum sesuatu (yang dihalalkan), ia

berhak mendapat upah.”

6. Jika pemilik ju’alah dan pekerja tidak sependapat tentang ju’alah, ucapan yang

diterima adalah ucapan pemilik ju’alah dengan disuruh bersumpah. Jika

keduanya berbeda pendapat tentang pokok ju’alah, ucapan yang diterima ialah

ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.

14
BAB II

METODE PENELITIAN

B. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan data yang diperoleh dari

hasil pengamatan, jurnal, dokumen dan catatan lapangan, kemudian dianalisa yang

dituangkan kedalam bentuk tesis untuk memaparkan permasalahan dengan judul yang

dipilih yaitu analisis bagaimana penerapan akad jualah terhadap perbankan syariah di

indonesia dilihat dari pendekatannya penelitian ini menggunakan yuridis normatif.

Dimana dalam penelitian ini diteliti dengan menggunakan bahan pustaka (bahan

sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan yang secara garis besar ditujukan kepada :

penelitian asas-asas hukum dan penelitian terhadap sistematika hukum.

Bahan Penelitian

a. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah bagaimana penerapan akad jualah dalam

perbankan ekonomi syariah.Dan bahan penelitian tersebut diambil dari jurnal jurnal

yang telah di teliti sebelumnya.

b. Data penelitian

Data yang mendukung dalam melakukan penelitian ini adalah data data sekunder

yaitu :

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan membaca dan referensi yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

15
Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Penelitian Kepustakaan Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan

dan mempelajari literatur yang berkaitan dengan Jualah dan perbankan syariah

untuk pemecahan masalah yang diterapkan dalam penerapan Jualah di ekonomi

syariah. Sumber literatur berupa buku teks, paper, journal, karya ilmiah,dan situs-

situs penunjang. Kegunaan metode ini diharapkan dapat mempertegas teori serta

keperluan analisis dan mendapatkan data yang sesungguhnya.

16
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Penelitian ini bersifat sekunder yang mana penelitian ini di teliti hanya dengan melihat

referensi jurnal dan situs situs yang menunjang

Model Aplikasi Konsep al Ju’alah Dalam Kehidupan sehari hari

Dalam dunia Pendidikan Konsep al Ju’alah bisa kita terapkan dalam sebuah lembaga

pendidikan baik sekolahan maupun pondok pesantren.

Penerapan konsep ini memiliki peran yang signifikan dalam mendongkrak prestasi

peserta didik maupun melejitkan potensi para guru. Misalnya kegiatan berikut ini: A.

DALAM BIDANG PENDIDIKAN:

1. Sekolah membuka peluang al Ju’alah bagi para guru untuk membuat penelitian

tentang pengaruh ibadah shalat terhadap kedisiplinan siswa dan prestasi belajar. Bagi

guru yang mampu membuat penelitian tersebut, maka ia akan mendapatkan imbalan

berupa uang 10 juta rupiah misalnya.

2. Sekolah membuat Ju‟alah untuk para siswa/mahasiswa untuk membuat karya Ilmiah

di berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan imbalan piala dari kepala sekolah dan

uang 5 juta rupiah misalnya.

3. Al Ju‟alah dengan hadiah beasiswa kuliah penuh untuk siswa yang berhasil meraih

peringkat 3 besar selama di SLTA.

DUNIA BISNIS DALAM DUNIA BISNIS, KONSEP AL JU‟ALAH BISA

BANYAK SEKALI MODEL PENERAPAN KONSEP YANG BISA KITA

GUNAKAN DI DALAM DUNIA BISNIS. DI ANTARANYA ADALAH:

17
1. Al Jua‟alah untuk men-desain logo, brand, dan kemasan produk yang menarik

dari berbagai macam produk barang.

2. Al Ju‟alah untuk menghasilkan alat-alat produksi modern yang membantu

kegiatan ekonomi.

3. Al Ju‟alah membuat website menarik dan mudah diakses untuk memasarkan

produk.

4. Al Ju‟alah untuk membuat system pembayaran modern yang memudahkan

dalam transaksi.

PENERAPAN JUALAH TERHADAP PERBANKAN SYARIAH

Prinsip ju’alah ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai

pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti referensi bank, informasi usaha

dan lain sebagainya. Aplikasi ini bisa dilihat dalam praktek penerbitan SBIS (Sertifikat

Bank Indonesia Syariah). SBIS adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang

diterbitkan oleh Bank Indonesia berjangka waktu pendek berdasarkan prinsip syariah.

