“OA@[BV
DE GLGM’
HE[R[R@ ALBM 4
62627=7682 )
2675
OGXG VB@CG@XGZ
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, puji
syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih Muamalah
Sholawat dan salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang diterangi iman dan islam,
semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumil mahsyar kelak, aamiin.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah
II dengan judul Konsep Ji alah.
Terima kasih kepada Ibu selaku dosen mata kuliah Fiqh Muamalah II UINSU yang
telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Konsep Ji alah. Kami
juga menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan yang jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu. Kami berharap adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat.
Demikian yang dapat kami sampaikan lebih dan kurangnya kami mohon maaf.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi kami yang membuat
Kelompok 9
HGNXGZ E[E
OGXG
VB@CG@XGZ
HGNXGZ E[E
JGJ E VB@HGMRLRG@
Kesimpulan
Saran
JGJ E
VB@HGMRLRG@
G. Lgtgr Jblgog`c
Manusia hidup tidak lepas dari prinsip politik ekonomi. Politik ekonomi islam sebagai instrumen agar terwujudn
Dengan politik ekonomi islam diharapkan mampu menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer t
maupun rohani.
Untuk itulah, saya sangat berharap kepada pembaca sehingga setelah membaca makalah ini, kita
semua mampu menjadikan politik ekonomi islam yang kembali sempurna sesuai hukum syara untuk kemakm
J. Zuiusg` Igsglgm
1. Apa pengertian Akad Ji alah ?
K. Xujug`
1. Untuk mengetahui pengertian Akad Ji'alah
2. Untuk mengetahui hukum dari Akad Ji'alah
3. Untuk mengetahui bentuk,rukun & syarat dari akad Ji'alah
VBIJGJMEGE [G@
G. VB@CBZXEG@ DE―GLGM
Akad ji"alah, ju"l atau ju"liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang
disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,
atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena telah
melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji"alah dapat dinamakan
janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji"alah adalah akad atau
komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara“, akad ji"alah adalah
komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu
yang sulit diketahui.
Adapun definisinya dari Ji"alah adalah komisi yang diberikan kepada seseorang karena
sesuatu yang ia lakukan. Seperti seseorang berkata, “barangsiapa melakukan hal ini, maka ia
mendapatkan uang sekian”. Orang tersebut memberikan harta (uang atau yang lainnya)
dengan jumlah tertentu, kepada orang yang melakukan suatu pekerjaan tertentu, seperti
7
setiap pekerjaan yang mendapatkan upah sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, ji"alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua
atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan
pihak pertama.
Akad ji"alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang
belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan, maka ia berhak
mendapatkan upah atau hadiah. Secara harfiah, ji"alah bermakna sesuatu yang dibebankan
kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang
untuk
7
Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.44. Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 432. Desi Anwar, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya:
Amelia, 2002 ), h. 578
dijalankan. Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menjelaskan ji"alah adalah jenis akad atas
manfaat sesuatu yang diduga kuat akan diperolehnya.
Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji"alah sebagai akad sewa atas manfaat yang
diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa
mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau barang milik saya
yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur untuk saya
hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau kemeja untuk saya, maka dia akan
mendapatkan sekian.
Contoh akad ji"alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi orang-orang
berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang diperbolehkan atau bagian
harta rampasan perang tertentu diberikan oleh panglima perang kepada orang yang mampu
menembus benteng musuh, atau dapat menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk didalam akad ji"alah juga, komitmen membayar sejumlah uang pada dokter
yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing
anaknya menghapal Al-Qur“an. Para fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini
dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat atau
hilang dan budak yang lari atau kabur.2
Dapat pula dikatakan bahwa ji"alah menurut rumusan-rumusan yang terdapat dalam
kitab-kitab ulama masa lalu lebih tertuju kepada bentuk usaha melakukan suatu aktivitas
atas tawaran dari seseorang untuk melakukan suatu kegiatan tertentu yang orangnya akan
diberi imbalan bila ia berhasil dengan tugas yang diberikan kepadanya. Bila rumusan itu
diikuti,
jelas pengertian ji"alah sangat berlainan dengan pertandingan, kompetisi, dan berbagai
perlombaan zaman sekarang yang lebih memprioritaskan kegiatannya untuk menilai
ketangkasan. Namun, bila kita berangkat dari unsur substansial, yakni diberinya imbalan
atas sesuatu prestasi tertentu melalui perpacuan kemampuan, maka berbagai bentuk
perlombaan pun bisa digolongkan sebagai ji"alah.
