PENDAHULUAN
Latar Belakang
Metode tafsir ini berpedoman kepada atsar-atsar terkait makna suatu ayat, baru
setelah itu disebutkan,tidak berijtihad untuk melandaskan makna ayat tanpa landasan
dalil, dan menghindari hal hal yang tidak membawa manfaat untuk diketahui
selama tidak ada dalil naqli dan shoheh terkait hal ini.
Tafsir bil mat’tsur , yaitu tafsir yang bertumpu kepada dalil naqli yang shohih
dengan tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya pada syarat-syarat
mufassir, seperti tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an,tafsir al-Qur’an dengan as-
Sunnah, karena as-Sunnah menjelaskan kitab Allah,tafsir al-Qur’an dengan perkataan
sahabat, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui Kitab Allah,atau
perkataan tokoh tabi’in, karena umumnya mereka mempelajari tafsir dari para
sahabat.
1
Sa’ad Abdul Wahid, “ Studi Ulang Ilmu al-Qur’an dan Ilmu Tafsir Jilid II” , (Yogyakarta,
Suara Muhammadiyah: 2012) hal 5
2
Mashuri Sirojuddin Iqbal, “Pengantar Ilmu Tafsir”, (Bandung: Angkasa) hal 86-87
Tafsir bil Ma’tsur juga berarti tafsir yang berdasarkan pada kutipan-
kutipan yang shahih menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam
syarat-syarat mufassir.Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan
sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan
sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan
apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka
menerimanya dari para sahabat.3
Tafsir bil Ma’tsur juga berarti menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
lagi atau dengan menguti sabda Rasulullah SAW, ucapan para sahabat dan
tabi’in. Tentu saja tafsir yang paling baik adalah menafsirkan al-Qur’an
dengan al- Qur’an lagi tetapi melakukannya jauh lebih sukar dari
mengucapkannya.
B. Syarat-Syarat Mufassir
Para ulama menyebutkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir. Diantaranya adalah:
1. Akidah yang benar
2. Melepaskan diri dari hawa nafsu
3. Mulailah terlebih dahulu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
4. Mencari tafsir dari as- Sunnah
5. Merujuk kepada perkataan sahabat
6. Merujuk kepada perkatan tabi’in
7. Menguasai ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya
8. Menguasai dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an
9. Pemahaman yang mendalam
3
Manna Khalil al- Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, ( Litera AntarNusa: 1995) hal 483-483
C. Status Hukum Tafsir bil-Matsur
Tafsir bil-Ma’tsur adalah metode penafsiran yang harus diikuti dan
dijadikan pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an, Karena ia merupan cara
yang paling aman dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan daripada Ibnu
Abbas, “Ada empat corak tafsir:
Pertama, tafsir yang dapat diketahui oleh orang Arab melalui bahasa
mereka, yaitu tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui
penjelasan bahasa.
Kedua, tafsir diketahui oleh orang banyak. Macam kedua ini ialah tafsir
mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti, seperti penafsiran nash-
nash yang mengandung hukum syari’at dan dalil-dalil tauhid secara tegas.
Contohnya setiap orang pasti mengetahui makna tauhid dari ayat, “Maka
ketahuilah, sesungguhnya tiada tuhan selain allah.” Q.S Muhammad:19.
Sekalipun ia tidak tauhu bahwa kalimat ini dikemukakan dengan pola “nafi”
dan “istisna” yang menunjukkan arti hashr (pembatasan).
Ketiga, tafsir yang hanya bisa diketahui oleh para ulama, yaitu tafsir
yang merujuk kepada ijtihat yang didasarkan pada bukti-bukti dan dalil-dalil
dengan sejumlah ilmu terkait, seperti penjelasan ayat atau kata yang belum
jelas maknanya, pengkhususan ayat-ayat yang umum dan sebagainya.
Keempat, tafsir yang sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun
selain Allah. Tafsir ini berkisar pada hal-hal ghaib, seperti kapan terjadinya
kiamat dan hakikat ruh dan lainnya.4
4
Manna al- Qatthan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, (Jakarta timur: Pustaka al-kautsar, 2005)
hal 438-439
sesudahnya.Itupun,sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada
aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran
kata-kata umumdengan salah satu makna yang dicakupnya sebagai contoh:
Ibnu Taimiyah berkata,perbedaan pendapat dikalangan salaf terkait
hanya sedikit,perbedaan pendapat yang diriwayatkan dari umumnya bermuara
pada perbedaan variasinya salaf ini ada dua macam:
Pertama,seorang diantara mereka mengungkapkan maksud dengan kata-
kata yang berbeda dengan kata-kata kawannya yang menunjukkan makna
berbeda dengan namun intunya sama.seperti penafsiran lafal,”jalan yang
lurus”.(Al-Fatihah:6).sebagian diantara mereka menyebutkan bahwa jalan
yang lurus adalah al-Qur’an,yaitu mengikuti al-Qur’an.sebagian lainnya
menyebutkan bahwa jalan yang lurus adalah islam.Kedua pendapat ini
maksudnya sama,masing-masing diantara pendapat ini menyebut sifat yang
berbeda.