SBIS Ju’alah adalah SBIS yang menggunakan akad Ju’alah sesuai dengan Fatwa DSN

No. 62 Tahun 2007.

Ketentuan dalam akad ini adalah BI bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan). Bank

Syariah bertindak sebagai maj’ul lah (penerima pekerjaan) dan objek/underlying Ju’alah

adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam

pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan

menempatkannya di BI dalam jumlah dan jangka waktu tertentu

18
BI dalam operasi moneternya melalui penerbitan SBIS mengumumkan target penyerapan

likuiditas kepada Bank-bank syariah sebagai upaya pengendalian moneter dan

menjanjikan imbalan (reward/ju’ul) tertentu bagi yang turut berpartisipasi dalam

pelaksanaannya. BI berkewajiban mengembalikan dana SBIS Jua’alah kepada BI dalam

operasi moneternya melalui penerbitan SBIS mengumumkan target penyerapan likuiditas

kepada Bank-bank syariah sebagai upaya pengendalian moneter dan menjanjikan imbalan

(reward/ju’ul) tertentu bagi yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya. BI

berkewajiban mengembalikan dana SBIS Jua’alah kepada pemegangnya pada saat jatuh

tempo. Bank Syariah hanya boleh/dapat menempatkan kelebihan likuiditasnya pada SBIS

Ju’alah sepanjang belum dapat menyalurkannya ke sektor riil. SBIS-Ju’alah merupakan

instrumen moneter yang tidak dapat diperjual-belikan (non tradeable) atau

dipindahtangankan, dan bukan merupakan bagian dari portofolio investasi bank syariah.

Pada SBIS (sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI

10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka

waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1

angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad

Ju’alah (Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan

tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu

pekerjaan). Sesuai dengan FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO:

64/DSNMUI/XII/2007 tentang SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH

JU’ALAH ( SBIS JU’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat Bank Indonesia Syariah

Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ju’alah, dengan

19
memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad

Ju’alah. Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il(pemberi pekerjaan);

Bank Syariah bertindak sebagai maj’ullah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying

Ju’alah(mahall al- ‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank

Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat

dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu

Syarat-Syarat Al Ju’alah Dalam Islam

Muamalah Al Jua‟alah akan menjadi sah jika terpenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. Shighat atau akad yang menunjukkan pekerjaan yang akan diberi imbalan. Lafazh

shighat harus jelas dan mudah dipahami serta berisi janji untuk memberikan imbalan atas

amal yang ditentukan. Seperti perkataan “Barang siapa yang bisa menghafal 12 juz al

Qur‟an dalam 1 tahun, maka baginya imbalan uang Rp.10.000.000 misalnya. Seandainya

ada seorang yang beramal tanpa sepengetahuan yang memberikan janji, atau seandainya

orang yang mengucapkan tersebut telah menunjuk orang tertentu kemudian ada orang

lain yang beramal semisalnya, dan menyelesaikan tugasnya, maka dia tidak wajib

mendapatkan imbalan. Sebab, pada dasarnya orang yang beramal tanpa mengetahui amal

tersebut adalah Ju‟alah dia beramal sukarela saja. Isyarat seorang yang bisu dalam

shighat namun bisa dipahami, maka hal tersebut kedudukannya seperti halnya shighat

yang sah .

b. Upah/ Imbalan. Imbalan ini harus jelas dan tidak samar. Maka, tidak boleh seperti

“Barangsiapa menemukan motor saya, maka baginya hadiah. menarik. Hal demikian

merupakan akad Ju’alah yang rusak. Karena imbalan dalam akad tersebut tidak jelas.

20
Begitu juga tidak boleh upah yang dijanjikan dalam Ju’alah dari sesuatu yang haram

seperti khamr, daging babi, atau barang-barang curian. Hendaknya upah yang diberikan

sebanding dengan beratnya amal pekerjaan.

c. Orang yang Menjanjikan Upah. Orang yang menjanjikan upah tidak harus yang

mempunyai hajat, namun boleh siapa saja yang bersedia memberikan upahnya.

d. Pekerjaan yang mubah. Pekerjaan yang terkait dengan Ju’alah haruslah bukan

pekerjaan yang haram seperti berjudi, zina, dukun, atau mendzolimi sesama muslim.

Namun, pekerjan tersebut yang sifatnya mubah di dalam Islam. Maka, tidak boleh bahkan

haram mengikuti Ju’alah seperti, “Barangsiapa yang bisa menyantet fulan (seorang

muslim), maka baginya imbalan sebesar 10 juta rupiah.”

21
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

22

Anda mungkin juga menyukai