Para ahli fiqih sepakat bahwa akad Ji"alah merupakan hal yang boleh (Jaiz), termasuk
mazhab Maliki, Syafi“i, Hambali, Serta Syi“ah. Walaupun para imam mazhab berbeda
pendapat penggunaan akad ji"alah untuk melakukan mu“amalah, mazhab Hanafi dan
Zhahiri melarang menggunakan akad ini untuk mu“amalah dengan alasan adanya unsur
2
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010), h. 141. Wahbah Az-
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 432. Ibid., h. 433.
gharar, karena dalam akad ji"alah boleh saja tidak dijelaskan secara jelas batas waktu,
bentuk atau cara melakukanya.
Mazhab Maliki mendefinisikan ji"alah: “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan
atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”.
menambahkan atau mengurangi upah yang harus diberikan kepada amil (pekerja). Karena
ju“alah merupakan akad ja"iz gair lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat). Namun,
Syafi“iyyah membolehkan penambahan atau pengurangan tersebut sebelum selesainya
pekerjaan ataupun sesudahnya.
Meskipun Ji"alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu
Qudamah (ulama Mazhab Hambali), ia dapat dibedakan dengan ijarah (transaksi upah) dari
lima segi:
1. Pada Ji"alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang
menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek pekerjaan tersebut,
jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada
ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut berhak menerima upah
sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun
pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan
sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan
sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2. Pada Ji"alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-
untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu
penyelesaian pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam
akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek perjanjian itu.
Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ji"alah yang dipentingkan
adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya.
3. Pada Ji"alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan
Menurut ulama Hanafiah, akad ji"alah tidak dibolehkan karena di dalamya terdapat
unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini diqiyaskan
pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja
itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi, me
reka hanya membolehkan dengan dalil istihsan memberikan hadiah kepada orang yang
dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih,
walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh dirham untuk menutupi
biaya selama perjalanan.
Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah
disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya perjalanan.
Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia
3
Abu Bakar Jbiz Al-Jazari, Minhajul Mialim, Alih bahasa Fadhli Bahri, Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim,
( Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 438-439. Ibid., h. 438.
mendapat upah dan bila mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia
mendapat upah sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu
hari atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan
kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan
budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara
bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya.
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya".( Surat Yusuf Ayat 72)4
Dalam al-Qur“an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain
yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Ar-Ramli dalam Abdul Aziz
Muhammad Azam menilai bahwa ayat ini sebagai isti"nas (pembangkit semangat) dan
bukan istidlal (bentuk pembuktian).
Para sahabat menjawab, kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya
8
Helmi Karim, Op. Cit, h. 48. Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 433.
Departemen Agama RI, Al-Qur"an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h. 194. 27 Abdul Aziz
Muhammad Azam, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 332.
Maka mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat membaca surah
al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga kepala
suku itu pun sembuh. Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan
kepada para sahabat. Para sahabat itu berkata, kami tidak akan mengambilnya hingga kami
tanyakan dahulu kepada Rasulullah. Kemudian sahabat itu menanyakan hal tersebut
kepada rasulullah, maka beliau pun tertawa dan berkata, tidakkah kalian tahu? Surah al-
fatihah itu adalah obat. Ambilah domba itu dan berikan kepadaku satu bagian.
Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ji"alah, yaitu
kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji"alah ini, seperti untuk
mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur,dan pekerjaan yang tidak
bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah dan muda>rabah,
hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji"alah tidak merusak akad itu,
berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji"alah sifatnya tidak mengikat,
sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui
jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad ji"alah adalah sebuah
keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan,
dan dibolehkan karena ada izin dari Allah.