Kedua,masing-masing dari kedua pendapat menyebutkan sebagia jenis
dari kata umum melalui perumpamaan dan untuk meningkatkan orang dari
kata umum melalui perumpaamaan dan untuk mengingatkan orang yang
mendengar terhadap jenis terhadap jenis tersebut.contoh,riwayat yang dinukil
terkait firman Allah,’Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang
yag kami pilih diantara hamba-hamba kami,lalu dianta mereka ada yang
menzalimi diri sendiri,ada yang pertengahan,dan ada(pula)yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Allah.yang demikain itu adalah karunia yang
besar.’(Fathir:32).ada yang berpendapat ,bahwa orang yang lebih dahulu
berbuat kebaikan adalah orang yang shalat diawal waktu,dan orang yang
menzalimi diri sendiri adalah orang yang menunda shalat Ashar hingga
matahari menguning.Pendapat lain menyebutkan,bahwa orang yang lebih
dahulu berbuat kebaikan adalah orang yang bersedekah disamping
mengeluarkan zakat, orang yang pertengahan adalah orang yang menunaikan
zakat wajib saja,dan orang yang menzalimi sendiri adalah orang yang tidak
mengeluarkan zakat.
Perbedaan pendapat terkadang disebabkan sebuah lafadz mengandung
dua makna, seperti lafadz ‘as’as mempunyai arti datangnya waktu malam dan
kepergiannya, atau karena beberapa lafadz yang dipakai mengungkapkan
makna-makna saling berdekatan. Misalnya kata tubsal, sebagian
menafsirkannyadengan tuhbas (ditahan) dan sebagia yang lain dengan turhan
(digadaikan, dijadikan jaminan). Masing-masing penafsiran ini berdekatan
satu dengan yang lain.5
5
Manna Khalil al- Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Al- Qur’an, (Litera AntarNusa: 1995) hal 484-
485
yang menyatakan kesalahan cerita-cerita yang dibawa kalangan umat
Islam yang dahulunya ahli Kitab.
3. Dikalangan sahabat ada yang ekstrim. Mereka mengambil beberapa
pendapat dan membuat-buat kebathilan yangyang dinisbatkan kepada
sebagian sahabat. Misalnya golongan Syiah yang fanatikkepada Ali.
Mereka sering mengatakan hadisnya berasal dari Ali padahal Ali sendiri
tidak pernah mengetahuinya.
4. Musuh-musuh Islam dari orang-orang Zindikberusaha mengecoh sahabat
dan tabi’in sebagaimana mereka mengecoh Nabi SAW perihal sabdanya.
Hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama Islam dengan jalan
menghasut dan membuatbhadis. Dalam hal ini, kita perlu waspada.6
F. Nama Nama Kitab Tafsir bil Ma’tsur
1. Tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Uyainah.
2. Tafsir Ibnu Uyainah.
3. Tafsir Ibnu Abi Hatim.
4. Tafsir Abu Syeikh Ibnu Hibban.
5. Tafsir Ibnu Athiyah.
6. Tafsir Abu Laits As-Samarqandi,Bahrul Ulum.
7. Tafsir Abu Ishaq, Al- Kasyf Wal Bayan an Tasrifil Qur’an.
8. Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an.
9. Tafsir Ibnu Abi Syaibah.
10. Tafsir Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil.
11. Tafsir Abu Fida’ Al-Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Azhim.
12. Tafsir Ats-Tsa’labi, Al Jawahirul Hisan fi Tafsiril Qur’an.
13. Tafsir Asy-Syaukani , Fathul Qadir.7
6
Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufassirun, (Medan: Perdana Publishing, 2015) hal 19-20
7
Manna Al-Qatthan, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an, (Medan: Ummul Qura, 2017) hal 545
G. Contoh Tafsir Bil Ma’tsur
Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan Tafsir bil Ma’tsur,berkisar
pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat ini. Perbedaa
penndapat diantara mereka sedikit sekali jumlahnya dibandingkan dengan
yang terjadi pada generasi sesudahnya.Sebagian perbedaan tersebut hanya
terletak pada aspek redaksionalnya sedangkan maknanya tetap sama atau
hanya berupa penafsiran kata-kata yang umum dengan salah satu makna yang
dicakupnya.
Pertama,seorang mufassir diantara mereka mengungkapkan maksud
sebuah kata dengan redaksi berbeda dari redaksi lainnya.Masing-masing
redaksi itu menunjukkan makna yang juga berbeda, tetapi pada dasarnya
memiliki maksud yang sama. Misalnya penafsiran kata ash-shirot al
mustaqim. Sebagian menafsirkannya dengan makna “Al-Qur’an”, maksudnya
mengikuti al-Qur’an, sedangkan yang lain memaknainya “Islam”, kedua
tafsiran ini sama sebab ber-islam berarti mengikuti al-Qur’an. Hanya saja
masing-masing penafsiran itu menggunakan pola berbeda satu dengan
lainnya.
Kedua,masing-masing menafsirkan kata-kata yang bersifat umum
dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak maknanya sebagai
contoh dan mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung
bermacam-macam makna, bukan hanya satu. Misalnya penafsiran tentang
firman Allah QS.Fatir[35]:32;
..
8
Manna Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2005) hal 436-437
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tafsir bil Mat’sur,yaitu tafsir yang bertumpu pada dalil naqli yang shahih
dengan tingakatan-tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya pada syarat-syarat
mufassir,seperti tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,tafsir Al-Qur’an dengan As-
Sunnah,kaena As-Sunnah menjelaskan kitab Allah,tafsir Al-Qur’an dengan prkataan
sahabat,karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui kitab-kitab
Allah,atau tafsir Al-Qur’an dengan perkataan tokoh tabi’in,karena umumnya mereka
mempelajari tafsir dari para sahabat.
B.Saran
Wahid, Abdul Sa’ad. Studi Ulang Ilmu Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir Jilid ll.
Yogyakarta:Suara Muhammmadiyah. 2015