Kedudukan transaksi upah (al-Ju“l) adalah segala bentuk pekerjaan (jasa), yang
memberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab jika pemberi upah
mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan jasa dan pekerjaan itu.
Padahal jika calon penerima upah itu (al-Maj“ul) gagal mendapatkan manfaat, seperti
ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju“l), ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi
upah (al-Ja“il) mengambil hasil kerja calon penerima upah ( al-maj“ul), tanpa imbalan kerja
atau jasa tertentu, berarti ia telah suatu kezaliman
• Shighat, Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji"alah sedangkan dari pihak pekerja,
maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan ucapan
walaupun barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaanya sama dengan
akad perwakilan, dan tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya dia berkata
kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat
bayaran datu dinar kemudian si pemberi ja"alah berkata ya atau menjawabnya, maka
sudah dianggap cukup.5
• Pertama, pekerja yaitu mencari barang yang hilang yang mempunyai izin untuk
bekerja dari orang yang punya harta, jika dia bekerja tanpa ada izin darinya seperti
ada harta yang hilang lalu dia menemukannya atau hewan tersesat lalu dia
mengembalikan kepada pemiliknya, maka dalam hal ini dia tidak berhak mendapat
ji"alah, sebab dia memberikan bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak
dengan upah itu, adapun jika diizinkan oleh si pemilik harta dan disyaratkan ada
ji"alahnya lalu dia bekerja, maka dia berhak mendapat ji"alah, sebab si pemilik harta
menerima manfaat
dari usahanya dengan akad ji"alah, maka si pekerja pun berhak dengan ji"alah itu
sama seperti orang yang disewa.
• Kedua, hendaklah si pekerja orang yang ahli dengan pekerjaan itu jika memang
dijelaskan bentuknya, maka sah akad ji"alah dengan orang yang memang ahlinya
walaupun masih anak-anak.
• Ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja,
jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang lari lalu dia mengembalikannya
sampai ke pintu rumah kemudian lari lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi
ji"alah, maka dia tidak berhak mendapatkan sesuatu dari ji"alah yang ada sebab
2
Abdul Aziz Muhammad Azam, Op. Cit, 334.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986), h. 306.
maksud dari akad adalah mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini
tidak ada hasil.
• Keempat, orang yang menjanjikan upahnya,yang menjanjikan upah itu boleh juga
orang lain yang mendapaat persetujuan dari orang yang kehilangan atau memiliki
pekerjaan.
minuman keras.
k. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktifitas yang mubah, bukan
yang haram dan diperbolehkan secara syar“i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga
paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya.
Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai objek transaksi dalam
akad ji"alah.
JAJ III
VBNUTUV
A. Kesimpulan
Ji'alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang
yang berhasil melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang
diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Ji'alah juga dapat
dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji'alah adalah
akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Dan berdasarkan landasan hukum
tentang ji'alah, maka ji'alah hukumnya yaitu mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan
akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang
diajarkan dalam agama islam.
Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji'alah dapat memperkuat persaudaraan
dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah
komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji'alah, akan
terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji'alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan
bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka yang mau
melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik
yang ia kerjakan.
>
Hendi Suhendi, Op. Cit, h. 207.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1986), h. 306.
J. Saran
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari kapasitas materinya yang
kurang. Mohon kritik dan saran yang membangun sebagai bahan instropeksi kami dalam
penyusunan sebuah makalah.
DANTAR VUSTAKA
Ar-Rifa'i,Muhammad Nasib,1999.Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir / Muhammad Nasib Ar-Rifa'i :Penerjemah,Syihabuddin.—Cet.1
Jakarta : Gema Insani
Muhammad, Abu Ja'far bin al Hasan at Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur'an,
Maktabah al A'lam al Islamy tahun 1209 H. jilid: III.
Ghazaly,H. Abdul Rahman, 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2008.